• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penelitian ini hendak membahas persoalan konflik etnis dan upaya kerja sama regional ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) dalam menangani konflik. Sebagaimana diketahui, ASEAN sebagai organisasi kawasan di Asia Tenggara memberi banyak harapan bagi terjalinnya hubungan internasional di kawasan yang semakin stabil. Sebagai bentuk kerja sama kawasan, ASEAN dianggap sebagai salah satu instrumen yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan kawasan. 1 Keberhasilan ASEAN diperiode awal pendiriannya diidentifikasi karena adanya diplomasi ASEAN yang menekankan pada musyawarah mufakat, dan prinsip non-intervensi.2

Penelitian ini, secara spesifik hendak membahas upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik internal suatu negara dan pengaruh eksistensi prinsip non-intervensi dalam penyelesaian konflik. Adapun isu yang akan digunakan sebagai alat bantu analisis adalah persoalan Rohingya di Myanmar. Konflik Rohingya merupakan permasalahan klasik bagi ASEAN. Konflik ini telah berlangsung sejak sebelum Myanmar bergabung dengan ASEAN.

Rohingya merupakan nama sebuah etnis yang mendiami wilayah Arakan3, sebelah barat Myanmar dan berbatasan langsung dengan Bangladesh. Etnis Rohingya merupakan satu dari 135 etnis yang ada di Myanmar. Etnis Rohingya mendapatkan predikat dari PBB sebagai the most persecuted minority dan mendapatkan julukan sebagai the Gypsies of Asia.4 Predikat tersebut muncul

1

M. Leifer, „Review works: ASEAN and The Diplomacy of Accomodation by Michael Antolik‟, Royal Institute of International Affair, Vol.67, No.3, 1991, p. 628.

2 T.I. Nischalke, „Insight From ASEAN‟s Foreign Policy Co-operation: The “ASEAN Way”, a Real Spirit or a Phantom?‟, Institute of Southeast Asian Studies, Vol. 22, No.1, April 2000, p.90.

3 Negara bagian Arakan juga dikenal dengan nama Rakhine. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan nama Arakan untuk menyebut wilayah ini, mengingat nama Arakan dianggap netral karena tidak merujuk pada etnis manapun.

4

B. Philip, „The Most Persecuted Minority in the World: The Gypsies of Asia‟, The

World Crunch (daring), 26 Juni 2012, dalam

(http://www.worldcrunch.com/most-persecuted- minority-world-gypsies-burma/world-affairs/the-most-persecuted-minority-in-the-world-the-gypsies-of-burma/c1s5701/), diakses 23 Desember 2013.

(2)

2

karena etnis ini banyak mendapatkan tindak diskriminasi baik dilakukan oleh warga atau bahkan oleh pemerintahnya. Etnis Rohingya memang bukan satu-satunya etnis yang mendapatkan tindakan diskriminasi, etnis lain seperti Christian Karen, Chin, Kachin dan Mon5 juga mendapatkan perlakuan diskriminasi. Namun, yang membedakan, hanya etnis Rohingya yang tidak diakui sebagai warga negara Myanmar.

Pada era pemerintahan Thein Sein yang menjabat sebagai presiden sejak 30 Maret 2011, etnis ini juga masih mendapatkan tindakan diskriminasi. Presiden Thein Sein bahkan tidak menunjukkan niatnya untuk segera menyelesaikan konflik ini. Pemerintahan Thein Sein mengakui Rohingya sebagai Illegal Bengali, dan merupakan salah satu etnis Bangladesh yang masuk ke dalam wilayah Myanmar secara illegal. Dalam salah satu wawancaranya, Thein Sein berargumen

“to use the term Rohingya, in our ethnic history we do not have term Rohingya.”6

Hal tersebut menunjukkan bahwa Thein Sein menganggap Rohingya bukan bagian dari etnis grup yang dimiliki Myanmar.

