• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Masyarakat Penyintas Gunung Sinabung terhadap Relokasi Pemukiman Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Persepsi Masyarakat Penyintas Gunung Sinabung terhadap Relokasi Pemukiman Baru"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan bagian dari gejala kehidupan sosial, sehingga

perubahan sosial merupakan gejala sosial yang normal. Menurut More (dalam J.

Dwi Narwoko, 2004) mengartikan perubahan sosial sebagai sesuatu perubahan

penting dalam struktur sosial, pola-pola prilaku dan sistem interaksi sosial,

termasuk di dalamnya perubahan norma, nilai, dan fenomena sosial. Dalam hal ini,

masyarakat yang dahulunya tinggal di kaki Gunung Sinabung memiliki kehidupan

yang nyaman, memiliki tempat tinggal, ada kebun yang diperuntukkan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang mana masyarakat itu juga memiliki

struktur sosial dan nilai yang sudah lama dijalankan. Namun dengan adanya

bencana Gunung meletus, masyarakat yang tinggal di kaki gunung harus

meninggalkan rumah mereka, dan mereka berpencar untuk mencari tempat

perlindungan, ada yang tinggal di pengungsian, ada yang tinggal bersama saudara

dan ada juga yang membangun rumah di daerah yang lain. Hal ini kemudian yang

mendorong terjadinya perubahan. Secara garis besarnya, menurut Setiadi (2011)

penyebab perubahan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan juga

faktor eksternal.

Adapun faktor internal yang menyebabkan terjadinya perubahan yaitu:

1. Bertambah dan berkurangnya penduduk. Bertambahnya atau berkurangnya

penduduk dapat dilatarbelakangi dalam beberapa hal seperti kelahiran,

(2)

menyebabkan tidak sedikit penduduk yang tinggal di kaki Gunung Sinabung

meninggal dan ancaman gunung meletus yang tidak henti-hentinya

membuat masyarakat banyak yang meninggalkan desa tersebut. Hal ini

kemudian akan menyebabkan kekosongan penduduk yang berakibat pada

perubahan pembagian kerja dan stratifikasi sosial dimasyarakat.

2. Penemuan-penemuan baru. Kesadaran akan kekurangan kebudayaan yang

ada pada kelompok masyarakat ditandai dengan adanya sikap yang

memandang kebudayaan kelompok lain lebih baik dari kebudayaan yang

ada pada kelompoknya.

3. Pertentangan atau konflik dalam masyarakat. Konflik sosial diawali oleh

perbedaan-perbedaan kepentingan. Dalam hal ini dengan adanya bencana

gunung meletus munculkan konflik baru dalam masyarakat, mereka merasa

tidak nyaman tinggal dipungsian dengan kondisi yang serba kekurangan,

sehingga ada menimbulkan konflik antara sesame pengungsi, pengungsi

dengan masyarakat sekitar dan juga pengungsi dengan pemerintah.

Sehingga muncul ide pemerintah untuk merelokasi pengungsi ke tempat

pemukiman baru di hutan siosar.

Kemudian faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya perubahan yaitu:

1. Sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada disekitar manusia,

dalam hal ini dikaitkan dengan bencana Gunung Sinabung. Bencana Gunung

Sinabung yang terjadi di Kabupaten Karo telah menyebabkan perubahan yang besar

bagi masyarakat disana, diantaranya kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian

dan kehilangan orang yang mereka yang sayangi akibat menjadi penyintas Gunung

(3)

2. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Dalam hal ini, masuknya nilai dan unsur

budaya asing dapat mempengaruhi kebudayaan suatu bangsa.

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti ingin menggambarkan lebih jelas

persepsi pengungsi Gunung Sinabung kaitannya dengan perubahan kondisi yang

telah mereka alami selama tinggal dipengungsian dengan adanya rencana

pemerintah untuk merelokasi pemukiman mereka di daerah siosar.

2.1.1 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Jalannya Proses Perubahan

Setiadi (2011) mengemukakan beberapa faktor pendorong terjadinya

perubahan yaitu:

1. Kontak dengan kebudayaan lain

Maksudnya disini adalah proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari

orang perorangan kepada orang perorangan lain dan dari masyarakat satu ke

masyarakat lainya. Proses yang demikian ini disebut difusi. Difusi akan terjadi jika

penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat dapat diteruskan dan

disebarkan pada masyarakat luas sampai umat manusia di dunia dapat menikmati

kegunaan bagi kemajuan peradaban, antara lain proses-proses ini merupakan

pendorong bagi pertumbuhan kebudayaan masyarakat manusia.

