• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mempertanyakan Doktrin Kristen Anti Perceraian di GMIST Mahanaim dari Perspektif Hermeneutik Poskolonial Terhadap Matius 19:1-12 T2 752012023 BAB II"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

Rekonstruksi Perspektif

Terhadap Tindakan Diskriminatif pada Korban Perceraian

2.1Pendahuluan

Penjabaran perilaku diskriminatif yang dialami oleh para korban perceraian di GMIST

Mahanaim, terkait dengan doktrin perceraian dari Matius19:1-12 merupakan latar belakang

penulisan judul tesis yang telah dibahas pada Bab I. Menganalisis lebih dalam keterkaitan

poskolonial dan diskriminasi terhadap korban perceraian, maka pada Bab II akan diuraikan

sekilas pandang tentang hermeneutik poskolonial dan rekonstruksi perspektif terhadap

perilaku diskriminatif pada korban perceraian.

2.2 Studi Poskolonial

2.2.1 Poskolonial

Studi Poskolonial memiliki dimensi kronologis yang dimulai pada tahun 1960 setelah

runtuhnya kolonialisme Eropa dan berbagai perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh

orang-orang terjajah.1 Kehadiran studi poskolonial terfokus pada tema sentral mengubah

ketertindasan dari realitas sejarah yang terkait dengan tekstual, artikulasi sejarah, dan budaya

masyarakat karena kehadiran kolonial.2 Pemaknaan kolonial dalam perspektif poskolonial

tidak hanya terbatas pada pemahaman kehadiran penjajah yang menduduki atau merebut

daerah jajahan, atau wacana perlawanan terhadap Imperium Barat, melainkan memiliki

pemaknaan yang lebih luas yaitu setiap bentuk tindakan yang membungkam kemerdekaan

1

R.S Sugirtharajah, Postcolonial Criticism Biblical Interpretation, 3. 2

(2)

17

manusia, sehingga ada perbedaan signifikan antara sistem dominasi kolonial menyejarah

dengan kolonial modern.3

Kolonisasi tidak hanya berhubungan dengan Eropa karena ada bentuk-bentuk kolonisasi

lain baik sebelum maupun sesudah ekspansi Eropa, seperti kolonisasi internal di dalam

bangsa-bangsa yang masih tetap berada dalam pemerintahan kolonial, misalnya penduduk

asli, perempuan serta sejarah budaya mereka telah direnggut dan dihancurkan oleh bangsa

sendiri. Istilah poskolonial bukanlah sesuatu yang sudah tetap, poskolonial bermaksud untuk

memecah antara periode kolonisasi dan periode dekolonisasi. Periode kolonisasi

mengindikasikan periode historis akibat kolonialisme sedangkan periode dekolonisasi lebih

menunjukan wacana perlawanan yang aktif kembali dari yang dijajah, yang memeriksa

dengan kritis sistem pengetahuan dominan untuk memperbaiki masa lampau dari fitnahan

Barat dan keterangan yang salah pada periode kolonial, dan juga berlanjut untuk memeriksa

kecenderungan neokolonialisme setelah deklarasi kemerdekaan. Poskolonial bagi

Sugirtharajah merupakan agenda kolonialisme yang berwujud di dalam literatur kreatif

maupun diskursus politik yang resisten. Bagaimana jenis-jenis itu secara gradual

bermetamorfosis ke dalam dan dibaptiskan di bawah istilah poskolonial yang baru, kedua

jenis itu adalah proses yang panjang dan berkelanjutan.4

Menurut Ania Loomba istilah poskolonial terbagi atas pos dan kolonial. Pos berarti

“kejadian setelah” yang mengarah pada dua pengertian yaitu waktu dan ideologi. Kolonial

3

Kolonialisme dalam sejarah dunia terdapat pada kekaisaran besar seperti kekaisaran Romawi yang meliputi Armenia sampai Laut Atlantik, Kekaisaran Mongol meliputi Timur Tengah hingga wilayah Cina, Kerajaan Inca mendominasi suku- suku di benua Amerika, serta kebesaran kekaisaran Cina melampaui kekaisaran manapun di Eropa. Sistem dominasi pada umumnya terjadi melalui kewajiban daerah koloni untuk membayar upeti kepada kerajaan pusat. Sistem dominasi kolonial pada zaman kekaisaran yang menyejarah berbeda dengan kolonialisme modern. Dominasi Kolonial modern memiliki dua ciri: 1. Daerah jajahan mengalami perombakan dari stuktur perekonomian daerah/negara demi kepentingan negara induk. 2. Daerah jajahan menjadi pasar yang mengkonsumsi produk-produk negara induk. Keadaan ini mengarah pada sumber daya manusia ataupun alam lokal mengalirkan keuntungan kepada negara induk. Sistem perekonomian ini dapat dipahami bahwa sistem perekonomian kolonial berperan aktif dalam pertumbuhan dan pengembangan kapitalisme dan industri Eropa. Gading Sianipar, “Mendefinisikan Pascakolonialisme” dalam Hermeneutika Pascakolonial, (ed.), Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 9-10.

4

(3)

18

menurut Oxford English Dictionary (OED) berasal dari bahasa Romawi yaitu “colonia

artinya “tanah pertanian”atau “pemukiman”, mengarah pada penduduk Romawi yang tetap

melekat dengan status kewarganegaraannya walaupun berdomisili di negara-negara lain. Atas

dasar itu kolonialisme didefinisikan sebagai tempat bermukim sekumpulan orang dalam

lokalitas baru dengan tetap membawa dan tunduk pada nilai-nilai yang dianut oleh negara

asal mereka. Definisi ini tidak menyiratkan adanya suatu dominasi atau penaklukan dengan

proses yang penuh kekerasan terhadap lokalitas baru. Kolonialisme menurut Ania Loomba

selalu berkaitan dengan relasi-relasi yang kompleks dan traumatik dalam sejarah hidup para

penduduknya. Dengan demikian definisi dari kolonialisme adalah dominasi terhadap tanah

dan harta penduduk lain. Gabungan kedua kata, pos dan kolonial memberikan pengertian

kejadian setelah dominasi yang terjadi atas tanah dan harta penduduk lain.5

Namun menurut Ania Loomba poskolonial tidak menandakan akhir dari dominasi

kolonial tetapi dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap warisan serta nilai-nilai

kolonialisme. Kondisi ini merangkul rakyat yang dipindahkan secara geografis oleh kolonial

sebagai subjek-subjek “poskolonial”, walaupun mereka telah menjadi satu bagian dengan

budaya-budaya metropolitan, seperti orang-orang Amerika keturunan Afrika, Asia, dan

Karibia di Inggris. Perihal pandangan ini memberi peluang bersinerginya sejarah perlawanan

antikolonial dengan perlawanan terhadap imperialisme dan dominasi budaya barat.6

Berhadapan dengan bentukan kolonisasi yang baru maka menurut Ania Loomba yang patut

dilakukan adalah melanjutkan perjuangan anti kolonial dengan menciptakan

identitas-identitas baru bagi penduduk koloni dan menentang kolonialisme pada tingkat politis,

intelektual, serta tingkat emosional. Dalam berbagai konteks, gagasan bangsa adalah wahana

yang kuat untuk menyatukan energi-energi anti kolonial pada semua tingkatan.7

5

Loomba, Colonialism/Postcolonialism (London: Routledge, 1998), 7.

6

Loomba, Colonialism/Postcolonialism, 12.

7

(4)

19

Kehadiran studi poskolonial terkait erat dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh

para tokoh poskolonial. Edward Said seorang tokoh poskolonial dalam bukunya Orientalism,

mengungkapkan orientalisme berkaitan dengan tiga fenomena, yaitu: pertama, kaum

orientalis adalah kaum yang mengklaim bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat

memahami dan memiliki pengetahuan tentang kebudayaan-kebudayaan Timur. Kedua,

orientalisme adalah pandangan yang berdasar pada perbedaan ontologis dan epistemologis

antara Timur dan Barat. Ketiga, orientalisme adalah bentuk upaya Barat untuk mendominasi,

merestrukturisasi serta menguasai Timur.8 Dari pemikiran Said tergambar jelas bahwa kaum

orientalis terhadirkan untuk menggunakan pengetahuan dengan dibekali oleh visi dan misi

politis sebagai media melanggengkan kekuasaan. Hal ini berarti kolonialisme tetap

menunjukkan kekuatannya di wilayah bekas kolonisasi Barat atau yang disebut sebagai

“dunia ketiga.”

Selain Said, salah satu tokoh poskolonial adalah Gayatri Spivak. Spivak menolak setiap

bentuk tekanan dan dominasi kolonial dalam masyarakat yang terpinggirkan. Can The

Subaltern Speak? merupakan judul tulisan Spivak yang menggambarkan kepeduliannya terhadap mereka yang mengalami tekanan akibat dominasi dan subordinasi yang menjamur

tidak hanya terjadi pada relasi antar negara, etnis tetapi juga dalam relasi gender. Subaltern

merupakan istilah yang digunakan oleh pemikir Italia Antonio Gramsci untuk komunitas

sosial yang inferior yaitu komunitas masyarakat yang berada dalam hegemoni kelas-kelas

penguasa.9

Menurut Spivak, Subaltern adalah komunitas-komunitas tertindas yang tidak mampu

untuk berbicara akibat ulah dan tekanan para penguasa. Penjelasan Spivak tentang eksploitasi

kaum tertindas menggunakan analisis Marxis yaitu eksploitasi yang terjadi disebabkan oleh

8 Edward Said,”

Orientalism” in Bill Ashcroft, Gareth Griffiths and Hellen Tiffin (ed.), The Post-Colonial: Studies Reader (London: Routledge, 2003), 87-91.

