• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN PEMERINTAH DALAM MEWUJUDKAN SOCIAL WELFARE AND PROTECTION DALAM MENYIKAPI ASEAN SOCIAL-CULTURE COMMUNITY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN PEMERINTAH DALAM MEWUJUDKAN SOCIAL WELFARE AND PROTECTION DALAM MENYIKAPI ASEAN SOCIAL-CULTURE COMMUNITY"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Anhar Gonggong

Staf Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Unika Atmajaya Jakarta

Abstract

The realization of ASEAN Social Community will soon be implemented. The role of ASEAN leaders is important in which the principle idea of humanity must be configured. Meanwhile, the differences of perspectives and opinions among ASEAN leaders can not be neglected. As a consequence, the key role of government and the statesmanship of the ASEAN leaders are crucial, so that the social welfare among ASEAN community can be achieved.

Keywords : Asean, Social-Culture, Community

Pendahuluan

ASEAN sebagai sebuah organisasi regional telah bertegak-berkembang seperti adanya sekarang, setelah melewati perjalanan 42 tahun, 8 Agustus 1967-8 Agustus 2009. Selama

kurun waktu tersebut, ASEAN

melangkahkan geraknya dengan

dukungan dan “kerja keras” dari

pemerintah negara-negara

pendukungnya. Organisasi yang

dibangun oleh negara dan bangsa yang memiliki sejumlah perbedaan—dari ideologi sampai tingkat kesejahteraan

ekonomi, dan lingkungan sosial

budaya—dalam usianya yang ke 42 tahun itu, terlepas dari masih adanya

“setuwmpuk” permasalahan yang

dihadapi, telah berhasil menciptakan

proses kehidupan bersama yang

semakin berkembang ke arah

komunitas yang “semakin kuat”. Para pemimpin negara-negara anggotanya

dalam setiap periode waktu

pemerintahannya, telah memberikan dukungan yang memperkuat pondasi bertegaknya organisasi regional ini.

Kita semua tahu, ketika ia

dibentuk pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, organisasi ini

beranggotakan 5 negara, yaitu

Philipina, Indonesia, Malaysia,

Singapura, dan Thailand. Secara

ideologis, kelima negara pendiri

ASEAN itu adalah negara “anti

komunisme”. Namun, semua kita juga tahu bahwa walaupun negara-negara pendiri organisasi itu anti komunis, mereka sadar bahwa di antara mereka

pun sebenarnya mempunyai

perbedaan-perbedaan yang bernilai sensitif yang harus diatasi dengan sebaik-baiknya.

Seiring dengan perjalanan waktu, organisasi ini berhasil menyelesaikan

pelbagai persoalan dan berhasil

menciptakan pelbagai kerja bersama

dan menciptakan proyek-proyek

dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang sosial dan budaya. Hasil-hasil itu mampu membangun—

meminjam Prof. Dr. Dorojatun

Kuntjoro Jakti—“… berhasil

menumbuhkan self confidence (rasa percaya diri) yang semakin besar di kalangan anggotanya” (Bashri (ed.),

2003:341). Memang dalam

pertambahan usianya itu, lahir

kesadaran baru yang menghasilkan

kesepakatan bersama yang akan

(2)

bersama. Salah satu wujud dari kesadaran baru di antara

pemimpin-pemimpin ASEAN itu ialah

kesepakatan untuk menciptakan apa

yang dikenal dengan ASEAN

Community (Komunitas ASEAN).

Kesepakatan ini dibuat pada 7

Oktober 2003 melalui Declaration of

ASEAN Concord II (Bali Concord II),

dengan memproklamirkan

pembentukan komunitas ASEAN yang terdiri dari tiga pilar. Ketiga pilar itu ialah Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community—ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN

Economic Community—AEC), dan

Komunitas Sosial-Budaya ASEAN

(ASEAN Socio-Cultural Community—

ASCC). Ketiga pilar itu sebenarnya

saling terkait dan saling memperkuat untuk memcapai tujuan bersama demi menjamin perdamaian, stabilitas, dan

kemakmuran di kawasan Asia

Tenggara. Karena itu, ketiga pilar

pendukung komunitas ASEAN itu

menjadi paradigma baru yang akan

menggerakkan kerjasama ASEAN

menjadi sebuah komunitas dan

identitas baru “yang lebih mengikat” (Luhulima dan Anwar, 2008:5-6).

