• Tidak ada hasil yang ditemukan

Esensi Ajaran Islam Tentang Keadilan Sosial Dan Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Esensi Ajaran Islam Tentang Keadilan Sosial Dan Ekonomi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEADILAN SOSIAL DAN EKONOMI

oleh A Agus Sinarta

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... i

BAB II PEMBAHASAN ; ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEADILAN SOSIAL DAN EKONOMI ... 1

A. Esensi Ajaran islam tentang Keadilan Sosial ... 3

B. Esensi Ajaran islam tentang Keadilan Ekonomi ... 7

BAB III KESIMPULAN ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 14

CATATAN ... 15

BAB I

PENDAHULUAN

ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEADILAN SOSIAL DAN EKONOMI

Seperti diketahui bahwa Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Merupakan sumber tuntunan hidup bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan yang fana didunia ini dalam rangka menuju kehidupan kekal di akhirat.

Alqur’an dan sunnah Rasulullah sebagai penuntun memiliki daya jangkau dan daya atur yang universal. Artinya, meliputi segenap aspek kehidupan umat manusia dan selalu ideal untuk masa lalu, kini,dan yang akan datang.

Salah satu bukti bahwa Alqur’an dan sunnah tersebut mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam

▸ Baca selengkapnya: ayat alkitab tentang keadilan dan perdamaian

(2)

kehidupan aktual. Misalnya, daya jangkau dan daya aturnya mengenai keadilan sosial dan ekonomi umat manusia dalam kehidupan.

Keadilan dalam pandangan Islam merupakan keharusan dalam kehidupan muslim. Di samping itu juga merupakan memiliki dimensi ibadah. Hal ini dapat dibuktikan dengan ungkapan “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian dimuka bumi dan kami adakan bagimu dimuka bumi itu ( sumber ) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”( QS. Al-A’raf : 10)

Ada ungkapan menarik dari Fahmi Huwaydi (ulama terkemuka Mesir) dalam kitab Al-Qur’an

wa Al-Sulthan: “Jika kita mencari padanan kata yang praktis, ringkas dan konprehensif dalam

satu kata dari segala yang dikandung syariah, kita tidak akan menemukan padanan selain “keadilan”. Jika tauhid merupakan penyangga aqidah maka keadilan adalah penyangga syariah. Praktek keislaman yang benar tidak akan tuntas jika dua sisi tersebut tidak saling menguatkan. Selain itu, jika kita hanya membatasi pada salah satunya dan mengabaikan yang lain, maka hanya akan menghasilkan proses yang menyimpang dan bagaimanapun tidak akan mampu menegakkan praktek keislaman.”

Ungkapan ini tidak berlebihan jika kita menelaah kembali pesan Islam tentang keadilan Keadilan merupakan perintah Allah kepada para nabi dan kewajiban bagi kaum muslim: “Dan telah Aku perintahkan agar berbuat adil di antara kalian”. (al-Syura, 15); “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian berbuat adil” (al-nahl, 90); “Wahai orang-orang beriman jadilah kalian para penegak keadilan” (al-Nisa’ 135); “sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk memenuhi amanat kepada yang berhak, dan jika kalian mengadili antara manusia maka adililah dengan adil” (al-Nisa’ 58). Berbuat adil merupakan nilai yang absolut yang harus ditegakkan dalam segala situasi, bahkan dalam manghadapi musuh: “dan janganlah kebencian kalian atas suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil, adillah, ia lebih dekat kepada taqwa” (al-maidah, 8); “maka jangan kalian memperturutkan hawa nafsu agar kalian berbuat adil” (al-nisa’ 135).

Rasulullah juga menegaskan: sesungguhnya orang yang paling dicintai Allah serta duduknya paling dekat dengan Allah pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil. Sesungguhnya orang

(3)

yang paling dibenci Allah dan paling keras siksanya di hari kiamat adalah penguasa yang tiran”. “Sesungguhnya orang yang paling mulia dan terhormat bagi Allah adalah raja yang adil”.

