• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAM SAMPUL DALAM... PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PENGESAHAN...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAM SAMPUL DALAM... PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PENGESAHAN..."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAM SAMPUL DALAM ... ii

PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACK ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 8

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 8

1.5. Tujuan Penelitian ... 10

(2)

1.5.2. Tujuan Khusus ... 10 1.6. Manfaat Penelitian ... 10 1.6.1. Manfaat Teoritis ... 10 1.6.2. Manfaat Praktis ... 11 1.7. Landasan Teoritis ... 11 1.8. Metode Penelitian ... 24 1.8.1. Jenis Penelitian ... 24 1.8.2. Jenis Pendekatan ... 25 1.8.3. Sifat pebelitian ... 25

1.8.4. Data dan Sumber Data ... 26

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data ... 27

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 28

1.8.7. Pengolahan dan Analisis Data ... 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBINAAN, NARAPIDANA, PENYALAHGUNA NARKOTIKA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN 2.1. Pengertian Pembinaan ... 30

2.2. Pengertian Narapidana ... 35

2.3. Penyalahguna Narkotika ... 43

2.3.1. Pengertian Narkotika ... 43

2.3.2. Pengertian Penyalahguna Narkotika ... 49

(3)

2.4. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 54

2.4.1. Sejarah Kepenjaraan Di Indonesia ... 54

2.4.2. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 62

2.4.3. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ... 63

2.4.4. Sistem Pemasyarakatan ... 63

BAB III SISTEM PEMBINAAN TERHADAP NARPIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KELAS IIA BANGLI 3.1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli ... 68

3.2. Sistematika Sistem Pembinaan Terhadap Narapidana Penyalahguna Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli ... 77

3.3.Bentuk-Bentuk Sistem Pembinaan Terhadap Narapidana Penyalahguna Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli ... 92

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PEMBINAAN NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KELAS IIA BANGLI 4.1. Faktor Internal Yang Menghambat Pembinaan Narapidana 111 4.2. Faktor Eksternal Yang Menghambat Pembinaan Narapidana 119

(4)

4.3.Upaya Yang Dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli Dalam Menanggulangi Hambatan-Hambatan Dalam Pembinaan ... 122 BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 127 5.1. Saran ... 128 DAFTAR PUSTAKA ... 129

(5)

ABSTRAK

Permasalahan narkotika marupakan masalah yang sangat kompleks bagi bangsa Indonesia. Untuk menanggulangi permasalahan narkotika pemerintah telah melakukan berbagai upaya salah satunya mendirikan Lemabaga Pemasyarakatan khusus bagi penyalahguna narkotika. Lapas Narkotika adalah tempat bagi narapidana untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi agar menjadi lebih baik dan sembuh dari kecanduan narkotika sehingga dapat kembali hidup dengan masyarakat. Pembinaan narapidana ini memunculkan permasalahan mengenai bagaimana sistem pembinaan narapidana di Lapas Narkotika dan faktor-faktor apa yang menghambat pelaksanaan pembinaan, sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut sanga perlu dilakukan suatu penlitian.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris juga dapat penelitian lapangan. Dan dalam penulisan penelitian ini bersifat deskriptif.

Pelaksanaan pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lapas Narkotika Kelas IIA Bangli telah dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap dengan bentuk-bentuk pembinaan yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pembinaan juga dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan bakat dari narapidana penyalahguna narkotika. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala baik yang diakibatkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal, seperti kurangnya sumber daya manusia, sarana prasarana yang tidak memadai dan kurangnya dukungan dari masyarakat, hal ini menyebabkan pelaksanaan pembinaan belum dapat dilaksanakan dengan maksimal. Untuk menanggulangi kendala-kendala tersebut pihak Lapas telah melakukan berbagai upaya seperti melaksanakan kerja sama dengan instansi lain, mengajukan permohonan kepada kantor wilayah dan mempromosikan hasil karya narapidana kepada masyarakat.

