• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

39

PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN

DALAM PERSPEKTIF KEMISKINAN BERKELANJUTAN

Iwan Setiajie Anugrah dan Erma Suryani

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstract

World Development Report of the World Bank indicates that investment in agricultural sector is the best strategy to reduce poverty in developing countries. WDR suggests that the growth in agricultural sector is an effective way to improve poor farmers’ income in rural areas. This paper aims to analyze the relationship between the growth of agricultural sector and efforts in poverty reduction in Indonesia. The study reveals that gross domestic product (GDP) of agricultural sector in Indonesia grew at 3.41 percent from 2004-2006, and absorbed 40.14 million employments. In the meantime, the growth of investment in the sector through domestic and foreign investment was 9.1and 30.6 percent, respectively. Agricultural development was implemented through 29 major activities, financed by the national development budget (APBN) amounting to IDR 8,789.62 billion in 2007. About 17 government institutions implemented various programs in poverty reduction theme, and spent substantial amount of budget. However, such considerable efforts were unable to significantly reduce the poverty level. Data of the Central Statistics Agency (BPS) shows that from 2004-2006 the incidence of poverty remain high especially in agricultural sector as compared to other sectors. Weak integration among various programs and agencies resulted in less efficiency and effective of its implementation. The study recommends that the growth of GDP in agricultural sector should be used as the main consideration in formulating policies and programs for poverty reduction.

Key words : development, growth, poverty

Abstrak

World Development Reeport (WDR) dari Bank Dunia, menyatakan bahwa investasi pada sektor pertanian merupakan cara terbaik untuk mengentaskan kemiskinan di daerah perdesaan negara-negara berkembang. WDR juga menyatakan bahwa pertumbuhan pertanian merupakan cara efektif untuk peningkatan pendapatan petani miskin di perdesaan. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan pertumbuhan pertanian dengan permasalahan kemiskinan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa PDB sektor pertanian Indonesia sampai dengan tahun 2006 mencapai pertumbuhan 3,41 persen dan memberikan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebesar 40,14 juta jiwa pada tahun yang sama. Sementara pertumbuhan investasi di sektor pertanian, melalui PMA dan PMDN, masing-masing sebesar 9,1 dan 30,6 persen dan pada tahun 2007. Pembangunan pertanian dimplementasikan melalui 29 kegiatan utama dengan dana RAPBN sebesar Rp. 8.789,62 milyar. Disisi lain besarnya perhatian pemerintah pada pembangunan pertanian dan perdesaan tidak diikuti penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan. Data BPS menunjukkan bahwa selama periode tahun 2004-2006, jumlah kemiskinan di perdesaan masih relatif tinggi untuk sektor pertanian dibandingkan sektor lainnya. Jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan di pedesan relatif besar. Kurang lebih 17 instansi pemerintah berpartisipasi pada upaya penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program kegiatan pembangunan. Dari gambaran tersebut, secara teoritis besarnya peningkatan PDB sektor pertanian, seharusnya menjadi dasar bagi pengurangan angka kemiskinan di sektor pertanian dan perdesaan, tetapi justru terjadi sebaliknya. Masih banyaknya perbedaan perhitungan penduduk miskin oleh beberapa instansi, secara keseluruhan mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi kemiskinan secara nasional.

Kata kunci : pembangunan, pertumbuhan, kemiskinan

PENDAHULUAN

World Development Report (WDR) terbaru yang dikeluarkan Bank Dunia, berkaitan dengan pembangunan pertanian serta masalah

(2)

sebagian berada di Asia, merupakan langkah vital bagi kesejahteraan 600 juta penduduk miskin yang hidup di negara-negara tersebut. Laporan dengan judul Agriculture for Develop-ment tersebut mengungkapkan bahwa dunia akan gagal mencapai target untuk mengurangi hingga setengah penduduk dunia dari tingkat kemiskinan dan kelaparan yang parah pada 2015, kecuali sektor pertanian dan perdesaan tidak diabaikan (Bisnis Indonesia, 2007).

Presiden Bank Dunia juga menegas-kan bahwa kemiskinan di perdesaan mencapai tingkat tinggi sebesar 82 persen dari total kemiskinan di negara-negara berkembang. Fo-kus yang lebih besar pada pertanian, menurut Presiden Bank Dunia sangat penting jika mem-pertimbangkan tekanan populasi, penurunan lahan pertanian, kelangkaan air, kontaminasi lingkungan dan kebutuhan untuk membangun daerah-daerah miskin tertinggal. Sebagai ilus-trasi dikemukakan bahwa antara 1995 dan 2003, di negara berkembang seperti China, India, Indonesia dan Thailand, pertanian mem-beri konstribusi rata-rata 7 persen terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB), kendati sektor tersebut mencakup sekitar 13 persen perekonomian dan memperkerjakan lebih dari separuh tenaga kerja (Bisnis Indonesia, 2007).

