• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengamati Permasalahan Kemiskinan di Ind

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengamati Permasalahan Kemiskinan di Ind"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Mengamati Permasalahan Kemiskinan di Indonesia dari Sudut

Pandang Struktural dan Kultural

LITERATURE REVIEW

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Penulisan Akademik

Oleh:

Hardian Relly Prabowo

NIM. 14/364861/SP/26239

JURUSAN MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)

Literature Review

Mengamati Permasalahan Kemiskinan di Indonesia dari Sudut Pandang

Struktural dan Kultural

Sebuah persoalan bangsa yang menjadi masalah abadi dan selalu dibahas dalam setiap pemerintahan yang berkuasa adalah kemiskinan. Sudah berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun belum banyak membuahkan hasil. Disini bukan hanya pemerintah saja yang berusaha memberantas kemiskiknan, tapi ada pula lembaga-lembaga swasta dan relawan dari organisasi-organisasi tertentu. Fokus pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan menurunkan jumlah penduduk miskin. Usaha pemerintah dalam mengatasi pemerintah dengan tolak ukur penurunan jumlah penduduk miskin dapat terbukti, seperti yang dapat digambarkan oleh grafik 1 di bawah ini:

Grafik 1. Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) 10 Tahun Terakhir

Ju

Grafik diatas menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan. Penurunan jumlah penduduk miskin inilah yang sering digunakan oleh pemerintah sebagai ukuran keberhasilan usaha memberantas kemiskinan. Apabila kita melihat data tersebut, pemerintah jangan berpuas diri terlebih dahulu. Pemerintah harus memiliki data pembanding lain yang menggambarkan kemiskinan lebih nyata. Salah satu data pembanding yang dapat digunakan adalah data indeks gini yang merupakan ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui distribusi pendapatan di masyarakat. Kisaran Indeks Gini adalah dari 0 sampai 1. Angka 0 menunjukan distribusi pendapatan sangat merata dan angka 1 menunjukan ketimpangan sempurna. Gambaran ketimpangan pendapatan di Indonesia

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) http://bps.go.id/tab_sub/view.php? kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=7

(3)

dapat dilihat pada

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.91

0.36 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41

Grafi k 2. Indeks Gini Indonesia 2007-2013

g rafik 2 di bawah ini:

Grafik diatas menunjukan angka dari indeks gini yang semakin naik. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi kenaikan tingkat ketimpangan dalam distribusi pendapatan di masyarakat. Kebijakan pemerintah yang dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di Indonesia, ternyata tidak dapat menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan sehingga kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin besar. Jadi, harus ada faktor lain yang harus diperhatikan selain faktor ekonomi dalam membuat kebijakan menangani kemiskinan, seperti faktor struktural dan kultural. Hal inilah yang menyebabkan penulis tertarik untuk membahas masalah kemiskinan dengan sudut pandang struktural dan kultural.

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) http://bps.go.id/tab_sub/view.php? kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=6

(4)

Dalam membahas permasalahan kemiskinan tidak akan lepas dengan teori-teori yang biasa menjelaskan masalah ini. Menurut Michael Sherraden, teori kemiskinan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu teori budaya miskin (culture of poverty), teori struktural, dan teori

human behavior.1 Hal tersebut hampir serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Majid

Sameti, Rahim, dan Hassan bahwa ada tiga faktor besar yang menyebabkan permasalahan kemiskinan, yaitu faktor budaya miskin dan lingkungan, faktor struktural, dan faktor individu.2

Teori budaya miskin dijelaskan oleh Oscar Lewis yang berpendapat bahwa orang miskin tetap miskin karena mereka belajar perilaku orang miskin dimana mereka belajar untuk malas bekerja, boros, tidak visioner, dan tidak melakukan hubungan seksual dengan kondom dan ia juga berkata bahwa kemiskinan diturunkan dari generasi ke generasi karena anak diajarkan dengan nilai-nilai dan tujuan kemiskinan. Berarti, setiap individu yang tinggal di lingkungan miskin tidak merasakan kemiskinan yang sedang diderita.3 Hal ini menandakan

bahwa mereka merasa nyaman dengan kondisinya sekarang dan tidak ingin memperbaiki kehidupannya walaupun bagi pemerintah kondisi miskin merupakan suatu hal yang harus segera disejahterakan.

