BAB II LANDASAN TEORI
A. Cerita Rakyat “Timun Emas”
1. Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan cerita yang disampaikan secara lisan dari
mulut ke mulut, dari generasi ke generasi lainnya, yang tidak diketahui
nama pengarangnya1. Dalam buku Metodologi Penelitian Folklor yang
disusun oleh Suwardi Endraswara, dipaparkan oleh beberapa ahli folklor
bahwa cerita rakyat atau folktales merupakan salah satu dari berbagai
macam bentuk folklor. Folklor sendiri dapat dimaknai sebagai kekayaan
tradisi, sastra, seni, hukum, perilaku, dan apa saja yang dihasilkan folk
(kelompok populasi) secara kolektif. Folklor merupakan bagian
kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi, dan nasional,
mencangkup semua pengetahuan, nilai, tingkah laku, asumsi, perasaan,
dan kepercayaan tersebar dalam bentuk tradisional melalui
praktik-praktik kebiasaan. Folklor berbentuk kajian luas, yang masih memiliki
sub-sub genre untuk mengklasifikasikan berbagai bentuknya. Secara
singkat, folklor dapat dibagi menjadi tiga kelompok yakni : folklor lisan,
seperti puisi, peribahasa, teka-teki, dan lain-lain; folklor setengah lisan,
seperti kepercayaan rakyat, adat kebiasaan, permainan rakyat, dan
lain-lain; dan folklor material atau bukan lisan, seperti artefak, seni kriya,
1Muh.Nur.Mustakim, PerananCeritadalamPembentukanPerkembanganAnak TK(Jakarta:
busana, dan lain-lain.2Cerita rakyat sendiri termasuk dalamkelompok folklor lisan karena proses pembawaan dan penyebarannya secara verbal.
Cerita rakyat pada mulanya adalah peristiwa bahasa lisan yang bukan
dituliskan, melainkan dituturkan. Dalam makalah “Penelitian Cerita
Rakyat”3 yang disusun oleh G. R. Lono Lastoro Simatupang, dosen
Jurusan Antropologi Budi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah
Mada, menjelaskan bahwa sebagai tuturan, cerita rakyat bekerja dengan
dan melalui kombinasiberbagai kualitas suara manusia. Kombinasi
kualitas suara manusia tersebut dapat berupa vokal dan konsonan,
tinggi-rendah suara,panjang-pendek suara, jeda, tekanan, warna suara, dan
sebagainya. Berbeda dengan bahasa tulis yang cenderung memiliki
keterbatasan grafis visual dibandingkan dengan variasi kualitas suara dan
bahasa tutur. Sedangkan bila dilihat dari segi strukturnya, cerita rakyat
memiliki ciri yakni struktur alur cerita yang sederhana dan mengarah,
perwujudan karakter yang tegas antara tokoh yang baik dan jahat, serta
tema dan motif cerita rakyat yang berisikan konflik dan konklusi yang
cenderung berakhir dengan baik, indah, atau secara terang-terangan
menunjukkan kemenangan dari karakter baik.4Ketegasan struktur cerita
rakyat bila ditunjang dengan penuturan yang tepat dapat mengarahkan
pendengar pada imajinasi dan penafsiran yang tepat terhadap nilai-nilai
moral yang dimaksud oleh penutur.
2Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Folklor (Yogyakarta: MedPress, 2009), 26-31. 3Makalah disampaikan dalam Kegiatan Peningkatan Mutu Tenaga Teknis Balai Bahasa
2. Cerita “Timun Emas”
Cerita “Timun Emas” berasal dari Jawa Tengah. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, cerita rakyat menyebar dari generasi ke generasi
secara lisan. Dari proses tersebut ada banyak kemungkinan terjadinya
pengurangan, perubahan, atau pengembangan cerita dari tiap penutur
yang berbeda, hingga pada masa-masa berikutnya muncul banyak versi
dari sebuah cerita rakyat. Walau demikian, intisari dan pesan moral dari
cerita tersebut tidak berkurang. Versi yang berbeda hanya terletak pada
alurnya. Demikian pula cerita “Timun Emas” yang termasuk dalam
dongeng. Banyak versi cerita “Timun Emas” yang memiliki komponen alur bervariasi. Misalnya, ada versi yang menceritakan bahwa Timun
Emas terlahir dari sepasang suami istri setelah doanya dikabulkan
Raksasa, ada pula versi yang menceritakan bahwa Timun Emas berasal
dari sebuah timun besar yang berasal dari biji timun ajaib pemberian
raksasa kepada seorang janda yang mengharapkan anak. Adapula
perbedaan cerita di mana sang raksasa meminta Timun Emas diberikan
kepadanya saat berusia 15 tahun, ada yang 16 tahun, adapula yang
diceritakan diminta pada usia 17 tahun.