9

(5)

20

dominasi struktural sebagai akibat dari pembagian kerja internasional. Struktur pembagian

kerja internasional didominasi oleh para komunitas dengan kekuasaan atau status istimewa,

yang muncul karena adanya peluang, pendidikan, kewarganegaraan, kelas, ras, gender.

Fenomena ini disebut Spivak sebagai kekerasan epistemis. Sementara Ranjit Guha yang

adalah sejarawan India mengadopsi pemikiran Gramsci yang dituangkan dalam tulisan

sejarah India. Guha mengungkapkan bahwa kaum subaltern adalah mereka yang tidak

termasuk elite, kaum elit yang dimaksud adalah kelompok dominan baik pribumi atau asing.

Kelompok asing adalah para pemilik industri, pemilik perkebunan, tuan tanah, misionaris,

sementara pribumi adalah para pegawai pribumi yang berada pada jajaran birokrat dan

kelompok dominan dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa penindasan menurut

Guha tidak hanya terjadi diluar komunitas sehingga mengikis dikotomi menindas dan

ditindas, sipil dan militer tetapi dapat terjadi dalam komunitas itu sendiri. Dominasi yang

membalut kaum subaltern membuat mereka tidak dapat menyuarakan pengalaman

penindasan, sehingga menurut Spivak kaum subaltern membutuhkan kaum intelektual

poskolonial sebagai representasi dari subaltern, sehingga peran mereka tidak hanya sekedar

mengklaim bahwa suara mereka adalah suara dari kelompok tertindas untuk mencapai tujuan

pragmatis semata tetapi lebih pada tindakan real berjuang bersama kaum subaltern.10

Uraian pengalaman diskriminatif yang menjadi dasar kajian dan penelitian dari para

tokoh poskolonial menunjukkan bahwa setiap pengalaman diskriminatif memiliki keterkaitan

dengan dominasi dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, oleh karena itu dalam

perkembangannya poskolonial tidak hanya berkutat dengan wacana sastra kreatif dan

perkembangan kronologis kolonialisme, melainkan mulai dipahami sebagai kategori

10 Gayatri Spivak,”Can The Subaltern Speak?”

(6)

21

metodologis dan praktek kritis. Dalam konteks sebagai metodologi dan praktek kritis, ada dua

aspek dalam poskolonial, yaitu:11

1. Menganalisis berbagai strategi yang digunakan penjajah untuk menjajah.

2. Mempelajari bagaimana mereka yang terjajah memanfaatkan strategi untuk

mengartikulasikan identitas, kelayakan diri dan pemberdayaan hidup mereka.

Menurut Homi Babha, kritik poskolonial yang muncul sebagai bentuk kesaksian

kekuatan representasi budaya yang tidak seimbang dan merata, serta sebagai kesaksian dari

kolonialisme di negara-negara dunia ketiga dan sebagai wacana minoritas dalam divisi

geopolitik “Timur dan Barat, Utara dan Selatan.”12 Istilah dunia ketiga yang digunakan dalam poskolonial, mengarah pada ketimpangan kekuatan antara yang kuat dan lemah dalam bidang

ekonomi, politik, budaya, sosial dan ketidakmampuan membangun masa depan, karena

keterikatan dengan warisan kolonial serta munculnya neokolonialisme dalam perekonomian.

Kolonialisme adalah fakta yang melekat dalam proses sejarah, dan berkelanjutan

menerapkan dominasi dalam bentuk yang berbeda dikekinian. Bentuk baru kolonialisme

dapat berupa intervensi militer terhadap persoalan teritorial, demokrasi, kemanusiaan dan

pembebasan. Poskolonial secara aktif tetap memainkan perannya selama ada kontinuitas

imperialisme, dominasi, serta tirani.13

2.2.2 Kritik Poskolonial Terhadap Teks-Teks Alkitab

Dari pemaparan tentang poskolonial maka menurut Sugirtharajah kritik poskolonial dapat

diberlakukan terhadap Alkitab. Hal ini karena realitas keberadaan Alkitab terkait dengan:14

1. Alkitab merupakan dokumen yang menggunakan berbagai pengaruh budaya yang

mengabsahkan kolonialisme dan imperialisme.

11

Sugirtharajah, The Postcolonial Biblical Reader, 7. 12

Sugirtharajah, The PostcolonialBiblical Reader, 8. 13

R.S. Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary on the New Testament Writing (New York: T&T Clark, 2009), 455.

14

(7)

22

2. Penyebaran Alkitab berkaitan dengan proses kolonisasi negara-negara Barat.

3. Alkitab menjadi simbol budaya Barat yang menunjukkan misi Kristen dan institusi

serta kolonial bersinergi dalam dunia modern dan kolonialisme kontemporer.

Keterlibatan konteks Alkitab dengan imperialisme telah memungkinkan poskolonialisme

menunjukkan persoalan mendasar dari teks Alkitab yang sangat dipengaruhi oleh warisan

dari kolonial.15

Pui lan seorang teolog Asia memakai poskolonial untuk melihat penderitaan perempuan

Kristen di Asia memiliki keterkaitan yang erat dengan sejarah kolonialisme yang menjadi

bagian dari Kitab Suci. Perempuan yang hidup dalam realitas dunia ketiga terikat dengan dua

sumber isu yang sangat signifikan yaitu budaya patriakhi dan pandangan diskriminatif

terhadap perempuan dalam narasi Kitab Suci secara khusus dalam agama Abrahamik.16

Poskolonial menurut Pui lan dapat menjembatani dialog antara warisan budaya dan agama

sehingga dapat menghadirkan pembaharuan terhadap warisan budaya masa lalu yang turut

andil dalam manipulasi dan dehumanisasi yang terjadi terhadap perempuan. Kitab Suci

menurut Pui lan harus diinterpretasikan berdasarkan citra dalam Alkitab dan konteks sejarah

masyarakat setempat.17

Kemunculan pendekatan hermeneutik poskolonial merupakan metode baru dalam

dunia interpretasi teks-teks Alkitab. Salah satu pendekatan yang lebih sering digunakan

adalah pendekatan historis kritis yang melihat makna teks dari balik teks. Pendekatan historis

kritis memiliki perbedaan signifikan dengan pendekatan hermeneutik poskolonial. Menurut

Robert Coote pendekatan historis kritis adalah cara terbaik dalam memahami makna teks

15

Beberapa teks tidak dipilih untuk menjadi bagian kanon karena teks-teks itu mengandung bagian-bagian yang beresiko bersifat cabul serta menggambarkan kekuatan perempuan yang menentang ketimpangan gender. Sugirtharajah, A Postcolonial Commentary on the New Testament Writing, 456.

16

Kwok Pui Lan, Dicovering The Bible in the Non-Biblical World, (New York: Orbis Book, 1995), 40-43.

17

(8)

23

sesuai dengan petunjuk sejarah yang sesungguhnya yaitu mempertanyakan dengan jelas dan

rinci latar belakang teks sesuai dengan masa dan kebudayaan dimana teks hadir.18 Pendekatan

ini bermanfaat untuk memahami teks-teks Alkitab berdasar masa dan kebudayaan teks yang

menyejarah. Sementara hermeneutik poskolonial melihat makna teks dari konteks penafsir

yang berarti menginterpretasikan teks dari konteks kekinian, sehingga dapat mengakomodir

dan menyentuh pergumulan sesuai konteks kekinian secara khusus konteks pergumulan bagi

negara dunia ketiga.19 Dengan demikian pendekatan hermeneutik poskolonial sangat

dibutuhkan untuk melihat urgensi dari teks-teks Alkitab yang menyejarah sesuai dengan

konteks kekinian. Walaupun demikian pendekatan poskolonial juga memerlukan konteks

kesejarahan dari teks untuk melihat latar belakang dominasi yang menyejarah di dalam teks,

sehingga setiap penafsiran teks tidak dilakukan secara bebas tanpa arah sesuai dengan

kehendak para pembaca yang memaksakan pandangan pribadi ke dalam teks. Hal ini jika

dilakukan dalam menafsir akan berdampak negatif karena penafsiran yang dilakukan akan

berpijak pada kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Kolaborasi antara pendekatan

poskolonial dan kesejarahan dari teks akan memperkaya makna dari teks sehingga mampu

memberikan jawaban yang kontekstual berdasarkan isu-isu kekinian.

