• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN

(Studi Putusan Nomor : 465 / PID.SUS / 2010 / PN. PSP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas

Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

KAYARUDDIN HASIBUAN

NIM : 110200018

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN

(Studi Putusan Nomor : 465 / PID. SUS / 2010 / PN. PSP)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas

Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

KAYARUDDIN HASIBUAN NIM : 110200018 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum. NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. NIP. 195703261986011001 NIP. 197404012002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis Panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmad dan Hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara, Medan. Sekaligus Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

(4)

8. Bapak Abdul Rahman, S.H, M.H., selaku dosen Penasehat Akademik atas bimbingan dan motivasinya selama perkuliahan

9. Seluruh Dosen dan Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

10. Yang Teristimewa dan Terima kasih kepada kedua Orang tua saya, Ayahanda H. Adanan Haibuan dan Ibunda Hj. Nur Aliyah Siregar yang setiap waktu dan Sepanjang masa memberikan motivasi dan mendoakan Penulis agar dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya.

11. Kepada Abang Saya Sutan Hasibuan dan Istrinya Rosnalida, Basharuddin Hasibuan, S. Sos dan Istrinya Dewi Usman S.E dan Kakak saya Rosmidar Hasibuan A.md. Keb. dan Suaminya Fitra Siregar A.Md. Per., dan Adik saya Asriadi Hasibuan. Beserta Keponakan saya (anak), Imam Hasibuan, Rofii Azhary Hasibuan, Alwi Hasibuan, Roma Indah Hasibuan, Airin Hasibuan dan keponakan saya (bere) Mirza Siregar. yang senantiasa memberikan dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini

(5)

Presidum HMI FH Universitas Sumatera Utara Periode 2015-2016, Nanda Yolandari, Rhafika fazal, Suci citra kartika, Aditya Ananda, Hadyan Cholidin, Auzy Arifin Hutabarat, Yogi Triono, Bahrin Daulay, Sofyan Syahputra Siregar, Bambang Darmawan, Bagus Salam Siregar, Ika Izazi Indriani, Fikri Idris Nasution, dan juga terima kasih kepada adinda-adinda pengurus khususnya Departemen yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Kepada teman karib saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tergabung dalam Grup Rempong, Rizky Syahbana Amin Harahap (Oppa), Fitri Arifah (Ipeh), Agung Rahmatullah, Utet Siregar (Novi), Mala, Rendra Hanafi, Ikhwan Adabi, yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. serta banyak memberikan warna pelangi dalam kehidupan penulis selama menjalani perkuliahan.

(6)

15. Kepada teman Kelompok Kecil saya “Kos Pamen Nomor 24”, abangda sofwan lubis, Abangda Muhammad, Abang Iwan Simorangkir, Ali Nehru Siregar, Afifuddin, Hidayat, azis, edu. terima kasih buat Kebersamaan dan pertemanan yang selama penulis berada dalam kost Pamen.

16. Kepada rekan-rekan seperjuangan Stambuk 2011 dan seluruh rekan-rekan lainnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak, namun Penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya. Oleh sebab itu diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Pengertian Wewenang ... 11

3. Pengertian Jabatan ... 14

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN ... 21

A. Perbuatan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan ... 21

B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... 35

C. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 41

(8)

KORUPSI PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN DALAM PUTUSAN NOMOR: 465/PID.SUS/2010

/PN.PSP. ... 48

A. Posisi Kasus ... 48

1. Kronologis ... 47

2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 50

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 51

4. Fakta-Fakta Hukum ... 52

5. Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan...112

6. Putusan Tingkat Banding...114

7. Putusan Tingkat Kasasi...115

B. Analisis Kasus...117

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...139

A. Kesimpulan...139

B. Saran ...140

(9)

ABSTRAK

KAYARUDDIN HASIBUAN Dr. M. Hamdan S.H., M.Hum Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum

Bangsa Indonesia terjangkit penyakit korupsi yang telah kronis dan belum dapat disembuhkan hingga saat ini. Hal ini disebabkan oleh korupsi yang seolah telah mengakar dan mendarah daging dalam sistem dan subur dipelihara dengan kebiasaan-kebiasaan yang koruptif. Dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi. Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa, membutakan moral para penderitanya hingga mematikan kepedulian terhadap bangsa yang kian rapuh dan lemah ini. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Alasan inilah yang melatar belakangi Penulis untuk mengangkat Permasalahan Tindak Pidana Korupsi, Khususnya Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini antara lain : Pertama, Bagaimanakah Ketentuan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan, Kedua, Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan Dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan putusan nomor : 465/PID.SUS/2010/PN.PSP. Jenis penelitan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Berdasarkan tindak pidana korupsi yang terjadi pada Dinas Pendidikan Kota Padang Sidimpuan, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana korupsi yang menyalahi Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dimuka hukum secara pribadi, karena terdakwa telah turut serta melakukan penyalahgunaan wewenang dalam jabatannya dengan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain dan telah merugikan keuangan negara. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dalam menjatukahkan putusan pada perkara ini telah menggunakan pertimbangan yuridis yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang telah terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan.