2. Sistem pendidikan formal yang baru

Sistem pendidikan merupakan proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang

keberadaannya yaitu disengaja. Melalui sistem ini, generasi akan dididik untuk

(4)

bidang keilmuan, yang memanfaatkan ilmunya untuk perubahan suatu bangsa

menjadi lebih baik.

3. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju

Sikap tidak menghargai hasil karya orang lain merupakan ciri masyarakat

tertentu yang berdampak pada sulit bangsa ini penemu untuk berubah. Terlebih

apabila yang tidak dihargai ini adalah penemu metode yang dapat membawa

kehidupan suatu bangsa kearah yang lebih baik. Walaupun demikian, merupakan

hal yang tidak dapat dipungkiri akan adanya sekelompok manusia atau individu

yang cenderung menolak perubahan. Kenderungan ini yang kemudian diwujudkan

dalam sikap menolak perubahan.

4. Toleransi terhadap penyimpangan, yang bukan merupakan delinkuenasi

Tidak semua perilaku menyimpang tergolong sebagai bentuk perubahan

yang negatif, suatu perilaku yang dianggap menyimpang dari kehidupan sosial yang

wajar indikasinya ialah perilaku ini bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan

umum di masyarakat. Misalnya dokter yang didatangkan oleh pemerintah kesuatu

daerah atau ditempatkan dipedesaan yang tidak memiliki fasilitas kesehatan, namun

masyarakat desa memiliki kebiasaan mengobati sakit secara tradisional. Keinginan

masyarakat tersebut untuk terbebas dari pengobatan secara tradisional membuat

mereka menerima kehadiran para dokter dan ahli kesehatan tersebut. Penerimaan

ini pada giliranya memungkinkan para dokter memberikan pengertian dan arahan

akan berbagai kebiasaan hidup sehat yang lambat laun menggeser keyakinan

masyarakat ini bahwa setiap penyakit tidak diobati secara tradisional.

(5)

Biasa model sistem stratifikasi sosial yang terbuka terdapat dalam struktur

masyarakat yang modern, dalam arti kehidupan masyarakat telah mengalami pola

pikir yang maju. Ukuran maju dan tradisionalnya peradaban suatu masyarakat

terletak pada kemampuan dan daya nalarnya yang biasanya lebih mengedepankan

akal sehat ketimbang pertimbangan yang bersifat mitologis. Sementara kemajuan

pola pikir masyarakat akan selalu bersandar pada tingkat manfaat dari perubahan

sehingga pertimbangan atas manfaat inilah yang biasanya mendorong untuk

melakukan perubahan jika perubahan ini membawa manfaat bagi kehidupannya.

Pola pikir demikian biasanya lebih berorientasi pada akal sehat.

6. Penduduk yang heterogen

Penduduk yang heterogen biasanya terdapat di daerah perkotaan sebab kota

merupakan pusat industri dan perdagangan yang lebih banyak menyerap tenaga

kerja, sehingga banyak orang dari berbagai daerah, suku, dan ras yang berbeda

berdatangan ketempat ini. Dengan datangnya orang-orang dari berbagai daerah ini,

maka kemungkin besar akan terjadi saling tukar-menukar latar belakang sejarah

pengalaman hidup dan kebudayaan, bahkan hingga terjadi perkawinan antar daerah

yang diawali dari penemuan di tempat perkerjaannya di kota. Keadaan ini yang

mendorong timbulnya perubahan sebagai akibat dari interaksi antarmanusia dari

berbagai daerah dan proses tukar-menukar pengalaman dan kebiasaan dari

daerahnya masing-masing ini.

7. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu

Ketidakpuasan manusian terhadap apa yang ada pada saat ini menimbulkan

(6)

Ketidakpuasan ini mendorong manusia untuk menciptakan metode-metode tertentu

untuk mengatasi segala sesuatu bentuk kekurangan ini. Akan tetapi, jika metode

baru ini telah ditemukan akan timbul masalah baru lagi yaitu ketidakpuasan

terhadap apa yang telah ditemukannya. Permasalahan ini muncul ketika manusia

melihat kemajuan sebagai hasil dari penemuan kelompok atau bangsa lainya yang

dianggap lebih baik, lebih canggih, dan lebih layak. Peradaban kebudayaan bangsa

lain yang dianggap lebih maju tersebut dijadikan sebagai panutan atau patokan

untuk mengadakan perubahan. Biasanya peradaban suatu bangsa terletak pada

keinginan suatu bangsa tersebut untuk tetap mampu eksis didalam mengikuti

perubahan peradaban bangsa-bangsa di dunia agar dirinya tidak tergolong sebagai

bangsa yang terbelakang.

