• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat seni di surakarta sebagai kawasan wisata seni yang bernuansa lokalitas Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pusat seni di surakarta sebagai kawasan wisata seni yang bernuansa lokalitas Surakarta"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PUSAT SENI DI SURAKARTA

SEBAGAI KAWASAN WISATA SENI YANG BERNUANSA LOKALITAS SURAKARTA

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur

Universitas Sebelas Maret

Disusun Oleh :

JANITRA KERTIYASA

I0207056

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

Puji syukur Alhamdulillah atas izin Allah SWT yang telah melimpahkan Karunia, Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas

Akhir Arsitektur dengan judul Pusat Seni di Surakarta sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa

Lokalitas Surakarta. Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini diajukan sebagai

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Konsep Perencanaan dan

Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan

saran tentang Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini akan Penulis terima

dengan terbuka.

Akhir kata, semoga Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini dapat

memberikan manfaat bagi Penulis, pribadi dan kita semua, Amin.

Penulis menyadari bahwa selesainya Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir

Arsitektur ini tidak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil. Oleh

karena itu, praktikan mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr.Ir. M. Muqoffa, MT, selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS.

2. Kahar Sunoko , ST, MT, selaku Ketua Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNS.

3. Ir. Rachmadi Nugroho, MT, selaku dosen pembimbing akademik.

4. Widi Suroto ,ST, MT, selaku dosen pembimbing I mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur.

5. Fauzan Ali Ikhsan, ST, MT, selaku dosen pembimbing II mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur.

6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan serta

dukungannya dalam menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir

Arsitektur ini.

Surakarta, 8 Oktober 2011

(3)

commit to user

D. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN ... 4

E. TUJUAN DAN SASARAN ... 4

F. LINGKUP DAN BATASAN PEMBAHASAN ... 5

G. METODE PEMBAHASAN ... 6

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ... 6

A.3. Lokalitas dalam Arsitektur ... 13

B. LOKALITAS SURAKARTA B.1. Pemahaman Lokalitas Surakarta ... 14

B.2. Aspek Perancangan Lokalitas Surakarta ... 15

C. SENI BUDAYA TRADISIONAL C.1. Pemahaman Seni Budaya Tradisional ... 27

C.2. Macam Seni Budaya Tradisional ... 28

(4)

[BAB III PRESEDEN PUSAT SENI DAN PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN

A. PRESEDEN PUSAT SENI

A.1. Pasar Seni Gabusan ... 60

A.2. Garuda Wisnu Kencana (Cultural Park) ... 64

A.3. Medan Fair (Pekan Raya Sumatera Utara) ...68

B. PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN B.1. Tinjauan Kota Surakarta ... 72

B.2. Pusat Seni di Surakarta ... 74

BAB IV ANALISA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI SURAKARTA A. ANALISA MAKRO A.1. Proses Penentuan Pemilihan Lokasi ... 80

A.2. Lokasi Site Terpilih ... 81

A.3. Potensi Site ... 83

B. ANALISA MIKRO B.1. Analisa Pola Kegiatan ... 85

B.2. Analisa Peruangan ... 88

B.3. Analisa Pencapaian ...106

B.4. Analissa Klimatologi ... 108

B.5. Analisa Kebisingan ... 112

B.6. Analisa View dan Orientasi ... 115

B.7. Analisa Zonifikasi Kelompok Kegiatan ... 118

B.8. Analisa Sirkulasi ... 121

B.9. Analiisa Gubahan dan Komposisi Massa ... 123

B.10. Analisa Bentuk dan Tampilan Bangunan ... 128

B.11. Analisa Lansekap ... 130

B.12. Analisa Sistem Struktur ... 132

B.13. Analisa Sistem Pencahayaan ... 134

(5)

commit to user

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI SURAKARTA

A. KONSEP PEMILIHAN LOKASI DAN TAPAK ... 146

B. KONSEP PERUANGAN ... 147

C. KONSEP PENCAPAIAN DAN SIRKULASI TAPAK ... 149

D. KONSEP KLIMATOLOGI ... 150

E. KONSEP KEBISINGAN ... 151

F. KONSEP VIEW DAN ORIENTASI ... 151

G. KONSEP ZONIFIKASI TAPAK ... 152

H. KONSEP GUBAHAN DAN KOMPOSISI MASSA ... 154

I. KONSEP BENTUK DAN TAMPILAN BANGUNAN ... 156

J. KONSEP LANSEKAP ... 157

K. KONSEP SISTEM STRUKTUR ... 162

L. KONSEP SISTEM PENCAHAYAAN ... 164

M. KONSEP SISTEM UTILITAS BANGUNAN ... 164

DAFTAR PUSTAKA

(6)

▪ Ayatrohaedi, (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. ▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1991), Jati Diri Arsitektur Indonesia, Penjabaran Wawasan

Identitas dalam Wadag Arsitektur, Alumni, Bandung.

▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1987), Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1997), Arsitektur yang Berakar Tradisi, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Depdikbud, Jakarta.

▪ Blackwell, Wiliam, A.I.A., (1987), Geometri dalam Arsitektur, Abdi Widya, Bandung.

▪ D.K. Ching, Francis, (2000), Arsitektur bentuk, ruang dan tatanan (edisi kedua), Erlangga, Jakarta.

▪ Hakim, Rustam, Ir., Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bumi aksara

▪ Lefaivre, Liane dan Alexander Tzonis, (2003), Critical Regionalism – Architecture and Identity in a Globalized World

▪ Lynch, Kevin, (1978), “ What Time is This Place” the MIT Perss, Cambridge. ▪ Neufrt, Ernest, Data arsitek (Edisi Kedua),Jakarta.

▪ Prijotomo, Josef , (1988), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Ardjun, Surabaya.

▪ Sutedjo, B Suwondo, Dipl. Ing, (1982), Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia, Laporan Seminar Tata Lingkungan oleh Mahasiswa Arsitektur Universitas

Indonesia, Djambatan, Jakarta.

▪ Soetiadji S, Setyo, Ir., (1986), Anatomi Estetika, Djambatan, Jakarta.

▪ Wiryomartono, A. Bagoes P. (1995), Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.

▪ ‘______’, (2009), Handout perkuliahan Arsitektur Tradisional Jawa, Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

▪ ‘______’, (2008), Handout perkuliahan Struktur Konstruksi Bangunan Gedung 1, Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

▪ ‘______’, (2007), I-Arch Magazine – Urban Space (Fifth Issue), PT. Grasindo Mediatama, Jakarta

(7)

commit to user

▪ www.surakarta.go.id

▪ Agustinus Susanto, 2009 / www.ilumartaonline.com ▪ http://diasraka.wordpress.com/sastra/seni-budaya/ ▪ senidanbudaya08.wordpress.com/page/2/

Tanggal akses: Minggu, 15 Mei 2011

▪ http://bantulcraft.com/los-pasar.php

▪ http://bisnisukm.com/batik-kayu-warisan-budaya-yogyakarta.html ▪ http://senikriyaa.blogspot.com/

▪ http://www.blogster.com/artbloggue/tentang-seni-ukir-di-indonesia ▪ http://bisnisukm.com/kerajinan-logam-yang-mempesona-dari-boyolali.html

▪ http://www.arkeologi.web.id/museum-batik-danar-hadi-galeri-batik-kuno-danar-hadi-di-solo2222.html

Tanggal akses: Minggu, 22 Mei 2011

▪ http://guruvalah.20m.com/PENGERTIAN KEBUDAYAAN DAN SENI « MAHASISWA

ETNOMUSIKOLOGI ISI SURAKARTA.html

▪ http://www.anneahira.com/pengertian-sastra.htm

▪ http://budayasenijawa.wordpress.com/2010/11/26/sastra-jawa/

▪ http://komunitaskroncongcitrakristi.blogspot.com/2011/02/asal-usul-musik-kroncong.html ▪ javanesesphere.blogspot.com/2010/06/karawitan