Bagian laporan lain menunjukkan ne-gara-negara tersebut, di mana 2,2 milyar pen-duduknya tinggal di perdesaan, pertumbuhan pertanian masih merupakan cara efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan. Menurut WDR, pertumbuhan PDB yang berasal dari pertanian merupakan empat kali lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan pertumbuhan PDB yang berasal dari luar sektor tersebut. Kehi-dupan petani tradisional dapat ditingkatkan me-lalui peningkatan produktivitas makanan pokok di daerah-daerah tertinggal.

Data empiris menunjukkan bahwa meskipun sektor pertanian memberikan sum-bangan yang besar dalam penciptaan kesem-patan kerja dan jaminan pendakesem-patan kepada masyarakat, namun ketidakseimbangan siste-mik masih sering terjadi pada kelompok masyarakat tani yang sebagian besar berada di perdesaan. Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh akses faktor produksi serta po-tensi dan kesempatan yang beragam, belum dapat mengurangi wajah kesenjangan antar

sektor, antar daerah, dan antar golongan ma-syarakat pada sektor pertanian. Implikasi dari kondisi demikian, membuat sebagian besar penduduk masih berada dalam kondisi ter-tinggal, sehingga pembangunan pertanian se-olah-olah hanya menguntungkan pelaku ke-giatan ekonomi pertanian yang lebih kuat. Hasil-hasil pembangunan pertanian, tidak serta merta dapat merembes ke bawah sehingga tidak mampu mengangkat kesejahteraan peta-ni, seperti yang diharapkan. Keadaan ini di-gambarkan oleh angka kemiskinan di perdesa-an yperdesa-ang masih besar, serta Nilai Tukar Petperdesa-ani (NTP) yang tidak seimbang dengan kegiatan ekonomi non pertanian.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka pembangunan pertanian harus ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat tani berkemam-puan dalam memantapkan proses perubahan struktur yang muncul dari kemampuan petani sendiri, sejalan dengan kebijakan pembangun-an pertpembangun-anipembangun-an untuk meletakkpembangun-an masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan

(people centered development), sekaligus me-rupakan penajaman arah baru pembangunan pertanian seiring dengan agenda reformasi pembangunan. Arah baru pembangunan perta-nian tersebut, ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui perkembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan masyarakat tani sendiri (Sumo-diningrat, 2000)

(3)

41 KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN

DAN CAPAIAN HINGGA 2006

Pada tahun 2006, pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM), telah menetapkan tujuh prioritas pembangunan nasional, meliputi: (1) Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan; (2) Peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor; (3) Revitalisasi per-tanian dan perdesaan; (4) Peningkatan aksesi-bilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan; (5) Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan reformasi birokrasi; (6) Pemantapan ke-amanan dan ketertiban dan penyelesaian kon-flik; (7) Rehabilitasi dan restrukturisasi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias (Pikiran Rakyat, 2005). Dari tujuh prioritas pem-bangunan nasional tersebut, perhatian peme-rintah terhadap permasalahan kemiskinan dan penanggulangannya melalui pengurangan ke-senjangan, telah menjadi prioritas penting dalam pembangunan nasional, sehingga tema pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Presiden adalah poor, growth, dan pro-employment, dengan fokus untuk

menghasil-kan sinergitas dan konsistensi kegiatan-kegiat-an pokok kegiatan-kegiat-antara pemerintah pusat dkegiatan-kegiat-an daerah berdasarkan pada tujuh prioritas pembangunan sebagai pokok bahasannya.

Di sektor pertanian, agenda pemba-ngunan nasional selain difokuskan pada pe-nanggulangan kemiskinan, pengurangan ke-senjangan dan peningkatan kesempatan kerja, inventarisasi dan ekspor, perhatian juga difokuskan pada agenda revitalisasi pertanian dan perdesaan. Pembangunan pertanian harus mampu menciptakan kesempatan kerja, dan mengentaskan kemiskinan, mengingat sampai saat ini sektor pertanian selain memberikan lapangan pekerjaan yang cukup besar juga memberikan kontribusi pada laju pertumbuhan perekonomian nasional.

Pertumbuhan produk domestik brutor (PDB) pertanian terhadap pembangunan per-ekonomian nasional hingga tahun 2006, terus meningkat hingga mencapai 3,41 persen yang diperoleh dari pertumbuhan PDB subsektor perkebunan, peternakan serta subsektor tana-man pangan.

