• Tidak ada hasil yang ditemukan

DASAR HUKUM ISLAM terpadu yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DASAR HUKUM ISLAM terpadu yang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR HUKUM ISLAM

A. SUMBER HUKUM ISLAM 1. Al-Qur’an

a. Pengertian Al-Qur’an

Secara etimologis, Al-Qur’an adalah mashdar dari kata qara’a yang artinya bacaan. Secara terminologis Al-Qur’an adalah:

متاخ ىلع لزنملازجعملا هللا ملكلااووهه نهاراقهلااو

ملسلا هيلع ليربج نيملا ةطساوب نيلسرملاوءايبنلا

دبعتملارتاوتلابانيلا لوقنملا فحاصملا ىف بوتكملا

سانلا ةروسب متتخملا ةحتافلا ةروسبودبملا هتولتب

“Alquran adalah Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas”1

b. Kehujjahan Al-Qur’an2

Semua ulama sependapat bahwa Al-Qur’an merupakan hujjah bagi setiap muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya mutawatir. Periwayatan Al-Qur’an sendiri, selain dilakukan oleh orang banyak dari satu generasi ke generasi yang sejak generasi sahabat Nabi, juga dilakukan dalam bentuk lisan dan tulisan, dimana tidak seorang berbeda pendapat dalam periwayatannya, padahal para perawi Al-Qur’an tersebut berbeda-beda suku, bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, keberadaan seluruh ayat Al-Qur’an bersifat pasti (qath’i ats tsubut) sebagai wahyu Allah.

c. Sifat Qath’i dan Zhanni Ayat-Ayat Al-Qur’an3

1H. Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hal. 11 2 Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: amzah, 2014), hal.117-119

(2)

Sebagaimana telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian keberadaan ayat-ayat Al-Qur’an, semua ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf Utsmani adalah bersifat qath’I ats-tsubut, yang keberadaannya pasti. Artinya, secara meyakinkan semuat ayat-ayat tersebut pasti bersala dari Rasulullah, dan tidak ada satu ayat atau satu kata pun di dalamnya yang berasal dari pemikirannya atau reka-rekaan sahabat. Sebab semua kata-kata dan ayat-ayatnya diriwayatkan secara

mutawatir dan melalui suatu verifikasi ilmiah yang sangat teruji, yang sampai sekarang belum ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitiannya. Dengan demikian, tidak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’anyang bersifat zhanni ats tsubut, yang keberadaanya tidak pasti.

Dalam pada itu, ditinjau dari segi tunjukan (dalalah) makna yang terkandung di dalamnya, dapat dibagi dua:

1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalalah 2) Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat zhanni ad-dalalah

Adapun yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya bersifat pasti, dalam arti, hanya mengandung satu makna saja. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang pokok-pokok keimanan, seperti tentang keesaan Allah, keberadaan dan misi para Rasul, tentang malaikat, kitab-kitab suci yang diturunkan dan tentang kepastian dating hari kiamat, tentang kewajiban-kewajiban utama sebagaimana yang dirumuskan dalam rukus Islam, dan beberapa masalah hukum Islam lainnya, seperti: haramnya riba dan makan babi. Tentang tujuan-tujuan utama persyariatan hukum Islam yaitu meraih manfaat kemaslahatan, serta menolak bahaya dan kemundaratan.

Selanjunya, yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat zhanni ad dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya mengandung lebih dari satu makna. Maskipun keberadaan teks/redaksi/nashsh semua ayat-ayat Al-Qur’an berdifat pasti, namun dari segi makna yang terkandung di dalamn ayat-ayatnya terdapat banyak makna ayat bersifat zhanni ad-dallah.

(3)

Masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan faktor yang paling dominan melahirkan ketidakpastian makna suatu ayat. Faktor kebahasaan ini, antara lain, lafal musytarak.

Contoh, surah al-Baqaraah (2):228:

وورهقه ةوثولولثو ن

ءءء

ن ههس

ه فهنأوبه ن

و

صص

بنروتويو ت

ه قوللنط

و مه وو

صلٱ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’

Dalam bahasa Arab, kata quru’ sebagaimana yang terdapat dalam ayat di atas dapat mengandung arti suci, dan dapat pula mengandung arti haid. Karena kedua makna tersebut sama kuat dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, mazhab asy-syafi’i berpendapat maknanya suci. Akibat hukumnya, menurut mazhab ini, masa ‘iddah wanita ditalak suaminya lebih pendek, jika dibandingkan dengan pendapat mazhab Hanafi yang berpendapat makna kata quru’ adalah haid.