8. Orientasi kedepan

Manusia selalu mempunyai orientasi ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi demikian ini bersifat progresif, dalam arti kehidupan hari ini harus lebih

baik dari pada hari esok. Orientasi inilah yang akhirnya menimbulkan

pemikiran-pemikiran yang mengarah pada pencarian formulasi kehidupan yang lebih baik

melalui berbagai usaha dan upaya mencapainya.

9. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya

Berikhtiar untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dihari esok

merupakan bagian dari nilai kehidupan manusia itu sendiri. Inilah yang akhirnya

mendorong timbulnya berbagai upaya yang harus dilalui manusia sehingga

akibatnya adalah perubahan kehidupan itu sendiri yang juga disebut sebagai

(7)

pola kerjanya dalam kegi atan sehari-harinya, dimana ideology hari ini harus lebih

baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini sebagai sumber

motivasi bagi manusia untuk melakukan perbaikan atas kinerjanya di dalam

menempuh apa yang diinginkan dan apa yang direncanakan ( dalam Setiadi, 2011)

2.2 Mobilitas Sosial

Menurut Horton dan Hunt (1987), mobilitas sosial dapat diartikan sebagai

suatu gerakan perpindahan dari suatu kelas sosial kelas sosial lainnya. Mobilitas

sosial bisa berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan

biasanya termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa

individu atau oleh keseluruhan anggota kelompok. Tingkat mobilitas sosial pada

masing-masing masyarakat berbeda-beda. Pada masyarakat yang bersistem kelas

sosial terbuka maka mobilitas sosial warga masyarakat akan cenderung tinggi.

Tetapi, sebaliknya pada sistem kelas sosial tertutup seperti masyarakat feodal atau

masyarakat bersistem kasta maka mobilitas sosial warga masyarakatnya akan

cenderung sangat rendah dan sangat sulit diubah atau bahkan sama sekali tidak ada

( dalam Narwoko, 2004).

2.2.1 Tipe-tipe Mobilitas Sosial

Sosiologi memandang mobilitas sosial sebagai salah satu gejala yang

ditujukan pada gerakan berpindahnya status sosial satu ke status sosial lainnya.

Gerakan sosial (social mobility) diartikan sebagai gerakan dalam struktur sosial

(social structure), yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi kelompok

sosial. Struktur sosial sendiri mencakup sifat-sifat dari hubungan antara individu

(8)

dalam penelitian ini dikaitkan dengan adanya perpindahan penduduk yang terkena

bencana Gunung Meletus, ke tempat pengungsian. Dalam hal ini struktur dan

sistem sosial yang sudah tertanam sebelumnya di tempat mereka berasal akan

mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang dahulunya

berkumpul dalam suatu sistem dan struktur yang sama berpencar. Ada penduduk

yang tinggal penggungsian, tinggal tempat saudara dan bahkan ada penduduk yang

sudah membuat tinggal baru di daerah lain. Hal ini menyebabkan stratifikasi sosial

yang sudah ada sebelumnya mengalami perubahan dan membentuk sistem yang

baru. Dalam hal ini, tipe-tipe gerakan sosial ada dua macam yaitu:

1. Gerakan sosial horizontal, yaitu peralihan individu atau objek-objek sosial

lainnya (tidak terjadi perubahan dalam derajat status seseorang ataupun objek sosial

lainnya).

2. Gerakan sosial vertikal, perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan

sosial yang satu kedudukan sosial lainnya dalam posisi yang tidak sederajat. Sesuai

dengan arahnya, dalam gerakan sosial vertikal ini dibedakan menjadi dua macam

yaitu;

2.1. Gerakan sosial naik (social climbing), gerakan sosial vertikal naik

mempunyai dua bentuk yaitu:

1. Masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan sosial rendah ke

posisi kedudukan sosial yang lebih tinggi. Contoh: Ibu Rika adalah seorang

guru Sosiologi di salah satu SMA. Karena memenuhi persyaratan, ia diangkat

menjadi kepala sekolah di SMA tersebut karena memenuhi persyaratan yang

(9)

2. Pembentukan suatu kelompok baru, pembentukan suatu kelompok baru

memungkinkan individu untuk meningkatkan kedudukan status sosialnya.

Contoh: pembentukan organisasi baru, dengan mengangkat diri menjadi ketua

organisasi, sehingga statusnya naik,

2.2. Gerakan sosial turun (social sinking), gerakan sosial vertikal menurun juga

dibedakan menjadi dua macam yaitu:

1. Turunnya kedudukan individu ke posisi atau kedudukan lain yang lebih

rendah derajatnya. Contoh: Dengan meletusnya Gunung Sinabung

Pembangunan Sembiring penyintas Gunung Sinabung mengalami stress karena

rumah dan lahan telah tertutup oleh abu vulkanik dan harta benda tidak ada

terselamatka, dan ia harus meninggalkan tempat tinggalnya karena meletusnya

Gunung Sinabung. Sehingga ia menggungsi dan tidak memiliki harta benda,

dengan keadan ini turunya kedudukan Pembangunan Sembiring karena tidak

ada lagi harta benda yang dia miliki ke posisi yang lebih rendah derajatnya.

