commit to user
PUSAT SENI DI SURAKARTA
SEBAGAI KAWASAN WISATA SENI YANG BERNUANSA LOKALITAS SURAKARTA
TUGAS AKHIR
Diajukan sebagai Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Teknik Arsitektur
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
JANITRA KERTIYASA
I0207056
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Puji syukur Alhamdulillah atas izin Allah SWT yang telah melimpahkan Karunia, Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas
Akhir Arsitektur dengan judul Pusat Seni di Surakarta sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa
Lokalitas Surakarta. Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini diajukan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Konsep Perencanaan dan
Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran tentang Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini akan Penulis terima
dengan terbuka.
Akhir kata, semoga Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir Arsitektur ini dapat
memberikan manfaat bagi Penulis, pribadi dan kita semua, Amin.
Penulis menyadari bahwa selesainya Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir
Arsitektur ini tidak lepas dari pihak-pihak yang telah membantu baik moril maupun materiil. Oleh
karena itu, praktikan mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr.Ir. M. Muqoffa, MT, selaku Ketua Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UNS.
2. Kahar Sunoko , ST, MT, selaku Ketua Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNS.
3. Ir. Rachmadi Nugroho, MT, selaku dosen pembimbing akademik.
4. Widi Suroto ,ST, MT, selaku dosen pembimbing I mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur.
5. Fauzan Ali Ikhsan, ST, MT, selaku dosen pembimbing II mata kuliah Tugas Akhir Arsitektur.
6. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan serta
dukungannya dalam menyelesaikan Konsep Perencanaan dan Perancangan Tugas Akhir
Arsitektur ini.
Surakarta, 8 Oktober 2011
commit to user
D. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN ... 4
E. TUJUAN DAN SASARAN ... 4
F. LINGKUP DAN BATASAN PEMBAHASAN ... 5
G. METODE PEMBAHASAN ... 6
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN ... 6
A.3. Lokalitas dalam Arsitektur ... 13
B. LOKALITAS SURAKARTA B.1. Pemahaman Lokalitas Surakarta ... 14
B.2. Aspek Perancangan Lokalitas Surakarta ... 15
C. SENI BUDAYA TRADISIONAL C.1. Pemahaman Seni Budaya Tradisional ... 27
C.2. Macam Seni Budaya Tradisional ... 28
[BAB III PRESEDEN PUSAT SENI DAN PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN
A. PRESEDEN PUSAT SENI
A.1. Pasar Seni Gabusan ... 60
A.2. Garuda Wisnu Kencana (Cultural Park) ... 64
A.3. Medan Fair (Pekan Raya Sumatera Utara) ...68
B. PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN B.1. Tinjauan Kota Surakarta ... 72
B.2. Pusat Seni di Surakarta ... 74
BAB IV ANALISA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI SURAKARTA A. ANALISA MAKRO A.1. Proses Penentuan Pemilihan Lokasi ... 80
A.2. Lokasi Site Terpilih ... 81
A.3. Potensi Site ... 83
B. ANALISA MIKRO B.1. Analisa Pola Kegiatan ... 85
B.2. Analisa Peruangan ... 88
B.3. Analisa Pencapaian ...106
B.4. Analissa Klimatologi ... 108
B.5. Analisa Kebisingan ... 112
B.6. Analisa View dan Orientasi ... 115
B.7. Analisa Zonifikasi Kelompok Kegiatan ... 118
B.8. Analisa Sirkulasi ... 121
B.9. Analiisa Gubahan dan Komposisi Massa ... 123
B.10. Analisa Bentuk dan Tampilan Bangunan ... 128
B.11. Analisa Lansekap ... 130
B.12. Analisa Sistem Struktur ... 132
B.13. Analisa Sistem Pencahayaan ... 134
commit to user
BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI SURAKARTA
A. KONSEP PEMILIHAN LOKASI DAN TAPAK ... 146
B. KONSEP PERUANGAN ... 147
C. KONSEP PENCAPAIAN DAN SIRKULASI TAPAK ... 149
D. KONSEP KLIMATOLOGI ... 150
E. KONSEP KEBISINGAN ... 151
F. KONSEP VIEW DAN ORIENTASI ... 151
G. KONSEP ZONIFIKASI TAPAK ... 152
H. KONSEP GUBAHAN DAN KOMPOSISI MASSA ... 154
I. KONSEP BENTUK DAN TAMPILAN BANGUNAN ... 156
J. KONSEP LANSEKAP ... 157
K. KONSEP SISTEM STRUKTUR ... 162
L. KONSEP SISTEM PENCAHAYAAN ... 164
M. KONSEP SISTEM UTILITAS BANGUNAN ... 164
DAFTAR PUSTAKA
▪ Ayatrohaedi, (1986), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. ▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1991), Jati Diri Arsitektur Indonesia, Penjabaran Wawasan
Identitas dalam Wadag Arsitektur, Alumni, Bandung.
▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1987), Percikan Masalah Arsitektur, Perumahan dan Perkotaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
▪ Budihardjo, Eko, Ir. M.Sc., (1997), Arsitektur yang Berakar Tradisi, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Depdikbud, Jakarta.
▪ Blackwell, Wiliam, A.I.A., (1987), Geometri dalam Arsitektur, Abdi Widya, Bandung.
▪ D.K. Ching, Francis, (2000), Arsitektur bentuk, ruang dan tatanan (edisi kedua), Erlangga, Jakarta.
▪ Hakim, Rustam, Ir., Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bumi aksara
▪ Lefaivre, Liane dan Alexander Tzonis, (2003), Critical Regionalism – Architecture and Identity in a Globalized World
▪ Lynch, Kevin, (1978), “ What Time is This Place” the MIT Perss, Cambridge. ▪ Neufrt, Ernest, Data arsitek (Edisi Kedua),Jakarta.
▪ Prijotomo, Josef , (1988), Pasang Surut Arsitektur Indonesia, Ardjun, Surabaya.
▪ Sutedjo, B Suwondo, Dipl. Ing, (1982), Pencerminan Nilai Budaya dalam Arsitektur di Indonesia, Laporan Seminar Tata Lingkungan oleh Mahasiswa Arsitektur Universitas
Indonesia, Djambatan, Jakarta.
▪ Soetiadji S, Setyo, Ir., (1986), Anatomi Estetika, Djambatan, Jakarta.
▪ Wiryomartono, A. Bagoes P. (1995), Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta.
