• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak dulu hingga dewasa ini, Indonesia terkenal dengan julukan negara kepulauan. Negara dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Marauke menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Kosekuensi yang tidak dapat terelakkan sebagai negara kepulauan adalah adanya kawasan pesisir yang ternyata panjang kawasan garis pantai Indonesia merupakan garis pantai terpanjang ke empat setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km. Tujuh puluh lima persen wilayah Indonesia ditutupi oleh wilayah laut dan pesisir atau sekitar 5,8 juta km2 dari 7.827.087 km2. Cukup luasnya wilayah laut dan pesisir di Indonesia tentu menjadi potensi yang cukup besar pula bagi perekonomian Indonesia. Seperti yang dilansir oleh www.beritadaerah.com tanggal 29 oktober 2013, disebutkan bahwa sektor pertanian perikanan pada tahun 2013 tumbuh sebesar 7% berdasarkan data BPS triwulan II 2013 dibandingkan dengan triwulan II 2012.

“Indonesia punya potensi produksi perikanan terbesar di dunia sekitar 65 juta ton pertahun, dan baru 20%-nya yang dimanfaatkan“ (Dhanuri dalam www.beritadaerah.com tanggal 29 oktober 2013)

Kawasan pesisir merupakan salah satu kawasan yang cukup rentan terhadap perubahan. Terutama perubahan iklim yang saat ini menjadi salah satu isu yang banyak diperbincangkan dan diulas strategi penanggulangannya. Indonesia sebagai negara maritim menjadi salah satu negara yang akan mendapat ancaman yang cukup serius jika tidak dilakukan penataan dan pengelolaan terhadap wilayah laut dan pesisirnya. Tidak hanya itu, juga terdapat konflik yang ditimbulkan dari berbagai sektor sementara pihak terkait mencoba mendorong

(2)

perkembangan wilayah pesisir ini sesuai dengan kepentingannya, seperti pariwisata, perhubungan laut, perikanan, pertambangan, dan kepentingan

stakeholder lainnya. Oleh karenanya, perlu adanya aturan khusus yang mengatur

penataan ruang wilayah laut dan pesisir untuk meminimalisir resiko yang ditimbulkan. Dalam undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada Bab III disebutkan bahwa penataan ruang wilayah meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.

Antara wilayah daratan dan pesisir tentu memliki karakteristik yang sangat berbeda. Artinya, dalam penataannya tidak bisa disamakan antara penataan di wilayah daratan dengan penataan di wilayah pesisir. Perbedaan karakteristik yang cukup menonjol ini juga cukup berpengaruh terhadap bagaimana merumuskan dasar pemikiran dan memformulasikan mekanisme pengembangan di wilayah pesisir. Pasal 6 ayat (5) dalam Undang–undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaannya diatur dengan Undang–undang tersendiri. Dengan demikian dapat diartikan bahwa secara implisit Undang–undang nomor 27 tahun 2007 memiliki keterkaitan dengan undang–undang nomor 26 tahun 2007 sebagai instrumen spesialisasi pengelolaan ruang laut.

Saat ini, beberapa wilayah di Indonesia sudah mulai menyadari bahwa pentingnya untuk menjaga laut melalui penataan ruang laut. Hal ini dibuktikan dengan sudah adanya peraturaan–peraturan yang dikeluarkan oleh daerah mengenai penataan ruang laut atau yang lebih dikenal dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil (RZWP3K). Seperti Provinsi Jawa Tengah misalnya, pemerintahnya telah mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 4 tahun 2014 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil (RZWP3K) provinsi Jawa Tengah tahun 2014–2034. Begitu juga dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana pada tahun 2011, provinsi tersebut telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Yogyakarta nomor 16 tahun 2011 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi

(3)

Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011–2030. Dokumen tersebut menjadi acuan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta menata ruang lautnya. Peraturan– peraturan tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat yang tertuang dalam pasal 9 ayat (5) Undang–undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengeolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil. Dalam undang–undang tersebut, disebutkan perlu dibentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil Provinsi.

Pada dasarnya, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini telah mengangkat pentingnya peran dan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Hal ini juga ditunjukkan pada Bab II pasal 3 point (g), yang menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil berasaskan peran serta masyarakat. Masyarakat yang dimaksudkan pada undang–undang ini terbagi menjadi dua yaitu masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pada Bab I pasal 1 point (33) dijelaskan bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pesisir yang secara turun– temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal– usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya pesisir dan pulau– pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Instrumen Hak Penguasaan Perairan Pesisir yang selanjutnya disebut sebagai HP-3 merupakan hal atas bagian–bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau–pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Dalam Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini juga disebutkan siapa–siapa yang berhak mendapatkan HP-3 tersebut dan salah satunya yang mendapat hak tersebut adalah masyarakat adat. Selain garis pantainya yang cukup panjang, ternyata Indonesia sebagai Negara kepulauan juga memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda serta adat