2. Turunya derajat sekelompok individu dari suatu derajat atau posisi atau

kedudukan yang lebih tinggi ke posisi atau kedudukan yang lebih rendah. :

Dengan datangnya bencana ini penyintas Gunung Sinabung mengalami stres

yang sangat tinggi karena rumah dan lahan masyarakat penyintas Sinabung

telah tertutup oleh abu vulkanik dan harta benda masyarakat penyintas

Sinabung tidak ada yang tersisa. Masyarakat penyintas Sinabung harus

meninggalkan tempat tinggal mereka karena meletusnya Gunung Sinabung

(10)

masyarakat penyintas Sinabung ke posisi yang lebih rendah derajatnya karena

tidak memiliki harta benda mereka.

Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004) mencatat ada 2 faktor yang

mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern yaitu:

1. Faktor struktural, yakni jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan

harus diisi serta kemudian untuk memperolehnya. Ketidak seimbangan

jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan dengan jumlah pelamar

atau pencari kerja adalah termasuk faktor structural

2. Faktor individu, yakni orang per orang baik dari tingkat pendidikannya,

penampilannya, ketrampilan pribadi dan juga faktor kemujuran yang

berhasil mencapai kedudukan tersebut.

Sementara ada beberapa faktor penting yang justru menghambat mobilitas

sosial. Faktor-faktor penghambat itu antara lain sebagai berikut:

1. Kemiskinan

faktor ekonomi dapat membatasi sosial. Bagi masyarakat miskin mencapai

status sosial tertentu merupakan hal yang sangat sulit.

2. Diskriminasi kelas sistem kelas tertutup dapat menghalangi mobilitas

keatas, terbukti dengan adanya pembatasan keanggotaan suatu organisasi

tertentu dengan berbagai syarat dan kententuan.

3. Pembedaan ras dan agama dengan sistem kelas tertentu dapat

memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal keatas. Dalam agama tidak

dibenarkan sesorang dengan sebebas-bebasnya dan kehendak hatinya

(11)

4. Perbedaan jenis kelamin. Dalam masyarakat, pria di padang lebih tinggi

derajatnya dan cenderung menjadi lebih mobil dari pada wanita. Perbedaan

ini mempengaruhi dalam mencapai prestasi, kekuasaan, status sosial, dan

kesempatan-kesempatan dalam masyarakat.

5. Faktor pengaruh sosialisasi yang sangat kuat atau terlampau kuat dalam

suatu masyarakat dapat menghambat proses mobilitas sosial. Terutama

berkaitan dengan nilai-nilai dan adat yang berlaku.

6. Perbedaan kepentingan. Adanya perbedaan kepentingan antarindividu

dalam satu struktur organisasi menyebabkan masing-masing individu saling

bersaing untuk memperebutkan sesuatu.

Dampak mobilitas sosial dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu

dampak positif dan negatif. Dampak positif yaitu:

1 Mendorong sesorang untuk lebih maju. Terbukanya kesempatan untuk

pindah dari stara ke stara yang lain menimbulkan motivasi yang tinggi pada

diri seseorang untuk maju dalam berprestasi agar memperoleh status yang

lebih tinggi.

2 Mempercepat tingkat perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik

mobilitas sosial akan lebih mempercepat tingkat perubahan sosial

masyarakat ke arah yang lebih baik. Contohnya perubahan dari masyarakat

agraris ke masyarakat industri. Perubahan ini akan lebih cepat terjadi jika

didukung oleh sumber daya memiliki kualitas.

3 Meningkatkan intergrasi sosial. Mobilitas sosial dalam suatu masyarakat

(12)

dengan gaya hidup, nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh kelompok

orang dengan status sosial yang baru sehingga tercipta intergrasi sosial.

Dampak negatif yaitu:

1. Konflik antar kelas di masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial karena

ukuran-ukuran seperti kekayaan, kekuasaan, dan pendidikan. Dan apabila

terjadi perbedaan kepentingan antara kelas-kelas sosial yang ada di

masyarakat dalam mobilitas sosial maka akan muncul konflik antarkelas

2. Konflik antarkelompok sosial. Di masyarakat juga terdapat pula kelompok

sosial yang beragam diantaranya kelompok sosial berdasarkan ideologi,

profesi, agama, suku, dan ras. Bila salah satu kelompok berusaha untuk

menguasai kelompok lain atau terjadi pemaksaan, maka timbullah konflik

dalam suatu masyarakat.

