• Tidak ada hasil yang ditemukan

T SEJ 1201225 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T SEJ 1201225 Chapter1"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era serba modern dan serba terbuka, paham nasionalisme sering sekali ditanggapi dengan pemikiran yang tidak tepat bahkan terkikis oleh paham globalisasi.

Hal tersebut terjadi hampir di semua negara di dunia tidak terkecuali di Indonesia.. Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik karena terdiri dari banyak suku, budaya, dan bahasa yang mampu membentuk identitas nasional sehingga dapat merekatkan warganya dalam satu kepentingan bersama. Hal ini dapat terlihat dari motto Bhineka Tunggal Ika yang tercantum dalam lambang negara dan telah menggambarkan keragaman sosial budaya dalam masyarakat bangsa Indonesia. Disamping itu Indonesia juga harus mengakomodasikan ras lain yang sudah ada sejak lama keberadaannya, dan menjadi bagian dari Indonesia yang sedikit banyaknya masih melekat dengan negara asal mereka. Di tengah-tengah keberadaan keberagaman masyarakat Indonesia tersebut, fenomena yang terjadi akhir-akhir ini ialah semakin berkurangnya norma fundamental dari nilai-nilai kehidupan bersama dan semakin besarnya sikap-sikap individual, sementara pengaruh global semakin kuat menerpa bangsa yang berakibat pada integrasi antar etnik semakin pudar dan runtuh.

Persoalan konflik antar etnik dan antaragama yang terjadi di Indonesia merupakan bukti bahwa nasionalisme bangsa Indonesia mulai terkikis dan yang tidak dapat dilupakan adalah pandangan stereotip terhadap nasionalisme etnik Tionghoa sehingga menimbulkan anti Tionghoa. Pandangan curiga terhadap nasionalisme

(2)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

orang Tionghoa terhadap pribumi, seperti etnik Tionghoa suka pamer kekayaan sehingga seakan-akan tidak ada rasa sepenanggungan dengan etnik atau suku bangsa yang lain. Hal ini semakin menunjukkan identitas etnik Tionghoa sebagai “the haves” dan etnik/suku bangsa lain di Indonesia sebagai “the have nots” (Sjamsuddin, 2002 :

113). Pandangan tersebut masih terus terjadi disebabkan kurang berhasilnya pendidikan dalam menanamkan nilai dan karakter kepada peserta didik, khususnya

dalam menanamkan sikap toleransi dan saling menghargai sebagai bentuk kesadaran multikulturalisme dalam bermasyarakat dan berbangsa serta menanamkan nasionalisme yang memperkokoh integrasi bangsa. Sebagaimana dinyatakan Purwanto (2006: 163) bahwa :

untuk membangun nasionalisme sebagai sebuah kebudayaan atau wacana yang dipahami masyarakat, diperlukan strategi dan komunikasi tertentu sehingga fungsi ideologisnya dapat terbentuk dan terjaga secara berkelanjutan. Oleh sebab itu, pendidikan secara langsung menjadi instrumen penting dalam proses sosialisasi nilai nasionalisme kepada masyarakat, khususnya generasi muda dalam proses sosialisasi ini, buku pelajaran merupakan salah satu media utama untuk membangun konfigurasi nasionalisme yang akan ditanamkan kepada masyarakat. Melalui buku pelajaran dapat dihasilkan definisi fungsional dari nasionalisme, yang kemudian ditransformasikan menjadi sebuah ideologi dan budaya yang seolah-olah harus diterima oleh setiap warga negara.

Situasi ini haruslah disikapi dengan mempersiapkan bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk lebih mampu menghadapi tantangan di era global, salah satunya melalui pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hummel (dalam Prihatin, 2008: 10) bahwa:

Tujuan pendidikan harus mengandung tiga nilai, yaitu:

(3)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

b. Equity, artinya pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan berekonomi, dengan memberi pendidikan dasar yang sama c. Survival, artinya dengan pendidikan akan menjamin pewarisan

kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan memiliki tujuan yang berusaha mengakomodir kebutuhan peserta didik secara menyeluruh. Pendapat

senada dikemukakan Supardan (2009: 357) bahwa “pendidikan berperan sebagai transmisi kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual

dan estetika) dari generasi ke generasi.” Salah satu mata pelajaran yang memiliki

peran dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik adalah pendidikan

sejarah, sebagaimana dikemukakan Supardan (2009: 358) bahwa “sejarah memiliki use value bagi kehidupan manusia, dengan demikian sejarah berfungsi sangat penting dalam pembinaan identitas kolektif bangsa dan dapat dijadikan wahana pertama untuk mensosialisasikannya pada generasi muda”. Bahkan Barzun (1974 dalam

Supardan, 2009: 360) menyatakan bahwa “sejarah menggembleng jiwa manusia menjadi kuat dan tahan dalam menghadapi teror dan kekacauan kehidupan kita”.