 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara  Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terjangkit penyakit korupsi yang telah kronis dan belum dapat disembuhkan hingga saat ini. Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa, membutakan moral para pelakunya hingga mematikan kepedulian terhadap bangsa yang kian rapuh dan lemah ini. hal ini disebabkan oleh korupsi yang seolah-olah telah mengakar dan mendarah daging dalam sistem dan subur dipelihara dengan kebiasaan-kebiasaan yang koruptif. dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi.

Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Ibnu Khaldun penyebab-penyebab terjadinya korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dan berlebih dalam kelompok yang memerintah atau kelompok penguasa yang menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dalam menopang pembangunan nasional.1

Korupsi juga dapat menyebabkan dampak yang begitu buruk dan sangat luas serta mengakar karena selain merugikan negara, dan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak sosial serta ekonomi kesejahteraan rakyat, juga dapat mengakibatkan dampak buruk lainnya, seperti :

1

(11)

1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah sehingga mengakibatkan perkembangan disegala bidang terhambat khususnya pembangunan ekonomi serta dapat mengganggu stabilitas perekonomian negara dan politik

2. Berkurangnya wibawa pemerintah dalam masyarakat disebabkan adanya pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan negara

3. Berkurang atau menyusutnya pendapatan negara diakibatkan adanya penyeludupan dan penyelewengan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah. 4. Rusaknya mental pribadi diakibatkan terlalu sering melakukan penyelewengan

wewenang dalam jabatannya sehingga segala sesuatu diukur dengan materi dan melupakan tugas dan tanggungjawabnya serta melakukan perbuatan yang hanya bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain

5. Hukum tidak lagi ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat disebabkan karena bobroknya para penegak hukum.2

Oleh sebab itu, dapat disadari bahwa kompleksnya permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multi dimensional, serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi-potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum karena korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan-peningkatan dari tahun ketahun.3

Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan dengan sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendalikan akan dapat membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perkonomian nasional juga pada bangsa dan negara.

2

.Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, halaman. 16

3

(12)

Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, dalam menjalankan amanah rakyat tersebut sudah seharusnya pejabat negara/daerah memegang teguh prinsip kejujuran serta profesionalisme. Namun sayangnya fenomena yang terjadi dikalangan pejabat negara, baik dilembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif justru sebaliknya, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme makin marak terjadi bahkan di Era Reformasi yang pada dasarnya mempunyai semangat pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Dari segi semantik, korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol.4 Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.

Selain itu, Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja

corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak

(13)

legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.5

Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara melawan hukum untuk memparkaya/ menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Oleh karena itu negara sebagai penyelenggara negara harus mengutamakan kepentingan-kepentingan masyarakat, bangsa dan negara tanpa merugikan orang lain demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Berawal dari hal-hal tersebut di atas, maka peran serta pemerintah dalam penanggulan korupsi sangatlah penting sebagai konservasi pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan produk-produk hukum sebagai mekanisme pemberantasan korupsi serta mengawasi segala penegakan ataupun pelaksanaan hukum tersebut.

Dalam melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi terhadap peraturan perundanga-undangan sekaligus membentuk suatu lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam memaksimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini diawali dengan dikeluarkanya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), Selanjutnya, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

5

(14)

(KKN), Selanjutnya dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dan diganti dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan yang terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Namun demikian tindakan korupsi tersebut masih tetap terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki. Hal ini disebabkan karena adanya pelimpahan kewenangan pusat ke daerah dalam pengurusan APBD, khususnya pengelolaan dalam pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dibidang pendidikan Seperti yang terjadi dalam kasus korupsi pada dinas pendidikan Kota Padang Sidimpuan.

Kasus korupsi yang terjadi pada dinas pendidikan Kota Padang Sidimpuan tersebut disebabkan oleh ketidak transparannya pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dibidang pendidikan Kota Padang Sidimpuan. Dalam arti bahwa pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dibidang Pendidikan Kota Padang Sidimpuan tidak dilaksanakan sesuai dengan peraturan peraturan yang ada dan berlaku.

(15)

Bidang Pendidikan, serta Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Dalam hal pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dibidang pendidikan Kota Padang Sidimpuan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pentunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan menyatakan bahwa pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dilaksanakan secara swakelola dengan melibatkan partisipasi komite sekolah dan masyarakat disekitar sekolah sebagai integeral dari system manajemen berbasis sekolah serta berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menyatakan bahwa swakelola adalah pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan, dikerjakan, dan diawasi sendiri.

(16)

beserta meubelair dan pembangunan ruang unit kesehatan sekolah (UKS) beserta meubelairnya.

Dalam tindakan korupsi yang terjadi di Dinas Pendidikan Kota Padang Sidimpuan menggunakan modus operandi dengan mewajibkan para kepala sekolah penerima Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Kota Padang Sidimpuan menyisihkan sebahagian Dana Alokasi Khusus (DAK) tersebut. Maka akibatnya, para kepala sekolah tidak menggunakan seluruh Dana Alokasi Khusus (DAK) tersebut untuk keperluan sekolahnya masing-masing.