Selanjutnya, teori yang membahas mengenai kemiskinan adalah teori struktural. Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan kondisi tatanan kehidupan tidak menguntungkan bagi masyarakat karena lebih mempertahankan kemiskinan dan tidak mendapatkan akses dalam pengambilan keputusan.4 Menurut Marx, Kelompok pekerja

(kelompok miskin) memiliki kualitas hidup yang buruk karena adanya eksploitasi dari kaum kapitalis dan pekerja mengalami keterasingan dari dirinya sendiri, dari produk yang dihasilkan, dari sesama manusia, dan terasing dari proses produksinya.5

Menurut Michael Sherraden, teori individu membahas mengenai perilaku manusia untuk menetapkan pilihan, motivasi, attitude, teori, harapan, dan human capital.6

Kepercayaan pada individualisme menyebabkan tingginya perilaku kerja keras pada individu

1 Tri Wahyu Rejekiningsih, “Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (Juni 2011): 28-44.

2 Majid Sameti, Rahim D. Esfahani, dan Hassan K. Haghighi, “Theories of Poverty: A Comparative Analysis,” Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review 1 (Februari 2011): 45-56.

3 Majid Sameti, Rahim D. Esfahani, dan Hassan K. Haghighi, “Theories of Poverty: A Comparative Analysis,” Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review 1 (Februari 2011): 45-56.

4 Liony Wijayanti dan Ihsannudin, “Strategi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Kecamatan Pandemawu Kabupaten Pamekasan,” Jurnal Agriekonomika 2 (Oktober 2013): 1-12.

5 Sameti, Rahim, dan Hasan, “A Comparative Analysis,” 45-56.

(5)

dan rasa tanggungjawab unruk memperoleh kebutuhan dasar.7 Jadi, manusia sendirilah yang

menentukan apakah ia memilih untuk lepas dari kemiskinan atau bertahan dalam kondisi tersebut.

Dalam membahas permasalahan kemiskinan, kita tidak bisa melupakan konsep dari kemiskinan itu sendiri. Konsep kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Menurut Oppenheim, kemiskinan absolut adalah ketika orang jatuh ke dalam level terendah dimana mereka tidak memiliki barang-barang pokok, seperti tempat tinggal, pakaian , atau tidak bisa memberi makan diri mereka sendiri.8 Secara

metodologi, kemiskinan absolut melihat bahwa perhitungannya harus didasarkan pada anggaran konsumsi minimum normatif yang menentukan mental, kebutuhan fisik dan sosial pada level individu untuk memastikan reproduksi di masyarakat khususnya bagi pekerja yang bekerja dalam kondisi yang sederhana.9

Kemiskinan relatif adalah saat individu dikatakan miskin karena pendapatannya lebih rendah dengan individu-indidvidu lainnya, namun individu tersebut bisa juga tidak bisa dikatakan miskin ketika pendapatan individu tersebut masih diatas dari garis kemiskinan10.

Berbeda dengan pendapat diatas, kemiskinan relatif menurut Rejekiningsih diartikan sebagai tidak meratanya persebaran pendapatan di masyarakat karena kebijakan pemerintah yang masih belum memungkinkannya.11

Untuk menjelaskan kemiskinan dapat menggunakan pendekatan kemampuan atau

Capability Approach. Pendekatan ini mulai banyak digunakan oleh peneliti dan pembuatan kebijakan dalam mencari solusi dari masalah yang pelik ini. Pendekatan ini menjadi pondasi yang kuat untuk memberikan penilaian terhadap kesejahteraan sosial di masyarakat dan desain kebijakan serta usulan yang akan diterapkan di masyarakat.12

Pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan kemiskinan adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan

7 Sameti, Rahim, dan Hasan, “A Comparative Analysis,” 45-56.

8 Brian-Vincent Ikejiaku, “The Concept ‘Poverty’ towards Understanding in the Context of Developing Countries ‘Poverty qua Poverty’: with Some Comparative Evidence on Britain,” Journal of Sustainable Development 2 (Juli 2009): 3-13.