Sementara tingkat penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hingga tahun 2006

men-Tabel 1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Pertanian 2000-2006

Pertumbuhan (%)

Sektor

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertanian luas Pertanian sempit

a. Pangan Sumber : - Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2007

- Biro Pusat Statistik, 2006

Tabel 2. Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Periode 1999 – 2006 di Indonesia (juta orang)

Bekerja Pengangguran terbuka

Tahun

Pertanian Non pertanian Total keluarga

Total angkatan

kerja Jumlah (%) Sumber : - Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 2007

(4)

capai 40,14 juta orang. Pada Tabel 2 terlihat bahwa total angkatan kerja hingga tahun 2006 mencapai 105,39 juta orang, sehingga jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2006 men-capai 20,27 persen setara dengan 10,93 juta orang.

Dari Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa per-tumbuhan sektor pertanian yang cukup tinggi, telah memberikan peluang untuk penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sebanyak 38,09 persen dari total angkatan kerja tahun 2006. Jumlah yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2006 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2005, sementara di sektor non pertanian terjadi sebaliknya. Namun de-mikian sektor pertanian masih tetap menjadi andalan penciptaan tambahan kesempatan kerja dalam jumlah yang cukup besar.

Berdasarkan laporan Departemen Per-tanian dalam buku ”Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2006”, disampaikan bahwa PDB sektor pertanian pada tahun 2006 tumbuh dengan sangat mengesankan dibandingkan pada tahun sebelumnya dan lebih tinggi dari pada tahun 2004 dan 2005. Hampir seluruh subsektor pertanian mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dari tahun sebelumnya. Subsektor tanaman pangan mengalami per-tumbuhan (2,89%), perkebunan (5,12%) dan peternakan (3,99%). Kenaikan pada subsektor tanaman pangan didorong oleh kenaikan pro-duksi padi, komoditas subsektor perkebunan terkait dengan peningkatan ekspor dan per-baikan harga komoditas perkebunan dunia. Sementara pada subsektor peternakan, kenaik-an PDB disebabkkenaik-an pulihnya kondisi konsumen untuk mengkonsumsi produk peternakan ung-gas.

Pertumbuhan PDB sektor pertanian didukung adanya pertumbuhan investasi di sektor pertanian yang mengalami kenaikan se-lama periode 2005-2006. Investasi PMDN dan PMA pada tahun 2005, masing-masing me-ningkat 9,0 dan 15,0 persen dibanding 2004 dan pada tahun 2006 masing-masing menjadi 30,6 dan 9,1 persen. Disamping investasi, hing-ga bulan Agustus 2006 proyek investasi PMDN dan PMA meningkat masing-masing 38,64 dan 87,63 persen. Dari keseluruhan peningkatan tersebut memberikan fakta terhadap pening-katan pertumbuhan PDB sektor pertanian.

Perkembangan pembangunan pertani-an dari sisi kinerja produksi pertpertani-anipertani-an seperti

padi pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 110.030 ton (0,95 persen) atau men-capai 54.663,594 ton dibanding tahun 2005. Peningkatan produksi jagung melalui benih hib-rida berhasil meningkatkan produktivitas sebe-sar 0,47 persen. Produksi kacang dan umbi-umbian sekalipun belum optimal tetapi telah menunjukkan pencapaian produksi yang cukup baik. Produksi nasional buah-buahan juga me-ngalami peningkatan 9,34 persen menjadi 16.168.000 ton (angka sasaran). Produksi sayuran mengalami peningkatan 0,46 persen menjadi 9.101.987 ton pada tahun 2005 dan diperkirakan meningkat 6,5 persen pada tahun 2006 menjadi 9.700.000 ton. Peningkatan produksi komoditas perkebunan juga terjadi pada periode Oktober 2005-2006 sebesar 7,76 persen. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi ternak, produksi daging, telur dan susu, masing-masing 13,94 persen, 7,83 persen dan 7,77 persen (Departemen Perta-nian, 2007).

Secara keseluruhan, capaian pertum-buhan sektor pertanian pada tahun 2006 yang mencapai 3,50 tersebut tidak terlepas dari keberhasilan tiga program Departemen Perta-nian, yaitu: (1) Peningkatan ketahanan pangan; (2) Pengembangan agribisnis yang pada inti-nya berupaya mendorong peningkatan daya saing, efisiensi dan penciptaan nilai tambah bagi petani; dan (3) Peningkatan kesejahteraan petani, dalam menciptakan kondisi berusaha dan mendorong partisipasi petani, pedagang serta pelaku lainnya yang terkait dengan pe-ningkatan kapasitas dan kualitas produksinya.

