• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan

Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya memerlukan jasa akuntansi, baik untuk meningkatkan mutu pengawasannya maupun untuk menghasilkan informasi keuangan yang akan digunakannya, jasa akuntansi itu dikenal dengan akuntansi pemerintahan.

Pengertian akuntansi pemerintahan tidak terlepas dari pengertian akuntansi secara umum. Akuntansi didefinisikan sebagai aktivitas pemberian jasa (service

activity) untuk menyediakan informasi keuangan kepada para pengguna (user) dalam

rangka pengambilan keputusan. Untuk dapat lebih memahami pengertian yang jelas mengenai akuntansi pemerintahan dari para ahli.

Menurut Bachtiar, dkk (2002; 3) pengertian Akuntansi Pemerintahan adalah sebagai berikut:

“...akuntansi pemerintahan dapat didefinisikan menjadi suatu aktivitas pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan proses pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut”.

(2)

Sedangkan Revrisond (2007; 7), mengemukakan bahwa:

“Akuntansi Pemerintahan (termasuk akuntansi untuk lembaga non profit pada umumnya) merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan dan lembaga- lembaga yang bertujuan untuk tidak mencari laba. Walaupun lembaga pemerintah senantiasa berukuran besar, namun sebagaimana dalam perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro".

Berdasarkan pengertian-pegertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat dikatakan bahwa akuntansi pemerintahan merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga pemerintahan yang tidak bertujuan untuk mencari laba dan merupakan suatu disiplin akuntansi sebagai suatu keutuhan dan memisahkan berbagai karakteristik dengan akuntansi bisnis.

2.1.2 Anggaran

2.1.2.1 Pengertian Anggaran

Bagi organisasi sektor publik seperti pemerintahan, anggaran tidak hanya sebuah rencana tahunan tetapi juga merupakan bentuk akuntabilitas atas pengelolaan dana publik yang dibebankan kepadanya.

Anggaran sektor publik berisi rencana yang dipresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai

(3)

pendapatan, belanja, dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang.

Anggaran dapat dikatakan sebagai sebuah rencana finansial yang menyatakan:

1. Rencana-rencana organisasi untuk melayani masyarakat atau aktivitas lain yang dapat mengembangkan kapasitas organisasi dalam pelayanan.

2. Estimasi besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam merealisasikan rencana tersebut.

3. Perkiraan sumber-sumber mana saja yang akan menghasilkan pemasukan serta seberapa besar pemasukan tersebut.

Mardiasmo (2005; 61) menyatakan bahwa:

“Anggaran merupakan pertanyaan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial…………”

Sony, dkk (2005; 27) mengemukakan bahwa:

“Anggaran adalah suatu rencana terinci yang dinyatakan secara formal dalam ukuran kuantitatif, biasanya dalam satuan uang (perencanaan keuangan) untuk menunjukkan perolehan dan penggunaan sumber-sumber suatu organisasi".

(4)

“Anggaran negara adalah rencana pengeluaran/belanja dan penerimaan/pembiayaan belanja suatu negara selama periode tertentu".

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa anggaran merupakan suatu rencana mengenai penegluaran atau belanja dan penerimaan atau pembiayaan belanja selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam bentuk angka-angka rupiah.

2.1.2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Penyusunan APBD dimasukkan sebagai rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Rancangan APBD terbagi atas tiga pos, yaitu pos pendapatan, belanja, dan pembiayaan.

Anggaran pemerintah daerah pada hakikatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian anggaran harus benar-benar mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan memperlihatkan potensi dan keanekaragaman daerah.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa:

“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah".

(5)

Suatu anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Rancangan kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terinci.

2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksanakan.

3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka . 4. Periode anggaran, biasanya satu tahun.

2.1.3 Otonomi Daerah

Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah otonomi daerah. Otonomi daerah ditunjukkan dengan delegasi kewenangan pengambilan keputusan dan administrasi pembangunan serta deligasi pembiayaan daerah (Mardiasmo, 2002).

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengenai pengertian otonomi daerah dan daerah otonom adalah sebagai berikut:

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia".

(6)

Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan pada hakekatnya bertujuan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan. Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan negara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis (Mardiasmo, 2002).

Menurut (Bastian, 2006) menyatakan bahwa ada beberapa asas penting dalam undang-undang otonomi daerah yang perlu dipahami yaitu Asas Desentralisasi, Asas Dekosentrasi, Tugas Pembantuan, serta Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Berikut penjelasan asas-asas penting tersebut:

1. Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di daerah. 3. Tugas Pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan

desa serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

(7)

4. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, merupakan suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam rangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

2.1.4 Pendapatan Daerah

Pemerintah daerah harus memiliki sumber pendapatan yang cukup dan memadai, karena untuk pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan biaya yang tidak sedikit.