Apa yang menarik dari

disepakatinya sebuah bangunan

masyarakat ASEAN di masa depan itu? Jawabannya, kesadaran baru yang dibangun di atas rasa percaya diri

yang semakin kuat, untuk

menciptakan “kerjasama yang saling

percaya”, tanpa mengabaikan

kenyataan atas perbedaan yang

sensitif di antara mereka yang berbentuk etnik, agama, dan ideologi.

Sebagaimana diketahui, dengan

masuknya Vietnam, Laos, dan

Kamboja, maka berarti pula sikap anti komunis yang ada pada negara-negara pendiri ASEAN telah mencair. Jadi dapat dikatakan bahwa persoalan ideologis “bukanlah” sesuatu yang tidak dapat “dicairkan” menuju suatu masyarakat-komunitas ASEAN di masa depan, pada 2015.

Dengan disepakatinya agenda

untuk menciptakan komunitas ASEAN pada kurun waktu ¼ abad pertama dalam abad ke-21 ini, sebenarnya ada suatu hal yang harus dipikirkan secara

jernih oleh pemerintah negara

anggota ASEAN. Hal itu ialah

terbukanya ruang proses perubahan orientasi, yaitu dari state-oriented ke

people-oriented. Tentu hal ini sangat

penting, karena walaupun ASEAN telah berusia 42 tahun, organisasi regional ini masih kurang dikenal oleh

masyarakatnya sendiri. Menurut

peneliti LIPI :

“Merupakan suatu kenyataan yang serius bahwa kita perlu membahas bagaimana cara menjadikan ASEAN populer di kalangan masyarakat, terutama di kalangan generasi muda, karena merekalah yang akan mewarisi ASEAN, khususnya

apabila menjadi bagian dari

komunitas ASEAN. Pendekatan

people-oriented harus menjadi

bagian dari usaha bersama

pemerintah, kelompok bisnis,

organisasi non-pemerintah dan

masyarakat umum yang dapat ikut

berpartisipasi secara serius”

(Luhulima dan Anwar, 2008:177-178).”

Dilakukannya perubahan orientasi itu tidaklah berarti bahwa peranan negara akan diperlemah. Sama sekali tidak. Yang hendak dituju dengan perubahan orientasi itu justru untuk lebih memperkokoh posiosi ASEAN

sebagai sebuah organisasi yang

diciptakan untuk mewujudkan sebuah kerjasama agar cita-cita menciptakan sebuah masyarakat sejahtera dan adil di kawasan ASEAN, secara berangsur, segera terwujud.

Sesuai dengan judul yang kita bahas ini, yaitu peran pemerintah dalam mewujudkan social welfare and

protection yang dimaksudkan untuk

menyikapi ASEAN Social-Culture

Community, tentu kita perlu melihat

(3)

negara kita dalam kaitannya dengan

social welfare—kesejahteraan sosial

itu. Memang di dalam program

strategis untuk mewujudkan

komunitas ASEAN itu, khususnya

komunitas sosial-budaya ASEAN

(ASCC), terdapat di dalam blueprint-nya sebagai berikut :

“The primary goal of the ASCC is to contribute realizing an ASEAN

Community that is

people-oriented and socially responsible

with a view to achieving enduring solidarity and unity among the nations and people of ASEAN by forging a common identity and building a caring and sharing society which is inclusive and harmonious where the wellbeing, livelihood, and welfare of the

people are enhanced” (ASEAN

Secretariate, 2009:67).

Untuk mewujudkan tujuan itu, tentu peranan pemerintah masing-masing negara anggota mempunyai

posisi penting-strategis. Artinya,

kehendak memperkuat kehidupan

rakyat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik merupakan salah satu

tugas utama negara melalui

pemerintahannya masing-masing.

Sebagai bekas wilayah bangsa-bangsa jajahan, kemerdekaan yang telah puluhan tahun direbut kembali, salah

satu tujuan utamanya adalah

melindungi rakyat, termasuk

melindungi rakyat dari

keterjerumusan kemiskinan. Dengan demikian, untuk meningkatkan dan memperkuat kesejahteraan rakyat,

tidak bisa tidak, peran pemerintah

masih sangat besar, termasuk

pemerintah Republik Indonesia.

Dalam konteks negara Republik Indonesia, peran pemerintah untuk

melaksanakan perwujudan social

welfare and protection

(kesejahteraan sosial) dan programnya itu harus berdasarkan ketentuan

konstitusi yang menjadi dasar

pegangan kita sebagai bangsa-negara

merdeka dan pendiri ASEAN.