Komitemen Nabi SAW dalam menegakkan keadilan tampak nyata sejak Beliau mendakwahkan Islam di Mekah. Perjuangan mendasar yang Beliau lakukan meliputi dua hal; membebaskan ummat dari aqidah yang sesat dan membebaskan ummat dari belenggu kezaliman dan kekuasaan ekonomi politik yang menindas. Di tangan Rasulullah, Islam merupakan kekuatan yang merubah pemahaman tentang Tuhan (teologi), pandangan tentang dunia dunia (world view) dan struktur sosial sekaligus. Maka tidak heran Islam mampu melahirkan peradaban besar yang menandingi peradaban Romawi dan Persia yang telah mapan sebelumnya.

Keadilan dalam konsep Qur’an adalah memberikan hak kepada yang berhak. Keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus: Adl ’am bermakna

perwujudan sistem dan struktur politik maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan pemerintah. Adl khas bermakna pelaksanaan keadilan dalam kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi bidang yang luas dari larangan melanggar hak orang lain, keadilan membayar hutang (dan hendaknya seorang juru tulis menulis di antara kalian dengan adil); peringatan bagi yang beristri banyak (maka jika kalian takut tidak bisa berlaku adil maka satu saja) hingga larangan untuk tidak adil dalam menyatakan sesuatu, (dan jika kalian berkata-kata maka berlaku adillah kalian meskipun dengan sanak kerabat).

Akhirnya Penyusun mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak terkait yang mendukung dalam menyelesaikan makalah ini dan semoga dapat menjadi penambah pengetahuan kita semua. Tentunya penyusun menyadari masih terdapat kekurangan didalam penyusunan makalah ini, untuk itu saran, komentar positif yang membangun untuk tercapainya sebuah makalah sesuai yang kita harapkan

BAB II

(4)

ESENSI AJARAN ISLAM

TENTANG KEADILAN SOSIAL DAN EKONOMI

Menurut ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Di dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.

Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:

Artinya:

Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;

Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam.

(5)

Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.

Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:

Artinya:

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.

Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah karena Allah.

Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:

Artinya:

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.

Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia

dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.

(6)

Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Manusia ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.

Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.

a. Kerja sama intern umat beragama

Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :

- Ukhuwah ’ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.

- Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.

- Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. - Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim.

Esensi dari persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian, kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ” Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan yang diikat oleh kesamaan aqidah.

(7)

Persatuan dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah satu prinsip ajaran Islam. Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam adalah karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam. Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata. Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat. Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan muslim terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa

dan manusiawi, karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai penafsiran.

Untuk menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu;

1. Konsep tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).

2. Konsep al mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah , walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian, perlu pula diperhatikan orrang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang disampaikannya setelah melalui ijtihad.

(8)

3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid, dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang

4. dilakukan itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad itu berbeda-beda.

Ketiga konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling bertentangan.

b. Kerja sama antar umat beragama

Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Islam yang hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak sosial yang lahir dari pelaksanaan ajaran islam secara konsekwen dapat dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.

Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.

Dominasi salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal. Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologo.

(9)

Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.

Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khusus untuk menunjukan peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an tanpa mengurangi universalisme Islam.

Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama.

Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik.

Kerja sama antar umat bergama merupakan bagian dari hubungan sosial anatar manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya

tidak dilarang, bahkan dianjurkan sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.

(10)

Sebagai tuntutan utama dalam kehidupan manusia, keadilan dipandang sangat penting dalam ajaran Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, masalah keadilan menjadi acuan penyusunan aturan, undang-undang dan kebijakan. Berdasarkan definisi keadilan yang dijelaskan oleh Imam Ali bahwa keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya, dapat dikatakan bahwa keadilan ekonomi adalah mengantarkan semua anggota masyarakat kepada hak-hak ekonomi mereka masing-masing.

Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal. Pertama, seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua, perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi. Imam Ali (as) berkata, "Tak ada sesuatu yang berkesan dalam memakmurkan negeri lebih dari keadilan." (Al-Hayat: juz: 6 hal: 407). Ungkapan ini menjelaskan bahwa dalam Islam keadilan adalah syarat yang mesti dipenuhi untuk meraih kekayaan dan kemakmuran.

Salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu. Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang melarang penimbunan harta dan perintah mengeluarkan khumus, zakat dan

sedekah. Dalam pandangan Islam, orang yang bahagia adalah orang yang melangkah di jalan kesempurnaan maknawi dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.

Kesejahteraan materi dipandang sebagai wasilah atau sarana untuk mengantarkannya kepada kesempurnaan itu. Karena itu, keadilan ekonomi menjadi bernilai jika membuka kesempatan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan ruhani dan maknawi. Pelaksanaan

(11)

keadilan juga didasari oleh keyakinan dan keimanan. Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, jaminan pelaksanaannya akan semakin bisa diharapkan.

Dalam hal keadilan dan distribusi kekayaan ada satu pertanyaan yang mengemuka. Yaitu, sejauh manakah perbedaan dalam pendapatan di antara anggota masyarakat bisa diterima dan apakah hal itu bertentangan dengan keadilan? Perbedaan dalam memperoleh pendapatan kembali kepada perbedaan dalam kemampuan, potensi, bakat dan fasilitas yang ada. Dan terkadang pula perbedaan itu muncul akibat dari praktik diskriminasi dan ketidakadilan hukum dan kebijakan pemerintah dalam memberi peluang kepada anggota masyarakat. Islam menentang perbedaan pendapatan yang terjadi karena diskriminasi dan ketidakadilan. Namun Islam menerima perbedaan pendapatan yang disebabkan oleh potensi, bakat dan kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Dalam perspektif Islam, keadilan tidak berarti kesamaan dalam pendapatan. Surat al-Zukhruf ayat 32 menegaskan, "Kami telah menentukan kehidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat supaya sebagian mereka dapat menggunakan sebagian yang lain.Dan Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."

Ketidaksamaan orang dalam memperoleh harta adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Sebab, masing-masing orang memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda karena faktor fisik, kejiwaan atau kreativitas dalam bekerja. Perbedaan ini juga kembali kepada kebijaksanaan Allah dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam sebuah hadis dari Imam Ali (as) dijelaskan bahwa beliau berkata, "Dengan hikmah dan kebijaksanaanNya, Allah Swt menciptakan perbedaan pada diri manusia dalam kemauan kehendak dan keadaan mereka.

Perbedaan ini telah ditentukan sebagai sarana untuk membangun kehidupan umat manusia." (Wasail al-Syiah juz 13 hal: 224)

Poin penting yang perlu disinggung di sini adalah bahwa meski mengakui adanya perbedaan ini di tengah masyarakat, namun Islam tetap menggariskan untuk tidak membiarkan terjadinya kesenjangan sosial yang ekstrim dalam memperoleh kesejahteraan materi. Karena itulah Islam mementingkan satu asas yaitu keseimbangan di tengah masyarakat dan pemerataan kekayaan. Sebab, terkumpulnya kekayaan di tangan sekelompok orang akan menciptakan

(12)

kecongkakan pada diri mereka dan membuat kaum fakir tenggelam dalam pekerjaan yang hina dan tidak semestinya.

Salah satu masalah penting yang berhubungan dengan penafian monopoli kekayaan oleh sekelompok orang tertentu adalah masalah kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi menurut kacamata Islam berbeda dengan definisi yang dikenal luas dalam sistem ekonomi dunia yang lain. Dalam sistem ekonomi Islam, tidak ada penafian mutlak kepemilikan pribadi seperti yang ada dalam ideologi sosialisme dan tidak pula sejalan dengan ideologi kapitalisme yang mengakui kepemilikan tanpa batas. Islam mengambil jalan tengah yang netral dan logis. Di satu sisi Islam mengakui kepemilikan pribadi namun di sisi lain, sistem ini menetapkan batasan-batasan tertentu untuk mencegah terjadinya penimbunan harta di tangan kalangan tertentu. Islam menghormati kepemilikan pribadi sebagai hak insani dan setiap orang berhak memiliki apa yang didapatkannya lewat kerja keras dan usahanya. Hak memiliki ini berdasarkan pada fitrah, akal dan aturan kehidupan sosial.