9 Algis Šileika dan Jurgita Bekerytė, “Theoretical Issues of Relationship between Unemployment, Poverty, and Crime in Sustainable Development,” Journal of Security and Sustainability Issues 2 (December 2012): 59-70.

10 Sukidjo, “Peran Pendidikan Kewirausahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Indonesia,” Jurnal Economia 8 (April 2012): 33-41.

11 Tri Wahyu Rejekiningsih, “Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural,” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (Juni 2011): 28-44.

(6)

non statistikal untuk melakukan penyelidikan, teknik, dan proses demi mendapatkan data untuk menjelaskan kemiskinan dengan cara wawancara, pengamatan, dan menganalisis hasil dokumentasi. Sedangkan pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang menggunakan alat statistik dalam mengumpulkan dan menginterpretasi data dan penelitian yang menggunakan pendekatan ini akan lebih representatif dan diandalkan.13

Dalam dunia penelitian sosial tidak mengenal adanya sebuah akibat yang terjadi tanpa sebab termasuk masalah kemiskinan. Menurut Sharp, penyebab kemisikinan adalah adanya distribusi pendapatan yang timpang akibat dari perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, adanya perbedaan kualitas sumber daya manusia dan kulitasnya dinilai rendah dan perbedaan dalam akses terhadap modal yang tersedia.14 Berbeda dengan Sharp yang menitikberatkan

pada sisi ekonomi, Oppenheim menyebutkan beberapa faktor penyebab dari kemiskinan, yaitu pengangguran, disabilitas atau cacat, sakit, usia tua , dan biaya untuk membesarkan anak-anak, sedangkan Sandbrook mengidentifikasikan penyebab dari kemiskinan adalah pengabaian atas pendekatan kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian yang menyebabkan kemiskinan.15

Profesor Dr. Imam Santosa menjelaskan bahwa setidaknya 7 cara yang dapat digunakan untuk mengatasi kemiskinan khususnya kemiskinan yang terjadi di perkotaan, yaitu mengembangkan kebijakan yang pro poor dan pro poorest, menguatkan lembaga pemberdaya masyarakat, membuat kebijakan dalam rangka perbaikan human development index, memberikan perhatian terhadap aspek nonekonomi seperti aspek sosial dan politik, memberikan pendampingan untuk perubahan perilaku kepada manusia sampai tercapai hasil yang diinginkan, jaringan kerjasama antar usaha harus ditingkatkan, dan menumbuhkan kreatifitas kerja produktif dengan cara memperhatikan dan meningkatkan pendidikan di sektor nonformal.16 Sedangkan teori klasik menjelaskan ada tiga cara untuk mengurangi

kemiskinan, yaitu dengan memperluas lapangan kerja, melakukan perubahan struktural dan ketenagakerjaan, dan melakukan redistribusi pendapatan pemerintah.17

13 Sulaiman Y. Balarabe Kura, “Qualitative and Quantitative Approaches to the Study of Poverty: Taming the Tensions and Appreciating the Complementarities,” The Qualitative Report 17 (2012): 1-19.

14 Andika Azzi Djannata, "Analisis Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kota Semarang dengan Metode Analisis Hierarki Proses (AHP)" (PhD diss., Universitas Diponegoro, 2011).

15 Brian-Vincent Ikejiaku, “The Concept ‘Poverty’ towards Understanding in the Context of Developing Countries ‘Poverty qua Poverty’: with Some Comparative Evidence on Britain,” Journal of Sustainable Development 2 (Juli 2009): 3-13.

16 Imam Santosa, “Konstruksi Akar Permasalahan dan Solusi Strategis Kemiskinan di Perkotaan” (Seminar Nasional Laboratorium Sosiologi, Solo, 23 Februari, 2012).