Oleh karena itu, korupsi yang terjadi pada Dinas Pendidikan Kota Padang Sidimpuan menyebabkan kerugian Negara yang mengahambat jalannya pembangunan perekonomian Nasional sekaligus merugikan Negara sebesar 1.644.712.209 (Satu miliar enam ratus empat puluh juta tujuh ratus dua belas ribu dua ratus sembilan rupiah).

Bertolak dari hal – hal tersebut di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengangkat masalah tentang Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan (Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan Nomor : 465/PID.SUS/2010/PN.PSP).

(17)

berkuasa dan sangat dihormati. untuk itu pemerintah membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dalam menanggulangi permasalahan ini.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi permsalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagaimanakah Ketentuan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan wewenang Dalam Jabatan?

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan (Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan Nomor : 465/PID.SUS/2010/PN.PSP).?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini yaitu :

1. Untuk mengetahui ketentuan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan

2. Untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang dalam Jabatan (Putusan Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan Nomor : 1018/PID.SUS/2010/PN.PSP).

Hasil penelitian dari skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lingkungan akademis (teoritis), lingkungan peradilan dan lingkungan kehidupan secara praktis yaitu :

a) Manfaat Teoritis

(18)

para akademis bibit unggul yang akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang.

b) Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam upaya membuktikan suatu tindak pidana korupsi yang terjadi, sehingga para penegak hukum dapat menciftakan suatu kebenaran materil dalam upaya pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam

(19)

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah Tindak dari tindak pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan atau petindak, artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan petindak. Sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja tetapi dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari yang bekerja pada negara atau pemerintah, atau orang yang mempunyai suatu keahlian tertentu.6

Pengertian tindak pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk istilah "strafbaar feit.7 Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit.

Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar

diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Menurut Simons, Pengertian tindak pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.8 Selanjutnya menurut Pompe, pengertian tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana

6

.Sianturi, Asas-asa s Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Cet. 4, Jakarta: Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996), halaman. 203

7

.Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta, 2002, hal. 69

8

.Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,

(20)

penjatuhan hukuman trhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana. maka, pengertian tindak pidana ini dapat dilihat dari dua segi yaitu:9

1) Segi Perbuatannya

Perbuatan adalah perbuatan yang melawan hukum, dalam arti formil (suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; merupakan unsur tertulis dalam suatu delik pidana) dalam arti materiil (tidak secara tegas dilarang dan diancam dengan undang-undang; merupakan unsur tidak tertulis yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis yang hidup dimasyarakat, seperti asas-asas umum yang berlaku).

2) Segi Orangnya

Orang harus mempunyai kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua Tindak pidana mempunyai persamaan sifat.

2. Pengertian Wewenang

Wewenang merupakan dasar untuk bertindak, berbuat, dan melakukan kegiatan/aktivitas dalam suatu lembaga dan/atau instansi. secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda

“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Kewenangan adalah apa

yang disebut dengan “kekuasaan Fomiel” kekuasaan yang berasal dari kekuasaan

Legislatif (diberikan oleh Undang-undang) atau dari kekuasaan

9

(21)

Eksekutif/Administratif. Kewenangan (biasanya terdiri dari atas wewenang) adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu sedangkan wewenag hanya mengenai sesuatu bidang tertentu, dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik.10 wewenang juga merupakan bagian yang sangat penting, karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.11 Adapun Karakter Wewenang dapat dibedakan atas :12

1. Wewenang terikat adalah wewenang dari pejabat atau badan pemerintah yang wajib dilaksanakan atau tidak dapat berbuat lain selain dari apa yang tercantum dalam sisi suatu peraturan. Wewenang ini sudah sudah ditentukan secara rinci, kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan.

2. Wewenang Diskresi adalah wewenang yang diberikan beserta kebebasan dari pejabat untuk mengatur secara lebih kongkrit dan rinci, sedangkan peraturan perundang-undang hanya memberikan hal-hal yang pokok saja. Menurut Prajudi Atmosudirjo,13 kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari kekuasaan eksekutif/administratif. Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan

10

. Amiruddin, Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa, Genta Publishing, hal.38

11

.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen pendidikan, Balai Pustaka,

Halaman, 183.

12

.Amiruddin. Op.Cit, halaman 39

13

(22)

terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum public.

Sedangkan Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.14 Kemudian Philipus. M. Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas ”contrarius

actus”. Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan pelaksanaan

perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.

Selanjutnya S.F.Marbun,15 menyebutkan wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. wewenang itu dapat mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat kekuasaan hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan berkaitan dengan kekuasaan.

Wewenang memiliki arti sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata

tertib sosial untuk menetapkan kebijaksanaan, menentukan keputusan, dan

meyelesaikan pertentangan. Hak tersebut dapat diartikan sebagai hak yang

dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang; dengan demikian wewenang

memiliki tekanan pada hak bukan pada kekuasaannya. Kekuasaan tanpa

14

. ibid.

