• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Independen Komite Teknik. Ringkasan Lengkap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Independen Komite Teknik. Ringkasan Lengkap"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Komite Teknik

Ringkasan Lengkap

(2)

John Raison

1

(Chair), Philippa Atkinson

2

, Jerome Chave

3

,

Ruth DeFries

4

, Goh Kah Joo

5

, Hans Joosten

6

, Peter

Navratil

7

, and Florian Siegert

8

1.

The Mullion Group, Canberra (mantan Chief

Research Scientist, Australian Commonwealth

Scientific & Industrial Research Organisation).

2.

Penulis, konsultan, dan peneliti independen

dengan spesialisasi sub-kawasan Liberia dan Afrika

Barat. Menetap di Singapura.

3.

Université Paul Sabatier, Toulouse.

4.

Columbia University, New York.

5.

Applied Agricultural Resources Sdn Bhd, Malaysia.

6.

Greifswald Mire Centre, University of Greifswald,

Greifswald.

7.

Remote Sensing Solutions GmbH, Munich.

(3)

Salah satu pertanyaan besar yang sedang kita hadapi adalah bagaimana mengurangi dan mengakhiri deforestasi tropis, menjawab kebutuhan untuk mengakhiri kemiskinan kronis, dan merespon semakin tingginya permintaan minyak goreng. Sebab, kondisi ini telah membuat banyak negara berpaling pada tanaman seperti kelapa sawit dengan mengonversi area hutan. Kami yakin metodologi HCS+ yang dijelaskan dalam laporan ini dapat membawa kita satu langkah lebih maju menuju jawaban atas pertanyaan tersebut.

Selama beberapa dasawarsa ke depan, negeri dengan hutan tropis akan menghadapi tekanan yang lebih besar akibat ekspansi budidaya kelapa sawit dan tanaman lain. Sektor kelapa sawit menunjukkan pertumbuhan yang kuat selama sepuluh tahun terakhir dan akan terus bertambah kuat.1 Peningkatan produktivitas, khususnya di kalangan petani kecil, akan didorong untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi, tekanan untuk membuka lahan baru tidak dapat dihindari, meskipun kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan menanami lahan yang sudah kritis.

Konversi lahan apa pun wajib dilakukan secara berkelanjutan agar menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial bagi

masyarakat setempat, sekaligus menghindari kerusakan lingkungan yang tidak dapat diterima. Jika dilakukan dengan baik, konversi hutan tropis menjadi perkebunan sawit yang stok karbonnya rendah, dapat berkontribusi nyata terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Jika sebaliknya, maka konversi semacam itu akan menghasilkan akibat sosial yang buruk seperti hilangnya hak dan mata pencaharian. Konversi yang tidak dilaksanakan dengan baik juga mengakibatkan punahnya keanekaragaman hayati, kerusakan terhadap tanah dan air, serta emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Kajian ini mengacu pada studi lain yang ditujukan untuk meningkatkan keberlanjutan produksi minyak sawit melalui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Proses sertifikasi yang dilaksanakan secara sukarela ini mencakup penilaian High Conservation Value (HCV); memastikan diperolehnya Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dari komunitas setempat dan kajian dampak sosial serta lingkungan lainnya.

Penelitian ini fokus pada proses tingkat konsensi, tetapi dalam konteks lanskap yang lebih luas serta menjadikan Asia Tenggara, Afrika Barat serta Tengah sebagai fokus geografisnya.

Metodologi HCS+ menawarkan kriteria untuk mengidentifikasi hutan dan tanah yang tidak boleh dikonversi menjadi

perkebunan sawit--untuk melindungi fungsi ekosistem. Area yang tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut boleh dikonversi. Akan tetapi, HCS+ mengusulkan bahwa pada tingkat konsesi, hilangnya karbon akibat konversi tersebut harus diimbangi dengan bertambahnya karbon untuk mempertahankan netralitas karbon di seluruh konsesi secara utuh.

Bagian 1: Dasar Konsep Metodologi HCS+

Metodologi HCS+ menekankan secara kuat pembatasan emisi karbon di dalam sebuah skema yang melindungi hutan tetapi juga mendukung pembangunan yang berkelanjutan, termasuk melalui konversi hutan tertentu menjadi perkebunan sawit. 'HCS' dapat diartikan sebagai fokus pada emisi

karbon. Sedangkan '+', dapat diartikan sebagai peluang untuk meningkatkan mata pencaharian dengan memperbolehkan konversi hutan menjadi perkebunan sawit pada tingkat tertentu secara bertanggung jawab.

HCS+ menawarkan proses integrasi pemikiran HCS dengan HCV, FPIC, dan input penting lainnya untuk mendukung pengembangan perkebunan sawit baru secara berkelanjutan. Integrasi diperoleh melalui sebuah proses yang komprehensif dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk menetapkan lokasi yang dapat diterima dan besaran lahan yang akan dikonversi menjadi perkebunan sawit (Gambar 5). Dalam metodologi HCS+, estimasi yang andal mengenai persediaan karbon mutlak diperlukan, karena estimasi tersebut digunakan untuk mendefinisikan hutan dengan Persediaan Karbon Tinggi dan untuk mempersiapkan dasar perencanaan pengembangan netral karbon.

HCS+ menjabarkan tiga persyaratan atau 'Pilar' yang dibutuhkan agar pengembangan kebun sawit dapat dikategorikan berkelanjutan. Ketiga Pilar ini wajib

dikonstruksikan secara independen, tanpa bersinggungan satu sama lain:

Pilar 1: Konversi lahan menjadi perkebunan sawit wajib mempertahankan fungsi kritis ekosistem.

Hutan tropis menyediakan berbagai fungsi ekosistem. Pada skala global, hutan tropis dan tanahnya membantu mengatur iklim. Ketika lahan dikonversi menjadi perkebunan sawit, karbon yang tersimpan dalam biomassa dan di dalam tanah akan dilepas ke atmosfer sebagai gas rumah kaca. Hutan tropis juga memiliki keanekaragaman hayati lebih banyak dibandingkan ekosistem teresterial lainnya. Pada skala lokal, hutan tropis menghasilkan banyak manfaat lain. Di antaranya adalah melindungi daerah aliran sungai dari erosi, serta mendukung fungsi tanaman dan hewan yang membantu menyediakan ketersediaan pangan dan mata pencaharian bagi masyarakat setempat.

Pilar 2: Pengembangan perkebunan sawit wajib memastikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat setempat.

Pengembangan perkebunan sawit yang direncanakan dan dijalankan dengan hati-hati dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dalam bentuk akses menciptakan lapangan kerja dan jasa. Selain itu, pengembangan perkebunan sawit dengan cara tersebut juga dapat berkontribusi

terhadap pembangunan ekonomi pada skala regional dan nasional. Sebaliknya, pengembangan perkebunan sawit yang direncanakan dan dijalankan secara sewenang-wenang dapat melanggar hak asasi manusia karena membuat penduduk setempat kehilangan tempat tinggal tanpa adanya kompensasi

(4)

atau persetujuan, serta mengakibatkan kerawanan pangan bagi komunitas setempat akibat putusnya akses ke sumber pangan tradisional. Dengan menggunakan metodologi HCS+, Pilar 1 dan Pilar 2 dapat dicapai secara bersamaan--tanpa mengakibatkan emisi karbon netto--lewat pengembangan perkebunan sawit yang direncanakan dan dijalankan secara hati-hati.

Pilar 3: Pengembangan perkebunan sawit wajib layak secara ekonomi.

Kelayakan ekonomi konsesi perkebunan sawit sangat

ditentukan oleh kemampuan mempertahankan biaya produksi tetap rendah dan tingginya hasil yang diperoleh. Jika keduanya berhasil dicapai, penerimaan dan laba yang wajar dapat diperoleh. Oleh karena itu, metodologi HCS+ mengusulkan bahwa Pilar 1 dan 2 harus praktis dan efektif secara biaya. Sebagai contoh, metodologi ini wajib mempertimbangkan kenaikan biaya produksi (misalnya, karena adanya manajemen tambahan atau hasil yang rendah) akibat memprioritaskan konversi lahan di lokasi dengan tanah yang tidak subur, lahan kritis, atau area dengan iklim cenderung kering.

