• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sosial Ekonomi Dan Budaya Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Yang Menikah Dini Di Desa Siligason Kabupaten Simalungun Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sosial Ekonomi Dan Budaya Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Yang Menikah Dini Di Desa Siligason Kabupaten Simalungun Tahun 2015"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1Latar Belakang

Pernikahan adalah salah satu cara untuk memastikan anak perempuan mereka terlindungi sebagai istri, melahirkan anak yang sah dimata hukum dan akan lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur (UNICEF, 2005)

Pernikahan dini adalah pernikahan pada remaja di bawah usia 20 tahun yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Masa remaja juga merupakan masa yang rentan resiko kehamilan karena pernikahan dini (usia muda). Diantaranya adalah keguguran, persalinan prematur, BBLR, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian (Kusmiran, 2012).

Remaja saat ini mengalami kerentanan terhadap berbagai ancaman risiko kesehatan terutama yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi. Ancaman yang dapat dilihat hingga saat ini adalah seks pranikah, kehamilan dini, aborsi, infeksi menular seksual, HIV dan AIDS serta kekerasan seksual. Rendahnya pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi dan kuatnya dukungan sosial terhadap hubungan seksual pranikah membuat remaja menjadi populasi yang berisiko.

(2)

Remaja sebagai kelompok umur terbanyak dalam struktur penduduk Indonesia, merupakan fokus perhatian dan intervensi yang strategis bagi pembagunan sumber daya manusia masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Kelompok remaja rentan usia 10-19 tahun, sesuai dengan proporsi remaja di dunia diperkirakan 1,2 miliar atau sekitar 1/5 dari jumlah penduduk dunia (Depkes, 2010).

Pernikahan merupakan salah satu hal yang telah menjadi garis kehidupan bagi setiap manusia, dengan adanya pernikahan maka terbentuklah satu keluarga baru dan utuh dengan adanya kehadiran buah hati. Semua manusia tentu menginginkan suatu pernikahan yang baik dengan penuh kebahagian. Namun di Indonesia yang masih kental dengan adanya adat istiadat, usia bukan menjadi penghalang untuk melakukan suatu ikatan pernikahan bahkan tak asing lagi jika di Indonesia kita menemukan anak usia 15 tahun sudah membentuk suatu keluarga atau sudah menikah (Muhammad F. 2010).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 16 juta kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15-19 tahun atau 11% dari seluruh kelahiran di dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara sedang berkembang. Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18 tahun. Prevalensi tertinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di Nigeria (79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%) (WHO, 2012).

(3)

seperti AS, 30% dari wanita yang menempuh pendidikan kurang dari 10 tahun akan menikah sebelum usia 18 tahun. Hal ini berbeda dengan wanita yang menempuh pendidikan lebih dari 10 tahun menikah di usia sebelum 18 tahun terjadi kurang dari 10% (Glasier, 2006)

Menurut laporan Direktur Eksekutif United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) sebagai organisasi PBB urusan populasi, memperkirakan bahwa

pada tahun 2020 terjadi peningkatan perkawinan usia dini dan setiap tahunnya mencapai 14,2 juta. Kemudian pada tahun 2030 diperkirakan per tahunnya mencapai 15,1 juta. Pada tahun 2010, satu dari tiga wanita, atau 67 juta perempuan yang berusia 20-24 tahun menikah sebelum mereka berulang tahun ke-18. Paling banyak pernikahan dini berlangsung di negara-negara berkembang termasuk China. Kira-kira setengah dari pernikahan itu terjadi di Asia dan 20 persen lagi di sub-Sahara Afrika. Praktek ini juga terjadi di Amerika Latin dan Karibia, serta Eropa Timur. Menurut data tahun 2010, untuk Asia Selatan, Bangladesh memiliki prevalensi tertinggi pernikahan dini yaitu 66%. Di negara Afrika barat Niger, 75% dari anak perempuan berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum genap berusia 18 tahun (Babatunde, 2012).

(4)

Di Indonesia, angka statistik pernikahan usia dini dengan pengantin berumur di bawah usia 16 tahun secara nasional mencapai lebih dari seperempat, bahkan di beberapa daerah, sepertiga dari pernikahan yang terjadi tepatnya di Jawa Timur 39,43%, Kalimantan Selatan 35,48% , Jambi 30,63% dan Jawa Barat 36% (Singgih B, Setyawan, 2007).

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Sugiri Syarief (2012) menyatakan angka usia menikah pertama penduduk Indonesia yang berusia di bawah 20 tahun masih tinggi,yakni mencapai 20 persen. Kondisi ini menghambat pencapaian program keluarga berencana (KB), sebab usia menikah yang rendah berbanding terbalik dengan angka fertilisasi. Populasi penduduk usia remaja (16-24) mencapai 27,6 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau 64 juta jiwa. Jumlah tersebut merupakan sasaran potensial untuk mendorong kesuksesan program Keluarga Berencana (KB).