Herlina (2005; 38) menyatakan bahwa:

"Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah , hasil distribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otda sebagai perwujudan asas desentralisasi". Menurut UU No 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 12, yang dimaksud dengan Pendapatan Daerah adalah:

“Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam operasi tahun bersangkutan".

(8)

Sumber-sumber Pendapatan Daerah sebagai pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan pasal 5 UU No 33 Tahun 2004 terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2. Dana Perimbangan

3. Lain-lain Pendapatan yang Sah

2.1.4.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pengertian Pendapatan Asli Daerah menurut Abdul (2007; 96) adalah sebagai berikut:

"Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor publik Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah yang dipungut berdasarkan Undang-Undang".

Menurut Pasal 1 Ayat 17 UU No. 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut:

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

(9)

Di dalam pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari hasil Pajak Daerah, Hasil Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain PAD yang Sah.

Menurut Mardiasmo (2002; 132) tentang pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu:

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah".

Sebagaimana disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, maka diharapkan tiap-tiap pemerintah daerah dapat membangun infrastruktur ekonomi yang baik di daerahnya masing-masing guna meningkatkan pendapatannya.

Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka 18 bahwa:

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan perundang-undangan".

(10)

Menurut Halim (2007; 96) tentang pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu:

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah".

Dari beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan penting bagi sebuah daerah dalam memenuhi belanjanya. Pendapatan Asli Daerah ini sekaligus menunjukan tingkat kemandirian suatu daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang didapat semakin memungkinkan daerah tersebut untuk memenuhi kebutuhan belanjanya sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah pusat. Ini berarti pemerintah daerah sudah mampu untuk mandiri, dan begitu juga sebaliknya.

1. Pajak Daerah

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa:

“Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

(11)

Sedangkan menurut (Erly, 2005; 39) pengertian pajak daerah adalah sebagai berikut:

“Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang Pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak daerah diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah".

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa pajak daerah merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah yang dapat dipaksakan dan tanpa mendapat imbalan langsung yang digunakan oleh Pemerintah Daerah yang membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Adapun jenis-jenis Pajak Daerah yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 2 adalah sebagai berikut:

1. Jenis Pajak Provinsi terdiri dari: 1) Pajak Kendaraan Bermotor,

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, 4) Pajak Air Permukaan,

5) Pajak Rokok.

2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: 1) Pajak Hotel,

2) Pajak Restoran, 3) Pajak Hiburan,

(12)

4) Pajak Reklame,

5) Pajak Penerangan Jalan,

6) Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, 7) Pajak Parkir,

8) Pajak Air Tanah,

9) Pajak Sarang Burung Walet,

10) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, 11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2. Retribusi Daerah

Sumber pendapatan lain yang dapat dikategorikan dalam Pendapatan Asli Daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).

Retribusi daerah dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi jasa perijinan. Yang mana dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Retribusi jasa umum, adalah retribusi jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan

(13)

kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

2. Retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.

3. Retribusi perizinan, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintahan daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Sumber pendapatan asli daerah yang selanjutnya adalah hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pemerintah daerah dalam memaksimalkan pendapatan asli daerah tidak hanya mengandalkan dari pajak daerah dan retribusi daerah saja tetapi juga dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Menurut (Halim, 2007) yang dimaksud dengan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan adalah hasil yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Jika atas pengelolaan tersebut

(14)

memperoleh laba, maka laba tersebut dapat dimasukkan sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 jenis-jenis hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan meliputi:

1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.

2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik Negara/BUMN.

3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

Jenis penerimaan yang termasuk hasil kekayaan daerah yang dipisahkan antara lain, bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. Hasil kekayaan daerah biasanya diandalkan berasal dari laba Badan Usaha Milik Daerah. Sedangkan jenis usaha yang dikelola pemerintah daerah sangat beraneka ragam. Hal ini tergantung pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing daerah. Semakin banyak potensi dan peluang yang dapat dikembangkan maka semakin besar pula kesempatan untuk meningkatkan kontribusi laba untuk usaha daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

(15)

2.4.1.2 Dana Perimbangan

Berdasarkan pasal 1 ayat 18 UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa:

“Dana Perimbangan adalah Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi".

Desentralisasi dalam pengertian di atas adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

1. Dana Bagi Hasil

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Berdasarkan pasal 11 ayat 2 UU No. 33 Tahun 2004 Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas:

(16)

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan

3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam menurut pasal 11 ayat 3 UU No. 34 Tahun 2004 berasal dari:

1. Kehutanan

2. Pertambangan Umum 3. Perikanan

4. Pertambangan Minyak Bumi 5. Pertambangan Gas Bumi dan 6. Pertambangan Panas Bumi

2. Dana Alokasi Umum

Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No. 34 Tahun 2004 pasal 1 ayat 20).

