• Tidak ada hasil yang ditemukan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ENDAPAN BATUBARA

4.1. Pembahasan Umum

Batubara merupakan batuan sedimen berupa padatan yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia, yang mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbonnya (Wolf, 1984; op. cit. Anggayana, 2002). Proses pembentukan batubara diawali dengan

peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi

pada lingkungan reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika dan kimia yang terjadi karena pengaruh overburden (beban sedimen yang menutupinya), temperatur, tekanan, dan waktu.

Gambar 4.1 Proses terbentuknya batubara (Anggayana K., 2002) Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).

(2)

Pembentukan batubara dimulai sejak Carboniferous Period (periode pembentukan karbon atau batubara) sehingga dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai ‘Organic Maturity’. Proses awal gambut berubah menjadi lignit (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat) ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan.

4.1.1 Pembentukan Batubara Dan Lingkungan Pengendapannya 4.1.1.1 Proses Pembentukan Batubara

Ada dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara, yaitu: 1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification) 2. Proses pembentukan batubara dari gambut (coalification) Proses Pembentukan Gambut (Peatification)

Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan, hancuran, atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup dari udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 70 % berat dan kandungan mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering (Wolf, 1984, Op. Cit. Anggayana K., 2002)

Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (dibawah air, tidak seluruhnya berhubungan dengan udara) dan kandungan oksigennya sangat rendah, sehingga tidak memungkingkan bakteri aeorob hidup, sisa dari tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri anaerob yang melakukan proses dekomposisi membentuk gambut (peat).

Moor merupakan lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm (Anggayana K., 2002). Berdasarkan morfologi permukaannya, moor

(3)

1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan

bahan makanan. Morfologi permukaannya datar dan atau cekung. Pasokan air untuk gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), dan tidak tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput-rumputan dengan daun lebar dan tumbuhan perdu. Besar pH pada Lowmoor berkisar antara 4,8 sampai 6,4.

2. Highmoor, jenis ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari

permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor ini tidak tergantung pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Lowmoor, sehingga jenis tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah beriklim sedang, Highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis ditumbuhi hutan lokal dengan bermacam jenis tumbuhan. Nilai pH pada highmoor berkisar antara 3,3 sampai 4,6.

Proses Pembentukan Batubara (Coalification)

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya terkena proses fisika dan kimia, serta mengakibatkan pengayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana K., 2002). Sementara itu, proses pembatubaraan merupakan perkembangan gambut melalui lignit, subbituminous, dan bituminous menjadi antrasit serta serta metaantrasit (Anggayana K., 2002)

Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, bakteri anaerob akan mati, maka lapisan gambut akan mengalami peningkatan tekanan seiring penambahan beban dari bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang besar mengakibatkan peningkatan temperatur. Selain itu, temperatur juga dapat

(4)

meningkat dengan pertambahan kedalaman, intrusi magma, dan proses vulkanisme.

Gambut akan berubah menjadi batubara akibat adanya kenaikan tekanan dan temperatur. Seiring dengan perubahan tersebut, akan terjadi proses pengurangan kandungan lengas (moisture), pelepasan gas (CO2,

H2O, CO, CH4) peningkatan kepadatan dan kekerasan serta peningkatan

kadar kalori. Reaksi pembentukan batubara dapat dijelaskan sebagai berikut:

5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H20 + 6 CO2 + CO

Cellulose lignit gas metan

5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3 CH4 + 8 H20 + 6 CO2 + CO

Cellulose bitumine gas metan Keterangan:

Cellulose (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara

 Semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka kadar karbon (C) akan meningkat sedangkan oksigen dan hidrogen akan berkurang  Semakin banyak CH4 lignit semakin baik kualitasnya

Berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut, terdapat dua macam batubara (Sudarsono, 2000) yaitu:

1. Batubara Autochtone, lapisan gambut terbentuk dari tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, dan belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembentukan batubara. Jenis batubara yang terbentuk dengan proses ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kandungan abunya relatif kecil. 2. Batubara Allochtone, lapisan gambut yang terbentuk berasal dari

bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai, kemudian diendapkan di daerah hilir sungai. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses

(5)

mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.