2) Faktor rumusan-rumusan syara’

Faktor rumusan-rumusan syara’ ini, antara lain, berkaitan dengan naskh, tarjih, pertentangan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah ushuliyyah.

d. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk Penjelasan Hukum Al-Qur’an

Sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an sendiri, sebagai kitab wahyu, fungsi Al-Qur’an, antara lain:4

1) Sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa untuk keselamatan dan kebahagiannya di dunia dan di akhirat

2) Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untuk hidup dengan penuh kasih sayang, dan sebagai bukti bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang

3) Sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya tibyan (penjelasan) dan tafshil (pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia untuk kepentingan keselamtannya di dunia dan akhirat.

4) Sebagai furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat)

5) Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya.

Akan tetapi, meskipun Al-Qur’an bukan kitab undang-undang, namun di dalam fungsinya sebagai furqan, tafshil, dan tibyan, Al-Qur’an mengandung

(4)

ayat yang berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sumber hukum utama dan pertama dari hukum Islam, sebagaimana juga halnya udang-undang dasar suatu Negara, aturan yang ketentuan hukum yang terdapat di dalamnya, pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan pokok. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan tersebut dijabarkan oleh sunnah Nabi.

Ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an ada yang bersifat perintah, bersifat larangan, dan ada pula yang bersifat pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.

e. Ayat-Ayat tentang Hukum dalam Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum yang jumlahnya sangat berbatas itu, berisi aturan-aturan tentang hubungan manusia dengan hubungan Allah, hubungan antarsesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Ayat-ayat yang mengatur huubungan manusia dengan Allah disebut ibadah. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Adapun hubungan antara sesama manusia, secara garis besar tersebut dengan muamalah. Dalam kelompok ini, termasuk di dalamnya:

1) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah transaksi-transaksi bisnis (jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, gadai, dan upah) dan yang berkaitan dengan harta orang lain (muamalah dalam arti sempit)

2) Ketentuan-ketentuan tentang perkawinan (munakahat), dan yang berkaitan denganya, seprti: perceraian, talak, rujuk, pengasuhan anak, dan lain-lain. 3) Ketentuan-ketentuan tentang masalah kewarisan dan wasiat.

4) Ketentuan-ketentuan tentang hukum pidana (jinayat), seperti: pencurian perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan dan perzinahan, dan semua masalah yang berkaitan dengan kejahatan terhadap harta dan seksual.

5) Ketentuan-ketentuan tentang peradilan.

6) Ketentuan-ketentuan tentang masalah politik dan tata Negara (siyasat dan dusturiyyah).

7) Ketentuan-ketentuan tentang.

(5)

Sebagaimana telah dijelaskan, mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum bersifat terbatas, maka sebagian besar dari masalah-masalah di atas diatur dalam bentuk garis besarnya dan dasar-dasar pokoknya saja. Ketentuan yang lebih terperinci memerlukan penjelasan dari hadis maupun ijtihad, baik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis

Meskipun ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum bersifat terbatas dan sebagian besar hanya mengatur dasar-dasar dan masalah pokok saja, namun karena Al-Qur’an berkedudukan sebagai sumber hukum utama, maka semua ketentuan yang ada di bawahnya, baik berupa hadis, apalagi ijtihad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an.

2. Sunnah

a. Pengertian Sunnah

Sunnah ialah apa yang bersumber dari Rasul, perkataan, atau perbuatan, atau ketetapannya.5

Ditinjau dari segi etimologi, makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain. Sementara secara terminology, makna kata sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu sebagai berikut:

1) Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis, yaitu: sesuatu yang dinishabkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau tentang suatu peristiwa.

2) Menurut para ahli usul fiqh, sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.