Metode dengan menggunakan pendekatan poskolonial dalam menginterpretasikan

teks berpijak pada beberapa hal yaitu konteks dari pembaca, perspektif penafsir serta makna

dari teks. Konteks dari pembaca akan menunjukkan keterlibatan aktif dalam persoalan

hermeneutik. Fondasi utama tidak lagi berdasar pada apa yang dimaksudkan oleh teks

melainkan bagaimana menginterpretasikan teks sesuai dengan situasi sosial pembaca di

kekinian.20

Perspektif penafsir berarti pemahaman awal terbentuk berdasar pada konteks budaya

penafsir. Setiap interpretasi dimulai dengan pandangan awal penafsir yang subjektif sesuai

18

Robert Coote, Demi Membela Revolusi(Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 1-2. 19

Setyawan, Postcolonial Hermeneutics an Indonesian Perspective, 21.

20

(9)

24

dengan agenda dari proses penafsiran yang melibatkan realita sosial, ekonomi, politik, agama

dalam konteks penafsir. Sementara perspektif awal penafsir yang telah terbentuk bersinergi

dengan komunitas yang membentuknya, oleh sebab itu penafsir perlu mengindentifikasi diri

dan membentuk perspektif dalam proses penafsiran, dan hal ini bermanfaat bagi penafsir

yang telah diabaikan dan termarginalisasi dalam teks Kitab Suci. Penafsir dalam hal ini dapat

menggunakan buah pikirannya dari teks yang dibaca sesuai dengan kebutuhan dalam konteks

penafsir.21 Sementara makna dari teks tidak muncul dari teks dan penulis teks, melainkan

muncul sebagai produk dari konteks penafsir yang membaca teks di kekinian, yang kemudian

bersinergi dengan hermeneutik yang memberikan penekanan pada sejarah dan budaya dari

teks.22

Harapan baru untuk keluar dari dominasi penjajahan dari setiap aturan-aturan yang

lahir dari konteks sosial budaya penulisan teks-teks Alkitab yang seringkali diskriminatif,

dan mengarah pada keadilan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan merupakan

suatu upaya yang real yang ditawarkan dengan model ideologis dari kritik poskolonial

terhadap Alkitab.23 Setelah penjabaran singkat tentang teori poskolonial maka untuk

meninjau doktrin kristen anti perceraian dari perspektif poskolonial diperlukan penjabaran

dari konteks penafsir dalam hal ini berkaitan dengan isu perceraian yang terjadi di GMIST

Mahanaim.

21

Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 29-30.

22

Setyawan, Postcolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective, 31-34. 23

(10)

25

2.3Konteks Sosial dan Pengalaman-Pengalaman Korban Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Dan Perceraian Di GMIST Mahanaim

2.3.1. Konteks Sosial GMIST Mahanaim

GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud) merupakan Gereja suku yang berpusat

di kepulauan Sangihe Talaud. Sanghie Talaud terletak di bibir barat Samudra Pasifik yang

merupakan daerah kepulauan dan terdiri dari 124 pulau. Terletak antara 2o 3’ sampai dengan

5o 25’ LU dan 125o 10’ sampai 127o 12’ BT. Penduduk kepulauan Sangihe Talaud berasal dari bangsa Austronesia yang sebelumnya menetap di Asia Tenggara kontinental dan

menggunakan bahasa yang berasal dari rumpun bahasa Tagalog. Wilayah kepulauan ini

memiliki luas daratan 2.263,56 Km2 dan luas lautan 44.000 Km2 itu berarti luas daratan

hanya 5% sementara luas lautan 95%. Keadaan wilayah yang menggambarkan lautan lebih

luas daripada daratan menjadi salah satu penyebab bagi penduduk sangihe memiliki semangat

bahari yang tinggi, tidak heran salah satu pekerjaan yang diminati oleh penduduk sangihe

adalah nelayan atau pelaut. Sementara pekerjaan yang lain berkaitan dengan pertanian dan

perkebunan karena Sangihe Talaud kaya dengan rempah-rempah seperti pala, cengkeh dan

juga kelapa.24

GMIST sebagai lembaga memiliki tata dasar dan peraturan gereja yang bersumber

dari Tata Gereja Calvinis yang dihadirkan Belanda di Indonesia melalui kolonisasi.25 Pada

awal abad 17, Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan di Nusantara oleh VOC yang

mengikuti pola Gereja Gereformeerd di Belanda yang melekat dengan ciri khas Tata Gereja

Calvinis, bahkan dalam tiga dokumen pengakuan Gereja Gereformeerd terdapat ajaran

Calvinis. Dengan demikian aturan-aturan ini mengejawantah dalam ajaran-ajaran di

24

Petrus Mamuko, Mamaghe Djojosuroto, dan Mamaghe Pilongo, Jejak Emas GMIST Mahanaim Dalam Lintasan Sejarah dan Pelayanannya: Suatu Eksplorasi Awal Dalam Rekonstruksi Naratif (Jakarta: GMIST Mahanaim, 2007), 23-24.

25

(11)

26

Nusantara secara khusus Sangihe Talaud,26 sehingga aturan-aturan GMIST secara

keseluruhan mengacu pada tata gereja Calvinis termasuk tentang pernikahan.

Dalam perkembangan penatalayanannya, wilayah pelayanan GMIST tidak hanya di

Sangihe Talaud tetapi meluas sampai ke Minahasa, Bitung, Kota Mubagu, Batam, Makasar,

Medan, Bandung, Surabaya, Depok, Tangerang dan Jakarta. GMIST Mahanaim yang terletak

di ibukota Negara yaitu Jakarta terdiri atas dua konteks masyarakat yang tentunya

mempengaruhi nilai-nilai moral dalam konteks kehidupan berjemaat. Dua konteks yang

dimaksud adalah konteks Jakarta sebagai kota metropolitan dan konteks suku Sangihe. Dua

konteks ini bercampur dan berpengaruh secara signifikan dalam menentukan identitas diri

jemaat Mahanaim dalam penentuan nilai-nilai jemaat dan cara pandang tentang

peraturan-peraturan gereja dalam GMIST, secara khusus aturan tentang pernikahan. Oleh sebab itu

diperlukan pemaparan dari konteks Sangihe pra kolonialisasi-pasca kolonialisasi dan konteks

Jakarta sebagai kota metropolitan yang berkaitan dengan pernikahan.

2.3.2. Praktik Pernikahan Pra Kolonisasi di Sangihe

Proses yang harus dilalui untuk membentuk keluarga pada masyarakat Sangihe adalah

pertunangan dan pernikahan. Dalam pertunangan muncul kesepakatan antara kedua belah

pihak keluarga yang berkomitmen untuk mengadakan pernikahan bagi anak perempuan dan

anak laki-laki mereka. Orang tua dari laki-laki dan perempuan memiliki peran yang

signifikan dalam pernikahan. Orang tua menjadi penentu utama dalam memilih calon suami

atau istri dari anak-anak mereka, sehingga pelaksanaan pernikahan secara utuh diatur oleh

orang tua. Sementara calon mempelai tidak terlibat untuk memilih atau memutuskan

pendamping hidupnya.27

26

Christian De Jonge, Apa Itu Calvinisme (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), 375-376.

27

(12)

27

Komitmen itu dimeteraikan dengan pemberian dapat berupa benda atau uang kepada

keluarga perempuan yang kemudian mendapatkan respon dari keluarga perempuan dengan

mengirim berjenis-jenis makanan kepada keluarga laki-laki. Setelah melalui proses

pertunangan maka akan dilanjutkan dengan proses pernikahan. Pada proses pernikahan

dilakukan pemberian kawin dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan

berupa, piring antik, pinggan tembaga, beberapa pohon kelapa dan serumpun pohon sagu.

Pemberian mas kawin ini disesuaikan dengan kedudukan orang tua dalam masyarakat,

sementara itu pihak keluarga perempuan kembali merespon pemberian mas kawin dengan

penyelenggaraan pesta pernikahan. Khusus untuk laki-laki bangsawan mereka dapat

menikahi perempuan lebih dari satu secara sah, sementara perempuan hanya dapat menikah

dengan satu laki-laki. Kemampuan seorang laki-laki menikahi perempuan lebih dari satu

menunjukkan status sosial yang tinggi dalam masyarakat, tidak heran jika pernikahan

poligami menjadi gaya hidup dari laki-laki bangsawan.28

Keluarga dalam masyarakat Sangihe menerapkan pembagian kerja antara suami dan

istri atau perempuan dan laki-laki dalam melaksanakan pekerjaan untuk menopang kehidupan

sehari-hari dalam keluarga Sangihe. Membuka lahan perkebunan, memanjat pohon kelapa,

memancing merupakan tugas yang dilakukan oleh suami atau anak laki-laki sementara untuk

memelihara kebun dan menuai hasil kebun merupakan tugas yang dilakukan oleh istri atau

anak perempuan bahkan tidak jarang perempuan juga dapat bertugas menuai hasil panen

kelapa dengan memanjat pohon kelapa. Tugas perempuan setiap harinya tidak terfokus pada

pekerjaan didalam rumah seperti memelihara perabotan melainkan dominan menjalankan

tugas diluar rumah, jika ada waktu senggang yang tersisa dari tugas di perkebunan maka

seringkali perempuan melakukan tugas kerajinan tangan seperti menenun, membuat

kerawang (salah satu kerajinan tangan dari kain katun halus), menganyam tikar, nyiru, topi,

28

(13)

28

seringkali laki-laki turut berpartisipasi dalam menjalankan tugas ini. Perempuan juga

menjahit pakaian sendiri dan anggota rumah tangganya dan sebagian waktunya digunakan

untuk mempersiapkan makanan untuk keluarga.29 Nampaknya pembagian kerja antara

suami-istri lebih memprioritaskan kualitas hasil kerja yang dilakukan secara bersama dibandingkan

dengan terpusatnya perhatian pembagian kerja hanya berdasar pada kemampuan dan

kekuatan dari penilaian jenis kelamin.