▪ ‘______’, (2009), Handout perkuliahan Arsitektur Tradisional Jawa, Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
▪ ‘______’, (2008), Handout perkuliahan Struktur Konstruksi Bangunan Gedung 1, Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
▪ ‘______’, (2007), I-Arch Magazine – Urban Space (Fifth Issue), PT. Grasindo Mediatama, Jakarta
commit to user
▪ www.surakarta.go.id
▪ Agustinus Susanto, 2009 / www.ilumartaonline.com ▪ http://diasraka.wordpress.com/sastra/seni-budaya/ ▪ senidanbudaya08.wordpress.com/page/2/
Tanggal akses: Minggu, 15 Mei 2011
▪ http://bantulcraft.com/los-pasar.php
▪ http://bisnisukm.com/batik-kayu-warisan-budaya-yogyakarta.html ▪ http://senikriyaa.blogspot.com/
▪ http://www.blogster.com/artbloggue/tentang-seni-ukir-di-indonesia ▪ http://bisnisukm.com/kerajinan-logam-yang-mempesona-dari-boyolali.html
▪ http://www.arkeologi.web.id/museum-batik-danar-hadi-galeri-batik-kuno-danar-hadi-di-solo2222.html
Tanggal akses: Minggu, 22 Mei 2011
▪ http://guruvalah.20m.com/PENGERTIAN KEBUDAYAAN DAN SENI « MAHASISWA
ETNOMUSIKOLOGI ISI SURAKARTA.html
▪ http://www.anneahira.com/pengertian-sastra.htm
▪ http://budayasenijawa.wordpress.com/2010/11/26/sastra-jawa/
▪ http://komunitaskroncongcitrakristi.blogspot.com/2011/02/asal-usul-musik-kroncong.html ▪ javanesesphere.blogspot.com/2010/06/karawitan
▪ http://www.borobudurlinks.com/2010/07/museum-senirupa-hwidayat.html ▪
BAB I
§ Tabel I.1: Tabel jumlah kunjungan wisatawan (mancanegara dan domestik)
ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di kota Surakarta 2
BAB IV
§ Tabel IV.1: Analisa kebutuhan ruang 88
§ Tabel IV.2: Analisa besaran ruang 94
§ Tabel IV.3: Rekapitulasi besaran ruang 101
§ Tabel IV.4: Analisa persyaratan dan perencanaan ruang 102
§ Tabel IV.5: Alternatif jenis sirkulasi 122
§ Tabel IV.6: Alternatif bentuk geometri 124
§ Tabel IV.7: Jenis bentuk komposisi massa 126
§ Tabel IV.8: Rencana penetaan lansekap kawasan Pusat Seni di Surakarta 131
BAB V
commit to user BAB II
§ Gambar II.1: Ragam bentuk variasi atap pada bangunan tradisional di Jawa 17
§ Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta 18
§ Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan perkantoran di Surakarta 19
§ Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta 20
§ Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi 20
§ Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa 22
§ Gambar II.7: Ilustrasi Sumbu Imejiner yang melewati 25
“pola tata massa tradisional (dalam lingkup mikro maupun makro)” di Jawa
§ Gambar II.8: Foto satelit kawasan kraton Surakarta Hadiningrat 25
§ Gambar II.9: Bermacam jenis tarian tradisional di Surakarta 32
§ Gambar II.10: Pertunjukan musik keroncong 33
§ Gambar II.11: Gamelan yang merupakan seperangkat instrumen dari musik karawitan 35
§ Gambar II.12: Pertunjukkan kesenian wayang kulit 38
§ Gambar II.13: Pertunjukan kesenian wayang orang 40
§ Gambar II.14: Wayang klithik yang keberadaanya kini semakin langka 41
§ Gambar II.15: Pertunjukkan kesenian wayang golek 42
§ Gambar II.16: Pertunjukkan kesenian ketoprak lesung 44
§ Gambar II.17: Pertunjukkan kesenian ketoprak gamelan 45
§ Gambar II.18: Pertunjukan teater rakyat 47
§ Gambar II.19: Pertunjukan teater kraton 47
§ Gambar II.20: Pertunjukan teater kontemporer 48
§ Gambar II.21: Pemutaran film sebagai salah satu bagian dari pertunjukan seni 48
§ Gambar II.22: Karya lukis hasil seniman dalam negeri yang bercorak 50
naturalisme-tradisional Indonesia
§ Gambar II.23: Ragam motif batik 51
§ Gambar II.24: Ragam jenis pakaian dari kain batik 52
§ Gambar II.25: Berbagai macam hasil kerajinan dari kain batik yang diolah menjadi souvenir 52
§ Gambar II.30: Seni Kerajinan anyam dari material bambu dan rotan 56
§ Gambar II.31: Berbagai macam hasil seni kerajinan berbahan dasar kulit 57
§ Gambar II.32: Berbagai macam hasil seni kerajinan keramik dan gerabah 58
§ Gambar II.33: Pembacaan karya sastra oleh para sastrawan 59
BAB III
§ Gambar III.1: Kawasan Pasar Seni Gabusan yang berada di Bantul, Yogyakarta 60
§ Gambar III.2: Signage gerbang Pasar Seni Gabusan di Bantul, Yogyakarta. 61
§ Gambar III.3: Foto Satelit Kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta 61
§ Gambar III.4: Gambar situasi kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta 62
§ Gambar III.5: Beberapa massa bangunan yang terdapat di 62
kawasan Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta
§ Gambar III.6: Berbagai macam jenis barang kerajinan yang dijual di 63
Pasar Seni Gabusan Bantul, Yogyakarta
§ Gambar III.7: 3D desain Pasar Seni Gabusan di Bantul 64
§ Gambar III.8: Patung Garuda dan Wisnu yang terdapat di Garuda Wisnu Kencana 65
§ Gambar III.9: Signage gerbang Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park 65
§ Gambar III.10: Maket GWK beserta lingkungan sekitarnya menggambarkan 66
bentuk akhir dari proses pembangunan mega proyek ini bila telah selesai nanti
§ Gambar III.11: Ilustrasi kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park di Bali 67
§ Gambar III.12: Fasilitas ruang pameran indoor maupun outdoor 67
yang terdapat di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park
§ Gambar III.13: Beberapa fasilitas yang terdapat di 68
kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park
§ Gambar III.14: “Menara Pekan Raya Sumatera Utara” di kawasan 68
pusat hiburan rakyat Medan Fair
§ Gambar III.15: Menara Pekan Raya Sumatera Utara 70
commit to user
§ Gambar III.19: Peta wilayah kota Surakarta 73
§ Gambar III.20: Foto satelit wilayah kota Surakarta 74
BAB IV § Gambar IV.1: Kawasan segitiga budaya di Surakarta 81
§ Gambar IV.2: Lokasi site terpilh 82 § Gambar IV.3: Batas-batas dari site terpilih 83
§ Gambar IV.4: Beberapa bangunan fasilitas umum yang berada disekitar site terpilih 84 § Gambar IV.5: Analisa pencapaian 107
§ Gambar IV.6: Zoning analisa pencapaian 108
§ Gambar IV.7: Analisa angin 109
§ Gambar IV.8: Respon analisa angin 110
§ Gambar IV.9: Analisa matahari 111
§ Gambar IV.10: Analisa kebisingan 114
§ Gambar IV.11: Zoning analisa kebisingan 115
§ Gambar IV.12: Analisa view dan orientasi 117
§ Gambar IV.13: Respon analisa view dan orientasi 118
§ Gambar IV.14: Analisa rencana zoning 120
§ Gambar IV.15: Analisa rencana zoning massa 121
§ Gambar IV.16: Gambaran arah sirkulasi pengunjung Pusat Seni di Surakarta 123
§ Gambar IV.17: Analisa bentuk komposisi massa 127
§ Gambar IV.18: Analisa bentuk dan tampilan bangunan 129
§ Gambar IV.19: Contoh beberapa jenis furniture street 130
sebagai elemen hard material dalam penataan lansekap § Gambar IV.20: Contoh beberapa jenis elemen soft material pada lansekap 130
§ Gambar IV.21: Contoh pencahayaan buatan pada galeri seni 135
§ Gambar IV.22: Contoh pencahayaan buatan outdoor pada kawasan public 135
§
§ Gambar V.2: Letak entrance utama (ME) dan entrance 150
samping (SE) pada kawasan Pusat Seni di Surakarta § Gambar V.3: Letak bukaan pada beberapa massa bangunan Pusat Seni di Surakarta 151
§ Gambar V.4: Arah orientasi massa bangunan di dalam site kawasan Pusat Seni di Surakarta 152
§ Gambar V.5: Kesesuaian perletakan masa bangunan Pusat Seni di Surakarta sesuai zoning 153
§ Gambar V.6: Gubahan dan komposisi massa bangunan pada kawasan Pusat Seni di Surakarta 155
§ Gambar V.7: Bentuk dan tampilan bangunan kawasan Pusat Seni di Surakarta 156
§ Gambar V.8: Bentuk dan tampilan massa bangunan Pusat Seni di Surakarta 157
§ Gambar V.9: Penataan lansekap pada plaza utama kawasan Pusat Seni di Surakarta 157
§ Gambar V.10: Penataan lansekap amphiteater pada kawasaan Pusat Seni di Surakarta 158
§ Gambar V.11: Penataan lansekap pada plaza pedestrian kawasan Pusat Seni di Surakarta 160
§ Gambar V.12: Penataan lansekap pada main entrance kawasan Pusat Seni di Surakarta 160
§ Gambar V.13: Penataan lansekap pada sitting area kawasan Pusat Seni di Surakarta 161
§ Gambar V.14: Pondasi footplate 162
§ Gambar V.15: Sruktur rangka badan bangunan dengan menggunakan struktur kolom beton 163
§ Gambar V.16: Struktur rangka atap dengan mengunakan material baja ringan 163
§ Gambar V.17: Berbagai jenis alat pendeteksi bahaya kebakaran 166
§ Gambar V.18: Berbagai jenis alat pemadam kebakaran 167
commit to user
TERIMAKASIH
· Mama, Papa, Mbak Hana untuk kasih sayang, doa dan support yang tidak henti-hentinya
· Seluruh teman-teman ARSITEKTUR 2007 ku tersayang, terimakasih atas kebersamaannya
· Teman-teman STUDIO TUGAS AKHIR ARSITEKTUR PERIODE 123, yere,tya, hafidz, fery, cito,
meity, fungki, sintia, anin, nandi, menik, nia, nia, ratih, farikha, mita, dini, mas-mas dan mbak-mbak 2006 / 2005
· Terimakasih wina, desi, rani, lidya, dika, lista, sha, yesi, yang menemani dan membantu ku selama studio tugas akhir
SEBAGAI KAWASAN WISATA SENI YANG BERNUANSA LOKALITAS SURAKARTA
Abstrak: Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota yang
memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam. Surakarta
sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama, yaitu sebagai kota
budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan sebagai salah satu Daerah Tujuan
Wisata (DTW) di Nusantara yang memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik
berupa arsitektur bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian,
maupun berbagai macam jenis hasil kerajinan.
Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi Bandara Internasional,
dan juga direncanakannya pembangunan jalan tol Solo-Yogyakarta akan semakin
memudahkan pencapaian transportasi yang mendukung keberadaan Surakarta
sebagai kota pariwisata di Indonesia. Melihat meningkatnya jumlah kunjungan
wisatawan (mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap
tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk meningkatkan kualitas
obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu juga ada peningkatan kuantitas,
antara lain dengan menambah jenis tempat wisata baru yang mampu
memperkenalkan dan mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di
Surakarta, sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi.
Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk kesatuan kawasan wisata
yang menampung berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan seni, seperti
pertunjukan seni, pameran seni, maupun informasi dan permasaran produk-produk
kerajinan seni, serta menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa
ke-lokal-an ke dalam kawasan bangunan guna memunculkan karakter dan jatidiri
Surakarta.
commit to user
AS A TOUR ART AREA WHICH NUANCE A LOCALITY OF SURAKARTA
Abstract: Surakarta which known by Solo, is a city which have condition and
potential variety art and culture. Surakarta as a center of tourism development in Tri
Krida Utama, as a city of culture, tourism, and sport those set in one of the city in
Indonesia as “Daerah Tujuan Wisata (DTW)” which have riches of culture, i.e
architecture building, tradition, tourist area, art, and many kind of handicraft.
By way of Adi Sumarmo Airport development as a international airport and a
program building of Solo-Yogyakarta highways will easier the transportation
attainment which support existence of Surakarta as a tourism city in Indonesia.
Discern rise amount of tourist (from foreign countries or domestic) which visit to
Surakarta in every year, then presumably keep on efforts the quality of tourist area
already, presumably need to incrase quantity of tourist area, in such as add to kind
of any tourist area which can introduce and appreciate many kind of culture and art
in Surakarta, so that will be much attract tourist in Surakarta.
Surakarta Art Center is the unity form of a tour area which receive many kind of
activity which be related to art, such as performing art, exhibition art, information
and handicraft marketing product, and become the tourist art area which make the
lokality nuance into the building area to make the scene of character and personality
of Surakarta.
BAB I
PENDAHULUAN
A. JUDUL
PUSAT SENI DI SURAKARTA
“Sebagai Kawasan Wisata Seni yang Bernuansa Lokalitas Surakarta”
B. PEMAHAMAN JUDUL
Pusat Seni ( Art Center ) di Surakarta adalah sebuah bentuk
kesatuan kawasan wisata yang menampung berbagai macam kegiatan
yang berhubungan dengan seni, seperti pertunjukan seni, pameran seni,
maupun informasi dan permasaran produk-produk kerajinan seni, serta
menjadi sebuah kawasan wisata seni yang memunculkan nuansa
ke-lokal-an ke dalam kawaske-lokal-an bke-lokal-angunke-lokal-an guna memunculkke-lokal-an karakter dke-lokal-an jatidiri
Surakarta.
C. LATAR BELAKANG
Surakarta yang biasa dikenal dengan nama Solo, merupakan kota
yang memiliki kondisi dan potensi seni dan budaya yang sangat beragam.
Surakarta sebagai pusat pertumbuhan pariwisata dalam Tri Krida Utama,
yaitu sebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga kini ditetapkan
sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Nusantara yang
memiliki kekayaan berbagai jenis budaya baik berupa arsitektur
bangunannya, adat-istiadatnya, jenis obyek wisata, kesenian, maupun
berbagai macam jenis hasil kerajinan.
Dengan dikembangkannya Bandara Adi Sumarmo menjadi
commit to user
yang mendukung keberadaan Surakarta sebagai kota pariwisata di
Indonesia.
Surakarta yang kaya akan tradisi budaya, kesenian dan arsitektur
bangunannya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk
mendukung kepariwisataannya. Potensi-potensi obyek wisata yang ada di
kota Surakarta antara lain:
· Kraton Kasunanan
· Kraton Mangkunegaran
· Taman Wisata Budaya Sriwedari
· Monumen Pers
· Museum Radya Pustaka dan Museum Dullah
· Taman Wisata Bale Kambang
· Taman Wisata Satwa Taru Jurug
Berdasarkan tabel data kunjungan wisatawan yang datang ke kota
Surakarta:
Jumlah Kenaikan Jumlah Kenaikan Jumlah Kenaikan
1 2003 7.929 - 737.025 - 737.025 -
Sumber: Bidang Sarana Wisata, Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta, 2011
Melihat meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan
(mancanegara dan domestik) yang datang ke kota Surakarta setiap
tahunnya, maka kiranya perlu terus digalakkan upaya untuk
meningkatkan kualitas obyek wisata yang telah ada, dan kiranya perlu
juga ada peningkatan kuantitas, antara lain dengan menambah jenis
tempat wisata baru yang mampu memperkenalkan dan
mengapresiasikan beragam jenis budaya dan seni yang ada di Surakarta,
sehingga akan dapat menjaring wisatawan lebih banyak lagi.
Adapun tujuan dari pengadaan fasilias wisata ini adalah:
- Bidang pariwisata
Sebagai penambah tempat/lokasi wisata baru barupa kawasan
yang menampung aktivitas dan kegiatan yang berhubunngan
dengan seni, sehingga potensi seni di Surakarta dapat semakin
berkembang. dan dikenal oleh wisatawan domestik maupun
mancanegara.
- Bidang ekonomi
Untuk meningkatkan income/pendapatan kota Surakarta,
selain itu juga tentunya dapat meningkakan pendapatan para
pengerajin dan seniman dan nantinya akan dapat terus
mendorong produkivitas dan kreaivitas hasil seni mereka.
- Bidang sosial
Sebagai wadah apresiasi dan perkenalan terhadap berbagai
kesenian tradisional di Surakarta, sehingga nantinya kesenian
tradisional kita dapat terus dikenal oleh generasi mendatang
commit to user
D. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN
· Permasalahan:
Menciptakan konsep perencanaan dan perancangan Pusat Seni
(Art Center) yang dapat dijadikan kawasan wisata seni di Surakarta yang memfasilitasi berbagai macam kegiatan seni seperti,
pertunjukan seni, pameran seni, serta informasi dan permasaran
produk-produk kerajinan seni, dengan menampilkan suasana
kawasan bangunan yang menunjukkan jatidiri dengan
memperhatikan lokalitas Surakarta.
· Persoalan:
- Bagaimana konsep lokasi dan site strategis, sehingga dapat
mendukung fungsi dari kawasan tersebut sekaligus dapat
menarik perhatian pengunjung.
- Bagaimana konsep penampilan bangunan kawasan Pusat Seni
di Surakarta yang menarik dan selaras dengan memunculkan
suasana ke-lokal-an setempat.
- Bagaimana konsep peruangan yang dapat mewadahi segala
aktivitas seni diatas sekaligus menarik bagi para pengunjung
maupun wisatawan (domestik dan mancanegara) yang datang.