Pada Juni tahun 2012 terjadi peningkatan eskalasi konflik antara etnis Rakhine dan etnis Rohingya terkait adanya tuduhan pemerkosaan terhadap wanita etnis Rakhine.7 Tiga hari setelah kejadian tersebut, sejumlah 300 warga etnis Rakhine menyerang bus yang ditumpangi warga etnis Rohigya dan menewaskan 10 orang. Sejak kejadian tersebut, sekitar 100.000 warga etnis Rohingya terlantar dan mencari suaka.8 Pada 23 Oktober 2012 terjadi penyerangan yang dikoordinasi oleh pemerintah Myanmar, Ethnic Rakhine Nasionalist Party, dan Pendeta Buddha. Portal berita Aljazeera memberitakan, sekitar 5.000 bangunan milik etnis

5 M. Razvi, „The Problem of Burmese Muslims‟, Pakistan Horizon, Vol. 31, No. 4, 1978, p. 82.

6

M. Zarni, „British aid for Myanmar ethnic cleansing‟, Asia Times (daring), 19 Juli 2013, dalam (http://www.atimes.com/atimes/Southeast_Asia/SEA-01-190713.html), diakses 23

Desember 2013.

7 B. Brady, „Burma‟s Rohingya Muslims Targeted by Buddhist Mob Violence‟, The

Daily Beast (daring), 27 Juni 2012, dalam

(http//:www.thedailybeast.com/articles/2013/06/27/burma-s-rohingya-muslims-targeted-by-buddhist-mob-violence.html) diakses 19 desember 2013.

8 Y. R. Kassim, „Plight of the Rohingya: ASEAN Credibillity again at stake‟, RSIS

(3)

3

Rohingya rusak akibat tindak represi tersebut. Setidaknya sekitar 70 warga Rohingya, termasuk 28 anak-anak terbunuh di Mrauk-U township.9

Terlepas dari diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintahnya, persoalan Rohingya di Myanmar menjadi tantangan pembuktian kredibilitas ASEAN. Sebagai organisasi regional kawasan Asia Tenggara, ASEAN memiliki urgensi besar dan berperan dalam penyelesaian konflik Rohingya. Namun, penyelesaian di bawah mekanisme ASEAN ini masih memiliki beberapa hambatan, misalnya prinsip non-intervensi yang dipegang oleh ASEAN dan negara anggotanya. Prinsip non-intervensi ini melarang negara anggota ASEAN untuk mengintervensi permasalahan domestik suatu negara. Dalam penelitian ini, pembahasan mengenai intervensi mengarah pada intervensi politik.

Di satu sisi, adanya prinsip non-intervensi memberikan kelonggaran dan kebebasan bagi negara untuk mengatur penyelenggaraan negara. Negara mendapatkan kewenangan penuh atas pengaturan dalam negerinya tanpa khawatir akan adanya campur tangan dari negara lain. Namun, di sisi lain, prinsip ini menjadikan ASEAN kurang dapat memiliki kewenangan untuk memberikan mekanisme-mekanisme tertentu dalam beberapa kasus. Sehingga, Jorn Dosch, seorang peneliti Asia Pasific studies, Leeds University, mengatakan bahwa organisasi seperti ASEAN terlihat baik dalam peraturan, tetapi buruk dalam implementasinya (Good on papers, lack of implementation).10

Beberapa negara ASEAN seperti Indonesia dan Malaysia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, turut memberikan tekanan kepada Myanmar. Indonesia misalnya, melalui menteri luar negerinya, Indonesia mendorong Myanmar untuk memberikan status legal terhadap etnis Rohingya. Peran aktor negara anggota ASEAN ini pun, menjadi hal yang dilematis bagi mereka. Meskipun, keperluan untuk mengintervensi kasus Rohingya ini menjadi kebutuhan besar bagi penyelesaian konflik. Namun, beberapa negara anggota

9 Aljazeera, Report Documents „Rohingya Persecution‟ (daring), 23 April 2013, dalam (http://www.aljazeera.com/news/asia-pacific/2013/04/2013421135240814468.html), diases 23 Desember 2013.

