POLA PENGEMBANGAN DAN PENGUSAHAAN
BISNIS AIR BERSIH DI PROPINSI SULAWESI TENGAH
Suatu Pandangan : Peran Perguruan Tinggi dalam
Bisnis Air Kemasan di Kawasan Indonesia Timur
Oleh :
Deny Juanda PURADIMAJA1, D. Erwin Irawan2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa No. 10 Bandung. E-mail:denyjp@bdg.centrin.net.id
2 Asisten Laboratorium Hidrogeologi, Departemen Teknik Geologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesa No. 10 Bandung. E-mail:r-win@centrin.net.id
Disampaikan pada Acara
“Seperempat Abad Pendidikan Geologi di Universitas Hasanudin” Makasar, Rabu 11 Desember 2002
I. PENDAHULUAN
Sekitar 85% dari tubuh manusia terdiri dari air, sehingga dengan demikian air merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, air tidak hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan individu, tetapi juga menjadi tumpuan beroperasinya berbagai macam industri yang salah satunya adalah industri air bersih. Untuk jenis bisnis ini, Kawasan Indonesia Timur relatif belum mendapat perhatian sepenuhnya.
Pada tabel 1 berikut ini, diberikan suatu ilustrasi rasio kebutuhan air dan ketersediaan air permukaan. Pada tabel tersebut angka-angka yang diberi kotak menunjukkan kondisi defisit air permukaan. Menurut tabel 1, Propinsi Sulawesi Tengah belum mengalami kondisi defisit.
Tabel 1 Rasio kebutuhan air dan ketersediaan air permukaan
II. SEKILAS POTENSI SUMBERDAYA AIR DI PROPINSI SULAWESI TENGAH
Air Hujan
Secara regional, jumlah hujan rata-rata tahunan di P. Sulawesi mencapai 2000 mm/tahun (Lampiran 1). Distribusi curah hujan tersebut tidak mempunyai keteraturan, sehingga bulan kering dan bulan basah tidak dapat dipisahkan dengan jelas. Sementara itu khusus untuk Propinsi Sulawesi Tengah, distribusi bulan kering dan bulan basah seperti dalam Lampiran 2.
Air sungai
Potensi air sungai di Pulau Sulawesi dicerminkan dari jumlah Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang telah berhasil dipetakan. Sejumlah 17 Satuan Wilayah Sungai telah berhasil dikenali, dengan perincian sebagai berikut (Tabel 2):
5 SWS di Propinsi Sulawesi Utara 4 SWS di Propinsi Sulawesi Tengah 3 SWS di Propinsi Sulawesi Selatan 5 SWS di Propinsi Sulawesi Tenggara
Airtanah
Potensi airtanah di Pulau Sulawesi digambarkan dengan jumlah cekungan airtanah makro yang telah dikenali, yaitu sebanyak 36 buah Cekungan Airtanah. Distribusi cekungan airtanah tersebut pada setiap propinsi di Pulau Sulawesi adalah sebagai berikut (Tabel 2):
7 Cekungan Airtanah di Propinsi Sulawesi Utara 10 Cekungan Airtanah di Propinsi Sulawesi Tengah 15 Cekungan Airtanah di Propinsi Sulawesi Selatan 4 Cekungan Airtanah di Propinsi Sulawesi Tenggara
Selain jumlah cekungan airtanah, tinjauan potensi airtanah perlu ditunjang dengan pemahaman mengenai susunan dan geometri akifer yang terdapat di Pulau Sulawesi (Lampiran 3). Secara regional, di Pulau Sulawesi terdapat 4 jenis tipologi sistem akifer, yaitu: tipologi sistem akifer endapan aluvial, endapan gunungapi, sedimen terlipat, dan batuan kristalin. Selanjutnya secara lebih detail, pada Propinsi Sulawesi Tengah terdapat 7 jenis tipologi sistem akifer, yaitu: tipologi sistem akifer endapan aluvial, sedimen tak terlipat, karst, endapan gunungapi (volkanik), batuan kristalin (terdiri dari batuan metamorf dan beku), sedimen terlipat dan tersesarkan (Lampiran 4).
Potensi airtanah yang cukup besar umumnya berada pada tipologi sistem gunungapi. Namun demikian, masih diperlukan penelitian lebih detail untuk mengetahui zonasi sistem akifer dan potensi airtanah (termasuk di dalamnya adalah jumlah kemunculan mataair).