2.3 Bencana Alam dalam Perspektif Sosiologi

Menurut United Nation Developmen Program (UNDP), bencana adalah

suatu kejadian yang ekstrim dalam lingkungan alam atau manusia yang secara

merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda, atau aktifitas sampai

pada tingkat yang menimbulkan bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam, mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat

yang disebabkan,baik oleh faktor non alam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian

harta benda dan dampak psikologis.

Bencana alam dapat mengakibatkan kerusakan pada bidang ekonomi, sosial

(13)

dampak dalam bidang sosial mencakup kematian, luka-luka, sakit, hilangnya

tempat tinggal dan kekacauan komunitas, sementara kerusakan lingkungan dapat

mencakup hancurnya hutan yang melindungi daratan. Salah satu bencana alam

yang paling menimbulkan dampak paling besar, misalnya Gunung Meletus Merapi

yang mengakibatkan banyak korban meninggal karena awan panas dan juga korban

pengungsian lainnya yang telah kehilangan banyak harta benda dan juga sanak

saudara mereka. Dampak bencana alam dibagi menjadi dua, yaitu

1. Dampak positif, yaitu:

a) Terjadinya distribusi keadilan ekonomi, dengan banyaknya sumbangan dari para dermawan.

b) Menguatkan solidaritas sosial.

c) Semakin terjadinya hubungan sosial antar tetangga.

d) Hasil erupsi abu vulkanik bisa di jadikan pupuk untuk menyuburkan tanah dalam jangka panjang, sehingga tanaman menjadi lebih subur menghasilkan penghasilan yang lebih tinggi.

e) Anak-anak penyintas lebih mengerti lagi terhadap orang tua dengan adanya bencana ini orang tua lebih sulit menghasilkan uang.

f) Lebih beradaptasi sesama pengungsi dan lebih mengenal dengan penggungsi Desa lain.

g) Dengan adanya bencana bisa menjadi sarana penyadaran kepada manusia untuk saling membantu satu sama lain.

h) Meningkatkan kerja sama sesama penyintas Sinabung.

2. dampak negatif, yaitu:

a) Merusak pemukiman warga akibat bencana.

b) Pepohonan dan tumbuhan yang ditanam warg a sekitar banyak yang layu, bahkan mati akibat debu vulkanik, begitu juga dengan ternak warga banyak yang mati akibat letusan Gunung Merap.i

c) Menyebabkan gagal panen pertanian warga. d) Matinya infrastruktur.

e) Terhentinya aktivitas mata pencaharian warga sekitar bencana sehingga terjadi penganguran.

f) Pemerintah harus mengeluarkan biaya yang tidak terduga untuk memperbaiki infrastruktur yang telah rusak akibat bencana.

g) Terhentinya industri pariwisata.

(14)

i) Menurunnya pendapatan.

j) Mengakibatkan anak sekolah berhenti.

k) Tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi.

Secara Sosiologi, adanya bencana menyebabkan perubahan sosial dalam

masyarakat. Bencana alam yang terjadinya umumnya akan memakan korban jiwa,

dalam hal ini banyak orang yang meninggal akibat bencana alam. Hal ini kemudian

mengakibatkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu wilayah. Bahkan penduduk

yang lain yang tidak menjadi penyintas bencana, juga merasa takut dan akan

meninggalkan wilayah bencana tersebut. Berkurangnya penduduk dan perpindahan

penduduk tersebut akan memunculkan sistem sosial yang baru dimasyarakat, yang

bertujuan memperbaiki keadaan pasca bencana. Bahkan stratifikasi sosial yang

dahulunya dipertahankan dalam suatu masyarakat sebelum bencana, dapat berubah

perlahan setelah bencana terjadi. Hal ini yang menarik bagi sosiologi untuk diteliti,

bagaiman sistem sosial yang bar terbentuk di masyarakat akibat adanya bencana

alam, dalam hal ini meletusnya Gunung Sinabung.

2.4.Persepsi Sosial

Menurut Thoha, Miftah (1992) Aspek sosial dalam persepsi memainkan

peranan yang amat penting dalam prilaku organisasi. Persepsi sosial adalah

berhubungan secara langsung dengan bagaimana seseorang individu melihat dan

memahami orang lain. Setiap orang akan memberikan persepsi yang berbeda

terhadap satu situasi yang sama karena banyak faktor yang mempengaruhi persepsi

seseorang. Secara sosiologis, persepsi sosial yang tajam akan mempengaruhi

individu untuk memahami realitas dirinya dan lingkungannya. Bagaimana persepsi

(15)

disini dikaitkan dengan paradigma fakta sosial yang disampaikan oleh Emile

Durkheim. Dimana persepsi sosial masyarakat disini dipengaruhi oleh keadaan

diluar diri individu yang bersifat memaksa.