Meski demikian, dasar fitrah dan logika tidak selalunya menjadi pijakan bagi kebebasan kepemilikan pribadi. Sebab, dalam banyak kasus sering terjadi hak-hak umum dan keadilan sosial dan ekonomi justeru dikorbankan demi kepentingan dan kecenderungan pribadi. Salah satu contoh pembatasan yang diterapkan Islam terkait kepemilikan pribadi adalah larangan israf, menghambur-hamburkan harta, atau penimbunan kekayaan. Selain itu, Islam juga menetapkan aturan untuk memperoleh kekayaan. Agama Ilahi ini melarang orang mencari kekayaan lewat cara-cara yang ilegal dan haram. Artinya, dalam Islam tidak

semua cara diperbolehkan untuk mencari kekayaan. Dalam menggunakan kekayaan kita juga diingatkan pada satu hal, yaitu bahwa kita bertanggung jawab di hadapan Allah dalam membelanjakan harta. Sebab, kekayaan yang ada di tangan kita sebenarnya adalah milik Allah. Kekayaan itu diberikan kepada kita sebagai amanat supaya kita menggunakannya sesuai aturan yang telah Allah tentukan. Jika pemikiran ini menjadi keyakinan dan memasyarakat, perilaku ekonomi akan terkendali dan setiap orang yang memiliki harta akan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Jafar Shadiq (as) berkata, "Apakah orang mengira bahwa Allah memberikan sesuatu kepada seseorang karena kemuliaan orang itu atau

(13)

tidak memberinya karena kehinaannya? Tidak demikian. Kekayaan adalah milik Allah yang diamanatkan kepada sekelompok manusia. Mereka diberi hak untuk memanfaatkannya dengan secukupnya untuk makan, minum dan membiayai pernikahannya sementara sisanya harus diberikan kepada mereka yang memerlukan." (Mustadrak al-Wasail juz: 13 hal: 52)

Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa harta kekayaan adalah milik Allah yang diberikan kepada hambaNya sebagai amanat. Dia tidak berhak israf dan menyia-nyiakannya. Seorang hamba yang memperoleh amanat ini wajib melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya terkait harta itu. Jika dilaksanakan ia akan memperoleh keridhaan Allah.

Mufassir besar Allamah Thabathabai terkait kepemilikan individu mengatakan, Islam mengakui kepemilikan individu. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah bersabda "Semua orang berhak atas harta yang dimilikinya." Atas dasar ini, setiap orang berhak untuk menggunakan hartanya baik untuk disimpan maupun untuk dibelanjakan, bahkan untuk diberikan sebagai sedekah, membantu kaum fakir atau menggunakannya untuk hal-hal yang dibenarkan dalam syariat. Namun dia tidak diperkenankan menggunakan hartanya dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Orang tidak berhak menggunakan hartanya untuk hal-hal yang merugikan Islam dan kaum muslimin. Dia juga tidak boleh israf atau menyia-nyiakan harta atau menimbunnya sebagai harta karun."

Dengan penjelasan tadi dapat difahami bahwa kepemilikan individu dalam Islam diatur sedemikian rupa sehingga keadilan ekonomi bisa terwujud.

BAB III KESIMPULAN ملسو هيلع لا ىلص للل اا للولسلرا لاالقا : لاالقا هنع لا يضر ةاراييراهل يبلأا نيعاوا للللل اا راللسليا , ررللسلعيمل ىللاعا راللسليا نيماوا , ةلماالياقللياا ملولييا بلراكل نيمل ةةباريكل هلنيعا لللاا سافلنا , اليانيددلاا بلراكل نيمل ةةباريكل نرملؤيمل نيعا سافلنا نيما ) ( هليخلأا نلوليعا يفل دلبيعالياا ناالكا الما دلبيعالياا نلوليعا يفل للل ااوا , ةلراخللياوا اليانيددلاا يفل لللاا هلراتاسا , المةللسيمل راتاسا نيماوا , ةلراخللياوا اليانيددلاا يفل هلييلاعا ممللسيمل هلجاراخيأا

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa melepaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan dunia, Allah akan melepaskan kesusahannya pada hari kiamat; barangsiapa memudahkan seorang yang mendapat kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat; dan

(14)

barangsiapa menurutpi (aib) seorang muslim, Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan Akhirat; dan Allah selalu akan menolong hambanya selama ia menolong saudaranya." Riwayat Muslim.