Jumlah keseluruhan DHU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk suatu

(17)

daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal yang dimaksud adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah sedangkan alokasi dasar yang dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Kebutuhan fiskal daerah kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum sedangkan kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Proporsi DAU antara daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah Kabupaten/Kota dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah Kabupaten/Kota. Bobot daerah Kabupaten/Kota yang dimaksud merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah Kabupaten/Kota.

Daerah yang memiliki celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima dasar DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.

(18)

Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah merumuskan formula dan perhitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil perhitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan, masing-masing sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari DAU daerah yang bersangkutan. Penyaluran DAU dilaksanakan sebelum bulan bersangkutan.

3. Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. (UU No. 34 Tahun 2004 pasal 1 ayat 22). Kegiatan khusus yang dimaksud yaitu sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan APBN.

Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD.

(19)

2. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah.

3. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis. 2.1.4.3 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang Sah

Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terakhir adalah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Pengertian Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah menurut (Halim, 2007), yaitu “Pendapatan yang merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah meliputi:

1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan 2. Jasa giro

3. Pendapatan bunga

4. Keuntungan selisih nilai rupiah terhadap mata uang asing

5. Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan atau jasa oleh daerah.

Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijaksanaan sebagai otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah yang diterima, maka semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya (Mardiasmo, 2002; 117).

(20)

2.1.5 Kinerja dan Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah 2.1.5.1 Pengertian Kinerja

Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dapat diukur dengan menilai efisiensi atas realisasi dari alokasi yang dilakukan pemerintah terhadap suatu anggaran.

Pengertian kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005; 503) adalah

"Sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan kerja".

Sedangkan menurut Indra Bastian (2006; 325) mengemukakan pengertian kinerja yaitu:

"Gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic

planning) suatu organisasi".

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan kemampuan atau prestasi yang dicapai dalam melaksanakan suatu aktivitas tertentu.

2.1.5.2 Pengertian Pengukuran Kinerja

Pengertian pengukuran kinerja menurut Mardiasmo (2002; 121) adalah sebagai berikut:

"Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial".

(21)

Selain itu Mulyadi (2002; 415) juga mengemukakan pengertian penilaian kinerja sebagai berikut:

"Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya".

Jadi, pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting untuk menilai prestasi manajer dan unit organisasi serta akuntabilitas dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik, yaitu tidak hanya sekedar kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut digunakan secara ekonomis, efisien, dan efektif serta sesuai anggaran yang telah dibuat.

2.1.5.3 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Pemerintah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian suatu potensi. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian di masa mendatang.

Secara umum tujuan pengukuran kinerja menurut Mardiasmo (2002; 122) adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik.

2. Untuk mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi.

(22)

3. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai tujuan.

4. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif yang rasional.

Selain itu manfaat dari pengukuran kinerja adalah:

1. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajamen.

2. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan.

3. Untuk memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja.

4. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward &

punishment) secara objektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai

dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati.

5. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi.

6. Membantu mengidentifikasikan apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. 7. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah.

8. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara objektif.

Sedangkan Ihyaul Ulum (2004; 276) mengemukakan bahwa pengukuran kinerja pemerintah dilakukan untuk memenuhi beberapa maksud, yaitu:

(23)

a. Pengukuran kinerja pemerintah ditujukan untuk memperbaiki kinerja pemerintah.

b. Pengukuran kinerja pemerintah ditujukan untuk pengalokasian dana dan pembuatan keputusan.

c. Pengukuran kinerja pemerintah ditujukan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penilaian kinerja diharapkan dapat menegakkan perilaku yang semestinya, melalui umpan balik hasil kinerja pada waktunya serta penghargaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

2.1.5.4 Analisis Rasio Keuangan sebagai Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak.

Kinerja pemerintah dapat dilihat dari sisi finansial dan nonfinansial dengan menilai kinerja finansial pemerintah daerah dapat diketahui bagaimana pemerintah daerah mengelola keuangan daerahnya, sedangkan dengan menilai kinerja nonfinansial dapat diketahui semua kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya di luar kinerja finansial tersebut.

(24)

Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Josef Riwu Kaho dan Munir (2004; 92) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemda dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.

Halim (2007; 231) menyebutkan bahwa penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah ditetapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoritis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya.

Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan cara membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Menurut Halim (2007; 232) analisis rasio keuangan APBD terdiri dari berbagai bentuk, di antaranya:

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah = 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑨𝒔𝒍𝒊 𝑫𝒂𝒆𝒓𝒂𝒉 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑫𝒂𝒆𝒓𝒂𝒉

(25)

2. Rasio Efektivitas

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.

3. Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah

Rasio efesiensi merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima.