Kepatuhan terhadap metodologi HCS+ berpotensi

menghasilkan banyak manfaat ekonomi bagi produsen minyak sawit. Manfaatnya sebagai berikut:

• Akses ke pasar yang menuntut praktik yang lebih ketat untuk produksi minyak sawit secara berkelanjutan;

Gambar 1: Tiga Pilar Metodologi HCS+ yang mendasari produksi minyak sawit secara berkelanjutan. Pilar-pilar ini wajib dikonstruksikan secara independen, tanpa bersinggungan satu sama lain. Kotak biru meringkas komponen/mekanisme utama metodologi HCS+. Implementasi komponen-komponen yang efektif secara biaya tersebut akan mendukung kelayakan secara ekonomi.

2 Area dengan nilai konversi tinggi (high conservation value area/HCVA) adalah area yang memiliki satu Nilai Konversi Tinggi (High Conservation Values/HCV) atau lebih.

HCV adalah nilai hayati, ekologi, sosial, atau budaya yang dianggap secara menonjol signifikan atau mutlak penting, pada tingkat nasional, regional, atau global. Kajian HCV adalah proses untuk mengidentifikasi, mengelola, dan memonitor HCVA.

• Tenaga kerja yang stabil dalam memberikan layanan pendukung, misalnya, pembukaan lahan, konstruksi, penanaman, dukungan logistik, dan pengelolaan perkebunan dan hutan di sekitarnya;

• Semakin baiknya relasi dengan komunitas setempat sehingga dapat mengurangi konflik atas lahan dan mendukung operasi.

Secara khusus, HCS+ menawarkan:

• Ambang batas karbon untuk menentukan hutan dan lahan dengan Stok Karbon Tinggi. Lahan-lahan ini sebaiknya tidak dikonversi karena tidak hanya memiliki Stok Karbon Tinggi tetapi juga memiliki nilai hutan penting lainnya yang tidak tercakup dalam kajian HCV2, yang hanya berfokus pada nilai 'menonjol' HCV.

• Panduan tentang cara membuat estimasi yang tepat untuk emisi karbon akibat konversi lahan, dan mencapai pengembangan netral karbon.

• Panduan tentang cara meningkatkan perlindungan atas hak asasi manusia dan memastikan adanya manfaat yang positif secara sosial-ekonomi.

Semua ini, bersama input-input lainnya, dapat diintegrasikan melalui peran serta berbagai pemangku kepentingan untuk dapat menghasilkan rencana penggunaan dan pengelolaan lahan yang baik.

AMBANG NETRALITAS KARBON MELINDUNGI HAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN (PENGHASILAN, KEAMANAN PANGAN, INFRASTRUKTUR SOSIAL)

MELINDUNGI

FUNGSI

EKOSISTEM

VIABILITÉ

ÉCONOMIQUE

MEMASTIKAN

MANFAAT

SOSIAL-EKONOMI

(5)

Metodologi HCS+ menggunakan pengindraan jarak jauh untuk tiga tujuan:

• Memetakan karbon di atas tanah dengan LiDAR3 dari udara (didukung oleh data inventarisasi hutan);

• Memetakan vegetasi dan penggunaan lahan di dalam area konsesi dan sekitarnya dengan menggunakan data satelit optik resolusi tinggi; dan

• Memetakan lahan gambut dan tanah organik lainnya dengan menggunakan data pengindraan jarak jauh.

2.1 Memetakan karbon di atas tanah

Untuk mengidentifikasi hutan dengan Stok Karbon Tinggi, kami merekomendasikan kombinasi antara LiDAR dari udara dan data hutan (jika data dikumpulkan di darat).

LiDAR dari udara digunakan untuk membuat peta resolusi tinggi untuk karbon di atas tanah (above-ground). Metodologi ini akurat dan tidak kontroversial serta membantu

mengidentifikasi ukuran dan lokasi serta kandungan karbon 'kantong' hutan - fragmen kecil hutan - isu kritis dalam delineasi hutan dengan Stok Karbon Tinggi, dan desain kebun sawit baru.

Pemetaan karbon secara akurat menggunakan LiDAR hanya dapat dicapai jika output LiDAR dikalibrasi secara hati-hati dengan menggunakan data inventarisasi hutan di darat, seperti ketinggian pohon, diameter batang, dan kepadatan hutan. Menggunakan LiDAR yang dikombinasikan dengan data inventarisasi hutan terpilih adalah cara paling hemat untuk memperoleh informasi spasial yang rinci tentang karbon di atas tanah dengan akurasi yang dibutuhkan untuk mengidenditikasi hutan dengan Stok Karbon Tinggi (Gambar 2).

Pada skala konsesi (5.000 - 100.000 ha), perkiraan biaya menggunakan LiDAR per hektar secara menyeluruh adalah US$5-15 tergantung kepada keterpencilan, ukuran, aksesibilitas, serta kompleksitas area.Biaya per hektar turun bersama ukuran area.Biaya akan dibebankan kepada pemegang konsesi. Untuk petani kecil, biaya sebaiknya diintegrasikan dengan skema dukungan yang sudah ada. Untuk petani kecil mandiri, skema baru dukungan finansial perlu dikembangkan - misalnya lewat koperasi petani kecil HCS+ atau skema sertifikasi yang sudah berjalan seperti RSPO.

Bagian 2: Peran Pemetaan dan Pengindraan

Jarak Jauh dalam Metodologi HCS+

3 LiDAR : Light Detection and Ranging - teknologi pengindraan jarak jauh untuk mengukur jarak dengan menerangi target dengan sinar laser dan menganalisis cahaya

yang dipantulkan.

2.2 Memetakan vegetasi dan penggunaan lahan di dalam area konsesi dan sekitarnya dengan menggunakan data satelit optik resolusi tinggi Informasi tentang lahan di sekeliling konsesi menyediakan konteks penting untuk mengarahkan keputusan di dalam batas-batas konsesi. Terdapat berbagai tipe pengindraan jarak jauh yang dapat digunakan untuk memetakan area-area di sekitar konsesi. Efektivitas biaya saat ini diperoleh melalui penggunaan sensor resolusi tinggi seperti RapidEye atau SPOT yang baru, dikombinasikan dengan data beresolusi medium dari Landsat atau Sentinel, ditambah data GIS. Biaya untuk data RapidEye adalah sekitar US$1-2 per kilometer persegi. Data Landsat gratis.

2.3 Memetakan lahan gambut dan tanah organik Lahan gambut tropis sulit diakses, sehingga pemetaan area menjadi problematis. Akan tetapi, pengindraan jarak jauh dikombinasikan dengan informasi pada peta yang sudah tersedia dan pengambilan sampel pada target di tanah akan menawarkan keseimbangan yang baik antara kelengkapan dan akurasi. Dengan pengindraan jarak jauh dan data yang ada, deteksi awal saluran utama lahan gambut/tanah organis dapat dilakukan. Selanjutnya, temuan-temuan tersebut harus divalidasi melalui pengampilan sampel di darat. Kedua langkah tersebut perlu melibatkan ekolog lanskap dan lahan gambut yang berpengalaman.

Terkait masalah iklim, tidak ada ambang atas atau bawah untuk menentukan relevan atau tidaknya emisi. Semua emisi, besar maupun kecil, berkontribusi terhadap penumpukan gas rumah kaca di atmosfer. Oleh karena itu, penetapan ambang batas karbon tidak dapat hanya didasarkan pada pertimbangan iklim, tetapi juga pengertian yang umum dan diterima luas mengenai apa yang membentuk 'hutan signifikan'. Ini bukan hanya mencakup stok karbon, tetapi juga layanan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya.