Dari gambaran tentang pembagian kerja yang terjadi dalam keluarga pada masa

pra-kolonisasi kontruksi kesetaraan gender telah melekat dalam relasi perempuan dan laki-laki

Sangihe. Perempuan Sangihe menjalani rutinitas tugas dalam keluarga tidak bergantung pada

stereotype kontruksi sosial, bahwa perempuan tidak dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan “kasar” diluar rumah dan hanya terfokus pada ranah domestik sebagai pengurus rumah

tangga. Dalam konteks keagamaan sebelum kehadiran agama kristen di Sangihe yang dibawa

kolonialisme bangsa Eropa, penduduk Sangihe menganut agama asli yaitu Politheisme.

Dalam ritual-ritual yang dilakukan seperti upacara persembahan kurban, proses upacara di

pimpin oleh seorang imam yang disebut Ampuang bawine (perempuan) atau Ampuang ese

(laki-laki). Ampuang bawine ataupun ese diyakini sebagai orang-orang yang memiliki

hubungan dengan dunia roh dan makhluk halus.30 Tergambar bahwa perempuan saat itu

mendapatkan kedudukan penting dalam konteks keagamaan sebagai pemimpin upacara

keagamaan. Nilai-nilai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki telah dianut dan menjadi

bagian signifikan dalam kehidupan masyarakat Sangihe. Walaupun demikian, disadari masih

ada nilai-nilai bias gender yang lebih mengangkat budaya patriaki dari tradisi budaya Sangihe

yang merugikan perempuan dan menguntungkan laki-laki dalam konsep pernikahan dan

29

Brilman, Kabar Baikdi Bibir Pasifik, 49-50.

30

Agama asli penduduk Sangihe memiliki keyakinan bahwa kehidupan ini dikuasai oleh beberapa penguasa seperti penguasa langit yang disebut Ghenggonalangi yang menguasai seluruh bumi, penguasa darat disebut Aditinggi yang disembah oleh orang-orang yang tinggal di perbukitan , penguasa laut disebut Mawendo

(14)

29

perceraian, namun dalam hal pembagian kerja dan kedudukan penting dalam konteks

keagamaan perempuan mendapatkan peran-peran yang signifikan.

2.3.3 Praktik Pernikahan Pasca Kolonisasi di Sangihe.

Kehadiran imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia memunculkan

praktik-praktik sosial ekonomi. Sumber daya alam dan penduduk Indonesia dijadikan objek

eksploitasi dan juga menjadi komoditi yang diperjualbelikan, sehingga tidak heran pada masa

itu perbudakan menjamur di seluruh Nusantara seperti di Banda, Jawa dan Sulawesi Utara.31

Kekayaan rempah-rempah yang dimiliki oleh Sangihe Talaud tidak luput dari sasaran

eksploitasi para bangsa Eropa yaitu Portugis, Spanyol dan Belanda yang berupaya untuk

menguasai hasil bumi Indonesia.32

Dalam proses pencapaian tujuan menguasai hasil bumi termasuk kepulauan Sangihe

Talaud pemerintah Hindia Belanda pada abad XX menggunakan politik etis. Penggunaan

politik etis merupakan hasil evaluasi dari gagalnya politik konservatif dan liberal yang tidak

mendatangkan keuntungan secara signifikan, sehingga setelah VOC dinyatakan bangkrut

pemerintah Hindia Belanda berupaya menggunakan trik baru untuk mengeksploitasi koloni.

Politik etis menjalankan fungsinya dengan memunculkan metode baru yang terpusat pada

kesejahteraan koloni dengan cara mendirikan sekolah bagi kaum pribumi, mempersiapkan

tenaga-tenaga kerja rendahan yang terikat dengan kontrak, serta menggunakan kegiatan

missionaris yang terarah pada perbaikan moral dan kesejahteraan.33

31

Sri Margana, “Pendahuluan,” dalam Sri Margana dan Widya Fitrianingsih (ed.), Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2010), 5.

32

Mamuko, Djojosuroto, & Pilongo, Jejak Emas GMIST Mahanaim Dalam Lintasan Sejarah dan Pelayanannya: Suatu Eksplorasi Awal Dalam Rekonstruksi Naratif, 25.

33

Politik etis menggantikan politik kolonial konservatif dan politik kolonial liberal. Politik kolonial konservatif menggunakan cara tradisional dengan menempatkan penguasa pribumi untuk mengurus administrasi

(15)

30

Kegiatan misionaris menyebarkan agama Kristen merupakan salah satu bentuk politik

etis yang dilakukan oleh zending di kepulauan Sangihe. Masuknya aturan kekristenan

membawa banyak perubahan dalam peraturan adat bagi orang-orang Kristen pribumi di

Sangihe, didalamnya diatur beberapa hal mengenai pernikahan dan kedudukan perempuan.

Kerja sama zending Belanda dan pemerintah Hindia menghasilkan aturan pernikahan adat

tidak lagi diberlakukan dan sebagai gantinya memberlakukan pernikahan berdasar azaz

kekristenan. Aturan pernikahan yang dibawa oleh zending Belanda mengubah beberapa

aturan dalam pernikahan adat.34

Pernikahan pasca kolonisasi, memberikan kebebasan bagi laki-laki atau perempuan

memilih dan menentukan calon pendamping hidup, sehingga peran orang tua tidak terlalu

signifikan dalam mengatur pernikahan untuk anak-anaknya. Bahkan aturan yang

diberlakukan oleh zending Belanda adalah kedua calon mempelai sebelum melangsungkan

pernikahan akan menandatangi surat pernyataan yang menyatakan pernikahan yang

dilaksanakan tidak berdasarkan paksaan dari pihak-pihak lain. Pernikahan yang dilaksanakan

pun tidak lagi menggunakan mas kawin. Selain itu pernikahan berdasarkan asas kekristenan

memberikan penekanan tentang tidak diizinkannya poligami dalam pernikahan.35 Kondisi

awal menerapkan aturan zending Belanda diwarnai dengan banyaknya kasus perceraian dan

perselingkuhan. Namun jika telah terjadi perceraian yang disebabkan oleh perzinahan maka

perempuan ataupun laki-laki yang melakukan perzinahan wajib mengembalikan semua biaya

yang telah digunakan dalam pernikahan dan mendapatkan hukuman penjara beberapa bulan

lamanya.

Dari pemaparan tentang aturan baru pernikahan, nampak pada permukaan Zending

Belanda mengusung hak asasi manusia perihal memilih dan menentukan pendamping hidup,

Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 11-16.

34

D. Brilman, Kabar Baikdi Bibir Pasifik, 60. 35

(16)

31

memberikan pencerahan dan peluang bagi para perempuan untuk tidak mendapatkan

perlakuan semena-mena dalam hal perceraian. Namun kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan dalam rumah tangga yang sempat dialami pada masa pra kolonisasi, terkikis oleh

budaya patriakhi yang melekat pada pengajaran kekristenan sehingga semakin mengangkat

tinggi budaya patriakhi dan menekan kaum perempuan.

Budaya patriakhi merupakan ideologi yang terbentuk secara historis berdasar pada

realitas sosial perbedaan gender dimana laki-laki mendominasi perempuan, sehingga laki-laki

dipandang lebih berkuasa daripada perempuan.36 Dalam tatanan masyarakat yang melekat

dengan budaya patriakhi maka ketidaksetaraan gender dipertahankan bahkan dikembangkan,

seperti: marjinalisasi perempuan yang memberikan penekanan bahwa laki-laki adalah

superior sementara perempuan tetap berada pada wilayah inferior berdampak pada

ketidakadilan terhadap perempuan dalam lingkup rumah tangga dengan memposisikan suami

sebagai penentu tunggal dalam pengambilan keputusan, dalam lingkup kerja melalui

pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan, dalam lingkup negara melalui perbedaan

hukum yang dialami oleh perempuan. Selain marjinalisasi ada juga subordinasi, stereotipe,

kekerasan dan beban kerja.37

Budaya patriakhi yang berakar membuat para suami memberlakukan kekuasaan yang

otoriter dalam kehidupan rumah tangga. Sikap dan tindakan para suami apapun bentuknya

merupakan suatu kewajaran yang harus diterima oleh para istri. Keadaan ini berbenturan

dengan kondisi para istri yang sementara menjalani beban ganda dalam keluarga pada satu

sisi harus berkecimpung di sektor publik dengan bekerja, sementara harus memenuhi

kewajiban di sektor domestik atau dalam keluarga.