Tabel 2 Data potensi sumberdaya air di Indonesia
III. STRATEGI PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN
Berdasarkan gambaran potensi sumberdaya air di atas, maka masing-masing jenis air akan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan masing-masing jenis air serta fungsinya untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Pada gambar tersebut sumber air sungai mempunyai kelebihan, yaitu: lokasi pengambilan yang dekat mengingat lokasi pemukiman umumnya dibuat di dekat alur sungai, sehingga aksesibilitasnya cukup mudah. Sedangkan kekurangannya adalah kerentanannya terhadap polusi karena tidak mempunyai sistem proteksi alamiah yang baik. Kerentanan terhadap polusi tersebut menyebabkan biaya pengolahannya (treatment) pun menjadi tinggi.
Di sisi lain, airtanah dapat menjadi pilihan, yaitu karena mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap pencemaran, sehingga kualitasnya pun relatif konstan yang menyebabkan harga produksinya dapat ditekan; mempunyai debit reguler, terutama untuk airtanah tertekan. Namun airtanah mempunyai kekurangan yang terkait dengan konstruksi sumur bor dan perpipaan yang cukup mahal.
Berdasarkan analisis diatas, maka terdapat 3 skenario pemanfaatan sumberdaya air, yaitu: 1. pemanfaatan airtanah saja
2. pemanfaatan air sungai
3. kombinasi pemanfaatan air sungai dan airtanah
IV. SISTEM PENGEMBANGAN SERTA PENGUSAHAAN AIR BERSIH DAN AIR MINUM
Sebelum membahas tentang hal ini lebih jauh, perlu ada kajian terminologi yang mencakup klasifikasi air berdasarkan kualitasnya. Sebagai acuan, digunakan klasifikasi umum golongan air, yaitu:
Golongan A: Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu
Golongan B: Air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk minum (harus dimasak dahulu)
Golongan C: Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
Golongan D: Air yang dapat digunakan untuk keperluan latihan dan dapat dimanfaatkan untuk usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air
Meningkatnya kebutuhan akan air bersih dan air minum, menyebabkan suplai dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat secara kuantitas menjadi tidak mencukupi lagi. Terlebih lagi secara kualitas, air produksi PDAM masih perlu diolah lagi sebelum dapat digunakan sebagai air minum. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan air minum tersebut, maka bisnis air minum, termasuk air minum dalam kemasan, menjadi sangat terbuka.
Gambar 2 berikut ini merupakan evolusi jenis air dan perusahaan pengolahannya. Pada gambar tersebut
dijelaskan bahwa air baku dapat menjadi air bersih dengan diolah oleh Perusahaan Air Bersih (PAB). Selanjutnya air bersih dapat menjadi air minum dengan diolah oleh Perusahaan Air Minum (PAM).
Gambar 1 Skenario pemanfaatan berbagai sumberdaya air
Gambar 2 Evolusi jenis air dan jenis perusahaan pengolahannya
Air Baku
Air Bersih
Air Minum
V.1 POLA KERJASAMA
Industri air minum dalam kemasan memerlukan dukungan modal yang besar, manajemen yang profesional, dan teknologi pengolahan air yang handal. Untuk itu, ada beberapa bentuk pola kerjasama antar pihak yang dapat dikembangkan, yaitu:
1. Swasta (sebagai investor) – Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)
2. Pemerintah Daerah (dengan DAU* besar) sebagai investor – Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)
*Dana Alokasi Umum (Contoh Pemda dengan DAU besar: Pemda-pemda penghasil migas) 3. Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumber air dan lahan), Swasta (investor), Perguruan
Tinggi (sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia) SWASTA
(investasi)
PEMDA
(sumber air & lahan)
PERUSAHAAN DAERAH
PEMDA 1
(Sumber DAU besar- investasi)
PEMDA 2
(sumber air & lahan)
PERUSAHAAN DAERAH PERGURUAN TINGGI (kualitas, teknologi, sumberdaya manusia) PEMDA
(sumber air & lahan)
PERUSAHAAN DAERAH
SWASTA
Penulis melihat bahwa dari sudut akademik, industri air minum dalam kemasan dapat mempunyai kontribusi yang besar kepada dunia pendidikan. Karena itu, pola kerjasama yang ketiga sangat direkomendasikan. Dengan pola kerjasama sebagaimana dalam bagan di atas, maka akan terjalin sinergi antara Pemerintah Daerah selaku pemilik lahan dan sumber air, swasta selaku investor, dan Perguruan Tinggi sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia.