(6)

Gambar 2: Bagaimana LiDAR dapat digunakan untuk mengidentifikasi hutan dengan Stok Karbon Tinggi pada tingkat konsesi. a) Gambar udara kanopi hutan tropis.

b) Perbesaran area yang ditunjukkan oleh segiempat merah dalam (a) memungkinkan tajuk pohon individu diidentifikasi. c) LiDAR digunakan untuk mengukur tinggi pohon dan diameter tajuk pohon individu.

d) Menggunakan korelasi antara tinggi vegetasi dan metrik struktural, serta data biomassa yang dikumpulkan di lapangan, karbon di atas tanah dapat diestimasi.

Bagian 3: Metodologi HCS+ untuk Membuat

Estimasi Stok Karbon dan Mencapai

Pengembangan Netral Karbon

3.1 Hutan dan karbon

Karbon di dalam hutan tersimpan di dalam biomassa dan tanah. Jumlah karbon bisa besar, tetapi dapat berkurang dengan cepat karena terjadinya deforestasi, pembalakan, kebakaran, atau pengeringan tanah organik. Hilangnya stok karbon hutan berkontribusi terhadap emisi karbon (utamanya sebagai karbon dioksida, CO2) yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Karbon biomassa

Biomassa hutan tersusun atas pohon hidup maupun mati. Biomassa ini menyimpan karbon dalam jumlah besar -- 50% bobot keringnya adalah karbon--, dan biomassa hutan dapat menyimpan hingga beberapa ratus ton karbon per hektar. Biomassa hutan memiliki dua komponen - di atas tanah dan

di bawah tanah. Komponen yang lebih besar (sekitar 75%) ada di atas tanah - batang pohon, cabang, dedaunan. Sisanya di bawah tanah - akar kasar dan halus (sekitar 25%). Sampah kayu (utamanya pohon mati dan tumbang serta cabang-cabang, juga sisa-sisa pembalakan) dapat menjadi biomassa dalam jumlah signifikan. Ketika hutan tumbuh, biomassa di atas tanah dan di bawah tanah meningkat. Saat hutan dibuka, biomassa mengalami oksidasi dan karbon yang dikandungnya terlepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida.

Karbon tanah

Karbon dalam tanah adalah stok utama lain karbon di dalam hutan. Stok karbon antar tanah sangat bervariasi. Satu hektar tanah mineral berpasir dapat mengandung kurang dari 100 ton karbon, sementara lahan gambut dalam dengan luas sama dapat mengandung ribuan ton karbon. Konversi tanah miskin

(7)

Ambang karbon tanah

Selain karbon di atas tanah, karbon tanah juga harus dipertimbangkan. Ini secara khusus berlaku untuk tanah bergambut (sangat organik). Lahan gambut adalah gudang karbon paling signifikan yang kita miliki. Meski tutupannya hanya 3% area darat, tanah gambut mengandung lebih banyak karbon dibanding seluruh biomassa hutan di dunia. Sebagai contoh, per hektar lahan gambut tropis mengandung rata-rata karbon sepuluh kali lebih besar daripada hutan hujan di atas tanah mineral. Karbon ini hanya dapat dipertahankan saat gambut secara permanen jenuh dengan air. Mengeringkan lahan gambut dan tanah super organik lain dapat

meningkatkan emisi karbondioksida secara signifikan. Per hektar, umumnya lahan gambut tropis menyimpan sekitar 6 ton karbon per cm di kedalaman gambut. Ini artinya pada kedalaman sekitar 12,5 cm saja, kandungan karbon lahan gambut setara dengan ambang karbon di atas tanah yang kita tetapkan yakni 75 ton per hektar. Tanah organik lain (yaitu, tanah dengan lebih dari 12-20% karbon organik per bobot) mungkin mengandung bahan mineral dalam jumlah substansial, tetapi kandungan karbonnya tidak kalah dari gambut murni. Saat dicampur tanah liat, massa karbon tanah organik tidak jatuh di bawah massa gambut murni paling ringan (sekitar 2 ton karbon per cm kedalaman). Saat dicampur pasir, massa karbon tidak pernah di bawah nilai tipikal untuk gambut yaitu 6 ton karbon per cm kedalaman.

Dengan demikian, tanah organik tropis umumnya melebihi ambang batas 75 ton dengan kedalaman lapisan tanah organik di atas 12,5 cm dan selalu melebihi ambang batas tersebut dengan kedalaman lapisan organik di atas 37,5 cm. Hutan dengan stok karbon tanah di atas ambang 75 ton ditetapkan sebagai hutan HCS. Dengan ambang ini, semua lahan gambut wajib dilindungi apa pun definisi pastinya. Kami merekomendasikan perlindungan semua tanah dengan kedalaman lapisan organik di atas 15 cm sebagai langkah antisipasi untuk memastikan ambang batas karbon tanah tidak terlampaui.

3.3 Menerapkan batas karbon

Dengan menerapkan ambang batas yang diusulkan di atas, beberapa tujuan utama berikut dapat dicapai:

• Tidak ada pembukaan hutan tua, penghutanan kembali setelah pembalakan selektif, dan hutan sekunder dengan kandungan karbon di atas tanah di atas 75 ton per hektar; • Tidak ada pengembangan di atas tanah organik (gambut

dan lainnya) jika ketebalan lapisan organik melampaui 15 cm;

• Melakukan pengembangan yang terencana dengan baik dan dengan mengkonversi hutan yang kandungan karbon di atas tanahnya kurang dari 75 ton per hektar, dengan ketentuan pengembangan tersebut netral karbon; dan • Mendorong pengembangan pada lahan dengan

kandungan karbon rendah - lahan tidur, lahan yang sudah dibuka atau lahan kritis yang lebih cocok untuk tanaman sawit.

karbon menjadi lahan sawit akan menghasilkan emisi yang relatif rendah. Hilangnya karbon dari tanah mineral4 berjalan lambat setelah konversi - kecuali konversi tersebut melibatkan penggalian dan pemindahan tanah dalam jumlah besar. Akan tetapi, mengeringkan gambut dan tanah organik lain meningkatkan jumlah karbon yang hilang - emisi tahunannya dapat mencapai antara 10 hingga 20 ton per hektar.

Kebakaran lahan gambut juga dapat mengakibatkan hilangnya karbon dalam jumlah signifikan dalam waktu singkat, serta menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan berbahaya lain akibat kabut asap.

Menghitung hilang dan perolehan karbon netto

Saat menghitung hilangnya karbon netto akibat konversi hutan menjadi lahan sawit, yang dijadikan pedoman utama untuk perbandingan adalah apa yang akan terjadi pada lahan apabila tidak dikonversi. Oleh karena itu, bukan hanya hilangnya karbon dari biomassa tetapi ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. Tangkapan karbon di masa mendatang akibat lenyapnya hutan juga perlu menjadi pertimbangan, atau hilangnya karbon di masa yang akan datang akibat degradasi yang tidak terkendali andai hutan tidak dikonversi menjadi lahan sawit. Dengan demikian, konversi itu sendiri dapat mengompensasi karena tanaman kelapa sawit yang masih berkembang juga menangkap karbon. Saat lahan yang telah dibuka atau padang rumput dikonversi, perolehan stok karbon dalam biomassa kelapa sawit selama siklus tanam 25 tahun dapat melampaui karbon yang hilang dari lahan konversi tersebut.

3.2 Menentukan Ambang Karbon

Tingkat kandungan atau ambang karbon penting untuk metodologi HCS+. Ambang karbon ini ditentukan berdasarkan estimasi jumlah (ton) karbon per hektar lahan. Ambang karbon ini digunakan untuk mengidentifikasi lahan dan hutan yang wajib dilindungi dan lahan dan hutan yang dapat dikonversi. Metodologi HCS+ menggunakan dua ambang, satu untuk karbon di atas tanah, dan yang satunya untuk karbon tanah. Kami telah menetapkan kedua ambang tersebut pada level yang sama: 75 ton karbon per hektar.

