• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA DALAM ALUR TEORITIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Pe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB V ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA DALAM ALUR TEORITIK - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: Pe"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

201

ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK

MBAHAM

MATTA

DALAM ALUR TEORITIK

Pada bagian sebelumnya Penulis telah mendudukan sejarah sosial dan etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta melalui telusuran atas narasi-narasi dan praktik-praktik sosial mereka. Telusuran tersebut menegaskan bahwa rumpun etnik memliki pemahaman sejarah kritis dan konstruktif berbasis pada pengalaman sosial-kultural-religi mandiri melalui perjalanan panjang fase-fase sejarah sosial mereka. Mereka telah membangun dan mengedepankan perspektif kritik sejarah melalui narasi-narasi dan praktik-praktik sosial tandingan-alternatif. Mereka menjadi the makers of their own life. Mereka menjadi kreator kolektif sejarah mereka. Inilah sejarah kritik-konstruktif lokal. Kini Penulis akan membahas lebih jauh fenomena historis etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta mengikuti perangkaan dan alur teoiritik yang telah penulis sediakan. Bagian ini akan dipaparkan melalui sub-sub bab seperti berikut: mengelola dua kompleks perjumpaan, Dualitas inkorporasi, Reidentifikasi identitas dan reafirmasi moralitas sosial, Membangun masyarakat multicultural serta Sumbanga teoritik.

A. Mengelola dua Kompleks Perjumpaan Internal dan Eksternal: Membangun Integrasi Sosial dan Sistem

(2)

memampukan mereka mengatasi mental ghetto kerjawriya yang penuh dengan konflik, perang atau hongi, dan pengayauan serta ragam praktik-praktik tanpa moralitas sosial serta struktur sosial eksploitatif atas manusia. Mereka mampu melakukan transformasi sosial dengan membangun aliansi yang berbasis pada kekerabatan yang bertolak dari aliansi lintas marga dalam tiap kampung dan wilayah serta lintas suku di bawah payung bersama Mbaham Matta.

Mereka menata sebuah sistem sosial yang menjadi ruang interaksi antar marga, kampung, dan agama. Mereka menjadi aktor-aktor sosial individual dan kolektif dalam ruang sosial baru. Sistem kekerabatan menjadi basis kohesi dan solidaritas sosial baru. Melewati fase panjang keterisolasian dan perang hongi, mereka mengangkat sumpah kolektif untuk menguburkan semua paham dan praktik sosial yang menghancurkan dan merusak kehidupan. Mereka menemukan betapa pentingnya ontological security bagi tatanan kehidupan bersama. Mereka mengusung cita-cita etik-moral atau core

value baru yakni idu-idu maninina, damai (peace). Kehidupan

yang mencintai damai. Kata idu-idu maninina menunjuk kepada tindakan simbolik memangku dan menaruh tangan di atas kepala seseorang untuk memberi perlindungan dan rasa aman.

Di sisi ini rumpun etnik Mbaham Matta membangun integrasi sosial1 atau integrasi internal melalui penataan

1 Meminjam istilah yang dipakai oleh Anthony Giddens, lihat: bab II

tulisan ini, dengan perluasan tidak hanya menunjuk pada interaksi antar aktor individual, tetapi juga antar kolektivitas dalam masyarakat itu; Lihat Nicos P. Mouzelis, Back to Sociological Theory: the Construction of Social Orders (New York: Palgrave Macmillan, 1991) yang merumuskan konsep

(3)

interaksi sosial lintas aktor individual maupun kolektif dalam masyarakat baru berdasarkan perjanjian lintas marga dan aliansi wilayah yang diikat dengan sumpah kolektif (warqpa

thumber) untuk hidup dalam idu-idu maninina demi

terpeliharanya ontological security. Tahapan ini sangat penting karena menunjukkan secara historis bagaimana tahapan, proses dan dinamika etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta berlangsung. Integrasi sosial menjadi prasayarat utama dan menentukan bagi aliansi baru rumpun etnik Mbaham Matta dalam menghadapi perubahan-perubahan sistemik sebagai akibat dari perjumpaan dengan unsur-unsur politik-ekonomi dan agama-agama baru yang memasuki wilayah geografis dan kompleks sosial-kultural mereka.

Di sisi lain mereka menghadapi dan mengelola kedatangan unsur-unsur politik-ekonomi dan agama-agama baru yang membentuk suatu kompleks sistem eksternal dengan integrasi sistem2 di luar kompleks sistem sosial mereka. Suatu kompleks politik-ekonomi-religi baru yang menjadi pengarah bagi eksistensi mereka. Kompleks sistem sosial eskternal hadir melalui gerakan perluasan otoritas politik-ekonomi-dagang Kesulatanan Tidore dan Belanda. Dengan perluasaan otoritas ini ikut serta pula agama Islam, Protestan, dan Katolik. Komponen-komponen keagamaan ini hadir dengan gerakan dakwah, zending, dan misi masing-masing. Kehadiran, keberadaan dan perluasaan kekuasaan serta agama-agama ini telah dipaparkan pada Bab III-IV. Integrasi sistemik ini juga berjalan secara khas. Sistem politik kesultanan Tidore dan Belanda hadir sebagai

2Meminjam juga istilah yang digunakan oleh Giddens, lihat: Bab II

(4)

kekuatan yang ada dalam perjanjian ekonomi-dagang. Hubungan kedua kekuatan politik-ekonomi ini sangat dinamis yang diakhiri dengan klaim politik Belanda atas Papua bagian Barat. Integrasi sistemik mewujud dalam tata pemerintahan maupun ekonomi lokal dengan sistem raja (petuanan) beserta struktur jabatannya. Kemudian sistem politik-ekonomi kesultanan diganti oleh tata pemerintahan-ekonomi Belanda sejak 1896. Bersamaan dengan itu gerakan dakwah dan misi agama-agama membangun sistem dan jejaring aktifitas mereka: dakwah rohani dan misi sosial.

Kita bisa melihat eksistensi lingkaran pertama dalam skema atau alur studi dan teoritik di bawah ini menggambarkan (1) eksistensi sistem sosial eksternal, sistem sosial makro, yang membentuk integrasi sistem yang terususun dari agama Islam, Protestan, dan Katolik dengan backing up politik-ekonomi Kesultanan Tidore dan Belanda; (2) eksistensi sistem sosial internal, sistem sosial mikro (singkat: sistim sosial) rumpun etnik Mbaham Matta yang berpusat dalam adat dan kekerabatan yang menerima dan merangkul agama Islam, Protestan, dan Katolik ke dalam ruang sosial-budaya mereka.

Alur studi dan kerangka teoritik

(5)

dan politik-ekonomi. Melalui proses negosiasi dalam wilayah demarkasi sosial-kultural (ethnic boundary) rumpun etnik Mbaham Matta kita melihat dual proses, yakni inklusi dan kritikal. Dual proses ini menunjukkan kepada relevansi teoritik yang dikemumakan oleh Fredrik Barth terkait pemeliharaan wilayah demarkasi etnik (ethnic bondary) dalam sejarah etnogenesis etnik. Dalam area tertentu kelompok etnik diizinkan untuk berinteraksi yang membuka jalan bagi proses ambil-beri sosial-kultural. Proses ini yang penulis definisikan sebagai inklusi. Inklusi menunjuk kepada penerimaan unsur-unsur baru sistem politik-ekonomi dan agama-agama. Dalam pengalaman etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta terlihat bahwa atas dasar pemahaman tentang vision kultural Tete Teang dan komunitas gerakan Mahambodmur serta didukung penuh oleh sistim kekerabatan baru (aliansi-alianis lintas marga, kampung, wilayah) mereka menerima agama Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka berpemahaman dasar bahawa agama-agama itu telah mereka terima, dan kini agama-agama itu datang secara langsung, dan mereka telah menyediakan ruang sosial-budaya untuk menerima agama-agama ini. Penerimaan agama-agama ini adalah dalam rangka mematutkan atau melayakkan mereka dalam kompleks sosial-kultural-religi baru. Inklusi ini dinyatakan melalui metafora:

“menerima agama-agama seumpama memilih dan

mengenakan pakaian pada tubuh kami.” Mereka memilih atas

(6)

menerima ketiga agama, supaya berkatnya lengkap dan sempurna. Bila kami menerima hanya satu agama, maka

berkatnya juga terbatas dan terpotong.” Mereka menerima dan

menempatkan agama-agama dalam struktur keruangan sosial mereka sebagaimana digambarkan melalui metafora rumah yang disampaikan oleh Ustadz Jamhari Iha.3 Metafora rumah secara turun-temurun mereka gunakan menjelaskan komunitas dialogis-komunikatif di mana ruang-ruang privat keagamaan (digambarkan dengan kamar-kamar tidur) tidak menghalangi anggota-anggota keluarga untuk setiap hari berjumpa dan bertukar pikiran serta membahas permasalahan atau tugas yang dihadapi dan dituntaskan di ruang publik (digambarkan dengan ruang tamu/ruang besar). Bahkan ruang dapur dengan satu tungku digunakan bersama oleh mereka tanpa kecanggungan dan kegamangan doktrinal agamawi. Dalam tradisi saling kunjung dalam perayaan hari raya Idulfitri dan Natal, kerabat di gunung (Kristen) telah menyiapkan peralatan masak, makan dan tidur yang dikhususkan bagi kerabat dari pantai (Muslim) dan sebaliknya. Peralatan-peralatan ini hanya diambil dan digunakan ketika kerabat mereka berkunjung dan menginap, setelah itu dibersihkan dan disimpan lagi secara rapih dan baik. Dalam beberapa kesempatan diskusi lepas dengan beberapa tokoh masyarakat Fakfak, metafora rumah ini juga digunakan secara bijak dan halus merespons kecenderungan fanatisme dan radikalisme agama untuk mencap atau mengaitkan satu daerah dengan kiblat-kiblat keagamaan. Terhadap isu atau topik bertendensi keagamaan itu muncul tanggapan bijak masyarakat lokal Fakfak untuk menghempang kecenderungan

provokatif tersebut: ”Mengapa kita mau hanya di teras atau

serambi (bahasa Fakfak: stuf)? Kami mau duduk di dalam ruang utama, bukan di teras atau serambi.” Ruang utama

3Percakapan saat Bapak Ustadz Jamhari, seorang PNS asal

(7)

adalah ruang keluarga, yang merupakan pusat perjumpaan, dialog dan diskusi mengenai pemecahan masalah-masalah dan tugas-tugas bersama. Sedangkan percakapan di teras rumah (stuf) adalah percakapan biasa, percakapan sambil lalu.

Beberapa metafora serta narasi dan praktik sosial lokal yang dikemukaan pada bab IV menunjukkan bahwa penerimaan atau inklusi rumpun etnik Mbaham Matta memiliki aspek kritikal sebagai sebuah alarm tentang adanya wilayah batas sosial etnik yang harus diketahui, dikenal, dan dihargai oleh aktor-aktor individual dan kolektif yang memasuki kompleks sosial-kultural-religi mereka. Mereka sebagai tuan rumah sosial-kultural telah menyediakan ruang-ruang sosial bagi yang datang dan mau hidup bersama mereka. Tetapi mereka tidak mau dipinggirkan atau disingkirkan dari ruang utama rumah sosial-budaya mereka atas nama doktrin agama sekalipun. Mereka ingin para tamu sosial-budaya-religi mengambil posisi dan peran inklusif juga.

Sikap penerimaan yang kritikal ini menunjuk kepada sinyal-sinyal pengidentifikasian kelompok etnik Mbaham Matta terhadap kelompok-kelompok sosial, kultural, religi yang datang. Di sini rumpun etnik Mbaham Matta mengidentifikasikan diri mereka sebagai penerima agama-agama yang tetap menjadikan kekerabatan sebagai tuas penggerak interaksi dan interelasi religius. Mereka tetap anak-anak adat Mbaham Matta yang menghidupi ethos kekerabatan dalam kehidupan keberagamaan mereka. Haji Rubahi Muri, Imam Kepala Mesjid Kampung Offie menegaskan dalam

metafora; “orang-orang tua mengajarkan kami bahwa hidup beragama kami seperti air laut, sekalipun dipotong dengan

parang tidak akan pernah terputus atau terceraikan.”4

4Wawancara dengan Bapak Imam Haji Rubahi Muri pada 14 Januari

(8)

Pada tataran integrasi sistem politik-ekonomi pada Bab IV telah dikemukan dua contoh yakni penerimaan institusi kerajaan Teluk Patipi dan Kerajaan Fatagar. Penulis telah mengemukan model strategi pengintegrasian sistem politik-ekonomi yang dipraktikan oleh rumpun etnik Mbaham Matta. Rumpun etnik Mbaham Matta Teluk Patipi membangun aliansi lintas marga dan kampung berbasis pada kekerabatan mereka melawan perebutan kekuasaan raja oleh seorang Imam di pusat kerajaan, Kampung Patipi Pasir. Perebutan kekuasaan itu kemudian dikukuhkan oleh surat keputusan Residen Ternate berdasarkan nasihat dari Pangeran Tidore Mohamad Tahir Alting dan Raja Misool Abdulmajij. Perlawanan aliansi lintas marga dan kampung serta agama berbasis kekerabatan ini berhasil mengembalikan kursi kekuasaan raja Teluk Patipi ke garis keturunan asal, yakni Iba.

(9)

ekonomi mereka di bawah sistem besar politik-ekonomi Tidore/Belanda. Ini menunjukkan bagaimana etnik lokal memperkuat struktur aliansi dengan mendinamisir sistem sosial internal dalam konteks negosiasi politik dengan sistem eksternal dengan integrasi sistemnya yang lebih kuat dan berkuasa menjamin dan melindungi kelangsungan kekuasaan maupun kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Sekali lagi kita bisa lihat pola atau model strategi aliansi politik lokal lintas marga dan agama melalui skema diagram berikut ini:

Dari diagram ini kita bisa melihat bagaimana strategi penerimaan (inklusi) tetap memiliki aspek kritikal yang merupakan pembuka bagi negosiasi lanjut dari dalam integrasi sistem lokal mereka berhadapan dengan integrasi sistemik Tidore/Belanda. Dengan kata lain, mereka melakukan konsolidasi dalam lingkup sistim sosial yang bertujuan memperkuat integrasi sosial lokal. Posisi politik-ekonomi rumpun etnik Mbaham Matta yang tampak lemah mampu menegaskan otoritas dan kedaulatan lokal mereka dengan memanfaatkan institusi raja sebagai ruang negosiasi politik. Pada Bab III telah Penulis paparkan teori antropologi politik yang disampaikan oleh James Fox, yakni dapat menjelaskan model strategi ini: installing the outsider inside.5 Mengambil

(10)

dan melantik orang luar dalam sturktur sosial dan politik adalah bagian dari strategi inkorporasi etnik lokal.

B. Dualitas Inkorporasi: incorporated-incorporating

Dualitas proses negosiasi, yakni inklusi dan kritikal, membawa kita kepada strategi kebudayaan rumpun etnik Mbaham Matta, yakni inkorporasi. Inkorporasi memiliki ragam

mode.6 Penulis mendudukan inkorporasi sebagai strategi

kebudayaan berdasarkan riset lapangan, di mana masyarakat lokal tidak menolak, tetapi manyambut dan merangkul serta memberi ruang kepada unsur-unsur sosial-kultural-religi-politik yang mendatangi mereka. Hal mana telah dipaparkan pada Bab IV. Sebagai pembanding bisa kita lihat bahwa dalam komunikasi keseharian ada satu yang menonjol dari perilaku sosial adatis etnik Mbaham Matta, yakni tabu menyatakan ketidak setujuan atau penolakan. Ini tampak dari dua kata

untuk menyatakan “ya” dalam bahasa Iha: njo dan ein. Kata njo

merupakan jawaban ‘ya’ atau pernyataan setuju yang dalam

konteks tertentu belum mengindikasikan kepastian; agaknya merupakan jawaban demi sopan-santun (courtesy) untuk tidak menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan secara langsung. Kata ein adalah ya atau pernyataan setuju yang memiliki kepastian. Pembahasaan seperti ini mensinyalkan etika adatis mereka yang memang tetap memberikan ruang bagi kehadiran pihak lain sekalipun terdapat perbedaan. Perilaku moral adatis ini dipegang teguh oleh mereka yang secara sosial adalah marga-marga pemangku adat atau yang dituakan. Ini tampak dalam sosok pimpinan-pimpinan marga atau kampung yang

6Lihat antara lain Jeffrey C. Alexander, “Theorizing the “modes of

(11)

disebut para dupiat, khususnya dupiat hereditma,7 yang selalu bersedia memperhatikan dan menolong orang lain. Dupiat hereditma adalah sosok sederhana, arif, tulus, dan selalu menghadirkan ketenangan dan memberikan jalan keluar.