(5)

43 PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN

REALITAS KEMISKINAN PERDESAAN

Mengangkat kemiskinan menjadi suatu prioritas pembangunan, nampaknya merupa-kan hal yang sangat tepat. Pembangunan yang tidak dikaitkan dengan kemiskinan akan me-nimbulkan peluang munculnya permasalahan-permasalahan jangka pendek dan jangka panjang yang akan membahayakan proses dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri.

Pembangunan pertanian sebagai salah satu dasar bagi pembangunan nasional, nam-paknya tidak hanya cukup puas menjadi sektor yang berperan tangguh pada persoalan-per-soalan pembangunan perekonomian semata. Walau dalam masa krisis ekonomi dan moneter menunjukkan pertumbuhan yang positif dian-tara sektor-sektor lain yang terus menurun, namun lebih dari itu peran dan fungsi sektor pertanian sebagai leading sector perekonomian saat ini masih dihadapkan pada berbagai per-soalan, sejalan dengan perubahan dan tun-tutan pembangunan secara keseluruhan.

Para pemerhati masalah pembangun-an pertpembangun-anipembangun-an, mengkritisi juga perubahpembangun-an para-digma pembangunan pertanian di Indonesia sejak tahun 1970 dalam kerangka perubahan paradigma pembangunan ekonomi kapitalis yang bertumpu pada modal besar, dimana kerangka pembangunan sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai pondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) dalam upaya untuk mendorong dan men-sukseskan sektor industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Perkembangan kebijakan pelaksanaan dan paradigma pembangunan, terjadi kecen-derungan bahwa kelahiran faham ideologi ekonomi kapitalis yang dijalankan pada kebija-kan selanjutnya, cenderung melaksanakebija-kan pembangunan pertanian dengan cara jalan pintas (by-pass approach) yaitu revolusi hijau tanpa reforma agraria sehingga dengan ada-nya perubahan paradigma tersebut mencipta-kan missing link dalam pelaksanaan pemba-ngunan pertanian dari satu periode ke periode lain. Pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh tetapi direduksi sebagai sekedar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Sementara tanah sebagai alas pemba-ngunan pertanian tidak dianggap sebagai faktor amat penting. Pada waktu itu data

menunjukkan bahwa sejak sepuluh tahun ter-akhir (1993-2003) jumlah petani yang mengua-sai lahan kurang dari 0,5 Ha (baik milik, sewa, dan bagi hasil) terus meningkat 2,39 persen per tahun, dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga atau dengan kata lain persentase rumah tangga petani gurem (tanpa lahan) terhadap rumah tangga pengguna lahan meningkat dari 52,7 persen pada tahun 1993 menjadi 56,5 persen pada tahun 2003 (Rusastra et al., 2007)

Hasil penelitan di tingkat mikro di bebe-rapa desa, memperjelas keterkaitan antara ke-pemilikan lahan, tingkat kemiskinan dan kera-wanan pangan dimana kelompok masyarakat paling miskin dan rawan pangan di perdesaan adalah petani gurem dan buruh tani yang sekaligus mengindikasikan semakin miskinnya petani di perdesaan.

Terlepas dari polemik untuk mencari keabsahan dalam metode dan alat dalam penentuan "orang miskin", secara nyata terlihat bahwa berdasarkan perhitungan BPS, persen-tase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen dengan jumlah penduduk yang lebih besar yaitu 37,4 juta orang. Bahkan berdasar-kan angka Badan Koordinasi Keluarga Beren-cana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga pra sejahtera dan sejahtera I) pada tahun 2001 saja sudah mencapai 52,07 persen atau lebih dari setengah jumlah keluarga di Indonesia. Angka-angka ini mengindikasikan bahwa prog-ram-program penanggulangan kemiskinan se-lama ini belum berhasil mengatasi kemiskinan di Indonesia. Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 (data BPS 2003) mencapai 37,3 juta orang atau sekitar 17,4 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2003. Tabel 3 menunjukkan per-kembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia periode 1976-2006.

(6)

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia tahun 1976-2006 Berdasarkan Daerah Perkotaan dan Daerah Perdesaan