▪ http://www.borobudurlinks.com/2010/07/museum-senirupa-hwidayat.html ▪

(8)

BAB I

§ Tabel I.1: Tabel jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik)

ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di kota Surakarta 2

BAB IV

§ Tabel IV.1: Analisa kebutuhan ruang 88

§ Tabel IV.2: Analisa besaran ruang 94

§ Tabel IV.3: Rekapitulasi besaran ruang 101

§ Tabel IV.4: Analisa persyaratan dan perencanaan ruang 102

§ Tabel IV.5: Alternatif jenis sirkulasi 122

§ Tabel IV.6: Alternatif bentuk geometri 124

§ Tabel IV.7: Jenis bentuk komposisi massa 126

§ Tabel IV.8: Rencana penetaan lansekap kawasan Pusat Seni di Surakarta 131

BAB V

(9)

commit to user BAB II

§ Gambar II.1: Ragam bentuk variasi atap pada bangunan tradisional di Jawa 17

§ Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta 18

§ Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan perkantoran di Surakarta 19

§ Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta 20

§ Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi 20

§ Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa 22

§ Gambar II.7: Ilustrasi Sumbu Imejiner yang melewati 25

“pola tata massa tradisional (dalam lingkup mikro maupun makro)” di Jawa

§ Gambar II.8: Foto satelit kawasan kraton Surakarta Hadiningrat 25

§ Gambar II.9: Bermacam jenis tarian tradisional di Surakarta 32

§ Gambar II.10: Pertunjukan musik keroncong 33

§ Gambar II.11: Gamelan yang merupakan seperangkat instrumen dari musik karawitan 35

§ Gambar II.12: Pertunjukkan kesenian wayang kulit 38

§ Gambar II.13: Pertunjukan kesenian wayang orang 40

§ Gambar II.14: Wayang klithik yang keberadaanya kini semakin langka 41

§ Gambar II.15: Pertunjukkan kesenian wayang golek 42

§ Gambar II.16: Pertunjukkan kesenian ketoprak lesung 44

§ Gambar II.17: Pertunjukkan kesenian ketoprak gamelan 45

§ Gambar II.18: Pertunjukan teater rakyat 47

§ Gambar II.19: Pertunjukan teater kraton 47

§ Gambar II.20: Pertunjukan teater kontemporer 48

§ Gambar II.21: Pemutaran film sebagai salah satu bagian dari pertunjukan seni 48

§ Gambar II.22: Karya lukis hasil seniman dalam negeri yang bercorak 50

naturalisme-tradisional Indonesia

§ Gambar II.23: Ragam motif batik 51

§ Gambar II.24: Ragam jenis pakaian dari kain batik 52

§ Gambar II.25: Berbagai macam hasil kerajinan dari kain batik yang diolah menjadi souvenir 52

(10)

§ Gambar II.30: Seni Kerajinan anyam dari material bambu dan rotan 56

§ Gambar II.31: Berbagai macam hasil seni kerajinan berbahan dasar kulit 57

§ Gambar II.32: Berbagai macam hasil seni kerajinan keramik dan gerabah 58

§ Gambar II.33: Pembacaan karya sastra oleh para sastrawan 59

BAB III

§ Gambar III.1: Kawasan Pasar Seni Gabusan yang berada di Bantul, Yogyakarta 60

§ Gambar III.2: Signage gerbang Pasar Seni Gabusan di Bantul, Yogyakarta. 61

§ Gambar III.3: Foto Satelit Kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta 61

§ Gambar III.4: Gambar situasi kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta 62

§ Gambar III.5: Beberapa massa bangunan yang terdapat di 62

kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta

§ Gambar III.6: Berbagai macam jenis barang kerajinan yang dijual di 63

Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta

§ Gambar III.7: 3D desain Pasar Seni Gabusan di Bantul 64

§ Gambar III.8: Patung Garuda dan Wisnu yang terdapat di Garuda Wisnu Kencana 65

§ Gambar III.9: Signage gerbang Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park 65

§ Gambar III.10: Maket GWK beserta lingkungan sekitarnya menggambarkan 66

bentuk akhir dari proses pembangunan mega proyek ini bila telah selesai nanti

§ Gambar III.11: Ilustrasi kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park di Bali 67

§ Gambar III.12: Fasilitas ruang pameran indoor maupun outdoor 67

yang terdapat di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park

§ Gambar III.13: Beberapa fasilitas yang terdapat di 68

kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park

§ Gambar III.14: “Menara Pekan Raya Sumatera Utara” di kawasan 68

pusat hiburan rakyat Medan Fair

§ Gambar III.15: Menara Pekan Raya Sumatera Utara 70

(11)

commit to user

§ Gambar III.19: Peta wilayah kota Surakarta 73

§ Gambar III.20: Foto satelit wilayah kota Surakarta 74

BAB IV § Gambar IV.1: Kawasan segitiga budaya di Surakarta 81

§ Gambar IV.2: Lokasi site terpilh 82 § Gambar IV.3: Batas-batas dari site terpilih 83

§ Gambar IV.4: Beberapa bangunan fasilitas umum yang berada disekitar site terpilih 84 § Gambar IV.5: Analisa pencapaian 107

§ Gambar IV.6: Zoning analisa pencapaian 108

§ Gambar IV.7: Analisa angin 109

§ Gambar IV.8: Respon analisa angin 110

§ Gambar IV.9: Analisa matahari 111

§ Gambar IV.10: Analisa kebisingan 114

§ Gambar IV.11: Zoning analisa kebisingan 115

§ Gambar IV.12: Analisa view dan orientasi 117

§ Gambar IV.13: Respon analisa view dan orientasi 118

§ Gambar IV.14: Analisa rencana zoning 120

§ Gambar IV.15: Analisa rencana zoning massa 121

§ Gambar IV.16: Gambaran arah sirkulasi pengunjung Pusat Seni di Surakarta 123

§ Gambar IV.17: Analisa bentuk komposisi massa 127

§ Gambar IV.18: Analisa bentuk dan tampilan bangunan 129

§ Gambar IV.19: Contoh beberapa jenis furniture street 130

sebagai elemen hard material dalam penataan lansekap § Gambar IV.20: Contoh beberapa jenis elemen soft material pada lansekap 130

§ Gambar IV.21: Contoh pencahayaan buatan pada galeri seni 135

§ Gambar IV.22: Contoh pencahayaan buatan outdoor pada kawasan public 135

(12)

§

§ Gambar V.2: Letak entrance utama (ME) dan entrance 150

samping (SE) pada kawasan Pusat Seni di Surakarta § Gambar V.3: Letak bukaan pada beberapa massa bangunan Pusat Seni di Surakarta 151

§ Gambar V.4: Arah orientasi massa bangunan di dalam site kawasan Pusat Seni di Surakarta 152

§ Gambar V.5: Kesesuaian perletakan masa bangunan Pusat Seni di Surakarta sesuai zoning 153

§ Gambar V.6: Gubahan dan komposisi massa bangunan pada kawasan Pusat Seni di Surakarta 155

§ Gambar V.7: Bentuk dan tampilan bangunan kawasan Pusat Seni di Surakarta 156

§ Gambar V.8: Bentuk dan tampilan massa bangunan Pusat Seni di Surakarta 157

§ Gambar V.9: Penataan lansekap pada plaza utama kawasan Pusat Seni di Surakarta 157

§ Gambar V.10: Penataan lansekap amphiteater pada kawasaan Pusat Seni di Surakarta 158

§ Gambar V.11: Penataan lansekap pada plaza pedestrian kawasan Pusat Seni di Surakarta 160