4.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara

Batubara terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu, dan sangat berpengaruh pada penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, serta kualitasnya.

Berdasarkan karakteristik lapisan, endapan batubara dibagi dalam empat lingkungan pengendapan utama di daerah coastal menurut Horne, dkk, 1978 (Gambar 4.2), yaitu:

1) Lingkungan back barrier : lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sejajar terhadap jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu–abu gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah laut akan ditemui batupasir kuarsitik, sedangkan kearah daratan terdapat batupasir

greywacke dari lingkungan fluvial–deltaic.

2) Lingkungan lower delta plain : lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting, tersebar meluas cenderung memanjang searah jurus pengendapan, tetapi kemenerusan bentuk lapisan batubara secara lateral sering terpotong endapan channel. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark.

(6)

3) Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal dan kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dan relatif agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada lower delta plain. 4) Lingkungan upper delta plain–fluvial : lapisan batubaranya tebal,

kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-shaped pada bagian bawah dari dataran limpah banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong. Bentuk batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan

washout oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi

oleh tubuh batupasir yang linear, dan melensa. Pada lingkungan

backswamp, urutan lapisan terdiri dari batubara, batulempung

dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung serta batubara.

Berdasarkan atas kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back barrier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya. Sebaliknya pada lingkungan transitional lower delta

plain dan upper delta plain-fluvial, lapisan batubaranya relatif

(7)

Gambar 4.2 Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne et al., 1978) Berdasarkan kenampakan dan karakteristik batubara di daerah penelitian, maka dinterpretasikan bahwa batubara tersebut terendapkan dilingkungan Delta Plain bagian bawah yang merupakan bagian dari Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung-Batupasir

4.1.2 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Endapan Batubara 4.1.2.1 Analisis Kualitas Batubara

Terdapat dua jenis analisis kualitas batuabara yang utama, yaitu Analisis Proksimat dan Analisis Ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan pembeli batubara untuk menentukan kelas (rank) batubara.

Analisis proksimat terdiri atas empat parameter utama, yaitu kadar lengas (moisture), abu (ash), zat terbang (volatile matter) dan karbon padat (fixed carbon).

Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan partikel batubara. Ada tiga jenis kadar lengas, yaitu lengas bebas (free

moisture), kadar lengas inheren (inherent moisture) dan kadar lengas total

(total moisture). Kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara

DIPENGARUHI AIR LAUT

(8)

digerus sampai ukuran 3 mm, lalu dipanaskan dalam tungku dengan suhu 105º – 110ºC disebut kadar lengas total. Lengas bebas akan terlepas ke udara apabila batubara dibiarkan di dalam ruangan pada suhu kamar. Kehilangan berat selama sampel berada dalam ruangan tersebut disebut kadar lengas bebas. Kadar lengas inheren diperoleh dari kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa lengas bebas dipanaskan di dalam tungku pada suhu 105o – 110o C.

Kadar abu didefenisikan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah batubara dibakar pada suhu 815o C dan dialirkannya udara secara

lambat ke dalam tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya.

Zat terbang adalah bagian batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada suhu 900o C. Karbon tertambat (fixed carbon) diperoleh dari 100% dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu dan zat terbang.

Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsur pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya dengan mentukan unsur kimia pembentuk yang penting. Ada enam unsur utama pembentuk batubara yaitu karbon, hidrogen, sulfur, nitrogen, oksigen dan fosfor.

Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu: 1. Pirit (FeS2), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, urat, kekar),

2. Sulfur Organik, jumlahnya 20–80% dari sulfur total. Secara kimia terikat dalam batubara,

3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah yang kecil.