Jumlah penduduk miskin (jutaan) Persentase (%) Tahun Daerah

perkotaan

Daerah

perdesaan Jumlah

Daerah perkotaan

Daerah

perdesaan Jumlah

1976 10 44,2 54,2 38,8 40,4 40,1

1978 8,3 38,9 47,2 30,8 33,4 33,3

1980 9,5 32,8 42,3 29,0 28,4 28,6

1981 9,3 31,3 40,6 28,1 26,5 26,9

1984 9,3 25,7 35,0 23,1 21,2 21,6

1987 9,7 20,3 30,0 20,1 16,4 17,4

1990 9,4 17,7 27,2 16,8 14,3 15,1

1996 7,2 15,3 22,5 9,7 12,3 11,3

1999 15,6 32,4 48,0 19,3 26,1 23,4

2000 12,3 26,4 38,7 14,6 22,4 19,1

2001 8,6 29,3 37,9 9,8 24,8 18,4

2002 13,3 25,1 38,4 14,5 21,1 18,2

2003 12,3 25,1 37,3 13,6 20,2 17,4

2004 11,4 24,8 36,1 12,1 20,1 16,7

2005 12,4 22,7 35,1 11,4 19,5 15,97

2006 14,3 24,8 39,1 13,4 21,9 17,8

Sumber: - Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990. Biro Pusat Statistik 1992 - Irawan dan Romjati, 2000

- Data dan Informasi Kemiskinan tahun 2003. Buku I: Provinsi. Badan Pusat Statistik 2003 - Biro Pusat Statistik, 2006

0 10 20 30 40 50 60 70

2000 2001 2002 2003 2004

Tahun

%

Tdk. Bekerja Pertanian Industri Jasa

(7)

45 Berdasarkan lapangan pekerjaan

utama, baik yang dilakukan oleh kepala ru-mah tangga maupun secara individu pendu-duk bahwa persentase pendupendu-duk miskin pa-da sektor pertanian mencapai diatas 50 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di lapangan peker-jaan lainnya.

Berdasarkan data BPS (2004) bahwa penyebaran penduduk miskin berdasarkan lapangan pekerjaan pada 30 provinsi yang ada selama ini, menunjukkan bahwa pendu-duk yang bekerja di sektor pertanian lah yang menempati persentase cukup besar dibanding-kan dengan sektor pekerjaan lainnya. Sebaran penduduk miskin yang bekerja di sektor per-tanian menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 4.

INTROSPEKSI DAN PEMIKIRAN KE DEPAN

Permasalahan kemiskinan perdesaan secara spesifik dalam kegiatan pertanian sa-ngat beragam berdasarkan agroekosistem maupun usahatani yang dilakukan maka upaya kearah pemahaman akar kemiskinan itu sendiri merupakan prasyarat utama dan penting untuk dilakukan. Adanya kecenderungan pemaksaan program-program pengentasan/penanggulang-an kemiskinpengentasan/penanggulang-an ypengentasan/penanggulang-ang bersifat general dimpengentasan/penanggulang-ana semua permasalahan kemiskinan dianggap sa-ma pada setiap daerah/agroekosistem, sudah saatnya tidak dijadikan alat untuk mempercepat

upaya pengentasan secara nasional dan tidak lagi populis untuk dilakukan pada upaya pembangunan ke depan. Konsep pemberdaya-an dpemberdaya-an model partisipatif ypemberdaya-ang bersifat bottom up dimana masyarakat petani sebagai subjek kemiskinan sudah sepantasnya diakomodasi-kan dalam perencanaan-perencanaan pemba-ngunan pertanian di masa yang akan datang

melalui hasil analisis kebutuhan petani/masya-rakat miskin itu sendiri, lingkungan agro-ekosistem serta lingkungan luar lain yang men-dukung akses pembangunan wilayah miskin.

Berdasarkan distribusi penduduk mis-kin di sektor pertanian, menunjukkan bahwa penduduk miskin pada subsektor tanaman pangan mencapai 75 persen, kemudian per-kebunan dan kehutanan 13 persen, peternakan 5 persen dan perikanan 7 persen (BPS, 2006).

Adanya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan ke daerah kabu-paten dan kota, hendaknya dijadikan media untuk lebih mendekatkan dan menjelaskan kondisi akar kemiskinan yang sebenarnya pada setiap daerah otonom sehingga dapat melan-jutkan tindakan penanggulangan kemiskinan yang terarah, mengingat kajian secara spesifik tentang permasalahan kemiskinan yang di-hadapi nampaknya akan lebih efektif melalui akurasi data riil di tingkat mikro, sebagai upaya awal untuk membenahi sekaligus mendorong agar tindakan yang dilakukan bisa lebih efektif dan mengenai sasaran.