15

(23)

wewenang dapat dianggap kekuatan yang dianggap tidak sah oleh masyarakat.

Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar

kekuasaan tersebut memiliki wewenang.16 Bentuk-bentuk wewenang secara

umum terbagi atas empat bentuk, yaitu:17

1) Wewenang kharismatis, tradisional, dan legal

Wewenang kharismatis tidak diatur oleh kaidah-kaidah melainkan pada kemampuan khusus bersifat gaib pada diri seseorang. Wewenang tradisional merujuk pada kaidah seseorang merupakan bagian dari kelompok yang sudah lama memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Wewenang rasional disandarkan pada kaidah atau sistem hukum yang berlaku dan wewenangnya memiliki jangka waktu yang terbatas.

2) Wewenang resmi dan tidak resmi

Wewenang resmi bersifat sistematis, diperhitungkan, dan rasional. Wewenang tidak resmi dapat merupakan hasil dari sifat kondisional dalam masyarakat, sehingga tidak bersifat sistematis meski melalui perhitungan-perhitungan yang rasional.

3) Wewenang pribadi dan teritorial

Wewenang pribadi bergantung pada solidaritas antara anggota kelompok dan berpusat pada seseorang tanpa mengenal batas (contoh petani dengan buruh tani). Wewenang teritorial menekankan pada sentralisasi wewenang yang didasarkan pada wilayah tempat tinggal (contoh RT atau RW).

4) Wewenang terbatas dan menyeluruh

Dikatakan wewenang terbatas apabila tidak mencakup semua sektor kehidupan atau terbatas pada bidang tertentu. Wewenang menyeluruh adalah wewenang yang tidak terbatas pada suatu bidang saja, melainkan pada keseluruhan bidang kehidupan masyarakat.

3. Pengertian Jabatan

Yang di maksud dengan jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan dilakukan untuk kepentingan Negara (kepentingan umum). Jabatan juga merupakan Subjek hukum yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu Personifikasi), oleh karena jabatan itu pendukung hak dan kewajiban, maka

16

.

http://rushdiezhepa.blogspot.com/2012/08/kekuasaan-wewenang-dan-kepemimpinan.html, diakses tanggal 22 Mei 2015

17

(24)

dengan sendirinya jabatan tersebut dapat melakukan tindakan hukum.18 Setiap jabatan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, jabatan yang satu berbeda karakteristiknya dengan jabatan yang lain. Karakteristik jabatan tersebut dapat dilihat dari hasil kerja kerja dan perangkat kerja yang dipergunakan. Dalam birokrasi pemerintah dikenal jabatan karier, yakni jabatan dalam lingkungan birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jabatan karier dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:19

1) Jabatan Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan struktural di PNS Pusat adalah: Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Biro, dan Staf Ahli. Sedangkan contoh jabatan struktural di PNS Daerah adalah: sekretaris daerah, kepala dinas/badan/kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.

2) Jabatan Fungsional, yaitu jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi, misalnya: auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, statistisi, pranata laboratorium pendidikan dll. Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi Pemerintah. Jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Jabatan fungsional keahlian adalah kedudukan yang menunjukkan tugas yang dilandasi oleh pengetahuan, metodologi dan teknis analisis yang didasarkan atas disiplin ilmu yang bersangkutan dan/atau berdasarkan sertifikasi yang setara dengan keahlian dan ditetapkan berdasarkan akreditasi tertentu. sedangkan jabatan fungsional keterampilan adalah kedudukan yang mengunjukkan tugas yang mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta dilandasi kewenangan penanganan berdasarkan sertifikasi yang ditentukan.

18

.Amiruddin, Op. Cit, halaman 95

19

(25)

Menurut Bagir Manan, Jabatan adalah lingkungan kerja tetap yang bersifat abstrak dengan fungsi tertentu, yang secara keseluruhan mencerminkan kerja organisasi. sifat abstrak dari sebuah jabatan, mengharuskan adanya pejabat yang diberikan wewenang dan tanggungjawab agar jabatan dapat menjadi konkret dan fungsi-fungsinya dapat dijalankan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka organisasi merupakan sebuah kumpulan dari jabatan-jabatan yang memerlukan pejabat sebagai konkretisasi jabatan.20

Pengertian jabatan dan pejabat sebagaimana yang dikemukakan oleh Bagir Manan tergambar dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tersebut dijelaskan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri dari dua jenis, yakni pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Lebih jelas, ketentuan ini diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara sebagai berikut:21

a) Pegawai Negeri Sipil (PNS); dan

b) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Selain itu, Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menggolongkan jenis-jenis pejabat, diantaranya adalah pejabat administrasi, pejabat pimpinan tinggi, pejabat fungsional, dan pejabat Pembina kepegawaian. Untuk jabatan administrasi, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN)

20.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-pejabat-pemerintahan, diaskses tanggal 23 Mei 2015

21

(26)

memberikan tiga macam sub jabatan, yakni jabatan administrator, jabatan pengawas, dan jabatan pelaksana.

Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga disebutkan bahwa pejabat dalam jabatan pelaksana bertanggungjawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Artinya, pasal tersebut menyatakan bahwa pegawai Aparatur Sipil Negara pada tingkat pelaksana pun dikategorikan sebagai pejabat, yakni pejabat pelaksana. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seluruh pegawai Aparatur Sipil Negara, baik yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK ) merupakan pejabat pemerintahan atau pejabat publik.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Metode penelitian hukum Normatif.

Metode penelitian hukum Normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan ( law in book ) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan prilaku manusia yang di anggap pantas.

2. Jenis Data dan Sumber Data

(27)

Data skunder adalah mencakup dokumen – dokumen resmi, buku – buku, dan sebagainya. Data skunder di peroleh dari :

1) Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen – dokumen dan peraturan yang mengikat dan di tetapkan oleh pihak – pihak yang berwenang yakni berupa undang – undang.

2) Bahan Hukum Skunder, yakni semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana korupsi seperti seminar hukum, majalah – majalah, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

3) Bahan Hukum Tersier, yakni semua dokumen yang berisi konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum skunder seperti, Kamus, ensiklopedia, dan lain – lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam skripsi ini di pergunakan metode Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yang berasal dari buku

– buku maupun peraturan perundang – undangan dengan judul skripsi ini.

4. Analisi Data

Dalam penulisan ini analisis data yang digunakan adalah dengan cara Kualitatif, yakni dengan menganalisis data skunder tanpa menggunakan statistik untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

(28)

namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Secara sistematis penulisan ini menempatkan materi pembahasan keseluruhannya ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut :

BAB I : Berisikan pendahuluan yang di dalamnya diuraikan mengenai latar belakang penulisan skripsi ini, perumusan masalah kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan Kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian di akhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan BAB yang membahas tentang ketentuan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan, di dalamnya dibahas mengenai perbuatan, pertanggungjawaban, serta sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi.

(29)
(30)

BAB II

KETENTUAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM JABATAN

A. Perbuatan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan.

Hukum pidana merupakan hukum publik, sehingga tujuan pokok diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat sebagai suatu kolektivitas dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang ( suatu organisasi ).22

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut telah diatur dalam perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan asas legalitas, dimana dalam asas ini mengandung 3 (tiga) prinsip dasar :23

1) Tiada pidana tanpa undang-undang; 2) Tiada pidana tanpa perbuatan pidana;

3) Tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dahulu ada.

Prinsip ini memiliki arti bahwa : pertama, untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang didalam peraturan, bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dirumuskan dengan jelas, tapi juga macamnya pidana yang diancamkan, dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatan

22

.Ismu Gunadi & Jonaedi Efendi, Cepat dan mudah memahami hukum pidana, Kencana

Prenadamedia Grup, 2014, hal. 11

23

(31)

yang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan, dengan demikian dalam bathin orang itu akan mendapat tekanan untuk berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dipandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

Oleh sebab itu perlu diketahui bahwa, untuk mengetahui adanya tindak pidana maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Secara sosiologis, sifat korupsi pun merupakan bentuk pelanggaran kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat. Dapat dikatakan, bahwa karakteristik pelaku korupsi, antara lain berpendidikan memadai, memiliki status sosial yang tinggi, kaya dan berpengaruh dalam masyarakat, serta memiliki kewenangan baik dalam pemerintah maupun dalam badan swasta, akan tetapi perlu dingat bahwa tidak semua orang yang memiliki karakteristik tersebut dengan sendirinya dapat melakukan korupsi, sebab untuk melakukan korupsi harus dilengkapi oleh adanya kewenangan dan kesempatan untuk melakukannya.24

Para pembuat korupsi yang memiliki kelebihan tersendiri dengan warga masyarakat biasa, sebenarnya mengetahui bahwa apa yang dilakukannya merupakan suatu kejahatan, karena sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai

24

(32)

keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan perbuatan tindak pidana korupsi tersebut.25

Menurut Soejono Soekanto, gejala korupsi itu muncul ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat.26

Perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan cukup beragam bentuk dan jenisnya. Namun, bila diklasifikasikan ada 3 (tiga) jenis atau bentuk perbuatan, yaitu;27