Kata Kunci : Pembinaan, Narapidana, Lembaga Pemasyarakayan, Narkotika

(6)

ABSTRACT

Narcotics problem is a really complex problem for Indonesia. To tackle the problem of narcotics the government has take effort, one of them is founded Correctional facility specifically for one who abuse of narcotics. Narcotic Correctional facility is a place for prisoners to obtain guidance and rehabilitation to be better and recovering from addicted to narcotic so they can be live with the community. Guidance convicts this gave rise to problems regarding how a system guidance an inmate in a penitentiary narcotics and the factors that which impedes the implementation of guidance , so as to answer it dross needs to be done a research .

The kind of research used in this research is empirical law research. Empirical law research also called research field law. And in exposure the result is descriptive.

The implementation of guidance convicts who misuses narcotic at the Narcotic Correctional facility Class IIA Bangli has been done by 3 (three) stage to the forms of guidance that based on the laws and regulations. In addition guidance were also given consistent with the needs and aptitude from convicts. The actual there are still obstacles caused by internal and external factors, as the human resources, infrastructure inadequate and lack of support from the community, This has led to the implementation of the guidance not able to do maximum . To overcome the obstacles parties a correctional institution has made various efforts as implement cooperation with other institutions, proposed the plan to the office of the region and promote the work of prisoners to the community.

(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Permasalahan narkotika merupakan permasalahan lama yang sangat komplek dan sulit untuk diatasi. Hal ini karena pada dasarnya Narkotika dibutuhkan untuk keperluan pengobatan manusia dan studi ilmiah sehingga produksi narkotika tidak dapat dihentikan. Namun disisi lain narkotika banyak disalahgunakan sehingga menimbulkan akibat buruk bagi manusia. Untuk menanggulangi permasalahan narkotika di Indonesia, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan membuat pengaturan terhadap penyalahgunaan narkotika.

Upaya pemerintah dalam memerangi penyalahgunaan narkotika telah dilakukan dengan meratifikasi konvensi internasional dan membentuk undang-undang tentang narkotika. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang mengubahnya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976. Dan mengesahkan United Nations Convention

Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988

(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997. Kemudian pada tahun 1997 dibetuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sebagai dasar hukum pengaturan mengenai narkotika nasional.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu,

(8)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Selain itu seiring dengan perkembangan zaman tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.

Karena dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana penyalahgunaan narkotika maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam undang-undang ini terdapat beberapa tambahan pengaturan seperti diaturnya mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Dan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

(9)

Pembentukan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki beberpa tujuan, yaitu:

a. menjamin ketersidian narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

b. mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika,

c. memberantas peredaran gelap narkotika dan presursor narkotika, dan

d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika. 1

Namun pada kenyataannya meskipun telah dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang Narkotika, ternyata pelaku penyalahgunaan narkotika di Indonesia masih tinggi. Khususnya di Provinsi Bali menurut data yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasoinal Provinsi Bali tindak pidana narkoba di provinsi Bali dari tahun 2010 sampai 2015 masih terbilang tinggi, yang dapat dilihat pada tabel berikut :

(10)

Tabel I

Data Jumlah Kasus Narkotika Provinsi Bali Tahun 2010 – Tahun 2015

No Tahun Jumlah Kasus

1. 2010 790 kasus 2. 2011 887 kasus 3. 2012 866 kasus 4. 2013 845 kasus 5. 2014 764 kasus 6. 2015 639 kasus

Sumber: Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali

Dari data tersebut diatas dapat dilihat bahwa kasus narkoba di Provinsi Bali dari tahun ke tahun terjadi kenaikan dan penurunan, dari tahun 2010 ke tahun 2011 kasus kejahatan narkoba mengalami peningkatan sebanyak 97 kasus, sedangkan dari tahun 2012 hingga tahun 2015 kasus kejahatan narkoba terus mengalami penurunan. Dari tahun 2011 ke tahun 2012 terjadi penurunan dari 887 menjadi 866 kasus, kemudian dari tahun 2012 ke tahun 2013 terjadi penurunan dari 866 kasus menjadi 845 kasus, selanjutnya dari tahun 2013 ke tahun 2014 terjadi penurunan dari 866 kasus menjadi 728 kasus, dan dari tahun 2014 ke tahun 2015 juga terjadi penurunan kasus narkoba dari 764 kasus menjadi 639 kasus.