(4)

dan budaya yang sangat beragam. Terkait dengan kawasan pesisir Indonesia yang cukup luas dan memiliki potensi tinggi, secara turun–temurun tenyata telah ada pengelolaan sumber daya laut di beberapa daerah. Salah satunya adalah “Sasi“ yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Raja Ampat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Di Raja Ampat, Sasi secara apik masih dilakukan oleh masyarakat setempat. Sasi ini sendiri merupakan aturan adat yang melarang pengambilan/pemanenan hasil laut atau hasil kebun pada periode tertentu. Larangan ini akan dicabut oleh pemuka adat yang menandai masa panen atau biasa disebut “buka sasi“. Jika sasi dilakukan di wilayah pesisir, maka wilayahnya sampai pada meti (istilah lokal untuk daerah pasang surut). Setiap wilayah sasi memiliki petuanan atau dalam bahasa lain adalah batasan wilayah sasi. Di Raja Ampat ini sendiri sasi dibagi menjadi dua yaitu sasi darat yang dilakukan di wilayah darat, seperti sasi kelapa, sasi kayu, sasi besi, dan lain sebagainya. Kemudian ada sasi laut yang diterapkan di wilayah perairan laut berupa sasi lola, sasi teripang, dan sasi batulaga.

Sasi secara umum membentuk semacam zonasi–zonasi laut yang didasarkan pada sumber daya laut yang ada, di mana kemudian sasi mengatur kembali bagaimana masyarakatnya harus bertindak atau berkegiatan di lautnya. Sasi juga membatasi pola pergerakan dan/atau pola kegiatan masyarakatnya guna menjaga kelestarian alam yang ada. Secara tidak langsung, Sasi yang telah ada sejak jaman dahulu ini menata atau melakukan zonasi terhadap laut agar tidak terjadi eksploitasi secara berlebihan terhadap ekosistem lautnya. Hal ini sangat menarik tentunya untuk menggali lebih jauh mengenai bagaimana kemudian masyarakat adat yang ada di Kepulauan Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, membagi wilayah–wilayah lautnya untuk berkegiatan. Adapun untuk jangka panjangnya, dapat diadopsi konsep–konsep penataan ruang laut yang ternyata telah dilakukan oleh masyarakat di Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat ini ke hal yang lebih teknis dan dapat menjadi dasar dalam perencanaan penataan ruang laut di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki ruang laut yang luas dan

(5)

tentunya harus dijaga, di mana tidak hanya dari segi keamanan secara teritorial saja, melainkan dalam pemanfaatannya juga perlu diperhatikan juga agar kelestarian alamnya tetap terjaga dengan baik.

1.2 Rumusan Masalah

Dewasa ini, masih minim sekali pengaplikasian mengenai penataan ruang laut. Perhatian dalam penataan masih terfokus pada wilayah daratan saja. Hal ini kemudian merujuk pada bagaimana wilayah laut dan daratan yang memiliki sifat fisik yang tentunya sangat berbeda. Wilayah darat cenderung lebih mudah dalam penataan mengingat pada wilayah daratan masih memungkin untuk ditentukan batas–batasnya. Lain halnya pada wilayah lautan, di mana sangat sulit dalam menentukan batas–batasnya.

Namun demikian, ruang laut juga merupakan amanat yang tertera dalam Undang–undang nomor 26 tahun 2007, yaitu sebagai salah satu pemanfaatan ruang yang harus dijaga juga ditata. Amanat tersebut diturunkan kemudian dalam Undang–undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil. Dalam undang–undang tersebut disampaikan bahwa sangat diperlukan adanya pengelolaan wilayah pesisir dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai ujung tombak dalam pengelolaannya.

Adapun fenomena yang ada di Kabupaten Raja Ampat, terlihat bagaimana kemudian nenek moyang masyarakat setempat mengajarkan untuk menjaga serta mengelola lautnya dengan baik. Kondisi geografis yang bersifat kepulauan secara tidak langsung menggambarkan bagaimana bergantungnya masyarakat setempat kepada hasil sumber daya laut. Kesadaran masyarakat setempat akan hal tersebut mendorong mereka untuk menaati ajaran yang telah diajarkan sejak dahulu tersebut.

Hal ini tentu sangat sesuai dengan maksud serta tujuan dalam melakukan penataan ruang. Kondisi tersebut juga disampaikan dalam Undang–undang Penataan Ruang, pasal (3) yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Sasi yang diajarkan oleh nenek

(6)

moyang terdahulu kepada masyarakat di Kabupaten Raja Ampat menitikberatkan pada pelestarian alam, agar tetap lestari dan dapat manfaatkan terus hingga nanti. Konsep ini juga tersurat dalam undang–undang penataan ruang tersebut yang menyebutkan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (undang undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; pasal 3 point c). Menjadi menarik adalah ketika yang diatur pengelolaannya oleh masyarakat di kabupaten tersebut adalah ruang laut yang notabene masih sangat minim perhatian dalam penataan ruang lautnya. Oleh karenanya, peneliti sangat tertarik untuk meneliti bagaimana fenomena Sasi yang ada di Kepulauan Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, dalam mengelola ruang lautnya.