Mengingat kemiskinan bukan hanya merupakan permasalahan individual maka pro-Tabel 4. Proporsi Penduduk Miskin Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja di Sektor Pertanian Menurut Provinsi

Proporsi (%)

< 50 50 - < 60 60 - < 70 70 - < 80 80 - < 90 Babel Riau Maluku Utara Bengkulu NTT DKI. Jakarta Jatim Lampung Kalbar Papua

Jawa Barat Sulut Sumsel Kalteng

DI. Yogyakarta NTB Maluku Utara Sultra

Banten Kaltim Sulteng

Bali Sumbar Kalsel

Jateng Gorontalo

Jambi

Sulsel

Aceh

Sumut

(8)

ses perencanaan pengentasannya juga tidak hanya secara individual, tetapi lebih ke arah penanganan secara massal/agroekosistem da-lam tatanan yang dapat memberikan motivasi kearah pemberdayaan, bukan pada bantuan sesaat yang lebih banyak mengakibatkan ke-tergantungan, sehingga tidak berdampak pada penguatan ekonomi lokal/masyarakat miskin itu sendiri. Kecenderungan program kemiskinan sebagaimana telah banyak dilakukan selama ini, nilai politis bantuan dan program terkesan lebih dominan dibandingkan dengan aspek ekonomis dan strategis, walaupun tentunya pola tersebut masih akan memerlukan waktu yang amat panjang untuk mencapai tujuan dibandingkan dengan program-program yang bersifat instant, tanpa dapat menumbuhkan kemandirian sosial masyarakat yang menjadi sasaran kompensasi dana penanggulangan itu sendiri.

Ketidaksepakatan yang paling menon-jol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya bukan terletak pada penerapan ukuran kemiskinan itu. Bukan pada indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penye-babnya seseorang atau sekelompok menjadi orang miskin dan faktor-faktor penyebabnya. Upaya menjawab pertanyaan tersebut, berba-gai ilmuwan dan kalangan pemerintahan mem-berikan penjelasan yang berbeda, bahkan secara diametral, sehingga rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemis-kinan berbeda. Dengan demikian, tentunya implikasi yang muncul dari implementasi prog-ram penanggulangan kemiskinan juga akan berbeda (Rajab, 2004).

Nampaknya pemahaman dan kriteria tentang batasan kemiskinan yang khusus ber-dasarkan kondisi pertanian secara spesifik sudah saatnya dipikirkan agar penanganan masalah kemiskinan di sektor pertanian bisa lebih terarah dan pasti. Restrukturisasi terha-dap data kemiskinan di sektor pertanian de-ngan segala batasan-batasan yang riil di ting-kat petani, nampaknya perlu ditinjau kembali dalam upaya membenahi langkah konkrit yang akan diambil oleh pengambil kebijakan. Hal ini penting untuk penanggulangan sekaligus pe-ngentasan melalui pemberdayaan masyarakat secara partisipatif di tingkat petani dapat terwujud dan mengenai sasaran, dan pada akhirnya tujuan untuk membantu mengikis jum-lah kemiskinan di tingkat petani secara ber-tahap bisa berkurang. Dengan demikian secara

bertahap pembangunan pedesaaan yang ber-tumpu pada masyarakat pertanian terus berkembang pada kemampuan yang mandiri. Konsep pemberdayaan nampaknya akan lebih berharga menciptakan ekonomi rakyat dari pada menciptakan ketergantungan pada ber-bagai bantuan.

PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Sebagaimana diketahui, penanggula-ngan kemiskinan telah lama dilakukan sejalan dengan munculnya permasalahan kemiskinan. Berbagai program tersebut telah dilakukan ber-bagai instansi pemerintah dengan jumlah dana yang relatif besar. Sebagai contoh berdasarkan data lima tahun yang lalu, pada tahun 2002 (Bina Desa No.88/Maret/2002) secara keselu-ruhan pemerintah waktu itu menganggarkan dana sebesar Rp 16,541 triliun untuk penang-gulangan kemiskinan yang akan disalurkan melalui 16 departemen dan instansi pemerin-tah. Dana tersebut akan mencakup 69 program dengan rincian bahwa 16 program untuk pe-nanggulangan kemiskinan, 33 program reguler, 13 crash program dan 8 untuk program lainnya. Pada waktu itu (2002) program-program tadi ditujukan untuk mengurangi jumlah kemiskinan sebesar 2,77 juta jiwa dan mempunyai sasaran hingga tahun 2004. Dengan pengurangan angka kemiskinan per tahun 2,27 juta jiwa, sehingga angka kemiskinan selama tiga tahun dapat ditekan 8,3 juta jiwa. Beberapa depar-temen dan instansi serta besaran alokasi dana program kemiskinan T.A. 2002 disajikan pada Tabel 5.

Program penanggulangan kemiskinan yang dicanangkan pada tahun 2007-2009 me-lalui Program Nasional Pemberdayaan Masya-rakat Mandiri (PNPM-Mandiri) Menko Kesra, dengan orientasi 2827 kecamatan (2007), 3800 kecamatan (2008), dan 5263 kecamatan (2009), membutuhkan anggaran sebesar Rp 32,06 triliun. Program tersebut diwujudkan da-lam program PPK untuk 21,92 juta orang atau 5,46 juta KK miskin dan P2KP, dengan jang-kauan 10 juta orang atau 2,5 juta KK miskin (Royat, 2007).