(9)

4.1.2.2 Klasifikasi Batubara

Tabel 4.1 Klasifikasi Kelas Batubara (ASTM, 1981, op. cit. Wood dkk, 1983)

Kales Kelas Grup F C, % (dmmf) VM, % (dmmf) CV

BTU per pound, dmmf

Sama atau Lebih Besar Lebih Kecil Lebih Besar Sama atau Kurang Sama atau Lebih besar Kurang Agglomerat Character I ANTRASIT Meta Antrasit 98 2 Nonagglomerat Antrasit 92 98 2 8 Semiantrasit 86 92 8 14 II BITUMINUS Low Volatile 78 86 14 22 Medium 69 78 22 31 High Volatile A 69 31 14.000 Commly High Volatile B 13.000 14.000 Agglomerat High Volatile C 11.500 13.000 III SUB BITUMINUS Sub Bituminus A 10.500 11.500 Agglomerat Sub Bituminus B 9.500 10.500 Sub Bituminus C 8.300 9.500 Nonagglomerat IV LIGNIT Lignit A 6.300 8.300 Lignit B 6.300

(10)

Terdapat tingkatan yang digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Di beberapa negara penghasil batubara dengan jumlah besar memiliki istilah sendiri untuk menyatakan tingkatan tersebut. Sebagai contoh, kelas batubara di Amerika menggunakan standarisasi dari ASTM (America

Society for Testing Material), sedangkan di Indonesia, umumnya

digunakan klasifikasi ASTM, 1981 (Tabel 4.1) 4.2 Endapan Batubara Daerah Penelitian 4.2.1 Keberadaan dan Penyebaran Batubara

Endapan batubara pada daerah penelitian ditemukan pada Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung-Batupasir yang diendapkan di lingkungan delta plain. Dengan kata lain kedua satuan ini merupakan satuan pembawa batubara (coal bearing). Secara umum, lapisan batubara hadir sebagai sisipan berwarna hitam kecoklatan sampai hitam, goresnya (bila digores dengan logam) berwarna hitam-coklat gelap, belahan tak beraturan (irregular), bentuk bongkah kotak-membundar

(blocky-conchoidal), dengan kekerasan keras-getas (hard-brittle).

Penyebaran batubara pada daerah penelitian dipengaruhi oleh kondisi geologi moderat dimana proses deformasi tektonik telah sampai pada tingkat tertentu, sehingga di beberapa tempat terdapat intrusi batuan beku yang mempengaruhi struktur lapisan dan kualitas batubara. Hal ini terlihat dari kemiringan lapisan dan variasi ketebalan yang sedang, yaitu, cenderung terbatas tidak menerus dan relatif tipis dengan parting (pemisah) yang cukup tebal (1–20 cm). Dari rekonstruksi data lapangan diketahui bahwa lapisan batubara mengikuti pola struktur yang ada berupa struktur lipatan. Batubara terdapat pada sayap lipatan yang berupa sinklin.

Pada daerah penelitian ditemukan 5 titik singkapan batubara dengan ketebalan yang cukup tipis berkisar 0,3–0,95 meter dengan pola jurus relatif berarah timurlaut-baratdaya dan kisaran kemiringan lapisan antara 22 –38o, dan memiliki arah kemiringan yang sama.

(11)

No. Kode Sample Posisi Koordinat (longitude-latitudeo) Kedudukan Lapisan Tebal (m) Ketinggian (m dpl) Timur Selatan Strike (N…oE) Dip ( ..o) 1 BB 1 115,3834 -1,75003 200 34 0,95 109 2 BB 2 115,4167 -1,68351 210 30 0,30 92 3 BB 3 115,3502 -1,70012 216 25 0.57 136 4 BB 4 115,3502 -1,71675 220 25 0,48 107 5 BB 5 115,3502 -1,73339 220 22 0,60 100

Tabel 4.2 Data singkapan Batubara daerah penelitian

Dari kelima sampel batubara yang ditemukan tersebut, kemudian dideskripsikan dengan karakter atau kenampakannya seperti tercantum pada tabel di bawah ini.