§ Gambar V.12: Penataan lansekap pada main entrance kawasan Pusat Seni di Surakarta 160

§ Gambar V.13: Penataan lansekap pada sitting area kawasan Pusat Seni di Surakarta 161

§ Gambar V.14: Pondasi footplate 162

§ Gambar V.15: Sruktur rangka badan bangunan dengan menggunakan struktur kolom beton 163

§ Gambar V.16: Struktur rangka atap dengan mengunakan material baja ringan 163

§ Gambar V.17: Berbagai jenis alat pendeteksi bahaya kebakaran 166

§ Gambar V.18: Berbagai jenis alat pemadam kebakaran 167

(13)

commit to user

TERIMAKASIH

· Mama, Papa, Mbak Hana untuk kasih sayang, doa dan support yang tidak henti-hentinya

· Seluruh teman-teman ARSITEKTUR 2007 ku tersayang, terimakasih atas kebersamaannya

· Teman-teman STUDIO TUGAS AKHIR ARSITEKTUR PERIODE 123, yere,tya, hafidz, fery, cito,

meity, fungki, sintia, anin, nandi, menik, nia, nia, ratih, farikha, mita, dini, mas-mas dan mbak-mbak 2006 / 2005

· Terimakasih wina, desi, rani, lidya, dika, lista, sha, yesi, yang menemani dan membantu ku selama studio tugas akhir

(14)

SEBAGAI KAWASAN WISATA SENI YANG BERNUANSA LOKALITAS SURAKARTA

Abstrak: Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota yang

memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam. Surakarta

sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama, yaitu sebagai kota

budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan sebagai salah satu Daerah Tujuan

Wisata (DTW) di Nusantara yang memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik

berupa arsitektur bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian,

maupun berbagai macam jenis hasil kerajinan.

Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional,

dan juga direncanakannya pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta akan semakin

memudahkan pencapaian transportasi yang mendukung keberadaan Surakarta

sebagai kota pariwisata di Indonesia. Melihat meningkatnya jumlah kunjungan

wisatawan (mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap

tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk meningkatkan kualitas

obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu juga ada peningkatan kuantitas,

antara lain dengan menambah jenis tempat wisata baru yang mampu

memperkenalkan dan mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di

Surakarta, sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi.

Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk kesatuan kawasan wisata

yang menampung berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan seni, seperti

pertunjukan seni, pameran seni, maupun informasi dan permasaran produk-produk

kerajinan seni, serta menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa

ke-lokal-an ke dalam kawasan bangunan guna memunculkan karakter dan jatidiri

Surakarta.

(15)

commit to user

AS A TOUR ART AREA WHICH NUANCE A LOCALITY OF SURAKARTA

Abstract: Surakarta which known by Solo, is a city which have condition and

potential variety art and culture. Surakarta as a center of tourism development in Tri

Krida Utama, as a city of culture, tourism, and sport those set in one of the city in

Indonesia as “Daerah Tujuan Wisata (DTW)” which have riches of culture, i.e

architecture building, tradition, tourist area, art, and many kind of handicraft.

By way of Adi Sumarmo Airport development as a international airport and a

program building of Solo-Yogyakarta highways will easier the transportation

attainment which support existence of Surakarta as a tourism city in Indonesia.

Discern rise amount of tourist (from foreign countries or domestic) which visit to

Surakarta in every year, then presumably keep on efforts the quality of tourist area

already, presumably need to incrase quantity of tourist area, in such as add to kind

of any tourist area which can introduce and appreciate many kind of culture and art

in Surakarta, so that will be much attract tourist in Surakarta.

Surakarta Art Center is the unity form of a tour area which receive many kind of

activity which be related to art, such as performing art, exhibition art, information

and handicraft marketing product, and become the tourist art area which make the

lokality nuance into the building area to make the scene of character and personality

of Surakarta.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. JUDUL

PUSAT SENI DI SURAKARTA

“Sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa Lokalitas Surakarta”

B. PEMAHAMAN JUDUL

Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk

kesatuan kawasan wisata yang menampung berbagai macam kegiatan

yang berhubungan dengan seni, seperti pertunjukan seni, pameran seni,

maupun informasi dan permasaran produk-produk kerajinan seni, serta

menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa

ke-lokal-an ke dalam kawaske-lokal-an bke-lokal-angunke-lokal-an guna memunculkke-lokal-an karakter dke-lokal-an jatidiri

Surakarta.

C. LATAR BELAKANG

Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota

yang memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam.

Surakarta sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama,

yaitu sebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan

sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Nusantara yang

memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik berupa arsitektur

bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian, maupun

berbagai macam jenis hasil kerajinan.

Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi

(17)

commit to user

yang mendukung keberadaan Surakarta sebagai kota pariwisata di

Indonesia.

Surakarta yang kaya akan tradisi budaya, kesenian dan arsitektur

bangunannya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk

mendukung kepariwisataannya. Potensi-potensi obyek wisata yang ada di

kota Surakarta antara lain:

· Kraton Kasunanan

· Kraton Mangkunegaran

· Taman Wisata Budaya Sriwedari

· Monumen Pers

· Museum Radya Pustaka dan Museum Dullah

· Taman Wisata Bale Kambang

· Taman Wisata Satwa Taru Jurug

Berdasarkan tabel data kunjungan wisatawan yang datang ke kota

Surakarta:

Jumlah Kenaikan Jumlah Kenaikan Jumlah Kenaikan

1 2003 7.929 - 737.025 - 737.025 -

Sumber: Bidang Sarana Wisata, Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta, 2011

(18)

Melihat meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan

(mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap

tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk

meningkatkan kualitas obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu

juga ada peningkatan kuantitas, antara lain dengan menambah jenis

tempat wisata baru yang mampu memperkenalkan dan

mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di Surakarta,

sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi.

Adapun tujuan dari pengadaan fasilias wisata ini adalah:

- Bidang pariwisata

Sebagai penambah tempat/lokasi wisata baru barupa kawasan

yang menampung aktivitas dan kegiatan yang berhubunngan

dengan seni, sehingga potensi seni di Surakarta dapat semakin

berkembang. dan dikenal oleh wisatawan domestik maupun

mancanegara.

- Bidang ekonomi

Untuk meningkatkan income/pendapatan kota Surakarta,

selain itu juga tentunya dapat meningkakan pendapatan para

pengerajin dan seniman dan nantinya akan dapat terus

mendorong produkivitas dan kreaivitas hasil seni mereka.

- Bidang sosial

Sebagai wadah apresiasi dan perkenalan terhadap berbagai

kesenian tradisional di Surakarta, sehingga nantinya kesenian

tradisional kita dapat terus dikenal oleh generasi mendatang

(19)

commit to user

D. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN

· Permasalahan:

Menciptakan konsep perencanaan dan perancangan Pusat Seni

(Art Center) yang dapat dijadikan kawasan wisata seni di Surakarta yang memfasilitasi berbagai macam kegiatan seni seperti,

pertunjukan seni, pameran seni, serta informasi dan permasaran

produk-produk kerajinan seni, dengan menampilkan suasana

kawasan bangunan yang menunjukkan jatidiri dengan

memperhatikan lokalitas Surakarta.

· Persoalan:

- Bagaimana konsep lokasi dan site strategis, sehingga dapat

mendukung fungsi dari kawasan tersebut sekaligus dapat

menarik perhatian pengunjung.

- Bagaimana konsep penampilan bangunan kawasan Pusat Seni

di Surakarta yang menarik dan selaras dengan memunculkan

suasana ke-lokal-an setempat.

- Bagaimana konsep peruangan yang dapat mewadahi segala

aktivitas seni diatas sekaligus menarik bagi para pengunjung

maupun wisatawan (domestik dan mancanegara) yang datang.