10 D. Jorn, „The Concept and Management of Non-Traditional Security in Southeast Asia‟, Themenschwerpunkt, Vol.4, 2006, p. 184

(4)

4

ASEAN yang masih mempunyai permasalahan yang sama, terkait dengan penghormatan hak asasi manusia dan diskriminasi, juga merasa khawatir ketika permasalahan seperti ini menjadi pengecualian bagi penerapan prinsip non-intervensi sehingga muncul ke khawatiran akan adanya non-intervensi di negaranya.

ASEAN memberikan peringatan atas penolakan pemerintah Myanmar untuk memberi status legal terhadap Rohingya. ASEAN beranggapan bahwa dengan ditolaknya pengakuan tersebut dikhawatirkan akan memperburuk ketegangan inter-komunal dan memperluas tindak kekerasan. Hal di atas merupakan salah satu contoh keterlibatan ASEAN dalam kasus ini. Peran ASEAN dianggap masih terhambat, karena di level ASEAN, konflik ini masih diidentifikasi sebagai urusan dalam negeri Myanmar, sehingga intervensi dari ASEAN maupun negara anggota justru akan mencederai prinsip non-intervensi

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan dua pertanyaan penelitian: (1) Apa upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik Rohingya di Myanmar? dan (2) Bagaimana prinsip non-intervensi ASEAN memengaruhi upaya ASEAN dalam penyelesaian konflik Rohingya?

C. Landasan Konseptual

Untuk memahami persoalan di atas, hendak diajukan konsep mengenai

prinsip non-intervensi ASEAN. Prinsip non-intervensi merupakan salah satu

prinsip yang dipegang oleh ASEAN yang disebut sebagai ASEAN Way11. Prinsip non-intervensi menjadi salah satu hal yang perlu dikaji lebih dalam untuk melihat peran ASEAN dalam penyelesaian persoalan di kawasan ini. Oleh karena itu, prinsip ini akan menjadi konsep utama yang digunakan dalam menganalisis dua pertanyaan penelitian di atas.

11 ASEAN Way merupakan cara ASEAN dalam menanggapi dan menyikapi isu di kawasan. ASEAN way menekankan adanya norma-norma seperti musyawarah mufakat (konsensus) dan prinsip non-intervensi dalam hubungan di kawasan serta mendorong negara anggota untuk bekerja sama dengan cara dialog dan konsultasi. Baca I. Halina, „Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN‟, Multiversa: Journal of International Studies, Vol. 1, No.1, 2011, p.8.

(5)

5

Prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang menjamin pengakuan kedaulatan negara anggota, juga jaminan perlindungan dari campur tangan suatu negara anggota terhadap politik domestik negara anggota lainnya.12 Sedangkan menurut Amitav Acharya, prinsip ini memberi kebebasan bagi setiap negara untuk mengurusi urusan dalam negerinya tanpa adanya campur tangan dari negara lain yang akan menodai prinsip kebebasan, kemerdekaan, dan integritas suatu negara.

“it also recognised the right of every state, large or small, to lead its existence free from outside interference in its internal affairs

as this interference will adversely affect its freedom, independence, and integrity”13

Prinsip ini muncul dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), 24 Februari 1976:

In their relations with one another, The High Contracting Parties shall be guided by the following fundamental principles:

(a) Mutual respect for independence, sovereignity, equality, territorial integrity, and national identity of all nations; (b) The Right of every states to lead its national existence free

from external interference, subversion or coercion; (c) Non-interference in the internal affairs of one another;14

Dalam pasal 2 TAC, disebutkan bahwa dalam menjalin hubungannya dengan sesama anggota, didasarkan pada prinsip fundamental yaitu: (a) menghormati kebebasan, kedaulatan, kesamaan, kesatuan wilayah dan identitas nasional setiap bangsa; (b) setiap negara memiliki hak untuk mengatur penyelenggaraan negaranya, bebas dari intervensi eksternal; (c) adanya prinsip non-intervensi dalam hubungan internal sesama anggota. Adanya pasal tersebut menguatkan eksistensi prinsip non-intervensi dalam kerangka kerja sama ASEAN.