Meskipun telah mengalami penurunan namun kasus narkoba di Bali masih tinggi, hal tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pariwisata di Bali yang mau

(11)

tidak mau mengaharuskan Bali untuk menerima berbagai perkembangan di berbagai aspek kehidupan seperti berkembangnya tempat-tempat hiburan malam.Tempat-tempat hiburan malam semakin marak di Bali dari yang berdaftar dan memiliki izin hingga tempat-tempat yang tersembunyi yang tidak terdata keberadaannya seperti warung-warung yang tidak terdaftar. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab mudahnya peredaran gelap narkotika di Bali sehingga narkotika tidak hanya menyasar orang dewasa namun juga remaja dan pemuda yang merupakan masa depan bangsa. Tindak pidana narkoba di Bali sangat memprihatinkan hal ini dikarenakan berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia usia dari pelaku tindak pidana narkoba mulai dari usia 16 tahun.2

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tindak pidana penyalagunaan narkotika dibedakan menjadi dua macam yaitu perbuatan terhadap orang lain dan untuk diri sendiri. Yang dimaksud dengan perbuatan terhadap orang lain adalah yang memproduksi narkotika,penyedia narkotika dan pengedar narkotika dan berbutan untuk diri sendiri adalah para pecandu narkotika yang hanya mengkonsumsi untuk dirinya sendiri.

Di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 terdepat perbedaan sanksi bagi pengedar narkotika dan pecandu narkotika yang terbukti merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika. Sanksi bagi pengedar narkotika diatur

2 Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali, 2014, “Data Tindak Pidana Narkoba

Provinsi Bali Tahun 2007-2011”, URL: http://bali.bnn.go.id/cms/wp-content/uploads/2014/05/Laporan-Tindak-Pidana-Narkotika-2007-2011.pdf, diakses pada tanggal 20 Oktober 2016

(12)

dalam Pasal 111 sampai Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman sanksi mati, pidana penjara dan denda. Sedangkan pengaturan sanksi bagi penyalahgunan untuk diri sendiri (pecandu narkotika) diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009.

Dalam ketentuan Pasal 127 ayat (1) pelaku penyalahguna narkotika untuk diri sendiri diacam dengan sanksi pidana penjara, namun di dalam menerapkan ketentuan pidana tersebut juga langsung diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang dimuat di dalam ketentuan ayat (2) dan kemudian pada ayat (3) diatur apabila penyalahguna narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dari ketentuan dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 ini dapat dilihat bahwa bagi penyalahguna narkotika yang terbukti merupakan korban tidak lebih diutamankan untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial dari pada dijatuhi pidana penjara.

Dengan adanya perbedaan sanksi penyalahgunaan narkotika bagi pengedar narkotika dan pengguna narkotika terbukti sebagai korban, maka seharusnya terdapat perbedaan tempat menjalani masa pidana bagi pengedar narkotika dan masa rehabilitasi bagi pengguna narkotika.Bagi penyalahguna narkotika yang telah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan. Dan bagi pengguna narkotika sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 tahun 2010

(13)

harus menjalani rehabilitasi sesuai dengan putusan pengadilan. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah:

a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.

b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta. c. Rumah Sakit Jiwa Seluruh Indonesia (Depkes RI)

d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknik Daerah (UPTD)

e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri).

Sejak tahun 2015 di provinsi Bali telah terdapat lembaga pemasyarakatan khusus bagi terpidana kasus-kasus narkotika yaitu Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli. Didirikannya lembaga pemasyarakatan narkotika di provinsi Bali ini merupakan suatu bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika. Dengan adanya lembaga pemasyarakatan narkotika ini, maka apabila terdapat terpidana kasus penyalahgunaan narkotika di provinsi Bali proses pemasyarakatannya akan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli. Sejak tahun 2015 Lapas Narkotika Kelas IIA Bangli telah melaksanaan pembinaan narapidana, namun karena merupakan Lapas yang baru beroperasi maka sarana prasarana untuk menunjang proses pembinaan masih terbatas. Prasarana dapat dikatakan terbatas karena fasilitas untuk melaksanakan pembinaan belum lengkap