No. Kode

Conto Deskripsi Batubara

1 BB 1

Lapisan atas : batulempung

Batubara : warna hitam, gores hitam, kilap terang, blocky, keras

Lapisan bawah : batulempung

2 BB 2

Lapisan atas : batulempung

Batubara : warna hitam, gores hitam kecoklatan, kilap terang, blocky, keras

3 BB 3

Lapisan atas : batulempung

Batubara : warna hitam, gores hitam-kecoklatan, kilap terang, belahan tidak teratur, getas

4 BB 4

Lapisan atas : batulempung

Batubara : warna hitam, gores hitam-kecoklatan, kilap terang-tanah, belahan tidak teratur, getas

(12)

5 BB 5

Lapisan atas : batulempung

Batubara : warna hitam, gores hitam-kecoklatan, kilap terang-tanah, belahan tidak teratur, getas

Lapisan atas : perselingan batulempung batupasir Tabel 4.3 Data deskripsi singkapan batubara daerah penelitian.

Berdasarkan lokasi singkapan dan pola penyebaran batubara serta karakter lapisan yang diamati dari lapangan, disimpulkan bahwa di daerah penelitian dijumpai tiga lapisan (seam) batubara dengan variasi ketebalan antara 0,3–0,95 m, antara lain Seam A dan Seam B dan Seam C. Pembagiannya adalah sebagai berikut.

Seam Sample Batubara Deskripsi

A BB-3 ; BB-4 Batubara : warna hitam, gores hitam

kecoklatan, kilap terang-tanah, getas, belahan tidak teratur

Tebal : 0,48–0,57 meter

B BB-2 Batubara : warna hitam, gores hitam

kecoklatan, kilap terang, blocky, keras Tebal : 0,3 meter

C BB-1 ; BB-5 Batubara : warna hitam, gores

hitam-kecoklatan, kilap terang-tanah, belahan tidak teratur, getas

Tebal : 0,6–0,95 meter

Tabel 4.4 Pembagian seam batubara daerah penelitian.

(13)
(14)

4.2.2 Pembagian Seam Batubara

Pada daerah penelitian ditemukan 3 lapisan batubara yaitu: 1. Seam Batubara A

Singkapan batubara ini tersingkap pada lokasi BB-3, BB-4. Batubara ini terdiri atas dua lapisan batubara yang diselingi oleh

parting batulempung karbonan dengan ketebalan 0,2 m. Ketebalan

batubara seam A berkisar antara 0,48–0,57 meter. Kemiringan lapisan sekitar 25o ke arah baratlaut. Ciri-ciri dari batubara Seam A,

yaitu berwarna hitam, gores hitam-kecoklatan, kilap terang-tanah, belahan tidak teratur, getas-mudah hancur.

Foto 4.1 Singkapan BB-3 pada seam A

Seam A Seam B

(15)

2. Seam Batubara B

Singkapan batubara seam B berada di lokasi penelitian pada titik BB-2. Tebal batubara pada seam ini sekitar 0,3 meter, dengan kemiringan lapisan sebesar 30o ke arah baratlaut. Batubara seam ini memiliki ciri-ciri berwarna hitam, gores hitam kecoklatan, kilap terang, belahan teratur, pecahan blocky, serta terdapat pengotor berupa pirit.

Foto 4.3 Singkapan BB-2 pada seam B 3. Seam Batubara C

Singkapan batubara seam C berada di lokasi penelitian pada titik BB-1 dan BB-5. Tebal batubara pada seam ini mencapai 0,6–0,95 meter, dengan kemiringan lapisan sebesar 22-34o ke arah baratlaut.

Batubara seam ini memiliki ciri-ciri berwarna hitam, gores hitam kecoklatan, belahan tidak teratur, keras–getas, dan jarak antar cleat cukup rapat (1-2 cm), serta terdapat pengotor berupa pirit yang jumlahnya semakin banyak.