Dalam literatur hubungan internasional, prinsip non-intervensi diduga berasal dari adanya Westphalia Treaty yang ditandatangani pada tahun 1648 dan menjadi tonggak sejarah lahirnya negara-bangsa serta memunculkan sistem

12 I. Halina, „Menyoroti Prinsip Non-Intervensi ASEAN‟, Multiversa: Journal of

International Studies, Vol. 1, No.1, 2011, p.14.

13 A. Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and The

Problem of Regional Order, Routledge, London, 2001, p. 57.

14

(6)

6

internasional yang lebih modern. Doktrin Westphalian, sebagai hasil dari perjanjian ini, meliputi prinsip penghormatan atas kedaulatan suatu negara dan hak untuk menentukan nasib sendiri suatu bangsa, prinsip kesamaan di depan hukum bagi setiap negara, dan prinsip non-intervensi atas urusan internal negara lain. Prinsip non-intervensi ini kemudian diterapkan oleh PBB sebagaimana tercantum dalam piagam PBB

Pada awal pembentukan ASEAN, prinsip ini berfungsi untuk menciptakan perdamaian, stabilitas, kemajuan dan kesejahteraaan bersama kawasan. Melihat sejarah kondisi kawasan Asia Tenggara pada waktu itu, dimana terdapat banyak perselisihan, fungsi ini diharapkan dapat menyatukan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah wadah ASEAN. Selain itu, prinsip non-intervensi ini berfungsi untuk meredam sikap saling curiga sesama negara anggota. Hilangnya rasa kecurigaan ini memunculkan sikap saling percaya antar anggota ASEAN. Hal inilah yang kemudian diduga menjadi pencegah terhadap munculnya konflik terbuka diantara negara. Bagi banyak negara anggota ASEAN, ide penerapan prinsip non-intervensi ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, menjadi mekanisme penting dalam menjaga kekuatan dominan dalam konteks perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua, sebagai jaminan keamanan, kedaulatan dan kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.15

Munculnya prinsip non-intervensi ini dilatar belakangi oleh beberapa konteks, sebagai berikut:

1. Konteks Diplomasi Internasional

Sejarah munculnya prinsip non-intervensi ini diwarnai dengan adanya konflik antar negara. Dari perspektif sejarah tahun 1960an, hubungan antara negara kawasan Asia tenggara masih dipenuhi dengan konflik. Konflik tersebut misalnya, Malaysia – Filipina terkait perbatasan Sabah; konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia terkait politik ideologi dan dispute territory di Kalimantan; Malaysia – Singapura terkait keluarnya Singapura dari federasi Malaysia; dan

15 L. Wu, „East Asia and The Principe of Non-Intervention: Policies and Practices‟,

(7)

7

Malaysia – Thailand terkait dengan perbatasan dan suku muslim Pattani.16 Oleh karena itu, prinsip non-intervensi ini dibutuhkan guna membentengi rasa kekhawatiran akan adanya campur tangan negara anggota lainnya dalam kerangka kerja sama ASEAN. Sejarah negara pendiri ASEAN yang diwarnai dengan konflik membutuhkan adanya jaminan non-intervensi dalam hubungannya di kawasan.

Selain itu, dalam konteks diplomasi internasional, pada waktu itu ASEAN dibentuk dalam rangka membentengi pengaruh komunis yang mulai datang ke negara-negara Asia Tenggara. Hal tersebut dapat dilihat dari pendudukan Uni Soviet di Vietnam utara hingga terjadi Perang Vietnam. Oleh karena hal tersebut, prinsip non-intervensi mutlak dibutuhkan untuk membentengi kekuatan dan campur tangan negara (baik negara anggota maupun negara non-anggota) terhadap urusan domestiknya.

2. Konteks Institusional

Dalam konteks institusional, pendiri ASEAN, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand merupakan bekas negara jajahan (kecuali Thailand), dan masih mempunyai kekhawatiran akan intervensi negara penjajahnya. Negara-negara yang baru merdeka tersebut juga sedang membangun nation-building-nya baik melalui integrasi bangsa maupun integrasi wilayah. Oleh karena itu, kedaulatan dan jaminan untuk tidak ikut campur urusan masing-masing menjadi hal mutlak yang harus dimiliki oleh ASEAN.