Inkorporasi selalu dilihat dari satu arah, yakni dari sisi kelompok sosial dominan. Dalam riset ini ditemukan bahwa kelompok etnik lokal yang biasanya berposisi lebih lemah menghidupi inkorporasi sebagai strategi kebudayaan dalam interaksi sosial dengan kelompok-kelompok sosial-kultural-politik-religi yang lebih kuat. Rumpun etnik Mbaham Matta, baik dalam konteks sosial internal mapun sosial eksternal, menunjukkan bahwa mereka melakukan inkorporasi ganda secara resiprokal. Pada satu sisi mereka terinkoporasi (incorporated) ke dalam integrasi sistem (eksternal: sistem sosial makro). Ini mereka jalani secara sadar sebagaimana ditunjukan baik pada ranah integrasi sistem politik-ekonomi maupun sistem agama-agama. Dalam kesadaran pula mereka secara aktif menyediakan ruang-ruang sosial bagi kehadiran aktor-aktor individual, kolektif dan institusional dari sistem sosial besar (eksternal). Dengan kata lain, mereka menginkorporasi (incorporating) aktor-aktor individual, kolektif dan institusional dari sistem sosial eksternal dengan bawan-bawaan sosial, kultural, religi, politik, dan ekonomi masing-masing ke dalam rumah sosial-budaya lokal mereka.

Dengan begitu jelas bahwa dualitas inkorporasi yang dijalani oleh rumpun etnik Mbaham Matta sebagai aktor-aktor sosial subyektif-reflektif. Menurut Giddens aktor-aktor sosial adalah para agen aktif dan proaktif yang bertindak berdasarkan daya reflektif mereka sendiri. Mereka memiliki kemampuan memonitor aktivitas mereka dalam konteks interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Masih

7Berbeda dengan dupiat neingma yang hanya memperhatikan dan

menolong orang-orang dekat, keluarga atau kelompoknya dan dupiat

(12)

menurut Giddens daya atau kapasitas reflektif para aktor sosial ini didukung dan bersumber dari kesadaran praktikal dan kesadaran diskursif mereka. Kesadaran praktikal menunjuk kepada apa yang para aktor tahu atau yakini tentang kondisi-kondisi sosial yang secara khusus mencakupi kondisi-kondisi tindakan mereka, tetapi mereka tidak dapat mengungkapkan atau menjelaskan itu. Ini mirip dengan konsep habitus yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang menekankan bahwa pengetahuan praktikal ini merupakan disposisi dalam diri para aktor yang mereka terima dari kultur kelas mereka. Tetapi menurut Bourdieu pengetahuan ini berada dalam level ketidaksadaran, biasanya bekerja secara otomatik atau refleks sosial.8 Keterbatasan konsep Bourdieu ini diatasi oleh Giddens dengan memasukan konsep kesadaran diskursif. Kesadaran diskursif menekankan bahwa para aktor atau agen dalam interaksi sosial memiliki kompetensi untuk mengetahui dan menjelaskan hampir sebagian besar apa yang mereka lakukan – bila ditanya mereka bisa menjelaskan. Tetapi kesadaran diskursif ini terkait dengan para aktor modern. Agaknya bagi Giddens, masyarakat suku (tribal) yang masih pada berkebudayaan lisan masih menggunakan kesadaran praktikal.

Telusuran atas narasi dan praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta memberikan kritik-korektif terhadap teorisasi praktik sosial Giddens. Pertama, Giddens membatasi para aktor dalam sistem sosial dan integrasi sosial hanya pada level individu. Penekanan pada individu juga mendominasi teorisasi Fredrik Barth sehingga mengabaikan importansi kolektivitas atau kelompok dan efek normatif dari kebudayaan. Barth lebih

8Sangat mungkin karena Bourdieu melakukan riset antropologi

(13)

tegas lagi dengan mengategorikan aktor-aktor sosial etnik/subetnik sebagai enterpreneurial subjects. Sementara praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan bahwa para aktor sosial tidak hanya individu, tetapi lebih menekankan peran kelompok atau marga. Posisi ontologis kelompok marga sangat menentukan dalam membentuk narasi-narasi dan praktik-praktik sosial individu. Di mana adat atau kultur, yang tampak dalam pola-pola perilaku normatif, menjadi basis utama dan referensi serta tuas (giroskop) paradigmatik mereka sebagaimana ditegaskan oleh para teoris etnisitas konvergensif seperti Abner Cohen dan Charles F. Keyes. Temuan ini secara riset lebih dekat kepada teorisasi Bourdieu yang menekankan kelas sebagai basis eksitensi agensi, tetapi dalam rumpun etnik Mbaham Matta tidak mengenal sistem kelas sosial. Mereka berbasis penuh pada marga, kekerabatan, dan aliansi lintas marga.

(14)

kehidupan mereka, sebagai ruang negosiasi kritis dengan aparatus kekuatan-kekuatan sistemik politik-ekonomi Tidore/Belanda.

Telurusan ke dalam narasi-narasi dan praktik-praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan bahwa pemeliharaan ruang demarkasi sosial etnik (ethnic boundary) sebagaimana dikemukan oleh Fredrik Barth memang sangat penting dalam rangka identifikasi sosial (group identification) dan kelangsungan kekhasan kultural etnik. Dengan begitu teorisasi etnisitas Barth lebih memberi fokus pada dinamika internal etnogenesis yang berujung pada reproduksi sosial etnik. Kecenderungan teorisasi instrumentalis ini mengabaikan dinamika etnogenesis di ruang eksternal atau ruang publik, yaitu perjumpaan dengan kekuatan-kekuatan sistemik politik-ekonomi dan agama-agama yang datang. Etnogenesis Mbaham Matta telah menunjukkan bahwa mereka, sebagai etnik lokal menyeberang masuk, melalui strategi dualitas inkorporasi ke dalam ruang publik tarung kekuasaan. Kritik korektif ini juga telah disinyalkan oleh antara lain Jenkins yang menyatakan bahwa Barth terlampau mengutamakan proses-proses identikasi kelompok, yang berlangsung dalam lingkup internal etnik dan mengabaikan proses-proses kategorisasi sosial yang berlangsung di luar lingkup etnik. Menurut Roberth Jenkins kompetisi lintas etnik atau kelompok dalam ruang publik ini terkait erat dengan relasi-relasi kekuasaan. Tetapi Jenkins pun tidak bertolak jauh dari pokok argumentasi Barth, yakni masyarakat etnik cenderung pada maintanenance of boundary yang inward looking.

(15)

model atau strategi mereka membangun jembatan dialog dan negosiasi berkelanjutan yang konstruktif-transformatif antara eksistensi sosial-kultural-politik-religi mereka dengan eksistensi sosial-kultural-politik-religi kelompok pendatang.9 Catatan ini sangat penting terkait teorisasi etnisitas atau etnogenesis dan transformasi sosial. Rumpun etnik Mbaham

Matta tidak berhenti hanya pada titik maintenance of ethnic

boundary, tetapi mereka menunjukkan gairah kelompok-kelompok etnik untuk mendinamisir dan mengelaborasi wilayah demarkasi sosial etnik mereka sebagai rumah perjumpaan dan model yang mereka tawarkan dalam usaha transformasi masyarakat secara menyeluruh.