- Bagaimana konsep tata ruang dalam dan tata ruang luar
(lansekap) yang menarik di kawasan Pusat Seni di Surakarta.
E. TUJUAN DAN SASARAN
· Tujuan:
Menyusun suatu konsep perencanaan dan perancangan Pusat
Seni di Surakarta sebagai kawasan wisata yang mewadahi
berbagai macam aktivitas seni yang bernuansa lokalitas untuk
menciptakan kawasan seni yang dapat menunjukkan jati diri
· Sasaran:
- Mendapat lokasi site yang strategis dan mudah untuk dicapai.
- Merancang sebuah Pusat Seni di Surakarta dengan ekspresi
bangunan yang menarik dan bernuansa lokalitas Surakarta.
- Merancang konsep peruangan yang meliputi kebutuhan ruang,
besaran ruang, macam organisasi ruang dan pola hubungan
ruang yang mampu menciptakan kenyamanan pengunjung.
- Merancang konsep tata ruang dalam maupun luar (lansekap)
yang menarik.
F. LINGKUP DAN BATASAN PEMBAHASAN
· Lingkup pembahasan:
- Pembahasan diarahkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang
akan dicapai dan dalam lingkup disiplin ilmu arsitektur,
sedangkan masalah diluar disiplin ilmu arsitektur dibahas
secukupnya sejauh masih ada relevansinya sesuai dengan
porsi keterlibatannya.
- Menekankan pada pengolahan penampilan kawasan
bangunan dengan pendekatan lokalitas Surakarta.
· Batasan pembahasan:
- Pembahasan yang dilakukan dibatasi dan diarahkan untuk
menyelesaikan permasalahan dan persoalan dalam
mewujudkan konsep perencanaan dan perancangan Pusat
commit to user
G. METODE PEMBAHASAN
Dalam menyusun konsep perancangan dan perencanaan
digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
- Studi literature, pengumpulan data–data dari beberapa buku
atau melalui informasi lainnya yang berhubungan dengan
proyek yang direncanakan sehingga dapat menunjang proses
perencanaan dan perancangan.
- Studi komperatif, studi perbandingan dengan melakukan
pengamatan dan survey lapangan terhadap proyek serupa
sebagai pedoman dalam perencanaan dan perancangan.
- Studi lapangan, yang bertujuan untuk mengetahui secara
langsung keadaan lahan yang sebenarnya dan juga mengenali
potensi yang bisa dimanfaatkan dan permasalahan yang harus
dipecahkan dalam proses desain.
H. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
· BAB I : PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang masalah, merumuskan
masalah, menerapkan tujuan dan sasaran, menetapkan ruang
lingkup dan batasan pembahasan, metode pembahasan dan
sistematika pembahasan.
· BAB II : TINJAUANPUSTAKALOKALITAS DALAM ARSITEKTUR,
LOKALITAS SURAKARTA DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL
Mengemukakan tinjauan mengenai lokalitas dalam arsitektur,
mulai dari pemahaman lokalitas itu sendiri, nilai-nilai lokalitas
dan penjelasan lokalitas Surakarta, serta mengemukakan
tinjauan mengenai seni budaya tradisional yang berkembang
· BAB III : PRESEDEN PUSAT SENI DAN PUSAT SENI DI SURAKARTA YANG DI RENCANAKAN
Mengemukakan beberapa preseden tentang Pusat Seni (Art
Center) yang sudah ada dan dianggap berhasil, serta menguraikan tentang Pusat Seni di Surakarta yang di
rencanakan.
· BAB IV : ANALISA PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI
SURAKARTA
Melakukan analisa perencanaan dan perancangan Pusat Seni
di Surakarta sebagai kawasan wisata seni dengan pendekatan
lokalitas dalam arsitektur yang meliputi analisa lokasi, analisa
site, analisa peruangan, dan analisa penampilan bangunan dan
analisa tata ruang dalam dan luar bangunan, analisa struktur
serta analisa sistem utilitas bangunannya.
· BAB V : KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PUSAT SENI DI
SURAKARTA
Membuat desain perancangan dan perencanaan Pusat Seni di
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR,
LOKALITAS SURAKARTA, DAN SENI BUDAYA TRADISIONAL
A. LOKALITAS DALAM ARSITEKTUR
A.1. Pemahaman Lokalitas
Lokalitas bukanlah sebuah “gerakan” baru dalam dunia arsitektur,
kemunculannya menjadi terasa seiring gencarnya gerakan modernitas
dalam dunia ini. Lokalitas telah dianggap sebagai “senjata” yang tepat
untuk menahan lajunya ruang-ruang kapitalis yang telah menyusup dalam
kehidupan manusia di dunia modern ini. Alexanander Tzonis
mengungkapkan bahwa seharusnya lokalitas bukanlah sebuah tema
gerakan tetapi lebih kepada “conceptual device” yang kita pilih sebagai
alat untuk melakukan analisis dan sintesis. Lokalitas membantu kita untuk
menempatkan identitas sebagai prioritas ketimbang intervensi
internasional ataupun dogma yang bersifat universal.
Beberapa gambaran tentang “apa itu lokalitas” yang diungkapkan
oleh beberapa tokoh di bawah ini, dari berbagai sumber:
“Arsitek jangan sekali-kali mendewakan bentuk, melainkan harus
mati-matian menerjemahkan jiwa dari suatu tempat (“genius loci”) dan
…“tidak perlu meniru-niru bentuk khas
Toraja, Minangkabau, Bali, Batak dan sebagainya
untuk mengusahakan terciptanya arsitektur
Indonesia. Kita jangan ambil bentuknya, tetapi
jiwanya yang banyak menunjukkan ciri-ciri
ketropisan. Hal-hal yang memperhitungkan lebatnya
hujan tropis, panasnya matahari dan tentunya
memperhitungkan adat-istiadat yang pada
hakikatnya tidaklah berupa sesuatu yang statis,
melainkan berkembang dari periode ke periode”…
(Silaban, dalam Budihardjo,1988,p:84).
…“bahwa bangunan, biarpun memang
merupakan benda mati, tidak berarti tak ‘berjiwa’.
Karya arsitektur merupakan sesuatu yang
sebenarnya selalu dinapasi oleh kehidupan
manusia, oleh watak dan
kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu dan cita-cita”
(Mangunwijaya, dalam Budihardjo,1988,p:68).
“arsitektur kita tidak boleh terlepas dari akar
budayanya. Tapi juga bukan berarti hanya sekedar
memoles dan mengambil dari masa lalu. Harus ada
kompromi, menjadi modern, tapi masih tertancap
pada akarnya. Metodenya adalah nilai – nilai lokal
yang masih bisa diambil” (Prawoto, dalam
commit to user
“arsitektur indonesia “seharusnya” adalah karya-karya yang
seragam dengan ciri-ciri yang cukup jelas mewakili citra ke-indonesiaan”
(Sastrowardojo,dalam Budiharjo,1978,p:40).
"Manusia tinggal ketika ia dapat mengorientasikan diri di dalam
dan mengidentifikasi dirinya dengan lingkungan, atau singkatnya, ketika
ia mengalami lingkungan sebagai “ruang” yang memiliki makna. Sebuah
tempat adalah ruang yang memiliki karakter. Genius loci atau disebut
juga “spirit of place” memiliki pengertian bahwa: ruang bukan hanya
terlihat dari bentuk fisik berupa barisan beton belaka, namun yang harus
lebih terlihat adalah bagaimana kehidupan sehari-hari manusia di
dalamnya (Schulz,dalam Lefaivre,2003,p:4).
Local Genius merupakan ekspresi diri serta perwujudan kepribadian masyarakat yang menjadi ciri dan inti kehidupan budaya
masyarakat. Local Genius bersifat sentral karena merupakan kekuatan
yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan
yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang.