Ambang karbon di atas tanah

Kandungan atau ambang karbon di atas tanah dan karbon biomassa di atas tanah, kami gunakan sebagai metrik utama. Metrik ini tidak mencakup karbon kayu mati pada lantai hutan, dan oleh karena itu tidak merepresentasikan stok karbon di atas tanah total. Kami menggunakan karbon biomassa karena sulitnya mengukur level karbon kayu mati dengan menggunakan pengindraan jarak jauh. Secara khusus, memasukkan karbon kayu mati dalam perhitungan karbon di atas tanah hanya akan berdampak signifikan pada hutan yang sudah ditebang atau dibalak dan level karbon ini cenderung di atas ambang yang kita tetapkan yaitu 75 ton karbon di atas tanah per hektar. Kami menetapkan ambang ini berdasarkan tinjuan global5 dan menggunakan ambang karbon di atas tanah untuk menentukan hutan dengan Stok Karbon Tinggi (HCS). Ambang-ambang ini mencakup cadangan karbon di atas tanah alami terbesar di dunia: hutan tua, hutan dikelola yang masih tumbuh setelah pembalakan selektif; dan hutan sekunder berumur lebih dari 30 tahun. Deforestasi hutan HCS akan berkontribusi secara substansial terhadap emisi gas rumah kaca global. Hutan-hutan ini sebaiknya tidak dikonversi menjadi lahan sawit.

4 Yaitu, lahan yang sebagian besar kandungannya adalah materi anorganik. 5 Lihat Bagian 2 Penelitian ini untuk penjelasan lebih rinci.

(8)

Untuk mempermudah penerapan ambang batas tersebut, kami mengusulkan penerapan secara berurutan. Pertama, karbon di atas tanah diukur. Jika nilainya kurang dari ambang batas, karbon tanah juga harus diukur. Area-area yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan sebagai hutan dengan Stok Karbon Tinggi, tidak boleh dikonversi menjadi lahan sawit.

Menerapkan kedua ambang batas ini secara berurutan, bersama persyaratan bahwa pengembangan yang dilakukan harus netral karbon, akan mengonsentrasikan pengembangan perkebunan sawit baru pada lahan-lahan dengan stok karbon rendah, termasuk lahan yang sudah dibuka atau kritis. Kami tidak merekomendasikan pembedaan ambang batas HCS+ antara negara/kawasan. Kawasan dan lanskap dengan hutan yang lebat menawarkan peluang lebih banyak untuk menyisihkan hutan guna mengompensasi tingginya karbon yang hilang dari lokasi tertentu akibat konversi. Di kawasan di mana sebagian besar lahannya termasuk HCS, perencanaan kawasan oleh pemerintah sebaiknya menentukan cara terbaik untuk mencapai tujuan konservasi dan pengembangan sekaligus mempertahankan netralitas karbon. Ini area kompleks yang membutuhkan analisis lebih lanjut.

3.4 Mewujudkan pengembangan yang netral karbon Untuk melengkapi penerapan ambang karbon ada konsep netralitas karbon. Konsesi sawit netral karbon memproduksi emisi karbon netto nol ke atmosfer. Dalam satu konsesi, hilangnya karbon akibat konversi hutan dapat diseimbangkan dengan tangkapan karbon yang terus berlangsung di hutan lindung hasil penyisihan, juga di dalam perkebunan sawit yang

dikembangkan di atas lahan dengan stok karbon rendah. Jika diperlukan, emisi yang dihindari dari pembasahan kembali lahan gambut juga dapat dipertimbangkan. Konsep yang luas ini dijelaskan dalam Gambar 3, dan contoh rincinya diberikan dalam Studi Kasus (lihat Bagian 3 laporan ini). Konsep netral karbon ini melengkapi penerapan ambang karbon.

Untuk mencapai pengembangan yang netral karbon pada level konsesi, konsesi dipetakan menjadi unit-unit kecil. Untuk tiap unit, kita menghitung debit atau kredit karbon (akibat perubahan dalam biomassa dan tanah) dari unit yang dikonversi atau disisihkan. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk memandu perencanaan pengembangan yang netral karbon.

Jika tidak tersedia cukup lahan di dalam suatu konsesi untuk mengompensasi secara penuh karbon yang hilang akibat konversi hutan, komitmen untuk melindungi hutan di luar konsesi dapat dijadikan pertimbangan. Akan tetapi, ini hanya berlaku untuk perusahaan yang dikelola oleh perusahaan yang sama dan di dalam kawasan biogeografik yang sama - dan hanya jika hutan-hutan tersebut memang tidak dilindungi. Dalam hal ini, pemegang konsesi akan memikul kewajiban hukum untuk menjaga netralitas karbon jika konsesi tersebut dijual atau dikonversi untuk keperluan lain. Pendekatan netral karbon yang mencakup perlindungan hutan sisihan membutuhkan pemonitoran secara periodik untuk memverifikasi akumulasi stok karbon (dengan pengukuran pertama menjadi bagian audit sertifikasi untuk memastikan konsesi tersebut memenuhi HCS+). Pemonitoran lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan hutan lindung mengakumulasi karbon sesuai prediksi dan stok karbon terjaga setelah rotasi 25 tahunan.

Gambar 3: Diagram skematik yang menggambarkan pengembangan lahan sawit netral karbon pada level konsesi. Ukuran relatif ketiga zona tersebut bervariasi khususnya tergantung karakteristik tiap konsesi yang sedang dikembangkan - seringnya, hutan lindung mendominasi. Hutan HCV, HCS, dan non-HCS lainnya disisihkan dan secara aktif dilindungi untuk mencapai netralitas karbon. Kantung-kantung kecil hutan HCV dan lahan gambut juga dapat ditemukan di dalam zona merah.

Hutan sisihan yang dilindungi

Kredit karbon dari perlindungan hutan

Kredit karbon dari konversi

Kredit karbon hasil tangkapan pohon sawit

Hutan Non-HCS yang dikonversi menjadi

kebun sawit

Lahan Rendah Karbon yang dikonversi menjadi kebun sawit

(9)

Bagian 4: Memastikan Dampak

Sosial-Ekonomi Positif

Selain perlindungan fungsi ekosistem, dampak sosial ekonomi yang positif merupakan dasar penting dalam pengembangan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Metodologi HCS+ dapat menjadi cara dalam mewujudkan perlindungan fungsi ekosistem dan menghasilkan dampak sosial ekonomi yang positif tersebut.

Industri kelapa sawit telah berhasil secara signifikan mendukung pembangunan di Malaysia dan Indonesia melalui penciptaan lapangan pekerjaan, pendapatan pajak dan ekspor, serta manfaat-manfaat ekonomi lainnya. Petani kecil memainkan peran penting dalam proses ini. Mereka memperoleh manfaat dari akses modal, teknologi baru, dan pasar yang disediakan oleh sektor perkebunan. Akan tetapi, gambaran besar yang positif ini perlu diseimbangkan dengan dampak-dampak lain yang lebih bervariasi, yang sering dialami pada tingkat lokal. Dampak-dampak lain tersebut, di antaranya, mencakup hilangnya lahan tanpa Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dari komunitas setempat, gaji

rendah, kondisi kerja yang tidak baik, kerusakan lingkungan sekitar, serta lemahnya program yang ada untuk petani kecil. Studi kasus kami di Indonesia, Malaysia, Nigeria, Liberia, dan Kamerun menganalisis dampak-dampak positif dan negatif ini. Dengan semakin gencarnya ekspansi kelapa sawit ke beberapa negara termiskin di dunia, seperti Afrika Barat dan Tengah, maka fokus pada hak dan kesejahteraan diperlukan untuk memastikan bahwa kontribusi kelapa sawit terhadap pembangunan lokal dan nasional terpenuhi. Bersamaan dengan itu, dampak negatif apa pun dapat diminimalkan. Fokus itu harus meliputi pengawasan yang lebih baik, audit terhadap implementasi standar industri--yang berlaku untuk melindungi hak-hak manusia dan meningkatkan manfaat sosial ekonomi--, serta pengukuran dampak kesejahteran yang lebih akurat.