Bagaimanapun, kisah “Timun Emas” ini, dengan berbagai
versinya, mengisahkan tentang seorang gadis yang hadir di dunia berkat
pemberian raksasa jahat, yang kemudian saat usia remajanya, ia diminta
kembali oleh raksasa. Pada klimaks alur crita, Timun Emas berusaha
untuk kabur dari tangkapan raksasa yang ingin memakannya. Dengan
bantuan bekal yang ia bawa, ia berhasil lolos dari tangkapan raksasa,
Dalam penyusunan komposisi ini, penulis mengacu pada versi
cerita rakyat “Timun Emas” yang ditulis oleh James Danandjaja5. Dalam
cerita tersebut terdapat empat tokoh yakni Timun Emas, Pak Simin, Bu
Simin, dan Raksasa. Pada awal cerita dikisahkan sepasang suami istri yang
berprofesi sebagai petani, yakni Pak Simin dan Bu Simin, yang telah lama
ingin memiliki keturunan. Mereka sering berdoa dan memberikan sesaji
kepada Dewa agar doanya dikabulkan. Suatu hari, Raksasa sakti dan buas
penjaga hutan mendengar doa itu dan mengabulkan permohonan
pasangan petani itu. Tetapi Raksasa juga memberikan syarat yakni pada
usia ke 15, anak itu harus diberikan kembali kepadanya. Syarat itu pun
disetujui oleh Pak Simin.
Satu tahun kemudian, lahirlah Timun Emas yang bertumbuh besar
dan elok rupanya. Saat usia Timun Emas tepat 15 tahun, sang Raksasa
datang untuk menagih janji. Sampai dua kali kedatangan Raksasa itu ke
rumah mereka, Pak Simin dan Bu Simin selalu membuat alasan untuk
menunda diambilnya Timun Emas. Sebelum kedatangan Raksasa yang
ketiga kalinya, Timun Emas akhirnya mengetahui perihal perjanjian kedua
orangtuanya dengan Raksasa. Timun Emas rela diserahkan kepada
Raksasa. Namun, orangtuanya menyuruh Timun Emas melarikan diri,dan
memberinya bekal benda ajaib untuk menghindari Raksasa.
Ketika Raksasa datang untuk yang ketiga kalinya, Timun Emas
melarikan diri, hingga terjadi pengejaran oleh Raksasa. Setiap kali jarak
Raksasa hampir dekat, Timun Emas melemparkan satu per satu bekalnya
yang kemudian secara ajaib berubah menjadi jebakan bagi Raksasa.
Bekalnya yang pertama yakni sebutir biji mentimun yang berubah menjadi
hutan mentimun dan sempat berhasil mengelabui Raksasa yang tergiur
untuk memakan semua timun yang ada. Bekal yang kedua yakni sebuah
duri yang kemudian berubah menjadi hutan pohon berduri. Hutan itu
memperlambat laju Raksasa karena sulit untuk melintasinya. Bekal yang
ketiga yakni segenggam garam yangberubah menjadi lautan luas. Pada
rintangan tersebut, Raksasa juga berhasil melewatinya. Timun Emas tidak
putus asa, hingga pada usahanya yang terakhir, ia melemparkan bekal
terakhirnya yakni terasi. Terasi itu berubah menjadi lautan lumpur yang
kemudian menelan Raksasa itu hingga mati. Timun Emas akhirnya lolos
dari tangkapan Raksasa dan kembali pulang ke rumah kedua
orangtuanya. Kisah ini memberikan pesan moral yakni dalam berjuang
untuk mencapai suatu hal yang baik, manusia tidak boleh mudah putus
asa.