Bedasarkan uraian rumusan masalah, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana sasi sebagai bentuk pengelolaan ruang laut di Kepulauan Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi Sasi sebagai bentuk pengelolaan ruang laut di Kepulauan Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan didapat dari penelitian ini tidak hanya dirasakan oleh peneliti dalam memperkaya ilmu dalam bidang perencanaan, melainkan juga bagi pihak–pihak lain yang memiliki fokus dalam penataan ruang laut atau yang memiliki fokus dalam bidang kelautan guna menciptakan harmoni kehidupan antara di darat maupun di laut. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memperkaya bidang keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) mengenai penataan ruang laut.

(7)

2. Memberikan bahan pertimbangan awal mengenai penelitian selanjutnya mengenai bagaimana masyarakat lokal di Kabupaten Raja Ampat dalam mengelola laut dan kemudian dapat diturunkan menjadi bahan teknis guna menata ruang laut secara menyeluruh.

1.5 Batasan Penelitian

Batasan penelitian ini bertujuan untuk menyempitkan ruang lingkup penelitian agar dapat fokus pada obyek penelitian yang diteliti. Pembatasan penelitian ini adalah melihat bagaimana “Sasi“ memanfaatkan tata ruang, khususnya tata ruang laut.

1.5.1 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah melihat bagaimana Sasi yang telah ada sejak dahulu menata ruang lautnya untuk berkegiatan dengan mengidentifikasi menggunakan 3 komponen yaitu space (ruang), activity (aktivitas), dan man (pelaku) sehingga didapatkan konsep spasialnya.

1.5.2 Lokasi Penelitian

Lokasi amatan dalam penelitian ini adalah Kepulauan Meosmanggara, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat. Namun demikian, karena keterbatasan informasi yang didapat ketika melakukan survei lapangan, maka peneliti juga mengambil informasi di wilayah lain yang masih dalam batasan administratif kabupaten melalui media online.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai sasi telah dilakukan sebelumnya. Hanya saja fokus dalam penelitian sebelumnya berbeda dengan fokus dalam penelitian ini. Boli (2014) melakukan penelitian mengenai sasi dan bagaimana integrasinya dengan konservasi perairan modern sebagai pengelolaan di Raja Ampat. Dalam penelitiannya, diungkapkan bahwa sasi ternyata secara ekonomi mampu meningkatkan jumlah hasil tangkap masyarakat setempat. Selain itu, juga dilihat

(8)

bagaimana eksistensi sasi tersebut terhadap adanya penerapan kawasan konservasi yang notabene memiliki standar tersendiri dalam pengelolaan serta teknis yang modern dalam monitoring atau pengecekannya.

Selain itu, penelitian mengenai sasi juga telah dilakukan oleh Judge dan Nurizka (2008). Penelitian ini difokuskan pada efektivitas hukum adat sasi dalam mengatur dan menjaga lingkungan. Selain itu, dalam penelitian ini juga diuraikan mengenai bagaimana kedudukan hukum adat sasi dengan hukum di Indonesia terutama hukum–hukum yang berkaitan dengan lingkungan.

Thorburn ( 1998 ) juga telah melakukan penelitan mengenai sasi yaitu Sasi

Lola in Kei Besar Islands, Moluccas : An Endangered Coastal Resources Management Tradition. Dalam penelitian ini, dibahas tentang penerapan sasi pada

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan nilai R/C Ratio yang diperoleh antara usaha budidaya lebah madu di Dusun Sidomukti dengan Dusun Selingkut Hulu dipengaruhi oleh jumlah pakan yang masih tersedia

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

1 Sistem dapat digunakan untuk menyimpan Tinggi U.01 Use Halaman Utama (H.2) pengetahuan yang berasal tulisan auditor,. karangan orang lain maupun artikel majalah dan internet yang

Oleh kerana rentetan faktor sosial, teknologi dan pengaruh budaya luar yang mempengaruhi pemikiran bangsa Indonesia terhadap sejarah negara sendiri telah menghasilkan pelbagai

Ini adalah yang paling lazim dari desain khusus ,dimana Soemitra menghasilkan karya kerajinan tangan bagi pelanggan yang memungkinkan mereka untuk membuat desain

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

ojek online yang lain pengendaranya berjenis kelamin laki-laki berbeda dengan Ojesy yang Sahabat Pengendaranya berjenis kelamin perempuan, hal inilah yang membuat

Hasil analisis rata-rata tebal kerabang dan haugh unit telur (HU) setelah pemeliharaan dengan pemberian ransum yang ditambahkan ekstrak daun katuk, probiotik, dan