Bagian 5: Metodologi Sosial Ekonomi HCS+

Tujuan metodologi sosial ekonomi HCS+ adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk membantu perusahaan agar dapat memenuhi komitmennya dalam melindungi hak-hak manusia, serta memperoleh manfaat sosial ekonomi melalui usaha mereka. Metodologi ini terdiri dari sebuah mekanisme yang bertujuan untuk memperbaiki standar yang sudah ada, dengan menggunakan kriteria dalam menilai tingkat kepatuhan terhadap standar tersebut, serta metode untuk mengukur dampak operasi perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat. Metode ini disebut dengan Indeks Kesejahteraan Kelapa Sawit atau Palm Oil Welfare Index (POWI). Jadi, metodologi sosial ekonomi HCS+ dapat diringkas sebagai berikut:

Kriteria yang jelas, terukur, dan objektif untuk memastikan kepatuhan terhadap standar hak-hak manusia dan kesejahteraan yang berlaku. Kriteria tersebut didasarkan atas mekanisme yang sudah ada, yang akan membantu menghasilkan proses pengawasan serta audit yang lebih lengkap.

Proses audit khusus untuk aspek sosial-ekonomi. Audit sosial ekonomi sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah konversi lahan untuk memastikan proses FPIC sudah dilaksanakan sepenuhnya, dan mata pencaharian yang cukup pun telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan komunitas lokal.

Standar prosedur untuk penyusunan skema yang adil bagi petani kecil, dan penyediaan infrastruktur sosial. Perusahaan perlu menegosiasikan kontrak sosial dengan komunitas, yang berisikan ketentuan yang adil bagi petani kecil yang terlibat, serta membuat komitmen untuk menyediakan atau mendukung infrastruktur sosial, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan. Ini dapat meliputi bantuan bagi petani kecil mandiri dalam bentuk teknologi dan akses pasar yang lebih baik, serta pengelolaan limbah lingkungan.

Prosedur untuk mengawasi dampak sosial ekonomi dari pengembangan perkebunan sawit bagi masyarakat lokal. Perusahaan sebaiknya menggunakan metode yang kuat, seperti yang ada dalam Palm Oil Welfare Index (POWI) untuk mengawasi aspek-aspek kesejahteraan termasuk ketahanan pangan, penghasilan, dan akses ke air bersih serta infrastruktur sosial. Metode ini memberikan informasi dasar yang objektif untuk keperluan perencanaan dan pengelolaan perkebunan, guna memaksimalkan manfaat sosial ekonomi dan meminimalkan dampak negatif apa pun.

(10)

Topik Target Kriteria yang diverifikasi Tahap verifikasi

Buruh Upah yang adil Catatan upah; konfirmasi upah dengan

karyawan. Pengawasan secara berkala setelah konsesi berjalan.

Hak berserikat Catatan rapat; wawancara rahasia dengan

karyawan. Tidak ada buruh anak/

kerja paksa Catatan umur dan status karyawan.

Proses

Partisipasi Proses partisipasi untuk mengidentifikasi daerah

bagi pemenuhan mata pencaharian dan tempat budaya

Bukti kuat untuk memverifikasi proses partisipati berdasarkan rapat desa; survei rumah tangga, wawancara individu, dan kunjungan ke daerah sisihan tersebut.

Sebelum konversi lahan;

pengawasan secara berkala setelah perkebunan dibuka, untuk memverifikasi akses ke daerah sisihan tersebut. Perwakilan masyarakat

lokal

Persetujuan dari masyarakat lokal untuk melepas tanah Proses menyampaikan

keluhan Bukti prosedur; wawancara dengan karyawan untuk mengukur pemahaman akan

proses tersebut.

Pengawasan secara berkala setelah konsesi berjalan.

Infrastruktur sosial Prosedur standar operasi perusahaan untuk

mengetahui dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sebelum pembukaan lahan--sebagai bagian dari Nota Kesepahaman (MOU) dengan masyarakat, dan pengawasan secara berkala pasca pembukaan lahan.

Penggunaan POWI untuk mengukur tingkat

kesejahteraan dari aspek infrastruktur sosial. Menetapkan garis dasar sebelum pembukaan lahan, dan pengukuran secara

berkala sesudahnya. Keterlibatan

Petani Kecil Skema yang adil bagi petani kecil Program berbagi teknologi dengan petani kecil untuk membantu mereka memperoleh

sertifikasi dan meningkatkan hasil; survei petani kecil.

Sebelum pembukaan lahan untuk mengetahui perencanaan terlebih dahulu; pengawasan secara berkala.

Tabel 1: Kriteria pengukuran dampak sosial ekonomi berdasarkan standar yang berlaku

Où x = persentase rumah tangga dengan atribut i dan n adalah jumlah metriks

Perubahan marginal pada kesejahteraan adalah selisih pada POWI dari waktu ke waktu.

POWI mencakup empat indikator kesejahteraan, yakni penghasilan yang diperoleh dari konsesi sawit; ketahanan pangan; akses ke air bersih; dan akses ke infrastruktur sosial yang difasilitasi oleh perusahaan (yaitu, fasilitas kesehatan, sekolah, dan listrik). Keempat indikator ini dapat dikombinasikan ke dalam sebuah metrik tunggal dengan menggunakan metode beri

Metode untuk mengawasi dampak sosial-ekonomi dari pengembangan perkebunan sawit

Pengukuran dampak sosial ekonomi bagi masyarakat lokal secara kuantitatif diperlukan untuk mengawasi perkembangan, penyediaan informasi terkait dampak untuk proses audit, dan penyesuaian pendekatan manajemen bila diperlukan. Kami mengusulkan sebuah pendekatan praktis untuk mengukur manfaat dan kerugian yang dialami komunitas lokal akibat dari suatu pengembangan perkebunan sawit, yaitu Palm Oil Welfare Index (POWI).

Tabel 2: Indikator dalam Palm Oil Welfare Index (POWI).

Indikator Komponen survei Skor Metrik untuk POWI

Penghasilan dari konsesi

sawit Apakah anggota keluarga Anda memperoleh penghasilan dari

konsesi sawit?

1 = ya, 0 = tidak Persentase keluarga yang mendapatkan

penghasilan dari konsesi sawit

Ketahanan pangan Angka Konsumsi Pangan

berdasarkan metodologi WFP 1 = dapat diterima,0 = garis batas, 0= buruk Pourcentage de ménages ayant une consommation alimentaire acceptable

Akses air bersih yang

difasilitasi perusahaan Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk

mendapatkan air bersih dalam jumlah cukup dari sumber terdekat, bagi keluarga Anda?

1 = <30 menit,

0 = >30 menit Persentase keluarga yang hanya perlu waktu 30 menit untuk mendapatkan air

(11)

Pengembangan perkebunan sawit yang berkelanjutan wajib mempertimbangkan pilar-pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada tingkat tertinggi, keputusan mengenai penggunaan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada level global, nasional, maupun lokal (Gambar 4).

HCS+ memiliki fokus memperbaiki keputusan dalam skala konsesi, seperti digambarkan dalam Gambar 5 di bawah. Untuk menghasilkan pengembangan lahan lokal yang sesuai,

Bagian 6: Melaksanakan HCS+ untuk

Mendukung Pengembangan Perkebunan

Sawit Secara Berkelanjutan

Gambar 4: Input multi-skala untuk keputusan pengembangan lahan.