Local Genius juga dapat diartikan sebagai ciri-ciri kebudayaan masyarakat setempat untuk dijadikan perangkat dasar dalam proses
modernisasi. (Ayatrohaedi,1986,p:60)
…“dalam arsitektur, kita mengenal tradisi
sebagai bentuk (form) sekaligus jiwa (spirit). Yang
perlu dilestarikan dan dikembangkan sebetulnya
justru bukan bentuk itu semata, tetapi terlebih-lebih
adalah jiwa atau semangat suatu tempat yang lazim
Secara implisit hakikat Local Genius, adalah seperti beberapa poin dibawah ini (Mundardjito,dalam Ayatohaedi,1986,p:65), yaitu:
- Mampu bertahan terhadap budaya luar
- Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar
- Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya
luar kedalam kebudayaan asli
- Memiliki kemampuan mengendalikan, dan
- Mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.
A.2. Nilai-nilai Ke-Lokalitas-an
Meminjam perkataan dari Lewis Mumford, 1895 (dalam Susanto,
2009) seorang perencana kelahiran New York, maka ada lima poin dalam
kita memandang nilai ke-lokalitas-an, yaitu:
1. Lokalitas bukan hanya terpaku dari kebesaran sejarah, seperti
misalnya banyak bangunan bersejarah yang diidentifikasikan
sebagai “vernacular brick tradition”. Bagi Mumford bahwa
bentuk-bentuk yang digunakan masyarakat sepanjang peradabannya
telah membentuk struktur koheren yang melekat dalam
kehidupannya. Sebuah kekeliruan ketika mencoba meminjam
sejarah dari sebuah tradisi yang langsung ditransfer dalam sebuah
ruang yang kosong – ruang yang dihasilkan adalah ruang yang
tidak memiliki jiwa. Mumford menekannkan bahwa tugas kita
tidak hanya membuat imitasi sebuah masa lampau tetapi
mencoba mengerti dan memahaminya, lalu mungkin suatu saat
kita berhadapan dan menyetujuinya dalam kesamaaan semangat
commit to user
Tugas kita bukan hanya meminjam material atau mengopi sebuah
contoh kontruksi dari sesuatu satu atau dua abad yang lalu, tetapi
harus mulai mengetahui tentang diri kita, tentang lingkungan
untuk mengkreasikan sebuah arsitektur yang bertradisi lokal.
2. Lokalitas adalah tentang bagaimana melihat bahwa seharusnya
sebuah tempat memiliki sentuhan personal, untuk sebuah
keindahan yang tidak terduga. Yang terpenting dari semua yang
kita lakukan adalah membuat orang-orang merasa seperti di
rumah dalam lingkungannya. Lokalitas harus dimunculkan karena
memang dibutuhkan sebagai sebuah jawaban terhadap
kebutuhan manusia. Ada kebutuhan sosial – ekonomi bahkan
politik serta lingkungan dalam jiwa lokalitas itu sendiri.
3. Lokalitas dalam perkembangannya harus memanfaatkan teknologi
yang berkelanjutan, dan ini menjadi penting dalam membangun
sebuah tradisi baru. Dalam dunia yang semakin carut-marut ini,
sebuah tradisi harus selalu ditempatkan dalam konteks tentang
hidup di dunia. Sebuah tradisi adalah tinggal kenangan apabila
tradisi itu tidak dapat bernegosiasi dengan mesin-mesin teknologi
yang memang menebarkan candu. Membuat lokalitas menjadi
pintar adalah membuat lokalitas yang dapat berkelanjutan dalam
teknologi yang tepat guna.
4. Lokalitas harus memberikan kegunaan terhadap penggunanya,
modifikasi terhadap lokalitas harus dibuat bukan hanya sekedar
memenuhi kebutuhan. Lokalitas setidaknya harus dapat dikaji
dalam nilai keteraturannya, kooperatif, kekuatannya,
kesensifitasannya, juga terhadap karakter dari komunitas di mana
5. Global dan lokalitas bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan
tetapi mereka saling melengkapi, Mumford menekankan perlu
ada keseimbangan di antara mereka. Keseimbangan di mana
global print mesin-mesin kapitalis sedang lokal
menge-print komunitas. Lokalitas perlu menempatkan dirinya sebagai
sesuatu yang utama dalam nilai keuniversalan.
Memaknai lokalitas artinya memaknai tentang bagaimana kita
melakukan pembelajaran tentang sejarah bangunan, material, latar
belakang sosial, isu-isu konservasi, konstruksi bangunan, yang pada
akhirnya keunikan sebuah lokalitas dalam arsitektur adalah tentang
bagaimana material lokal–teknologi dan formasi sosial dapat ditransfer
dalam bahasa arsitektur yang segar.
A.3. Lokalitas dalam Arsitektur
Dalam merancang sebuah bangunan dengan pendekatan lokalitas
dalam arsitektur perlu memperhatikan budaya dan kebiasaan masyarakat
setempat. Dengan menggali dan mengungkap esensi yang menjiwainya,
agar tidak terperangkap sekedar pada bentuk fisik dan kulit luarnya saja.
Arsitektur merupakan “buah budaya” dan sekaligus bagian dari
kebudayaan masyarakat tradisional kita. Arsitektur dalam tautan budaya
adalah arsitektur yang merupakan “buah” dari suatu kebudayaan lokal,
bukan merupakan upaya manusia untuk mengungkapkan kebudayaan
commit to user
“Arsitektur tradisional Jawa harus dilihat sebagai totalitas
pernyataan hidup yang bertolak dari tatakrama meletakkan diri,
berlandaskan norma dan tata nilai manusia Jawa dengan segala kondisi
alam lingkungannya. Kehadirannya tidak pernah sebagai unsur lepas yang
berdiri sendiri, melainkan selalu bersatu dengan seluruh kegiatan hidup,
berbulat diri dengan alam lingkungan dalam arti yang sangat luas”.
Arsitektur lokal pada dasarnya menampilkan karya “swadaya
dalam kebersamaan”, yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan
sumber daya setempat, serta menciptakan keselarasan harmonis antara
jagad-cilik (mikrokosmos) dan jagad-gede (makrokosmos). Nilai-nilai tradisional yang melambari arsitektur tradisional Jawa, pada hakekatnya
bersifat langgeng, biarpun terdapat pergeseran dan perubahan sejalan
dengan perkembangan waktu serta kehidupan masyarakatnya. Arsitektur
tradisional Jawa yang masih dapat dinikmati kebeadaanya dewasa ini
merupakan hasil perjalanan yang panjang dari sejarah perkembangan
arsitektur di Jawa (Budihardjo,1987,p:13).
Kearifan nenek moyang merumuskan konsep dan kaidah
perancangan dalam penciptaan karya arsitektur perlu ditimba untuk
disintesakan dengan inovasi dan teknologi baru yang serba canggih.
Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru akan mampu
menampilkan guna dan citra kekinian, biarpun nafas dan jiwanya tetap
tradisional.
B. LOKALITAS SURAKARTA
B.1. Pemahaman Lokalitas Surakarta
Lokalitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus serta keunikan -
keunikan dan karakteristik suatu tempat yang akan memperkuat suatu
Karakter yang spesifik yang membentuk identitas merupakan suatu
pengenalan bentuk dan kualitas ruang sebuah daerah atau tempat, yang
secara umum disebut “sense of place”.
Surakarta merupakan kota yang kaya akan kekhasan potensi seni
dan budaya yang kental, sehingga Surakarta menjadi salah satu kota
budaya tujuan wisata di Indonesia. Sebagai kota budaya yang mengusung
slogan “Solo the Spirit of Java”, Surakarta memunculkan spirit-nya lewat
berbagai macam potensi budaya yang dimilikinya, baik berupa sejarah,
arsitektur bangunannya, bermacam jenis kesenian serta karakter sosial
masyarakatnya. Dalam tinjauan lokalitas Surakarta beberapa aspek yang
diangkat sebagai pedoman perencaan pada desain adalah potensi
setempat yang memiliki karakter dan ciri yang khas yang dapat
memperkuat identitas dan jati diri.
B.2. Aspek Perancangan Lokalitas Surakarta
Dari tinjauan nilai-nilai lokalitas yang diungkapkan Mumford,1985.