(7)

Dari banyaknya uraian di atas, penulis menemukan beberapa perbedaan dan beberapa hal menarik mengenai faktor struktural dan kultural. Pertama, teori dan konsep kemiskinan kultural digunakan untuk membahas kemiskinan di kota dan teori struktural digunakan untuk membahas kemiskinan pada masyarakat desa dan masyarakat yang tinggal di sekitar sumber daya alam yang melimpah. Kedua, kemiskinan kultural menjelaskan bahwa masyarakat justru tidak merasa miskin, sedangkan pada kemiskinan struktural masyarakat sangat merasa miskin. Ketiga, kemiskinan kultural terjadi dipengaruhi oleh adaptasi dari masyarakat itu sendiri atas kondisi miskin yang dialami dan kemiskinan struktural terjadi karena faktor dari luar individu, seperti pemerintah dan kaum kapitalis.

Penggunaan teori budaya kemiskinan lebih sering dijumpai saat sedang membahas mengenai kemiskinan pada kawasan perkotaan. Menurut Oscar Lewis, kebudayaan kemiskinan di perkotaan timbul akibat konsekuensi dari kepadatan penduduk yang tinggi, terbatasnya akses kesehatan, pendidikan, dan layanan umum lainnya.18 Apabila kita amati

lebih jauh lagi, penulis menyimpulkan bahwa sesungguhnya akar permasalahan budaya kemiskinan adalah urbanisasi. Masyarakat dari desa berbondong-bondong menuju ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan agar dapat hidup layak. Mereka yang berurbanisasi membawa budaya miskin dari desanya ke kota dan berbekal dengan rendahnya kualitas skill

yang dimiliki. Terbatasnya kemampuan membuat mereka sulit mencari pekerjaan sehingga mereka tetap miskin dan tinggal bersama orang miskin lainnya dalam waktu yang lama. Mereka dapat bertahan dalam waktu yang lama karena mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan miskinnya dan merasa betah dengan kondisinnya sehingga budaya miskin tetap terpelihara.

Kemiskinan struktural menjadi diskusi menarik apabila membahas permasalahan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat desa dan masyarakat di sekitar sumber daya alam dimana pada masyarakat tersebut biasanya terjadi kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh pandangan pengelolaan sumber daya alam oleh kaum kapital.19 Kita bisa mengambil

contoh pada masyarakat desa di sekitar hutan. Masyarakat desa dapat mengolah secara mandiri hasil hutan yang ada, namun dengan datangnya kaum elit yang ingin menguasai hutan yang biasanya dikelola sendiri membuat masyarakat harus bekerja di perusahaan yang ada. Kaum elit dapat membangun perusahaan di kawasan tersebut karena mendapatkan izin

18 Ketut Sudhana Astika, “Budaya Kemiskinan di Masyarakat : Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat,” Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 1 (2010): 20-26.

(8)

dari pemerintah yang tidak melihat dampak terhadap masyarakat. Pemerintah memiliki pandangan bahwa hutan apabila dikelola oleh perusahaan maka hasilnya akan lebih baik dan meningkatkan pendapatan negara. Hal tersebut menegaskan bahwa pemerintah meyakini kualitas masyarakat untuk mengelola hutan sangat rendah. Perbedaan pendapatan yang diperoleh dari sebelum ada perusahaan dan sesudahnya membuat masyarakat merasa miskin. Selain itu, masyarakat juga dapat merasa terasing dari kehidupannya karena harus bekerja dengan waktu yang lama untuk mengejar target dari perusahaan.

Menurut Heru Purwandari, ketika kapitalisme semakin merajalela maka timbulah respon dari masyarakat dengan membentuk sebuah perkumpulan20 Kelompok tersebut

didirikan oleh orang-orang yang pertama kali sadar bahwa nasib bukanlah faktor utama yang menyebabkan mereka miskin, namun faktor struktural yang menyebabkannya. Lalu mereka mengajak seluruh orang yang bernasib sama untuk bergabung dengan kelompok tersebut. Mereka menyuarakan seluruh keinginan dan isi hati yang selama ini terpenjara oleh praktik kapitalisme dan kesenjangan pendapatan yang mereka rasakan.