1) Berdasarkan Bentuk korupsi

Berdasarkan bentuk, korupsi terdiri atas dua macam, yaitu: Materiil dan immateriil. Jadi korupsi tidak selamanya berkaitan dengan penyalahgunaan uang negara. Korupsi yang berkaitan dengan uang termasuk jenis korupsi materiil. Sedangkan yang immaterial adalah korupsi yang berkaitan dengan pengkhianatan kepercayaan, tugas, dan tanggung jawab. Tidak disiplin kerja adalah salah satu bentuk korupsi immaterial. Memang negara tidak dirugikan secara langsung dalam hal ini. Tetapi, akibat perbuatan itu, pelayanan yang seharusnya dilakukan negara akhirnya terhambat. Keterlambatan pelayanan inilah kerugian immaterial yang harus ditanggung negara atau lembaga swasta. Begitu juga dengan mereka yang secara sengaja memanfaatkan kedudukan atau tanggung jawab yang dimiliki untuk mengeruk keuntungan pribadi. 2) Berdasarkan Sifat korupsi

a. Korupsi Publik

Dari segi publik menyangkut nepotisme, fraus, bribery, dan birokrasi. Nepotisme itu terkait dengan kerabat terdekat. Segala peluang dan kesempatan yang ada sebesar-besarnya digunakan untuk kemenangan kerabat dekat. Kerabat dekat bisa keponakan, adik-kakak, nenek atau kroni. Fraus, artinya, berusaha mempertahankan posisinya dari pengaruh luar. Berbagai cara dilakukan untuk kepentingan ini.

25

.Surachmin, Strategi dan Tehnik Korupsi, Sinar Grafika, 2011, hal. 91

26

.Marwan Efendy. Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya, GP Pres Grup, 2013, hal. 26

27

(33)

Bribery, artinya pemberian upeti pada orang yang diharapkan dapat memberikan perlindungan atau pertolongan bagi kemudahan usahanya. Bribery juga memiliki dampak yang cukup signifikan bagi kemajuan usaha. Namun, sasarannya, lebih tertuju pada out put (hasil kerja). Birokrasi juga bagian tak terpisahkan dari praktik korupsi. Birokrasi yang seharusnya berfungsi mempermudah memberikan pelayanan pada masyarakat, justru berubah menjadikendala pelayanan. Orang yang datang meminta pelayanan pada birokrat seharusnya mendapat peta yang jelas dari pintu mana diamemulai usahanya. Tetapi sebaliknya, orang langsung melihat ketidakjelasan terhadap apa yang diharapkan. Birokrasi tidak diciptakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi kepentingan birokrat.

b. Korupsi Privat

Korupsi ditinjau dari privat, yang dimaksud privat ada dua, yaitu badan hukum privat dan masyarakat. praktik korupsi terjadi dibadan umum privat dan masyarakat terjadi karena adanya interaksi antara badan hukum privat dengan birokrasi, antara masyarakat dengan birokrasi. Jadi, sifat interaksi yang terjadi adalah timbal balik. interaksi tersebut menghasilkan deal-deal tertentu yang saling menguntungkan. jadi, korupsi tidak hanya di lembaga-lembaga institusi negara, tetapi dengan swasta bergulir, karena ada interaksi. tanpa ada interaksi antar swasta dengan pemerintah tidak akan terjadi. Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam, yaitu:28

1) Corruption by Greed, motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.

2) Corruption by Opportunities, motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.

3) Corruption by Need, motif ini berhubungan dengan sikap mental yg tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yg tidak pernah usai.

4) Corruption by Exposures, motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah.

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 30 (tiga Puluh) jenis korupsi, dan

28

(34)

dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yakni:29

1. Merugikan keuangan negara;

Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di jelaskan bahwa perbuatan yang merugikan negara ada 2 (dua) bagian yakni :

1) Mencari keuntungan secara melawan hukum

a. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit 200.000.000,00- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00-( Satu milyar rupiah)”.

b. “Dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”.

29

.Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, Jakarta,

(35)

2) Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yakni : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua Puluh) tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00- (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00-( Satu milyar rupiah)”.

Dari penjelasan pasal tesebut terdapat sedikit perbedaan dengan penjelasan bagian pertama, dimana perbedaan itu hanya terletak pada unsur penyalahgunaan wewenang dalam jabatan dan mencari keuntungan dan merugikan keuangan negara dengan menggunakan kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena jabatan dan kedudukannya.

2. Suap-menyuap;

Suap- Menyuap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajibannya, baik permintaan itu dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni :

(36)

2) Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4) Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5) Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 6) Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 7) Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

8) Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

9) Pasal 6 ayat (2) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

10)Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 11)Pasal 12 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 12)Pasal 12 huruf d Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Penggelapan dalam jabatan;

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang penyalgunaan jabatan yakni :

1) Pasal 9 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi30

2) Pasal 10 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi31

30

(37)

3) Pasal 10 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4) Pasal 10 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Selain itu dalam Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyalahgunaan dalam jabatan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan penggelapan terhadap laporan keuangan, menghilangkan barang bukti dan membiarkan orang lain menghilangkan atau menghancurkan barang bukti dengan tujuan menguntungkan diri sendiri dengan merugikan keuangan negara.32

4. Pemerasan;

Sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bentuk korupsi ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu :

1) Pemerasan yang dilakukan pejabat pemerintah kepada orang lain atau kepada masyarakat. Bentuk pemerasan ini berdasarkan hukumnya dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian: 33

a. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menerangakn bahwa pada dasarnya tindak pidana pemerasan adalah pemerasan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah karena mempunyai kekuasaan, maka dengan kekuasaan tersebut pejabat pemerintah memaksa orang lain untuk memberi dan melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya sendiri.