Ada beberapa aspek yang dapat dijadikan acuan dalam perancangan
berbasis lokalitas antara lain adalah:
· Bentuk fisik bangunan
- Karakteristik bentuk bangunan
Mac Laine Pont dalam bukunya “Javaansche Architectuur” (1924),
mencoba mengupas arsiektur Jawa melalui pengamatannya terhadap
anatomi candi yang melambangkan Arupadhatu / alam atas (tuhan,
dewa, leluhur, perlambang masa depan), Rupadhatu / alam tengah
(manusia, flora, fauna, perlambang masa kini) dan Kamadathu / alam
commit to user
Anatomi seperti tersebut diatas ternyata ditafsirkan pula dalam
arsitektur tradisional Jawa, yang diatur sesuai susunan analogi tubuh
manusia. Tubuh manusia terbagi dalam tiga bagian yaitu kepala (atap),
badan (tiang atau dinding), dan kaki (umpak atau batur)
(Budihardjo,1987,p:14).
Dari ketiga bagian diatas, bagian yang memiliki ke-khasan bentuk
fisik dan karakter yang dominan adalah bentuk atap sebagai kepala
bangunan. Atap digunakan sebagai salah satu simbolisasi makna filosofi
yang tercemin pada pencitraan sebuah bentuk, yang merupakan bagian
dari sebuah bangunan tradisional.
Bentuk atap bangunan tradisional di Jawa khususnya Jawa Tengah
tercipta dari penyesuaian terhadap kondisi iklim lingkunganya. Pulau
Jawa yang terletak di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan iklim tropis
dan lembab, jatuhnya sinar matahari secara tegak lurus, dan curah hujan
yang cenderung tinggi. Bentuk atap yang paling sesuai dengan iklim
lingkungan seperti ini adalah bentuk atap yang memiliki sudut dan
kemiringan yang tidak landai, dan mempunyai teritisan sebagai pelindung
dari panasnya sinar matahari. Maka terciptalah berbagai bentuk atap
bangunan tradisional di Jawa pada umumnya dan khususnya di Surakarta
dengan bentuk seperti panggang pe, Joglo, Limasan, Tajuk / masjid, dan
bentuk kampung yang kini telah berkembang dengan berbagai variasinya.
Atap tipe kampung adalah bentuk atap tradisional Jawa yang paling sederhana. Bagian utama atap ini seperti atap pelana sekarang,
miring ke dua arah, dan bertumpu pada empat tiang utama yang
masing-masing diikat dengan dua balok. Atap utama ini dapat dikembangkan
untuk ruang tambahan dengan melanjutkannya ke bawah dengan
kemiringan yang lebih landai. Pengembangan selanjutnya biasanya
dilakukan dengan membangun tambahan atap utama lagi di belakangnya.
Atap tipe limasan merupakan pengembangan dari atap kampung.
denahnya dikembangkan ke samping dengan tiang-tiang tambahan,
sehingga membentuk atap utama yang mempunyai kemiringan ke empat
arah membentuk apa yang kini disebut atap perisai. Biasanya atap ini
dilanjutkan pula ke arah depan atau belakang, bahkan juga ke samping,
dengan kemiringan yang lebih landai, Sedangkan atap tipe joglo
merupakan atap yang bagian utamanya menjadi atap bagian tengah
commit to user
Atap utama ini didukung oleh empat tiang utama yang dikonstruksikan
secara khusus dan unik, terdiri atas balok berlapis-lapis, yang disebut
tumpang sari. Rumah tipe joglo dapat diperluas dengan menambah tiang-tiang dan meneruskan atap ke arah luar, sehingga membentuk atap
bertingkat-tingkat (Budihardjo,1991,p:19).
Di Surakarta hampir seluruh massa bangunan menggunakan atap
dengan kemiringan sebagai penutup bangunannya. Selain sebagai upaya
respon terhadap lingkungan setempat, atap tradisional di Surakarta juga
memiliki fungsi sebagai pencerminan bentuk arsitektur bangunan lokal
yang dapat memperlihatkan jatidiri dan karakter lokal Surakarta.
Beberapa bangunan di Surakarta mulai dari bangunan tradisional yang
bernilai bersejarah seperti Istana Mangkunegaran, Pasar Gede, Museum
Radya Pustaka, dan Loji Gandrung hingga bangunan modern seperti
Hotel, Bank, Pusat perbelanjaan, Kantor dan bangunan lain sebagainya
menggunakan atap yang memiliki kemiringan dengan berbagai variasinya.
Gambar II.2: Berbagai jenis bentuk variasi atap pada bangunan bersejarah di Surakarta
Sumber: www.kabaresolo.com
- Material bahan bangunan
Pada zaman dahulu masyarakat tradisional di indonesia hanya
mengandalakan bahan-bahan mentah dari alam tanpa melalui proses,
sebagai material pembuatan bangunan untuk pemenuhan kebutuhan
akan tempat tinggal. Bahan bangunan yang banyak terdapat di Indonesia
adalah kayu. Kayu banyak digunakan sebagai bahan bangunan mentah
pada hampir seluruh bangunan tradisional di indonesia. Masyarakat
tradisional menggunakan kayu sebagai bahan utama untuk mendirikan
bangunan. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang kian
pesat, saat ini banyak dipakai material-material bahan bangunan baru
yang tercipta dari penerapan teknologi, sebagai contoh beton dan baja
ringan (Sutedjo,1982,p:15).
Masyarakat Jawa khususnya di Surakarta menggunakan material
bahan bangunan yang ada di sekitaranya sebagai upaya pemanfaatan
potensi lokal. Material lokal yang biasa digunakan sebagai bahan
Gambar II.3: Skyline pada salah satu kawasan bisnis dan perkantoran Jl. Jendral Sudirman di Surakarta
commit to user
Dalam memandang sebuah nilai lokalias seharusnya tidak terlepas
dari perkembangan teknologi yang ada. Memaknai lokalitas yang
sebenarnya bukan hanya terbatas pada penggunaan nilai-nilai lokal saja,
tetapi juga terlihat penggabungan dari unsur kekinian, salah satunya
adalah teknologi (Mumford,dalam Susanto,2009). Penerapan penggunaan
teknologi salah satunya adalah pada aplikasi meterial bahan bangunan
yang sanggup menggabungkan antara material lokal dari alam dengan
material hasil dari perkembangan teknologi pada sebuah bangunan.
Lokalitas haruslah memiliki sifat terus berkembang demi
kesianambungannya, bukan sesuatu yang menolak unsur kekinian.
Dengan demikian setiap karya arsitektur yang baru yaitu karya arsitektur
yang menggunakan inovasi dan teknologi bahan bangunan baru akan
mampu menampilkan guna dan citra kekinian, walaupun nafas dan
jiwanya tetap tradisional.
Gambar II.4: Ragam variasi material lokal di Surakarta Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/
Gambar II.5: Ragam variasi material yang tercipta dari perkembangan teknologi Sumber: http://astudioarchitect.com/2011/02/
Bambu Batu alam olahan
Kayu Batu kali
Batu bata Baja ringan
- Ornamentasi pada bangunan
Bangunan tradisional di indonesia memiliki berbagai ragam
bentuk ornamen yang dapat terlihat pada bentuk fisik bangunannya,
ornamen pada bangunan tradisional di Indonesia syarat akan makna
filosofis yang terkandung didalamnya.
Di indonesia banyak ornamen diletakkan pada luar bangunan
karena ornamen berfungsi sebagai penunjuk jatidiri suatu daerah,
ornamen juga banyak diletakkan di luar bangunan untuk dinikmati pada
kegiatan dengan konsentrasi teringgi yang biasanya berada di luar
bangunan (Prijotomo,1978,p:7).
Ragam hias pada bangunan tradisional Jawa merupakan bagian
utuh dari bangunan. Beberapa motif ornamen yang umum diterapkan
pada bangunan diambil dari bentuk-bentuk flora, fauna, stiliran, dan
campuran. Motif yang paling banyak digunakan dalam pengolahan ragam
hias adalah motif flora, seperti: lunglungan (melengkung), saton (bujur
sangkar), nanasan (seperti buah nanas), dan fauna seperti omah tawon
(rumah lebah) dan kemamang (sejenis burung). Ada juga motif-motif
fauna lain, misalnya burung garuda, kala, makara, ular, dan gajah, tetapi
tidak terlalu banyak digunakan.