36

Sandi Siwardi Hasan, Pengantar Cultural Sudies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 234.

37

(17)

32

Selain itu politik etis yang dilakukan untuk menghambat pemberdayaan perempuan

tergambar dengan misi pendidikan yang diberikan Belanda untuk seluruh wilayah Hindia

Belanda termasuk penduduk pribumi Sangihe. Bahkan pada awalnya Belanda memberikan

batasan kepada penduduk Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan hanya

dikhususkan bagi pribumi dengan status bangsawan. Sementara para kaum perempuan

diberikan pendidikan yang hanya berkaitan dengan pengetahuan dasar berhitung, baca tulis,

ketrampilan rumah tangga, dan pendidikan guru yang lebih mengarahkan perempuan pada

keahlian melakukan tugas sosial ataupun domestik yaitu mengerjakan ketrampilan praktis

kerumahtanggaan.38

Cara-cara halus dalam politik etis yang digunakan kolonial memiliki tujuan untuk

menguasai penduduk koloni dengan menancapkan ideologi kolonial sehingga mereka

memiliki ketergantungan kepada imperialisme kolonial. Ketergantungan ini akan

berimplikasi pada karakter tunduk terhadap aturan-aturan kolonial dan “kepasrahan” untuk

bekerja sama dengan kolonial, tidak heran upaya yang dilakukan membuahkan hasil bagi

penduduk koloni Indonesia khususnya Sangihe, sehingga nilai-nilai budaya patriakhi pun

menjadi kental dalam lembaga pernikahan yang dianut oleh GMIST.

Warisan kekristenan yang diturunkan oleh kolonialisme berkaitan dengan pernikahan

adalah tidak diizinkannya perceraian, tindakan perceraian dipandang sebagai dosa atau

bentuk pemberontakan terhadap firman Allah.39 Dalam pengajaran tentang pernikahan

GMIST dituangkan dalam tata ibadah pernikahan yang didalamnya berisi tentang hakikat dari

pernikahan Kristen. Pada umumnya penekanan utama dalam percakapan penggembalaan pra

nikah adalah doktrin Kristen anti perceraian. Ajaran ini membentuk perspektif jemaat

tentang perceraian dan sikap terhadap orang yang bercerai, sehingga memunculkan nilai-nilai

yang dipandang baik namun melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif.

38

Nukman Firdausie, “Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum 1928,“ dalam Mianto N. Agung dkk (ed.),

Perjuangan Perempuan Indonesia: Belajar Dari Sejarah, (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 2007), 8.

39

(18)

33

2.3.4 Konteks GMIST Mahanaim di Jakarta

Jakarta sebagai kota pelabuhan telah mengalami proses perubahan dramatis sejak abad

ke 12 sampai saat ini. Peristiwa menyejarah mencatat bahwa Jakarta mula-mula bernama

Sunda kelapa, merupakan pelabuhan kerajaan Hindu-Jawa yang memiliki peran penting

dalam jaringan perdagangan Indonesia. Sebagai kota pelabuhan dengan jaringan perdagangan

maka Sunda Kelapa menjadi tempat bertemunya orang asing dan pengaruh asing, mulai dari

India, Arab, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, Cina.40 Mulai pada abad 15-17 kekuatan

Eropa yaitu Portugis, Belanda, Inggris mulai mendominasi dan berupaya memonopoli

perdagangan wilayah untuk mendatangkan profit bagi negaranya sendiri. Bangsa-bangsa

Eropa memiliki ketertarikan komersial pada rempah-rempah yang dapat memberikan profit

besar bagi Eropa. Jakarta menjadi pusat persaingan dan simbol kemenangan Belanda.41

Pada abad XIX, Jakarta memiliki masyarakat yang telah mengalami perubahan

kebudayaan yang besar karena percampuran dari berbagai kelompok etnis. Walaupun

demikian masyarakat tetap berhadapan dengan klasifikasi kelas berdasar bidang ekonomi.

Tempat pertama yang dominan melekat pada bangsa Eropa dengan posisi administratif serta

mengelola pelabuhan serta perusahaan perdagangan internasional. Kemudian Cina yang

melekat dengan perdagangan dan manufaktur, sementara Indonesia berada dalam posisi

terendah dalam administrasi, menjadi pembantu rumah tangga. Di abad ini pula muncul

kebijakan-kebijakan perkotaan yang didedikasikan untuk proyek-proyek produktif. Sebagai

pusat pemerintahan maka Jakarta diciptakan untuk menjadi kota metropolitan yang dapat

mengangkat standar, prestise bangsa Indonesia. Upaya untuk mencapai tujuan menjadikan

Jakarta sebagai kota metropolitan melalui bidang perekonomian dengan cara menarik

40

Susan Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun (Jakarta: Masup, 2012), 5-8.

41

(19)

34

investor asing. Upaya yang dilakukan menjadikan Jakarta sebagai kota yang terkait erat

dengan globalisasi sebagai akibat kapitalisme global.42

Sementara kapitalisme global melalui perdagangan bebas menjadi masalah bagi

negara berkembang seperti Indonesia. Produktivitas minim dan tingkat pembangunan yang

rendah menjadi penyebab ketidakmampuan para pemberi kerja untuk menciptakan kondisi

kerja yang baik dan upah yang tinggi. Untuk dapat meningkatkan tingkat kondisi kerja,

standar hidup dan kondisi sosial maka negara berkembang hanya dapat meningkatkannya

melalui kerjasama perdagangan dengan para pemilik modal asing, sementara bekerjasama

dengan para pemilik modal asing sama dengan berada pada situasi yang memunculkan

neokolonialisme.43

Neokolonialisme merupakan sistem penjajahan baru dimana negara-negara maju

mengontrol negara-negara berkembang dan menciptakan ketergantungan dalam sistem

perekonomian dengan cara menguasai sumber daya alam dan memperlemah posisi

pemerintah. Hadirnya neokolonialisme merupakan penjajahan baru bagi perekonomian

negara berkembang. Ketergantungan terhadap negara-negara maju yang menguasai sumber

daya alam negara berkembang mengakibatkan perusahan-perusahaan besar pihak asing

merajai perekonomian negara berkembang. Hal ini berdampak signifikan pada persaingan

antar perusahaan untuk mendapatkan keuntungan besar sehingga menyebabkan kenaikan

harga yang tidak terkendali, dan membawa pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan hidup

keluarga. Biaya kebutuhan pokok meningkat, biaya pendidikan dan kesehatan semakin

mahal, rayuan produk berupa iklan melalui beragam media menciptakan gaya hidup

konsumerisme.

Orientasi utama dari sistem ekonomi kapitalis melihat pemenuhan kebutuhan tidak

berdasar asas manfaat tetapi bertujuan mencari keuntungan, terlihat dalam upaya

42

Blackburn, Jakarta: Sejarah 400 Tahun 345-353. 43

(20)

35

penawaran produk terbaru melalui media massa berupa iklan yang menampilkan keindahan

hanya untuk mengangkat citra produk.44 Media massa merupakan sarana paling tepat dalam

menunjang pertumbuhan kapitalisme karena media massa memiliki keterkaitan dengan aspek

budaya, politik dan ekonomi.45 Menurut Mosco, ekonomi-politik dapat dibagi atas dua

pengertian yaitu sempit dan luas. Dalam pengertian sempit adalah pengkajian terhadap relasi

sosial kekuasaan yang secara bersama menciptakan produksi, distribusi dan sumber daya.

Produk-produk komunikasi seperti film, surat kabar, video termasuk pada sumber daya.

Sementara dalam pengertian luas adalah pengkajian atas kontrol dan pertahanan kehidupan

sosial.46 Masyarakat kapitalis ditinjau dari pendekatan ekonomi politik terbentuk berdasar

cara-cara dominan dari produksi yang menstrukturkan institusi dan praktik sesuai dengan

logika perluasan perdagangan pasar dan akumulasi modal. Terbentuknya kekuatan-kekuatan

produksi berdasar pada relasi produksi dominan seperti relasi dominasi, profit besar,

pertahanan kontrol hierarkis, oleh sebab itu signifikansi sistem produksi adalah menentukan

artefak-artefak budaya yang akan diproduksi serta cara mengkonsumsi produk-produk

budaya. Dengan demikian pendekatan ekonomi-politik tidak hanya bergelut seputar isu

ekonomi tetapi menyentuh relasi teknologi, budaya dan realitas sosial.47

Dalam pendekatan ekonomi-politik, terlihat peran media sangat besar dalam

mempertahankan dan mengembangkan kekerasan terhadap perempuan. Tema kekerasan

terhadap perempuan muncul dalam program televisi bertujuan untuk mewujudkan hegemoni

dan dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan, selain itu merupakan bagian dari rencana

dan citra realitas sosial, serta ekspresi identitas yang dihayati secara komunal. Media massa dari aspek politik dapat memberi ruang bagi diskusi aneka kepentingan berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dengan tujuan menciptakan pendapat umum dari masing-masing kelompok sosial. Media massa dari aspek ekonomi merupakan bentukan institusi bisnis yang bertujuan mendapatkan profit bagi pendirinya. Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), 13-14.