Bagi Perguruan Tinggi, kerjasama dalam bentuk industri air minum merupakan skala bisnis kegiatan pengolahan kualitas air yang sebelumnya hanya dilakukan pada skala laboratorium. Dengan adanya kerjasama industri air minum, maka hasil-hasil inovasi dari laboratorium yang telah teruji dan
tersertifikasi dapat dengan segera diaplikasikan di dunia industri.
Nilai tambah berikutnya dirasakan oleh pihak swasta sebagai investor. Dengan adanya kerjasama dengan Perguruan Tinggi, maka biaya pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development facilities) dapat dialihkan untuk kegiatan penelitian terapan di Perguruan Tinggi sebagai penjamin kualitas dan updating teknologi. Pihak Pemerintah Daerah pun akan dapat merasakan dukungan penuh dari Perguruan Tinggi untuk kemajuan daerahnya, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya air.
IV.2 ANALISIS KEUANGAN UNIT PRODUKSI AIR MINUM DALAM KEMASAN
Secara umum, biaya yang dikaluarkan dalam suatu kegiatan proyek/bisnis meliputi: biaya lenyap, biaya studi kelayakan, biaya investasi, biaya operasi, dan biaya sosial.
1. Biaya lenyap, adalah biaya yang dikeluarkan di masa lalu sebelum terdapat keputusan untuk menjalankan proyek. Biaya ini tidak diperhitungkan dalam analisis investasi/evaluasi proyek. 2. Biaya studi kelayakan, mencakup biaya studi kelayakan teknis maupun ekonomis. Biaya ini
umumnya juga tidak diperhitungkan.
3. Biaya investasi, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun proyek, termasuk: biaya pembebasan tanah, pengadaan material bangunan, konstruksi, upah dll.
4. Biaya operasi, biaya yang dikeluarkan setelah proyek selesai dibangun.
5. Biaya sosial, biaya non material (non tangible) berupa pengorbanan yang ditanggung oleh masyarakat karena kehadiran proyek.
Selanjutnya menurut Dumairy (1992), aliran uang keluar telah dimulai sejak pembangunan industri dimulai, sedangkan aliran uang masuk baru dimulai pada tahun ke-2. Kemudian sejalan dengan proses produksi, uang masuk dan keluar akan seimbang pada tahun ke-4, sehingga pada tahun ke-5 telah didapatkan keuntungan (Gambar 3).
Secara lebih rinci, pada Gambar 4 dan Tabel 3 disajikan beberapa parameter/komponen yang perlu dianalisis dalam studi kelayakan industri air minum. Pada gambar dijelaskan bahwa parameter input yang diperlukan meliputi: biaya investasi dan biaya operasional (untuk 3 bulan pertama). Sedangkan parameter output yang dianalisis meliputi: harga pokok produksi (dalam berbagai kemasan) dan harga jual produk (untuk berbagai kemasan).
Adapun berbagai asumsi yang digunakan adalah: besar equity, jumlah shift produksi per hari (7 jam per shift), jumlah produksi per tahun, dan harga bahan penunjang.
Gambar 3 Pola umum arus kas investasi dalam sebuah proyek
Gambar 4 Parameter/komponen yang dianalisis dalam produksi air minum dalam kemasan
Total Biaya Operasional (3 bulan pertama) Total biaya investasi
PARAMETER/KOMPONEN INDUSTRI AIR MINUM
DALAM KEMASAN
Harga pokok produk per jenis kemasan (galon, 600 ml, dll)
Harga jual produk per jenis kemasan (galon, 600 ml, dll)
Tabel 3 Resume parameter-parameter dalam analisis keuangan
unit produksi air minum dalam kemasan A. Total Jumlah Modal yang Diperlukan
a. Total Biaya Investasi
b. Total Biaya Operasional (3 bulan pertama)
B. Harga Pokok dan Harga Jual
1 Galon
a. Harga Pokok Produksi per botol galon b. Harga Jual per botol galon
2 Botol 600 ml
a. Harga Pokok Produksi per botol 600 ml b. Harga Jual per botol 600 ml
3 Cup 220 ml
a. Harga Pokok Produksi per cup 220 ml b. Harga jual per cup 220 ml
C. Pay Back Period
D. % IRR (Internal Rate of Return)
Asumsi Dasar Perhitungan
1 Equity (%)
2 Jumlah shift produksi per hari (7 jam per shift) 3 Jumlah hari kerja per tahun
4 Jumlah produksi per tahun
a. Botol galon per tahun (500 galon/jam) b. Botol 600 ml per tahun (4800 botol/jam) c. Cup 220 ml per tahun (4800 botol/jam)
5 Harga bahan penunjang a. Tutup galon b. Tisue c. Segel galon d. Botol 600 ml e. Segel botol 600 ml f. Label 600 ml g. Karton h. Lakban I. Cup 220 ml
V. KESIMPULAN
V.1 Potensi sumberdaya air Propinsi Sulawesi Tengah
Berdasarkan gambaran potensi sumberdaya air di atas, maka Propinsi Sulawesi Tengah mempunyai
potensi air hujan (mencapai 2000 mm/tahun), air sungai (sebanyak 17 Satuan Wilayah Sungai dengan
debit andalan yang belum terukur), dan airtanah yang cukup besar (36 cekungan airtanah dengan potensi detail yang belum diketahui).
Selanjutnya, berdasarkan analisis kelebihan dan kekurangan dalam fungsinya untuk memenuhi kebutuhan manusia, maka paling tidak terdapat 3 skenario pemanfaatan sumberdaya air, yaitu:
1. pemanfaatan airtanah saja 2. pemanfaatan air sungai
3. kombinasi pemanfaatan air sungai dan airtanah
V.2 Pola kerjasama
Industri air minum dalam kemasan memerlukan dukungan modal yang besar, manajemen yang profesional, dan teknologi pengolahan air yang handal. Untuk itu, ada beberapa bentuk pola kerjasama antar pihak yang dapat dikembangkan, yaitu:
1. Swasta (sebagai investor) – Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan) 2. Pemerintah Daerah (dengan DAU* besar, misalnya: daerah penghasil migas) sebagai investor
– Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)
3. Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumber air dan lahan), Swasta (investor), Perguruan Tinggi (sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia)
PERGURUAN TINGGI
(kualitas, teknologi, sumberdaya manusia)
PEMDA
(sumber air & lahan)
PERUSAHAAN DAERAH
SWASTA
Pola kerjasama yang ketiga sangat direkomendasikan dengan fungsi masing-masing pihak sebagai
berikut:
1. Pemerintah Daerah selaku pemilik lahan dan sumber air, 2. Swasta selaku investor, dan
3. Perguruan Tinggi sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia.
Bagi Perguruan Tinggi, kerjasama dalam bentuk industri air minum merupakan skala bisnis kegiatan pengolahan kualitas air yang sebelumnya hanya dilakukan pada skala laboratorium. Dengan adanya kerjasama industri air minum, maka hasil-hasil inovasi dari laboratorium yang telah teruji dan
tersertifikasi dapat dengan segera diaplikasikan di dunia industri.
Bagi pihak swasta sebagai investor, biaya pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and development facilities) dapat dialihkan untuk kegiatan penelitian terapan di Perguruan Tinggi sebagai
penjamin kualitas dan updating teknologi pengolahan air.
Kemudian, pihak Pemerintah Daerah pun akan dapat merasakan dukungan penuh dari Perguruan Tinggi untuk kemajuan daerahnya, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya air.
REFERENSI
1. Deny Juanda P., Indratmo S., Zainal A., D. Erwin Irawan (2002), Sistem Pengembangan dan
Pengusahaan Air Bersih di Jawa Barat, Seminar “Pengelolaan dan Pemanfaatan Air Bersih Guna Meningkatkan Kesehatan Masyarakat Jawa Barat Menuju Era Globalisasi”
2. Dumairy (1992), Ekonomika Sumberdaya Air. Pengantar ke Hidrodinamika, BPFE Yogyakarta 3. LP ITB (1994), Aspek Kajian Sumberdaya Air Nasional
4. LP ITB (1996), Dokumen Prezoning Potensi Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi Tengah
Lampiran 1
Peta Isohyet Pulau Sulawesi
(Sumber: Dokumen Prezoning Potensi Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi Tengah, 1996)
Lampiran 2
Peta Zonasi Distribusi Bulan Kering dan Bulan Basah Propinsi Sulawesi Tengah (Sumber: Dokumen Prezoning Potensi Sumberdaya Air Propinsi Sulawesi Tengah, 1996)
Lampiran 4 B (Keterangan peta)
Peta Prezoning Hidrogeologi Propinsi Sulawesi Tengah