B. Musik Program
Musik program adalah istilah untuk musik instrumental yang
digunakan untuk merepresentasikan cerita, dongeng, lingkungan, personal,
filosofi, dan sebagainya. Istilah program itu sendiri merujuk pada hal-hal non
musik, yang dimasukkan dan menjadi bagian dari suatu karya instrumental.
Franz Liszt, musisi yang memperkenalkan istilah musik program,
menjelaskan bahwa tujuan peletakan program adalah sebagai usaha
komposer untuk menjaga pendengar dari kesalahan penafsiran interpretasi,
dan untuk mengarahkan perhatian pada ide utama program, baik
umumnya diletakkan sebagai pembuka, berupa penataan bahasa yang
menjelaskan ide dari musik instrumental yang akan dimainkan.
Musik Program berada dalam lingkup kategori struktur musik
terbuka. Dikategorikan demikian karena memang tidak ada struktur baku
yang mengikat dalam penulisan komposisi jenis ini karena bagian-bagian dari
komposisi berdasarkan suatu program yang diangkat. Berbeda dengan
ketegori struktur tertutup, atau pada bentuk musik absolut, yang dalam
penyusunannya terpaku pada struktur yang baku, bukan terbangun dari latar
belakang ide cerita cerita tertentu. Lebih menjurus lagi, musik program
berada dalam kelompok free form dengan judul komposisi yang variatif,
menyesuaikan ide program yang diangkat.Musik programmemiliki bentuk
dan struktur cerita yang dapat dikategorikan sebagai berikut6:
1. Narrative, yaitu bentuk musik program yang diangkat berdasarkan
rangkaian kejadian secara berurutan;
2. Descriptive, yaitu bentuk musik program untuk menggambarkan
keadaan suatu bentuk, ruang, dan waktu (representasional);
3. Appelative, yaitu bentuk musik program yang terdiri dari karakter
yang tersirat;
4. Ideational, bentuk musik program yang mengekspresikan suatu
filosofi dan psikologi.
Dalam usaha merepresentasikan suatu ide program ke dalam sebuah
komposisi instrumental, penggunaan leitmotif menjadi umum dipakai dalam
sebuah musik program. Leitmotif berasal dari bahasa Jerman, yakni Leitmotiv,
yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai leading motif. Leitmotif
didefinisikan sebagai sebuah ide musikal yang merepresentasikan seseorang,
suasana, atau suatu ide dalam sebuah karya dramatik7. Pemahaman yang
sama disebutkan oleh Arnold Whitall bahwa leitmotif adalah sebuah tema,
atau ide musikal serupa, yang secara jelas menggambarkan identitas tertentu
dan tetap dikenali apabila dimodifikasi pada pengulangan berikutnya8.
Tujuannya adalah untuk merepresentasikan atau sebagai simbol dari
seseorang, objek, tempat, ide, suatu pemahaman, kekuatan supernatural, atau
berbagai macam komponen yang terdapat dalam sebuah karya drama.
Berdasarkan penjelasan tersebut, penggunaan leitmotif dalam karya
instrumental menjadi elemen yang dapat memberi petunjuk bagi pendengar
terhadap munculnya berbagai karakter atau identitas yang dipresentasikan
dalam ide musikal, sesuai dengan alur program.
Teknik pembuatan leitmotif yang digunakan oleh Wagner dalam
berbagai komposisi musik programnya secara kuat mengasosiasikan timbre
dan karakter, objek, konsep atau emosi, untuk mengakomodasi
pengembangan narasi dan karakter dari program.9 Salah satu teknik
penggunaan leitmotif yakni dengan menempatkan suatu motif ide musikal
tertentu pada suatu satu atau beberapa instrumen untuk menggambarkan
tokoh ataupun suasana tertentu, salah satu contohnya yakni penggunaan fluit
untuk merepresentasikan karakter burung. Dalam perkembangannya, leitmotif
tidak hanya sekedar sebagai elemen dari struktur musikal, tetapi juga
7Julie C. Dunbar, Women, Music, Culture: An Introduction (New York: Routledge, 2011), 237.