46

Kontrol secara khusus dipahami sebagai pengaturan pertahanan individu dan internal anggota kelompok dengan memproduksi apayang dibutuhkan untuk mereproduksi diri sendiri. Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan, 14.

47

(21)

36

yang sistematis melalui interaksi pelaku industri televisi nasional dengan televisi global

dengan tujuan perluasan perdagangan pasar dan homogenisasi kekerasan secara universal.

Tema kekerasan yang ditayangkan akan memberikan profit secara finansial terhadap pemilik

media dan khususnya profit secara politik kultural melalui kontruksi realitas sesuai

kepentingan kelompok dominan yaitu laki-laki pemilik modal. Tema-tema kekerasan yang

dimunculkan dalam televisi menjadi media penyebaran ideologis dominasi laki-laki terhadap

perempuan.48 Media televisi kerapkali menayangkan acara kejahatan seksual terhadap

perempuan yang lebih menonjolkan kesan dramatis tanpa memikirkan perlindungan terhadap

identitas korban. Selain itu tayangan film ataupun sinetron lebih sering menampilkan sosok

perempuan sabar, menampilkan konsep istri yang baik adalah istri yang setia melakukan

tugas pada ranah domestik, menerima takdir atas perselingkuhan suami. Tema kekerasan

yang dimunculkan dalam televisi menjadi media penyebaran ideologis dominasi laki-laki

terhadap perempuan.

Beban kebutuhan yang meningkat merupakan pergumulan signifikan dalam keluarga.

Setiap keluarga yang hidup dalam era globalisasi harus berupaya keras memenuhi kebutuhan

hidupnya. Hal ini pula yang dialami oleh kelima responden dalam kehidupan rumah tangga

mereka. Kelima responden adalah Nina, Tita, Dila, Astri dan Tantri (nama samaran). Kelima

responden, adalah para perempuan yang berdasar garis keturunan berasal dari suku Sangihe

namun lahir dan besar di Jakarta. Mereka dapat dikatakan sebagai orang-orang yang sukses,

secara materi mereka lahir dan bertumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Pada umumnya

orang tua mereka menanamkan pola pendidikan dalam keluarga berdasar budaya patriakhi.

Hal ini terlihat dari pandangan dan pendidikan yang diberikan bahwa suami atau orang tua

laki-laki adalah penentu utama dalam setiap pengambilan keputusan dalam keluarga.

Walaupun nilai-nilai yang ditanamkan lebih dominan menunjukkan kentalnya budaya

48

(22)

37

patriakhi, seperti perempuan harus pandai membersihkan rumah, dapat memasak, dan cukup

ahli mengerjakan pekerjaan rumah tangga tetapi orang tua tetap menghendaki agar anak

perempuan dapat menggapai ilmu setinggi mungkin.49 Perempuan harus membangun

hidupnya melalui tingkat pendidikan untuk memiliki dasar hidup yang kuat, sehingga ketika

menikah tidak bergantung pada suami. Situasi ini menunjukkan bahwa konsep hidup orang

tua mereka dipengaruhi oleh budaya patriakhi dan bersinergi dengan globalisasi yang

membuka peluang terhadap perempuan untuk berkarya. Berikut ini saya paparkan secara

singkat profil dari kelima responden.

Nina, berusia 45 tahun memiliki dua orang anak laki-laki. Ia adalah sosok perempuan

yang periang, berani, ulet, dan pekerja keras. Nina menyelesaikan pendidikan di salah satu

sekolah pelayaran bergengsi di Jakarta, kemudian mengawali karier di salah satu perusahaan

pelayaran. Loyalitas, pengabdian, kerja keras membuatnya mampu menempati posisi sebagai

manager di bagian perkapalan. Tuntutan pekerjaan seringkali mengharuskan Nina

meninggalkan keluarga karena tugas keluar kota atau keluar negeri. Waktu berkumpul

dengan keluarga semakin minim, kondisi ini membuat Nina mengambil keputusan untuk

berhenti bekerja. Setelah satu tahun berhenti Nina memutuskan untuk kembali bekerja, hal ini

disebabkan kondisi keuangan keluarga minim sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan

keluarga secara maksimal.50 Keputusan untuk bekerja kembali tentu memiliki dampak

terhadap kualitas waktu bersama anak-anak, namun kembali memasuki dunia kerja

merupakan cara terbaik untuk mempersiapkan masa depan bagi anak-anak.

Dila, berusia 47 tahun memiliki seorang anak laki-laki. Dila sosok yang tegas,

ramah, dan pintar. Ia bekerja di salah satu perusahaan kontraktor dan menempati jabatan

sebagai kepala proyek. Dila mulai bekerja setelah menyelesaikan studi strata 1 di bidang

ekonomi, namun karena kesepakatan yang dibuat bersama suami bahwa setelah menikah ia

49

Nina, Tita, Dila, Astri & Tantri adalah nama-nama samaran, wawancara, 2-28 Desember 2013.

50

(23)

38

harus berhenti bekerja maka setelah menikah Dila berhenti bekerja. Namun setelah 3,5 tahun

menikah dan kebutuhan keluarga semakin meningkat maka Dila memutuskan untuk kembali

bekerja agar dapat menopang perekonomian keluarga. Hal ini sebenarnya berat bagi Dila

karena anaknya masih berusia 2 tahun, tetapi menurutnya hal itu merupakan keputusan

terbaik demi masa depan keluarga.51

Astri sosok perempuan pendiam, tetapi tegas. Ia berusia 34 tahun berprofesi sebagai

dokter dan memiliki satu anak perempuan serta satu anak laki-laki. Astri tetap menjalani

aktivitas sebagai seorang dokter walaupun ia telah menikah. Sebelum menikah aktivitas Astri

sebagai seorang dokter tidak terlalu padat, Astri masih dapat meluangkan waktu untuk

berkumpul bersama keluarga walaupun bekerja di 3 klinik yang ada di Jakarta. Tetapi setelah

menikah aktivitasnya semakin padat bahkan seringkali Astri harus mengambil sift jaga

malam di 5 klinik untuk mendapatkan uang tambahan. Dalam desakan perekonomian Astri

nampaknya melampaui aturan-aturan legalitas praktek seorang dokter yang hanya

diperbolehkan maksimal di 3 klinik. Untuk mengemban tanggung jawab ini Astri seringkali

menitipkan anak-anaknya di rumah orang tua. Hal ini dilakukan Astri agar kehidupan

keluarga dapat terjamin secara khusus masa depan anak-anak mengingat upah suami tidak

mencukupi kebutuhan hidup mereka.52

Tantri seorang sosok perempuan yang tegar, kuat, dan sabar. Ia berusia 40 tahun,

memiliki dua orang anak laki-laki dan berprofesi sebagai guru. Tantri pencari nafkah tunggal

dalam keluarga sejak suami Tantri di PHK berselang 15 bulan setelah menikah. Sejak saat itu

Suami Tantri lebih memilih tinggal di rumah dan lebih sering mengkonsumsi minuman keras.

Hobi sang suami yang mengkonsumsi minuman keras berdampak pada pengalaman tindak

kekerasan yang dialami oleh Tantri, namun mengingat nilai-nilai kekristenan yang

ditanamkan oleh orang tuanya sebagai majelis gereja maka Tantri menganggap bahwa ini

51

Dila, wawancara, 28 Desember 2013, pkl 20.00 WIB.

52

(24)

39

adalah jalan hidup yang harus ia terima. Oleh sebab itu sekalipun hari-hari hidupnya penuh

dengan tindak kekerasan suami, Tantri tetap menjalani hari dengan mengurus kebutuhan

suami dan anak-anaknya.53

Tita sosok yang periang, pintar, dan pandai bergaul. Berusia 28 tahun memiliki satu

anak laki-laki dan bekerja sebagai manager salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Tita

menikah pada usia dini karena telah hamil terlebih dahulu. Kehamilan Tita pada usia muda

memunculkan berbagai masalah psikologis bagi Tita. Perasaan takut, kecewa, menyesal,

rendah diri dan ketidaksiapan mental untuk memiliki anak membelenggu Tita. Walaupun

menghadapi masalah psikologis, namun Tita mengambil langkah untuk menikah.

Menurutnya menikah adalah keputusan terbaik untuk menghadapi masalah yang telah

merusak citra keluarga di mata masyarakat. Ketidaksiapan mental memasuki pernikahan

berdampak pada minimnya tanggung jawab sang suami. Suami Tita lebih sering

menghabiskan waktunya dengan berjudi, bahkan seringkali tidak pulang hanya karena judi.