Sejarah dalam ranah pendidikan memiliki fungsi yang berkaitan dengan tujuan pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih jauh

Hasan (2012: iv) menyatakan bahwa “dalam wilayah pendidikan, sejarah harus

menjadi sesuatu yang memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa sejarah diinterpretasikan dengan pendekatan normatif, dengan melihat baik

(4)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selanjutnya Kartodirdjo menegaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan sebagai bentuk penggambaran kolektif di masa lampau (Kartodirdjo, 1992 : 59). Penggambaran kolektif di masa lampau tersebut seperti persamaan penderitaan di bawah penjajahan untuk menjadi landasan dalam membangun negeri. Selain itu pengalaman kehidupan kolektif menjadi landasan untuk menentukan identitasnya dalam kehidupan masyarakat tradisional, identitas seseorang di kembalikan ke

asal-usulnya maupun keluarga besarnya. Hal ini tentu saja sangat penting bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki keragaman masyarakatnya yang sangat kompleks dan pastinya akan sangat melekat dengan identitas asal usulnya. Masyarakat yang ada di Indonesia tersebut terdiri dari latar belakang budaya, agama, suku yang berbeda dan tentu saja peranan pendidikan sejarah kembali dipertanyakan sejauh mana relevansinya menyangkut kesadaran masyarakat bangsa Indonesia dalam sense of belonging dan nasionalismenya di tengah-tengah identitas asal-usul yang multikultural tersebut.

Secara sederhana, multikultural dapat dipahami sebagai suatu konsep penghargaan terhadap keanekaragaman baik itu etnik, agama, pandangan, dan kompleksitas kehidupan yang lainnya. Pendidikan sejarah yang berbasis multikultural selain diharapkan memiliki peran dalam mengajak peserta didik untuk menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan yang berujung pada pengembangan rasa nasionalisme. Hal tersebut sesuai dengan Mahfud (2008 : viii) yang mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai :

Wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka atau prejudice

untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the

(5)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pernyataan tersebut sangat tepat bila diterapkan pada masyarakat majemuk Indonesia. Kesadaran akan keberagaman dan sikap saling menghargai haruslah ditanamkan sejak dini kepada generasi muda melalui pendidikan dan pendidikan sejarah bermuatan dengan pendidikan multikultural yang berfungsi sebagai pembentuk karakter bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kymlicka (2002: 8)

bahwa “multibudaya merupakan suatu pengakuan, penghargaan dan keadilan terhadap etnik minoritas”. Hal senada dikemukakan oleh Blum (2001: 16) yang menyatakan bahwa melalui pendidikan multikultural yang juga terdapat dalam pendidikan sejarah maka akan memunculkan pada diri siswa :

…pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah

penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Blum, 2001 : 16).

Kesadaran yang dibangun melalui pembelajaran sejarah yang berbasis multikultural pada para siswa diharapkan bukan hanya dapat memperkaya budaya bangsa tetapi juga memiliki kepekaan sentuhan-sentuhan akan kemanusiaan dalam kesetaraan/persamaan dan keragaman yang pada gilirannya akan tercapai suatu integrasi bangsa yang dibangun rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa

(6)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Nasionalisme yang dikaitkan dengan keragaman kelompok etnik adalah gagasan dari Anthony Smith (1982, dalam Wiriatmadja, 2008: 6) yang menjabarkan nasionalisme sebagai gerakan yang mementingkan peranan besar sejarah dan tradisi etnik. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sejak dahulu nasionalisme menjunjung tinggi ikatan-ikatan etnik melalui bahasa, agama, wilayah, folklor, adat istiadat, keturunan, yang kemudian ditempa lagi pada tataran yang lebih tinggi untuk membangun

semangat persaudaraan dan solidaritas, dengan menghindarkan sifat-sifat kelokalan, kedaerahan, yang mengandung benih perpecahan dan fragmentasi. Ditegaskan bahwa akar budaya etnik dapat menciptakan “sense of belonging” kepada upaya “nation building” bangsa yang ukuran jumlahnya besar, terpisah-pisahnya suatu wilayah dari wilayah yang lain (kepulauan), dan sangat heterogen, dengan menempanya menjadi makna baru, kehidupan baru, maka kebhinekaan etnisitas dan keterpisahan daerah dapat menjadi fokus utama upaya mobilisasi dalam membentuk persatuan. Karenanya, dengan fokus ini nasionalisme dapat menjadi ikatan yang menghubungkan masa lampau masyarakat bangsa tersebut dengan masa sekarang, dan masa yang akan datang (Smith, 1982: 27).