31

.Pasal 10 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

32

.Pasal 8 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

33

(38)

b. Selanjutnya Pasal 12 huruf e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatakan bahwa : Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada seseorang atau masyarakat dengan alasan pemberian ilegal maupun uang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merupakan haknya sebagai pegawai negeri namun pada kenyataannya bukanlah demikian.

2) Pemerasan yang dilakukan oleh pegawai negeri kepada pegawai negeri yang lain. hal ini terdapat pada Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Perbuatan curang;

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ada beberapa Ketentuan yang mengatur tentang korupsi perbuatan curang yakni :34

1) Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2) Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3) Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4) Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

34

(39)

5) Pasal 12 huruf h Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.35

Perbuatan curang merupakan perbuatan yang dilakukan oleh pemborong, pengawasan proyek, rekanan TNI/Polri, Pengawasan rekanan TNI/Polri, yang melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau terhadap kerugian negara atau dapat membahayakan keselamatan negara pada saat perang.

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;

Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu aktivitas dari pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehubungan dengan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi :

“Pegawai negeri atau Penyelnggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, seluruh atau sebagian di tugaskan

untuk mengurus dan mengawasinya.”36

7. Gratifikasi.

Berdasarkan Pasal 12 B dan Pasal 12 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menentukan bahwa :

“ Pegawai Negeri atau penyelnggara negara yang menerima hadiah, padahal

diketahuinya atau patut diduga bahwa hadiah tersebut, diberikan sebagai akibat

35

.Pasal 12 huruf h Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

36

(40)

atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalm

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.”

Dilihat dari perumusan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 12 B tersebut,

“gratifikasi” bukan merupakan kualifikasi dari tindak pidana korupsi tentang

gratifikasi, tetapi hanya merupakan unsur dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi.37

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Gratifikasi merupakan pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai negeri dan penyelengggara negara baik berupa uang, barang, diskon, pinjaman tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan cuma-cuma, biaya penginapan, serat fasilitas-fasilitas lainnya, akan tetapi pemberian tersebut tidak dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya Gratifikasi.

Gratifikasi ini erat sekali hubungannya dengan penghasilan pegawai negeri kita yang relative masih sangat kecil, sehingga pemberian /gratifikasi ini dianggap sebagai penghasilan tambahan. Gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi bila dapat dibuktikan apakah ketika gratifikasi itu terjadi bertentangan atau berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya selaku pegawai negeri sipil/penyelenggara negara atau tidak.

Dalam hukum administrasi, persoalan legalitas tindakan pejabat berkaitan dengan pendekatan kekuasaan, sedangkan tanggungjawab pribadi adalah tanggung jawab pidana, maka hal ini berkaitan dengan pendekatan fungsionaris

37

(41)

atau pendekatan prilaku. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penyalahgunaan wewenang maupun public secvis.

Untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. hal tersebut

sesuai dengan konsep hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid

atau there is no authority without responslibility”.38

Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu:39 Pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum. komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Didalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandat (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandat. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya mandat tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggung jawab secara yuridis tetap pada mandat (pemberi wewenang).

38

.Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Mediatama, Palangkaraya, 2009, hal.72.

39

(42)

Pada atribusi wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandat (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggung jawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggung jawab, pertanggung jawaban sudah beralih pada delegatoris.

Pada delegasi, pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegatoris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris.

Untuk memperjelas kriteria delegasi yang dimaksud, Ten Berge, menyatakan bahwa syarat-syarat delegasi antara lain :40

a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Dalam pengelolaan keuangan daerah (Peraturan Pemerintah Nomor : 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah),41 Kepala Daerah sebagai Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah mendelegasikan sebagian

40

.Philipus M, Hadjon, Ibid, Hal. 5

41

(43)

atau seluruhnya kepada Sekretaris Daerah dan atau perangkat pengelola keuangan daerah. Penetapan pendelegasian wewenang kepada perangkat pengelola keuangan daerah tersebut dengan Surat Keputusan Kepala Daerah. Penetapan tersebut merupakan salah satu syarat pelaksanaan anggaran.

Disamping itu, dalam hukum pidana menganut prinsip “personal responsibilitiy”, tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. In casu

dalam hal ini perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personalresponsibility).42

Dari uraian di atas, dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang itu di dalamnya terkandung pertanggung-jawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang melaksanakan tugas dan atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.

Selain itu tak kalah pentingnya dalam penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis yang didasarkan pada cara memperoleh wewenang/kewenangan, perlu

juga ada kejelasan tentang siapa “pejabat” tersebut dan yang kedua, bagaimana

seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat? Dalam perspektif hukum

42

(44)

publik, Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan disisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve).

Selanjutnya jawaban atau pertanyaan, seseorang disebut atau dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan (ambtshalve). Dalam kaitan dengan tanggung jawab jabatan, jika

perbuatan tersebut masih dalam tahapan “beleid”, hakim tidak dapat melakukan

penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan “beleid” tersebut ada indikasi

penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana.43

B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak terjadi44

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya, dengan demikian, terjadinya

43

.Philipus Mandiri Hadjon, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik AAUPB”, 2004, hal. 1

44

(45)

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.45 Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana, pembuat suatu tindak pidana akan hanya dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.

Dalam kamus istilah hukum “aansprakelijk” artinya tanggung jawab menurut

hukum atas kesalahan atau akibat suatu perbuatan. Dengan demikian, tanggung jawab jabatan adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada negara/pemerintah atas kesalahan atau akibat dari tindakan jabatan. Sedangkan tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab menurut hukum yang dibebankan kepada seseorang atas kesalahan atau akibat perbuatannya secara pribadi.46

Terkait dengan subjek tindak pidana perlu dijelaskan, pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Artinya, barang siapa melakukan tindak pidana, maka ia harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana.47 Dengan demikian berdasarkan peraturan yang tertulis akan ditentukan perbuatan apa saja yang dilarang untuk dilakukan yang jika dilanggar menimbulkan konsekuensi hukum yaitu menghukum pelaku dengan memperhatikan syarat pertanggungjawaban pidana antara lain :48

45

.http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, diakses tanggal 25 September 2015

46

.Amiruddin, Lo, Cit, hal.18

47

.Adami Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II ( Fenafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniaadaan, pemberat dan peringan, kejahatan aduan, perbarengan dan ajaran kausalitas), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, halaman, 16.

48

.http://ilmuhukumdasar.blogspot.co.id/2012/10/pertanggungjawaban-pidana.html,

(46)

a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab c. Adanya kesengajaan

d. Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu :

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

1) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian;

2) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

3) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; 4) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

5) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

Perlu digaris bawahi, bahwa unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan kealpaan).49

Kesalahan dalam hukum pidana merupakan faktor penentu adanya suatu pertanggungjawaban pidana, atau mengandung bebang pertanggungjawaban

49

(47)

pidana yang terdiri dari kesengajaan dan kealpaan. Dengan demikian suatu perbuatan hanya dapat dipersalahkan pada pelaku pidananya, jika pada saat ia melakukan perbuatan itu, ia menghendaki akibat yang timbul dari perbuatannya itu atau setidak-tidaknya akibat itu dapat diketahuinya terlebih dahulu. Jika ia

memang menghendaki akibatnya maka kehendak itu disebut “sengaja” dan jika ia

tidak berusaha dengan hati-hati, sehingga menimbulkan akibat yang dilarang, tetapi yang dapat diperkirakan terlebih dahulu maka terdapatlah culpa atau kelalaian. Disamping itu, harus pula dipastikan tidak adanya alasan pemaaf pada si pelaku atas tindakannya karena unsur-unsur tersebut saling bergantung satu sama lain dan merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan menentukan adanya kesalahan.50

Hal ini dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) elemen kesalahan yang bersifat kumulatif.51 Artinya, seseorang dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika memenuhi ketiga elemen dimaksud.

Pertama, kemampuan bertanggungjawab. Kedua, adanya sikap batin antara pelaku dan perbuatan pidana yang dilakukan. Sikap batin ini melahirkan dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Syarat kesengajaan adalah

weten en wilen (mengetahui dan menghendaki), sedangkan syarat kealpaan adalah kurang adanya kehati-hatian atau kurang adanya penduga-dugaan. Ketiga, tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana yang secara garis besar dibagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf.52 Alasan pembenar menghapuskan

50

.Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungja waban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana

Korupsi, Prenada Media Grup, Jakarta, 2015, halaman, 13-14

51

.Moeljatno, Edisi Revisi Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, 2008, hal. 178

52

(48)

sifat melawan hukum perbuatan yang meliputi perintah jabatan, perintah undang-undang, pembelaan terpaksa dan keadaan darurat. Sementara alasan pemaaf, menghapuskan sifat dapat dicelanya pelaku yang meliputi kemampuan bertanggungjawab, pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perintah jabatan yang tidak sah, dan daya paksa.53

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan-tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana,

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

acquisition time steps can be computed using the parameters of the relative orientation. 6) A computation of adapted cubic splines for the laser scanner orientation

Gowa LKP Jangang Buleng Dusun Allu Rt.004 Rw.004 Ds.Sengka Kec.Bontonompo Selatan, Kab.Gowa Sulawesi Selatan 92153 Tlp.. Gowa LKP Hidayatullah

Rottensteiner F., Briese C., 2002, A new method for building extraction in urban areas from high-resolution LiDAR data, International Archives of the

[r]

We have also estimated the average traverse segment length while the rover maintained a 1% localization error over a 3-km- long traverse and compared the results with the

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan pada penelitian ini adalah : (1) Untuk dimensi percaya diri berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

Metode penelitian yang dilakukan untuk merancang dan membuat sistem informasi Toko Online KPRI UNS Surakrata ini adalah dengan menggunakan metode penelitian