Data dari berbagai kabupaten / kota di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini juga terjadi hampir di setiap daerah. Pernikahan dini banyak ditemukan di Kabupaten Serdang Bedagai (Sumatera Utara), Kota Bogor (Jawa Barat), dan Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Beberapa daerah memiliki angka yang cukup tinggi seperti di Jawa Timur (39,43%), Kalimantan (35,48%), Jambi (30.63%), Jawa Barat (36%) dan Jawa Tengah (27,84%) (Kemenkes RI, 2013).

Dalam mencapai target penurunan Angka Kematian Ibu (Milenium Development Goals), yakni 102 per 100 ribu pada 2015 menjadi semakin sulit untuk

(5)

dan angka kematian bayi di Indonesia masih tinggi salah satunya disebabkan usia ibu terlalu muda sehingga terjadi perdarahan atau abortus oleh karena anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan sehingga dapat terjadi komplikasi. Dari data UNPFA (2010) didapati 15-30% persalinan usia dini dengan komplikasi kronik seperti kerusakan berupa kebocoran urin atau terdapatnya feses pada rongga vagina.

Supriatiningsih (2010) menyatakan bahwa 20% sampai 50% kehamilan dan persalinan di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan dini dan tidak diinginkan. Kenyataan ini diperburuk lagi dengan temuan BKKBN pada tahun 2010 bahwa diperkirakan sebesar 750.000 sampai 1.000.000 aborsi ilegal di Indonesia per tahun. Lanjutnya, pernikahan dini juga dapat mengancam hak-hak azasi seorang anak, termasuk hak-hak mereka atas pendidikan, kesehatan yang layak serta kebebasan berekspresi. Dalam banyak kasus, sekali mereka menikah, seorang anak di bawah umur dapat kehilangan status mereka sebagai seorang anak dan perlindungan terkait yang berlaku secara nasional.

Penelitian yang dilakukan oleh Hanggara (2011) dan Fitra (2011) tentang pernikahan dini di Kecamatan Gejugjati dan Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan bahwa di Kecamatan ini sebanyak 35% pasangan menikah di bawah umur. Sementara itu di Kecamatan Mandalagiri Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya, ditemukan 8 pasangan yang menikah di bawah umur 18 tahun.

(6)

berapa seharusnya menikah, yaitu di atas 21 tahun. Bahkan tokoh agama menganjurkan menikah harus di atas 25 tahun. Namun setelah dilakukan kajian tersebut, ternyata tingkat pendidikan yang rendah, baik orang tua maupun anak, serta perekonomian yang lemah menjadi sebab banyaknya pernikahan dini.

Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua (Budioro, 2008).

Tradisi lama yang sudah turun temurun yang menganggap perkawinan pada usia dini sebagai suatu hal yang wajar. Dalam masyarakat Indonesia, bila anak gadisnya tidak segera memperoleh jodoh, orang tua merasa malu karena anak gadisnya belum menikah. Budaya eksploitatif terhadap anak, yang membuat anak tidak berdaya menghadapi kehendak orang dewasa, baik orang tuanya yang menginginkan perkawinan itu, maupun orang yang mengawini. Ada yang mengeksploitasi anak atas nama ekonomi atau materi, ada yang karena gengsi atau harga diri bisa mengawinkan anaknya dengan orang yang dianggap terpandang tanpa memperdulikan apakah calon suami anaknya sudah beristri atau belum, apakah anak perempuannya sudah siap secara fisik, mental dan sosial ataukah belum (Aditya dkk, 2011)

(7)

observasi yang peneliti lakukan bahwa banyak ditemui remaja putri usia di bawah 20 tahun sudah menimang bayi atau mengendong anak dengan kondisi yang memprihatinkan. Ibunya dalam kondisi seperti orang yang kurang terurus, sedangkan bayi atau anaknya memiliki perawakan yang kurus (kecil), nampak lesu, terlambat tumbuh kembangnya. Beberapa ibu muda tersebut bahkan ada yang sudah memiliki anak 1 atau 2 orang, dengan kondisi yang hampir sama yaitu kurang gizi. Data yang diperoleh dari bidan bahwa dalam 2 bulan terakhir menolong persalinan remaja usia di bawah 20 tahun sebanyak 5 orang. Jika dilihat dari sosial ekonomi masyarakat desa tersebut, dengan pekerjaan sebagian besar penduduk adalah buruh pemanen sawit maka sosial ekonomi masyarakat di desa tersebut memprihatinkan karena pekerjaan buruh pemanen sawit mendapatkan hasil yang tidak dapat dipastikan. Kebiasaan masyarakat di desa tersebut, jika suami tidak ada memanen sawit maka, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian warga mengutang di warung (kedai), sedangkan jika suami sudah pergi bekerja untuk memanen sawit baru hutang-hutang tersebut dibayar.