Meletusnya Gunung Sinabung telah menimbukan masalah baru seperti tidak

ada mata pencaharian dan rumah sebagai tempat tinggal. Mereka yang tinggal

dipengungsian tidak memiliki kepastian tentang masa depannya, karena mereka

hanya menggantungkan hidupnya dari bantuan dermawan.Struktur dan sistem

sosial yang telah terbangun sejak lama, mulai mengalami perubahan seiring

masyarakat tinggal dipungungsian. Dalam hal ini menurut teori perspektif

struktural menyatakan bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang terdiri

atas bagian dan elemen yang saling berkaitan. Perubahan yang terjadi pada suatu

bagian akan menimbulkan perubahan terhadapa yang lain (dalam Ritzer,1992).

Permasalah yang timbul akibat adanya bencana gunung meletus

mencetuskan ide pemerintah untuk merelokasi pengungsi ke tempat yang jauh dari

Gunung Sinabung. Tujuannya adalah menjaga keteraturan masyarakat.

Sechermerdon dalam (Harliani, 2014) mendeskripsikan bahwa terdapat

faktor-faktor yang mempengaruhi pembentuka persepsi yang berasal dari tiga karekteristik

elemen persepsi sebagai berikut:

1. Pihak yang memberikan persepsi (The Perceiver), proses persepsi

dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu orang yang memberikan persepsi,

kebutuhan dan motivasinya, kepribadiaannya, nilai dan prilaku yang

dimilinya.

2. Konteks situasi atau karakteristik dari keadaaan yang sedang terjadi

(characteristics of the setting), yang terdiri dari konteks fisik, konteks sosial,

(16)

3. Karakteristik dari sesuatu yang sedang dipersepsipkan (The Perceived) baik

orang bendang, acara atau kegiatan dalam kondisi tingkat kekontrasan,

intensitas, ukuran pergerakan, pengulangan atau pembaharuan.

Menurut Thoha, Miftah (1992) karekteristik dari orang-orang yang menilai

perceiver adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui diri sendiri itu akan memudahkan melihat orang lain secara

cepat.

2. Karakteristik diri sendiri sepertinya bisa mempengaruhi ketika melihat

karakteristik orang lain.

3. Aspek-aspek yang menyenangkan dari orang lain sepertinya mampu dilihat

dari orang-orang yang merasa dirinya berlebihan.

4. Ketepatan menilai orang lain bukanlah ketepatan tunggal.

Adapun karakteristik dari orang-orang yang dinilai yaitu:

1. Status orang yang dinilai akan mempunyai pengaruh yang besar dari orang

yang menilai.

2. Orang-orang yang dinilai biasanya ditempatkan dalam kategori tertentu.

3. Sifat perangai dari orang yang dinilai akan memberikan pengaruh yang

besar terhadap persepsi orang lain.

Proses pembentukan persepsi secara keseluruhan terdiri dari faktor-faktor

yang mempengaruhinya, kemudian proses pembentukan persepsi dan akhirnya

terbentuk respon yang disebut persepsi. Tahapan dari proses pembentukan persepsi

di antaranya proses pemilihan dan perhatian terhadap informasi, organisasi

informasi, interprestasi informasi dan yang terakhir pengambilan informasi. Dalam

proses pembentukan persepsi ini, pemebrian informasi mengenai objek yang

dipersepsikan menjadi unsur yang penting karena akan sangat berpengaruh

terhadap proses organisasi dan interprestasi orang yang akan memberikan persepsi.

(17)

dipersepsiakan agar tidak terjadi distorsi informasi sehingga adanya penyimpangan

dalam memberikan persepsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi sendiri

yaitu konteksi situsi, karakteristik dari objek persepsi, dan karakteristik orang yang

melakukan persepsi, sehingga pada akhirnya terbentuklah suatu persepsi yang akan

menghasilkan respon berupa perasa pemikiran dan tindakan seseorang terhadap

suatu informasi.

Rencana pemerintah untuk merelokasi pemukiman penyintas Gunung

Sinabung akan membentuk suatu persepsi bagi masyarakat yang menjadi objek dari

rencana ini. Dihubungkan dengan tiga hal yang mempengaruhi persepsi, dalam

rencana ini perlu diketahui tiga hal, yaitu:

1. Kondisi dari masyarakat sebagai orang yang akan memberikan persepsi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan diantaranya kebutuhan masyarakat saat ini,

motivasi atau tujuan yang diinginkan masyarakat dan nilai sosial serta

prilaku yang dimiliki oleh masyarakat. Rencana relokasi yang dilakukan

oleh pemerintah seharusnya dapat sesuai dengan persepsi masyarakat

khususnya faktor internal individu yaitu menjawab kebutuhan masyarakat

itu sendiri.