Motif-motif tersebut digunakan untuk ornamen yang dibuat dari
beberapa jenis material dan mempunyai warna dan tekstur yang lebih
alami. Material seperti kayu, bambu, tembikar, batu alam, dan logam
paling sering digunakan dalam mengolah ragam hias. Ragam hias yang
menonjol pada bangunan banyak menggunakan material kayu dan
bambu seperti kayu jati dan nangka, bambu petung, wulung, dan apus,
disesuaikan dengan keinginan dan kemampuan pemiliknya. Penerapan
commit to user
Ornamentasi pada bangunan merupakan salah satu bagian
integral dari arsitektur dalam kehadirannya sebagai bentukan ragawi.
Dengan bermacam jenis yang ada, ornamentasi pada bangunan dapat
memperkuat tampilan bangunan yang dapat menunjukkan jatidirinya
(Prijotomo,1978,p:8).
· Pola tata masa
- Pola tata massa lingkup mikro dan makro
Bagi masyarakat Jawa, tatakrama menempatkan diri dari setiap
bangunan terhadap alam sekitar yang kasat mata maupun alam maya
yang lebih tinggi tingkatannya, merupakan dasar pertimbangan yang
utama. Arsitektur tradisional Jawa lantas menafsirkannya dalam bentuk
persenyawaan yang tuntas antara arsitektur, alam, manusia dan
tuhannya (Budihardjo,1987,p:66).
Berawal dari periode prasejarah dapat dilihat bahwa pada lingkup
makro (lingkungan desa) memiliki suatu pola tertentu yaitu menhir, altar
pemujaan, ataupun pohon suci sebagai titik pusat atau keblat dari
lingkungan tersebut. Konsep penataan yang berpusat pada suatu titik di
tengah ini dikenal dengan nama mandala (manda= inti, core. la= wadah,
container), yang sudah ada sebelum Hindu-Bhudda datang ke Indonesia.
Pada lingkungan prasejarah, pusat lingkungan ditandai dengan adanya
unsur-unsur keagamaan dan kepemerintahan sebagai isinya.
Gambar II.6: Ragam variasi ornamen pada bangunan tradisional di Jawa Sumber:
Pola penataan massa bangunan jaman prasejarah ini seluruhnya bersifat
badaniah bukan bersifat ragawi maupun material.
Pola tata massa tradisional ini juga mempunyai sifat keterbukaan bagi
seluruh masyarakatnya dan memperlihatkan kebersatuan dengan alam
lingkungan disekitarnya
Lynch dalam bukunya Theory of Good City Form, 1978.
mengungkapkan bahwa pola pola tata massa lingkungan tradisional
seperti diatas disebut sebagai pola yang bertumpu dan berkeblat pada
keseimbangan kosmis. Pola ini merupakan pola penataan massa asli
indonesia, yang mempunyai ciri khas tersendiri dan hanya dapat di
temukan pada kota-kota tradisional di indonesia khusunya di pulau Jawa
(Prijotomo,1978,p:17).
Pola penataan prasejarah ini terus berkembang menjadi pola tata
masa lingkungan kraton pada jaman sejarah sebagai pusat pemerintahan,
termasuk di dalamnya alun-alun kota Surakarta. Pada pola tata massa
lingkungan tradisional ini dapat dilihat bahwa alun-alun yang merupakan
lapangan luas yang terbuka menjadi pusat suatu lingkungan tradisional
dikelilingi beberapa bangunan penting di sekitarnya seperti
kraton/kabupaten, masjid, pasar, dan penjara. hingga saat ini pola
penataan massa tradisional tersebut tentunya masih terus dipertahankan,
itu menunjukkan bahwa modernisme tidak seluruhnya mendapat tempat
dalam pola keaslian tersebut karena masyarakat tradisional kita yang
sejak jaman dahulu bersikap kosmis, spiritual, adiragawi dan simbolis.
Dari pola tata massa ini dapat ditemukan suatu komposisi yaitu
pada pola penataannya memiliki pusat dan berorientasi ke tengah (pola
komposisi terpusat), pada pola komposisi ini dapat terlihat penataan
sebuah pola massa yang dikelilingi oleh massa lainnya dengan orientasi ke
commit to user
- Sumbu imajiner
Arsitektur klasik di indonesia tampil dalam setangkup, masyarakat
Jawa di indonesia mempercayai adanya suatu sumbu imajiner atau garis
kesetangkupan yang membagi dua sisi sama berat antara bagian kiri dan
bagian kanan, yang memotong kedua bagian dibagian tengahnya. Pada
kesetangkupan ruang yang dipotong oleh garis kesetangkupan
merupakan ruang yang ditonjolkan, sebab pada bagian itulah merupakan
baigan yang disucikan, diagungkan dan dihormati (Prijotomo,1978,p:17).
Dalam lingkup pola tata massa kawasan tradisional (makro), yaitu
lingkup kraton sumbu atau garis tersebut terletak di tengah kawasan
membagi dua sama rata atau seimbang antara bagian sisi kiri dan kanan
kawasan, yang melambangkan bahwa, Raja dalam pemerintahannya
menjunjung tinggi asas adil dan merata. Sumbu imajiner dalam kawasan
tradisional (kraton) sebagai lambang keadilan diperkuat dengan adanya
pohon beringin kembar pada alun-alun yang dianggap sebagai simbol
keadilan.
Sumbu imajiner juga terlihat pada lingkup kecil (mikro), yaitu pada
pola tata massa peruangan rumah tradisional di Jawa, sama dengan
sumbu yang berada dalam lingkup kraton sumbu dalam lingkup rumah
tradisional di Jawa ini juga berada di tengah membagi dua sama rata atau
seimbang bagian sisi kiri dan kanan bangunannya, yang melambangkan
bahwa kita sebagai masing-masung individu harus selalu bersikap adil
dalam lingkup rumah tangga, sebagai contoh setiap orang tua harus
commit to user
· Pola sosial masyarakat
Kehidupan masyarakat lokal di Jawa (handout,2009), yaitu:
- hidup dengan penuh kehati-hatian, pantang melanggar adat
- selalu ingin menyatu dengan alam ( hukum keseimbangan
alam, dihormati dan dilaksanaan)
- manusia religious ( percaya zat yang lebih maha kuasa)
- penyatuan dengan alam ( kehidupan agraris)
- sistem hidup kekeluargaan , saling menghormati
- hidup secara kebersamaan, berjiwa sosial
- tata cara hidup simbolistis / simbolik ( lambang)
Dari beberapa sikap hidup masyarakat Jawa termasuk juga
masyarakat Jawa di Surakarta salah satunya memperlihatkan karakter
yang menonjol bahwa masyarakat Jawa, merupakan masyarakat yang
memiliki rasa dan jiwa sosial tinggi. Sehingga interaksi antar sesama
dijunjung tinggi antara tiap individu.
Interaksi sosial adalah kunci dari kehidupan sosial, oleh karena itu
tanpa interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi
sosial mencakup hubungan:
- Antara orang perorangan
- Antara orang perorangan dengan kelompok manusia
- Antara kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya
(Sutedjo,1982,p:31)
“kehidupan sosial merupakan aspek tertentu dari kebudayaan. Ia
adalah bagian dari kebudayaan, bukan akibat dari kebudayaan” (Bouman,
Alun-alun merupakan salah satu contoh tempat masyarakat
tradisional Jawa untuk saling mengadakan komunikasi dan berinteraksi
sosial. Di alun-alun semua orang dapat menikmati ruang terbuka yang
cukup luas, menyatu dengan alam, berekreasi, berolahraga dan lain-lain.
Sifat pelayanannya dalam lingkup makro yaitu pelayanan terhadap
masyarakat kota.
Dalam lingkup mikro, misal masyarakat dalam suatu kampung,
biasanya pada setiap rumah-rumah di Jawa selalu mempunyai sebuah
teras atau emper yang berada di muka rumah yang berfungsi sebagai
tempat untuk saling berkomunikasi dengan tetangganya, orang yang
sedang lewat dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat Jawa khususnya di Surakarta hidup dengan jiwa dan rasa
sosial yang kental (Sastrowardojo,1978,p:40).