Keterangan lebih lanjut akan

diberikan pada bagian kedua di bawah ini.

Peran Pemerintah dalam Mewujudkan Social Welfare and Protection

Landasan peran pemerintah kita untuk mewujudkan social welfare and

protection di negara kita ini terdapat

dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, baik yang dirumuskan di dalam Pembukaan maupun di dalam batang tubuhnya. Di dalam Pembukaan UUD ‘45 alinea IV disebutkan : “… untuk

membentuk suatu pemerintahan

Negara Indonesia yang melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”.

Sedang yang berkaitan dengan batang tubuh UUD ’45 terdapat di dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial yang mengandung dua pasal, yaitu pasal 33 dan pasal 34. Kedua pasal itu memang bermakna tugas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan menetapkan

pengaturan dalam kehidupan

perekonomian bangsa. Dalam pasal 33

terkandung peran negara dalam

mengatur perekonomian bangsa.

Sedang pasal 34 terdapat tugas proteksi, tugas perlindungan yang harus dilakukan oleh negara : :Fakir

miskin dan anak-anak terlantar

dipelihara oleh negara.” Di antara kedua pasal yang terdapat dalam Bab XIV Kesejahteraan Sosial itu, menurut Menteri Sosial Dr. A.M. Tambunan SH adalah : “… bila dihubungkan dengan pasal 33 UUD tentang penyusunan dan pembangunan perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan, yang dengan pasal 34

UUD merupakan kembar, kakak

beradik untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial. Tegas dan nyata kesejahteraan sosial ini sebagai isi

(4)

kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang diperjuangkan selama

ini dengan segala pengorbanan,

mendapat dasar dan kemutlakan untuk perwujudan dalam UUD ’45

karena judul Bab XIV ialah

Kesejahteraan Sosial” (Tambunan,

1969:116). Selanjutnya, Menteri Sosial menyatakan :

“Yang akan diwujudkan di bumi dan tanah air Indonesia sebagai isi

kemerdekaan, adalah

kesejahteraan sosial dari seluruh rakyat secara merata dan meluas, hingga fakir miskin dan anak

terlantar akan turut serta

menikmatinya, sesudah golongan

masyarakat ini disejahterakan

dengan pemeliharaan oleh negara” (Tambunan, 1969:116).”

Dari keterangan di atas, yang

bersumber dari orang yang

bertanggungjawab merealisasikan

program kesejahteraan sosial melalui

departemen yang dipimimpinnya,

tampak bahwa peran pemerintah dalam mewujudkan social welfare and

protection adalah bersifat sentral.

Namun apa yang tercantum dalam ASCC, persoalan yang menjadi bagian garapannya, demikian banyak, juga

livelihood, identitas, pengurangan

kemiskinan, persoalan kesenjangan yang terdapat di dalam masyarakat

bangsa-bangsa ASEAN. Peran

pemerintah dalam mewujudkan social

welfare and protection sangat penting, karena peran itu adalah

peran konstitusional, dan untuk

pelaksanaan peran itu pemerintah

telah membentuk lembaga

pemerintah. Salah satu di antaranya ialah Departemen Sosial. Tentang tugas Departemen Sosial itu, Menteri

Sosial Dr. A.M. Tambunan, SH

menyatakan bahwa :

“Demikianlah, tugas suci dan mulia dibebankan oleh Negara dan rakyat pada Departemen Sosial sebagai salah satu untuk turut

serta membangun kesejahteraan sosial dengan usaha-usaha dalam

bidang pembangunan sosial

sebagai bunyi kata-kata sederhana dalam pasal 34 UUD ’45, yang berarti pula bahwa pembangunan

sosial itu dilaksanakan untuk

melenyapkan kemiskinan,

kemelaratan, dan lain-lain,

dengan mensejahterakan seluruh

rakyat, hingga terwujud

kesejahteraan sosial rakyat,

secara meluas dan merata. Hidup sejahtera, yaitu hidup dalam

keselamatan, tentram dan

kemakmuran lahir batin adalah wujud dan isi kesejahteraan sosial, sedang kesejahteraan sosial itu

adalah isi esensiil dari

kemerdekaan bangsa dan negara

Indonesia dan yang

sebenar-benarnya akan terwujud nanti

dalam masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila atau masyarakat – kesejahteraan sosial” (Tambunan, 1969:117). Tentu selama kemerdekaan dan keberadaan Departemen Sosial, ia

telah merealisasikan sejumlah

program kerja, seperti rumah jompo

(panti wredha), bantuan untuk

menciptakan lapangan kerja dengan

memberikan mesin jahit kepada

sejumlah perempuan tuna wisma, memberikan bantuan darurat pada

pelbagai bencana alam; juga

memberikan bimbingan kepada

pemuda-pemuda, antara lain berupa latihan wirausaha bagi pemuda Karang Taruna, dan lain-lain.