2. Konteksi situasi yang dipengaruhi oleh konteksi fisik, konteks sosial dan

konteks organisasional. Konteks fisik yang mempengaruhi persepsi

masyarakat dalam rencana relokasi berkaitan dengan kondisi fisik dan

lingkungan tempat tinggal masyarakat. Aspek fisik yang mempenaruhi

terjadinya relokasi adalah terjadinya degradasi lingkungan berupa

peningkatan aktifitas gunung berapi dan mengakibatkan turunkan tingkat

(18)

mempengaruhi persepsi seseorang terhadap rencana relokasi. Kondisi sosial

yang terjadi di dalam masyarakat juga mempengaruhi seseorang terhadap

rencana relokasi. Selain ketika kondisi organisasional baik yang terdapat

dalam masyarakat maupun organisasi pemerintah juga mempengaruhi

terhadap persepsi masyarakat terhadap rencana relokasi pemukiman.

3. Karekteristik dari objek yang dipersepsikan, dalam hal ini objek yang

sedang dipersepsikan adalah rencana relokasi pemukiman jangka panjang

yang menjadi rencana pemerintah dalam menanggulangi bencana Gunung

Meletus.

2.5 Penanggulangan Bencana

Menurut Undang-Undang RI/No.24/2007, penanggulangan bencana di

Indonesia berlandaskan pada dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan

berasaskan pada kemanusiaan, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan, keseimbangan keselarasan keserasian, ketertiban dan kepastian

hukum,kebersamaan, kelestarian lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Penanggulangan bencana bertujuan sebagai berikut :

1. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak

diinginkan.

2. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu

bencana atau kejadian.

3. Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi

(19)

4. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya dampak bencana sehingga

korban dan penderitaan yang dialami dapat minimalisasi.

2.3.2 Asas penanggulangan bencana

Penganggulangan bencana merupakan kegiatan yang sangat penting bagi

masyarakat indonesia termasuk untuk kalangan industri beresiko

tinggi.Pelaksanaan penanggulangan bencana dilakukan berasaskan sebagai berikut:

1. Kemanusiaan

Aspek penaggulangan bencana memiliki dimensi kemanusiaan yang tinggi.

Korban bencana khususnya bencana alam akan mengalami penderitaan baik

fisik, moral maupun materi sehingga memerlukan dukungan tanggan dari

pihak lain agar bisa bangkit kembali. Penerapan manajemen bencana

merupakan usaha mulia yang menyangkut aspek kemanusiaan untuk

melindungi sesama.

2. Keadilan

Penerapan penggulangan bencana mengandung asas keadilan, yang berarti

bahwa penggulangan bencana tidak ada diskriminasi atau berpihak kepada

unsur tertentu. Pertolongan harus diberikan dengan asas keadilan bagi

semua pihak.

3. Kesamaan kedudukan dalam hukum pemerintahaan

Penaggulangan bencana mengadung asas kesamaan dalam hukum dan juga

dalam permerintahan, semua pihak harus tunduk kepada perundangan yang

berlaku dan taat asas yang ditetapkan.

(20)

Penggulangan bencana harus berasaskan keseimbangan, keselarasan dan

keserasian program yang dikerjakan untuk mengatasi bencana

memperhatikan keseimbangan alam, ekologis, sosial, budaya dan

lingkungan hidup. Upaya penggulangan bencana tidak berarti harus

mengorbankan kepentingan yang lain atau aspek kehidupan yang telah

dijalankan sehari-hari, menempatkan sebagai kekuatan untuk membangun

penanggulangan bencana.

5. Ketertiban dan kepastian hukum

Penggulangan bencana harus mempertimbangkan aspek ketertiban dan

kepastian hukum. Program dan penerapan penanggulangan bencana harus

melandaskan hukum yang berlaku dan ketertiban anggota masyarakat

lainnya.

6. Kebersamaan

Salah satu asas penting dalam penggulangan bencana adalah kebersamaan.

Masalah bencana tidak bisa di selesaikan secara partial atau hanya satu

pihak saja, harus melibatkan seluruh anggota masyarakat atau komunitas

yang ada. Tanpa ketelibatan dan peran serta, program penggulangan

bencana tidak akan berhasil dengan baik.

7. Kelestarian lingungan hidup

Penanggulangan bencana harus memperhatikan aspek lingkungan hidup

disekitarnya, benturan yang akan terjadi dalam menjalankan

penanggulangan bencana dengan aspek lingkungan. Untuk mencapai

keberhasilan, kelestrian lingkungan harus tetap terjaga dan terpelihara.