Permasalahan mengenai nasionalisme yang paling menonjol di Indonesia ialah mengenai etnik Tionghoa yang nenek moyang mereka pada perjalanan sejarahnya datang ke Indonesia dengan tujuan berdagang dimana mereka tidak memiliki satu wilayahpun di Indonesia yang bisa diklaim sebagai daerah asal mereka, seperti yang dimiliki oleh suku Batak yang bisa mengklaim wilayah Tapanuli di provinsi Sumatera Utara sebagai asal muasal leluhur mereka dan masyarakat Sunda yang bisa mengklaim wilayah Jawa Barat sebagai daerah asal muasal leluhur mereka.. Leluhur etnik Tionghoa berimigrasi ke Indonesia secara bergelombang sejak ribuan

(7)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tionghoa yang lahir, mati dan dikuburkan di Indonesia. Dengan kata lain, etnik Tionghoa di Indonesia sudah lama beranak-pinak. Meskipun demikian nilai-nilai nasionalisme etnik Tionghoa sering sekali menjadi perdebatan hangat. Hal yang paling menonjol dari masalah nasionalisme etnik Tionghoa selama ini ialah nasionalisme yang mereka miliki hanya sebatas pada etika bisnis yang bersifat

pragmatis, materialistis, dan oportunis dengan stigma “binatang ekonomi” (economic

animal) (Kwartanada, Didi, 1996). Pernyataan Kwartanada tersebut kemungkinan karena melihat satu sudut pandang yaitu dari kegiatan ekonomi etnik Tionghoa di perantauannya dimana kegiatan perdagangannya yang memiliki etika bisnis dengan semangat guanxi yang lebih mengutamakan jaringan bisnis dengan sesama etnik Tionghoa dan tidak peduli terhadap etnik atau suku lain. Padahal seperti yang kita ketahui kontribusi etnik Tionghoa sangat banyak dalam pembangunan negeri ini, misalnya saja etnik Tionghoa banyak memberikan lapangan pekerjaan bagi etnik lain yang ada di Indonesia.

Bukan hanya itu saja yang menjadi perdebatan selama ini tetapi juga karena lingkungan etnik Tionghoa terasa eksklusif, seperti yang terjadi di Pasundan dimana hanya sedikit wanita-wanita etnik Tionghoa (khususnya keturunan) yang mau

dipanggil “neng” saja yang sedikit berbau aristokrat (Sjamsuddin, 2002 : 115). Hal

ini juga bisa dilihat dari kurangnya pembauran dengan etnik dan suku bangsa lain. Etnik Tionghoa hanya bergaul dengan sesamanya. Ada kemungkinan hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh pengaruh warisan filosofi etnik Tionghoa yang berdasarkan Konfusianisme, tradisi yang menjadi identitas kehidupan spiritual Tionghoa secara umum yakni fokus pada keluarga baik itu yang masih ada ataupun yang sudah wafat (Onghokham, 2008 : 120). Konfusianisme khususnya mengajarkan tentang

(8)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bukanlah dari kelas elite politik melainkan dari kelas bawah dimana Konfusianisme hanya berperan minimal sekali, kecuali dalam hal ancestral cult (pemujaan nenek moyang). Walapun begitu, kultus nenek moyang penting dalam ajaran dan filsafat Konfusianisme. Bagaimanapun, ekspresi penghormatan ataupun pemujaan dan kesetiaan pada orang tua hingga nenek moyang pada umumnya dipegang oleh orang Tionghoa di mana saja keberadaannya. Ini dapat disimpulkan bahwa etnik Tionghoa

yang tidak bisa lepas dari orang tua dan nenek moyangnya berarti mereka tidak bisa lepas dari negara asalnya, Tiongkok (Onghokham, 2008 : 120-121).

Jaringan sosial dan ekonomi etnik Tionghoa yang disebut guanxi juga mendukung sikap ekskusif mereka. Guanxi sendiri merupakan semangat dalam mengembangkan dan melindungi sumber pendapatan keluarga agar kelangsungan hidup dapat terjamin. Semangat guanxi itu mereka lakukan dengan mengisolasikan sistem ekonomi mereka berdasarkan jaringan sosial sesama etnik Tionghoa. Ini tentu saja semakin membuat jurang pemisah antara etnik Tionghoa dengan suku yang lainnya. (Redding, 2002: 67-68). Adapun Creel memperkuatnya (1989 : 253-254) dengan menyatakan bahwa etnik Tionghoa sejak dahulu di negerinya memang memperhitungkan pertalian kekeluargaan dalam segala aspek kehidupan, khususnya dalam aspek ekonomi. Terlebih lagi clan di dalam pertalian keluarga etnik Tionghoa didasarkan pada garis keturunan ayah yang akan diwariskan kepada anak laki-laki dan tentu saja akan membawa marga keluarga. Kesadaran akan kesatuan dalam clan bagi etnik Tionghoa sangat kuat sekali. Semua keluarga merasa berasal dari keturunan yang sama, akan membentuk kesatuan keluarga dalam satu clan. Dalam kesataun clan ini mereka akan mendapat jaminan ketentraman hidup bagi setiap anggotanya baik itu dalam segi materil, tenaga, maupun dalam segi moril (Hidajat,