- Bagaimana konsep tata ruang dalam dan tata ruang luar

(lansekap) yang menarik di kawasan Pusat Seni di Surakarta.

E. TUJUAN DAN SASARAN

· Tujuan:

Menyusun suatu konsep perencanaan dan perancangan Pusat

Seni di Surakarta sebagai kawasan wisata yang mewadahi

berbagai macam aktivitas seni yang bernuansa lokalitas untuk

menciptakan kawasan seni yang dapat menunjukkan jati diri

(20)

· Sasaran:

- Mendapat lokasi site yang strategis dan mudah untuk dicapai.

- Merancang sebuah Pusat Seni di Surakarta dengan ekspresi

bangunan yang menarik dan bernuansa lokalitas Surakarta.

- Merancang konsep peruangan yang meliputi kebutuhan ruang,

besaran ruang, macam organisasi ruang dan pola hubungan

ruang yang mampu menciptakan kenyamanan pengunjung.

- Merancang konsep tata ruang dalam maupun luar (lansekap)

yang menarik.

F. LINGKUP DAN BATASAN PEMBAHASAN

· Lingkup pembahasan:

- Pembahasan diarahkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang

akan dicapai dan dalam lingkup disiplin ilmu arsitektur,

sedangkan masalah diluar disiplin ilmu arsitektur dibahas

secukupnya sejauh masih ada relevansinya sesuai dengan

porsi keterlibatannya.

- Menekankan pada pengolahan penampilan kawasan

bangunan dengan pendekatan lokalitas Surakarta.

· Batasan pembahasan:

- Pembahasan yang dilakukan dibatasi dan diarahkan untuk

menyelesaikan permasalahan dan persoalan dalam

mewujudkan konsep perencanaan dan perancangan Pusat

(21)

commit to user

G. METODE PEMBAHASAN

Dalam menyusun konsep perancangan dan perencanaan

digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

- Studi literature, pengumpulan data–data dari beberapa buku

atau melalui informasi lainnya yang berhubungan dengan

proyek yang direncanakan sehingga dapat menunjang proses

perencanaan dan perancangan.

- Studi komperatif, studi perbandingan dengan melakukan

pengamatan dan survey lapangan terhadap proyek serupa

sebagai pedoman dalam perencanaan dan perancangan.

- Studi lapangan, yang bertujuan untuk mengetahui secara

langsung keadaan lahan yang sebenarnya dan juga mengenali

potensi yang bisa dimanfaatkan dan permasalahan yang harus

dipecahkan dalam proses desain.

H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

· BAB I : PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang masalah, merumuskan

masalah, menerapkan tujuan dan sasaran, menetapkan ruang

lingkup dan batasan pembahasan, metode pembahasan dan

sistematika pembahasan.

· BAB II : TINJAUANPUSTAKALOKALITAS DALAM ARSITEKTUR,

LOKALITAS SURAKARTA DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL

Mengemukakan tinjauan mengenai lokalitas dalam arsitektur,

mulai dari pemahaman lokalitas itu sendiri, nilai-nilai lokalitas

dan penjelasan lokalitas Surakarta, serta mengemukakan

tinjauan mengenai seni budaya tradisional yang berkembang

(22)

· BAB III : PRESEDEN PUSAT SENI DAN PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DI RENCANAKAN

Mengemukakan beberapa preseden tentang Pusat Seni (Art

Center) yang sudah ada dan dianggap berhasil, serta menguraikan tentang Pusat Seni di Surakarta yang di

rencanakan.

· BAB IV : ANALISA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI

SURAKARTA

Melakukan analisa perencanaan dan perancangan Pusat Seni

di Surakarta sebagai kawasan wisata seni dengan pendekatan

lokalitas dalam arsitektur yang meliputi analisa lokasi, analisa

site, analisa peruangan, dan analisa penampilan bangunan dan

analisa tata ruang dalam dan luar bangunan, analisa struktur

serta analisa sistem utilitas bangunannya.

· BAB V : KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI

SURAKARTA

Membuat desain perancangan dan perencanaan Pusat Seni di

(23)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR,

LOKALITAS SURAKARTA, DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL

A. LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR

A.1. Pemahaman Lokalitas

Lokalitas bukanlah sebuah “gerakan” baru dalam dunia arsitektur,

kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas

dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai “senjata” yang tepat

untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam

kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis

mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah tema

gerakan tetapi lebih kepada “conceptual device” yang kita pilih sebagai

alat untuk melakukan analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk

menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi

internasional ataupun dogma yang bersifat universal.

Beberapa gambaran tentang “apa itu lokalitas” yang diungkapkan

oleh beberapa tokoh di bawah ini, dari berbagai sumber:

“Arsitek jangan sekali-kali mendewakan bentuk, melainkan harus

mati-matian menerjemahkan jiwa dari suatu tempat (“genius loci”) dan

(24)

…“tidak perlu meniru-niru bentuk khas

Toraja, Minangkabau, Bali, Batak dan sebagainya

untuk mengusahakan terciptanya arsitektur

Indonesia. Kita jangan ambil bentuknya, tetapi

jiwanya yang banyak menunjukkan ciri-ciri

ketropisan. Hal-hal yang memperhitungkan lebatnya

hujan tropis, panasnya matahari dan tentunya

memperhitungkan adat-istiadat yang pada

hakikatnya tidaklah berupa sesuatu yang statis,

melainkan berkembang dari periode ke periode”…

(Silaban, dalam Budihardjo,1988,p:84).

…“bahwa bangunan, biarpun memang

merupakan benda mati, tidak berarti tak ‘berjiwa’.

Karya arsitektur merupakan sesuatu yang

sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan

manusia, oleh watak dan

kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-cita”

(Mangunwijaya, dalam Budihardjo,1988,p:68).

“arsitektur kita tidak boleh terlepas dari akar

budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekedar

memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada

kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap

pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal

yang masih bisa diambil” (Prawoto, dalam

(25)

commit to user

“arsitektur indonesia “seharusnya” adalah karya-karya yang

seragam dengan ciri-ciri yang cukup jelas mewakili citra ke-indonesiaan”

(Sastrowardojo,dalam Budiharjo,1978,p:40).

"Manusia tinggal ketika ia dapat mengorientasikan diri di dalam

dan mengidentifikasi dirinya dengan lingkungan, atau singkatnya, ketika

ia mengalami lingkungan sebagai “ruang” yang memiliki makna. Sebuah

tempat adalah ruang yang memiliki karakter. Genius loci atau disebut

juga “spirit of place” memiliki pengertian bahwa: ruang bukan hanya

terlihat dari bentuk fisik berupa barisan beton belaka, namun yang harus

lebih terlihat adalah bagaimana kehidupan sehari-hari manusia di

dalamnya (Schulz,dalam Lefaivre,2003,p:4).

Local Genius merupakan ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya

masyarakat. Local Genius bersifat sentral karena merupakan kekuatan

yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan

yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.

Local Genius juga dapat diartikan sebagai ciri-ciri kebudayaan masyarakat setempat untuk dijadikan perangkat dasar dalam proses

modernisasi. (Ayatrohaedi,1986,p:60)

…“dalam arsitektur, kita mengenal tradisi

sebagai bentuk (form) sekaligus jiwa (spirit). Yang

perlu dilestarikan dan dikembangkan sebetulnya

justru bukan bentuk itu semata, tetapi terlebih-lebih

adalah jiwa atau semangat suatu tempat yang lazim

(26)

Secara implisit hakikat Local Genius, adalah seperti beberapa poin dibawah ini (Mundardjito,dalam Ayatohaedi,1986,p:65), yaitu:

- Mampu bertahan terhadap budaya luar

- Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya

luar

- Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya

luar kedalam kebudayaan asli

- Memiliki kemampuan mengendalikan, dan

- Mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.

