Hukum Keluarga Islam di Iran
Oleh:
Iftitah Utami 1385148
Dosen Pembimbing:
PENDAHULUAN
Orang-orang Iran sering menyebut negerinya “Iran” (Negeri
Arya atau “Masyarakat termasyhur), sementara orang luar,
dalam waktu yang sama menyebutnya Persia, menunjuk
pada Pars, sekarang Fars, wilayah bagian selatan Iran.
Nama Persia bertahan hingga hingga tahun 1935, ketika
pemerintah Teheran secara resmi meminta masyarakat
dunia menggunakan nama Iran.
PEMBAHASAN
Upaya mengkodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak
awal di Iran. Hukum keluarga Iran pertama kali
dikodifikasikan sebagai bagian dari hukum perdata yang
diundangkan dari tahun 1928 s / d 1935. pada tahun
1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang
bertugas menyiapkan draft hukum perdata.
Ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan materi selain hukum
keluarga dan hukum waris diambil dari kode Napoleon
selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syari’ah. Sementara menteri-menteri yang berkenaan
hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan
unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang
ditetapkan komisi tersebut ditetapkan sebagai
Qonun
Madani
(hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara
1928-1924.
Tahir Mahmood
, Family Law Reform in the Muslim World
Hukum Perdata Iran mencakup berbagai macam aspek hukum yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861 s/d 949, sementara seluruh buku VII mengatur masalah-masalah hukum keluarga didasarkan pada hukum tradisional Syi’ah Isna ‘Asyariyah (Ja’fari) menteri hukum waris sebagaimana diatur dalam hukum perdata berlaku sampai sekarang, tanpa ada perubahan. Sementara hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian tidak terhindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian, secara terpisah telah diundang-undangkan pada tahun 1931. undang-undang tersebut memasukkan prinsip-prinsip yang datur oleh aliran-aliran hukum selain aliran Isna Asyari. Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan sosial budaya dan administrative. Pada tahun 1937 dan 1928 juga ditetapkan undang-undang yang mengatur masalah perkawinan dan perceraian lebih lanjut.
Reformasi hukum yang lebih penting lagi dilakukan Lembaga Legislatif Iran pada tahun 1967, pada tanggal 24 juni 1967 diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga. Undang-undang in bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru ditetapkan, undang-undang ini dimaksudkan untuk mengganti hukum perlindungan keluarga tahun 1967. undang-undang tahun 1975 ini, disamping memasukkan ketentuan-ketentuan mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukan perubahan-perubahan yang penting yang berkenaan dengan perceraian. UU ini juga membatasi memberi izin Poligami oleh pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.
Ibid.
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi, 1987), hal 216
Hukum Perkawinan
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan, yang dipandang telah melewati batas hukum Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran Pra-Revolusi
Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan , sebelum perkawinan harus dicatatkan pada lembaga yang berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan di hukum dengan hukuman penjara selama satu hingga enam bulan.
Aturan tentang pencatatan perkawinan termasuk pembaharuan yang bersifat regulatory atau administrative. Sebab pelanggarnya hanya dikenai hukuman fisik, sementara pernikahannya tetap dipandang sah. Peraturan seperti ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik, baik dalam mazhab Syi’i maupun mazhab sunni.
perkawinan di bawah umur
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan
bagi pria adalah delapan belas tahun. Bagi
seseorang yang mengawinkan seseorang yang
masih dibawah usia minimum nikah dapat
dipenjara antara enam bulan hingga dua tahun. Jika
seorang anak perempuan dikawinkan dibawah usia
13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat
dipenjara selama dua hingga tiga tahun. Disamping
itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenai denda 2-20
riyal
. Dengan demikian ,
ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan
anak dibawah umur merupakan pembaharuan
hukum keluarga di Iran yang bersifat administratif.
Hukum Perdata
, pasal 1031
Perjanjian Perkawinan
Pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh membuat perjanjian dalam akad perkawinan, selama tidak bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dibawah perlindungan pengadilan.
Menurut Mazhab Ja’fari, syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dianggap dapat menggugurkan akad nikah. Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat menggugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya semua dampak akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri. Jika seorang istri ketika akad nikah mensyaratkan kepada suaminya agar ia tidak kawin dengan wanita lain, tidak menolaknya, tidak melarangnya keluar rumah, atau mensyaratkan bahwa hak talak berada ditangannya, tidak mewarisinya, dan persyaratan-persyaratan lain yang bertentangan dengan tujuan akad nikah, maka persyaratan-persyaratan itu batal, sedangkan akad nikahnya sendiri tetap sah.
Poligami
Seorang pria yang bermaksud berpoligami wajib memberitahukan kepada calon istri tentang statusnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenakan sanksi. Hukum perlindungan keluarga tahun 1967, menambahkan ketentuan bahwa seorang pria yang hendak berpoligami harus mendapatkan persetujuan istri. Jika ketentuan ini dilanggar, istri pertama dapat menuntut cerai kepengadilan. Suami juga harus mendapatkan ijin resmi dari pengadilan. Sebelum memberikan izin, pengadilan akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari seorang istri; dan apakah ia dapat berbuat adil tehadap istri-istrinya. Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama enam bulan hingga enam tahun.
Keharusan adanya persetujuan istri pertama dan izin pengadilan bagi yang akan berpoligami, disatu sisi dapat dipandang sebagai reformasi
regulatory, karena yang melakukan pelanggaran hanya mendapatkan hukuman atau sanksi tertentu, sementara perkawinannya sendiri tetap sah. Disisi lain dapat dipandang sebagai reformasi substantif, karena seorang suami yang kawin lagi dengan wanita lain tanpa persetujuan istri pertama dijadikan alasan oleh istri pertama untuk menuntut perceraian kepengadilan, suatu hal yang tidak diatur dalam mazhab Ja’fari maupun mazhab sunni.
Nafkah Keluarga
Perceraian
Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 telah
melakukan reformasi hukum yang bersifat
administratif dan substantif sekaligus, yaitu
dengan
menghapus
wewenang
suami
mengikrarkan talak secara sepihak. Menurut
pasal 8 UU tersebut, setiap perceraian, apapun
bentuknya, harus didahului oleh permohonan
pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “
tidak dapat rukun kembali” . Pengadilan baru
mengeluarkan
sertifikat
tersebut
setelah
berupaya maksimal, tetapi tidak berhasil
mendamaikan.
1. Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen atau berulang-ulang.
2. Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat vitalnya diamputasi.
3. Istri tak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra atau kedua matanya buta.
4. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun.
5. Suami atau istri mempuyai kebiasaaan yang membahayakan pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dakam kehidupan rumah tangga.
6. Seorang pria tanpa persetujuan istri pertama, kawin dengan wanita lain.
7. Salah satu pihak menghianati pihak lain.
8. Kesepakatan suami istri untuk bercerai.
9. Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam keadaan tertentu.
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai
(arbitrator)
Pengadilan
dapat
menyerahkan
penyelesaian
perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh
pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus
yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan
dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri
oleh pengadilan, tidak diserah kan pada arbitrator.
KESIMPULAN
Hukum Perkawinan di negara Iran
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act
tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family
tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan, yang dipandang telah melewati batas huku Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran Pra-Revolusi
Pencatatn Perkawinan
perkawinan di bawah umur Perjanjian Perkawinan
Poligami
Nafkah Keluarga Peceraian
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai (arbitrator)