• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi dan Kemiskinan 21. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desentralisasi dan Kemiskinan 21. doc"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DESENTRALISASI DAN KEMISKINAN:

TELAAH KONSEPTUAL TENTANG INKOMPABILITAS OTONOMI DAERAH DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN DI DAERAH

Pendahuluan

Secara substantif, gagasan awal digulirkannya kebijakan otonomi daerah (desentralisasi) adalah demi memberikan peluang kepada pemerintah daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) untuk mempercepat terwujudnya tata pemerintahan yang baik (good governance). Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mendorong proses kebijakan menjadi lebih partisipatif, responsif, dan akuntabel, karena kendali dari proses kebijakan dan alokasi anggaran sepenuhnya ada di tangan pemerintah daerah dan DPRD. Maka, tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu agar masing-masing daerah bersangkutan memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga secara kolateral dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Terkait tujuan-tujuan tersebut, pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya melakukan berbagai tindakan hukum, baik yang terikat atas kaidah-kaidah hukum material yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, maupun hukum formal atau hukum acara administrasi (Syafrudin, 2000).

(2)

sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

Akan tetapi, dalam realisasinya banyak fenomena yang menjadi indikasi bahwa semangat otonomi (desentralisasi) politik maupun desentralisasi fiskal tidak simetris dengan tujuan pembangunan ekonomi, yakni akselerasi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan terhadap akses pertumbuhan ekonomi tersebut. Kerap kali otonomi sekedar dimaknai sebagai arena penguatan wewenang politik pemerintah daerah, atau makin luasnya hak pengelolaan fiskal di daerah, sehinggga banyak daerah hanya fokus pada angka pertumbuhan ekonomi (PDRB) tanpa memperhatikan substansi reduksi indeks gini, pengurangan angka kemiskinan maupun pemerataan akses publik terhadap pembangunan di daerah.

Sebagai contoh provinsi Jawa Timur. Di mana capaian pertumbuhan ekonomi-nya rata-rata per tahun selalu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata capaian nasional.

Tabel. 1

Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan Jawa Timur

Sumber; Biro Administrasi Perekonomian Jatim

(3)

Dalam konteks Jawa Timur, problem klasik tersebut masih menjadi momok yang menakutkan. Indikasinya, Indeks Ratio Gini yang menjadi parameter untuk mengukur tingkat pemerataan pembangunan masih berada pada level yang kurang menggembirakan. Berdasarkan LKPJ Gubernur Tahun Anggaran 2015, posisi indeks gini ratio Jatim berada di angka 0,40 persen atau bertambah buruk dari capaian di tahun 2014 yang menembus angka 0,37 persen.

Tabel. 2

Indeks Gini Ratio di Jatim

Sumber; Biro Administrasi Perekonomian Jatim

Artinya, pertumbuhan yang relatif tinggi masih dinikmati oleh sebagian kecil kalangan penduduk. Sehingga justru menghasilkan ketimpangan perekonomian yang cukup lebar. Ketimpangan perekonomian tersebut terepresentasi dalam indikator persentase angka kemiskinan di Jawa Timur.

(4)

Tabel. 3

Angka Kemiskinan di Jawa Timur 2013-2015

Sumber: Nota Penjelasan LKPJ Gubernur Jatim 2015

Gambaran di atas mengenai tidak kompatibelnya wewenang besar yang dimiliki pemerimtah daerah di era reformasi berupa hak politik dan hak pengelolaan manajemen fiskal maupun anggaran publik dengan capaian indikator makro pembangunan (ekonomi). Yakni tingginya pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan pemerataan maupun reduksi angka kemiskinan. Fenomena tersebut memantik diskusi lebih jauh mengenai relasi antara desentralisasi dan fenomena ketimpangan sosial (kemiskinan) di era otonomi daerah dewasa ini.

Diskursus Tentang Desentralisasi dan Ketimpangan Pembangunan

Desentralisasi dan penanggulangan kemiskinan adalah dua wilayah yang hampir tidak pernah saling menyapa, baik secara teoretis maupun empiris. Hingga sekarang perdebatan desentralisasi terutama terfokus pada tata pemerintahan, dan jarang yang dikaitkan dengan kemiskinan. Dalam literatur ekonomi tentang kemiskinan, desentralisasi telah lama diabaikan. Bahkan penelitian tentang pengeluaran publik dan penargetan rakyat miskin hampir tidak pernah menyentuh desentralisasi. Di Indonesia, praktik desentralisasi hanya sibuk bicara tentang kewenangan, penataan kelembagaan, peningkatan PAD, dan lain-lain. Sementara, program penanggulangan kemiskinan masih menjadi wilayah Jakarta yang dibangun secara sentralistik.