(16)

Foto 4.4 Singkapan BB-1 pada seam C

Foto 4.5 Singkapan BB-5 pada seam C

4.3 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara di Daerah Penelitian 4.3.1 Analisis Kalori

Analisi kalori dari conto batubara yang ditemukan di daerah penelitian dilakukan dengan analisa unsur proksimat dan ultimat. Analisa kedua unsur tersebut dilakukan melalui uji di laboratorium dengan metode pembakaran untuk mendapatkan kandungan total karbon padat. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:

(17)

Sample

Mass Received

Mass

Received Moisture Ash

Volatile Matter

Fixed

Carbon Sulfur Calori Density Seam (%) (%) (adb %) (adb %) (adb

%)

(adb

%) (adb%) adb daf Kg/m³

BB 1 6,064 16,25 8,34 2,9 41,5 47,26 0,89 6741 7595 1,31 C

BB 2 4,675 6,13 2,42 20,02 38,17 39,39 0,73 6241 8047 1,39 B

BB 3 5,314 10,96 4,56 13 40,13 42,31 0,95 6314 7659 1,38 A

BB 4 5,61 16,86 6,72 6,29 43,56 43,43 0,55 6542 7520 1,31 A

BB 5 6,028 20,21 8,66 1,11 40,56 49,67 1,02 6549 7258 1,31 C

Tabel 4.5 Hasil analisis laboratorium conto batubara daerah penelitian. Tujuan dari analisis proksimat adalah untuk mengetahui kelas (peringkat) batubara. Hasil analisis yang dilakukan dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan adb (air dried basis). Untuk klasifikasi kelas ASTM digunakan basis pelaporan dmmf (dry mineral

matter free). Pada basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara

terbuka, kadar lengasnya secara perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara. Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni. Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf, yaitu:

FC (dmmf) = {( FC – 0,15 x S) 100} [100 – (M + 1, 08 x A + 055 x S)] VM (dmmf) = 100 – FC (dmmf)

CV (dmmf) = {( Btu – 50 x S) 100}

[100 – (M + 1, 08 x A + 055 x S)]

FC = % Karbon Padat (adb) S = % Sulfur (adb)

VM = % Zat Terbang (adb) A = % Abu (adb)

(18)

Seam Conto Batubara FC dmmf (%) VM dmmf (%) CV

Dmmf (Btu) Kelas Batubara

A BB 3 BB 4 52,14 50,29 47,86 49,71 14138,06 13769,51 High Volatile A-B Bituminous B BB 2 51,98 48,02 14971,88 High Volatile A Bituminous C BB1 BB 5 55,10 55,28 44,80 44,72 13873,49 13237,70 High Volatile B Bituminous

Tabel 4.6 Hasil analisis kalori conto batubara

Dari hasil analisis kalori di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM termasuk dalam termasuk dalam High Volatile A dan High Volatile B

4.3.2 Analisis Abu

Abu hasil pembakaran batubara membentuk oksida-oksida sebagai berikut: SiO2, Al2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O, dan K2O.

Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar dan daerah konveksi dalam bentuk abu terbang atau abu dasar. Kandungan abu dapat berasal dari pengotor bawaan (inherent impurities), yang hadir sebagai parting yang cukup tebal maupun pengotor, sebagai hasil penambangan. Pengotor bawaan merupakan pengotor dalam batubara yang berhubungan dengan tumbuhan asal (plant remain) pembentukan batubara dimana tumbuhan asal yang tidak ikut membusuk dapat menjadi sumber dari sulfur organik. Kandungan abu pada batubara yang tinggi akan mengurangi kualitas dari batubara itu sendiri.

Terdapat perbedaan kandungan abu yang cukup signifikan pada seam batubara di daerah penelitian. Adanya perbedaan kandungan abu yang signifikan pada seam tersebut sangat dipengaruhi oleh kehadiran parting lempung pada masing–masing seam. Khususnya pada batubara

(19)

batulempung karbonan yang lebih banyak, yakni tebal parting mencapai 20 cm, sedangkan pada batubara seam C tebal parting atau cleat batulempung karbonan hanya 1-2 cm.