Apabila kita coba membandingkan antara konsep absolut yang lebih menjelaskan kemiskinan secara ekonomi dan konsep relatif yang lebih memperhatikan faktor sosial dan budaya, maka kemiskinan kultural dan struktural lebih cocok dibahas dengan konsep kemiskinan relatif karena kemiskinan yang muncul bukan karena permasalahan pemenuhan kebutuhan pokok.. Konsep kemiskinan relatif mampu menjelaskan adanya ketimpangan pendapatan atau kesenjangan yang terjadi di masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural dan dapat menjadi benih bagi munculnya budaya miskin di kalangan masyarakat bawah. Dan lebih baik lagi apabila menggunakan Capability Approach dalam menjelaskan masalah ini karena pendekatan tersebut selain mampu menjelaskan sebuah masalah kesejahteraan sosial sekaligus dapat membuat sebuah desain kebijakan yang baik untuk diterapkan di masyarakat.

Upaya mengatasi kemiskinan kultural dapat kita ambil dari beberapa usulan di atas, yaitu memberikan pendampingan dalam rangka proses perubahan perilaku manusia, aspek nonekonomi lebih diperhatikan, dan menguatkan lembaga pemberdaya masyarakat. Ketiga solusi itu dapat membantu merubah budaya miskin masyarakat sehingga mau merubah kehidupannya. Sedangkan usaha untuk mengatasi kemiskinan struktural dapat kita kombinasikan dari usulan di atas, yaitu menguatkan lembaga pemberdaya masyarakat,

(9)

memberikan perhatian yang lebih terhadap aspek nonekonomi, dan memberi perubahan terhadap sektor struktural dan ketenagakerjaan. Solusi itu diambil untuk melatih jiwa kewirausahaan masyarakat agar jika keluar dari perusahaan, masyarakat bisa memiliki pekerjaan bahkan dapat menampung orang-orang yang masih berstatus sebagai pengangguran.

Ada sesuatu hal menarik bahwa sesungguhnya struktural dan kultural tidak bisa dipisahkan. Kondisi kemiskinan kultural yang merupakan hasil adaptasi masyarakat pada lingkungan miskin dimana sebelumnya masyarakat miskin tersebut mengalami kemiskinan struktural sehingga masyarakat berada pada struktur sosial bawah dan ketika orang miskin merasa tidak miskin maka akan tetap melanggengkan kemiskinan struktural. Singkatnya, kemiskinan struktural dapat mengakibatkan kemiskinan kultural dan apabila kemiskinan kultural terus berlanjut, maka kemiskinan struktural akan tetap ada.

Dari berbagai pembahasan di atas berhasil membuka pikiran saya untuk mengkritik berbagai kelemahan yang ditemukan dari berbagai hal yang telah dibahas. Pertama, dalam membahas mengenai kemiskinan baik di desa, di kota maupun di tempat lainnya tidak bisa hanya memperhatikan faktor struktural atau kultural. Seperti yang sudah saya sampaikan bahwa kedua hal tersebut mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga apabila keduanya diperhatikan, maka dapat menurunkan kesenjangan yang ada di masyarakat. Kedua, anggapan budaya kemiskinan terjadi ketika individu miskin beradaptasi dengan lingkungan miskinnya sehingga tidak merasa miskin kurang tepat, karena pada zaman modern ini, individu tidak bisa hanya hidup dengan satu lingkungan saja dan individu tersebut pasti bersosialisasi dengan lingkungan dan kalangan yang berbeda kondisinya. Jadi, pasti tetap ada perasaan tidak nyaman dengan kondisi yang ia alami dan ingin berubah seperti lingkungan yang ia lihat lebih baik. Ketiga, teori kemiskinan struktural kurang memperhatikan hubungan antara pemerintah dan kaum kapitalis yang mengakibatkan masyarakat menjadi korban, karena selama ini yang dibahas hanyalah hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan kaum kapitalis dengan masyarakat.