Karakter penting lain yang harus diberi perhatian dalam konteks etnogenesis Mbaham Matta adalah sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan menjadi giroskop atau tuas pemutar dan penggerak seluruh dinamika etnogenesis Mbaham Matta. Bermula dari pengalaman pahit dan kelam sepanjang fase kerjawriya, muncul kesadaran baru untuk memperbaharui ikatan-ikatan lintas marga dan kampung serta wilayah. Hal mana ditandai dengan sumpah kolektif warqpa thumber serta pembentukan aliansi-aliansi di bawah payung narasi keasalan bersama sebagai sesama turunan dari Gunung Mbaham yang menjangkau sejarah panjang migrasi sampai wilayah Matta.

9Muncul catatan kritis kultural dari beberapa informan kunci

dalam riset Penulis terkait istilah “kelompok atau kaum pendatang.” Mereka

menyatakan bahwa istilah “pendatang” yang penulis gunakan untuk orang -orang luar etnik mereka adalah kurang tepat. Menurut mereka yang

dikategorikan sebagai ‘pendatang’ sesungguhnya adalah keturunan leluhur

mereka yang dulu pergi keluar. Para leluhur dulu berjanji akan kembali lagi.

Kini mereka kembali melalui kaum ‘pendatang’ yang adalah saudara-saudara seketurunan. Fenomena ini terkiat dengan pandangan-pandangan gerakan

(16)

Jaringan kekerabatan mereka mengalir, terajut dan tertata rapih serta kokoh melalui perkawinan lintas keluarga, marga, kampung dan agama. Sejarah panjang praktik-praktik perkawinan mereka dengan suku-suku dari luar menjadi mekanisme sosial yang memperluas dan meragamkan kekerabatan rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka sangat menghargai para ipar entah lelaki maupun perempuan dan keluarga. Besar. Karena itu mereka sering memberikan kepercayaan kepada para ipar lelaki untuk memegang tugas-tugas atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan masyarakat kampung. Praktik atau mekanisme sosial pengembangan kekerabatan yang bukan sedarah ini berlangsung atas seorang Pendeta yang berasal suku Tanimbar. Setelah bertugas beberapa tahun, Pendeta diundang oleh seorang Bapak yang adalah mayor di kampung tersebut. Mereka duduk melingkar di rumah panggung berhadapan. Kemudian Mama membuka kain putih yang di atasnya diletakkan mehak (minuman kopi lokal), pandoki (daun pembungkus tembakau), dan tembakau lokal.10 Bapak Mayor kemudian menyampaikan suara hatinya untuk mengangkat sang Pendeta menjadi anak dalam keluarga dan marga mereka. Bapak Mayor katakan bahwa setelah dia melihat kehidupan dan cara kerja serta pelayanan sang Pendeta dia sangat senang dan bahagia. Baginya Pendeta layak diangkat jadi anaknya. Kemudian Bapak keluarga berbicara dalam bahasa yang disampaikan kepada anak-anaknya yang lain bahwa sekarang Pendeta telah menjadi bagian dari keluarga dan marga mereka.11

Perluasan kekerabatan ini menjadi mekanisme sosial penting yang menunjukkan bahwa rumpun etnik Mbaham Matta adalah masyarakat yang terbuka. Sikap kultural

10Kain putih, mehak, pandoki, dan tembakau menunjukkan

keseriusan dan pentingnya pertemuan tersebut.

11Wawancara dengan Pendeta Rudi Falirat, S.Th. tanggal 2 Oktober

(17)

sedemikian memberi dasar bagi pengembangan kekerabatan yang bukan hanya atas dasar perkawinan, tetapi juga melalui mekanisme atau praktik sosial lainnya termasuk inkorporasi kemargaan dari yang tidak memiliki hubungan darah dan dari luar suku/daerah. Model perluasan kekerabatan ini terimplementasi secara jelas dalam acara adat kumpul harta (tomhormag) di mana orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah terlibat membawa sumbangan mereka. Kami dilibatkan dalam proses-proses tombhormag dalam lingkungan marga Rohohmana dan Hindom karena kami mengangkat orang tua saksi baptisan untuk anak kami dari marga Rohrohmana/Hindom. Tombhormag adalah acara adat yang sangat penting sebagai implementasi ikatan-ikatan kekerabatan (aliansi) dalam rumpun etnik Mbaham Matta. Partisipasi dalam acara adat ini memang berantai dan tak terputuskan. Hal ini ditandai dengan adanya rantai social interchange melalui pembayaran tanggungan harta. Model kekerabatan ini mendukung konsep dan proyek elaborasi kekerabatan yang disampaikan oleh Janet Carsten yakni relatedness: kekerabatan bisa dibangun atau terbangun karena ragam interaksi dalam ragam konteks atau peristiwa sosial. Dengan pendekatan kekerabatan seperti ini niscaya untuk membangun sistim kekerabatan baru dalam rangka pengembangan tatanan masyarakat luas yang multikultural.

C. Reidentifikasi Sosial dan Reafirmasi Moralitas Sosial

(18)

Dari interaksi yang penuh kecurigaan dan permusuhan bahkan perang dan pengayauan berubah menjadi kehidupan dengan kultur saling aliansi atau band yang berbasis pada adat dan kekerabatan. Dari budaya perang membentuk budaya cinta damai (idu-idu maninina). Budaya masyarakat berkelas dan tertutup (patron-klien; tuan-budak; tuan tanah – pendatang, dll.) berubah menjadi masyarakat egaliter yang inklusif dan terbuka.

Perubahan struktur kebudayaan sedemkian jelas membawa pada reafirmasi moralitas sosial. Moralitas sosial keseharian masyarakat etnik Mbaham Matta ditandai antara lain dengan kearifan yang khas: (1) mereka tidak berbicara sembarang waktu dan sembarang ucapan; (2) mengutamakan musyawarah dengan pembicaraan-pembicaraan yang halus menggunakan ragam metafora yang mengajak kawan bicara memasuki lebih dalam maksud atau pendapat yang disampaikan; (3) menghormati status dan hak orang lain; (4) terbuka dan ramah; (4) nilai-nilai agama seperti cinta kasih, jangan mencuri, dll sangat dipegang.

Terkait dengan perubahan struktur sistem kebudayaan, yang teorisasi Giddens disebut struktur (cultural stucture) atau dalam teorisasi Barth disebut cultural stuff perlu diajukan elaborasi mengikuti kritik Margareth S. Archer.12 Archer melihat bahwa sebagai akibat dari fokusnya pada agensi manusia dan praktik sosial dalam interaksi sosial serta individualisme aktor sosial (begitu juga Barth), Giddens mengabaikan keberadaan kebudayaan (culture) sebagai entitas sistemik yang berdiri di luar sistem sosial. Bagi Archer Giddens telah menumpang-tindihkan (conflation) sistem kebudayaan (cultural system) dengan kebudayaan yang dipraktikan dalam interaksi sosial, yang Archer sebut sebagai socio-cultural system. Giddens lebih menekankan kebudayaan

12 Margareth S. Archer, Culture and Agency:The Place of Culture in

(19)
(20)

Cultural system mengalami perubahan dalam rentang waktu yang panjang. Socio-cultural system atau kebudayaan yang dipraktikan dalam interaksi sosial oleh para aktor inilah yang mengarah kepada reafirmasi moral sosial – tentu dengan tetap merujuk pada panduan asal sistem kebudayaan yang menyediakan peta dasar sistem keyakinan dan nilai, sistem pemaknaan dan tindakan serta sistem penataan institusional (sistem kekerabatan dan sistem perkawinan). Socio-cultural system menyediakan stok pengetahuan praktis (kesadaran praktis) interpretasi-interpretasi dan kerangka kerja kontekstual. Proses ini sedemikian juga berlangsung atas reidentifikasi sosial etnik Mbaham Matta.

Identitas sosial pun menjalani perubahan dan penguatan. Menurut Barth identifikasi sosial terkait erat dengan proses dan dinamika pemeliharaan batas sosial etnik (ethnic boundary). Identitas sosial bergerak bersama pergerakan ethnic boundary. Proses identifikasi ini berlangsung di dua ranah terkait, yakni ranah internal etnik atau kelompok dan ranah eksternal sistemik sebagaimana telah dijelaskan di atas. Identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta berakar kuat dalam adat dan kekerabatan,

yang mereka ungkapkan melalui metafora: “pertama adat,

barulah agama dan pemerintah. Adat yang membungkus

agama dan pemerintah.” Integrasi mereka ke dalam lingkup

(21)

etika sebagai pemisah atau pemecah belah kekerabatan dan nilai-nilai adat mereka.

Dalam konteks sedemikian kita mengakui adanya konsep atau pemahaman diri yang menjadi disposisi dalam diri mereka, yakni diri mereka adalah keberadaan yang mutualis. Diri sendiri adalah bagian dari diri orang lain atau diri kolektif. Dalam teori dikatakan bahwa mereka memahami diri sebagai poros partispasi (a node of participation). Sehingga kedirian mereka tidak dipahami dan diperlakukan secara individual, diri yang berada di dalam diri sendiri dan tertutup (atomistic), tetapi diri yang dividual. Diri yang dividual adalah diri yang terbuka dan terbagi dalam kolektivitas mereka. Diri mereka saling berpartisipasi atau saling mengambil bagian dalam semangat kekerabatan dan adat. Ini yang oleh Lieber disebut consocial personhood. Lieber

merumuskan demikian “The person is not an individual in our Western sense of the term. The person is instead a locus of

shared biogarphies: personal histories of people’s relationships

with other people and with things.” Kedirian warga rumpun

etnik Mbaham Matta adalah kedirian kolektif, mereka membawa kedirian kolektif dalam diri-diri mereka. Identitas mereka dibentuk dan diarahkan oleh kedirian kolektif ini, karena diri seseorang merupakan lokasi biografi-biografi bersama. Dalam konsep atau filsafat kedirian etnik sedemikian terdengar gaung pengaruh pemikiran Durkheim tentang masyarakat sebagai entitas yang mengatasi dan mengarahkan individu-individu.

(22)

dualitas struktur yang dikemukan oleh Anthony Giddens terjelaskan secara praktis riset. Sturktur budaya (atau mengikuti Archer: socio-cultrual system) kolektif yang menyediakan panduan keyakinan dan nilai serta kerangkan pemaknaan dan tindakan pada satu membatasi (constraining), tetapi pada pihak lain secara simultan memberdayakan (enabling) para aktor sosial melakukan restrukturasi, yaitu reformulasi dan rekonstruksi struktur kebudayaan dalam merespons situasi atau kebutuhan melalui praksis-praksis sosial mereka. Jadi di satu sisi terdapat aspek kuat atau tetap, di pihak lain terdapat aspek dinamis yang memungkinkan keterbukaan, inklusi dan transformasi.

(23)

Pada tahap pertama, mereka menerima identitas yang diprakarsai oleh institusi-instutusi politik-ekonomi dan keagamaan dominan. Kita dapat menyusuri fenomena ini dalam sejarah sosial mereka. Karakter kultural rumpun etnik Mbaham Matta yang tenang dan tidak reaktif-vulgar mendukung kondisi pelegitimasian identitas demikian. Mereka menjadi umat Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka menjalani pendidikan, pengajaran, ritual dan menggunkan atribut-atribut sesuai kiblat keagamaan yang dianut. Castel menyebut tahap identifikasi sosial ini legitimizing identity.

Tahap kedua, bila diperhatikan dengan baik akan ditemukan sisi lain dari proses identifikasi sosial mereka. Mereka memang bukan tipe masyarakat yang suka berkampanye diri, tetapi identifikasi sosial mereka yang khas sesungguhnya menjadi kritik halus kebudayaan terhadap identifikasi sosial yang disebarkan atau ditanamkan antara lain oleh institusi-instusi, aparatur-aparatur keagamaan dominan-hegemonik. Penulis menanyakan kepada seorang Imam yang adalah salah seorang informan kunci tentang kunjungan penghotbah-penghotbah “keras” ke kampung

mereka. Bapak Imam menyatakan bahwa “Kami tidak

menolak, kami mepersilahkan individu atau kelompok penghotbah itu untuk menjalankan tugas mereka di Mesjid. Kami ikut kegiatan dan mendengar apa yang mereka sampaikan. Tetapi kami tidak pernah akan mengakui dan

legitimizing identity

identitas

resisten-si

(24)

mengikuti ajaran-ajaran mereka yang radikal dan merendahkan agama-agama lain.”13

Penulis teringat pada narasi seorang Ketua DPRD Kabupaten Fakfak, Bapak Umar Patiran, dalam suatu pertemuan terkait pembinaan kerukunan umat beragama pada tahun 1992. Bapak Umar menyatakan bahwa mereka pernah meminta dengan tegas agar salah satu Khatib, yang bekerja di Kantor Pengadilan Agama Fakfak, dipulangkan ke daerah asal atau dipindahkan dari Fakfak. Karena khobtah-khotbahnya cenderung merusak sendi-sendi kehidupan beragama di Fakfak yang berasaskan kekerabatan atau kekeluargaan.

Ketika para penyusup (intruders) penyebar virus kerusuhan Maluku memasuki wilayah Teluk Patipi pada tahun 2000 mereka menyinggahi salah satu kampung Muslim. Mereka menyusup menggunakan boat dan membawa alat-alat perang seperti alat tajam dan senjata serta mesium. Mereka ingin memprovokasi warga muslim menyerang warga Kristen. Tetapi secara diam-diam warga kampung Muslim mendayung perahu ke kampung Kristen terdekat memberitahu kehadiran para intruder dan rencana mereka. Sesuai watak etnik Mbaham Matta yang tidak reaktif tetapi tenang, mereka melaporkan secara baik-baik kepada pihak keamanan. Para intruders diamankan dan dipulangkan ke daerah mereka.

Dalam lingkup kekristenanpun pengajaran-pengajaran dan khotbah-khotbah tabu untuk menyinggung atau merendahkan agama Islam. Warga Kristen sangat menghindari dan enggan atau tidak tertarik pada wacana-wacana doktrinal keagamaan narsistik. Dalam ajaran gerakan mesianik lokal Mahambotmur Yesus disapa sebagai kakak laki-laki tertua (Iha: nen). Sebutan ini memiliki makna etik terkait dengan

13 Wawancara dengan Bapak Haji Aman Patiran, salah satu Imam di

(25)

kekerabatan dan identifikasi sosial mereka. Mereka memiliki satu saja kakak laki-laki yaitu Yesus. Itu berarti mereka semua adalah adik, sesama adik. Mereka setara sebagai adik-adik apapun agama yang dianut.14

Dalam pergaulan sehari-hari, rumpun etnik Mbaham

Matta enggan membahas hal-hal keagamaan yang

mengistimewakan keberagamaan sendiri dan merendahkan keberagamaan orang lain. Mereka tidak tertarik pada narasi-narasi keagamaan narsistik. Hal-hal doktrinal keagamaan yang memecah belah tidak menarik perhatian mereka. Kata kafir dan ucapan serta tindakan mengafirkan orang yang beragama lain adalah sesuatu yang tabu bagi mereka.

Identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta dalam ranah publik ini menegaskan apa yang Castel klasifikasikan sebagai identitas resistensi (resistance identity): identifikasi sosial sebagai perlawanan kultural. Bagi rumpun etnik Mbaham Matta kekerabatan dan persaudaraan tidak bisa dihancurkan oleh provokasi agama – tidak mungkin mereka saling membunuh karena agama. Narasi dan praktik agama keluarga adalah perlawanan kultural mereka terhadap usaha-usaha dominasi sentimen-sentimen ideologis keagamaan, seperti fundamentalisme dan radikalisme agama.