8Barry Millington, The New Grove Guide to Wagner and His Operas (New York: Oxford
University Press, 2006), 153.
digunakan sebagai suara-suara efek tertentu untuk menambah kesan
dramatis dalam suatu karya.
C. Musik Kamar
Istilah musik kamar merujuk pada formasi penyaji musik serta tempat
pertunjukan diselenggarakan. Istilah tersebut memiliki beberapa
pemahamanyang dipengaruhi pula oleh perkembangan penyajian musik dari
jaman ke jaman10. Pada pertengahan abad 16 hingga abad 17, istilah „musica da
camera‟ (bahasa Italia) dan „kammermusik‟ (bahasa Jerman) dinyatakan sebagai musik ansambel yang dipertunjukkan untuk tontonan pribadi atau kerabat
dekat. Umumnya berupa vokal dan beberapa alat musik, dapat dimainkan di
istana atau rumah para bangsawan dan orang kaya dengan jumlah penonton
yang sedikitsehingga atmosfer pertunjukan lebih bersifat hangat dan
kekeluargaan.Selama awal abad 18 istilah „musica da camera‟secara teoritis
mengarah kepada musik vokal dan instrumental yang gaya komposisi dan
fungsinya berbeda dari komposisi musik untuk gereja dan teater. Pada
perkembangannya istilah ini menjadi semakin dihubungkan dengan musik
instrumental seperti sonata, trio, dan kuartet yang bertujuan sebagai
pertunjukan di lingkungan istana atau wilayah dalam negeri. Pada akhir abad
19 istilah musik kamar secara jelas mengarah kepada ansambel musik
instrumental dengan sedikit pemain, dipertunjukkan di tempat pribadi
maupun publik. Hingga pada awal abad 20, istilah ini secara spesifik
diasosiasikan dengan kuartet, kuintet, dan piano trio dari Haydn, Mozart,
Beethoven, Schubert, dan para penerusnya. Pada zaman musik kontemporer
saat ini, musik kamar lebihdipahami sebagai suatu karya dengan ciri disajikan
oleh lebih dari satu penyaji, tetapi hanya terdiri dari seorang pemain setiap
part, dan seringkali disajikan tanpa konduktor.11 Berdasarkan perkembangan
pemahaman mengenai musik kamar tersebut, dapat dipahami secara umum
penggunaan istilah musik kamar mengarah pada komposisi musik yang
ditulis untuk sekelompok kecil instrumen musik, dengan seorang pemain
tiap part. Musik kamar disajikan baik untuk kalangan tertentu, ataupun
masyarakat umum, di ruang pertunjukan yang kecil, dengan jumlah
penonton terbatas.
Komposisi instrumen dalam format musik kamar lebih fleksibel, bisa
terdiri dari beberapa instrumen yang berasal dari satu keluarga (yang paling
sering adalah dari keluarga gesek). Namun, dapat juga tersusun atas beberapa
instrumen dari keluarga yang berbeda dalam kombinasi yang bervariasi.
D. RancanganPenyusunanKomposisi Musik Program “Timun Emas”
Dalam penyusunan,pembuatan komposisi musik program “Timun
Emas” ini merujuk pada komposisi serupa yang sudah ada sebelumnya, yakni
“Peter and The Wolf” Op. 42, karya Sergey Prokofiev. Penyusunan bagian-bagian alur cerita dBuat terlebih dahulu, dilanjutkan dengan penyusunan
narasi pendek untuk tiap bagiannya.
Langkah berikutnya yakni membuat leitmotif yang dapat
merepresentasikan karakter tokoh dalam cerita “Timun Emas”. Ada empat
tokoh dalam cerita tersebut, yang akan direpresentasikan dengan instrumen
yang akan digunakan, yakni :
11
1. Timun Emas : fluit;
2. Pak Simin : biola alto;
3. Bu Simin : biola 1;
4. Raksasa : cello.
Selanjutnya, ide musikal disusun secara terstruktur mengikuti alur
cerita yang sudah disusun, dengan menyertakan leitmotif baik dalam bentuk
motif aslinya, maupun pengembangannya sesuai alur cerita. Penempatan
narasi yang dibawakan oleh narator juga disusun sedemikian rupa untuk
dapat menjadi satu kesatuan bagian yang utuh dengan musik program yang