Gambar 4.5 Diagram perbandingan kadar abu tiap seam

Gambar 4.6 Diagram perbandingan kalori (adf) tiap seam

Batubara yang mengandung abu lebih besar (akibat adanya

impurities yang biasanya dari lempung dan sebagainya) akan memiliki

nilai kalori yang semakin kecil. Hal ini dikarenakan pada saat pembakaran dalam analisis batubara, panas yang dikeluarkan habis untuk membakar

(20)

abu, sehingga mengakibatkan turunnya nilai efektifitas dan efisiensi operasi pembakaran.

4.3.3 Analisis Sulfur

Kandungan sulfur dapat menjadi pengotor yang akan mengurangi nilai kalori dari batubara. Jumlah sulfur yang tinggi juga menunjukkan bahwa lingkungan batubara tersebut diendapkan dalam lingkungan yang reduksi dan atau dekat dengan daerah intrusi dengan panas tinggi.

Batubara di derah penelitian pada seam A (BB-1, BB-5) yang terletak pada Satuan Batulempung-Batupasir memiliki kandungan sulfur relatif tinggi lebih karena disebabkan kondisi lingkungan pengendapan yang reduksi. Dimana pada satuan batuan ini banyak diendapkan batulempung yang tidak banyak dipengaruhi oksigen.

Gambar 4.7 Diagram perbandingan sulfur tiap seam

Sedangkan batubara seam A dan B (BB-3, BB-4 dan BB-2) termasuk dalam Satuan Batupasir yang diendapkan di lingkungan fluvial, tetapi memiliki kandungan sulfur yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kondisi reduksi pada saat pengendapan relatif tidak berpengaruh. Akan tetapi adanya struktur yang mengakibatkan perubahan di bagian barat daerah penelitian yang lebih bisa menjelaskan faktor adanya kandungan sulfur yang tinggi.

(21)

4.4. Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian

Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan dan dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara merupakan sumberdaya batubara yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya, kuantitas, kualitas dan ekonomis untuk ditambang. Terdapat empat metode yang biasa digunakan dalam perhitungan sumberdaya batubara, yaitu: Metode Penampang, Metode Circular USGS, Metode Blok, dan Metode Poligon

Pemakaian metode tersebut disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh, dan kondisi lapangan serta metode penambangan. Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara di daerah penelitian adalah metode Circullar USGS. Hal ini dikarenakan sedikitnyanya data singkapan yang diperoleh pada daerah penelitian, dan besar kemiringan lapisan batubara ≤ 30°.

Secara umum, untuk menghitung sumberdaya batubara adalah dengan menggunakan metode circular USGS (Wood dkk, 1983) adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara

2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara, dimana: a. Daerah yang berada pada radius 0–400 m merupakan

sumberdaya terukur (measurd resouces).

b. Daerah yang berda pada radius 400–1200 m merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated rsources).

c. Daerah yang berada pada radius 1200–4800 m merupakan sumberdaya terkira (inferred resouces).

3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode

Circular USGS (Wood dkk, 1983) sebelumnya, maka akan didapat

(22)

perpotongan tersebut akan menghasilkan cadangan daerah yang akan dihitung jumlah sumberdayanya.

4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah

penyelidikan mengacu pada metode Circular USGS (Wood dkk, 1983), dimana aturan perhitungan ini berlaku untuk kemiringan lapisan batubara lebih kecil atau sama dengan 30º, sedangkan untuk batubara yang kemiringannya lebih dari 30º, adalah dengan cara memproyeksikan radius lingkaran tersebut ke atas permukaan (Gambar 4.7)

5. Adapun rumus peritungan adalah:

a. Untuk kemiringan (α̉) < 30º

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x Berat Jenis (ton/m3)

b. Untuk kemiringan (α) > 30º

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x cos α x Berat Jenis (ton/m3)

(23)

Gambar 4.9 Perhitungan sumberdaya pada kemiringan lapisan batubara

(Wood dkk,1983)

Dalam perhitungan sumberdaya batubara di daerah penelitian dibagi ke dalam tiga seam, yaitu seam A, Seam B, dan seam C, yang penulis sajikan dalam bentuk Peta Perhitungan Sumberdaya Endapan Batubara Seam A dan Seam B.