(14)

dan sumber daya manusia untuk melaksankaan pembinaan juga belum memadai.3 Berdasarkan urain tersebut diatas maka dianggap penting dan relevan untuk menulis suatu karya ilmiah berupa skripsi yang berjudul “PEMBINAAN

NARAPIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KELAS IIA BANGLI”.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimanakah sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika kelas IIA Bangli ? 1.2.2. Faktor-faktor apa yang menghambat pembinaan narapidana narkotika

di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari terjadinya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini, maka perlu kiranya diadakan pembatasan dalam ruang lingkup masalah sehingga pembahasan pada skripsi ini dapat lebih terarah dan terfokus pada pokok permasalahan yang dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika kelas IIA Bangli dan

3I Gusti Bagus Widyantara, 2016, Lapas Narkotika Bangli Terkendala Fasilitas Minim,

URL: http://www.antarabali.com/berita/92956/lapas-narkotika-bangli-terkendala-fasilitas-minim, diakses tanggal 29 September 2016

(15)

mengenai faktor-faktor yang menghambat pembinaan narapida narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli.

1.4.Orisinalitas Penelitian

Penelitian ini meneliti mengenai pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli.. Dalam penelitian ini akan meneliti mengenai bagaimana sistem pembinaan terhadap narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bangli dan faktor-faktor apa yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bangli. Adapun penelitian yang memiliki kemiripan dengan penelitan ini yaitu:

1. Skripsi oleh Agung Beliferdo tahun 2013 dari Fakultas Hukum Universitas Udayana yang berjudul Pembinaan Narapidana Lanjut Usia Di LP Karangasem. Rumusan masalah yang dibahas adalah mengenai bagaimana bentuk pembinaan terhadap narapidana lanjut usia di LP Karangasem serta faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan pembinaan narapidana lanjut usia dan upaya apa yang dilakukan. Penelitian skripsi ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Karangasem.

2. Skripsi oleh A.A. Putu Agus Wasista Saputra pada tahun 2013, dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, dengan judul Efektifitas Sistem Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar Dalam Menanggulangi Recidivis. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam

(16)

skripsi ini adalah bagaimana pelaksanaan sistem pemasyarakatan di LAPAS Kelas IIA Denpasar dan apakah sistem pemasyarakatan efektif dalam menanggulangi recidivis. Penelitian skripsi ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Denpasar.

Dari judul, rumusan masalah yang diangkat dan tempat penelitian kedua skripsi diatas dapat dilihat belum ada yang meneliti mengenai pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli.

1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli.

1.5.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mendeskripsikan dan menganalis sistem pembinaan narapidana penyalahguna narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika kelas IIA Bangli.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat pembinaan narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli.

(17)

1.6. Manfaat Hasil Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana.Dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pihak untuk mengetahui bagaimana pembinaan bagi narapidana penyalahguna narkotika.

1.6.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan kontribusi pemikiran bagi lembaga pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana agar menjadi lebih baik dan hasil penelitian ini dapat menjadi solusi bagi permasalah yang dihadapi dalam pembinaan narapidana narkotika.

1.7.Landasan Teoritis

1.7.1. Konsep Negara Hukum

Negara hukum dapat diartikan sebagai negara yang dalam penyelanggaraan pemerintahannya berdasarkan atas hukum.Segala tindakan pemerintah dan warga negara di dalam suatu negara hukum tidak dapat bertentangan dengan aturan hukum yang telah ada.Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(18)

Konsep negara hukum bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintah bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain konsep negara hukum bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara atau pemerintah.4

Rechsstaat atau the rule of law dalam kepustakaan Indonesia sering

diterjemahkan sebagai negara hukum.Philipus M. Hadjon menulis menurut teori kedaulatan hukum, negara pada prinsipnya tidak berdarkan pada kekuasaan (machtstaat), tetapi harus berdasarkan atas hukum (rechtsstaat atau the rule of law).Walaupun konsep negara hukum rule of law dan rechtsstaat sama-sama lahir sebagai upaya membatasi dan mengatur kekuasaan, namun sejarah perkebangannya berbeda. Gagasan negara hukum yang berkembang dengan istilah

Rechtsstaat dikenal di Jerman ( kawasan Eropa Kontinental) dan the rule of law berkembang di Inggris (Anglo-Saxon).5

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

4 H.Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas

Mahkamah Konstitusi, PT Alumni, Bandung, H.1.

(19)

1) Perlindungan hak asasi manusia. 2) Pembagian kekuasaan.

3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 4) Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of

Law”, yaitu:

1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law) dari regular law untuk menentang dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, prerogative atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

2) Persamaan dihadapan hukum (Equality before the law) yang berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban menaati hukum yang sama.

3) Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan dan parlemen sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. 6

Keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip “Rule of Law” yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip-prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of

judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak

6Ibid.h.41.

(20)

diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International

Commission of Jurists” itu adalah:

a. Negara harus tunduk pada hukum.

b. Pemerintah menghormati hak-hak individu. c. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum ditandai dengan beberapa unsur pokok, seperti pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya. Hak-hak asasi manusia akan terlindungi dalam konsep the rule of law mengedepankan konsep equality before

the law, sedangkan konsep rechtsstaat mengedepankan prinsip wetmatigheaid, dan kemudian menjadi rechtmetigheaid. Indonesia

yang menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat mengedepankan asas kerukunan.

Karena adanya konsep kerukunan akan berkembang elemen lain dari negara hukum Indonesia yang membedakan dengan konsep

Rechtsstaat dan rule of law. Berdasarkan asas kerukunan tersebut

menurut Philipus M. HAdjon akan berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yaitu terjalinnya hubungan fungsional yang proposional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan

(21)

merupakan sarana terakhir, dan tentang hak-hak asasi manusia tidak hanya menekankan pada hak atau kewajiban tetapi terjalin suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.7

1.7.2. Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan salah satu prinsip yang harus dilaksanakan oleh negara hukum. Perlindungan hukum oleh Setiono diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia. Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:

1) Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat

7Ibid.h.52.

(22)

dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

2) Perlindungan Hukum Represif.

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

1.7.3. Double Track System

Dalam hukum pidana dikenal dua jenis sanksi yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.Dalam teori hukum pidana lazim disebut dengan double track system (sistem dua jalur). Yang dimaksud dengan double track system adalah sistem sanksi dalam hukum pidana yang menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi yang mempunyai kedudukan yang sejajar dan bersifat mandiri.8

Sanksi pidana dapat diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak

(23)

pidana.9 Sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana telah diatur dalam Pasal 10 KUHP, jenis sanksi pidana yang diaturu dalam KUHP juga berlaku bagi delik yang tercantum diluar KUHP kecuali ketentuan undang-undang tersebut telah mengatur sanksi sendiri yang berbeda dengan Pasal 10 KUHP.

Dalam Pasal 10 KUHP sanksi pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari lima jenis pidana yaitu pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Pidana Tambahan terdiri dari tiga jenis sanksi yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Dalam teori double tracak system dikenal juga sanksi tindakan.Yang dimaksud sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan spesifikasi nonpenderitaan atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban baik perseorangan, badan hukum publik maupun perdata.10 Mengenai jenis-jenis sanksi tindakan juga

telah diatur dalam KUHP, yang diantaranya:

9ibid.

(24)

a. penempatan dirumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu penyakit.

b. bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakuka tindak pidana hakim dapat mengenakan tindakan berupa :

1) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;

2) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah;

3) dalam hal yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan Pendidikan Paksa.

4) penempatan di tempat bekerja bagi pengguran yang malas bekerja dan tidak memiliki mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menganut double track system dalam penjatuhan sanksi terhadap pelaku penyalahguna narkotika. Hal ini dapat dilihat dari adanya ancaman sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda, dan disisi lain juga terdapat ancaman sanksi tindakan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi pelaku penyalahgunaan narkoba bagi diri sendiri yang telah terbukti merupakan korban.

(25)

1.7.4. Teori Tujuan Pemidanaan

Sejak awal adanya penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana telah memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai atas penjatuhan pidana tersebut.Secara umum dikenal tiga teori pemidanaan, yaitu :

a. Teori Absolut / pembalasan (absoluut theorieen)

Teori absolut ini berkembang pada akhir abad ke-18. Teori ini disebut sebagai teori pembalasan karena pada dasarnya tujuan dari adanya pemidanaan menurut teori ini adalah untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Pendekatan dari teori absolut melekatkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya11. Dasar pembenar dalam dari teori ini adalah terjadinya kejahatan itu sendiri. Maka dari itu sesuai dengan pendapat dari Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the

claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruh yang menguntungkan bukan merupakan suatu tujuan utama (sekunder).

Mengenai apa yang dimaksud dengan pembalasan Negar Walker memberi tiga pengertian, yaitu:

11Ibid.h.187.

(26)

1) Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya.

2) Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan secara sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan.

3) Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan. 12

Dalam perkembangannya teori absolut tidak hanya tentang teori pembalasan, namun menurut Helbert L. Packer ada dua versi tentang teori absolut, yang pertama adalah revenge theory atau teori balas dendam berpandangan bahwa pidana dianggap sebagai pembalasan mutlak atas perbuatan jahat yang telah dilakukan atas dasar tanggungjawab penuh dari individu pelakunya. Yang kedua adalah

expiation theory atau tiori tobat berarti bahwa hanya melalui pidana

yang penuh penderitaan seorang pelaku kejahatan akan menebus dosanya.

Selanjutnya berdasarkan filsafat Kant, terjadi perkembangan kearah teori absolut modern yang menggunakan konsep ganjaran yang adil (just desert). Konsep ganjaran yang adil dari teori absolut modern menekankan bahwa orang harus dihukum hanya karena telah melakukan suatu tindakan pidana yang hukumannya telah disediakan oleh negara.

12Ibid.h.188.

(27)

Menurut Karl O. Christiansen terdapat lima cirri pokok dari teori absolut, yaitu:

1) Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat.

3) Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan 4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku

5) Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi si pelaku.

b. Teori Relatif / tujuan (doel theorieen)

Teori relatif atau teori tujuan ini pada prinsipnya menekankan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana memiliki tujuan untuk pencegahan baik itu pencegahan khusus maupun mencegahan umum. Yang dimaksud pencegahan khusus (special prevention) adalah mencegah pelaku tindak pidana untuk mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang dan yang dimaksud dengan pencegahan umum (general

prevention) adalah mencegah masyarakat pada umumnya dari

(28)

yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana maupun tindak pidana lainnya.

Pada teori relatif mengajarkan bahwa pidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai tetapi hanya sebagai sarana untuk mempertahankan tata tertib masyarakat.Jadi dasar pembenaran dari penjatuhan pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya, yakni agar orang jangan melakukan kejahatan.13

Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini adalah sebagai berikut:

a) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)

b) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

c) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku yang memenuhi syarat untuk adanya pidana

d) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan

e) Pidana melihat ke depan (bersifat prospentif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 14

c. Teori Gabungan (verinigings theorieen)

Teori gabungan ini berusaha menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Dalam teori

13 H. Hambali Thalib, 2009, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan: Kebijakan

Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta, h.22.

(29)

ini penjatuhan sanksi pidana selain dimaksudkan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan untuk memperbaiki pelaku sehingga dapat kembali dan diterima oleh masyarakat.

menurut pendapat Vos di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran yaitu:

a) Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan tetapi dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi ketertiban umum.

b) teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan ketertiban masyarakat, dalam teori ini dianut oleh Simons yang menggunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki, dan membinasahkan dan selanjutnya secara absolut pidana pidana itu harus disesuaikan dengan kesaran hukum anggota masyarakat.

c) Teori gabungan yang dititikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan umum.