(21)

Penerapan penanggulangan bencana dilakukan secara ilmiah dan

memanfaatkan ilmu pengetahuan. Bencana sangat erat kaitannya dengan

berbagai displin ilmu pengetahuan seperti geolagi, geografi, lingkungan,

ekonomi, budaya, teknologi dan lainnya. Harus dimanfaatkan sesuai dengan

kebutuhan sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.

2.6 Relokasi Pemukiman sebagai Upaya penanggulangan Bencana Gunung Meletus

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang

penanggulangan Bencana pasal 47 mendefinisikan

1. Mitigasi adalah serangakaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatkan kemampuan

menghadapi ancana bencana pada kawasan rawan bencana.

2. Kegiatan mitigasi bencana sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

melalui:

a) Pelaksanaan penataan ruang.

b) Pengaturan pembangunan, pembangunan insfrastruktur, tata bangunan.

c) Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara

konvensional maupun modern.

Relokasi pemukiman merupakan salah satu bentuk penanggulangan bencana

yang sesuai dengan UU No.24 tahun 2007. Dimana, menurut Usamah dan Haynes

(22)

penanggulangan bencana dengan membuat pemukiman kembali pascabencana,

dimana pemukiman yang mengalami kerusakan akibat bencana dibangun kembali

di tempat yang sama atau di tempat lain agar terhindar dari resiko bencana.

Relokasi yang terjadi karena lokasi yang lama merupakan daerah bencana alam

disebut relokasi penyintas bencana dan relokasi tersebut dapat dilakukan secara

temporer maupun permanen.

Relokasi penduduk juga merupakan salah satu kebijakan yang biasa

dilakukan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana

alam, bahkan menjadi solusi yang populer dalam penanggulangan bencana.

Relokasi penyintas gunung meletus juga harus dipindahkan ke daerah lain yang

jauh dari kaki gunung.

Relokasi sering dilakukan sebagai tindakan untuk menghadapi fase recovery

atau rekontruksi. Akan tetapi relokasi pemukiman sementara dalam fase recovery

hanya akan menunda dan memperpanjang fase pemulihan. Untuk itu, relokasi

pemukiman permanen lebih baik dibandingkan sementara, jika bencana gunung

meletus terjadi terus menerus. Menurut Usamah dan Haynes dalam (Harliani, 2014)

beberapa faktor yang mempengaruhi proses relokasi akibat bencana adalah berikut:

1. Aspek sosial dan budaya, yang meliputi hubungan sosial dengan tetangga,

kerbat, ketersedian tempat berkumpul dan fasilitas lain yang mendukung

seperti di lingkungan tempat tinggal yang lama, serta jaminan terhadap

(23)

2. Aspek ekonomi, meliputi jarak antara lokasi lingkungan yang baru dengan

tempat bekerja, jaminan terhadap mata pencaharian, serta penggantian asset

dan bangunan

3. Aspek fisik dan lingkungan, yang mempengaruhi diantaranya ketersediaan

sarana dan prasaran lingkungan maupun kondisi geografis di lingkungan

baru.

4. Aspek kualitas dan konstruksi bangunan, seperti bahan bangunan yang

digunakan untuk membangun tempat tinggal yang baru, sistem instalansi di

dalam bangunan rumah, pemilihan lokasi tempat tinggal yang baru,

pemilihan tapak dan perencanaan desain pemukiman baru

5. Aspek proses pengambilan keputusan, yang melibatkan pastisipasi

masyarakat serta stakeholder lain yang berkepentingan serta proses

Referensi

Dokumen terkait

ةيموكحلا ةيملاسلإا اجيتلاس ةعماج ٕٓٔٛ.. بٔإ ةذاتسلأا ةفلأ بٌاكلايسوس تَتسجالدا ةسيئر مسق سيردت ةغللا ةيبرعلا ةعمابج اجيتلاس ةيملاسلإا ةيموكلحا ِ. اجيتلاس ةعمابج ؿكدلا

Hambatan yang dialami dalam Strategi Internalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Sebagai Penguatan Karakter Kewargaan Siswa SMP Negeri 3 Banguntapan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Besaran Uang Persediaan Pada Satuan Kerja

bahwa untuk mencapai daya guna dan hasil guna pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantul Tahun Anggaran 2016, perlu menunjuk Pengguna Anggaran,

Membuat laporan memang gampang- gampang susah, bagi pemula yang baru pertama kali mendapat tugas memang terasa membingungkan karena terdapat aturan yang mengatur dalam pembuatan

pembelajaran quantum learning dengan teknik mind mapping dengan yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional pada materi sistem ekskresi kelas VIII SMP Negeri

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan