BAB II
PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DALAM KONSITUSI REPUBLIK INDONESIA.
A. Sejarah Kehidupan Beragama Pada Masa Beberapa Kerajaan di Nusantara Pra Kemerdekaan RI.
Sejarah mencatat bahwasanya kehidupan antar umat beragama prakteknya
berjalan pada masa kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara ini. Sebelum merdeka,
agama-agama yang ada pada saat ini khususnya agama-agama yang berasal dari luar
Indonesia juga keberadaannya mengalami banyak kemajuan karena raja-raja pada
masa sebelum kemerdekaan juga banyak menganut agama dan ajaran tersebut.
Didalam berhubungan dengan kerajaan lain juga, sering terlihat bagaimana masalah
agama tidak menjadi penghalang untuk mengadakan hubungan satu sama lain. Tidak
heran menemukan bahwa raja menikahi putri dari kerajaan yang berbeda dengan
perbedaan agama pula. Bahkan melalui perkawainan campuran tersebutlah terjadi
harmoni kehidupan beragama didalam kerajaannya. Belum lagi adanya kebebasan
bagi warga di kerajaannya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihannya sendiri.
Kerajaan yang akan disinggung mengenai pelaksanaan kehidupan beragama, yakni:
Kerjaan Mataram Kuno, Kerjaan Majapahit, Kerjaan Demak, dan Kerajaan
Sriwijaya.
Kerajaan Mataram kuno di perkirakan berdiri pada abad ke-8 dan berpusat di
hindu. Agama Hindu merupakan agama yang pertama kali tersebar di pulau Jawa.
Agama ini di bawa oleh para pedangang dan petualang-petualang dari India yang
melalang buana hingga terdampar di Pulau Jawa. Sebelum menganut agama Hindu,
nenek moyang yang di tinggal di pulau jawa adalah penganut kepercayaan animisme
dan dinamisme. Tidak berapa lama berselang, tersebar pula agama Budha yang di
bawa oleh para pedangang dari Cina. Maka secara garis besar ada dua agama utama
yang berkembang di tanah Jawa saat itu. Agama Hindu dan Budha.60
Kebebasan memeluk agama sudah ada sejak zaman dahulu kala. Hal ini
terbukti dari betapa taatnya sang Raja Sanjaya pada agama yang di anutnya, beliau
tetap memberikan kebebasan kepada sanak keluarga dan rakyatnya untuk memeluk
agama Budha. Hal inilah yang menyebakan kerajaan Mataram kuno terpecah menjadi
dua keluarga atau yang di sebut dengan wangsa. Yaitu wangsa Sanjaya yang
menganut agama Hindu dan wangsa Sailendra yang menganut agama Budha.
61
Hubungan antarumat dan kebebasan beragama di Indonesia memiliki sejarah
yang panjang dan dapat ditelusuri sejak zaman purbakala atau sejak zaman kerajaan
Hindu- Budha di Jawa Tengah. Seiring dengan perjalanan sejarah, suksesi para
raja-raja, pergeseran pusat kekuasaan, perubahan politik serta gelombang kedatangan
agama dan berbagai aliran/faham keagamaan baru. Hubungan antarumat beragama
mengalami pasang surut dari hubungan yang harmoni, sinkritis, hingga disharmoni
dan konflik. Peninggalan purbakala kompleks candi Plaosan yang terletak di sebelah
60
Babad Tanah Leluhur,
2012
61
timur candi Prambanan menunjukkan adanya bukti-bukti hubungan antarumat yang
menarik untuk diungkap kembali. Komplek candi yang dibangun pada abad X zaman
kerajaan Mataram kuno itu, selain sebagai tempat pemujaan juga merupakan
kompleks vihara dan boarding school. Kiranya tidak berlebihan jika candi Plaosan
dijadikan sebagai lambing “cinta-kasih” karena Rakai Pikatan membangun candi
tersebut sebagai hadiah untuk isterinya, Sri Pramoda Wardhani.62
kerajaan yang terbuka. Pada masa kekuasaan Rakai Pikatan telah terjalin hubungan
dengan dunia Islam dari Timur Tengah.
Lebih dari itu, dibalik perkawinan Rakai Pikatan dengan Sri Pramoda
Wardhani, sebenarnya telah terjadi perkawinan yang lebih besar, yaitu perkawinan
antara dua dinasti penguasa wilayah Jawa Tengah, dinasti Sanjaya dan Syailendra.
Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, sedangkan Pramoda Wardhani berasal dari
dinasti Syailendra. Kedua dinasti ini menganut agama yang berbeda. Dinasti Sanjaya
menganut agama Hindu, sedangkan dinasti Syailendra menganut agama Buddha.
Perkawinan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang harmoni antara dua dinasti
yang menganut agama yang berbeda. Keharmonisan hubungan antarumat terabadikan
dalam candi induk, dua panel relief menggambarkan kedatangan tamu kerajaan yang
mengenakan kufiyah (penutup kepala khas Persia). Hal ini menunjukkan bahwa,
kerajaan Mataram Kuno (Hindu-Buddha) meski berada di pedalaman merupakan
63
62
Haidlor Ali Ahmad, Hubungan Antarumat dan Kebebasan BeragamaJurnal Multikultural & Multireligius Harmoni: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RIVolume IX, Nomor 36, Oktober - Desember 2010, hal. 5
63
Selain itu, dalam kerajaan Mataram kuno juga ditemukan suatu pura dengan
nama Pura Lingsar yang merupakan pura terbesar dan tertua yang dibangun sekitar
tahun 1714 M pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem oleh Raja Anak Agung
Ngurah. Pura ini terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat, sekitar 15km dari ibukota Mataram.64
Pura ini merupakan simbol kerukunan antar umat beragama. Hal ini
dikarenakan selain menjadi tempat ibadah umat Hindu, pura ini juga digunakan oleh
umat Islam suku Sasak yang beraliran Wetu Telu (Waktu Tiga), mereka hidup
berdampingan dan mengelola pura bersama-sama. Untuk menjaga kedamaian, di
larang memakan atau menyembelih binatang-binatang yang dianggap suci oleh
masing-masing agama di dalam dan di daerah sekitar pura. Bahkan sapi yang
dianggap suci oleh umat Hindu dilarang berkeliaran sampai dengan radius 2
kilometer dari Pura Lingsar. Ketika masuk ke dalam kawasan Pura ini, pengunjung
disarankan untuk menggunakan selendang yang diikatkan ke pinggang. pemakaian
selendang ini untuk menghormati Pura ini yang dianggap suci oleh umat Hindu dan
Islam.65
Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa
yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan
Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara
Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit
64
Wenny Cristina, Melihat Kerukunan Antar Umat Beragama di Pura Lingsar Lombok.
65
tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan
Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan
Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha,
melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha. 66
Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin
Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: 67
Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran holistic spirituality ini
hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan
dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “negara agama”
yang intoleran dan rawan memecah belah nusantara itu, antara lain ditunjukkan
dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah
(aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan
Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang
bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan
iman yang berbeda-beda.
Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang
Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.
68
66
Sena Adiningra
67
Ibid.
68
Kaitannya dengan paham kebangsaan, Presiden Soekarno, dalam pidatonya
tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa
kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu
Sriwijaya dan Majapahit. Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya
pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional”
sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman
dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak
menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama
Ageming Aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan
sejak Demak nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan nusantara, sesama
Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak.69
Meninjau sejenak Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun
2006 dan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
1/BER/MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Ada pihak yang
mempersoalkannya dengan dalih pengekangan kebebasan beragama, ternyata pada
zaman Majapahit, Prabu Rajasanagara telah membuat rambu-rambu yang mengatur
lalulintas penyiaran agama. Prof. Dr. Slamet Mulyono (1965) dalam bukunya Menuju
Puncak Kejayaan mengupas kitab Negara Kertagama peninggalan Mpu Prapanca,
antara lain mengatakan bahwa pada zaman pemerintahan Rajasanagara di Majapahit
69
Ibid.
terdapat tiga macam aliran/agama, Siwa, Brahma dan Buddha (yang disebut
tripaksa). Rajasanagara mempunyai niat besar bagi tegaknya tripaksa, agar
ketiga-tiganya hidup rukun (pupuh 81:1). Untuk menghindari persengketaan, Rajasanagara
mengadakan pembagian daerah (pupuh 16: 1-3). Aliran Siwa dianjurkan di
mana-mana, sementara agama Buddha hanya boleh disiarkan di kerajaan bagian timur.70
Prapanca menyatakan bahwa gerak para pendeta Buddha agak dikekang oleh
undang-undang (pupuh 16: 2). Menyiarkan agama Buddha secara leluasa tidak
diizinkan. Jawa sebelah barat adalah daerah larangan, dengan alasan di daerah
tersebut tidak ada penganut agama Buddha. Peraturan yang dibuat Rajasanagara ini
memberikan kesan agar tidak terjadi Buddhanisasi di wilayah yang penduduknya
sudah menganut agama Siwa. Pada era orde baru peraturan perundang-undangan
serupa sering dinyatakan dalam bentuk adagium “jangan menanam sayur di kebun
orang!”. 71
Setelah agama Islam datang, bentuk-bentuk sinkritisme baru pun muncul.
Pada masa awal penyebaran Islam di Indonesia tidak menekankan masalah teologi
maupun syariah (fiqh). Agama Islam disebarkan melalui penetrasi kebudayaan,
ditengarai antara lain dengan munculnya masjid-masjid yang menggunakan arsitektur
rumah adat setempat atau pengaruh arsitektur pra-Islam. Dalam konteks ini Dr. G. F.
Pijper mengatakan, menara masjid Kudus lebih menyerupai menara Kulkul di Bali.
Selain itu, cerita wayang, perayaan sekaten, selametan, kenduri, dan nyadran yang
70
Haidlor Ali Ahmad, Op.cit. hal 8.
71
sarat dengan unsur-unsur sinkretisme antara Islam dengan Hindu/Buddha serta agama
lokal yang sudah ada sebelumnya.72
Setelah kedatangan bangsa Eropa terutama Portugis yang berhasil
menaklukkan Malaka pada tahun 1511, dan Belanda dengan kongsi dagangnya
(VOC), agama Kristen mulai dikenalkan kepada bangsa Indonesia. Misi Kristen
dipandang berhasil pada abad XIX, sebagaimana dikutip A. Syafi’i Mufid dari
Ricklefs (2005: 275), di Jawa Timur muncul komunitas Kristen yang dipimpin oleh
Kyai Tunggul Wulung. Di Jawa Tengah agama Kristen, berkembang dengan pesat di
bawah pimpinan Sadrach Surapranata (1835-1924), melampaui keberhasilan yang
dicapai oleh penginjil Eropa. Apalagi setelah diterapkannya “politik etis”, anak-anak
pribumi diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari
strategi asosiatif, wajah kebudayaan nusantara benar-benar semakin beragam
(multicultural).73
Berkaitan dengan hubungan antar umat agama, menarik untuk dicermati di
sini bahwa penyebaran agama Kristen ke wilayah Papua dilakukan oleh para
misionaris Kristen. Para misionaris ini menginjakkan kakinya di Pulau Cenderawasih
(termasuk ke Manokwari) atas izin Sultan Tidore. Bahkan mereka diantar oleh tentara
(punggawa) kesultanan Islam itu. Yang perlu digarisbawahi dari catatan sejarah
hubungan antarumat beragama baik yang harmoni maupun disharmoni, semuanya
adalah pelajaran yang sangat berharga. Meski kondisi hubungan antarumat beragama
72
Ibid
73
yang harmoni yang dikehendaki oleh pemerintah dan para tokoh/pemuka agama
bukanlah hubungan antarumat beragama yang harmonis dan sinkritis, melainkan
hubungan antarumat yang masing-masing umat memiliki kualitas pengetahuan dan
pengamalan agama yang baik. Akan tetapi, mereka bisa hidup berdampingan penuh
toleran.74
B. Urgensi Materi HAM dalam Konstitusi
Uraian tersebut cukup membuktikan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di
nusantara juga mengalami pasang surut didalam pelaksanaan kerukunan atau
kebebasan menganut agama. Banyak hal yang membuktikan kerukunan dapat dicapai
dengan beberapa aksi nyata, namun ada juga, hal-hal yang terjadi yang juga
memasung kebebasan beragama itu sendiri. Hal ini membuktikan, masalah
pelaksanaan kebebasan beragama dan muncul keyakinan-keyakinan di
kerajaan-kerajaan nusantara ini suatu hal yang berulang dari masa ke masa. Namun, tetap
pemimpin baik Raja maupun Pemerintah dalam konteks sekarang, memegang andil
yang besar didalam menjamin pelaksanaannya
Secara teoritis, salah satu syarat bagi suatu negara hukum adalah adanya
jaminan atas hak-hak asasi manusia (HAM). 75
74
Ibid.
75
Negara hukum ialah Negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Secara lengkap unsur-unsur yang harus ada dalam suatu Negara hukum adalah: 1)Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, 2) Pemisahan Kekuasaan, 3) setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan, dan 4) Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri (lihat : Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia ,:Jakarta: (Pusat Studi HTN FH-UI), 1981, hal. 156.
HAM lazimnya diartikan sebagai
atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa, seperti hak hidup, hak selamat, hak
kebebasan dan kesamaan sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun.76
Dalam perpektif yuridis formal, jaminan atas perlindungan HAM dalam suatu
negara hukum harus terbaca dan tertafsirkan dari konstitusi yang berlaku di negara
itu, atau setidak-tidaknya termaklumi dari praktik hukum dan ketatanegaraan
sehari-hari.77 Penegasan atas jaminan perlindungan HAM dalam konstitusi, erat kaitannya
dengan kedudukan dan fungsi konsititusi itu sendiri, yang dapat dirinci sebagai
berikut:78
1. Konsitusi berfungsi sebagai dokumen nasional yang mengandung perjanjian luhur, berisi kesepakatan tentang politik, hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi, kesejahteraan dan aspek fundamental yang menjadi tujuan negara; 2. Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran negara baru. Merupakan bukti
adanya pengakuan dari masyarakat internasional;
3. Konstitusi berfungsi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara. Konsitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya suatu negara dengan sistem administrasinya melalui adanya kepastian hukum yang terkandung dalam pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, kontrol sosial, dan memberikan legitimasi atas berdirinya lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang pembagian dan pemisahan kekuasaan antar organ eksekutif, legislatif, dan yudikatif;
4. Konstitusi berfungsi sebagai indentitas nasional dan lambing persatuan. Konsitusi menyatakan persepsi masyarakat dan pemerintah. Sehingga memperlihatkan adanya nilai indentitas kebangsaan, persatuan dan kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan bangsa. Konsitusi dapat memberikan pemenuhan atas harapan sosial, ekonomi, dan kepentingan politik. Konstitusi tidak saja mengatur pembagian dan pemisahan kekuasaan dalam lembaga-lembaga politik, akan tetapi juga mengatur tentang penciptaan checks and
balances antara aparat pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
76
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. (Surabaya: PT. Bina Ilmu), 1987, hal 39.
77
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung : Mandar Maju), 2001, hal. 83
78
5. Konsitusi berfungsi sebagai alat pembatas kekuasaan, mengendalikan perkembagan dan situasi politik yang selalu berubah; dan
6. Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak-hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan-kebebasan warga negara.
Kedudukan dan fungsi konstitusi sebagaimana tersebut diatas, juga dapat
merupakan tuntutan bahwa konsitusi harus dapat menjawab persoalan-persoalan
pokok dalam sebuah negara, antara lain:79
1. Konsitusi merupakan hukum dasar suatu negara;
2. Konsitusi merupakan sekumpulan aturan dasar yang menetapkan lembaga-lembaga penting dalam negara;
3. Konstitusi melakukan pengaturan kekuasaan dan hubungan keterkaitannya; 4. Konstitusi mengatur hak-hak dasar dan kewajiban warga negara dan
pemerintah;
5. Konstitusi harus dapat membatasi dan mengatur kekuasaan negara dan lembaga-lembaganya;
6. Konstitusi merupakan ideologi elit penguasa; dan
7. Konstitusi menentukan hubungan materiil antara negara dengan masyarakat.
HAM sebagai salah satu materi muatan konsitusi menunjukkan dua makna
perlindungan yang dijamin oleh konstitusi itu sendiri, pertama, makna bagi penguasa
negara adalah agar dalam menjalankan kekuasaannya, penguasa dibatasi oleh adanya
hak-hak warga negaranya; kedua, makna bagi warga negara, adalah agar ada jaminan
perlindungan yang kuat dalam hukum dasar negara (konstitusi), sehingga warga
negara dapat menjadikan konsitusi sebagai instrument untuk mengingatkan penguasa
supaya tidak melanggar HAM yang telah tercantum dalam konstitusi dalam
79
menjalankan kekuasaannya.80 Dengan demikian, urgensi pengaturan HAM dalam
pasal-pasal konsitusi suatu negara dimaksudkan untuk memberikan jaminan
perlindungan yang sangat kuat, karena perubahan dan/atau penghapusan satu pasal
saja dalam konsitusi seperti yang dialami dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia,
mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen
yang dilakukan berkali-kali sampai empat kali.81
Pengaturan HAM didalam UUD 1945 memang membuka peluang bagi
terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa jika dikaitkan dengan konsitusi
yang ditinjau dari sosio-legal dan sosio kultural. Sebab, rumusan yang terdapat
didalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai residu kekuasaaan negara dan bukan
kekuasaaan sebagai residu HAM. Keharusan perumusan HAM yang bukan menjadi
80
Sri Hastuti PS, “Perlindungan HAM dalam Empat Konstitusi di Indonesia” dalam Jurnal
Magister Hukum, Vol. 1 No. 1 Januari 2005, (Yogyakarta: Magister Ilmu Hukum FH-UII), 2005, hal
11-12
81
Perubahan pertama, dilakukan melalui sidang MPR pada tanggal 14-21 oktober 1969 terhadap beberapa pasal UUD 1945 sehingga menjadi bentuk Perubahan Pertama UUD 1945, dan ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua UUD 1945 dihasilakan dari Sidang Umum MPR pada tanggal 17-18 Agustus 2000 sehingga menjadi bentuk Perubahan Kedua UUD 1945, dan ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan ketiga UUD 1945 dihasilkan melalui putusan Rapat Paripurna MPR RI ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 November 2001 sidang tahunan MPR-RI atas amanat Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000 Jo, ketetapan MPR No. XI/MPR/2001 yang mengamanatkan agar pada Sidang Tahunan MPR, Majelis harus menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan ketiga UUD 1945 yang rancangan perubahannya telah disiapkam oleh BP-MPR dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 9 November 2011. Kemudian pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung mulai tanggal 1-11 Agustus 2002, MPR berhasil menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan keempat UUD 1945. Pada perubahan keeempat ini segala hal yang masih belum terselesaikan melalui perubahan pertama, kedua dan ketiga dituntaskan pada perubahan keempat ini. Dengan demikian, setelah dilakukan empat kali perubahan (amandemen). Lihat selengkapnya dalam, Morissan, Hukum Tata Negara RI Era
residu kekuasaan didalam konstitusi itu dapat dilacak dari sejarah HAM dan
konstitusi itu sendiri.82
Formulasi konsitusi yang partikularistik dan secara eksplisit menyerahkan
hal-hal penting dalam bidang HAM (HAW) untuk diatur dengan Undang-Undang dalam
kenyataannya telah menimbulkan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Melalui
system politik yang executive heavy, yang dianut oleh UUD 1945, pemerintah telah
melakukan pembatasan secara ketat atas penggunaan HAM di Indonesia dengan
atribusi dan delegasi kewenangan yang dimilikinya. Ketika membuat UU untuk
merealisasikan pesan-pesan tentang HAM atau HAW itu, ternyata pemerintah telah
membuka pintu bagi terjadinya pelanggaran HAM itu sendiri83
82
Penelusuran sosio-legal dan sosio cultural dari sejarah HAM member penegasan bahwa konsitusi bukan merupakan fungsi residual HAM dari kekuasaan Negara dan pemerintah melainkan, sebaliknya merupakan fungsi residual kekuasaan dari kebebasan dan HAM. Artinya, konsitusi itu sebenarnya tidak boleh member pembatasan atas HAM atau menjadikannya sebagai sisa dari kekuasaan pemerintah semata. Sebaliknya kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesame warganya. Selengkapnya lihat,Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konsitusi, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, Hal 150-153.
83
Hal itu tampak misalnya,dari UU tentang Pokok-Pokok Pers yang membelenggu kebebasan pers melalui ancaman pemberagusan; UU Kepartian (parpol dan Golkar) yang hanya membatasi orsospol tertentu yang bisa mengikuti kontestasi politik serta tidak membuka pintu bagi gumpalan aspirasi baru; UU tentang pemilu yang sangat konservatif dan membuka peluang terjadinya kecurangan oleh pemerintah dalam rantai-rantai proses pelaksanaannya. Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, (Jakarta: LP3S), 1998, hal 177
. Dengan demikian
jika formulasi UUD 1945 tentang HAM dan HAW dikaitkan dengan terjadinya
pelanggaran HAM, selain dilakukan dengan terang-terangan secara melanggar
dilakukan melalui prosesdur secara “formalitas” benar karena untuk berbagai
pelanggaran HAM itu telah dibuatkan UU lebih dahulu untuk membenarkannya. 84
Jaminan konstitusi HAM tidak bisa diabaikan. Pengabaian perihal HAM
adalah juga pengabaian perihal penegakkan hukum. Atas dasar itu, maka sebagai
“otobiografi bangsa”, maka pengaturan dan bentuk jaminan HAM UUD 1945 harus
menjadi perhatian serius seluruh komponen bangsa. Pentingnya jaminan konstitusi
atas HAM membuktikan komitmen atas sebuah kehidupan demokratis yang berada
dalam payung Negara hukum. Memang, Indonesia, menurut Todung Mulya Lubis, Melalui uraian mengenai urgensi keberadaan HAM dalam konstitusi dapat
dipahami bahwa pengaturan HAM tersebut merupakan bagian dari substansi yang
harus ada didalam konsitusi. Substansi mengenai perlindungan hak asasi manusia,
aspek-aspek ketatanegaraan yang mendasar dan lebih utamanya lagi adanya
pembagian dan pembatasan sekaligus sebagai sarana control terhadap kekuasaan
negara. Sehingga pemerintah memiliki acuan didalam melaksanakan kekuasaannya.
Menyoal masalah adanya penjabaran dari isi konstitusi yang membuka peluang untuk
pelanggaran HAM yang sudah diformulasikan dalam undang-undang itu
permasalahan yang timbul karena ketika pembuatannya itu bertentangan dengan isi
konstitusi sendiri. Dalam hal inilah dibutuhkan kerjasama baik pemerintah dan pihak
legislator untuk bersama-sama merumuskan aturan-aturan yang tetap menjungjung
tinggi HAM dalam konteks ke Indonesiaaan.
84
belum sampai kearah itu, meskipun persoalan dan perlindungan HAM diatur dalam
peraturan perundang-undangan seperti UU Lingkungan Hidup, UU HAM, UU
Pengadilan HAM, UU Pers, UU Konsumen dan sebagainya.85
C.Perlindungan HAM Dalam Konsitusi Republik Indonesia
Rakyat Indonesia membutuhkan tidak hanya sekedar legal rights, melainkan
dapat menjadi guaranteed constitutional rights yang tertuang secara sistematis dan
komprehensif dalam “otobiografi Indonesia”, yakni UUD negara Republik Indonesia.
Yang lebih penting bagi lagi adalah bahwa perjalanan proses dialektika demokrasi
yang terjadi di Indonesia harus menjadi pelajaran berharga dalam mereformulasikan
jamianan konstitusi atas HAM dengan berdasarkan kepada paradigma ke
Indonesiaan. Urgensi memuat masalah penjaminan atas HAM membuktikan bahwa
konsitusi tersebut secara substansi dinyatakan memenuhi unsur yang harus diatur
didalam konsitusi. Jika tidak sesungguhnya konsitusi tersebut rapuh dan dapat
dikatakan bukan konsitusi yang layak dikatakan sebagai konsitusi. Karena konsitusi
menjadi acuan bagi pemerintah sebagai pemegang mandat didalam menjalankan
pemerintahannya.
Konteks UUD yang pernah berlaku di Indonesia, pencantuman secara
eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan beragam konsensus. Dalam urutan
berlakunya UUD di Indonesia, yakni UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950,
85
Todung Mulya Lubis, Jaminan Konsitusi Atas Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, dalam Internasional IDEA, Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Indonesia;Laporan Hasil
Konfrensi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, pada bulan Oktober 2001 (Jakarta: Internasional
UUD 1945, dan Amanannden Keempat UUD 1945 Tahun 2002, pencantuman HAM
mengalami pasang surut. Tendensi politis ditambah dengan “keringnya” jaminan atas
HAM menambah sederatan sikap penguasa yang terkesan ambigue. Multi penafsiran
atas teks-teks konsitusi tidak dapat terbaikan sehingga tidak jarang interpretasi
penguasa lebih terkesan subyektif dan hagemonik.86
Istilah HAM tidak ditemukan dalam UUD 1945. HAM dalam UUD 1945
diatur secara singkat dan sederhana. HAM diatur dalam UUD 1945 lebih berorientasi
kepada hak sebagai warga Negara (HAW) yang hanya ditegaskan dalam 5 pasal,
yakni pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 31, dan pasal 34. Dalam konsitusi RIS 1949,
pengaturan HAM terdapat dalam bagian V yang berjudul “Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”. Pada bagian tersebut terdapat 27 pasal dari mulai pasal 7
sampai dengan pasal 33.87
UUDS 1950 memuat pasal-pasal tentang HAM yang relatif lebih lengkap.
Ketentuan yang diatur pada bagian V (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan dasar
Manusia) dari mulai pasal 7 sampai pasal 33. Menariknya, pemerintah juga memiliki
kewajiban dasar konstitusional yang diatur sedemikian rupa, sebagaimana diatur pada
bagian VI (Azas-azas Dasar) sebanyak 8 pasal, dari pasal 35 sampai dengan pasal
43.88
86
Majda El Mustaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, (Jakarta: Predana Media), 2005.
87
Ibid.
88
Merujuk kepada ketiga jenis konsitusi yang berlaku di Indonesia terkait
dengan masalah jaminan atas perlindungan HAM, terlihat bahwa konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950 memuat pasal-pasal HAM secara lengkap, yang oleh UUDS 1950
dimasukkan kedalam suatu bagian tersendiri, yaitu bagian V. Sehingga menurut Mr.
Moh. Yamin Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 adalah satu-satunya daripada
segala konstitusi yang telah berhasil memasukkan HAM seperti putusan UNO
kedalam piagam Konsitusi.89
Agenda perubahan UUD 1945 merupakan sejarah baru bagi masa depan
konstitusi Indonesia. Pengaturan HAM ditegaskan pada perubahan UUD 1945 Tahun
2000. Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan
yang pernah diatur dalam UUD 1945. HAM diatur dalam sebuah bab, BAB XA
tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 pasal, dari mulai pasal 28 A sampai
dengan 28 J. Meskipun banyak kritikan terhadap hasil amandemen UUD 1945 karena
belum dapat menghasilkan konstitusi yang ideal, tetapi paling tidak amandemen 1945
ini mulai mengarah kepada tuntutan doktrin konstitusionalisme.
Artinya, baik Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
dalam masalah penuangan pasal-pasal HAM memiliki kesamaan dengan apa yang
tercantum didalam dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
90
89
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju) 2001, hal. 83
90
Doktrin konsitusionalisme mengajarkan bahwa penguasa perlu dibatasi kekuasaannya dan karena itu kekuasaannya itu harus diperinci secara tegas dan juga merupakan suatu kerangka dari masyarakat politik yang pada dasarnya terdapat pengertian tentang “lembaga-lembaga negara, hak-hak serta kewajiban hak asasi manusia dan warga negara. Lihat selengkapnya Sri Soemantri dan Suharizal,
Reformasi Konstitusi 1998-2002; pergulatan Konsep dan Pemikiran Amandemen UUD 1945, (Jakarta:
Sinar Grafika), 2002, hal.28
konteks HAM, UUD 1945 hasil amandemen ini secara materiil memuat pasal-pasal
yang substansinya HAM nya jauh lebih lengkap.
Melalui penjelasan ini dapat dikatakan bahwa seluruh konsitusi yang pernah
berlaku di Indonesia mengakui kedudukan HAM sangat penting. Hanya saja seluruh
konstitusi itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM kedalam UUD.
UUD 1945 I (1945-1949) hanya menegaskan kedudukan hak asasi warga (HAW).
Akibatnya pasal-pasal HAW tersebut sarat dengan multi-interpretrasi dalam
penegakan hukum dan HAM. Konstitusi RIS (1949-1950) memberikan suasana baru
bagi penegakan hukum dan HAM. Karena pemberlakuannya yang relatif singkat,
akibatnya upaya penegakkan hukum dan HAM dari konstitusi ini relatif sulit
ditemukan. UUD 1950 (1950-1959) memberikan kepastian hukum yang tegas tentang
HAM. Materi muatan HAM dalam UUDS 1950 mengadopsi muatan HAM PBB
tahun 1948.91
Sama halnya dengan konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 nyaris tidak efektif
karena negara pada waktu itu disibukkan dengan kondisi perpolitikan tanah air.
Namun satu hal yang pasti kedua UUD ini, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950
sama-sama memiliki materi muatan HAM yang lebih komprehensif. Berlakunya
kembali UUD 1945 semakin menjadi bukti adanya “kemunduran” normatifitas HAM
dalam UUD. Sebab pemberlakuan UUD 1945 pada peride II (1959-1998) tidak jauh
berbeda dengan materi muatan HAM dalam UUD 1945 periode I. Dalam
91
perkembangan kebijakan pemerintahan Orde Baru sampai Orde Reformasi (sebelum
dan sesudah Amandemen II UUD 1945 Tahun 2000), beberapa perangkat kebijakan
peraturan perundang-udangan dapat dikatakan melengkapi pengaturan HAM di
Indonesia dalam bentuk Peraturan perundang-undangan, seperti TAP MPR,
Undang-Undang, Keppres dan sebagainya.92
D. Pengaturan Kebebasan Beragama dalam Konsitusi RI
Berdasarkan uraian tersebut dalam perjalanan konstitusi RI sejak awal
kemerdekaan hingga konsitusi pasca amandemen saat ini dapat dilihat bagaimana
pasang surut pengaturan HAM didalam setiap konstitusi yang pernah berlaku
tersebut. Tetapi yang pasti, pengaturan HAM tidak pernah terlepas dari konsitusi RI
membuktikan bahwa Indonesia sejak awal kemerdekaan sudah menangkap pesan
pentingnya penjaminan HAM terhadap warga negaranya. Tentunya juga memenuhi
dari unsur yang harus termaktub didalam konsitusi. Bahkan sebelum Declaration Of
Human Rights (DUHAM) berlangsung, Indonesia pada awal kemerdekaan sudah
memuat masalah kebebasan beragama. Penegakkan hukum atas HAM tergantung
bagaimana masalah HAM tersebut diatur didalam konsitusi suatu negara. Semakin
lengkap atau komprehensif, sebenarnya penegakkannya juga berpeluang akan lebih
baik, namun demikian juga sebaliknya.
Perlindungan kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah
ada diatur secara khusus. Meskipun dalam sejarahnya ketika sidang BPUPKI terdapat
92
perbedaan pandangan yang cukup tajam antara Soekarno, Soepomo, Moh. Yamin dan
Hatta tentang perlu tidaknya HAM masuk dalam UUD Indonesia nantinya, namun
ketika rancangan UUD resmi setelah Indonesia merdeka, telah terdapat pasal-pasal
yang memuat perlindungan HAM.93
UUD 1945 berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember
1949. Karena setelahnya konstitusi yang berlaku adalah Konsitusi RIS 1949.
Konstitusi RIS 1949 merupakan konsitusi yang sangat panjang karena terdiri dari VI
BAB dan 197 Pasal. Pasal-pasal tentang HAM terdapat pada BAB I Bagian 5 tentang
Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia, semuanya 26 Pasal dengan Hal itu tampak bahwa para founding fathers
menyadari perlunya HAM masuk menjadi substansi konsitusi Indonesia dan rumusan
pasal-pasal HAM dalam UUD 1945. Salah satu dari substansi HAM yang diatur
dalam konstitusi ini adalah masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Pasal 29
ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
93
rumusan yang cukup mendetail. Pasal-pasal yang secara khusus mengatur masalah
kebebasan beragama adalah:94
UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan, begitu pula kebebasan menganut agamanja atau kejakinannja, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannja sendiri dengan djalan mengadjarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan djalan mendidik anak-anak dalam iman dan kejakinan orang tua mereka.
Konsitusi yang pernah berlaku di Indonesia yakni UUD 1945, Konsitusi RIS
1949, Undang Undang Dasar Sementara 1950, UUD 1945 Pasca Amandemen tetap
mengatur secara khusus masalah jaminan terhadap kebebasan beragama. Namun,
setiap konstitusi memiliki keunikan masing-masing didalam merumuskan masalah
jaminan kebebasan beragama. Ada yang detail dan jelas, namun ada juga yang sangat
umum dan memiliki multitafsir.
Berikut perbandingan, UUD 1945 Pasca Amandemen memuat pengaturan
kebebasan beragama dengan bagaimana Kontitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945
Pasca Amandemen dan Konstitusi Malaysia.
Tabel 1: Perbandingan Konsitusi Menjamin Kebasan Beragama
UUD 1945, KONSTITUSI RIS 1949, UUDS 1950, KONSTITUSI MALAYSIA • Pasal 28E ayat (1): Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
•Pasal 18 Konsitusi RIS 1949: Setiap
orang berhak atas kebebasan pikiran keinsjafan batin dan agama; hak ini meliputi pula kebebasan bertukar agama atau kejakinan, begitu pula kebebasan
94
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
• Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup,
hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ayat (2): Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Ayat (5): Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
• Pasal 28J ayat (1): Setiap orang
wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ayat (2): Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
menganut agamanja atau kejakinannja, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannja sendiri dengan djalan mengadjarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan djalan mendidik anak-anak dalam iman dan kejakinan orang tua mereka.
•Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949:
Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebenaran jang diterangkan dalam bagian ini, djika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan-kebesan itu, akan tetapi hanjalah semata-mata untuk mendjamin pengakuan dan pernghormatan jang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi sjarat-sjarat jang adil untuk ketenteraman kesusilaan dan kesedjahteraan umum dalam suatu persekutuan jang demokrasi. Ayat (2): Djika perlu, undang-undang federal menentukan pedoman dalam hal itu bagi undang-undang daerah-daerah bagian. •Pasal 33 Kontitusi RIS 1949: Tiada
suatu ketentuanpun dalam bagian ini boleh ditafsirkan dengan pengertian, sehingga sesuatu penguasa, golongan atau orang dapat memetik hak dari padanja untuk mengusahakan sesuatu apa atau melakukan perbuatan berupa apapun jang bermaksud menghapuskan sesuatu hak atau kebebasan jang diterangkan dalamnja.
• Pasal 18 UUDS 1950 : Setiap orang
berhak atas kebebasan agama, keinsjafan batin dan pikiran
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
• BAB XI tentang Agama Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Islam adalah agama Federasi, tetapi agama-agama lain dapat dipraktekkan dalam damai dan harmoni dalam setiap bagian dari Federasi.
• Pasal 11 Kontitusi Malaysia:
1. Setiap orang memiliki hak untuk menganut dan menjalankan agamanya dan, menurut Ketentuan (4),untuk menyebarkan itu.
2. Tidak seorangpun akan dipaksa untuk membayar pajak apapun hasil yang khusus dialokasikan dalam keseluruhan atau sebagian untuk tujuan agama selain karena kemauannya sendiri.
3.Setiap kelompok agama memiliki hak: (a) untuk mengelola urusannya
sendiri agama;
(b) untuk membangun dan
mempertahankan lembaga untuk tujuan keagamaan atau amal, dan (c) untuk memperoleh dan memiliki
harta benda terus dan administrasinya sesuai dengan hukum.
4.Hukum negara dan dalam hal Wilayah Federal Kuala Lumpur dan Labuan, hukum federal dapat mengontrol atau membatasi penyebaran doktrin agama atau keyakinan di kalangan orang yang beragama Islam.
5.Pasal ini tidak mengizinkan setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum umum yang berkaitan dengan publik, kesehatan ketertiban umum atau kesusilaan.
• Pasal 12 Konsitusi Malaysia:
2. Setiap kelompok agama memiliki hak
untuk membangun dan mempertahankan lembaga-lembaga
diskriminasi atas dasar hanya agama dalam hukum yang berkaitan dengan lembaga atau dalam administrasi hukum tersebut yang akan dijamin, tetapi itu akan menjadi halal bagi Federasi atau Negara untuk menetapkan atau mempertahankan atau membantu dalam membangun atau mempertahankan lembaga-lembaga Islam atau menyediakan atau membantu menyediakan instruksi dalam agama Islam dan menyediakan biaya yang mungkin diperlukan untuk tujuan tersebut.
3.Tidak ada orang yang wajib menerima pengajaran atau ambil bagian dalam upacara atau ibadah agama lain selain karena kemauannya sendiri.
4.Untuk tujuan Klausul (3) agama seseorang di bawah usia delapan belas tahun ditetapkan oleh orang tua atau walinya.
Sumber : Diinovasi berdasarkan isi Konsitusi RI.
Jika dibandingkan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 Konsitusi RIS ini
lebih detail mengatur masalah kebebasan beragama. Sebenarnya substansinya sama.
Bahwa kontitusi dengan jelas menyatakan bahwa negara menjamin hak dari tiap-tiap
warga negaranya dalam hal bebas memeluk agama dan beribadat menurut
kepercayaan dan keyakinannya. Namun didalam konstitusi RIS 1949 diuraikan
dengan lebih detail, bahwa hak tersebut meliputi pula kebebasan bertukar agama atau
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik dimuka umum maupun dalam
lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati
perintah dan aturan-aturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman
dan keyakinan orang tua mereka. Selain itu juga menetapkan batas-batas pelaksanaan
hak tersebut, yakni penghormatan terhadap hak asasi orang lain, tidak melanggar
norma kesusilaan dan syarat yang adil untuk ketertiban umum dalam kehidupan yang
demokrasi.
Pasal 32 dan 33 Konsitusi RIS nampaknya memberi penegasan bahwa
hak-hak dan dan kewajiban yang diberikan oleh warga negara melalui konstitusi tersebut
harus diikuti oleh negara aturan organik yang mengatur lebih lanjut tentang
pelaksaanaan hak dan kewajiban tersebut serta batas-batasnya sehingga baik warga
negara maupun penguasa sama-sama memiliki satu pedoman dalam bertindak.95
95
Sri Hastuti, Op.Cit, hal. 173
UUDS 1950 mengaturnya pada Pasal 18: Setiap orang berhak atas kebebasan
agama, keinsjafan batin dan pikiran. Jika dibandingkan pada pengaturan perlindungan
kebebasan beragama baik dalam UUD 1945 periode pertama dan konsitusi RIS 1949,
UUDS 1950 malah jauh lebih umum dan menguraikan dengan singkat masalah
pengaturan perlindungan kebebasan beragama ini. Hanya menyebutkan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan agama dan keinsyafan batin dan pikiran. Tidak terlalu
jelas maksud dari setiap kata perkata dalam pasal ini. Apalagi dengan keinsafan batin
UUD 1945 amandemen kedua, mengalami banyak perubahan yang sangat
berarti bagi perkembangan perlindungan HAM di Indonesia. Bahkan pasca
amandemen ini ada pasal yang secara khusus memuat tentang HAM terletak pada bab
tersendiri yaitu BAB XA. Terdapat pada pasal 28 yang terdiri dari 26 butir ketentuan.
HAM yang dimuat didalam UUD 1945.
Khusus pengaturan masalah kebebasan beragama, UUD 1945 pasca
amandemen memuatnya dalam beberapa pasal. Pasal 28E ayat (1): Setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Ayat (2): Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya. Pasal 28 I ayat (1). (2), (3). (4) dan (5) dan Pasal 28 J ayat (1),
(2) menunjukkan betapa komprehensifnya konstitusi Pasca Amandemen ini mengatur
masalah kebebasan beragama di Indonesia.
Dibandingkan dengan Konstitusi RIS 1949, dari segi substansi keduanya
mempunyai keunikan tersendiri. konstitusi RIS 1949 menyatakan bahwa hak tersebut
meliputi pula kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan
menganut agamannya atau keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik dimuka umum maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan
mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama,
serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu ditegaskan bahwa hak memeluk agama
adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I ayat (1)).
Demikian juga masalah perlindungan terhadapa perlakuan yang diskriminatif
terhadap pelaksanaan hak tersebut (Pasal 28I ayat (2)).
Berdasarkan perbandingan dari setiap konstitusi yang pernah berlaku di
Indonesia, masalah perlindungan kebebasan beragama tetap diatur keberandaannya.
Namun harus diakui bahwa setiap konstitusi tersebut ada keunikan masing-masing
didalam pernyataan jaminan yang diberikan atas hak tersebut. Ada yang mengaturnya
dengan jelas dan rinci, tetapi ada yang menguraikannya dengan sangat singkat dan
butuh banyak penafsiran untuk memahaminya. Selain itu ada yang tegas mengatur
masalah pembatasan pelaksanaan hak tersebut baik oleh undang-undang maupun
ketentuan seperti tersebut diatas namun ada yang tidak mengatur pelaksanaan dari
hak kebebasan beragama tersebut. Seperti halnya pada UUD 1945 periode I dan
UUDS 1950 tidak terlalu detail mengatur perihal perlindungan kebebasan beragama
ini. Untuk meninjau perihal pengaturan perlindungan kebebasan beragama dalam
konstitusi Indonesia, adalah baik untuk membandingkannya dengan negara lain yang
yang juga mengatur perihal kebebasan beragama. Dalam hal ini akan dibandingkan
dengan Konsitusi Malaysia.
Indonesia bukan negara agama. Kendatipun mayoritas penduduknya adalah
muslim, konstitusi Indonesia tidak ada menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
agama Islam adalah agama negara. Berbeda dengan Malaysia96 yang dalam
konstitusinya menetapkan bahwa Islam adalah agama negara. Namun itupun
keberadaaan agama lainnya tetap dijamin keberadaannya97. Malaysia mengatur
masalah kebebasan beragama dalam konstitusinya dengan sangat unik juga. Ada
hal-hal yang diatur didalam kontitusinya perihal-hal kebebasan beragama yang tidak ada pada
konsitusi kita demikian juga sebaliknya. Berbeda dengan Belanda98 yang memiliki
sistim hukum yang sama dengan Indonesia. Belanda dalam konstitusinya hanya
memuat satu pasal mengenai kebebasan beragama99
96
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan Inggris (Common Law Sistem ) biasa disebut dengan system hukum Anglo-Saxon. Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan Syari’ah) dan hukum adat berbagai kelompok penduduk asli.
.
Konsitusi RI akan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia karena antara
Indonesia dan Malaysia ada persamaan budaya/ kultur. Selain itu memiliki persamaan
dalam hal penduduknya mayoritas beragama Islam. Kendatipun memiliki perbedaan
sistim huku m.
97
Contitution Of Malaysia, Article 3 (1). Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation.
en.wikipedia.org/.../Constitution_of_Malaysia, diakses tanggal 22 Mei 2012
98
Belanda menganut sistim hukum eropa continental. Berdasarkan data yang ada 30% penduduk Belanda Beragama Katholik Roma, 11% menganut Dutch Reformed, 6% menganut kristen Calvinist. kemudian 3% menganut protestan dan kristen lainnya. sedang yang beragama Muslim berjumlah 5,8% dan 2,2% menganut Buddha, Yahudi, Sikh dan kepercayaan lainnya dan yang mencengangkan 42% mengaku tidak beragama alias Atheis. kompetiblog2011.studidibelanda.com, diakses tanggal 22 Mei
2012
99
The Constitution of the Netherlands 1983, article 6 (1) Everyone shall have the right to manifest freely his religion or belief, either individually or in community with others, without prejudice to his responsibility under the law.(2) Rules concerning the exercise of this right other than in buildings and enclosed places may be laid down by Act of Parliament for the protection of health, in
the interest of traffic and to combat or prevent disorders.
Secara khusus Malaysia mengatur dengan tegas dalam konsitusinya bahwa
Islam adalah Negara agama. Selain masalah pengaturan agama Islam sebagai agama
negara. Konsitusi malaysia juga mengatur perihal kebebasan beragama pada pasal
berikutnya.
Pada konstitusi Malaysia ini ditemukan hal yang unik didalam pengaturan
kebebasan beragama di Malaysia. Didalam melaksanakan hak kebebasan
beragamanya setiap orang berhak menganut dan menjalankan agamanya bahkan
menyebarkannya. Namun didalam proses penyebaran baik doktrin dan keyakinan,
khusus untuk kalangan orang yang beragama Islam negara akan membatasi dan
mengontrol penyebaran tersebut. Tetapi tidak ada pengaturan mengenai bagaimana
kalau yang melakukan penyebaran doktrin dan keyakinan tersebut adalah kalangan
muslim ke agama-agama yang lainnya.
Selain itu, ada pengaturan khusus masalah pembayaran pajak hubungannya
dengan agama. Pasal 11 ayat (2) Konsitusi Malaysia menyatakan bahwa tidak
seorangpun akan dipaksa untuk membayar pajak apapun hasil yang khusus
dialokasikan dalam keseluruhan atau sebagian untuk tujuan agama selain atas
kemauannya sendiri. Hal ini merupakan penghormatan negara atas agama yang ada di
Malaysia, melalui tidak adanya pemaksaan pembayaran pajak kalau hasil yang
dimiliki penduduk akan dialokasikan keseluruhan atau sebagian untuk urusan
keagamaan. Namun pembatasan terhadap hak kebebasan beragama juga diatur sama
dengan hal diatur didalam konvensi internasional tentang pembatasan pelaksanaan
Setelah menganalisa dari semua konsitusi yang mengatur masalah kebebasan
beragama, baik dari UUD 1945, Konsitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD 1945 Pasca
Amandemen, bahkan dibandingkan dengan Konstitusi Malaysia, ditemukan keunikan
masing-masing konsitusi didalam menuangkan perlindungan HAM khusus kebebasan
beragama didalam pasal demi pasal. UUD 1945 Pasca Amandemen jauh lebih
lengkap dan komprehensif didalam mengatur masalah jaminanan atas kebebasan
beragama. Memuat dengan jelas uraian terhadap pelaksanaan dan jaminanan
kebebasan beragama tersebut. Bahkan dengan jelas diatur pembatasan hak tersebut,
pengaturannya didalam undang-undang serta peran pemerintah didalam menjamin
hak tersebut.
E. Konsitusi RI Sudah Cukup Memadai Menjamin Kebebasan Beragama.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia.100
100
Ada dua alasan pokok mengapa Pancasila yang dikemukakan dalam meletakkan Pancasila pada posisinya sebagai ideologi negara tidak dapat diganggu gugat. Pertama, Pancasila sangat cocok sebagai platform kehidupan bersama bagi bangsa dan Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu. Kedua, Pancasila termuat didalam pembukaan UUD 1945 yang didalamnya ada pernyataan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia, sehinga jika Pancasila diubah, berarti pembukaan UUD pun harus diubah. Dan jika Pembukaan UUD diubah maka kemerdekaan yang pernah dinyatakan didalam pembukaan itu, dianggap menjadi tidak ada lagi sehingga karenanya pula Negara Indonesia menjadi tidak ada atau bubar. Dalam kedudukannya sebagai perekat atau pemersatu, Pancasila telah mampu memposisikan dirinya sebagai tempat kembali jika bangsa Indonesia terancam perpecahan. Selengkapnya lihat, Mahfud MD, Loc. Cit Hal 50
Dalam kedudukannya
sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak dapat dipersoalkan lagi bahkan sangat
kuat, maka pancasila harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai, dan
orientasi arah) dalam pembangunan hukum termasuk semua pembaruannya. Pancasila
perauran perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya;
sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial
politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber
darinya.101
Cara pandang terhadap Pancasila juga mengalami perbedaan bahkan
kesimpangsiuran. Ada yang beranggapan bahwa Pancasila merupakan yuridis
kenegaraan. Pancasila dalam kedudukannya sebagai yuridis kenegaraan meliputi
pembahasan Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia
sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis dan ketatanegaraan, realisasi Pancasila
dalam segala aspek penyelenggaraan negara secara resmi baik yang menyangkut
norma hukum, maupun norma moral dalam kaitannya dengan segala aspek
penyelengaraan negara.102 Norma hukum yang baik yang akan diberlakukan harus
berdasarkan pada empat pertimbangan yaitu pertimbangan yang bersifat filosofis,
juridis, politis, dan sosiologis.103
Sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum di
Indonesia, maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan
UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok
pikiran, yaitu meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya
101
Mahfud MD, Loc. Cit, sebagaimana dikutip dari Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila
Sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyrakat, Berbangsa dan Bernegara,
(Jakarta: BP-7 Pusat), 1992, hal.62.
102
Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma), 2008, hal. 20.
103
dikonkritisasikan atau dijabarkan dalam pasal UUD 1945, serta hukum positif
lainnya. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut dapat dirinci sebagai
berikut:104
a) Pancasila sebagai dasar negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia yang dalam pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut kedalam empat pokok pikiran.
b) Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhinterground) dari Undang Undang Dasar 1945.
c) Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis)
d) Mengandung norma yang mengharuskan Undang Undang Dasar 1945 mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara ( termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsional) memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang bunyinya sebagai berikut: “…negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.
e) Merupakan sumber semangat bagi Undang Undang Dasar 1945 bagi penyelengara negara dan pelaksana pemerintah. Dengan semangat pada asas kerohanian negara sebagai padangan kehidupan bangsa, maka dinamika masyarakat dan negara akan tetap diliputi dan diarahkan kepada asas kerohanian bangsa.
Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu asas kerohanian
yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu
sumber nilai norma serta kaidah, baik moral maupun hukum negara, dan menguasai
hukum dasar baik tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun tidak tertulis atau
104
konvensi. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum.105
Pancasila sebagai ideologi bangsa, perlu ditambahkan bahwa secara istilah
ideologi berarti ajaran tentang nilai-nilai yang dianut manusia atau sekelompok
manusia atau nilai-nilai yang diyakini baik dan disepakati untuk dijadikan pedoman
kehidupan bersama, namun dalam kenyataannya, terutamam dalam masyarakat
Indonesia, ideologi itu memang telah mempunyain konotasi sebagai program social
politik yang cenderung menempatkan lain-lainnya, termasuk hukum sebagai alatnya
dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padahal, menurut UUD 1945
Pernyataan Kaelan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan yuridis
kenegaraan adalah keliru. Ada ketidak konsistenan didalam argumentasinya
mengenai Pancasila. Benar bahwa Pancasila merupakan cita-cita hukum bagi hukum
dasar negara. Demikian juga sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Namun
bukan berarti bahwa Pancasila adalah yuridis kenegaraan. Karena Pancasila
merupakan dasar filosofis dari setiap aturan maupun segala norma yang ada. Norma
hukum hanya salah satu bagian didalamnya. Maka untuk meninjau hal-hal yang
diatur didalam konstitusi mengenai perlindungan kebebasan beragama secara nomatif
memadai atau tidaknya maka akan menjadikan Pancasila sebagai parameternya.
Karena seperti yang ditegaskan bahwa Pancasila adalah sumber nilai norma serta
kaidah hukum negara.
105
seharusnya hukumlah yang mengatasi semua program kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk program sosial politiknya. Namun dalam konteks ini, apakah
determinan atas politik atau sebaliknya subordinate oleh politik, hal itu tidak akan
mengubah keharusan bahwa hukum harus bersumberkan kepada Pancasila; dengan
kata lain Pancasila harus menjadi paradigm dari setiap pembangunan hukum di
Indonesia106
Beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Pancasila harus menjadi
paradigma dalam pembangunan hukum adalah:
. Demikian juga didalam pengaturan terhadap jaminan kebebasan
beragama didalam konstitusi.
107
a) Penjelasan UUD 1945; secara resmi sejak amandemen UUD 1945 sebanyak
empat kali, penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian dari UUD Indonesia. Tetapi gagasan-gagasan yang terkandung didalamnya tetaplah relevan untuk dijadikan sumber hukum materiil, bukan sumber hukum dalam artinya yang formal. Menurut penjelasan UUD 1945, pembukaan menciptakan pokok-pokok yang terkandung didalam pasal-pasal UUD 1945 tersebut. Artinya pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran normative tentang pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam pembukaan UUD 1945. Pokok-pokok pikiran itu meliputi suasana kebatinan UUD dan merupakan cita hukum yang menguasai konsitusi (baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis). Dengan demikian, semua produk hukum dalam penegakkannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada didalam UUD 1945 termasuk bahkan pada pokok pikiran yang terutama Pancasila.
b) TAP MPRS No. XX/MPRS/1966; Dalam tatanan hukum baru, TAP MPR/S
kembali dikenal. Dalam ketetapan MPRS ini menjelaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berarti bahwa Pancasila merupakan semua sumber, produk, dan proses penegakkan hukum haruslah mengacu pada Pancasila sebagai sumber nilai utamanya. Secara teoritis dikatakan bahwa sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum materiil diartikan sebagai bahan yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum yang diperlukan oleh para pembuat hukum. Sedangkan dalam arti sumber hukum formal adalah hukum
106
Ibid, hal 52
107
dalam arti produk yang telah memiliki bentuk terutama yang berlaku mengikat terhadap komunitas-komunitasnya seperti: UU, Perda, Permen, dan sebagainya. Pancasila merupakan sumber hukum materiil dalam arti sebagai asalnya hukum. Dalam kaitannya dengan sumber hukum formal, haruslah diartikan bahwa sumber hukum formal apapun harus tetap bersumber pada Pancasila dan tidak keluar dari kandang nilai-nilainya.
c) Norma Fundamental Negara; dasar-dasar pemikiran ini diperkuat oleh
pandangan pakar Filsafat Notonagoro yang pada pidato dies natalis UGM, 10 November 1955, menyebut Pancasila sebagai “norma fundamental Negara” (Staatsfundamentalnorm). Staatfundamentalnorm merupakan norma tertinggi yang kedudukannya lebih tinggi daripada undang-undang dasar dan berdasarkan norma tertinggi inilah konsitusi dan peraturan-perundang-undangan harus dibentuk. Satu hal segera yang dapat dijadikan kesimpulan dari hal ini bahwa sebagai dasar dan ideologi negara atau sebagai cita hukum dan staatsfundamentalnorm, Pancasila harus menjadi paradigma dalam setiap pembaruan hukum.
Khusus TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sudah diganti dengan TAP MPR
No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, dinyatakan bahwa
pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Maksudnya bahwa Pancasila
adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang
meliputi suasana kejiwaan dan watak dari Rakyat negara yang bersangkutan.
Demikian juga TAP MPR No. III/MPR/2000 menyatakan bahwa sumber hukum
dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yan adil
dan beradap, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
Dasar 1945.108
Sehubungan dengan Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan
hukum, Pancasila sebagai suatu dasar filsafat Negara, maka sila-sila Pancasila
merupakan suatu sitem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya
merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang
memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya namun kesemuanya itu tidak
lain merupakan suatu kesatuan yang sitematis.
Selain itu Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang Undangan Kembali ditegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber
dasar hukum nasional.Namun bukan merupakan bagian dari tata urutan
perundang-undangan di Indonesia. Karena Pancasila bersifat filosofis yang akan menurunkan
norma-norma termasuk norma huku m.
109
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat
sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa Negara yang didirikan adalah
sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh Karena itu segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelengaraan
Negara bahkan moral Negara, moral penyelenggara negara, politik Negara,
pemerintahan Negara, hukum dan peraturan perundang-undangan Negara, kebebasan
dan hak asasi warga Negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.110
108
Ketetapan Majelis permusyawaratan rakyat sementara Republik Indonesia No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik indonesia dan tata urutan peraturan Perundangan Republik Indonesia & Ketetapann Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, http//diskominfo.kaltimprov.go.id, diakses tanggal 8 Juli 2012
109
Kaelan, Loc. Cit. Hal 79
110
Khusus masalah jaminan kebebasan beragama pun tetap harus berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal khusus yang mengatur masalah ini dalam konstitusi RI adalah Pasal 29
ayat (1): Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2): Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sinkronisasi antara pasal
ini dengan Pancasila sila Pertama sangat jelas. Salah satu contoh yang dapat
dipertanyakan tentang penjaminan kebebasan beragama dalam konsitusi adalah
mengenai keberadaan atheis.
Mengacu kepada Pasal 28E ayat (1) yang manyatakan bahwa “setiap orang
berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) menyatakan
bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, maka dalam konteks hak ini, maka
setiap orang juga sebenarnya berhak untuk tidak menggunakan atau menikmati
haknya. Kalau bebas beragama atau berkeyakinan, jadi bebas juga untuk tidak
beragama.
Kontitusi sendiri sebagai aturan tertinggi atau sebagai puncak piramida hirarki
perundang-undangan tidak ada kejelasan didalam mengatur ini. Namun sesuai dengan
pandagan Hans Kelsen yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang dalam
dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi itu, berlaku dan
bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya sampai pada
suatu norma yang tidak dapat ditelusuri, yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu yang
dikenal dengan istilah grundnorm (norma dasar). Norma dasar sebagai norma
tertinggi itu dibentuk langsung oleh masyarakat dan menjadi sumber bagi
norma-norma yang lebih rendah, oleh karena itu norma-norma dasar itu disebut sebagai
presupposed atau ditetapkan terlebih dahulu.111
Perihal masalah bebas untuk tidak beragama ada dua pandangan mengenai
masalah kebebasan untuk tidak beragama ini. pandangan pertama, Berdasarkan
aturan-aturan dari kovenan dan deklrasi yang bersifat universal dalam konteks
internasional, Al Khanif mendefenisikan kebebasan beragama adalah hak yang
mencakup untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan, dimana
hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau hak untuk tidak meyakini sama sekali
suatu agama baik yang bersifat theistik maupun yang non theistik dan untuk
memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan itu baik sendiri-sendiri maupun
dimasyarakat dan ditempat umum atau pribadi seperti yang diatur didalam hak asasi
manusia internasional. Intinya bebas untuk tidak beragama.112
111
Hans Kelsen, Loc. cit, hal 113
112
Al Khanif, Loc. Cit, hal. 89
. Pandangan kedua,
bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang tidak beragama. Indonesia adalah negara
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa jelas termaktub didalam Pancasila. Jadi,
konsitusi.113
Berdasarkan hal tersebut, ketika konsitusi tidak mengatur dengan jelas perihal
bebas juga untuk tidak beragama, maka dengan sendirinya dengan pandangan Hans
Kelsen maka akan mengacu kepada norma yang lebih tinggi lagi yang tidak dapat
ditelusuri yang bersifat hipotesi dan fiktif. Dalam hal ini maka Pancasila yang akan
menjadi acuan karena merupakan landasan filisofis dari turunnya suatu norma
hukum. Baik Pancasila maupun konsitusi RI menegaskan bahwa Indonesia adalah
Negara yang berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian mengenai
Pancasila yang merupakan sumber dari segala norma, menyatakan juga dengan tegas
bahwa Indonesia adalah Negara yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, tidak ada
tempat bagi mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun
sangat disayangkan konsitusi tidak ada dengan tegas mencantumkan masalah ini.
Perbedaan pandangan tersebut diatas sangat mungkin terjadi. Setiap kelompok
masing-masing mempunyai kebebasan untuk menafsirkan mengenai kebebasan untuk
tidak beragama tersebut. Karena konsitusi tidak jelas dan tegas mengatur masalah
tersebut. Secara yuridis normatif sepanjang tidak diatur konstitusi maka masih ada
celah hukum yang memberi ruang untuk menimbulkan multitafsir atas keberadaan
atheis di Indonesia. Akhirnya kedua pendapat tersebut dimaklumi muncul karena
kelemahan konsitusi didalam pernyataan mengenai atheis.
113
Sila kemanusiaan yang adil dan beradab secara sistematis didasari dan dijiwai
oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, serta mendasari dan menjiwai ketiga sila
berikutnya. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan
perundang-undangan Negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat
dan martabat manusia, terutama hak-hak kodrat manusia sebagai hak dasar (hak
asasi) harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai mahluk yang
berbudaya, bermoral dan beragama.114
Bersarkan sila ini, Pasal yang menegaskan penghormatan terhadap hak-hak
kodrat manusia. Jelas telihat pada Pasal 28 E ayat (1), (2) UUD 1945, Pasal 28I (1),
(2), (4), (5) UUD 1945. Kesemua pasal ini menjiwai apa yang dijiwai oleh Pancasila
khususnya sila kedua. Nilai yang terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak
dapat dipisahkan dari keempat sila lainnya. Sila ini dijiwai Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab serta menjiwai sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat dalam permusyawatan perwakilan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menginkat keberagaman yang ada di Indonesia.
Maka rasa nasionalisme anak bangsa terbangun, dengan nasionalisme yang
religius.115
Bersarkan sila ketiga ini, Persatuan Indonesia, Pasal khusus yang menjiwai
hal ini adalah Pasal 28J (1) UUD 1945: Setiap orang wajib menghormati hak asasi
114
Ibid, hal. 80
115