A.2. Nilai-nilai Ke-Lokalitas-an

Meminjam perkataan dari Lewis Mumford, 1895 (dalam Susanto,

2009) seorang perencana kelahiran New York, maka ada lima poin dalam

kita memandang nilai ke-lokalitas-an, yaitu:

1. Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah, seperti

misalnya banyak bangunan bersejarah yang diidentifikasikan

sebagai “vernacular brick tradition”. Bagi Mumford bahwa

bentuk-bentuk yang digunakan masyarakat sepanjang peradabannya

telah membentuk struktur koheren yang melekat dalam

kehidupannya. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam

sejarah dari sebuah tradisi yang langsung ditransfer dalam sebuah

ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang

tidak memiliki jiwa. Mumford menekannkan bahwa tugas kita

tidak hanya membuat imitasi sebuah masa lampau tetapi

mencoba mengerti dan memahaminya, lalu mungkin suatu saat

kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaaan semangat

(27)

commit to user

Tugas kita bukan hanya meminjam material atau mengopi sebuah

contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi

harus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan

untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.

2. Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya

sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah

keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang

kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti di

rumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena

memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap

kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan

politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitas itu sendiri.

3. Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi

yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun

sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini,

sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang

hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila

tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi

yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi

pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam

teknologi yang tepat guna.

4. Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya,

modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar

memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji

dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya,

kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana

(28)

5. Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan

tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu

ada keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana

global print mesin-mesin kapitalis sedang lokal

menge-print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai

sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan.

Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana kita

melakukan pembelajaran tentang sejarah bangunan, material, latar

belakang sosial, isu-isu konservasi, konstruksi bangunan, yang pada

akhirnya keunikan sebuah lokalitas dalam arsitektur adalah tentang

bagaimana material lokal–teknologi dan formasi sosial dapat ditransfer

dalam bahasa arsitektur yang segar.

A.3. Lokalitas dalam Arsitektur

Dalam merancang sebuah bangunan dengan pendekatan lokalitas

dalam arsitektur perlu memperhatikan budaya dan kebiasaan masyarakat

setempat. Dengan menggali dan mengungkap esensi yang menjiwainya,

agar tidak terperangkap sekedar pada bentuk fisik dan kulit luarnya saja.

Arsitektur merupakan “buah budaya” dan sekaligus bagian dari

kebudayaan masyarakat tradisional kita. Arsitektur dalam tautan budaya

adalah arsitektur yang merupakan “buah” dari suatu kebudayaan lokal,

bukan merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan kebudayaan

(29)

commit to user

“Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas

pernyataan hidup yang bertolak dari tatakrama meletakkan diri,

berlandaskan norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi

alam lingkungannya. Kehadirannya tidak pernah sebagai unsur lepas yang

berdiri sendiri, melainkan selalu bersatu dengan seluruh kegiatan hidup,

berbulat diri dengan alam lingkungan dalam arti yang sangat luas”.

Arsitektur lokal pada dasarnya menampilkan karya “swadaya

dalam kebersamaan”, yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan

sumber daya setempat, serta menciptakan keselarasan harmonis antara

jagad-cilik (mikrokosmos) dan jagad-gede (makrokosmos). Nilai-nilai tradisional yang melambari arsitektur tradisional Jawa, pada hakekatnya

bersifat langgeng, biarpun terdapat pergeseran dan perubahan sejalan

dengan perkembangan waktu serta kehidupan masyarakatnya. Arsitektur

tradisional Jawa yang masih dapat dinikmati kebeadaanya dewasa ini

merupakan hasil perjalanan yang panjang dari sejarah perkembangan

arsitektur di Jawa (Budihardjo,1987,p:13).

Kearifan nenek moyang merumuskan konsep dan kaidah

perancangan dalam penciptaan karya arsitektur perlu ditimba untuk

disintesakan dengan inovasi dan teknologi baru yang serba canggih.

Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru akan mampu

menampilkan guna dan citra kekinian, biarpun nafas dan jiwanya tetap

tradisional.

B. LOKALITAS SURAKARTA

B.1. Pemahaman Lokalitas Surakarta

Lokalitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus serta keunikan -

keunikan dan karakteristik suatu tempat yang akan memperkuat suatu

(30)

Karakter yang spesifik yang membentuk identitas merupakan suatu

pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah atau tempat, yang

secara umum disebut “sense of place”.

Surakarta merupakan kota yang kaya akan kekhasan potensi seni

dan budaya yang kental, sehingga Surakarta menjadi salah satu kota

budaya tujuan wisata di Indonesia. Sebagai kota budaya yang mengusung

slogan “Solo the Spirit of Java”, Surakarta memunculkan spirit-nya lewat

berbagai macam potensi budaya yang dimilikinya, baik berupa sejarah,

arsitektur bangunannya, bermacam jenis kesenian serta karakter sosial

masyarakatnya. Dalam tinjauan lokalitas Surakarta beberapa aspek yang

diangkat sebagai pedoman perencaan pada desain adalah potensi

setempat yang memiliki karakter dan ciri yang khas yang dapat

memperkuat identitas dan jati diri.

B.2. Aspek Perancangan Lokalitas Surakarta

Dari tinjauan nilai-nilai lokalitas yang diungkapkan Mumford,1985.

Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan acuan dalam perancangan

berbasis lokalitas antara lain adalah:

· Bentuk fisik bangunan

- Karakteristik bentuk bangunan

Mac Laine Pont dalam bukunya “Javaansche Architectuur” (1924),

mencoba mengupas arsiektur Jawa melalui pengamatannya terhadap

anatomi candi yang melambangkan Arupadhatu / alam atas (tuhan,

dewa, leluhur, perlambang masa depan), Rupadhatu / alam tengah

(manusia, flora, fauna, perlambang masa kini) dan Kamadathu / alam

(31)

commit to user

Anatomi seperti tersebut diatas ternyata ditafsirkan pula dalam

arsitektur tradisional Jawa, yang diatur sesuai susunan analogi tubuh

manusia. Tubuh manusia terbagi dalam tiga bagian yaitu kepala (atap),

badan (tiang atau dinding), dan kaki (umpak atau batur)

(Budihardjo,1987,p:14).

Dari ketiga bagian diatas, bagian yang memiliki ke-khasan bentuk

fisik dan karakter yang dominan adalah bentuk atap sebagai kepala

bangunan. Atap digunakan sebagai salah satu simbolisasi makna filosofi

yang tercemin pada pencitraan sebuah bentuk, yang merupakan bagian

dari sebuah bangunan tradisional.

Bentuk atap bangunan tradisional di Jawa khususnya Jawa Tengah

tercipta dari penyesuaian terhadap kondisi iklim lingkunganya. Pulau

Jawa yang terletak di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan iklim tropis

dan lembab, jatuhnya sinar matahari secara tegak lurus, dan curah hujan

yang cenderung tinggi. Bentuk atap yang paling sesuai dengan iklim

lingkungan seperti ini adalah bentuk atap yang memiliki sudut dan

kemiringan yang tidak landai, dan mempunyai teritisan sebagai pelindung

dari panasnya sinar matahari. Maka terciptalah berbagai bentuk atap

bangunan tradisional di Jawa pada umumnya dan khususnya di Surakarta

dengan bentuk seperti panggang pe, Joglo, Limasan, Tajuk / masjid, dan

bentuk kampung yang kini telah berkembang dengan berbagai variasinya.