TINGKAT KONSESI

KEPUTUSAN

PENGEMBANGAN

LAHAN

TINGKAT NASIONAL

Target sosial ekonomi pemerintah, konservasi hutan, dan target pengurangan emisi serta kerangka

hukum

TINGKAT PERUSAHAAN

Orang, Planet, Laba

TINGKAT GLOBAL

Peraturan dan target lingkungan dan sosial ekonomiinternasional

Sebuah Penilaian Terpadu yang mengarahkan ke berbagai pilihan pengembangan. Kunci utama penilaian ini adalah FPIC, HCV, HCS, kapabilitas lahan untuk kelapa sawit, dan sasaran yang luas secara regional untuk pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

kajian HCV dan HCS+ sebaiknya diintegrasikan dengan proses FPIC dan input lainnya. Pendekatan perencanaan HCS+ yang terintegrasi seperti di bawah ini, akan menggantikan dan memperluas proses Kajian Dampak Sosial & Lingkungan (Social & Environmental Impact Assessment/SEIA) yang ada sekarang.

Perencanaan pada tingkat konsesi harus juga disesuaikan dengan kerangka perencanaan lanskap skala besar, dengan mengaitkan secara kuat antara rencana pada tingkat nasional, regional, dan konsesi, seperti dijelaskan dalam Gambar 6. Perencanaan tersebut adalah tanggung jawab pemerintah, dan oleh karena itu, perencanaan akan mengacu pada prioritas dan tujuan nasional, dan masukan dari semua pemangku kepentingan terkait.

Indikator Komponen survei Skor Metrik untuk POWI

Akses infrastruktur sosial yang difasilitasi perusahaan (masing-masing dari ke-3 atribut tersebut merupakan 1/3 dari angka infrastruktur sosial)

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berjalan ke fasilitas perawatan kesehatan terdekat? Apakah tenaga kesehatan dan obat tersedia di fasilitas perawatan kesehatan terdekat?

1 = <1 jam dan ya untuk pertanyaan kedua, 0 = >1 jam atau tidak untuk pertanyaan kedua

Persentase keluarga yang hanya perlu waktu 30 menit untuk mendapatkan air bersih dalam jumlah cukup

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berjalan ke sekolah terdekat? Apakah sekolah terdekat memiliki guru dan materi pendidikan?

1 = <1 jam dan ya untuk pertanyaan kedua, 0 = >1 jam atau tidak untuk pertanyaan kedua

Persentase keluarga yang hanya perlu waktu satu jam ke fasilitas kesehatan yang memadai, yang difasilitasi oleh perusahaan

Apakah desa Anda memiliki akses ke listrik dan/atau penerangan? Apakah Anda menggunakan listrik dan penerangan?

1 = ya untuk kedua pertanyaan,

0 = tidak untuk salah satu pertanyaan

Persentase keluarga yang hanya perlu waktu satu jam ke sekolah yang memadai yang difasilitasi oleh perusahaan

(12)

TAHAPAN PENTING DALAM IMPLEMENTASI METODOLOGI HCS+

Gambar 5: Tahapan penting dalam implementasi HCS+ yang mendukung pengembangan perkebunan sawit baru secara berkelanjutan.

Gambar 6: Bagaimana HCS+ yang fokus pada perencanaan tingkat konsesi, menyesuaikan dengan perencanaan penggunaan lahan

Rencana tingkat nasional

(merefleksikan kebijakan dan sasaran pemerintah, misalnya target emisi GHG, tutupan hutan, dan sasaran pengembangan sosial

ekonomi)

Rencana tingkat regional

(mempertimbangkan konteks regional dan merefleksikan kontribusi regional terhadap sasaran nasional)

Rencana tingkat konsesi (perkebunan)

(menentukan desain dan pengelolaan lahan perkebunan berdasarkan asas-asas keberlanjutan)

Laksanakan proses persetujuan sukarela di awal dan setelahPenjelasan (FPIC)

Petakan pemanfaatan lahan dan area yang digunakan sebagai sumber penghidupan masyarakat setempat dengan menggunakan peta partisipatorisdi dalam dan sekitar konsesi

Petakan estimasi distribusi karbon biomassa dan tipe tanah di seluruh kawasan konsesi berdasarkan penginderaan jarak jauh dan survei lapangan

Petakan area hutan HCV dan HCS

Terapkanambang danaturan HCS untuk menentukan kantungperlindungan atau pengembangan

Proses yang melibatkan beragam pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi kebutuhan akan infrastruktur sosial/ pengembangan

Proses yang melibatkan beragam pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi area yang dibutuhkan untuk keamanan pangan dan penghidupan lain masyarakat setempat

Petakan area lahan yang tidak tersedia untuk konversi berdasarkan: ambang karbon, HCV, dan FPIC yang menentukan penggunaan lahan oleh masyarakat. Estimasi dan petakan potensi fluks karbon (biomassa + tanah) yang akan

dihasilkan oleh perkebunan sawit hasil konversi.

PERENCANAAN

TERP

ADU

LANGKAH-LANGKAH KUNCI DALAM

IMPLEMENTASI METODOLOGI HCS+

PERTIMBANGAN KARBON

KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERTIMBANGAN

Petakan opsi untuk mencapai pengembangan yang netral karbon

Sediakanpeta dan rencana untuk meningkatkan kesejahteraan sebagai masukan bagi negosiasi FPIC dan dengan beragam pemangku kepentingan

Rencana pengembangan lahan yang disepakati Plan de mise en œuvre

- Sasaran yang jelas untuk pertimbangan sosial ekonomi dan lingkungan - Prosedur rinci untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut

(13)

HCS Approach pada awalnya diusulkan oleh Greenpeace, The Forest Trust, bersama Golden Agri Resources. Metode ini menggunakan perkiraan stok karbon sebagai dasar untuk menentukan area hutan, dan hilangnya stok karbon sebagai dasar untuk menentukan tingkat deforestasi. Pada April 2015, HCS Approach Toolkit diluncurkan, namun tidak lagi menggunakan rentang karbon melainkan stratifikasi vegetasi yang sama untuk mengidentifikasi hutan yang masih berharga, yang kemudian diprioritaskan untuk konservasi. Meski HCS Approach lebih fokus pada konservasi hutan, sementara metodologi HCS+ lebih pada pengembangan berkelanjutan, metode dan dampak yang dihasilkan

keduanya cukup lengkap untuk memungkinkan dilakukannya penggabungan di antara keduanya. Diskusi-diskusi yang ada menunjukan adanya kesamaan pandangan dalam aplikasi dari konsep yang dikembangkan oleh HCS Approach dan penggunaan LiDAR. Juga ada kesepakatan tentang perlunya implementasi HCV dan FPIC secara akurat, serta dukungan yang kuat terhadap hak dan kebutuhan masyarakat lokal. HCS Approach maupun metodologi HCS+ mendukung

Bagian 7: Konvergensi dengan HCS

Approach

perlindungan hutan primer, hutan yang pernah mengalami deforestasi, dan hutan sekunder tua. Kedua pendekatan itu juga sepakat bahwa semak belukar dan lahan terbuka harus diprioritaskan untuk pengembangan baru.

Pendekatan yang digunakan oleh HCS Approach untuk hutan regenerasi muda berbeda dengan yang digunakan HCS+. HCS Approach merekomendasikan hutan jenis ini sebaiknya dilindungi. Sementara berdasarkan HCS+, hutan dengan kandungan karbon di atas tanah kurang dari 75 ton dapat digunakan untuk pengembangan. Kedua metodologi menerapkan FPIC, pemetaan pemanfaatan lahan komunitas dan penilaian HCV di hutan-hutan tersebut. Tetapi HCS Approach memilih sebuah decision tree untuk mengukur dan mengonservasi nilai hutan. Banyak yang dapat dipelajari dengan melaksanakan rangkaian tes lapangan yang disusun dengan baik, di mana kedua metodologi HCS diterapkan secara berdampingan. Diskusi mengenai penggabungan kedua metode tersebut sedang berlangsung.