Adakah relevansi antara desentralisasi dengan kemiskinan? Bagaimana mendesakkan penanggulangan kemiskinan melalui desentralisasi? Bagian ini hendak memberikan jawaban itu secara teoretik. Saya berpendapat bahwa desentralisasi adalah

Tahun Persentase

2013 12,73

2014 12,28

(5)

sebuah alat, bukan sebuah tujuan, untuk membangun tata pemerintahan yang efisien dan partisipatoris. Desentralisasi tentu bukan sebuah alat untuk tujuan tunggal yang ditetapkan secara sempit, dan oleh karena itu desentralisasi menjalankan risiko sangat luas dan ditujukan pada berbagai tujuan. Bahkan, jika desentralisasi berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan, dan jika hubungan di bawah kondisi yang ditetapkan dengan baik adalah positif secara umum dan menguat, maka pengaruh penanggulangan kemiskinan akan menambah sebuah dimensi pada tantangan maksimalisasi desentralisasi.

Pada pertengahan 1990-an, ada fokus pada reformasi sektor publik, pengembangan kapasitas dan penguatan institusi, dan kapasitas negara untuk mengurangi kemiskinan (Lipton dan van der Gaag, 1993). Akhir-akhir ini, perhatian yang meningkat ditaruh untuk membuka kesempatan, pada sumberdaya manusia, meningkatkan keamanan, dan memfasilitasi pemberdayaan. Semua ini berhubungan erat dengan pelayanan publik, yang berhubungan secara langsung dengan desentralisasi. Dengan demikian, desentralisasi dan kemiskinan telah bersama-sama menjadi fokus melalui penelitian good governance yang berhubungan dengan implikasi kemiskinan (misal Dethier, 2000).

Pemerintah lokal umumnya tahu betul tentang kebutuhan dan pilihan lokal ketimbang pemerintah pusat, yang punya kapasitas terbatas untuk mengumpulkan informasi. Dalam desentralisasi, secara teoretis, monitoring dan kontrol pelaku lokal oleh komunitas lokal adalah lebih mudah. Pemerintah lokal mungkin lebih akuntabel, lebih responsif terhadap rakyat miskin dan lebih baik dalam memberikan ruang partisipasi rakyat miskin dalam proses politik. Pembuatan keputusan pada tingkat lokal memberikan tanggung jawab, kepemilikan, menjadi dorongan yang lebih kuat kepada aktor-aktor lokal, dan informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara penyediaan layanan publik yang lebih murah dan lebih tepat (Bardhan, 1997a).

(6)

Desentralisasi bisa juga memperburuk ketegangan politik antardaerah jika daerah-daerah tersebut mempunyai tingkat pendapatan dan sumber daya alam yang berbeda secara signifikan. Memperhitungkan ekonomi dalam penyediaan pelayanan dan barang publik, dan perlunya kebijakan fiskal yang terkoordinasi, sebuah pemerintahan terpusat dianggap dapat lebih baik mengelola masalah eksternalitas.

Sementara desentralisasi yang berhasil mungkin memperbaiki efisiensi dan responsivitas sektor publik terhadap kebutuhan rakyat miskin, desentralisasi yang tidak berhasil mengancam stabilitas ekonomi dan politik yang berakibat negatif bagi penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan bisa meningkatkan kemiskinan.

Hubungan Konseptual

Besley (1997) membuat pendekatan penanggulangan kemiskinan ke dalam dua alternatif: teknokratik atau institutional. Yang pertama menekankan target dan menyelidiki bentuk program mobilisasi sumberdaya yang terbatas kepada rakyat miskin. Pendekatan yang kedua mencatat, bahwa rakyat miskin kekurangan kekuasaan politik, dan menegaskan bahwa ketidakmampuan birokrasi dam korupsi mengganggu pelayanan publik. Karena itu penanggulangan kemiskinan butuh pengembangan institusi, dan perubahan struktur politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat miskin. Desentralisasi mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan yang luas ini. Desentralisasi memfasilitasi bentuk program teknokratik yang lebih efektif, seperti target daerah mungkin dipermudah, akuntabilitas birokrasi mungkin diperkuat, dan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan mungkin ditingkatkan. Juga desentralisasi dapat menawarkan kerangka kerja legal dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan kemiskinan., seperti desentralisasi mungkin meningkatkan kekuasaan politik rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat.

(7)

investasi pro-poor. Kedua, dari perspektif manajemen ekonomi, desentralisasi membantu pemerintah lokal memperbaiki efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik kepada rakyat miskin dan efisiensi penargetan program penyerah-terimaan.

Sementara pertimbangan efisiensi dan persamaan digambarkan dalam posisi independen. Dengan melibatkan rakyat miskin dalam menjalankan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik pada tingkat lokal, akuntabilitas pemerintah lokal meningkat mengarah pada efisiensi penyediaan barang publik yang lebih banyak.

Desentralisasi, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan

Desentralisasi adalah sebuah cara untuk memungkinkan masyarakat sipil ikut serta dalam proses kebijakan dan dengan demikian, untuk meningkatkan transparansi dan predictability pembuatan keputusan. Pemerintah lokal umumnya lebih tahu tentang, dan lebih tanggap terhadap, kebutuhan pilihan penduduk lokal daripada pemerintah pusat. Adalah lebih mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menjangkau rakyat miskin selama politik lokal memungkinkan ini. Desentralisasi juga mempunyai keuntungan utama bahwa pejabat lokal dapat secara lebih mudah diawasi dan dikendalikan oleh komunitas lokal daripada para pejabat di pemerintah pusat, jika peraturan hukum ada di tingkat lokal.

(8)

Koalisi pro-poor seperti koperasi atau organisasi petani sangat penting untuk memperbaiki hasil desentralisasi dari perspektif keadilan. Elite yang berkuasa mungkin punya sedikit dorongan untuk membiarkan institusi partisipatif berkembang. Mahal dan kawan-kawan (2000) menguji hipotesis bahwa desentralisasi dan demokratisasi yang meningkat pada tingkat lokal mempengaruhi secara positif angka pendaftaran dan kematian anak segera sesudah pengaruh keadaan sosial ekonomi, organisasi masyarakat sipil, persoalan perebutan sumberdaya lokal oleh kelompok elite. Mereka menemukan bahwa indikator-indikator demokratisasi dan partisipasi publik, seperti frekuensi pemilu, adanya organisasi non-pemerintah, asosiasi orangtua-guru di negara yang desentralistik pada umumnya punya pengaruh positif.

Desentralisasi, Pelayanan Publik dan Investasi Pro-poor

Dari perspektif informasi dan ongkos transaksi, externalities memberikan argumen sentralisasi jika otoritas pusat mempunyai kemampuan tidak terbatas untuk mengumpulkan, memproses dan menyebarkan informasi. Tetapi ada keuntungan pada desentralisasi karena otoritasi pusat pada umumnya tidak mempunyai kemampuan itu. Desentralisasi dapat menjadi sangat kuat dalam mencapai tujuan pembangunan dengan menugaskan hak kontrol kepada orang yang mempunyai informasi dan dorongan untuk membuat keputusan yang paling sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan itu (Bardhan dan Mookherjee, 1998). Contohnya, informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara penyediaan barang publik yang lebih murah dan lebih tepat dengan kebutuhan lokal (Bardhan, 1997a).

Desentralisasi juga dapat dilihat sebagai sebuah cara untuk meningkatkan akuntabilitas para pejabat lokal dengan membawa otoritas ke tingkat lokal (BC Smith, 1985). Pembuatan keputusan lokal memberikan pertanggungjawaban, kepemilikan dan oleh karenanya dorongan yang lebih kuat kepada pelaku lokal. Ada beberapa fakta bahwa, dengan membuat para pejabat lokal lebih akuntabel dan meletakkan pertanggungjawaban di tangan stakeholders lokal, kualitas dan efisiensi pelayanan publik bertambah baik (Bardhan, 1997a)..

(9)

mengarah pada ketidakefisienan. Transparansi fiskal menurun ketika pemerintah lokal kuat dan tidak bergantung pada pemerintah nasional. Desentralisasi dapat juga menciptakan perpecahan pasar domestik (misal India, Rusia). Pajak dan peraturan adat dapat menjadi halangan pertukaran barang antar daerah. Tanzi (2000) mencatat bahwa kondisi tertentu harus dipenuhi sebelum desentralisasi dapat terjadi dengan berhasil. Ini termasuk kondisi yang berhubungan dengan administrasi pajak, sistem manajemen pengeluaran publik, atau ketidakleluasaan anggaran yang ketat, yang berasal dari desentralisasi administratif dan politik.

Dalam desentralisasi, setiap tingkat pemerintahan merasa berhak menambah regulasinya sendiri. Akibat perpecahan pasar domestik (persaingan pajak) dapat mengarah pada penyimpangan alokasi sumber daya. Legislasi yang berlebihan mungkin sebuah akibat, dan juga digerakkan oleh jangkauan perebutan rente oleh para birokrat dan pembuat kebijakan. Ini mungkin juga berlaku pada pelayanan publik yang diartikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin. Regulasi dalam bidang-bidang seperti kesehatan, sanitasi dan perlindungan lingkungan sering mengakibatkan biaya yang signifikan bagi perusahaan dan oleh karena itu, sering membuka praktik korupsi. Bahkan ketika para birokrat akuntabel terhadap pemerintah lokal, keuntungan dapat direbut oleh kelompok-kelompok kepentingan dengan implikasi efisiensi. Perebutan mengarah pada beberapa persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik lokal, termasuk keefektifan biaya dan persoalan pasar gelap. Birokrat korup akan cenderung terlalu menekan biaya, menyelewengkan barang publik untuk dijual kembali kepada bukan rakyat miskin pada pasar gelap, memberikan prioritas kepada kelompok-kelompok sosial ekonomi yang kuat (Dethier, 2000). Peningkatan kompleksitas desentralisasi mungkin meningkatkan penyelenggaraan yang baik, tetapi juga meningkatkan kesempatan penyalahgunaan dana.

(10)

yang menyokong ketidakmerataan dalam kepemilikan aset, pengeluaran sosial yang berkurang, dan risiko investasi yang lebih tinggi bagi rakyat miskin. Juga ditemukan bahwa korupsi meningkatkan (angka) kematian bayi dan menurunkan harapan hidup dan melek huruf (Kaufmann et al., 1999b). Analisis silangnasional memperlihatkan bagaimana korupsi yang surut adalah seperti pajak. Contohnya, rumah tangga miskin di Ekuador harus menghabiskan tiga kali lebih banyak suap sebagai share pendapatan mereka bagi akses terhadap pelayanan publik ketimbang rumah tangga yang lebih kaya. Demikian pula, berbagai survei tentang pejabat publik di Amerika Latin pada akhir 1990-an, para birokrat ditemukan mendiskriminasikan terhadap rakyat miskin dengan membatasi akses terhadap pelayanan dasar dan gagal mengejar penanggulangan kemiskinan (Bank Dunia, 2000). Kedekatan antara yang memerintah dan yang diperintah mungkin mengurangi korupsi karena akuntabilitas dan transparansi yang diperbaiki. Namun, ada juga fakta empiris dan teori ekonomi yang menunjukkan bahwa desentralisasi mungkin meningkatkan korupsi dan mengurangi akuntablitas (lihat Rose-Ackermann, 1997). Beberapa contoh tampak bahwa korupsi sering lebih tersebar luas pada tingkat lokal daripada tingkat nasional (Tanzi, 2000). Seringkali lebih mudah untuk melaksanakan peraturan hukum diantara para orang-orang asing daripada diantara tetangga atau teman pada tingkat lokal. Juga lebih mudah untuk membeli suara atau pengaruh pada setting lokal. Namun, sebuah kesimpulan umum tentang hubungan antara desentralisasi dan korupsi tidak dapat digambarkan, dan khususnya bagaimana (desentralisasi) berhubungan dengan pelayanan rakyat miskin, perlu penelitian yang lebih lanjut.

Gambar

Tabel. 1
Tabel. 2
Tabel. 3

Referensi

Dokumen terkait

EFEKTIVITAS METODE PQ4R TEKNIK “TEMUKAN KESALAHANNYA DULU” DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA BAHASA JEPANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

KB ISLAM BINA BANGSA DESA TAMBAKROTO KECAMATAN SAYUNG 12,000,000 Operasional PAUD sudah. KB PURWOSARI JL RAYA SAYUNG NO.195 DESA

Dari  penelitian  ini  dapat  diketahui  bahwa  Situs  Kendenglembu  bukan  merupakan  sebuah 

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Earning Per Share merupakan alat analisis yang membandingkan tingkat keuntungan bersih (EAT) dengan jumlah saham yang beredar

antropometri lebar pinggul untuk menentukan lebar alas kursi, data antropometri tinggi popliteal untuk menentukan tinggi kursi, , data antropometri pantat popliteal

Kegiatan pendistribusian pada perusahaan dapat dilakukan penjadwalan distribusi mengunakan metode Distribution Requirement Planning (DRP), yaitu perencanaan kebutuhan

Tujuan Khusus dan urgensi penelitian ini adalah untuk, memberikan sumbangan terhadap perkembangan keilmuan, khususnya untuk bidang ilmu pendidikan, terutama mengenai

Due to the importance of the structural studies of the Pd(II) and Pt(II) complexes of dipyridyl ligands and continuing with our stud- ies in coordination chemistry of 10 group