Pada April 1997 Gereja Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua) menandatangani kerjasama dengan Overseas Missionary Fellowship (OMF) melalui Program Lintas Budaya mereka.15 Kerjasama pelayanan ini berlangsung sampai 2001. Kegiatan pokok adalah bantuan ekonomi umat dan bantuan pendidikan. Tetapi kedua tenaga Pelayanan

14 Wawancara dengan Pdt. Musa Tuturop (kampung Adora) pada

21 Februari 2016; Pdt Kabes (kampung Degen) pada 15 Juli 2016. Kakak Yesus sedang pergi dan akan kembali pada satu waktu nanti untuk menjumpai dan berkumpul dengan adik-adikNya.

15 Yang mewakili GPI Papua adalah Sekertaris Umum Sinode

(26)

Lintas Budaya ditarik oleh OMF ke Jakarta yang menandai terputusnya kerjasama. Hal ini terjadi karena menyeruak perbedaan pendapat di antara OMF dan GPI Papua terkait dengan visi dan praktik Pelayanan Lintas Budaya tersebut. Dalam evaluasi program, OMF tidak menemukan bukti adanya

“pemenangan jiwa” atau berapa orang yang berhasil

dikristenkan. Dalam pertemuan di Jakarta, kami jelaskan bahwa konteks kultural Fakfak tidak memungkinkan pekerjaan-pekerjaan misi pemenangan jiwa. Kami pada saat itu menyatakan tidak bisa mendukung misi via bantuan sosial dengan tujuan menobatkan orang yang sudah beragama dalam kontes keberagamaan keluarga di Fakfak. Sikap tegas ini merupakan bagian dari kritik kultural-teologis-misiologis gereja.16

Tahap ketiga, identifikasi sosial Mbaham Matta, baik dalam ranah internal maupun eksternal, dari sudut pandang teorisasi praktik lanjutan terkait erat dengan transformasi sosial. Itu berarti identifikasi sosial mereka tidak lain adalah usaha mereka mempromosikan model, ethos, dan arah bagi transformasi keseluruhan struktur masyarakatnya. Teorisasi Castel menggolongkan identitas pada tahap ini sebagai identitas proyek (identity project): identifikasi sosial merupakan proyek historis bagi transformasi masyarakat luas. Ini sejalan dengan arah pikir teori praktik sosial yang ditegaskan oleh Shery B. Ortner. Praktik-prkatik sosial tidak hanya bertujuan reproduktif dalam konteks maintenace of boundary, mejaga wilayah batas etnik guna menjaga identitas sosial dan kekhasan budaya etnik. Praktik-praktik sosial yang dilakukan oleh para aktor, dengan berbasis pada prinsip teleo-afektif dan kesadaran diskursif, maju memasuki

16 Untuk menguatkan catatan ini: Penulis melakukan wawancara

(27)

transformasi sosial luas. Ortner menyebut transformasi sosial sebagai proyek sejarah.

Petunjuk dasar dari identifikasi sosial sebagai sebuah proyek transformasi sosial yang diberikan sebagai model hidup etnik Mbaham Matta adalah perkawinan lintas agama. Perkawinanan lintas agama adalah fondasi kekerabatan yang menjadi basis struktur sistem sosial dan kultural serta identitas baru. Lebih jauh lagi: perkawinan adalah institusi dasar dan tuas bagi konstruksi fondasional suatu masyarakat multikultural.

(28)

ingin agama-agama tidak mengajarkan pengingkaran dan pencideran kekerabatan asali mereka.

Oleh karena itu mereka tidak menolak kedatangan agama-agama dengan menggunakan mekanisme isolasi kultural. Mereka berbagi pilihan anutan keagamaan tanpa beban. Malah ruang-ruang sosial disediakan bagi kehadiran dan aktifitas agama-agama dalam sistem sosial. Hal mana mereka tunjukan melalui metafora rumah keluarga. Dalam satu keluarga hiduplah kakak-adik yang telah berbagi pilihan kiblat keagamaan: Islam, Protestan, dan Islam. Mereka masing-masing menempati kamar-kamar tidur yang adalah ruang-ruang privat keagamaan mereka. Tetapi mereka tetap adalah kakak beradik yang hidup bersama sebaai satu keluarga. Mereka memiliki satu ruang keluarga (ruang publik) di mana setiap hari mereka bertemu, berdialog, berdiskusi serta berbagi kehidupan, memecahkan persoalan dan mencari solusi bersama. Struktur bangunan sosial mereka gambarkan melalui metafora rumah seperti penulis visualisasikan dengan diagram di bawah ini:

Otoritas-otoritas agama formal memandang praktik kehidupan agama keluarga (kekerabatan) demikian mengandung bahaya sinkritisme atau percampurbauran

Ruang Keluarga

TERAS

Islam

Katolik

Protestan

(29)

ajaran-ajaran agama yang berbeda. Sesungguhnya kehidupan manusia, termasuk keberagamaan, adalah sinkretistik. Eksistensi kedirian individual dan kolektif kita adalah konstruksi sosial sebagai buah dari sejarah perjumpaan dan interaksi sosial yang dijalani. Andrew Beatty17 menolong kita memahami sinkritisme secara lebih obyektif, positif, dan terbuka. Sinkritisme bukanlah sebuah percampuradukan aneka ragam tradisi keagamaan yang serampangan dan kebetulan. Sebaliknya: sinkritisme adalah tanggapan terancang dan terpola masyarakat lokal terhadap pluralisme dan perbedaan kultural.

Dalam interaksi sosial sehari-hari, rumpun etnik Mbaham Matta tetap saling menghormati ajaran, ritual, dan etika keagamaan. Mereka saling mengingatkan untuk mengingat dan menjalankan ibadah. Dalam perayaan-perayaan keagamaan bersama atau kegiatan-kegiatan sosial mereka sangat menjaga dan mematuhi ajaran dan etika keagamaan. Penyediaan makanan selalu harus dimulai dengan memberikan kesempatan kepada saudara atau keluarga muslim untuk melakukan ritual sebelum menyembelih hewan sesuai ajaran dan etika Islam. Begitu juga alat-alat masak dan makan selalu dijaga tidak boleh tercemari oleh unsur-unsur yang dilarang oleh agama Islam.

Tetapi pada pihak lain ada ritual Islam seperti sunat. Dalam tradisi mereka, paman harus mendampingi anak yang akan disunat. Paman yang beragama Kristen yang berhak dan bertanggungjawab secara adat berdiri mendampingi sang ponakan. Sebegitu juga pada saat Penulis menghadiri acara pentahbisan seorang Khatib di Kampung Offie perempuan yang duduk disampingnya sebagai pendamping adalah saudara perempuan dari Ibu sang Khatib yang telah memeluk agama Protestan. Sementara yang memberikan sambutan

(30)

adalah Pamannya dari marga Tuturop yang beragama Protestan. Kerabat yang beragama Protestan dan Katolik hadir dengan sukacita. Gambar di bawah ini: Khatib Hayat Patiran didampingin oleh sauduara-saudara perempuan dari Ibunya serta para Paman/Bapak yang beragama Kristen:

D. Membangun Masyarakat Multikultural: Undangan dan Tantangan bagi Agama-agama

(31)

Proyek transformasi tatanan masyarakat terbuka, inklusif, dan multikultural sudah built-in atau terintegrasi sebagai karakter budaya dalam sistem sosial dan warga rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka telah menginisiasi suatu model sistem sosial multikultural. Agama-agama diinkorporasi ke dalam sistem sosial mereka. Agama-agama diberi ruang sosial serta hak bereksistensi dalam jalinan kemargaan dan tatanan kekerabatan mereka.