(9)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Selama beratus-ratus tahun yang lampau bahkan hingga sekarang, etnik Tionghoa lebih menyukai cara hidup dan cara pandang para leluhur mereka yang menganggap bahwa etnik Tionghoa memiliki kepandaian, kebudayaan, dan kecakapan yang lebih tinggi dibandingkan etnik ataupun bangsa lain. Ini bisa kita lihat dari maha karya etnik Tionghoa di negerinya sendiri yang pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia yaitu Tembok Besar Tiongkok yang seakan-akan

menyimbolkan hal tersebut, selain mengantisipasi serangan dari bangsa Mongol (Creel, 1989 : 1, 249).

Cara pandang dan hidup yang seperti itu semakin diperkuat pula dengan adanya kerusuhan yang melibatkan etnik Tionghoa sebagai pihak yang menjadi korban, seperti kerusuhan yang etnik Tionghoa sebut sebagai “Mei kelabu” pada tahun 1998 yang dimana etnik Tionghoa banyak mengalami penjarahan, perampokan, pembakaran, penganiayaan, hingga pemerkosaan terhadap wanita etnik Tionghoa (Siburian, 1999). Kedua hal tersebutlah yang membuat banyak perbedaan antara bentuk rumah etnik Tionghoa dengan suku lain di Indonesia yang dapat diamati dengan tampilan pagar rumah yang cenderung tinggi-tinggi melebihi pagar warga pribumi yang tinggal di sebelahnya, yang sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sebelum peristiwa kerusuhan 1998. Penampilan yang demikian seakan memperlihatkan batasan yang jelas antara warga etnik Tionghoa dengan warga dari etnik lain.

Tentu saja ini menimbulkan kesan dengan ditampilkannya penampilan pagar seperti itu merupakan penunjukan bahwa; "saya adalah orang Tionghoa dan anda orang pribumi". Walaupun tujuan lain membangun pagar yang tinggi itu juga dalam mengantisipasi adanya pencurian ataupun perampokan yang pernah mereka alami

(10)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengakibatkan pembauran tidak terjadi. Kalaupun ada pembauran maka hal tersebut tidak berjalan secara optimal, sebab secara logika sulit membangun komunitas untuk saling berbaur apabila satu sama lain sudah merasa tidak aman. Akibatnya adalah orang Tionghoa di lingkungan warga dari etnik lain selalu menjadi "orang asing”.

Walaupun banyaknya pandangan negatif mengenai nasionalisme etnik Tionghoa, namun di sisi lain mereka memberikan banyak sumbangan dalam

mengharumkan nama bangsa seperti di dunia olahraga, teknologi, kesenian, dan lain-lain yang banyak nama-nama kita kenal yang berasal dari etnis Tionghoa seperti pasangan Susi Susanti dan Alam Budikusuma yang mengharumkan nama Indonesia dalam olimpiade Barcelona. Namun dalam penulisan sejarah Indonesia jarang dibahas panjang lebar (Yanzhi, Kong, 2005).

Di bidang pendidikan bisa dikatakan sangat susah untuk menemukan siswa yang berketurunan etnik Tionghoa menimba ilmu di sekolah umum (sekolah negeri) yang tentunya para siswa yang terdapat di dalamnya lebih beragam baik itu dari segi agama maupun budaya. Hal ini mengingatkan memori kita kembali mengenai penggolongan penduduk pada masa Belanda hingga juga berpengaruh pada bidang pendidikan, yaitu warga negara kelas satu yang terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya. Warga negara kelas dua yang terdiri dari Vreemde

Oosterlingen yaitu orang India, Arab, Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing lainnya. Adapun warga negara kelas tiga yang terdiri dari penduduk pribumi. Penggolongan kelas masyarakat menimbulkan eksklusifisme, karena masing-masing golongan masyarakat tersebut diposisikan dalam stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh diperbaurkan (Takashi, 2005 : 47).