(9)

47 seperti P4K, Delivery, P2LK, Pidra, PK2PM,

Poor Farmers (PFI3P/P4UM), PKMP, LUEP, Primatani dan program lainnya. Program-prog-ram tersebut dirancang untuk dapat langsung memberdayakan para petani miskin di perdesa-an, dengan berbagai pendekatan masing-ma-sing (Harniati, 2007).

Program penanggulangan kemiskinan dalam implementasinya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga telah banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh LSM Bina Swadaya diantara-nya: (1) Peningkatan kapasitas aparat pemerin-Tabel 5. Alokasi Dana Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Instansi, Tahun Anggaran 2002

Instansi Besaran dana (Rp) Departemen

Pendidikan Nasional Departemen Kesehatan Departemen Sosial BKKBN Bulog Kimpraswil Depdagri dan Otda

Kementerian KUKM Departemen Kelautan dan Perikanan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Biro Pusat Statistik

Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Departemen Agama Bappenas Departemen Pertanian Departemen Perindustrian dan

Perdagangan

2,003 triliun 1,219 triliun 1,109 triliun 1,370

triliun 4,697

triliun 3,115

triliun 1,145

triliun 290,040

milyar 98,225

milyar 4,000 milyar 7,088 milyar

593,284

milyar 29,702 milyar

326,469

milyar 425,000

milyar 61,096 milyar 43,909 milyar

Total alokasi dana pada tahun 2002

16,541 triliun

(10)

tah dalam program-program penanggulangan kemiskinan; (2) Peningkatan peran corporate

melalui program CSR; (3) Peningkatan kapa-sitas kelembagaan lokal masyarakat; dan (4) Penyediaan fasilitas kredit mikro melalui lemba-ga keuanlemba-gan mikro (Hermantyo et el., 2007 dan Irawati, 2007). Dari keseluruhan program penanggulangan kemiskinan tersebut, diharap-kan pengentasan kemiskinan khususnya pada sektor pertanian dan kemiskinan di perdesaan secara bertahap dapat mencapai sasaran, se-hingga jumlah masyarakat miskin di perdesaan yang sebagian besar dialami oleh para petani dapat berkurang.

KESIMPULAN

Keseluruhan uraian di atas hanya memperhatikan kondisi pengentasan kemiskin-an dalam arti kuratif, artinya tidak memper-soalkan penyebab kemiskinan terjadi. Dalam kaitan ini masih sulit diharapkan menjadi acuan dan memberikan kontribusi dalam pencegahan terjadinya kemiskinan. Sebaliknya, pemerintah memiliki peran yang sangat besar. Banyak ke-bijakan pemerintah yang secara nyata mengu-rangi jumlah orang miskin, tetapi tidak sedikit kebijaksanaan pemerintah juga yang justru mengakibatkan terjadinya proses kemiskinan. Kebijakan seperti ini perlu dikaji secara kritis agar upaya pengentasan kemiskinan dapat maksimal.

Peningkatan persentase kenaikan PDB sektor pertanian masih diikuti dengan jumlah penduduk miskin (perdesaan). Hal ini bertolak belakang dengan pandangan ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Disamping itu, adanya per-bedaan jumlah dan perhitungan penduduk mis-kin dari beberapa instansi, masih mengindikasi-kan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil menga-tasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Per-tama, program-program penanggulangan ke-miskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Faktor kedua, adalah kurangnya pema-haman berbagai pihak tentang penyebab ke-miskinan itu sendiri, sehingga

program-prog-ram pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama untuk perencanaan lokal. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi pendekatan ekono-mi saja, tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran, sangat diperlu-kan untuk memastidiperlu-kan keberhasilan pelaksana-an serta pencapaipelaksana-an tujupelaksana-an atau sasarpelaksana-an dari kebijakan dan program penanggulangan kemis-kinan, baik di tingkat nasional, kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab, proses terjadinya ke-miskinan atau peke-miskinan dan indikator-indi-kator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti (tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekono-mi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antro-pologi dan lainnya) perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di dae-rahnya. Hal yang sama juga harus segera dila-kukan di sektor pertanian, agar tercipta sistem penanggulangan kemiskinan yang benar-benar nyata berdasarkan akar kemiskinan yang sebenarnya terjadi di sektor pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Jakarta.

BPS. 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003. Buku I : Provinsi dan Buku 2 : Kabupaten. Jakarta.

BPS. 2004. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2004. Buku I : Provinsi dan Buku 2 : Kabupaten. Jakarta.