(32)

Atap tipe kampung adalah bentuk atap tradisional Jawa yang paling sederhana. Bagian utama atap ini seperti atap pelana sekarang,

miring ke dua arah, dan bertumpu pada empat tiang utama yang

masing-masing diikat dengan dua balok. Atap utama ini dapat dikembangkan

untuk ruang tambahan dengan melanjutkannya ke bawah dengan

kemiringan yang lebih landai. Pengembangan selanjutnya biasanya

dilakukan dengan membangun tambahan atap utama lagi di belakangnya.

Atap tipe limasan merupakan pengembangan dari atap kampung.

denahnya dikembangkan ke samping dengan tiang-tiang tambahan,

sehingga membentuk atap utama yang mempunyai kemiringan ke empat

arah membentuk apa yang kini disebut atap perisai. Biasanya atap ini

dilanjutkan pula ke arah depan atau belakang, bahkan juga ke samping,

dengan kemiringan yang lebih landai, Sedangkan atap tipe joglo

merupakan atap yang bagian utamanya menjadi atap bagian tengah

(33)

commit to user

Atap utama ini didukung oleh empat tiang utama yang dikonstruksikan

secara khusus dan unik, terdiri atas balok berlapis-lapis, yang disebut

tumpang sari. Rumah tipe joglo dapat diperluas dengan menambah tiang-tiang dan meneruskan atap ke arah luar, sehingga membentuk atap

bertingkat-tingkat (Budihardjo,1991,p:19).

Di Surakarta hampir seluruh massa bangunan menggunakan atap

dengan kemiringan sebagai penutup bangunannya. Selain sebagai upaya

respon terhadap lingkungan setempat, atap tradisional di Surakarta juga

memiliki fungsi sebagai pencerminan bentuk arsitektur bangunan lokal

yang dapat memperlihatkan jatidiri dan karakter lokal Surakarta.

Beberapa bangunan di Surakarta mulai dari bangunan tradisional yang

bernilai bersejarah seperti Istana Mangkunegaran, Pasar Gede, Museum

Radya Pustaka, dan Loji Gandrung hingga bangunan modern seperti

Hotel, Bank, Pusat perbelanjaan, Kantor dan bangunan lain sebagainya

menggunakan atap yang memiliki kemiringan dengan berbagai variasinya.

Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta

Sumber: www.kabaresolo.com

(34)

- Material bahan bangunan

Pada zaman dahulu masyarakat tradisional di indonesia hanya

mengandalakan bahan-bahan mentah dari alam tanpa melalui proses,

sebagai material pembuatan bangunan untuk pemenuhan kebutuhan

akan tempat tinggal. Bahan bangunan yang banyak terdapat di Indonesia

adalah kayu. Kayu banyak digunakan sebagai bahan bangunan mentah

pada hampir seluruh bangunan tradisional di indonesia. Masyarakat

tradisional menggunakan kayu sebagai bahan utama untuk mendirikan

bangunan. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang kian

pesat, saat ini banyak dipakai material-material bahan bangunan baru

yang tercipta dari penerapan teknologi, sebagai contoh beton dan baja

ringan (Sutedjo,1982,p:15).

Masyarakat Jawa khususnya di Surakarta menggunakan material

bahan bangunan yang ada di sekitaranya sebagai upaya pemanfaatan

potensi lokal. Material lokal yang biasa digunakan sebagai bahan

Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan perkantoran Jl. Jendral Sudirman di Surakarta

(35)

commit to user

Dalam memandang sebuah nilai lokalias seharusnya tidak terlepas

dari perkembangan teknologi yang ada. Memaknai lokalitas yang

sebenarnya bukan hanya terbatas pada penggunaan nilai-nilai lokal saja,

tetapi juga terlihat penggabungan dari unsur kekinian, salah satunya

adalah teknologi (Mumford,dalam Susanto,2009). Penerapan penggunaan

teknologi salah satunya adalah pada aplikasi meterial bahan bangunan

yang sanggup menggabungkan antara material lokal dari alam dengan

material hasil dari perkembangan teknologi pada sebuah bangunan.

Lokalitas haruslah memiliki sifat terus berkembang demi

kesianambungannya, bukan sesuatu yang menolak unsur kekinian.

Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru yaitu karya arsitektur

yang menggunakan inovasi dan teknologi bahan bangunan baru akan

mampu menampilkan guna dan citra kekinian, walaupun nafas dan

jiwanya tetap tradisional.

Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/

Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/

Bambu Batu alam olahan

Kayu Batu kali

Batu bata Baja ringan

(36)

- Ornamentasi pada bangunan

Bangunan tradisional di indonesia memiliki berbagai ragam

bentuk ornamen yang dapat terlihat pada bentuk fisik bangunannya,

ornamen pada bangunan tradisional di Indonesia syarat akan makna

filosofis yang terkandung didalamnya.

Di indonesia banyak ornamen diletakkan pada luar bangunan

karena ornamen berfungsi sebagai penunjuk jatidiri suatu daerah,

ornamen juga banyak diletakkan di luar bangunan untuk dinikmati pada

kegiatan dengan konsentrasi teringgi yang biasanya berada di luar

bangunan (Prijotomo,1978,p:7).

Ragam hias pada bangunan tradisional Jawa merupakan bagian

utuh dari bangunan. Beberapa motif ornamen yang umum diterapkan

pada bangunan diambil dari bentuk-bentuk flora, fauna, stiliran, dan

campuran. Motif yang paling banyak digunakan dalam pengolahan ragam

hias adalah motif flora, seperti: lunglungan (melengkung), saton (bujur

sangkar), nanasan (seperti buah nanas), dan fauna seperti omah tawon

(rumah lebah) dan kemamang (sejenis burung). Ada juga motif-motif

fauna lain, misalnya burung garuda, kala, makara, ular, dan gajah, tetapi

tidak terlalu banyak digunakan.

Motif-motif tersebut digunakan untuk ornamen yang dibuat dari

beberapa jenis material dan mempunyai warna dan tekstur yang lebih

alami. Material seperti kayu, bambu, tembikar, batu alam, dan logam

paling sering digunakan dalam mengolah ragam hias. Ragam hias yang

menonjol pada bangunan banyak menggunakan material kayu dan

bambu seperti kayu jati dan nangka, bambu petung, wulung, dan apus,

disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan pemiliknya. Penerapan

(37)

commit to user

Ornamentasi pada bangunan merupakan salah satu bagian

integral dari arsitektur dalam kehadirannya sebagai bentukan ragawi.

Dengan bermacam jenis yang ada, ornamentasi pada bangunan dapat

memperkuat tampilan bangunan yang dapat menunjukkan jatidirinya

(Prijotomo,1978,p:8).

· Pola tata masa

- Pola tata massa lingkup mikro dan makro

Bagi masyarakat Jawa, tatakrama menempatkan diri dari setiap

bangunan terhadap alam sekitar yang kasat mata maupun alam maya

yang lebih tinggi tingkatannya, merupakan dasar pertimbangan yang

utama. Arsitektur tradisional Jawa lantas menafsirkannya dalam bentuk

persenyawaan yang tuntas antara arsitektur, alam, manusia dan

tuhannya (Budihardjo,1987,p:66).

Berawal dari periode prasejarah dapat dilihat bahwa pada lingkup

makro (lingkungan desa) memiliki suatu pola tertentu yaitu menhir, altar

pemujaan, ataupun pohon suci sebagai titik pusat atau keblat dari

lingkungan tersebut. Konsep penataan yang berpusat pada suatu titik di

tengah ini dikenal dengan nama mandala (manda= inti, core. la= wadah,

container), yang sudah ada sebelum Hindu-Bhudda datang ke Indonesia.

Pada lingkungan prasejarah, pusat lingkungan ditandai dengan adanya

unsur-unsur keagamaan dan kepemerintahan sebagai isinya.

Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa Sumber:

(38)

Pola penataan massa bangunan jaman prasejarah ini seluruhnya bersifat

badaniah bukan bersifat ragawi maupun material.

Pola tata massa tradisional ini juga mempunyai sifat keterbukaan bagi

seluruh masyarakatnya dan memperlihatkan kebersatuan dengan alam

lingkungan disekitarnya

Lynch dalam bukunya Theory of Good City Form, 1978.

mengungkapkan bahwa pola pola tata massa lingkungan tradisional

seperti diatas disebut sebagai pola yang bertumpu dan berkeblat pada

keseimbangan kosmis. Pola ini merupakan pola penataan massa asli

indonesia, yang mempunyai ciri khas tersendiri dan hanya dapat di

temukan pada kota-kota tradisional di indonesia khusunya di pulau Jawa

(Prijotomo,1978,p:17).

Pola penataan prasejarah ini terus berkembang menjadi pola tata

masa lingkungan kraton pada jaman sejarah sebagai pusat pemerintahan,

termasuk di dalamnya alun-alun kota Surakarta. Pada pola tata massa

lingkungan tradisional ini dapat dilihat bahwa alun-alun yang merupakan

lapangan luas yang terbuka menjadi pusat suatu lingkungan tradisional

dikelilingi beberapa bangunan penting di sekitarnya seperti

kraton/kabupaten, masjid, pasar, dan penjara. hingga saat ini pola

penataan massa tradisional tersebut tentunya masih terus dipertahankan,

itu menunjukkan bahwa modernisme tidak seluruhnya mendapat tempat

dalam pola keaslian tersebut karena masyarakat tradisional kita yang

sejak jaman dahulu bersikap kosmis, spiritual, adiragawi dan simbolis.

Dari pola tata massa ini dapat ditemukan suatu komposisi yaitu

pada pola penataannya memiliki pusat dan berorientasi ke tengah (pola

komposisi terpusat), pada pola komposisi ini dapat terlihat penataan

sebuah pola massa yang dikelilingi oleh massa lainnya dengan orientasi ke

(39)

commit to user

- Sumbu imajiner

Arsitektur klasik di indonesia tampil dalam setangkup, masyarakat

Jawa di indonesia mempercayai adanya suatu sumbu imajiner atau garis

kesetangkupan yang membagi dua sisi sama berat antara bagian kiri dan

bagian kanan, yang memotong kedua bagian dibagian tengahnya. Pada

kesetangkupan ruang yang dipotong oleh garis kesetangkupan

merupakan ruang yang ditonjolkan, sebab pada bagian itulah merupakan

baigan yang disucikan, diagungkan dan dihormati (Prijotomo,1978,p:17).

Dalam lingkup pola tata massa kawasan tradisional (makro), yaitu

lingkup kraton sumbu atau garis tersebut terletak di tengah kawasan

membagi dua sama rata atau seimbang antara bagian sisi kiri dan kanan

kawasan, yang melambangkan bahwa, Raja dalam pemerintahannya

menjunjung tinggi asas adil dan merata. Sumbu imajiner dalam kawasan

tradisional (kraton) sebagai lambang keadilan diperkuat dengan adanya

pohon beringin kembar pada alun-alun yang dianggap sebagai simbol

keadilan.

Sumbu imajiner juga terlihat pada lingkup kecil (mikro), yaitu pada

pola tata massa peruangan rumah tradisional di Jawa, sama dengan

sumbu yang berada dalam lingkup kraton sumbu dalam lingkup rumah

tradisional di Jawa ini juga berada di tengah membagi dua sama rata atau

seimbang bagian sisi kiri dan kanan bangunannya, yang melambangkan

bahwa kita sebagai masing-masung individu harus selalu bersikap adil

dalam lingkup rumah tangga, sebagai contoh setiap orang tua harus

(40)
(41)

commit to user

· Pola sosial masyarakat

Kehidupan masyarakat lokal di Jawa (handout,2009), yaitu:

- hidup dengan penuh kehati-hatian, pantang melanggar adat

- selalu ingin menyatu dengan alam ( hukum keseimbangan

alam, dihormati dan dilaksanaan)

- manusia religious ( percaya zat yang lebih maha kuasa)

- penyatuan dengan alam ( kehidupan agraris)

- sistem hidup kekeluargaan , saling menghormati

- hidup secara kebersamaan, berjiwa sosial

- tata cara hidup simbolistis / simbolik ( lambang)

Dari beberapa sikap hidup masyarakat Jawa termasuk juga

masyarakat Jawa di Surakarta salah satunya memperlihatkan karakter

yang menonjol bahwa masyarakat Jawa, merupakan masyarakat yang

memiliki rasa dan jiwa sosial tinggi. Sehingga interaksi antar sesama

dijunjung tinggi antara tiap individu.

Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial, oleh karena itu

tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi

sosial mencakup hubungan:

- Antara orang perorangan

- Antara orang perorangan dengan kelompok manusia

- Antara kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya

(Sutedjo,1982,p:31)

“kehidupan sosial merupakan aspek tertentu dari kebudayaan. Ia

adalah bagian dari kebudayaan, bukan akibat dari kebudayaan” (Bouman,

(42)

Alun-alun merupakan salah satu contoh tempat masyarakat

tradisional Jawa untuk saling mengadakan komunikasi dan berinteraksi

sosial. Di alun-alun semua orang dapat menikmati ruang terbuka yang

cukup luas, menyatu dengan alam, berekreasi, berolahraga dan lain-lain.

Sifat pelayanannya dalam lingkup makro yaitu pelayanan terhadap

masyarakat kota.

Dalam lingkup mikro, misal masyarakat dalam suatu kampung,

biasanya pada setiap rumah-rumah di Jawa selalu mempunyai sebuah

teras atau emper yang berada di muka rumah yang berfungsi sebagai

tempat untuk saling berkomunikasi dengan tetangganya, orang yang

sedang lewat dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa

masyarakat Jawa khususnya di Surakarta hidup dengan jiwa dan rasa

sosial yang kental (Sastrowardojo,1978,p:40).

C. SENI BUDAYA TRADISIONAL

C.1. Pemahaman Seni Budaya Tradisional

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal

dari kata Latin “Colere”, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan

juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang

diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya dalam

pengertian yang luas adalah pancaran daripada budi dan daya. Seluruh

apa yang difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya

menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau

(43)

commit to user

Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi

dan murni dari sesuatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan

peradaban. (Guruvalah,2000)

Sedangkan, Kata seni konon berasal dari kata “sani” yang artinya

“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Dalam bahasa Inggris dengan istilah

art” (artivisial) yang artinya adalah barang / atau karya dari sebuah kegiatan. mernurut Ensiklopedia Indonesia Seni adalah penciptaan benda

atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat

dan mendengar. (Diasraka,2001)

Seni budaya tradisional adalah keanekaragaman unsur budaya

yang sudah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, yang

mempunyai keunikan yang beragam. Konsep penciptaan seni ini selalu

berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas pada sebuah Budaya, itu bisa

berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau juga simbol-simbol

yang menjadi bagian utuh dari kativitas tersebut.