Kondisi tersebut masih terjadi bagi warga etnik Tionghoa di kota Bandung,

(11)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

bersekolah di yayasan dengan latar belakang agama Kristen (baik itu Kristen Katholik ataupun Kristen Protestan) di tengah-tengah masyarakat kota Bandung yang mayoritas berkeyakinan Islam. Kondisi etnik Tionghoa di Indonesia juga walaupun terlihat homogen tetapi mereka juga sebenarnya majemuk karena tidak berasal dari satu suku bangsa saja tetapi paling sedikit delapan suku bangsa dengan bahasa dan marga yang berbeda-beda. Etnik Tionghoa di Indonesia sebagian berasal dari empat

suku bangsa, yaitu Hokkien, Hakka atau Kheh, Tiu-Chiu, dan orang kota Kanton (Purcell, 1980 : 52). Pendapat di atas juga didukung oleh pernyataan Suryadinata, di mana bahwa sering sekali warga lokal (pribumi) memandang etnik Tionghoa secara homogen, padahal tidak demikian adanya. Dalam komunitas etnik Tionghoa terdapat keheterogenitasan, seperti masyarakat lokal Indonesia (Suryadinata, 1999: 170).

Selain itu, etnik Tionghoa di kota Bandung sudah terjadi asimilasi dengan warga lokal, baik itu asimilasi secara biologis yang sering disebut sebagai “Tionghoa

peranakan” maupun kebudayaan (Onghokham, 2009 : 28-29). Etnik Tionghoa ini dalam penulisan-penulisan sejarah disebut sebagai etnik Tionghoa “peranakan” yang menurut Suryadinata (1984 : 86) adalah mereka yang datang ke pulau Jawa, biasanya laki-laki yang kemudian kawin dengan wanita lokal setempat. Hal inilah yang nantinya membuat perbedaan fisik antara etnik Tionghoa di pulau Jawa dengan di luar pulau Jawa, yaitu misalnya sudah banyak etnik Tionghoa peranakan di pulau Jawa yang memiliki tingkat kesipitannya yang tidak lagi menonjol dan warna kulit juga yang sudah tidak terlalu berwarna putih (ras Mongoloid). Bahkan warna kulit merekapun sudah banyak yang mengarah ke kecoklat-coklatan. Namun tidak

menutup kemungkinan masih terdapat juga banyak etnik Tionghoa “totok” di kota

(12)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Etnik Tionghoa “peranakan” juga disebutkan bagi mereka yang lahir di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, tidak saja kepada warga pribumi juga sesama mereka yang berasal dari etnik Tionghoa itu sendiri. Ini sudah terjadi dari generasi etnik Tionghoa pada masa sebelum perang di Indonesia yaitu mereka mulai menggunakan bahasa Melayu ataupun bahasa lokal setempat yang bercampur dengan bahasa yang berasal dari Tionghoa sebagai bahasa

percakapannya (Suryadinata, 1984 : 86). Etnik Tionghoa peranakan ini banyak terdapat di pulau Jawa. Mereka inipun sudah mulai kehilangan kefasihannya berbicara dalam bahasa Tionghoa karena mereka sudah banyak menyerap unsur kebudayaan lokal tempat di mana etnik Tionghoa peranakan ini bermukim (Suryadinata, 1999: 170-171). Etnik Tionghoa peranakan di Jawa Barat lebih dekat persamaannya dengan suku Sunda sebagai warga lokal dan memiliki keterikatan yang lebih kuat dengan sesama etnik Tionghoa yang berasal dari Jawa Barat sendiri dibanding etnik Tionghoa yang berasal dari daerah lain (Suryadinata, 1984 : 94) .

Etnik Tionghoa “peranakan” di pulau Jawa sudah banyak yang meninggalkan

religi leluhurnya, dan menganut salah satu dari agama yang diakui oleh negara terutama pada masa Orde Baru; seperti Kristen, Islam, dan Buddha (Suryadinata, 1984 : 87). Seperti etnik Tionghoa di kota Bandung sudah banyak yang berkeyakinan Kristen, hal ini bisa dilihat dari banyaknya gereja-gereja di kota Bandung yang jemaatnya banyak berisikan etnik Tionghoa (baik itu Kristen Khatolik ataupun Protestan). Kemungkinan ini bisa saja dikarenakan ketika masa penjajahan Belanda dimana etnik Tionghoa mendapat pendidikan tersendiri yaitu dengan didirikannya sekolah Tionghoa Belanda (Hollands Chinese Schools atau HCS) pada tahun 1908 di pulau Jawa yang mengacu pada kurikulum yang berlaku di negeri Tiongkok namun

(13)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

di dalam sekolah bagi anak-anak etnik Tionghoa hingga mengikuti keyakinan yang dianut oleh kolonial Belanda (Hidajat, 1993 : 79-83). Bahkan hingga sekarang etnik Tionghoa yang beragama Kristen ini sudah banyak yang menjadi pendeta dengan jemaat yang berasal dari berbagai latar belakang etnik (Siburian, 1999).

Walaupun demikian, tidak bisa diingkari bahwa leluhur mereka yang datang ke Indonesia adalah etnik Tionghoa yang lahir di negeri Tiongkok lalu datang ke

Indonesia dengan tujuan mencari sumber penghidupan akibat sering terjadinya perang antara dinasti (kerajaan) di negeri Tionghoa (Suryadinata, 1984: 90). Mereka bermigrasi ke Indonesia pada abad 19 hingga 20 yang pasti masih kental sekali dengan filosofi konfusianisme yang sudah ada di negeri Tionghoa sejak abad 5 SM. Nantinya tentu saja sedikit banyak diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Di kota Bandung sendiri, etnik Tionghoa sudah berasimilasi dengan budaya lokal setempat yaitu budaya Sunda. Hal ini bisa dilihat dari kemampuan mereka mulai dari berlogat hingga berbahasa Sunda baik dengan tutur kata yang halus ataupun kasar. Sangat mudah sekali menemukan para siswa etnik Tionghoa baik itu ditingkat SD hingga SMA yang menggunakan bahasa Sunda dengan fasihnya dalam kehidupannya sehari-hari di sekolah.

Kondisi seperti inilah seharusnya menjadi dasar pendidikan dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa melalui pembelajaran sejarah berbasis multikultural, walaupun sebenarnya nasionalisme diajarkan oleh banyak mata pelajaran di sekolah, sebut saja pendidikan kewarganegaraan dan sosiologi. Namun potensi besar dalam mentransformasi multikultural dan nasionalisme bagi siswa etnik Tionghoa sebenarnya bisa didapat dari pembelajaran sejarah yang didalamnya banyak pengaplikasian dalam peristiwa maupun tokoh

(14)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa. Dalam materi transformasi etnik dan berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia pada kelas XI IPS dimana identitas kebangsaan Indonesia tidak saja hanya dimiliki oleh masyarakat pribumi yang berasal dari suku bangsa di berbagai daerah di Indonesia tetapi juga dimiliki oleh masyarakat Indonesia keturunan etnik Tionghoa maupun keturunan Indo Belanda. Dalam masyarakat etnik Tionghoa terjadi gerakan perlawanan terhadap

kolonial Belanda yang disebabkan terbatasnya ruang gerak mereka yang hanya dalam bidang ekonomi saja dan dijadikan sebagai alat pemerasan terhadap etnik atau suku lain oleh kolonial Belanda. Bahkan seorang Douwes Dekker (Setiabudi) yang adalah seorang Indonesia keturunan Belanda melakukan perjuangan dalam melawan kolonial Belanda dengan mendirikan partai politik yang bernama Indische Partij.

(15)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

penting dan berhubungan dengan nilai multikultural dan nasionalisme pada waktu itu adalah (Rekomendasi Rapat Kerja Nasional Sejarah, 2005 :1-3) :

1. Materi yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah harus memiliki pendekatan multikultural. Muatan multikultural perlu diberikan pada siswa sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan No. 22 tahun 2006 tentang standar isi, yaitu

bahwa prinsip pengembangan berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Selain itu, secara realitas objektif masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural baik secara suku, agama, etnik, budaya, dan lain-lain.

2. Pendekatan penyajian materi sejarah dilakukan secara kontekstual. Artinya sajian materi sejarah dikaitkan dengan peristiwa atau fenomena yang terjadi pada saat ini. Dengan pendekatan materi seperti ini diharapkan siswa mampu membangun daya nalar dan tidak bersifat indoktrinasi.

3. Materi pembelajaran sejarah harus memiliki misi pembentukan karakter bangsa (nation building). Hal ini dilakukan dengan tujuan materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa. Nilai-nilai yang dikembangkan dari peristiwa sejarah harus dapat tertanam dalam diri siswa.

Dalam pembelajaran sejarah selama ini sudah terdapat berbagai peristiwa dan tokoh yang mewakili keberadaan multikulturalnya Indonesia karena diangkat dari berbagai etnik dan agama. Dalam materi organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia, ada terdapat banyak organisasi demi tujuan kemerdekaan dengan anggotanya terdiri dari berbagai latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Sebut saja organisasi Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang

(16)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

juga ada dari suku lain seperti Douwes Dekker dan Suriadinata. Namun materi-materi sejarah tersebut sepertinya bersikap kurang adil dalam pembahasan tentang etnik Tionghoa, materi tentang etnik Tionghoa hanya pada materi kelas X semester genap yaitu tentang peradaban lembah sungai Hwang Ho (sungai Kuning) di Tiongkok dan juga materi semester genap kelas XI IPS mengenai Transformasi etnik dan berkembangnya identitas kebangsaan Indonesia, namun tidak menuliskan tentang

tokoh-tokoh pergerakan dari etnik Tionghoa ataupun peristiwanya. Padahal ada banyak sekali seperti tokoh-tokoh keturunan etnik Tionghoa dalam “Sumpah

Pemuda” yang telah meletakkan dasar yang penting bagi lahirnya bangsa Indonesia, yaitu Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie. (Eddie Lembong dalam Suryadinata, 2002 : 383).

Padahal sesuai dengan pernyataan Kartodirdjo yang menegaskan bahwa sejarah dapat diartikan sebagai bentuk penggambaran pengalaman kolektif di masa lampau (Kartodirdjo, 1992 : 59). Diharapkan dengan adanya pembelajaran sejarah, siswa etnik Tionghoa dibangun kembali memorinya mengenai perjalanan dari berbagai suku bangsa termasuk etnik Tionghoa sendiri dalam menghadapi penindasan dan diskriminasi dari kolonial Belanda sebagai penjajah. Pembelajaran sejarah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu proses belajar mengajar materi pelajaran sejarah di SMA untuk mencapai tujuan kurikulum pelajaran sejarah di SMA.

Kenyataan Indonesia sebagai masyarakat multikultural merupakan kebanggaan sekaligus kecemasan, kebanggaan karena kayanya Indonesia akan budaya masyarakatnya dan kecemasan agar masyarakat yang multikultural tersebut tidak terjadi konflik-konflik yang dapat menyebabkan hancurnya persatuan dan

(17)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

awalnya adalah pendatang seperti etnik Tionghoa. Pentingnya pendidikan multikultural di kalangan siswa etnik Tionghoa karena supaya membuka pola pikir mereka dalam menyangkut kesadaran akan bagian dari masyarakat bangsa dalam

sense of belonging dan nasionalismenya. Panterotto (1995) dalam Supardan (2004), dalam penelitiannya menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran multikulturalisme berperan untuk : „Discribes theoris to explain the increase of

incidents of intergroup conflict and role of the teacher in multicultural awareness

and prejudice prevention programs‟. Maksudnya ialah bahwa pembelajaran

multikultural dapat mencegah meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok. Dalam hal ini ialah antara kelompok masyarakat etnik Tionghoa yang awal sejarah mereka sebagai bangsa pendatang dengan masyarakat lokal. Karena melalui pembelajaran multikultural maka siswa bisa belajar menghargai setiap budaya etnik yang berbeda, menilai setiap budaya etnik yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahan yang akhirnya siswa akan menerima bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna. Semuanya memiliki kebaikan dan manfaatnya di dunia ini.

Tidak sulit untuk menemukan siswa etnik Tionghoa yang memiliki orangtua dengan latar belakang etnik maupun budaya yang berbeda antara ayah dengan ibu maupun kakek dengan nenek mereka di SMA St. Angela kota Bandung. Bahkan agama siswa etnik Tionghoa di sekolah tersebut tidaklah semuanya Kristen (baik itu Kristen Katholik ataupun Protestan), masih ada siswa yang memiliki agama Buddha dan Islam. SMA St. Angela yang sudah berdiri sejak tahun 1951 di kota Bandung dan mayoritas siswanya adalah etnik Tionghoa. Walaupun sekolah ini terlihat mayoritas siswanya adalah etnik Tionghoa tetapi posisinya tidaklah homogen karena berasal dari daerah yang berbeda. Etnik Tionghoanya tidak hanya berasal dari kota Bandung

(18)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Surabaya, bahkan Papua. Selain itu juga terdapat juga siswa dari suku atau etnik lain seperti dari suku Sunda, Jawa, Batak, dan Ambon.

Hal-hal tersebutlah yang menjadi latar belakang ketertarikan penulis untuk meneliti tentang “PEMBELAJARAN SEJARAH BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MENGEMBANGKAN NILAI-NILAI NASIONALISME SISWA ETNIK TIONGHOA ”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyampaian pendidikan nilai yang dilakukan oleh guru melalui pembelajaran sejarah?

2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang dilakukan oleh guru di SMA St. Angela kota Bandung dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasiannya?

3. Bagaimana sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian tentang peran pendidikan sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnis Tionghoa. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan informasi-argumentatif tentang :

(19)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2. Pelaksanaan pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang dilakukan oleh guru di SMA St. Angela kota Bandung dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengimplementasiannya.

3. Sikap nasionalisme yang ditunjukkan oleh siswa etnik Tionghoa di SMA St. Angela kota Bandung dengan adanya pembelajaran sejarah berbasis multikultural.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini di harapkan memberikan sumbangsi informasi mengenai menggali, mengkaji, dan mengorganisasikan peran pembelajaran sejarah berbasis multikultural yang berimplikasi dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa.

b. Dapat digunakan sebagai sumber data penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih jauh mengenai pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa.

2. Manfaat praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam perencanaan pendidikan sejarah berbasis multikultural

b. Bagi para akademis ataupun komunitas akademis, khususnya dalam

(20)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

etnik Tionghoa yaitu tidak hanya dalam bidang prestasi dan keoportunisannya dalam bidang ekonomi tetapi juga sikap toleransi antar etnik, budaya, dan agama di luar siswa etnik Tionghoa.

E. Klarifikasi Konsep

Dalam penelitian ini, terdapat lima konsep utama yakni pendidikan sejarah,

pembelajaran multikultural, nasionalisme, etnis Tionghoa dan pendidikan sejarah berbasis multikultural.

1. Pembelajaran sejarah Sejarah

Pembelajaran sejarah merupakan bagian yang terintegral dalam IPS dan mengandung unsur pendidikan nilai, hal inilah yang menyebabkan pembelajaran sejarah memiliki arti penting di sekolah. (Hasan, 2012 : 3-4).

Dengan menggunakan konsep challenge and response dari Arnold Toynbee untuk mentransformasi nilai dalam pembelajaran sejarah, para siswa tidak hanya diberi pengetahuan mengenai saat Indonesia berada pada titik tertinggi yaitu dengan segala peninggalan kejayaannya di masa kerajaan Sriwijaya ataupun Majapahit. Tetapi juga ketika bangsa Indonesia dalam menghadapi titik terendahnya yakni ketika dijajah beratus-ratus tahun oleh bangsa lain. Dan keterpurukan tersebut tidak hanya berdimensi pada masa penjajahan melainkan juga pada jaman dimana para siswa berada.

Penggunaan konsep challenge and response tidak hanya bersifat substantive melainkan juga analytical (Supriatna : 2010 : 9-10),ketika hal itu digunakan sebagai alat analisis untuk melihat persoalan kontemporer yang dapat membangun kesadaran kebangsaan yang berujung pada rasa nasionalisme para siswa dalam merespon

(21)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kemiskinan, kebodohan, hingga tindakan-tindakan moral yang tidak pantas ditiru dan dipuji (contohnya korupsi) .

Tantangan (challenge) ini akan memberikan kepribadian yang tegar sebagai

response karena pengenalan akan jati dirinya yang dapat menumbuhkan kemauan dan kesediaan untuk belajar, jujur, dan bekerja keras yang lebih tinggi bagi diri dan bangsanya. Dan hal tersebut dapat membuat pembelajaran sejarah lebih bermakna

(meaningful) bagi para siswa.

2. Pengertian multikutural

Multikultural meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnik orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi anggota-anggotanya sendiri (Blum, 2001 : 16). Pendidikan multikultural tersebut diarahkan dalam rangka mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural dan juga perbedaan serta persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997 dalam Aly, 2005).

3. Nasionalisme

Adapun nasionalisme yang menjadi fokus dalam penelitian ini ialah sekelompok manusia yang memiliki cita-cita bersama yang mengikat warga negara

(22)

Adela Siahaan, 2014

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik Tionghoa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

agama, kesadaran kebangsaan dengan kesamaan pandangan, harapan tujuan, dan cita-cita serta kecintaan kepada tanah air dalam menghadapi baik itu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dengan kata lain, nasionalisme merupakan perekat yang mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri sebagai bangsa (Hertz dalam Winataputra 2007 : 4.21).

4. Etnik Tionghoa

Dalam penelitian ini, penggunaan istilah “Etnik Tionghoa” lebih bijak

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka pengembangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, Lembaga Teknis Daerah, Dinas Daerah dan Bagian/Unit Kerja dilingkungan Pemerintah Kabupaten melakukan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengalaman yang berharga dalam menulis karya ilmiah, memperoleh pengetahuan sebagai upaya peningkatan daya

Hasil Pengujian Marshall Beton Aspal Yang Dipadatkan Dengan Alat Pemadat

Pelafalan dan penghafalan Asmaul husna merupakan kebiasaan dalam dunia pendidikan untuk senantiasa menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT. Asmaul Husna apabila

Hal itulah yang terjadi pada area kantor Komunitas One Day One Juz yang terletak di wilayah Bambu Apus Jakarta Timur, signal internet di wilayah ini terbilang

Pernikahan berbeda suku masyarakat adat bali Banjar Tirta Yoga Desa Tri Mulyo Mataram Kecamatan Seputih Mataram Kabupaten Lampung Tengah maka masyarakat dan para

Dari hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan proses suatu tanaman maka jumlah inokulum harus disesuikan dengan jumlah konsentrasi

Vukovarsko-srijemska županija smještena je na krajnjem sjeveroistoku Republike Hrvatske, a njezina površina iznosi 2 448 km 2. Gospodarstvo Vukovarsko-srijemske županije najvećim se