(8)

masyarakat Desa Siligason. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak perempuannya tidak segera menikah itu akan memalukan keluarga, dengan tidak memandang usia atau status pernikahan. Kebanyakan orang tua menerima lamaran tersebut karena menganggap masa depan anak akan lebih baik dan mengurangi beban orang tua. Dalam masyarakat pedesaan kebiasaan terjadi pada keluarga yang merasa malu mempunyai anak gadis yang belum menikah diusia muda.

Berdasarkan pemantauan peneliti bahwa pernikahan dini di Desa Siligason tersebut masih banyak didasari oleh kebiasaan masyarakat setempat. Wanita yang mempunyai pekerjaan tertentu sebelum menikah cenderung tidak berkeinginan untuk hidup berumah tangga dengan laki-laki yang dijodohkan oleh orang tua. Tidak sedikit orang tua meminta anaknya untuk berhenti bekerja saja dan menikah. Nilai budaya lama yang sudah lama tertanam menganggap bahwa menstruasi merupakan telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya orang tua di kampung tersebut. Remaja wanita yang menikah dini banyak yang berasal dari keluarga besar (jumlah anak lebih dari 3 orang), dengan keadaan ekonomi yang serba terbatas dan adanya sikap yang apatis, pasrah pada nasib dan keadaan.

(9)

Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti baik itu berupa observasi maupun wawancara dengan 15 orang masyarakat Desa Siligason, peneliti menemukan bahwa sebagian warga yang menikah di usia remaja, mereka cenderung memisahkan diri dari lingkungan terutama dengan teman seusianya, dan ada yang tidak mampu merawat anaknya secara mandiri sehingga harus bergantung pada orang tua dan mertuanya. Terjadinya pernikahan dini di Desa Siligason mempunyai dampak tidak baik kepada mereka yang telah melangsungkan pernikahan seperti abortus, kematian janin dalam kandungan, BBLR akan tetapi tidak semua pernikahan dini berdampak kurang baik bagi keluarga.

Berdasarkan data-data tentang pernikahan dini di Indonesia dan penelitian terdahulu yang dikemukan di atas dan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, serta melihat fakta yang terjadi di Desa Siligason, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang ”Pengaruh Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Yang Menikah Dini Di Desa Siligason Kabupaten Simalungun Tahun 2015 ”.

1.2 Rumusan Masalah

(10)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pengaruh Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Yang Menikah Dini Di Desa Siligason Kabupaten Simalungun Tahun 2015. “

1.4 Hipotesis

Ada Pengaruh Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja Putri Yang Menikah Dini Di Desa Siligason Kecamatan Kabupaten Simalungun Tahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi Kepala Desa

Memberikan masukan bagi Kepala Desa di Kabupaten Simalungun dalam memberikan konseling kepada masyarakat berkaitan dengan pernikahan usia dini yang dapat menyebabkan komplikasi kehamilan dan sebagainya.

2. Bagi Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan ini penulis berusaha untuk membuat suatu sistem yang dapat mempermudah masyarakat dalam melakukan pendaftaran sebagai pasien sehingga tidak

Berdasarkan hal ini, labu kuning sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam makanan, kosmetik dan farmasetikal (Quintana et al. Berdasarkan penerimaan dan

Arahan yang diturunkan dari Rencana Induk Penelitian Universitas tersebut diturunkan menjadi tema-tema penelitian dan tema-tema kegiatan pengabdian kepada masyarakat

Studi literatur merupakan prosedur untuk mendapatkan literatur / artikel tentang filtering firewall dengan IP Table, kemudian Mempelajari Sistem jaringan yang

Faktor psikologis emosi pada beberapa anak dapat memicu gejala dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku yang dijumpai pada anak

a. Kemampuan motorik halus. a) Stimulasi yang perlu di lanjutkan. 1) Memasukan benda kedalam wadah. 2) Bermain dengan mainan yang mengapung di air. 3) Menggambar, menyusun kubus

Kepada peserta Pelelangan yang keberatan, diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan khususnya mengenai ketentuan dan prosedur yang telah ditentukan dalam dokumen

Menurut Miller dan Modigliani (1961) dalam teori signaling hypothesis bahwa penurunan dividen umumnya akan menyebabkan harga saham mengalami penurunan dan sebaliknya