Bagian 8: Kesimpulan dan Saran

1. Permintaan minyak kelapa sawit cenderung meningkat dan memainkan peran penting dalam pembangunan pertanian di negara tropis yang memiliki iklim serta tanah yang cocok bagi pengembangan komoditas sawit. Dengan adanya perkiraan bahwa permintaan minyak sawit akan semakin besar, disertai fakta bahwa produksi minyak sawit jauh lebih efisien ketimbang dari tanaman lain--seperti kedelai--, maka ekspansi perkebunan sawit diperkirakan cenderung meningkat di masa mendatang. Keyakinan ini akan meningkatkan tuntutan dilakukannya konversi lahan, termasuk hutan. Untuk itu, seperti ditunjukkan dalam Studi ini, penting bahwa semua pengembangan baru harus direncanakan dengan baik dan dilaksanakan secara teliti, untuk menjamin potensi manfaat jangka panjang pada tingkat lokal dan nasional. Saat pengembangan perkebunan sawit melibatkan konversi hutan tropis atau tanah organik, fungsi ekosistem terkena dampak negatif. Meski pada satu sisi pengembangan perkebunan sawit berkontribusi terhadap peningkatan aspek sosial ekonomi komunitas lokal, di sisi yang lain, justru akan berdampak negatif pada ketersediaan pangan dan hak-hak manusia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit yang

berkelanjutan sesungguhnya meliputi juga perlindungan atas fungsi ekosistem yang penting dan manfaat bagi masyarakat lokal.

2. Strategi HCS+ adalah sebuah metode terintegrasi baru bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Metode ini didasarkan pada tiga pilar yakni, melindungi fungsi ekosistem penting, memastikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat lokal, dan mewujudkan pengembangan yang layak secara ekonomi. Agar pengembangan perkebunan sawit dapat dikatakan berkelanjutan maka ketiga pilar tersebut wajib diwujudkan. Metodologi HCS+ mewujudkan hal itu dengan melindungi hutan penting untuk karbon dan nilai-nilai lainnya. Caranya dengan melakukan netralitas karbon pada tingkat konsesi, dan membantu konversi beberapa lahan yang direncanakan dengan baik, agar menghasilkan manfaat sosial ekonomi yang adil dan bebas konflik bagi komunitas lokal. Metodologi kami juga dapat diterapkan untuk tanaman lain di wilayah tropis yang juga menghadapi tantangan pengembangan sejenis.

(14)

3. Metodologi HCS+ menggunakan pendekatan yang sudah ada terhadap lahan yang disisihkan untuk melindungi hutan, tanah organik, serta lahan, dengan nilai konservasi yang tinggi dalam menyediakan mata pencaharian bagi komunitas lokal. Akan tetapi, metodologi ini bukan pendekatan yang berpedoman pada 'No Deforestation'. Mengingat potensi industri kelapa sawit bagi

pembangunan yang berkelanjutan, HCS+ memperbolehkan pengembangan lahan dengan stok karbon rendah, selama konversi tersebut berkarbon netral di seluruh wilayah konsesi perusahaan dalam satu kawasan biogeografik. HCS Approach maupun metodologi HCS+ tidak sepenuhnya mencegah deforestasi (misalnya 'nol deforestasi'), tetapi bertujuan menguranginya secara signifikan. HCS+ memastikan hutan HCV dan HCS (seperti didefinisikan di dalam studi ini) tidak mengalami deforestasi. Pengalaman selama 20 tahun terakhir mengajari kami bahwa, kebijakan sebanyak apa pun tidak akan melindungi hutan, kecuali kepentingan ekonomi, hak historis masyarakat dan komunitas lokalnya dapat terlayani dengan baik--melalui hutan yang disisihkan dan dilindungi untuk jangka panjang, bukan ditebang untuk keuntungan jangka pendek. Kami percaya pengembangan secara bertanggung jawab sampai tingkat tertentu, dikombinasikan dengan peran kuat perusahaan dan masyarakat setempat dalam melindungi dan mengelola hutan sisihan, adalah cara terbaik untuk memastikan perlindungan hutan tropis dalam jangka panjang di berbagai negara.

4. Metodologi HCS+ untuk pengembangan karbon netral menawarkan manfaat berikut:

• Menyediakan mekanisme tambahan untuk melindungi hutan penting di luar batasan yang ditetapkan oleh metodologi HCS+.

• Memfasilitasi proses perencanaan dengan menyediakan berbagai opsi pengembangan lahan, yang dibahas secara objektif. Dalam batasan tertentu, metodologi HCS+ menawarkan fleksibilitas alokasi lahan pada suatu konsesi (atau di seluruh konsesi). Dengan cara ini, metodologi HCS+ mengakomodasi kondisi dan peluang yang beragam secara nasional maupun lokal. Metodologi ini juga menantang pemegang konsesi untuk mengeksplorasi dan mengambil manfaat dari fungsi ekosistem yang berkaitan dengan produksi (misalnya penyimpanan karbon, pasokan air) yang diperoleh dari area sisihan.

• Metodologi ini juga memungkinkan komunitas lokal memanfaatkan lahan sisihan untuk kebutuhan hidup mereka (misalnya, berburu dan memanen produk non-kayu) selama tujuan karbon terpenuhi.

• Menjadikan perlindungan semua hutan sisihan (HCS, HCV, riparia dan lainnya) sebagai tanggung jawab langsung, mengikat, dan terus-menerus dari para pemegang konsesi. Menyediakan mekanisme penting untuk memastikan perlindungan jangka panjang hutan sisihan dalam, yang saat ini belum ada. Saat ini, dalam banyak kasus, hutan HCV dan HCS teridentifikasi tetapi belum masuk dalam batas-batas konsesi. Artinya, pengembang tidak bertanggung jawab mencegah deforestasi atau penurunan kualitas hutan di masa mendatang di area-area ini. Masyarakat sendiri sebaiknya memainkan peran penting dalam proses pengelolaan ini untuk meningkatkan efektivitasnya dan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

• HCS+ berusaha memastikan hutan sisihan terlindungi secara efektif untuk jangka panjang. Perlindungan

hutan HCV dan HCS secara efektif (termasuk lahan gambut), dan konversi berkarbon netral adalah langkah terbaik untuk mencegah hilangnya nilai hutan akibat deforestasi. Penurunan kualitas hutan pun dapat dihindarkan selamanya. Dengan demikian, hilangnya sejumlah hutan non-HCS untuk pengembangan yang bertanggung jawab, dapat menghasilkan dampak konservasi hutan yang secara umum jauh lebih baik dalam jangka panjang.

• Metodologi ini menjawab isu penting yang sering diabaikan, yakni tanah organik.

• Metodologi ini memungkinkan adanya verifikasi oleh pihak ketiga.

5. Untuk memperoleh manfaat sosial-ekonomi dari pengembangan perkebunan sawit, diperlukan standar yang jelas dan kriteria yang terukur untuk menilai dampak-dampaknya. Pendekatan ini berlaku untuk standar hak manusia serta kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat.

Untuk memastikan dampak positif dari pengembangan perkebunan sawit, standar hak manusia yang ada perlu dilaksanakan secara lebih efektif, disertai audit dan pengawasan terhadap kepatuhan yang lebih baik, dengan menggunakan kriteria yang terukur. Perusahaan perlu menyusun kontrak sosial yang transparan, yang mengatur peran dan tanggung jawab masing-masing, termasuk penyediaan infrastruktur sosial dan lapangan kerja oleh perusahaan. Pengembangan suatu alat untuk mengukur berbagai aspek kesejahteraan masyarakat, dalam bentuk Palm Oil Welfare Index (POWI), akan membantu perusahaan mengukur dan membandingkan hasil dengan komitmen mereka. Ini akan memberikan bukti yang jelas adanya dampak positif, dan kebutuhan dilakukannya penyesuaian--jika diperlukan

6. Dalam pengembangan karbon netral, dampak sosial ekonomi dari perlindungan terhadap area hutan sisihan perlu dieksplorasi lebih lanjut.

Selain dampak sosial ekonomi dari pengoperasian kebun sawit tradisional, implementasi pengembangan karbon netral yang menciptakan kebutuhan melindungi area hutan sisihan, juga memiliki implikasi sosial-ekonomi yang cukup besar. Meski perlindungan area hutan sisihan akan menambah beban biaya, namun jika pengembangan tersebut positif karbon atau menghasilkan manfaat keanekaragaman hayati maka ada potensi untuk membangun sumber daya eksternal, dan mewujudkan dampak yang lebih baik secara keseluruhan. Kemudian, dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan sisihan, peluang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat lokal secara signifikan akan tersedia. Hal ini dapat memperbesar dampak positif dari operasi yang sudah ada.

(15)

7. Untuk perusahaan besar dan petani kecil, elemen HCS+ berikut sebaiknya dilaksanakan dalam pengembangan perkebunan sawit baru::

• Melindungi hutan HCS, dan tanah organik HCS dengan menggunakan ambang batas yang ditentukan; • Melindungi hutan HCV dan sisihan tepian lainnya; • Merencanakan pengembangan yang berkarbon netral;

dan

• Mematuhi standar yang ada, memperbaiki usaha untuk meningkatkan dampak sosial-ekonomi positif, mengukur serta melaporkan efektivitasnya.

8. Untuk perusahaan besar dan petani kecil mitra mereka, metodologi HCS+ yang lengkap perlu dikaji dan diimplementasikan untuk pengembangan perkebunan sawit baru dalam 3 tahun, atau lebih awal jika memungkinkan.

Untuk mewujudkan hal ini diperlukan studi lapangan yang komprehensif, dengan mengevaluasi metodologi HCS+ di keanekaragaman hutan di berbagai negara. Studi lapangan ini beberapa kali dilakukan di Indonesia, satu kali di Malaysia, dan setidaknya sekali di Afrika Barat/Tengah. Uji coba ini sebaiknya juga mengeksplorasi mekanisme untuk melibatkan petani kecil mandiri dalam kerangka pengembangan HCS+ yang berkelanjutan. Hasil dari studi lapangan tersebut harus dimasukkan ke 'Toolkit' untuk digunakan oleh mereka yang sedang mengembangkan kebun sawit baru.

9. Konservasi hutan HCS di dalam perkebunan sawit baru, dipastikan akan meningkatkan tuntutan untuk mengkonversi hutan di tempat lain.

Ini salah satu bentuk 'kelemahan'6, dan berpotensi mendorong pembukaan lahan baru--untuk mengembangkan tanaman lain penghasil minyak yang kurang efisien (misalnya rapa, bunga matahari, atau kedelai)--, jika ekspansi kelapa sawit dibatasi. Kemungkinan besar, kejadian seperti ini tidak dapat dihindari, tetapi untuk meminimalkannya, HCS+ perlu diimplementasi dalam skala luas dan hutan HCS yang disisihkan wajib dilindungi secara efektif. Dukungan pemerintah mutlak diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut. Menjadikan perlindungan hutan HCS+ sebagai salah satu syarat sertifikasi berdasarkan RSPO, dan komponen kebijakan pembelian untuk perusahaan besar, juga dapat menjadi langkah penting.

10. Metodologi HCS+ berfokus pada pengembangan tingkat konsesi. Tetapi perencanaan pemanfaatan lahan yang disusun oleh pemerintah, pada skala ruang yang lebih luas, akan memberikan keuntungan yang secara umum lebih besar.

Rencana tingkat lanskap dibutuhkan untuk mengetahui area yang cocok bagi pengembangan sawit secara berkelanjutan. Keputusan perencanaan penggunaan lahan membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif (lihat Gambar 5 dan 6). Pendekatan ini lebih dari sekadar merencanakan pemanfaatan lahan pada banyak konsesi di seluruh lanskap. Sebaliknya, pendekatan ini melibatkan penyusunan target konservasi dan pengembangan pada skala yang jauh lebih luas, kemudian mengalokasikan serta mengelola lahan untuk mencapai target-target tersebut. Dengan pendekatan ini, pengembangan kebun sawit baru dapat dialokasikan ke area yang dampak lingkungannya minimal, tapi menawarkan keuntungan sosial-ekonomi tinggi.

Pemerintah (atau badan berwenang/Pemda) wajib memimpin perencanaan tersebut, dengan berpedoman pada prioritas dan tujuan nasional, dan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan seperti pelaku usaha, LSM, dan masyarakat. Studi terakhir di Kalimantan menunjukkan bahwa dengan merelokasi pengembangan perkebunan sawit baru ke lahan berkarbon rendah, emisi GHG dapat ditekan hingga 55-60%, tanpa mengurangi keuntungan dari perkebunan sawit. Beberapa studi awal yang penting untuk menguji aplikasi pendekatan secara lanskap, dan meningkatkan keberlanjutan perkebunan sawit, sedang dilaksanakan di Indonesia.

Perencanaan lahan juga akan sangat membantu dalam mengatasi masalah lahan kritis. Saat ini, pengetahuan kami atas area lahan ini sangat terbatas, termasuk apakah lahan ini dapat dimanfaatkan atau tidak untuk pengembangan sawit.

11. Metode HCS+ dapat dikombinasikan dengan HCS Approach untuk menghasilkan pedoman yang jelas dan konsisten bagi perusahaan dan pemerintah.

Meski HCS Approach lebih berfokus pada konservasi hutan, sementara metodologi HCS+ lebih pada pengembangan berkelanjutan, metode dan dampak yang dihasilkan cukup lengkap untuk memungkinkan penggabungan kedua metodologi. HCS Approach dan HCS+ memiliki kesamaan dalam banyak aspek, meski HCS Approach adalah lintas sektor sementara HCS+ hanya untuk kelapa sawit. Saat ini sedang disusun rencana untuk menguji kedua metodologi ini bersama-sama di berbagai lingkungan hutan. Pengalaman serta temuan dari latihan tersebut akan sangat berguna untuk penyempurnaan lebih lanjut. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan metodologi HCS tunggal bagi sektor kelapa sawit di masa mendatang. Metodologi ini pastinya akan mengacu pada RSPO.

Gambar

Gambar 1: Tiga Pilar Metodologi HCS+ yang mendasari produksi minyak sawit secara berkelanjutan
Gambar 2: Bagaimana LiDAR dapat digunakan untuk mengidentifikasi hutan dengan Stok Karbon Tinggi pada tingkat konsesi
Gambar 3: Diagram skematik yang menggambarkan pengembangan lahan sawit netral karbon pada level konsesi
Tabel 1: Kriteria pengukuran dampak sosial ekonomi berdasarkan standar yang berlaku
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa grafik di atas terlihat bahwa nilai percepatan vertikal suspensi semi aktif mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan suspensi pasif, sedangkan

Kompetensi Inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki mereka yang telah menyelesaikan pendidikan pada satuan

Dari hasil optimasi, diperoleh bahwa konsentrasi furfural cenderung meningkat pada saat temperatur dan waktu hidrolisa yang tinggi, karena adanya pembentukan asam

TF menceritakan bahwa proses penentuan kepala madrasah di Kemenag Kabupaten Jombang menggu- nakan kriteria PDLT yaitu Prestasi Dedikasi (punya kemampuan dan keinginan

Nama perusahaan ini adalah Karoongindo, arti kata Karoongindo tersebut diambil dari kata karoong dengan maksud karung dalam bahasa Indonesia dan karung juga

[r]

Dari hasil pengujian algoritma decision tree dan neural network, baik evaluasi menggunakan counfusion matrix maupun ROC curve terbukti bahwa hasil

Steker atau Staker berfungsi untuk menghubungkan alat listrik dengan aliran listrik yang ditancapkan pada kanal stop kontak sehingga alat listrik tersebut dapat digunakan. Alat