(10)

kebijakan pemerintah yang seharusnya tidak lagi membanggakan statistik BPS yang menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan, tapi harus melihat bahwa di balik itu ada peningkatan angka ketimpangan dan kesenjangan di Indonesia. Sudut pandang ekonomi jangan selalu dijadikan acuan, tapi pemerintah harus memahami unsur sosial yang menyebabkan kemiskinan, seperti budaya miskin dan struktur sosial di masyarakat miskin akibat eksisnya kaum kapital.

DAFTAR PUSTAKA

Astika, Ketut Sudhana. “Budaya Kemiskinan di Masyarakat : Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat.” Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 1 (2010): 20-26.

Djannata, Andika Azzi. "Analisis Program-Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Kota Semarang dengan Metode Analisis Hierarki Proses (AHP)." PhD diss., Universitas Diponegoro, 2011.

Ikejiaku, Brian Vincent. “The Concept ‘Poverty’ towards Understanding in the Context of Developing Countries ‘Poverty qua Poverty’: with Some Comparative Evidence on Britain.” Journal of Sustainable Development 2 (Juli 2009): 3-13.

Kura, Sulaiman Y. Balarabe. “Qualitative and Quantitative Approaches to the Study of Poverty: Taming the Tensions and Appreciating the Complementarities.” The Qualitative Report 17 (2012): 1-19.

Purwandari, Heru. “Respon Petani Atas Kemiskinan Struktural (Kasus Desa Perkebunan dan Desa Hutan).” J-SEP 5 (Juli 2011): 24-37.

Rejekiningsih, Tri Wahyu. “Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan di Kota Semarang dari Dimensi Kultural.” Jurnal Ekonomi Pembangunan 12 (Juni 2011): 28-44.

Sameti, Majid, Rahim D. Esfahani, dan Hassan K. Haghighi. “Theories of Poverty: A Comparative Analysis.” Kuwait Chapter of Arabian Journal of Business and Management Review 1 (Februari 2011): 45-56.

(11)

Shubhabrata, Sarkar and Bairagya Ramsundar. “Capability Approach and Multidimensional Poverty Analysis –A Theoretical Discussion.” Journal of Economics and Sustainable Development 3 (2012): 1-7.

Šileika, Algis dan Jurgita Bekerytė. “Theoretical Issues of Relationship Between Unemployment, Poverty, and Crime in Sustainable Development.” Journal of Security and Sustainability Issues 2 (Desember 2012): 59-70.

Sukidjo. “Peran Pendidikan Kewirausahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Indonesia.” Jurnal Economia 8 (April 2012): 33-41.

Gambar

Grafik 1. Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang) 10 Tahun Terakhir
Grafik diatas menunjukan angka dari indeks gini yang semakin naik. Hal tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Toisaalta vain harvoissa puheis- sa ja diskursseissa puhuttiin vahvasti esimerkiksi sellaisista lähestymistavan perusperi- aatteista kuin kaikkien maailman ihmisten

Pembelajaran yang efektif dan bermakna akan tercipta ketika guru mampu memberdayakan segenap kemampuan dan kesanggupan siswa dalam mencapai tujuan

Dengan dibuatnya mesin penggiling biji jarak ini, maka dapat mengurangi penggunaan tenaga manusia, guna meningkatkan kefektifan kerja agar tercapai produktifitas yang tinggi

banjir sepaha orang dewasa di jl. budi mulia gunung sahari @petajkt #banjir. budi mulia gunung sahari” adalah satu set nama lokasi. POS mengidentifikasinya sebagai PREP NN

Penentuan jenis kelamin pada khuntha> merupakan kemaslahatan pada tingkatan qat}‘i>, memastikan dan menentukan jenis kelamin khuntha> sebagai laki-laki

MSWG berpendapat, Pengerusi mesyuarat bertanggungjawab mengemukakan setiap Resolusi yang Dicadangkan seperti yang disenaraikan dalam Notis mesyuarat untuk undian, dengan

Merujuk pada penelitian-penelitian se- belumnya tentang pengukuran tingkat efi- siensi perusahaan pada perusahaan manu- faktur dan retail, maka disini peneliti tertarik

Untuk menganalisis pengaruh brand equity , kualitas pelayanan terhadap keputusan memilih produk tabungan pada nasabah Bank Sumsel Babel.