BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Penyakit kusta atau morbus Hansen merupakan infeksi granulomatosa
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler
obligat. Kusta dapat menyerang saraf perifer dan kulit, namun dapat juga
mengenai organ lain kecuali susunan saraf pusat.1-3
Kusta masih menjadi masalah di beberapa negara berkembang, penyakit
ini endemik di banyak negara tropis dan subtropis.4 Berdasarkan data rekam medis
RSUP Haji Adam Malik Medan, kunjungan pasien kusta baru dari tahun 2015
hingga 2016 berjumlah 57 kasus. Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia
tahun 2014, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam epidemiologi kusta
dunia dengan penemuan kasus kusta baru sebanyak 16.856 kasus. Di Sumatera
Utara, sebesar 156 kasus diantaranya merupakan kusta tipe MB. Suatu negara
dikatakan endemi kusta jika ditemukan rerata prevalensi kusta lebih dari 1 kasus
per 10.000 penduduk (10 kasus per 100.000 penduduk). Berdasarkan kriteria
tersebut maka India, Brazil, Indonesia, Bangladesh dan Kongo merupakan lima
negara endemi kusta teratas di dunia.5,6 Propinsi terbanyak yang melaporkan
pasien kusta baru adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera
Selatan, Papua dan Sulawesi Selatan dengan prevalensi lebih dari 20 per 100.000
penduduk.4,6
Program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
mencegah timbulnya cacat. Menurut WHO, penyakit kusta diklasifikasikan
menjadi 2 (dua) yaitu tipe pausibasiler (PB) dan tipe multibasiler (MB).4
Kelompok Studi Kemoterapi WHO pada tahun 1981 menetapkan regimen
pengobatan dengan MDT atau multidrug therapy yang merupakan kombinasi dua
atau lebih obat anti kusta, yang selanjutnya dikenal MDT-WHO dengan
menggunakan rifampisin, klofazimin dan dapson dalam pengobatan kusta.3,4
Salah satu kombinasi MDT adalah dapson, merupakan suatu sulfon yang
bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase.3,4,7 Obat
ini biasanya diberikan dengan dosis 100 mg/hari selama 12 bulan untuk tipe MB
dan 6 bulan untuk tipe PB.3,4
Pemberian dapson secara oral akan diabsorpsi melalui saluran
gastrointestinal dan kemudian akan ditransportasikan ke hati melalui transformasi
metabolik yang berbeda. Terdapat dua jalur utama metabolik yaitu N-asetilasi dan
N-hidroksilasi. N-hidroksilasi menghasilkan hidroksilamin yang merupakan
metabolit toksik yang dihasilkan oleh enzim sitokrom P-450. Jalur utama
hidroksilasi ini bertanggung jawab dalam terjadinya gangguan hematologi seperti
hemolisis, methemoglobinemia, dan pembentukan Heinz-body.8,9 Namun
bagaimana mekanisme pasti hidroksilamin dapat menimbulkan efek samping
hematologi ini belum sepenuhnya dimengerti.8,10,11
Salah satu efek samping pemberian dapson adalah anemia hemolitik.
Anemia hemolitik merupakan penghancuran abnormal dari sel darah merah.
Keadaan ini terjadi karena meningkatnya penghancuran sel eritrosit secara
berlebihan akibat siklus sel darah merah yang pendek dan sumsum tulang tidak
mendeteksi anemia hemolitik akibat penggunaan dapson dalam jangka waktu
lama, diperlukan pemeriksaan darah lengkap setiap 3-4 bulan.10 Pemeriksaan
laboratorium darah yang dapat dinilai berupa pemeriksaan darah lengkap dan
hitung retikulosit.13 Pengobatan yang dapat diberikan jika terjadi efek samping
MDT salah satunya anemia hemolitik adalah menghentikan obat sementara dan
melihat pasien kembali dalam waktu singkat. Apabila efek samping tidak dapat
teratasi maka obat harus dihentikan.14
Berbagai penelitian menunjukkan adanya kejadian dari anemia hemolitik
pada pasien kusta yang mengkonsumsi MDT yang mengandung dapson.
Penelitian oleh Al-Sieni et al menyatakan bahwa terjadi penurunan pada jumlah
sel darah merah sebesar 20%, penurunan kadar hemoglobin (Hb) sebesar
10-30% baik pada pria ataupun wanita, penurunan kadar mean cellular hemoglobin
(MCH) dan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) setelah 3 bulan
mengkonsumsi MDT.15 Penelitian oleh Deps et al menyatakan bahwa anemia
hemolitik dijumpai sebesar 51% pada pasien yang mendapat MDT dapson pada 3
bulan pertama terapi ditandai dengan penurunan kadar Hb dan kadar hematokrit.16
Penelitian oleh Singh et al menemukan kejadian anemia hemolitik sebesar 12%
yaitu sebanyak 9 orang dari 73 pasien kusta yang dinilai setelah mengkonsumsi
dapson dalam waktu 90 hari. Pada penelitian ini ditemukan kadar Hb menurun
sebesar 17%, hitung retikulosit meningkat 36,5%, mean corpuscular volume
(MCV) meningkat 3%, MCH meningkat 6% dan MCHC menurun 1%.17
Pada semua pasien kusta yang mendapat terapi MDT menurut Souza et al
dinyatakan bahwa tidak terdapat kejadian anemia hemolitik setelah diterapi
kadar hemoglobin baik pada kelompok kontrol dan pasien kusta tidak begitu
berbeda secara signifikan setelah diterapi selama 12 bulan.19
Sampai saat ini, penelitian terhadap obat-obatan kusta dan efek samping
yang ditimbulkan masih sangat terbatas dilakukan di Indonesia. Sementara
penggunaan MDT merupakan program pengobatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia dalam penanganan dan pemberantasan kusta. Oleh karena
alasan inilah peneliti berminat untuk melakukan penelitian tentang anemia
hemolitik pada pasien kusta yang mendapat MDT di Rumah Sakit Umum Pusat
(RSUP) Haji Adam Malik Medan.
1.2Rumusan Masalah
Bagaimanakah kejadian anemia hemolitik pada pasien kusta yang mendapat
multidrug therapy sesudah 3 bulan di RSUP Haji Adam Malik Medan?
1.3Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum :
Untuk menganalisis terjadinya anemia hemolitik pada pasien kusta yang
mendapat MDT sesudah 3 bulan di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan khusus :
1. Untuk mengetahui nilai kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung
retikulosit sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT pada pasien
kusta di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam
2. Untuk menganalisis kadar hemoglobin, MCV, MCHC, dan hitung
retikulosit sebelum dan sesudah 3 bulan mendapat MDT pada pasien
kusta di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam
Malik Medan.
1.4Manfaat penelitian 1.4.1 Institusi pendidikan
Menambah ilmu pengetahuan mengenai peranan MDT terhadap kejadian
anemia hemolitik.
1.4.2 Institusi kesehatan
Menambah pemahaman mengenai penyakit kusta dengan meningkatkan
strategi penatalaksanaan pasien kusta dengan melakukan pemeriksaan
laboratorium hematologi secara rutin sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan.
1.4.3 Bidang pelayanan masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kemungkinan
terjadinya anemia hemolitik saat pengobatan MDT.
1.4.4 Bidang pengembangan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar dan pendukung untuk
penelitian-penelitian selanjutnya tentang anemia hemolitik pada pasien