(11)

49 Departemen Pertanian. 2007. Kinerja

Pemba-ngunan Sektor Pertanian 2006.Jakarta. Harian Bisnis Indonesia, edisi November 2007. Sektor Pertanian Kunci Pengentasan Kemiskinan.

Harian Pikiran Rakyat, edisi 14 April 2005. Tujuh Prioritas Pembangunan 2006. Harniati. 2007. Program-program Sektor

Perta-nian yang Berorientasi Penanggu-langan Kemiskinan. Materi Sekretaris Badan Pengembangan SDM Pertanian pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Pe-nanggulangan Kemiskinan, Diseminar-kan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Hermantyo, A Irawati. 2007. Pengalaman LSM Dalam Pendampingan dan Pemberda-yaan Keluarga Miskin. Materi LSM Bina Swadaya pada Seminar Nasional : Me-ningkatkan Peran Sektor Pertanian Da-lam Penanggulangan Kemiskinan, Diseminarkan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Per-tanian. Bogor.

Irawati, AH. 2007. Pengalaman LSM Dalam Pendampingan dan Pemberdayaan Keluarga Miskin. Materi pada Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Ke-miskinan di Bogor 21 Agustus 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Irawan P.B dan H Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya Untuk Stra-tegi Pembangunan. Prosiding Widya-karya Nasional Pangan dan Gizi VII, di Jakarta 29 Februari – 2 Maret 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2007. Penanggulangan Ke-miskinan dan Pengangguran di Per-desaan. Materi Presentasi Kepala Pu-sat pada Rapat Kerja Departemen

Pertanian, tanggal 12 Januari 2007 di Sukabumi.

Rajab, Budi. 2004. Akar Kemiskinan dan Pe-nanggulangannya. Harian Pikiran Rak-yat, edisi Sabtu 30 Oktober 2004. Bandung

Royat, Sujana. 2007. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangan Kemiskinan. Materi Assisten Deputi Menko Kesra Bidang Penanggulangan Kemiskinan pada Seminar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Pe-nanggulangan Kemiskinan, tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, De-partemen Pertanian. Bogor.

Rusastra, I W., M Ariani dan H.P.S. Rachman. 2006. Tingkat Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan Petani di Perdesaan. Materi Seminar Internal, Kinerja Pembangunan Pertanian 2006 dan Prospek 2007 dilaksanakan di Bogor, 3-4 Oktober 2006. Pusat Ana-lisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Rusastra, I W. dan T.A Napitupulu. 2007. Karakteristik Wilayah dan Keluarga Miskin di Perdesaan. Materi pada Se-minar Nasional : Meningkatkan Peran Sektor Pertanian Dalam Penanggu-langan Kemiskinan, Diseminarkan tanggal 21 Agustus 2007 di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Rusastra, I W., M. Ariani dan H.P.S. Rachman. 2007. Kesejahteraan dan Pemikiran Penanggulangan Kemiskinan Petani. Prosiding Kinerja dan Prospek Pemba-ngunan Pertanian Indonesia. Kedi Suradisastra et al. (ed.). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Perta-nian. Bogor.

Gambar

Tabel 1. Persentase Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Sektor Pertanian 2000-2006
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia tahun 1976-2006 Berdasarkan Daerah Perkotaan dan Daerah Perdesaan
Tabel 4.  Proporsi Penduduk Miskin Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja di Sektor Pertanian Menurut Provinsi
Tabel 5.  Alokasi Dana Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Instansi, Tahun Anggaran 2002

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian deskriptif, yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi lebih terperinci dengana cara

yang dilakukan pada pengemudi kendaraan bermotor sebuah perusahaan swasta, menyatakan bahwa peran teman kerja memiliki hubungan dengan perilaku dalam hal ini praktik

Tujuannya agar pegawai menyadari bahwa disiplin kerja berlaku untuk semua pegawai dengan sanksi pelanggaran yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.. Menurut Hasibuan

Nahhhh hati2 pada langkah kali ini, ingat registry bkn sembarang edit/hapus, jika anda mengikuti langkah2 yg akan saya berikan nanti mohon utk membackup file registry yg

Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang

Tuberkulosisi pada kehamilan adalah penyakit infeksi pada paru yang di sebabkan oleh mycobacterium tuberculosis,yang berkembang biak di dalam bagian tubuh

Modulus elastisitas batuan utuh dan modulus deformasi massa batuan dari contoh batulempung dan batubara Formasi Tanjung Kalimantan Selatan telah berhasil diprediksi

Berdasarkan perhitungan analisa produktifitas dengan penerapan penambahan sumber daya alat dan tenaga kerja dengan waktu jam kerja normal selama 8 jam kerja, maka