Ethnic secessionist demands threatening territorial integrity, and communist insurgency challenging regime security. 17 As

such, they supported mutual nation-building efforts by

16 L. Jones, „ASEAN and the Norm of Non-interference in Southeast Asia: A Quest of Social Order‟, Nuffield College Politics Group Working Paper, March 2009, p.12-17.

17 Collins, A. dalam Security and Southeast Asia: Domestic, Regional, Global Issues, yang juga tercantum dalam D.H. Poole, „Cooperation in Contention: The Evolution of ASEAN Norms‟, YCISS working Paper No.4, 2007, p. 4

(8)

8

recognizing each other‟s independence and sovereignty, and agreeing not to interfere in each other‟s internal affairs.”18

Negara-negara yang baru mendapat kemerdekaan, masih dipenuhi dengan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di dalam negerinya. Melalui kerja sama ASEAN, negara anggota diharapkan saling memberikan dukungan terhadap nation-buliding dengan menghormati kemerdekaan dan kedaulatan serta persetujuan untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri masing-masing negara. Hal-hal di atas lah yang kemudian menjadi pendorong munculnya prinsip non-intervensi yang juga diterapkan di ASEAN.

3. Konteks Filosofis

Dari segi filosofis, pendiri ASEAN waktu itu adalah orang-orang dengan pemikiran konservatif seperti Yusof Ishak (Singapura), Tunku Abdul Rahman (PM Malaysia), Thanom Kittikachorn (PM Thailand), Ferdinand Marcos (Presiden Filipina) dan Soekarno (Presiden Indonesia). Kejiwaan tokoh-tokoh yang menganggap kedaulatan dan nation-building sangat dibutuhkan menjadikan prinsip ini perlu diterapkan di ASEAN. Tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh yang menolak adanya campur tangan asing terhadap urursan dalam negerinya. Selain itu pula, Thanom Kittikachorn juga merupakan tokoh anti-komunis, sehingga pemikiran tersebut sedikit banyak memengaruhi eksistensi prinsip non-intervensi. Pemikiran konservatif ini ikut memengaruhi munculnya ide prinsip non-intervensi sebagai fondasi utama ASEAN.

Menurut Amitav Acharya ada 4 aspek dalam penerapan prinsip non-intervensi, yaitu:

1. Menahan diri untuk tidak mengkritik tindakan negara anggota terhadap rakyatnya sendiri

2. Mengecam negara anggota yang melanggar prinsip non-intervensi

18 D.H. Poole, „Cooperation in Contention: The Evolution of ASEAN Norms‟, YCISS working Paper No.4, 2007, p. 4

(9)

9

3. Menolak untuk mengakui, memberi perlindungan atau bentuk dukungan lainnya kepada kelompok pemberontak yang berusaha untuk mengacaukan atau menjatuhkan pemerintahan dari suatu negara anggota

4. Memberikan dukungan politik dan bantuan material untuk negara anggota dalam kampanye melawan kegiatan yang subversif.19

Prinsip non-intervensi telah menjadi dasar fundamental bagi hubungan antaranggota ASEAN. Nilai positif dari adanya prinsip ini yaitu mencegah dan meminimalisir terjadinya konflik antara negara anggota ASEAN. Diplomasi yang berlandaskan prinsip non-intervensi setidaknya berhasil meredam potensi konflik di kawasan.

Terlepas dari sisi positifnya, prinsip non-intervensi tidak terlepas dari perdebatan. Prinsip ini dinilai menjadi hambatan bagi ASEAN untuk berperan signifikan dalam penyelesaian konflik di kawasan Asia Tenggara. Prinsip ini dianggap memberikan batasan bagi ASEAN dan negara-negara anggotanya untuk berperan aktif dalam dinamika regional Asia Tenggara. Konsekuensi seperti inilah yang didapat oleh ASEAN atas penerapan prinsip non-intervensi yang dianggap kurang responsif dalam menanggapi dinamika di kawasan Asia Tenggara.

Konsep tambahan yang akan digunakan dalam menganalisis respon pemerintah negara anggota ASEAN terhadap konflik Rohingya dan dikaitkan dengan politik domestiknya adalah konsep politik luar negeri menurut perspektif

liberal.

Menurut Charles W. Kegley dalam World Politics:

when we speak generically about foreign policy and the decision-making processes that produce it, we mean the goals that official heading states(and all other transnational actors)

seek abroad, the values that underlie those goals and the means and instruments used to pursue them.20

Penafsiran umum dari penjelasan Charles W. Kegley tersebut bahwa politik luar negeri dapat dikatakan sebagai kebijakan suatu negara yang ditujukan untuk negara lain atau masyarakat internasional dan diformulasikan untuk kepentingan

19 A. Acharya, p. 58

20 C.W. Kegley, World Politics: Trend and transformation, 11th Edition, Thomson Wadsworth, Boston, 2008, p. 56

(10)

10

nasional sebuah negara. Politik luar negeri merupakan bentuk tindakan dari suatu negara dalam merespon kondisi lingkungan dan kebijakan negara lain yang tentunya telah dikalkulasikan untung dan ruginya. Dalam hal ini, Politik luar negeri dapat didefinisikan sebagai sebuah serangkaian strategi dalam mencapai kepentingan nasional. Dapat diartikan juga sebagai sebuah pendekatan yang digunakan oleh suatu negera untuk mencapai kepentingannya dalam melakukan hubungan dengan masyarakat internasional.

Politik luar negeri ini ditetapkan sebagai cara sistematis untuk menangani masalah-masalah yang mungkin timbul dalam melakukan hubungan dengan aktor eksternal (di lingkungan internasional). Pada dasarnya, Politik luar negeri ini dirumuskan karena adanya keinginan untuk memproteksi tujuan dari suatu negara, juga merupakan efek dari politik internasional yang juga memengaruhi keamanan sebuah negara, dan merupakan tantangan baru dalam politik dunia yang semakin terpengaruh arus globalisasi.

Ruang lingkup analisa politik luar negeri:

1. The influences of foreign policy (hal-hal yang memengaruhi pembuatan politik luar negeri). Termasuk dalam kategori ini adalah aspek kemampuan ekonomi atau militer; kondisis geografis; penduduk; sistem politik; sistem internasional; globalisasi.

2. The decision making process (proses pembuatan politik luar negeri). Proses pembuatan politik luar negeri ditentukan oleh: struktur konstitusi dan institusi negara; komposisi dan sirkulasi elite pembuat kebijakan; interaksi dan hubungan antar-elite pembuat kebijakan; dan, nilai, kepribadian para pembuat kebijakan.

3. The implementation of foreign policy (pelaksanaan politik luar negeri). Pelaksanaan politik luar negeri menyangkut bagaimana dan dengan cara apa kebijakan diubah menjadi tindakan. Selin itu, berkaitan pula dengan kesesuaian antara tindakan dan prinsip politik luar negeri suatu negara.

Respon dan upaya dari negara anggota ASEAN, secara spesifik akan dianalisa dengan menggunakan konsep politik luar negeri menurut perspektif liberal. Politik luar negeri dalam perpektif liberal menekankan pada perlunya

(11)

11

aspek domestik dalam memformulasikan kebijakan luar negeri. Dalam pandangan kaum liberal, analisa politik luar negeri suatu negara dapat diamati dari kondisi domestik suatu negara. Analisa politik luar negeri sebuah negara menurut perspektif liberal ditekankan pada pengamatan dari gagasan individu, kekuatan sosial dan institusi politik dalam suatu negara yang secara langsung akan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan.21

Pandangan tersebut diperkuat dengan pendapat dari Hanrieder. Menurut Hanrieder, studi politik luar negeri berada di persimpangan antara aspek domestik dan aspek internasional suatu negara. Oleh karena itu, politik luar negeri tidak dapat dipisahkan dari struktur dan politik domestik dalam negeri suatu negara.22 Sehingga, politik luar negeri suatu negara mencerminkan persoalan dalam negeri negara tersebut.

Dalam penelitian ini, konsep dasar politik luar negeri menurut perspektif liberal akan digunakan untuk meneliti respon negara anggota terhadap persoalan Rohingya. Respon negara anggota akan dikorelasikan dengan kondisi domestik negara anggota yang secara langsung akan berpengaruh terhadap politik luar negerinya dan kebijakannya dalam merespon isu Rohingya di Myanmar.

D. Hipotesis

Kerja sama ASEAN yang didasarkan pada prinsip non-intervensi diduga menjadi kendala bagi keleluasaan ASEAN dalam merespon dinamika di kawasan. Hal tersebut, bisa dilihat dari upaya penyelesaian konflik Rohingya di Myanmar. ASEAN kurang berperan aktif dalam penyelesaian konflik. Upaya yang dilakukan ASEAN ditunjukkan dengan ajakan ASEAN untuk membentuk forum khusus maupun pembentukan tripartite talks. Namun, upaya tersebut mendapat penolakan oleh Myanmar. Sehingga ASEAN gagal membawa konflik Rohingya sebagai isu regional yang penting untuk dibahas dan diselesaikan dalam kerangka ASEAN. Selain itu, masing-masing negara anggota ASEAN masih memiliki

21

S. Smith, A. Hadfied & T. Dunne (ed), Foreign Policy: Theories, Actor, Cases, Oxford University Press, Oxford, 2008, pp. 49-70.

22 W. F.Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays, David McKay Co., New York, 1971, p. 22.

(12)

12

permasalahan yang sama mengenai penghormatan hak asasi manusia, dan diskriminasi, sehingga ketika upaya seperti ini menjadi pengecualian bagi penerapan prinsip non-intervensi atau diselesaikan dalam kerangka ASEAN, maka dikhawatirkan akan berdampak pada adanya tindak campur tangan aktor tertentu (ASEAN) di dalam negerinya.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini akan terdiri dari lima bab. Bab pertama, pendahuluan, membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis dan sistematika penulisan dari skripsi ini. Bab kedua akan menggambarkan seluk-beluk mengenai etnis Rohingya. Termasuk dalam bab ini adalah paparan tentang awal kedatangan/sejarah Rohingya di Myanmar, perdebatan sejarah, pelanggaran HAM yang didapat oleh Rohingya dan perkembangan konflik Rohingya di era kontemporer. Bab ketiga membahas upaya ASEAN dan negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan kasus ini. Bab keempat membahas mengenai pengaruh prinsip non-intervensi ASEAN dalam penyelesaian kasus Rohingya. Bab ini berusaha untuk menganalisis bagaimana prinsip non-intervensi memengaruhi peran ASEAN dalam menyelesaiakan persoalan Rohingya, juga bagaimana prinsip ini menjadi dilema bagi ASEAN, dan menjelaskan lemahnya lembaga dan legislasi yang dibentuk oleh ASEAN. Bab kelima berisi kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Menyikapi tindakan brutal rezim Qadaffi, Dewan Keamanan PBB sebagai organisasi strategis yang banyak menangani konflik internasional, kemudian mengeluarkan Resolusi

Di tengah perjalanan kehidupan jemaat GPIB Pniel (Majelis Jemaat GPIB Pniel Pasuruan, 2006:70-71), beragam permasalahan yang dihadapi, namun mendorong jemaat

Faktor kesulitan informan untuk berhenti merokok adalah diri sendiri (tidak ada keinginan yang kuat dari dalam), lingkungan, teman sebaya, orang yang menjadi panutan,

Pada hasil penelitian, ditemukan lima jenis strategi kesantunan dalam penggunaan ungkapan perintah yakni melakukan tindakan pengancaman muka dengan apa adanya (

Pada tahap ini sebagian besar siswa juga tidak menuliskan penyelesaian masalahnya, hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada siswa RC, dikarenakan siswa

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dijelaskan secara deskriptif untuk mengetahui gambaran tentang “ bagaimana strategi manajemen penyiaran radio dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/ PUU-X/2012 yang hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Peraturan Menterti Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang

karena itu, bisa saja terjadi provinsi yang semula tingkat PDRB per kapitanya lebih tinggi dari rata-rata nasional akan menjadi lebih rendah, kendati laju pertumbuhannya masih