Secara konseptual-doktrinal telah diketahui bahwa Islam adalah agama yang membawa ajaran yang menyeluruh dan paripurna bagi kelangsungan hidup manusia di dunia. Dari sekian macam ajaran Islam, esensi ajaran Islam terletak pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada kebenaran, kebaikan, dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar. Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa dan agama.

Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicampuri pihak lain, tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik. Selanjutnya mengenai keadilan ekonomi adalah aturan main (rules of the game) dalam ajaran Islam dapat dipaparkan dalam beberapa hal.

Pertama,seluruh anggota masyarakat mesti memperoleh kesejahteraan yang memadai. Kedua,

perbedaan dalam hal pendapatan hendaknya bukan terjadi akibat praktik diskriminasi dalam undang-undang dan kesempatan memperoleh fasilitas dan kesempatan. Selain itu, kalangan kaya hendaknya menunaikan tugas dan kewajibannya terkait hak kaum miskin dan hak pemerintahan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, kemajuan jangan sampai berakibat buruk pada pendistribusian kekayaan secara adil. Sebab kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tak lain adalah sarana untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan ekonomi.

Kesimpulannya seharusnya kaum Mus-lim menjadi pelopor militan untuk mencipta suatu karya kemanusiaan keadilan sosial dan ekonomi dalam kehidupan sebagai tugas kekhalifahannya yang akan menjadi rahmat bagi sekitarnya. Kita harus berusaha agar setiap orang dapat bekerja maksimal sesuai kemampuannya sehingga terpenuhi semua kebutuhan dasarnya. Cita-cita ini harus dibarengi ketentuan halal dan haram dalam memperoleh Keadilan ekonomi dan kerukunan hidup , sehingga tidak ada kezaliman manusia atas manusia (Q.S 2:279) serta tidak dibenarkan struktur atas baik sistem pemerintahan maupun undang-undang melakukan praktek kezaliman yang mengakibatkan kerusakan (Q.S 2:188)

(15)

Referensi

Dokumen terkait

a) Dalam menyusun grand desain sebuah kebijakan/program maka harus melibatkan seluruh stakeholder yang akan terlibat langsung dalam implementasi program tersebut

Pengenalan akan daerah tempat dimana kita tinggal merupakan suatu hal yang sangat penting dikarenakan saat kita mengenali dimana tempat kita tinggal agar kita dapat melakukan

Nilai yang didapat masih belum akurat dan tidak sama antara dua penelitian tersebut sehingga belum dapat digunakan suatu klasifikasi jenis sedimen dengan nilai

Bedanya anak miskin penuh cinta sama anak kaya yang jauh dari keluarga Anak miskin tapi mewah dengan cinta dan kasih saying akan jauh lebih terprihara akan.. merasakan semua yang

[r]

Penulis menghabiskan masa kecil hingga besar di kota kelahiran (Tangerang). Diawali menyelesaikan sekolah SDN Batu Jaya Kota Tangerang tahun 1998, MTs dan MA di

Hal itu terlihat pada dua hal, yaitu modal sosial yang dimiliki oleh jaringan aktivis Aksi 212 dan pemanfaatan kepercayaan masyarakat dengan menggunakan fatwa MUI dan pengaruh

Memberdayakan diri yang dimaksud adalah mengenali apa yang ada pada diri kita, mengenalinya dan mentransformasikannya dalam bentuk kreasi dan inovasi yang nyata sehingga kita