Kondisi ini membuat Tita mengambil keputusan untuk bekerja walaupun ia sementara

meneruskan pendidikan ke jenjang strata 1. Dalam kondisi yang sarat dengan penderitaan,

Tita mendapatkan dukungan penuh dari keluarganya. Orang tua Tita, menghendaki agar ia

tetap meneruskan kuliah untuk bekal hidup di hari esok.54

Dari pemaparan profil menunjukkan Tita dan Tantri adalah pencari nafkah tunggal

dalam rumah tangga karena suami mereka tidak bekerja, sementara Nina, Dila dan Astri tetap

bekerja agar memperoleh penghasilan tambahan karena upah suami tidak mencukupi untuk

memenuhi seluruh kebutuhan keluarga.. Lima orang responden adalah ibu rumah tangga yang

berupaya dan berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarga dalam tekanan perekonomian

akibat kapitalisme global. Namun perjuangan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang

kondusif tidak mendapatkan dukungan dari suami, justru dalam upaya perjuangan yang

53

Tantri, wawancara, 21 Desember 2013, pkl 19.30 WIB

54

(25)

40

sementara dilakukan mereka harus berhadapan dengan tindak kekerasan yang dilakukan para

suami.

Kekerasan-kekerasan yang dialami ke lima responden dalam rumah tangga nampak

memiliki keterkaitan erat dengan kapitalisme global serta kontruksi dari budaya patriakhi.

Kekerasan sering bersifat simbolik dan halus, sehingga kadang tidak disadari sebagai sebuah

penindasan yang bersifat ideologis maupun kultural. Kekerasan-kekerasan simbolik yang

berbau kolonialisme melalui kapitalisme global dalam kolaborasinya dengan budaya

patriakhi ketika mengkonstruksi tentang kecantikan, dimana wacana kecantikan dimainkan

melalui iklan yang dikonsumsi secara terus menerus melalui media massa. Diceritakan oleh

kelima responden ini berikut: pengadaan alat-alat kosmetik, perawatan tubuh yang rutin,

busana yang sesuai dengan fashion menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi karena tuntutan

tampil menarik untuk tetap terlihat cantik di tempat kerja.”

Kondisi diatas mengharuskan mereka mengeluarkan biaya rutin dalam satu bulan

untuk kebutuhan sehari-hari, pendidikan anak, perawatan kecantikan dengan nominal yang

besar. Nina, Tita, mengeluarkan biaya berkisar 7-8 juta, Dila dan Astri berkisar 6 juta dan

Tantri berkisar 3 Juta. Penambahan biaya juga diakibatkan oleh gaya hidup suami yang kerap

kali meminta uang untuk bermain judi, miras, mengunjungi klub-klub malam yang seringkali

berakhir dengan transaksi bisnis bersama para PSK (Pekerja Seks Komersial).55 Dengan

demikian kapitalisme global memiliki pengaruh signifikan terhadap situasi yang tidak

memberi kesejahteraan dalam kehidupan keluarga, serta situasi yang menciptakan citra diri

perempuan hanya berdasar pada penampilan fisik.

Dominasi suami dialami oleh kelima responden. Dalam upaya untuk memenuhi

tuntutan konsumsi gaya hidup global, para responden ini juga mengalami

kekerasan-kekerasan verbal dan atau fisik dari para suami. Kekerasan dari pihak suami ini mendapatkan

55

(26)

41

legitimasi pembenarannya pada klaim kepala keluarga sebagai penguasa yang didalamnya

sangat sarat dan berbau ideologis partriaki.56 Seperti diceritakan oleh Astri salah satu

responden, berikut ini: Astri mengalami kekerasan verbal dan fisik dari suami disebabkan

perencanaan tertunda untuk memiliki rumah pribadi karena dana yang belum memadai.

Suami Astri tetap memaksakan kehendaknya untuk segera mendapatkan uang untuk membeli

rumah, sehingga mereka dapat pindah dari rumah kontrakan.57 Atau yang disampaikan oleh

responden lain yaitu Nina, berikut: kontribusi pemikiran ataupun pendapat yang dinyatakan

oleh para istri dianggap sebagai bentuk pengambilan kekuasaan dalam kehidupan rumah

tangga. Keputusan suami adalah keputusan mutlak dalam keluarga.58

Kekerasan verbal yang dialami oleh Nina berupa penghinaan yang menyetarakan

dirinya dengan hewan, hal ini merendahkan harkat dan martabatnya sebagai seorang

perempuan. Dila, Tita, Astri dan Tantri pun mengalami kekerasan verbal dengan mendengar

kata-kata kasar berupa cacian, umpatan, sumpah serapah bahkan ancaman yang diutarakan

suami mereka.59 Tita mengalami kekerasan secara psikis melalui tindakan suami yang kerap

kali mencuri benda-benda berharga miliknya dan milik orang tua hanya untuk bermain judi.60

Kekerasan fisik turut dialami oleh Nina, Dila dan Astri. Pertengkaran Nina dan

suaminya sering diakhiri dengan tindakan pemukulan terhadap Nina, yang mengakibatkan

lebam di bagian wajah dan perut. Dila, Tantri juga mengalami hal yang sama seperti Nina

mengalami tindakan pemukulan di wajah. Sementara Astri mengalami penganiayaan lebih

tragis, tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap Astri tidak hanya memukul tetapi

sampai menyiram air panas ke tubuh Astri. Kekerasan demi kekerasan yang mereka alami

56

Hasan, Pengantar Cultural Sudies: Sejarah, Pendekatan Konseptual, & Isu Menuju Studi Budaya Kapitalisme Lanjut, 234

57

Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl.19.15 WIB. 58

Nina, wawancara, 2 Desember 2013, pkl. 18.00 WIB. 59

Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013.

60

(27)

42

semakin membulatkan tekad mereka untuk mengambil langkah bercerai.61

Keluarga dalam pola masyarakat agraris akan berhadapan dengan persoalan-persoalan

modernisasi secara khusus industrialisasi, kemunculan industrialisasi dalam masyarakat akan

membawa perubahan dalam peran keluarga. Tidak hanya suami yang dapat bekerja tetapi istri

mendapat kesempatan yang sama untuk bekerja. Era globalisasi telah mengguncang budaya

tradisional, menggeser budaya patriakhi dan membuka harapan bagi perempuan untuk

mengapresiasikan diri sesuai dengan kapasitas dan kompetensi dalam berkarya. Peluang istri

yang bekerja dan mendapatkan penghasilan yang lebih baik dari suami telah menimbulkan

perasaan “bersaing“. Padahal dalam budaya patriakhi nampak secara normatif suami

merupakan kepala keluarga yang memiliki hak lebih tinggi dari pada istri,62 oleh sebab itu

jika perubahan ini tidak diikuti dengan penyesuaian diri dalam keluarga maka akan dianggap

sebagai ancaman terhadap kekuasaan suami. Ketidakmampuan penyesuaian diri terhadap

penetrasi budaya akan berdampak pada ketimpangan pembagian peran antara suami -istri

sehingga dapat menjadi pemicu dari konflik rumah tangga. Kekerasan verbal atau non verbal

terhadap para istri merupakan manifestasi relasi kuasa yang timpang sehingga memunculkan

dominasi serta diskriminasi secara sistematis sebagai upaya memberhentikan pemberdayaan

diri para istri selaku perempuan.63

Pada satu sisi era globalisasi telah memberi ruang kepada perempuan untuk berkarya,

namun disisi yang lain para perempuan harus berhadapan dengan pandangan negatif dan

sikap diskriminatif sebagai akibat peran mereka diranah publik, seperti yang diceritakan Dila:

pihak keluarga suami menghakimi dirinya sebagai seorang istri yang tidak mampu mengurus

rumah tangga karena terlalu sibuk bekerja.64 Tita juga menceritakan: tetangga seringkali

61

Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013. 62

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam rumah Tangga: Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis

(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 77.

63

Fitri Bintang Timur, “Pemerkosaan Perempuan Dalam Konflik,”dalam Ani Soetjipto dan Pande Trimayuni (ed.), Gender dan Hubungan Internasional: sebuah pengantar, (Jakarta: Jalasutra, 2013), 119-120.

64

(28)

43

bergosip tentang dirinya yang tidak menyediakan waktu untuk anak dan suami karena

kesibukan pekerjaan dan seringkali pulang larut malam yang tidak sepantasnya dilakukan

oleh seorang perempuan.65

Sikap menyudutkan dari lingkup keluarga ataupun masyarakat sekitar menunjukkan

bahwa parameter sebagian masyarakat modern tentang perempuan masih berdiri pada pijakan

kultur patriakhi yang membenarkan bahwa laki-laki tidak bertanggungjawab terhadap

kebahagiaan keluarga dan pendidikan anak dalam keluarga, tetapi perempuan yang

bertanggung jawab mendidik anak dan menghadirkan situasi kondusif dalam keluarga.

Sehingga ketika seorang perempuan juga harus bekerja di ranah publik maka mereka harus

menjadi perempuan super yang siap berperan ganda. Hal ini disebabkan oleh label yang telah

melekat pada laki-laki yang melambangkan keperkasaan, kekuasaan dan heroism, sementara

perempuan melekat dengan label feminisme yang menyiratkan karakter yang terbentuk penuh

kelembutan dan kepasrahan. Perihal ini merupakan stereotipe yang telah mempertegas aturan

dan nilai sosial yang telah tertanam dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.