C.2. Macam Seni Budaya Tradisional

Seni budaya di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga

kelompok, yaitu: Seni rupa, Seni pertunjukan, dan Seni sastra (Indonesian

Heritage,2001)

a) Seni rupa

Seni rupa sering disebut juga sebagai seni kriya, yaitu paduan

antara seni dan ketrampilan. Seni rupa mulai berkembang pesat setelah

jaman kemerdekaan Bangsa Indonesia, meskipun bangsa Indonesia

adalah salah satu bangsa yang telah mempunyai peradaban tinggi di

bidang seni rupa sebelum pengaruh barat masuk ke Indonesia. Dalam

membahas seni rupa akan di intregasikan dengan karya seni rupa

(44)

Terkait dengan seni budaya berbasis lokal (genius local seource) diterapkan dengan contoh karya rupa tradisional yang ada di daerah

Jawa. Seni rupa merupakan salah satu cabang kesenian. Seni rupa

memiliki wujud pasti dan tetap yakni dengan memanfaatkan unsur rupa

sebagai salah satu wujud yang diklasifikasikan ke dalam bentuk gambar,

lukis, patung, grafis, kerajinan tangan, kriya, dan multimedia.

Seni rupa merupakan seni yang meliputi kemampuan memahami

dan berkarya lukis, kemampuan memahami dan membuat patung,

kemampuan memahami dan berkarya grafis ,kemampuan memahami dan

membuat kerajinan tangan, serta kemampuan memahami dan berkarya

atau membuat sarana multimedia. Terminologi ini pada dasarnya telah

ditetapkan sebagai kecakapan seseorang yang mampu menguasai bidang

kerupawanan.

Seni rupa telah mengakar mulai zaman animisme dan dinamisme

hingga saat ini. Seni rupa menjadi salah satu bagian cabang seni yang

secara performatif mempresentasikan wujud yang kasat mata. Ilusi

tentang wujud dapat diserap dan dirasakan ke dalam klasifikasi bentuk

seperti telah disebut pada bagian atas.

Representasi bentuk seni rupa dipertimbangkan secara sinergis

melalui perhelatan media yang digunakan sebagai dasar perwujudan

rupa. Secara kontekstual seni rupa merupakan wujud mediasi bentuk

kasat mata yang dekat ke arah perlambang gambar, lukis, patung,

kerajinan tangan kriya dan multimedia yang berhubungan dengan unsur

(45)

commit to user

b) Seni pertunjukan

Seni pertunjukan (performance art) adalah karya seni yang

melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu.

performance biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh dan hubungan seniman dengan penonton. Seni pertunjukan / drama sangat

erat dengan kehidupan adat-istiadat. Kehidupan spiritual yang dahulu

kala hingga sekarang masih dihayati oleh sebagian besar masyarakat di

Jawa. Dalam membahas seni pertujukan akan di intregasikan dengan

karya seni pertunjukan tradisional. Seni pertunjukan merupakan bentuk

pergelaran dari berbagai unsur kreativitas musik, tari, teater dan sastra

yang bertumpu pada tradisi setempat dan dikemas dalam media

tuntunan yang unik dan menarik.

c) Seni sastra

Sastra berasal dari kata “castra” yang berarti tulisan. Dari makna

asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang

ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab, surat,

undang-undang dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita

gunakan dalam konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan

perasaan manusia. Seni sastra merupakan bentuk upaya manusia untuk

mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan

pemikirannya. Kesusastraan adalah salah satu bentuk atau cabang

kesenian yang menggunakan media bahasa sebagai alat mengungkapkan

gagasan dan perasaan senimannya.

Ada dua macam seni sastra yaitu sastra Daerah dan sastra

Indonesia. Sastra Daerah dahulu menggunakan bahasa daerah kawi,

(46)

Sedangkan seni sastra Indonesia di Jawa Tengah mulai tampil

sejak kongres pemuda ke-II pada bulan Oktober 1928, berupa penulisan

sajak, syair, cerpen, essay dan lain-lain yang banyak mendapatkan

bantuan dari harian-harian dan majalah setempat. (Anneahira,2003)

C.3. Potensi Seni dan Budaya Kota Surakarta

Surakarta atau yang dikenal dengan nama Solo merupakan salah

satu kota di Jawa Tengah yang selama lima tahun terakhir ini berhasil

memadukan potensi seni, budaya, sosial, dan ekonomi dalam suatu

sinergi yang membawa berkah bagi masyarakatnya. Warisan seni budaya

yang begitu kaya telah memberi karakter yang begitu kuat bagi Surakarta

sebagai Kota Seni Budaya. Begitu cocok ketika kota ini mengusung slogan:

Solo,The Spirit of Java. Sebagai kota budaya yang kaya akan potensi seni Surakarta memiliki berbagai macam jenis seni, antara lain:

1. Kelompok Pertunjukan Seni

· Kelompok Seni Tari

Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg

dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa

orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu

menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari

adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak

organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras

dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian

budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai

masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak

(47)

commit to user

Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat

di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat

inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya

meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di

luar Jawa Tengah.

Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak

berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat

dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga

Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang

berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya

Surakarta. Macam-macam tariannya :

a. Tari Srimpi

b. Tari Bedaya

c. Tari Gambyong

d. Wireng e. Prawirayuda

f. Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana

g. Tari Langendriyan ( khusus di Mangkunegaran)

(48)

· Kelompok Seni Musik - Keroncong

Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal

sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga

bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa)

masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh

para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad

ke-17 di Nusantara tidak dengan serta merta berarti hilang pula musik ini.

Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol,

seperti polka agak lamban ritmenya). Musik keroncong yang menjadi

bagian dari budaya musik Indonesia, didalamnya terdapat karakteristik

yang mengandung nilai-nilai budaya universal. Seperti halnya

musik-musik yang lain, musik-musik keroncong memiliki karakteristik tersendiri yang

berbeda dengan bentuk musik lainnya yang muncul dari perpaduan

antara elemen-elemen musikal, musik pengiring dan teknik penyajiannya.

Musik keroncong berasal dan berkembang di Pulau Jawa, dengan

dipengaruhi oleh musik Portugis. Ada dua macam musik keroncong yang

berkembang saat ini, yaitu Pop Keroncong dan Langgam Keroncong. Alat

musik yang biasa digunakan untuk mengiringi seorang penyanyi

keroncong adalah Bass, Cello, Gitar, Cuk dan Cak. Terkadang juga

ditambah iringan suling, biola ataupun keyboard / organ.

Gambar

Tabel I.1: Tabel jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik) ke Obyek
Gambar II.1: Ragam bentuk variasi atap pada bangunan
Gambar II.2commit to user : Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta                           Sumber: www.kabaresolo.com
Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir yang berjudul “ BARON TECHNOPARK sebagai Kawasan Wisata.. Edukasi dengan Pendekatan Ekologi Arsitektur “

Pusat Olahraga, Seni dan Kreativitas Mahasiswa di Universitas Muhammdiyah Surakarta : Pangkal/Pusat Suatu Kegiatan Olah tubuh atau pikiran, Seni dan

Laporan Tugas akhir mengkaji tentang Potensi Gereja Blenduk Sebagai Obyek Wisata Religi dan Wisata Budaya di Kawasan Kota Lama Semarang yang merupakan salah satu obyek

judul Kawasan Wisata Budaya Samin dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual di Blora ini..

Tujuan dari penelitian Kajian Kawasan Pasar Seni Sebagai Pusat Aktifitas Ekonomi di Kuala Lumpur diantaranya Menjelaskan keterkaitan antara kehidupan masyarakat

a) Laporan dengan judul perancangan Pusat Seni Budaya Adat Sai Batin di Kawasan Pesisir ini dibuat sebagai syarat untuk mencapai gelar S1 pada Univeritas Lampung. b) Pusat Seni

Jadi pengertian dari judul Pusat Seni Rupa Surakarta dengan pendekatan Sustainable architecture adalah wadah dan tempat para seniman dapat mempublikasikan

PENGAKUAN Saya mengaku bahawa Projek Tahun Akhir PTA yang bertajuk Pusat Pembangunan Kraf Betong sebagai pusat pengurusan seni kraftangan tradisional di Betong Sarawak adalah hasil