Untuk memperkuat kesejahteraan sosial di tengah masyarakat agar makin meluas dan merata, maka

pemerintah tidak hanya

membebankannya kepada Departemen Sosial, melainkan juga diserahkan kepada beberapa lembaga pemerintah lainnya, seperti Kementerian UKM,

Kementerian Perumahan Rakyat,

Kementerian Tenaga Kerja, dan lain

(5)

pemerintah ini lebih berkaitan dengan usaha realisasi dari pasal 33 UUD ’45. Artinya, penciptaan kesejahteraan sosial dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pemerintah untuk membantu

rakyat memperkuat dirinya agar

mereka akan makin sejahtera, dalam arti kesejahteraan ekonomi, yang

memang menjadi bagian dari

peningkatan kesejahteraan sosial

sebagaimana yang tercantum dalam UUD ’45, Bab XIV Kesejahteraan Sosial.

Peran pemerintah dalam

mewujudkan social welfare and

protection dalam mensikapi ASCC,

haruslah dipandang sebagai usaha untuk menciptakan negara yang kuat, tetapi dalam kerangka bangunan

negara yang berpemerintahan

demokratis. Selama ini, sebenarnya— paling tidak dalam penglihatan saya— terjadi suatu pandangan yang keliru tentang negara yang kuat. Kita selalu memandang “negatif” terhadap jenis negara ini yang selalu digambarkan sebagai “membiarkan rakyat untuk

menjalani kehidupannya tanpa

mendapatkan ruang untuk lebih

sejahtera. Pemerintahan negara yang kuat amat sering mengambil hak-hak dasar dari rakyat.

Untuk menghindari terciptanya negara kuat yang mengabaikan hak-hak dasar rakyat itu, maka negara

kuat itu harus ditegakkan dan

diperintah di atas prinsip-prinsip

demokrasi. Dengan prinsip-prinsip

demokrasi yang melandasi

bertegaknya negara kuat, rakyat akan mendapat hak-haknya dan dengan demikian justru posisi rakyat akan menjadi lebih kuat di negara kuat yang demokratis. Sejalan dengan itu, amat menarik untuk merenungkan pernyataan Amartya Sen, yang yakin

terhadap demokrasi dalam

memberantas kemiskinan.

Menurutnya, “demokrasi bisa

memberantas kemiskinan” (Sen,

1997). Sedang menurut Francis

Fukuyama, dalam menghadapi

pelbagai kesulitan dewasa ini, bangsa-bangsa harus berusaha untuk

memperkuat negara (Fukuyama, 2005).

Sejalan dengan keterangan di atas, sebagai anggota ASEAN—yang tidak sekedar anggota, melainkan salah satu dari lima pendiri—usaha untuk mewujudkan social welfare and

protection dalam kerangka ASCC,

pemerintah dan bangsa Indonesia harus menunjukkan suatu penyikapan dalam arti bahwa penguatan social

welfare itu merupakan tugas konstitusional yang secara tegas ada dalam Pembukaan dan batang tubuh UUD ’45 yang berlaku di negara kita ini. Dalam pandangan Menteri Sosial

Dr. A.M. Tambunan, SH,

kesejahteraan sosial itu merupakan “isi kemerdekan”. Jika kita menerima kebenaran dari keterangan di atas,

maka peran pemerintah—sebagai

bagian dari penyikapan terhadap

ASCC—sebagaimana yang telah

dikatakan di atas, adalah bersifat

sentral-konstitusional. Karena itu,

peran pemerintah dalam merealisasi

program-program pembangunan—

sebagaimana tercantum dalam

blueprint ASCC—sangat penting dan

strategis. Namun, di balik peran

sentral-konstitusionalnya itu,

pemerintah harus pula membuka ruang partisipasi bagi rakyat sebagi bagian dari tanggung jawabnya, dan

juga untuk memperkuat dirinya

sendiri, baik secara individual maupun sebagai kelompok yang ada dalam masyarakat.