Sumberdaya (measured resources) daerah penelitian sebesar 747.754,22 ton. Sedangkan untuk perhitungan terkira (indicated

resources) sebesar 4.057.156,32 ton. Perhitungan sumberdaya secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Seam Lokasi Area ( m r = 400 m 2) Tebal (m) Dip ( 0) Berat Jenis Sumberdaya (kg/m³) Terukur (ton)

A BB3 111.800,00 0,57 25 1,38 79.702,41 BB4 206.200,00 0,48 25 1,31 117.510,56 B BB2 254.100,00 0,3 30 1,39 91.763,79 C BB1 257.200,00 0,95 34 1,31 265.362,82 BB5 265.400,00 0,6 22 1,31 193.414,63 Total 747.754,22

(24)

Seam Lokasi Area ( m

2) Tebal

(m)

dip ( 0)

Berta Jenis Sumberdaya r = 1200 m (kg/m³) Tertunjuk (ton) A BB3 408.200,00 0,57 25 1,38 291.006,48 BB4 321.600,00 0,48 25 1,31 183.275,45 B BB2 1.674.000,00 0,3 30 1,39 604.535,96 C BB1 1.794.000,00 0,95 34 1,31 1.850.936,64 BB5 1.547.000,00 0,6 22 1,31 1.127.401,79 Total 4.057.156,32

Tabel 4.8 Perhitungan sumberdaya tertunjuk batubara. 4.4. Prospek dan Pengembangan Batubara

Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, hanya dapat ditemukan 5 singkapan batubara dan dibagi dalam 3 seam dengan ketebalan sekitar 0,3–0,95 meter. Batubara tersebut merupakan sisipan tipis dalam Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung-Batupasir. Prospek pengembangan batubara di daerah penelitian dapat dilakukan dengan melihat analisis proksimat dan ultimat serta perhitungan sumberdaya.

Berdasarkan pertimbangan parameter untuk dapat ditambang atau tidaknya suatu cadangan batubara, dikenal metode ‘Stripping Ratio’, yaitu perbandingan antara volume insitu endapan batubara (dalam ton) dan volume insitu overburden (dalam m3), nilai ‘Stripping Ratio’ (S.R).

‘Stripping Ratio’ (S.R) = Volume Batubara (m3) x Berat Jenis (ton/m3)

Volume Overburden (m3)

Dari kenampakan morfologi di daerah penelitian yang berbukit-bukit dengan kemiringan topografi relatif terjal serta keberadaan endapan batubara yang berada di bawah Satuan Batugamping yang masif dan relatif tebal, menunjukkan bahwa volum overburden nya cukup besar, sehingga akan memperbesar biaya produksi apabila dilakukan penambangan.

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa batubara di daerah penelitian potensial untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Tetapi perlu mempertimbangkan ketebalannya seam batubara yang relatif tipis

Referensi

Dokumen terkait

Balam Net reali/able value accounting atribut yang dinilai adalah jumlah uang &gt;kas atau sejenisnya yang akan diperoleh dengan menjual aktiva sekarang atau jumlah uang yang

Produk jeans dikenal memiliki umur panjang maksudnya, kain jeans memiliki daya tahan yang lebih awet dibandingkan produk berbahan dasar dari kain, lurik, batik dan

Kontrak perencanaan teknis jalan tol antara Badan Usaha Jalan Tol dan konsultan peren- cana mengandung prestasi yang mengandung unsur publik yang merupakan bagian

Program Studi D3 Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember bahan bakar. Tarif pengisian bahan bakar tergantung pada jumlah kendaraan

steady state untuk menentukan jumlah kanban yang digunakan untuk setiap tipe part pada setiap stasiun kerja dalam sistem JIT.. Model ini kemudian memilih a yang tepat pada

Pelayanan laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan di Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon dalam bentuk pengujian sampel uji baik kualitas air maupun identifikasi hama dan

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan

[r]