1.8.Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah

(30)

suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat. Istilah lain dari penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum sosiologis dan dapat pula disebut dengan penelitian lapangan.15

1.8.2. Jenis pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (The statue approach), pendekatan fakta ( the fact approach), dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and the conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.16 Pendekatan fakta adalah pendekatan yang digunakan berdasarkan pada fakta-fakta yang terjadi terkait dengan pelaksanaan pemasyarakatan narapidana kasus penyalahgunaan narkotika. Pendekatan analisis konsep hukum adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara memahami konsep-konsep hukum, pandangan-pandangan dan dokrin-dokrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang berkaitan dengan pemasyarakatan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan.

15 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,

Jakarta,h.15.

(31)

1.8.3. Sifat Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif.Penelitain deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara satu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat.17

1.8.4. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data skunder.

1) Data primer adalah suatu data yang didapat langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan18. Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini dengan melakukan studi lapangan di Lembaga Pemasyarakatan narkotika kelas IIA Bangli.

2) Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan. Termasuk dalam data skunder meliputi buku-buku, buku-buku harian, surat-surat pribadi dan dokumen resmi dari pemerintah19. Dalam penelitian ini data sekunder yang digunakan

adalah buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu pelaksanaan pemasyarakatan narapidana kasus

17Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.197.

18Piter Mahmud Marzuki, op.cit, h.9. 19Piter Mahmud Marzuki, op.cit,h.14.

(32)

narkotika di lembaga pemasyarakatan. Selain itu juga menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

1.8.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu teknik studi dokumen, teknik wawancara (interview), dan teknik penyebaran kuisioner.

1) Teknik studi dokumen

Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam penelitian ini dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian meliputi peraturan perundang-undangan dan literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

2) Teknik wawancara

Untuk mendapatkan data langsung dari lapangan dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara.Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka ketika seorang pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden.20

20Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

(33)

3) Teknik penyebaran kuesioner

Teknik penyebaran koesioner dilakukan dengan menyebarkan kuesioner yang didalamnya telah terdapat pertanyaan-pertanyaan terhadap responden yang sudah ditentukan sesuai dengan teknik pengambilan sampling.

1.8.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini populasi yang diteliti adalah seluruh narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik

random sampling, pada random sampling tiap unit atau individu

populasi mempunyai kesempatan atau probabilitas yang sama untuk menjadi sampel.21 Dalam penelitian ini akan ditentukan terlebih dahulu berapa jumlah narapidana yang ada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bangli. Cara yang digunakan untuk memperoleh sampel adalah Systematic Random Sampling.

Systematic Random Sampling adalah cara pengambilan sampel

dimana hanya unsur pertama yang dipilih secara random, sedangkan unsur-unsur berikutnya dipilih secara sistematik menurut suatu pola tertentu.

1.8.7. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif diterapkan

(34)

pada penelitian yang sifatnya deskriptif. Dalam hal ini data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri dari kata-kata (narasi). Dalam penelitian dengan teknik analisis kualitatif keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer dan data sekunder akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikualifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya, dilakukan intrepetasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penasiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruham kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secra deskripitif kualitatif dan sistematis.

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan kualifikasi bahan baku yang digunakan dalam produksi sangat berpengaruh terhadap hasil produksi, adanya permasalahan yang muncul berkaitan dengan

koperasi tersebut di atas di Persidangan Negeri Perak 2021 yang akan diadakan pada 17 Mac 2021 (Rabu). Bersama-sama ini disertakan pengesahan saya sebagai wakil

Dalam menghasilkan atau mewujudkan ragam hias sebagai pengorganisasian unsur-unsur visual dalam seni rupa berupa garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain itu akan memberi

2) Oleh karena nyata-nyata telah terbukti secara sah menurut hukum Termohon I, Termohon II dan Termohon III mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya

(sumber:www.jababeka.com). Jababeka merupakan brand yang digunakan oleh PT Jababeka, Tbk. Brand “Jababeka” sendiri merupakan easy name yang menggambarkan tentang

Jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (The statue approach), pendekatan fakta ( the fact approach), pendekatan kasus (

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 73 ayat 3 diatur mengenai pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan

23 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana), Cet.. Indikatornya adalah perbuatan tersebut melawan hukum