C. SENI BUDAYA TRADISIONAL
C.1. Pemahaman Seni Budaya Tradisional
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
“buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal
dari kata Latin “Colere”, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan
juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang
diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya dalam
pengertian yang luas adalah pancaran daripada budi dan daya. Seluruh
apa yang difikir, dirasa dan direnung diamalkan dalam bentuk daya
menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup sesuatu bangsa atau
commit to user
Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran yang tinggi
dan murni dari sesuatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan
peradaban. (Guruvalah,2000)
Sedangkan, Kata seni konon berasal dari kata “sani” yang artinya
“Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Dalam bahasa Inggris dengan istilah
“art” (artivisial) yang artinya adalah barang / atau karya dari sebuah kegiatan. mernurut Ensiklopedia Indonesia Seni adalah penciptaan benda
atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang melihat
dan mendengar. (Diasraka,2001)
Seni budaya tradisional adalah keanekaragaman unsur budaya
yang sudah menjadi bagian hidup masyarakat Indonesia, yang
mempunyai keunikan yang beragam. Konsep penciptaan seni ini selalu
berdasarkan pada filosofi sebuah aktivitas pada sebuah Budaya, itu bisa
berupa aktivitas religius, aktivitas seremonial atau juga simbol-simbol
yang menjadi bagian utuh dari kativitas tersebut.
C.2. Macam Seni Budaya Tradisional
Seni budaya di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok, yaitu: Seni rupa, Seni pertunjukan, dan Seni sastra (Indonesian
Heritage,2001)
a) Seni rupa
Seni rupa sering disebut juga sebagai seni kriya, yaitu paduan
antara seni dan ketrampilan. Seni rupa mulai berkembang pesat setelah
jaman kemerdekaan Bangsa Indonesia, meskipun bangsa Indonesia
adalah salah satu bangsa yang telah mempunyai peradaban tinggi di
bidang seni rupa sebelum pengaruh barat masuk ke Indonesia. Dalam
membahas seni rupa akan di intregasikan dengan karya seni rupa
Terkait dengan seni budaya berbasis lokal (genius local seource) diterapkan dengan contoh karya rupa tradisional yang ada di daerah
Jawa. Seni rupa merupakan salah satu cabang kesenian. Seni rupa
memiliki wujud pasti dan tetap yakni dengan memanfaatkan unsur rupa
sebagai salah satu wujud yang diklasifikasikan ke dalam bentuk gambar,
lukis, patung, grafis, kerajinan tangan, kriya, dan multimedia.
Seni rupa merupakan seni yang meliputi kemampuan memahami
dan berkarya lukis, kemampuan memahami dan membuat patung,
kemampuan memahami dan berkarya grafis ,kemampuan memahami dan
membuat kerajinan tangan, serta kemampuan memahami dan berkarya
atau membuat sarana multimedia. Terminologi ini pada dasarnya telah
ditetapkan sebagai kecakapan seseorang yang mampu menguasai bidang
kerupawanan.
Seni rupa telah mengakar mulai zaman animisme dan dinamisme
hingga saat ini. Seni rupa menjadi salah satu bagian cabang seni yang
secara performatif mempresentasikan wujud yang kasat mata. Ilusi
tentang wujud dapat diserap dan dirasakan ke dalam klasifikasi bentuk
seperti telah disebut pada bagian atas.
Representasi bentuk seni rupa dipertimbangkan secara sinergis
melalui perhelatan media yang digunakan sebagai dasar perwujudan
rupa. Secara kontekstual seni rupa merupakan wujud mediasi bentuk
kasat mata yang dekat ke arah perlambang gambar, lukis, patung,
kerajinan tangan kriya dan multimedia yang berhubungan dengan unsur
commit to user
b) Seni pertunjukan
Seni pertunjukan (performance art) adalah karya seni yang
melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu.
performance biasanya melibatkan empat unsur: waktu, ruang, tubuh dan hubungan seniman dengan penonton. Seni pertunjukan / drama sangat
erat dengan kehidupan adat-istiadat. Kehidupan spiritual yang dahulu
kala hingga sekarang masih dihayati oleh sebagian besar masyarakat di
Jawa. Dalam membahas seni pertujukan akan di intregasikan dengan
karya seni pertunjukan tradisional. Seni pertunjukan merupakan bentuk
pergelaran dari berbagai unsur kreativitas musik, tari, teater dan sastra
yang bertumpu pada tradisi setempat dan dikemas dalam media
tuntunan yang unik dan menarik.
c) Seni sastra
Sastra berasal dari kata “castra” yang berarti tulisan. Dari makna
asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang
ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab, surat,
undang-undang dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita
gunakan dalam konteks kebudayaan adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Seni sastra merupakan bentuk upaya manusia untuk
mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan
pemikirannya. Kesusastraan adalah salah satu bentuk atau cabang
kesenian yang menggunakan media bahasa sebagai alat mengungkapkan
gagasan dan perasaan senimannya.
Ada dua macam seni sastra yaitu sastra Daerah dan sastra
Indonesia. Sastra Daerah dahulu menggunakan bahasa daerah kawi,
Sedangkan seni sastra Indonesia di Jawa Tengah mulai tampil
sejak kongres pemuda ke-II pada bulan Oktober 1928, berupa penulisan
sajak, syair, cerpen, essay dan lain-lain yang banyak mendapatkan
bantuan dari harian-harian dan majalah setempat. (Anneahira,2003)
C.3. Potensi Seni dan Budaya Kota Surakarta
Surakarta atau yang dikenal dengan nama Solo merupakan salah
satu kota di Jawa Tengah yang selama lima tahun terakhir ini berhasil
memadukan potensi seni, budaya, sosial, dan ekonomi dalam suatu
sinergi yang membawa berkah bagi masyarakatnya. Warisan seni budaya
yang begitu kaya telah memberi karakter yang begitu kuat bagi Surakarta
sebagai Kota Seni Budaya. Begitu cocok ketika kota ini mengusung slogan:
Solo,The Spirit of Java. Sebagai kota budaya yang kaya akan potensi seni Surakarta memiliki berbagai macam jenis seni, antara lain:
1. Kelompok Pertunjukan Seni
· Kelompok Seni Tari
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg”
dan “esa”, kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa
orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu
menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh. Seni tari
adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak
organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras
dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian
budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak jaman primitif, Hindu sampai
masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak
commit to user
Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat
di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat
inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya
meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di
luar Jawa Tengah.
Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak
berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga
Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang
berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya
Surakarta. Macam-macam tariannya :
a. Tari Srimpi
b. Tari Bedaya
c. Tari Gambyong
d. Wireng e. Prawirayuda
f. Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana
g. Tari Langendriyan ( khusus di Mangkunegaran)
· Kelompok Seni Musik - Keroncong
Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal
sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga
bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa)
masuklah musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh
para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad
ke-17 di Nusantara tidak dengan serta merta berarti hilang pula musik ini.
Bentuk awal musik ini disebut moresco (sebuah tarian asal Spanyol,
seperti polka agak lamban ritmenya). Musik keroncong yang menjadi
bagian dari budaya musik Indonesia, didalamnya terdapat karakteristik
yang mengandung nilai-nilai budaya universal. Seperti halnya
musik-musik yang lain, musik-musik keroncong memiliki karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan bentuk musik lainnya yang muncul dari perpaduan
antara elemen-elemen musikal, musik pengiring dan teknik penyajiannya.
Musik keroncong berasal dan berkembang di Pulau Jawa, dengan
dipengaruhi oleh musik Portugis. Ada dua macam musik keroncong yang
berkembang saat ini, yaitu Pop Keroncong dan Langgam Keroncong. Alat
musik yang biasa digunakan untuk mengiringi seorang penyanyi
keroncong adalah Bass, Cello, Gitar, Cuk dan Cak. Terkadang juga
ditambah iringan suling, biola ataupun keyboard / organ.