Penutup

Keterangan singkat di atas

menunjukkan peran

sentral-konstitusional pemerintah dalam

mewujudkan social welfare and

protection. Namun dalam pengertian

kerangka memperkuat sebuah negara yang kuat yang bertegak di atas

prinsip-prinsip demokratis,

(6)

diwujudkan dalam arti kesejahteraan

rakyat yang dibangun tanpa

mengorbankan hak-hak rakyat itu sendiri. Justru yang akan terjadi kesejahteraan sosial itu diciptakan oleh rasa tanggung jawab mereka juga. Itulah sebenarnya makna dari peran pemerintah dalam menciptakan

kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Komunitas ASEAN akan

“direalisasikan” dalam periode 2009-2015, suatu periode waktu yang sebenarnya “sangat singkat” untuk merealisasikan sebuah tujuan cita-cita besar-kemanusiaan. Namun, pada titik itulah taruhan besar para pemimpin ASEAN untuk menunjukkan bahwa

cita-cita besar-kemanusiaan yang

mereka miliki bersama akan dapat diwujudkan dengan kesediaan untuk bekerja keras, dengan rasa percaya diri, dengan kejujuran nurani, sebagai pemimpin, walau juga tetap sadar bahwa kerjasama itu tetap berada dalam situasi nyata akan keberadaan

perbedaan yang tidak dapat

dihilangkan. Justru kenegarawanan pemimpin-pemimpin ASEAN di masa

depan itu terletak pada

kemampuannya untuk bekerja keras di

tengah-tengah perbedaan,

keberagaman yang melingkarinya.

Dengan itu, cita-cita untuk

mewujudkan kesejahteraan sosial

dalam rangka komunitas ASEAN dapat dilaksanakan dan yang benar-benar

mensejahterakan seluruh warga

bangsa-negara ASEAN.

Bahan Bacaan :

Tambunan, A. M., 1969. Tugas Sosial

dalam orde baru : Kumpulan Pidato /Sambutan Menteri Sosial Dr. A.M. Tambunan, SH, Badan

Penerbit Kristen, Jakarta, hal. 116.

Sen, Amartya, 1997. Demokrasi Bisa

Memberantas Kemiskinan, Mizan,

Bandung, passim.

Luhulima, CPF.& Dewi Fortuna Anwar,

et.al.,2008, Masyarakat Asia

Tenggara menuju Komunitas ASEAN 2015, P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, Jakarta-Yogyakarta, hal. 5-6.

Fukuyama, Francis, 2005.

Memperkuat Negara Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, (penerj. A. Zaini Rofiqi),

Gramedia Pustaka Utama &

Fredom Institute, Jakarta.

Bashri, Yanto (ed.),2003 Mau Kemana

Pembangunan Ekonomi Indonesia : Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorojatun Kuntjoro Jakti, Prenada

Media, Jakarta, hal. 341.

………, 2009. ,Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015, ASEAN Secretariate. Jakarta, hal. 67. ASEAN Secretariate, 2009, Roadmap

for an ASEAN Community

Referensi

Dokumen terkait

Pembaca yang terhormat, kadang kita heran mengapa ketika memperingati Tahun Baru Miladiyah orang mau berama-ramai, demikian ketika memperingati Tahun Bar Imlek?. Tetapi

penelitian ini menggunakan uji levene statistic. Hasil yang diperoleh: 1) pada kondisi awal pencapaian rerata hasil belajar menulis teks deskripsi setiap aspek

Pengelolaan pariwisata harus mempergunakan retribusi masuk dari para wisatawan yang datang, untuk menambah penghasilan Nagari Sungai Kamuyang Kabupaten Lima Puluh Kota,

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini, dengan judul: “ Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Dengan Pembelajaran Kontekstual Berbasis

Investasi pada produk unit link mengandung risiko, termasuk namun tidak terbatas pada risiko politik, risiko perubahan peraturan pemerintah atau perundang-undangan lainnya,

biohajtóanyagokra vonatkozó célértéket. évi cél teljesítéséhez számítások alapján bioetanol esetében 59 millió liter, biodízel esetében 56 millió liter

Ekperimentasi model pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation (GI) dan Numbered Heads Together (NHT) pada materi garis singgung lingkaran ditinjau dari kecerdasan majemuk