Dari lingkup makro-sosial (integrasi sistem), Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak sejak tahun 1999 telah mengangkat karakter terbuka, inklusif dan multikultural etnik

Mbaham Matta ini sebagai motto atau slogan daerah “Satu

Tungku Tiga Batu.” Motto daerah ini memaksudkan bahwa

konstruksi dasar kehidupan masyarakat yang telah dibangun oleh etnik asli lokal, yang terdiri dari tiga agama (Islam, Protestan, dan Katolik) merupakan perekat kohesi dan solidaritas sosial masyarakat dan pemerintahan Kabupaten Fakfak. Pejabat-pejabat Pemerintah daerah yang merupakan anak-anak adat Mbaham Matta menginisiasi pengangkatan motto ini. Mereka yang menghidupi spirit dan ethos kekerabatan lokal inkorporator adat atau budaya mereka ke ranah publik-politik dalam rangka menata penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat luas. Inkorporasi adat atau budaya ke dalam ruang publik politik ini merupakan reproduksi kultural sistem kekerabatan ke dalam kerangka usaha membangun kohesi dan solidaritas sosial. Jadi baik sistem maupun ethos kekerabatan etnik lokal model dasar dan ethos dalam membangun fondasi dan menata interaksi sosial-budaya-religi-politik masyarakat multikultural di Kabupaten Fakfak.

(32)

dengan realitas diversitas subkultur, diversitas perspektif, dan diversitas komunal. Ragam usulan model dan strategi pengembangan masyarakat multikultural terus diajukan dalam masyarakat yang makin kompleks dan penuh persaingan sosial-kultural-politik-ekonomi dengan masing-masing egoisme dan obsesi hegemoniknya. Parekh mengonstruksi model dan strategi multikulturalisme dalam empat model, yaitu asimilasionis, proseduralis, asimilasi kewargaan dan millet.18 Tetapi Parekh simpulkan bahwa bila dikaji dari sisi kemampuan untuk mensinergikan tuntutan unitas dan diversitas kultural, keempat model inipun tidaklah memuaskan dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda. Menurutnya model asimilasi mengabaikan diversitas dan model millet mengabaikan unitas. Sementara model proseduralis dan asimilasionis kewargaan sangat menekankan diversitas dan unitas, tetapi gagal memberikan perhatian pada kondisi saling pengaruh dialektik (resiprositas) dan menemukan keseimbangan yang tepat antara kedua aspek ini (diversitas dan unitas). Kegagalan tersebut disebabkan oleh pemisahan ruang publik dan privat. Baginya pengembangan model dan strategi penguatan tatanan masyarakat multikultural yang relevan tergantung pada bagaimana menata kekuasaan politik, penegakan keadilan, sambil tetap mengakui dan merangkul cultural differences serta pengaturan hak-hak kolektif dan pengembangan kebudayaan bersama termasuk identitas nasional. Dalam proses inilah Parekh menekankan pentingnya pendidikan multikultural.

Situasi dan arah kontekstual ini merupakan udangan rumpun etnik Mbaham Matta kepada agama-agama untuk ikut terlibat dalam transformasi sosial membangun tatanan masyarakat multikultural. Di tengah-tengah pergulatan dunia

18 Lihat juga pemodelan dua diemnsi yang diajukan oleh Douglas

(33)

perihal tatanan masyarakat multikultural, dalam skopa daerah rumpun etnik Mbaham Matta menawarkan suatu model dan strategi kebudayaan: dualitas inkorporasi dalam konteks dinamika dan proses-proses ethnic boundarying berbasis kekerabatan. Secara filosofis dan praktik mereka

menyodorkan paradigma “agama keluarga” yang membawa kepada pengembangan relijiusitas atau keberagamaan keluarga dengan etika ideal atau core value “idu-idu maninina” dan tujuan menjamin ontological security sistem sosial mikro-makro (integrasi sosial dan integrasi sistem).

Agama-agama diundang terlibat membangun masya-rakat multikultural dalam kompleks sosial-budaya etnik Mbaham Matta patut memperhatikan hal-hal mendasar tersebut. Pertama, strategi budaya inkorporasi. Rumpun etnik Mbaham Matta telah membuka dan menyediakan ruang-ruang sosial menyambut agama-agama dunia. Inkorporasi merupakan undangan bagi agama-agama ikut serta dalam proses-proses kehidupan mereka sehari-sehari. Bila kembali mengingat negosiasi dalam ruang demarkasi etnik (ethnic boundary), agama-agama patut menyadari adanya sinyal-sinyal pengingat budaya dan perangkat nilai utama dan normatif built-in sebagai disposisi individual dan kolektif mereka yang memberikan kerangka interpretasi dan tindakan sosial terkait keberagamaan.

Kedua, disposisi kultural-relijius itu mereka

deklarasikan melalui ungkapan “agama keluarga.” “Agama

keluarga” adalah paradigma kultural yang mencerminkan penghayatan dan praktik keagamaan mereka. Ini adalah relijiusitas praktik19 mereka. Agama keluarga menegaskan bahwa bagi mereka keberagamaan yang mereka hidupi setiap hari adalah agama yang sudah dijalin oleh mereka sendiri

19 Mengikuti Giddens yang memahami kebudayaan sebagai praktik,

(34)

dalam sturktur sosial yang berbasis kekerabatan atau aliansi-aliansi lintas keluarga, marga dan kampung. Secara spesifik penjalinan agama-agama ke dalam struktur sosial mereka dilakukan melalui mekanisme perkawinan lintas agama. Di sini mereka tidak mengizinkan agama-agama menjadi unsur pengganggu kekerabatan atau aliansi-aliansi lintas keluarga, marga, dan kampung.

Ketiga, merawat eksistensi dan kalangsungan kekerabatan atau aliansi dalam rumpun etnik Mbaham Matta merupakan tanggungjawab bersama yang sangat penting dan menentukan. Karena kekerabatan atau aliansi lintas keluarga, marga dan kampung mempunyai akar dan basis pengalaman historis mereka melewati atau melampaui fase kerjawriya yang penuh perang hongi, pengayauan, dan aneka amorilitas sosial yang merendahkan kemanusiaan serta ketiadaan kohesi dan solidaritas sosial. Mereka membangun aliansi atau kekerabatan baru yang mereka berdirikan di atas warqpa

thumber atau tumpukan batu-batu sumpah. Mereka

(35)

menjaga dan merawat kekerabatan adalah bagian dari nilai dan etika hidup keberagamaan mereka.20

Keempat, etika ideal atau core value yang mereka hidupi adalah idu-idu maninina. Mereka menjadikan etika utama adalah hidup damai, aman, tenang, dan seimbang. Kata

ini berarti juga ‘senang, bahagia.’ Dalam praktik gerakan

mesianik Mahambotmur, ada perang iman melawan kuasa-kuasa alami yang menguasai dan menempati lokasi-lokasi atau wilayah-wilayah tertentu. Perang iman ini dilakukan untuk mendamaikan lokasi atau wilayah itu, sehingga tempat atau wilayah tersebut bisa ditinggali atau diusahakan. Etika ideal idu-idu maninina lahir dari pengalaman panjang perang hongi, pengayauan, dan lain lain pada fase kerjawriya. Jadi jelas hidup damai adalah juga janji etik yang dialas dengan sumpah kolektif.

Kelima, kehidupan damai ini menjadi inti etik atau moralitas sosial rumpun etnik Mbaham Matta yang telah bersumpah membangun kekerabatan atau aliansi lintas keluarga, marga, kampung, dan agama untuk menjamin ontological security21 dalam sistem sosial mikro dan makro. Anthony Giddens mendefinisikan ontological security sebagai

confidence or trust that natural and social worlds are as they appear to be, including the basic existential parameters of self

20 Ada beberap kasus yang Penulis temukan terkait dengan

pernikahan lintas agama yang gagal atau ditolak. Karena perkawinan adalah mekasime sosial penting dalam merawat kerabatan, maka penolakan perkawinan lintas agama tanpa alasan mendasar harus dibayar. Ada dua kasus terkait penolakan perkawinanan lintas agama yang masih dalam proses negosiasi terkait dengan relasi silsilah perkawinan lintas agama yang sudah dilewati oleh orang tua atau kakek/nenek mereka. Menurut beberapa informan mereka yakin penolakan perkawinana karena alasan perbedaan agama akan kena kutuk. Mereka menceritakan beberapa kasus kutukan seperti ganguan jiwa, sakit, bahkan kecelakaan dan kematian.