4. Rasio Aktivitas/Keserasian

Rasio ini terdiri dari Rasio Belanja Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Tidak Langsung terhadap APBD. Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja langsung dan tidak langsung secara optimal.

Rasio Efektivitas = 𝑹𝒆𝒂𝒍𝒊𝒔𝒂𝒔𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒂𝒏 𝑷𝑨𝑫 𝑻𝒂𝒓𝒈𝒆𝒕 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒂𝒏 𝑷𝑨𝑫

Rasio Efisiensi = 𝑩𝒊𝒂𝒚𝒂 𝑷𝒆𝒎𝒆𝒓𝒐𝒍𝒆𝒉𝒂𝒏 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒂𝒏 𝑨𝒔𝒍𝒊 𝑫𝒂𝒆𝒓𝒂𝒉 𝑹𝒆𝒂𝒍𝒊𝒔𝒂𝒔𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂𝒂𝒏 𝑷𝑨𝑫

(26)

2.2 Kerangka Pemikiran

a. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan akses dari pertumbuhan ekonomi (Saragih, 2003). Daerah yang pertumbuhan ekonominya positif mempunyai kemungkinan mendapatkan kenaikan pendapatan perkapita yang lebih baik (Harianto dan Adi, 2007). Oleh sebab itu seharusnya pemerintah daerah lebih berkonsentrasi terhadap pemberdayaan ekonomi daerah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi daripada sekedar mengeluarkan produk perundangan terkait dengan pajak atau retribusi. Selain itu, ketergantungan terhadap dana transfer dari pemerintah pusat dari tahun ke tahun harus semakin dibatasi karena saat ini sumber keuangan daerah sebagian besar masih berasal dari dana transfer pemerintah pusat.

Hasil penelitian (Florida, 2006) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Rasio Belanja Langsung = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒂 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝑷𝑩𝑫

Rasio Belanja Tidak Langsung = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑩𝒆𝒍𝒂𝒏𝒋𝒂 𝑻𝒊𝒅𝒂𝒌 𝑳𝒂𝒏𝒈𝒔𝒖𝒏𝒈 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑨𝑷𝑩𝑫

(27)

b. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah UU No. 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 18 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa:

“Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi.”

Realisasi pendapatan daerah lebih tinggi daripada pendapatan daerah maka akan terjadi defisit. Oleh karena itu untuk menutupi kekurangan belanja daerah maka pemerintah pusat mentransfer dana dalam bentuk Dana Perimbangan kepada pemerintah daerah. Semakin besar Dana Perimbangan yang diterima dari pemerintah pusat akan memperlihatkan semakin kuat pemerintah daerah bergantung kepada pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.

c. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

Menurut Pasal 1 Ayat 17 UU No. 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut:

“Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

(28)

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:

"Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan ABPN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi".

Untuk dapat menilai Kinerja Keuangan Pemerintah yang efisien maka dapat dilihat dari seberapa besar Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Daerah tersebut dibandingkan dengan dana transferan dari Pemerintah Pusat (Dana Perimbangan). Jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar dari pada Dana Perimbangan maka dapat dikatakan Daerah tersebut Kinerja Keuangannya efisien, karena tidak hanya mengandalkan Dana Perimbangan saja akan tetapi Daerah tersebut dapat mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

(29)

Kerangka Pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan disajikan dalam penelitian ini sebagai berikut:

H1 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja

Keuangan Pemerintah.

H2 : Dana Perimbangan berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Keuangan

Pemerintah.

H3 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan berpengaruh

signifikan secara simultan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah. Pendapatan Asli Daerah

(PAD)

Dana Perimbangan Kinerja Keuangan

H1

H3

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana

Perimbangan

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama

Hasil pengujian ini menunjukan bahwa dengan kontroler PID yang diterapkan pada motor DC dapat bekerja dengan range kerja motor yang lebih spesifik dari metode

Peneliti melakukan pengamatan pada kehidupan santri di pesantren seputar attacment style santri terhadap Pembina di dalam pondok, selain sebagai observer, tugas peneliti

Berdasarkan hasil observasi kemampuan guru (peneliti) melaksanakan langkah – langkah pembelajaran dalam peningkatan kemampuan siswa dalam menulis karangan narasi

Metode yang digunakan adalah membandingkan waktu yang dibutuhkan oleh kedua perangkat lunak Cytovision 3.6 dan SmartType Express untuk menghilangkan kesepuluh

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik

Penderita 3 bulan Pasca Stroke Iskemik yang berobat atau kontrol di Poliklinik Ilmu Penyakit Saraf RSUP Dr.Kariadi Semarang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan

Preposisi jenis tersebut dapat berupa kata dasar maupun berafiks (Alwi dkk.. Berikut merupakan uraian mengenai preposisi tunggal yang ditemukan dalam kolom “cerita anak”