Parameter yang terbentuk berdasar pada konstruksi kultur patriakhi menjadi salah satu

penyebab dari tindakan-tindakan diskriminatif yang dialami kelima responden pasca

perceraian. Pengabdian istri yang dicurahkan melalui kesiapan diri menjadi tulang punggung

bagi keluarga dalam ranah publik, menjadi tidak berarti saat istri dianggap mengesampingkan

pengabdian dan pelayanan dalam ranah domestik. Sehingga makna pengabdian hanya

terorientasi pada kewajiban istri melayani suami ,bukan kewajiban melayani antara

suami-istri. Kekuatan ideologi patriakhi telah bersifat destruktif dalam perjalanan kehidupan rumah

tangga kelima responden. Suami berada pada posisi superior karena melekat status sebagai

kepala keluarga. Kekuasaan dan kontrol terhadap sumber daya rumah tangga berada di

tangan suami.

65

(29)

44

Tindakan-tindakan diskriminatif akibat perceraian yang dialami oleh beberapa

perempuan yang adalah anggota jemaat GMIST Mahanaim terjadi dalam konteks keluarga,

gereja dan masyarakat. Dalam konteks keluarga, kekerasan verbal dialami oleh Nina, Tita,

Tantri tidak muncul dari keluarga inti (orang tua, saudara kandung) melainkan dari sanak

saudara yang lain. Nina, Tita, Tantri, mengalami tindakan yang bersifat menghakimi bahwa

perceraian yang terjadi merupakan tindakan pemberontakan terhadap firman Allah yang

berarti mereka telah berbuat dosa, sementara Dila dan Tita mengungkapkan bahwa mereka

mendapatkan dukungan dari seluruh keluarga dengan keputusan bercerai atau berpisah

rumah.66

Kekerasan verbal dalam konteks masyarakat pada umumnya sering mereka temui

melalui tindakan-tindakan teman kantor atau rekan kerja yang memperlakukan mereka seperti

“perempuan murahan”. Godaan dan gurauan yang bersifat melecehkan seringkali mereka

alami, Tita mendapatkan tawaran untuk libur bersama dari partner kerja yang telah beristri

dengan alasan yang diungkapkan secara gamblang bahwa Tita membutuhkan kehangatan

seorang laki-laki.67 Sementara Nina dan Dila pernah mendapatkan klien yang menawarkan

proyek besar dengan syarat bersedia menjadi perempuan simpanan.68 Selain itu dari

lingkungan masyarakat, Tita, Tantri dan Astri mendapatkan pandangan negatif sebagai

seorang ibu rumah tangga yang tidak bertanggung jawab karena telah menelantarkan suami

dan anak.69

Perempuan dibeberapa bagian dunia dipandang sebagai hak milik laki-laki yang dapat

diperlakukan semena-mena, tindakan pelecehan terhadap perempuan semakin marak di

berbagai tempat. Kekerasan berupa pelecehan terhadap mereka tidak terlepas dari afirmasi

pandangan bahwa perempuan dalam budaya patriakhi dan kapitalisme adalah pekerja

66

Nina, Tita, Dila, Astri, Tantri, wawancara, 2-28 Desember 2013.

67

Tita, wawancara, 28 Desember 2013, pukul 11.00 WIB.

68

Nina & Dila, wawancara, 2 & 28 Desember 2013.

69

(30)

45

rendahan. Perempuan seringkali di tempatkan pada jabatan yang lebih rendah walaupun

memiliki ijazah yang sama. Diskriminasi bentuk lain dalam pekerjaan yang dialami oleh

perempuan adalah rentannya para perempuan terhadap ketidakpastian kerja dan pemecatan,

bahkan mereka ditempatkan pada posisi paruh waktu dengan tujuan menyingkirkan mereka

dari ranah pemegang kekuasaan dan peluang meningkatkan karier.70 Kedudukan perempuan

tidak berada pada ranah publik (kekuasaan ekonomi atau produksi) tetapi ranah domestik

(rumah tangga, tempat reproduksi) dengan fungsi mengajar, merawat dan melayani oleh

karena itu perempuan tidak dapat memiliki otoritas laki-laki. Bahkan perempuan seringkali

mendapatkan label negatif sebagai makhluk lemah, tidak rasional karena lebih terfokus pada

sifat-sifat emosional. Tidak heran jika terjadi kekerasan berupa pelecehan yang dilakukan

oleh rekan kerja laki-laki sebagai bentuk strategi resistensi yang terorganisir dari dominasi

laki terhadap perempuan yang dapat mengancam posisi sosial dan identitas seksual

laki-laki.71

Dominasi laki-laki yang berperan di berbagai institusi sosial menjadikan sifat-sifat

dan pekerjaan-pekerjaan laki-laki lebih dihargai dan lebih identik dengan karakter mandiri,

agresif, kompetitif yang mengarah pada kesuksesan dalam dunia kerja dan masyarakat,

sehingga laki-laki tetap berada pada posisi yang berkuasa. Sementara perempuan identik

dengan karakter pasif dan tergantung sehingga berdampak pada posisi yang lemah untuk

mendapatkan kekuasaan72 Oleh karena itu kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai

suatu tindakan yang wajar untuk mengingatkan perempuan terhadap struktur patriakhi.

Kekerasan verbal dan psikis yang dialami tidak hanya terjadi dalam lingkup keluarga,

tetapi terjadi juga dalam institusi gereja. Keputusan bercerai yang ditempuh oleh Nina, Tita,

Dila dan pisah rumah yang ditempuh oleh Astri serta Tantri mendapatkan reaksi yang

70

Piere Bourdieu, Dominasi Maskulin (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 129-130.

71

Bourdieu, DominasiMaskulin, 132-135.

72

(31)

46

diskriminatif dari pihak gereja. Keputusan Astri untuk pisah rumah berdampak pada kegiatan

pelayanan di gereja. Astri yang juga turut aktif dalam pelayanan gereja dan berada dalam

jajaran kemajelisan untuk sementara waktu di non aktifkan dalam pelayanan.73 Perihal yang

sama dialami oleh Dila, akibat dari perceraiannya maka Dila harus meletakkan jabatan

pelayanan selaku salah satu pengurus dalam pelayanan kategorial perempuan. Bahkan

mereka yang bercerai tidak mendapatkan hak untuk dipilih menjadi majelis atau pengurus

pelayanan kategorial.74 Sikap diskriminatif gereja juga nampak melalui ungkapan-ungkapan

menghakimi dari pendeta, majelis, atau pun beberapa anggota jemaat kepada Nina, Tita, Dila,

Tantri dan Astri seperti: “perempuan keras kepala”, “bercerai berarti melakukan dosa”,

perselingkuhan suami, bisa terjadi karena kesalahan istri”. Dila mendengarkan pernyataan

seorang pendeta: “ dalam pernikahan Kristen tidak diperbolehkan untuk bercerai, jika

perceraian tetap dilakukan maka kita telah melanggar Firman Allah dan itu dosa”, “Tidak

ada gunanya hidup bergelimang harta tetapi berakhir di neraka”.75

Sikap menghakimi dan diskriminatif yang membuat mereka enggan berperan aktif

dalam kegiatan-kegiatan pelayanan gxsereja. Astri dan Tita merasa tidak mudah ketika harus

mendengar seseorang menghakimi dirinya. Perasaan malu, takut dan berdosa kepada Allah

sering mengisi batin namun kekuatan menghadapi gejolak batin ini diterima dari pihak

keluarga yaitu orang tua dan kakak beradik yang mendukung setiap keputusan mereka.

Sikap menghakimi yang diperlihatkan dengan jelas oleh beberapa pemimpin gereja,

semakin memberikan beban psikis kepada mereka. Penderitaan yang mereka alami karena

tindakan suami semakin bertambah dengan justifikasi dari pihak gereja. Reaksi negatif dari

pihak gereja memunculkan pergolakan batin. Pergolakan batin itu pada satu sisi berkaitan

dengan loyalitas terhadap doktrin kristen anti perceraian, sementara di sisi yang lain tidak

menghendaki hidup bersama suami yang tidak bertanggungjawab, sering melakukan tindakan

73

Astri, wawancara, 20 Desember 2013, pkl 19.15 WIB 74

Dila, wawancara, 28 Desember 2013, pkl. 20.00WIB 75

Referensi

Dokumen terkait

Mengambil tindakan represif yaitu dengan memproses pelaku melalui jalur hukum bagi warga sipil yang terbukti melakukan penyalahgunaan senjata api tersebut dan pencabutan

Dalam Tugas Akhir ini, penulis mempelajari bagaimana merancang elemen-elemen struktur dengan beton konvensional pada bangunan Gedung Rumah Sakit Royal Taruma

bagian yaitu struktur bagian atas yang meliputi perancangan kolom, plat2. lantai, plat atap, balok, dan tangga sedangkan struktur bagian bawah

bertentangan dengan pasal 6 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang berbunyi “ Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan

Penelitian Nussbaum (2002) juga menunjukkan bahwa penuntun belajar beragumentasi (scaffolding argumentation)dalam bentuk peta argumen dapat menolong pebelajar dalam

dengan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Gedung SNI 03-2847-20022. dan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung SNI

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Pada hari ini Kamis tanggal Delapan Bulan September Tahun Dua Ribu Enam Belas (08-09- 2016), kami yang bertanda tangan di bawah ini Kelompok Kerja (Pokja) ULP