21 Lihat Jennifer Mitzen, “Ontological Security in World Politics:

State Identity and the Security Dillemma,” European Journal of International

(36)

and social identity.”22 Konsep ini menunjuk kepada keadaan yang terkait dengan keyakinan bahwa lingkungan hidup mereka, baik alam maupun dunia sosial, ada dalam kondisi baik dan stabil, termasuk kedirian dan identitas sosial mereka, ada dalam kondisi pasti (tidak terganggu) dan stabil, serta aman. Ontological security, di samping physical security, adalah kebutuhan dasar konstan (a basic need). Kebutuhan dasar ini dimunculkan dalam ilmu-ilmu sosial bukan untuk menjelaskan variasi perilaku, tetapi lebih untuk membantu pengungkapan proses-proses yang memproduksi kontinuitas eksistensi kelompok-kelompok sosial atau masyarakat. Ontological security menunjuk kepada rasa aman diri para aktor individual dan kolektif karena kepastian atau kemantapan sistuasi interaksi sosial baik dalam lingkup sistem sosial (mikro) maupun sistem sosial makro. Rasa aman diri dan kepastian sistuasi akan memampukan dan memotivasi mereka melakukan tindakan dan aktivitas. Importansi ontological security ini terkait dengan dua hal kunci dalam memahami masyarakat, yaitu identitas sosial dan kekhasan kultural (cultural distinctiveness). Kelompok-kelompok merutinisasi relasi-relasi di antara mereka untuk memelihara kekhasan kultural mereka. Relasi-relasi lintas kelompok yang tertata dan berlangsung baik akan membantu mereka mempertahankan koherensi identitas masing-masing. Jadi ontological security menjadi prasyarat sosial penting dalam upaya-upaya membangun suatu tatanan masyarakat multikultural. Keterjaminan dan keberlangsungan ontological security merupakan tanggungjawab semua komponen membangun relasi-relasi sosial yang mantap dan pasti sambil memberi ruang kepada masing-masing mempertahankan dan mendinamisir kekhasan-kekhasan sosio-kultural dan identitas sosial.

22 Anthony Giddens, The Constitution of Society (Berkeley and Los

(37)

E. Sumbangan Teoritik: Dualitas Inkorporasi

Dari telusuruan di atas sebagaimana ditunjukkan oleh diagram alur studi dan perangkaan teoritik pada kahir Bab II, terlihat jelas bahwa Penulis menggunakan wawasan teoritik antropologi sosial dan teoritik sosiologi. Dari antropologi sosial teori-teori etnisitas menjadi wilayah jelajah. Etnisitas (etnogenesis) tidak bisa dijelaskan dari satu perspektif teoritik semata. Kompleksitas etnisitas mengharuskan kita menggunakan silang wawasan dan komponen-komponen mereka. Kita tidak bisa mengatakan bahwa etnik terbentuk sebagai proses produkasi kultural-primordial semata atau sebaliknya hanya sebagai proses konstruksi sosial yang dibangun oleh manusia atau para aktor sosial. Oleh karena itu muncul teori konvergensi.

Dalam alur studi Penulis mencari titik poros (axial) krusial etnogenesis atau proses kemenjadian suatu etnik. Penulis menemukannya dalam komponen utama teorisasi etnik yang dikemukakan oleh Fredrik Barth, yaitu ethnic

boundary. Ethnic boundary adalah ruang demarkasi imajinatif

etnik yang memagari entias etnik dan para anggotanya dalam perjumpaan dengan kelompok etnik yang lain. Ketika terjadi perjumpaan lintas etnik, mereka dilingkari oleh masing-masing etnik boundary. Di titik perjumpaan inilah terjadi proses dan dinamika negosiasi lintas etnik. Barth menekankan pada bagaimana masing-masing kelompok etnik berusaha memelihara wilayah batas etnik mereka. Ada titik-titik yang diizinkan oleh masing-masing pihak berlangsung perjumpaan dan berlangsung interaksi yang bisa membawa kepada modifikasi kekhasan kultural maupun segi-segi tertentu dari identitas sosial masing-masing kelompok. Proses sedemikian yang Penulis rumuskan sebagai dualitas proses, yakni penerimaan (inklusi) dan penolakan kritikal.

(38)

maintenance of ethnic boundary. Kelompok cenderung mempertahankan batas-batas terluar dari wilayah sosial-kulturalnya. Sebagian besar area batas etnik cenderung ditutup untuk melindungi kekhasan budaya dan identitas sosial. Itu berarti identifikasi berserta kekhasan-kekhasan kultural kelompok internal sangat diutamakan. Sementara proses dan dinamika negosiasi di wilayah luar, yakni dalam perjumpaan dengan kelompok lain cenderung diabaikan. Mekanisme pertahanan diri kultural menjadi sangat dominan. Bila larut ke dalam wilayah batas etnik lain, mereka akan kehilangan identitas sosial dan kekahasan kultural asal. Sisi ini sudah dikritik oleh antara lain R. Jenkins. Menurut Jenkins, karena terlalu fokus pada proses identifikasi internal kelompok Barth mengabaikan dan gagal menjelaskan dinamika kategorisasi sosial yang berlangsung di luar batas-batas sosial etnik. Jenkins telah menambahkan bahwa dalam proses-proses kategorisasi sosial lintas kelompok ini berlangsung tarung kekuasaan perebutan hegemoni kategori dan penguasaan sumber-sumber atau modal-modal sosial-kultural satu keompok atas kelompok lain. Tetapi Jenkins pun masih terikat pada konsep askripsi-diri dalam kelompok atau identifikasi kelompok dan askripsi oleh orang atau kelompok lain dalam proses kategorisasi sosial.

(39)

Untuk mengatasi kegamangan perjumpaan lintas etnik dan batas wilayah sosial-kultural ini, penulis menemukan dan mengajukan konsep dualitas inkorporasi. Konsep ini ditemukan dari pengalaman perjumpaan rumpun etnik Mbaham Matta dengan agama-agama dan otoritas-otoritas politik-ekonomi Kesulatanan Tidore dan Belanda. Dualitas inkorporasi menunjukkan bahwa etnik lokal, yang berposisi lebih lemah, pada satu sisi terinkoporasi ke dalam sistem sosial makro di mana terdapat aktor-aktor individual maupun kolektif integrasi sistemnya yang hadir melalui institusi raja. Tetapi mereka masuki dengan strategi khas, yakni inkorporasi lintas marga yang membentuk aliansi politik lokal yang menegaskan otoritas dan menjami kepentingan mereka. Pada pihak lain, rumpun etnik lokal menginkorporasi entitas agama-agama baru ke dalam ruang batas etnik lokal. Mereka menyediakan ruang-ruang sosial bagi agama-agama baru. Agama-agama dijalin ke dalam rajutan sistim kekerabatan dan aliansi lintas keluarga, marga, kampung dan agama. Dalam dualitas inkorporasi ini berlangsung proses-proses reidentifikasi sosial dan reafirmasi moralitas sosial mengikuti restrukturisasi sistem sosial mikro maupun makro serta restrukturasi socio-cultural structure.

(40)

Referensi

Dokumen terkait

IAIN Pontianak membuat standar mutu berjumlah 24 standar dengan mengacu pada SN Dikti. Standar Mutu ini terdiri dari Standar Mutu Pendidikan dengan jumlah 8 standar,

informasi yang terdapat dari sumber tertulis dan atau internet serta sumber lainnya untuk mendapatkan kesimpulan tentang masa kanak-kanak Pangeran

• Defisit perdagangan AS di Oktober mencapai level tertinggi di 10 tahun terakhir disebabkan penguatan dolar AS yang berdampak warga AS lebih banyak mengimpor (7/12) serta

Kompetensi Dasar Pembelajaran Materi Kegiatan Pembelajaran manfaat perkembangan peradaban Islam pada masa kejayaan.  Menyajikan

penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Corporate Social Responsibility Disclosure Pada Perusahaan Manufaktur

Eddy (2005) menyatakan bahwa salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan

Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mempertanyakan antara lain perbedaan antara berbagai ungkapan menyatakan dan menanyakan tentang niat melakukan sesuatu dalam bahasa

rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dengan baik untuk memenuhi syarat menyelesaikan pendidikan Diploma III pada jurusan Teknik