3) Menurut ahli fiqh, makna sunnah mengandung dua pengertian, yang pertama sama dengan yang dimaksud oleh ahli ushul fiqh. Sedangkan pengertian yang kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak berdosa. 6

Meskipun ketiga kelompok ahli disiplin ilmu di atas berbeda pendapat dalam mendefenisikan sunnah, namun mereka sepakat bahwa dalam bidang

5 Syekh, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012) hal. 37

(6)

agama, hanya Rasulullah yang dapat menjadi sumber sunnah. Sebab hanya beliau saja yang bersifat ma’shum (bebas dari kesalahan), sedangkan manusia lainnya tidak ma’shum, sehingga tidak dapat menjadi sumber ajaran agama Islam.

b. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam

Kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan meneladani Rasulullah, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an. Dari sisi yang pertama dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.7

Melalui Al-Qur’an, Allah memerintahkan kepada kita untuk menempatkan kepatuhan kepada-Nya sama dengan kepatuhan kepada Rasul-Nya. Alllah berfirman dakam surah an-Nisa’ (4): 80

هههه لوعو ك

و نول ههس

و أ

و اههموفو ىللنووههتو نههمووو ههلنل عواطوأو قوفو لووسهرنل عهطهيه نمن

صم صي

صل صر

ههه ٱ

صد

ٱ

اظ

ظ يفهحو

٨٠

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka

Demikian juga dalam surah an Nisa’ (4): 59

يلهواأهوو لووس

ه رنل ااوعهيط

ٱ

ه أووو هولنل ااوعهيط

ٱ

ه أو ااوونهمواءو ن

و يذهلن اهوييأ

ٱ

و يلوو

ههلنل ىلوإه ههوديرهفو شو يفه ته زونولتو نإهفو كهنمه ره أ

ٱ

ءءصي

صم صع

هصم

صم صلٱ

و

خو ك

و لهذول خهأو م

ه يو وو ههلنل به ن

و ونهمه ته تهنك

ه نإه لهوسهرنل وو

ررصي

ءرر صلٱ صو صلٱ

ٱ

صؤ صم

ٱ

لليوه تو نهس

صأ

و

صح

أووو

٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Disamping itu, selain Allah memuji akhlak Rasullah, sebagai mana terdapat dalam surah al-Qalam (68): 4

(7)

يظ

مء

ه ع

و ق

ق لهخه ى

ل لوعولو ك

و ننإهوو

٤

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”

Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat jelas, kepatuhan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah. Dalam pada itu, tentu saja mematuhi dan meneladani Rasulullah berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan beliau. Bahkan Al-Qur’an menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan Rasulullah.

Dari sisi lain, tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh kepada ajaran-ajaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tanpa mempercayai kebenaran Rasulullah dan mematuhi beliau. Sebab, sampainya Al-Qur ’an kepada seseorang melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan Allah melalui Jibril kepada beliau.8

Selanjutnya, kedudukan sunnah sebagai sumber dan dalil ditinjau dari segi fungsi sunnah dapat diuraikan sebagai berikut.

Sebagaimana telah dijelaskan, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hukum sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-hal yang pokok dan mendasar. Al-Qur’an yang mendasar dan pokok itu pun memerlukan penjelasan yang lebih lanjut untuk dilaksanakan. Pejelasan itu didapat di dalam sunnah.

Sunnah yang menerangkan, wajib diikuti, karena bersumber dari Rasul. Adapun sunnah itu dinishabkan kepada Al-Qur’an. Dan dari segi hujah, maka orang harus kembali kepada Al-Qur’an, untuk mengambil kesimpulan hukum syryri’. Sebab para mujtahid belum akan kembali kepada sunnah untuk membahas suatu peristiwa, kecuali bila tidak terdapat dalam Al-Qur’an hukum-hukum yang dibutuhkan itu. Karena Al-Qur’an itulah sumber tasyri’ dan menjadi sumber

(8)

pengembilannya yang pertama. Apabila tidak terdapat nash hukumnya dalam Al-Qur’an maka baru orang kembali kepada sunnah.

Sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber dan dalil hukum Islam, setelah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama. Secara lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi sunnah sebagai penjelas (al bayan) terhadap Al-Qur’an terdiri sebagai berikut.

1) Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-qur’an

Penjelasan sunnah terdapat maksud Al-Qur’an dapat pula lebih diperinci sebagai berikut.

a) Memerinci ketentuan-ketentuan hukum Al-Qur’an yang disebutkan secara garis besar

b) Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al-Qur’an. 2) Mentakhshish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum

3) Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an

4) Menetapkan hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat dalam Al-Qur’an

3. Ijma’

a. Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukan kepada semua orang Mujtahid diwaktu terjadinya.9 Para Mujtahid itu sepakat

memutuskan/ menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan ikma’. Ijma’ mereka itu adalah suatu I’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum itu adalah adil terhadap suatu masalah. Defenisi ini adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang menjadi sumber tasyri’.

Ijma’ mengandung beberapa unsur sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).

Apabila ada ulama yang menolak kesepakatan tersebut, maka kesepakatan dari yang lainnya tidak dapat disebut ijma’. Berdasarkan unsur yang pertama ini dapat pula diketahui, ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh

(9)

ulama yang ada, tanpa pembatasan wilayah atau Negara, dan / golongan tertentu. Karena itu, jika ada ulama dari golongan atau Negara tertentu yang tidak sepakat, maka ijma’ tidak terwujud.

b. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan jelas. Berdasarkan unsur ini, jika ada ulama mujtahid yang diam-diam berbeda pendapat dengan para ulama mujtahid lainnya. Ijma’ juga tidak terwujud.

c. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid d. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.

e. Yang disepakati ini adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/ peristiwa hukum tertentu.

b. Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah

Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah bersifat qath’I (pasti). Artinya ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama menempatkan ijma’ sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan sunnah. Menurut jumhur ulama. Dalil ijma’ sebagai hujja yang pasti, didasarkan atas alas an-alasan sebagai berikut.

Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4): 115

رو غو بهتنيووو ى

صي صع

ل دوهه ههلو ن

صلٱ

و ينبوتو امو ده بو مه ل

صع نن

و وس

ه رنل ق

ٱ

ه قهاش

و يه نمووو

ءواههس

و وو ههننهوجو ههله نهوو ى

ل لنووههتو اههمو ههللووههنه ن

و ينهمه ههمه ل

ه يبهس

و

صت

ههم

ۦۦۦۦ ۦۦ

صص

ۦ

صؤ صلٱ

ارليص

ه مو

١١٥

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali

(10)

orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang-orang-orang mukmin adalah wajib. Dengan demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.

Firman Allah pada surah al-baqarah (2): 143:

س

ه

اههننل ىههلوع

ٱ

و ءوادوهوههش

ه ااوههنهوك

ه تولل اط

ظ س

و وو ةظمنأ

ه كهنول عوجو كولهذولكووو

صم صل

ت

و نك

ه يتهلن ةولو قه انو عوجو امووو دظيههشو كه لوعو لهوسهرنل نووكهيووو

ٱ

صب صلٱ صل

اا

صم صي

ٱ

بوقهعو ى

ل لوع

و ب

ه لهقونيو نمنمه ل

و وس

ه رنل عهبهتنيو نمو مولو نوله لنإه اهو لوعو

ءرهصي

ٱ

صع

صي

ههههلنل نواههكو امووو لنل ىدوهو ن

ٱ

اهه ٱ

و يذهلن ىلوع

ٱ

و لنإه ةلرويبهكولو نواكو نإهوو

صت

يحهرن وءهرولو س

مر

فر

ه

اننل به هولنل ننإه كهنوموليإه عويض

ٱ

ٱ

ءصم

ه يهله

١٤٣

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia

Kata al-watsh (pertengahan) pada ayat di atas mengandung arti adil dapat terpilih. Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah al-haaq (kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat Islam yang adil dan terpilih, maka yang sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.

(11)

Ialah adanya kesepakatan pendapat para mujtahid, dimana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai hukum dari suatu masalah tertentu. Ijma’ dalam bentuk pertama ini dapat terjadi, dengan cara berkumpulnya seluruh ulama mujtahid dalam suatu tempat, kemudian masing-masing mereka menyatakan pendapat mengenai suatu masalah tertentu, dimana pendapat mereka itu ternyata sama.

2) Ijma’ Sukuti

Ialah adanya sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu dan waktu tertentu pula, sementara sebagian ulama lainnya, setelah mengetahui pendapat ulama tersebut, mengembil sikap dan tidak menyatakan penolakan atas pendapat tersebut.

Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’ yang pertama, yaitu ijma’ sharih sebagai ijma’ dan merupakan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ijma’ bentuk kedua atau ijma’ sukuti. Mazhab asy-syafi’i dan Malikiyyah berpendapat ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat menjadi hujjah. Sementara mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad berpendapat ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan menjadi hujjah.

Dalam hal itu untuk menerima ijma’ sukuti sebagai ijma’ yang menjadi hujjah. Hanafiyah dan Malikiyyah mengemukakan 5 syarat sebagai berikut.

 Diamnya para ulama itu tidak diiringi dengan tanda-tanda tidak setuju atau setuju.

 Pendapat yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijma’ tersebar sedemikian rupa, sehingga siketehui oleh ulama mujtahid.

 Terdapat waktu yang cukup bagi ulama yang diam itu untuk melakukan penelitian dan pembahasan terhadap masalah tersebut

 Masalah yang menjadi objek ijma’ adalah masalah yang bersifat ijtihadiyyah.

 Tidak terdapat halangan atau tekanan dan ancaman bagi mereka yang diam untuk menyatakan pendapat mereka secara bebas.

d. Mustanad (Sandaran) Ijma’

(12)

Pertama, jumhur ulama berpendapat, setiap ijma’ harus memiliki mustanad, baik berupa dalil nashsh Al-Qur’an maupun sunnah, ataupun khabar ahad maupun qiyas. Setiap fatwa hukum, yang kemudian menjadi ijma’ yang tidak memiliki mustanad adalah salah, karena hal itu berarti menetapkan hukum agama tanpa dasar. Allah berfirman pada surah al-Isra’ (17): 36

دواؤوههفه وو روههص

صلٱ

و بو وو عو س

صلٱ

صم ٱ

ن ل ن

ن إه عه ههبه ك

ءممصل ۦ

و لو س

و

صي

لو امو ف

ه

صق

تو لووو

لظو مو هه عو ن

‍ه‍صس

صن

و اك

و ك

و ئهللووواأه ليكه

٣٦

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya

Contoh ijma’ yang mustanad-nya adalah dalil nashsh ialah, terjadinya ijma’ terhadap ketentuan haramnya menikahi nenek dan cucu. Mustanad ijma’ atas ketentuan tersebut adalah firman Allah pada surah an Nisa (4): 23

ك

صم

ه تهانوبووو كهتههولمنأه كه لوعو مورلحه

صم

صم صي

صت

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan

Para ulama telah melakukan ijma’ bahwa yang dimaksud dengan umahat dalam ayat di atas mencakup pengertian nenek dan seterusnya dalam garis lurus ke atas. Sedangkan kata banat dalam ayat di atas, mencakup pengertian cucu dan seterusnya dalam garis lurus ke bawah.

Adapun contoh ijma’ yang mustanadnya adalah sunnah ialah, dalam masalah warisan. Nenek mendapat bagian seperenam dari harta warisan cucunya, menempati kedudukan bagian ibu, jika ibu telah lebih dahulu meninggal dunia. Hal ini didasarkan atas sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah memberikan bagian warisan perenam kepada nenek.

ركب يبأ ىلإ بلا مأو ملا مأ ةدجلا تءاج لاق رمع يبأه نهببا انهثهدهحه

باتك يف يل نأ تربخأ دقو تام يتنب نبا وأ ينبا نبا نإ تلاقف

تعمس امو قح نم باتكلا يف كل دجأ ام ركب وبأ لاقف اقح هللا

سانلا لأس لأسو ءيشب كل ىضق ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر

(13)

نب دمحم لاق كعم كلذ عمس نمو لاق سدسلا اه اطعأ ملسو هيلع

سدسلا اهاطعأف لاق ةملسم

Menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar, ia berkata: “Datang seorang nenek (dari pihak ibu dan dari pihak ayah seseorang) kepada Abu Bakar dan berkata: “ cucu saya telah wafat, da nada orang yang menjelaskan kepada saya bahwa saya berhak mendapatkan warisan menurut ketentuan Al-Qur’an “Abu bakar berkata: “saya tidak menumukan hak Anda, baik menurut Al-Qur’an maupun yang dengar dari Rasulullah yang menetapkan hak itu, tapi saya akan menanyakan kepada sahabat yang lain. Ia pun menenyakan hal itu kepada masyarakat. Al Mughirah bin asy syu’bah kemudian bersaksi bahwa Rasulullah memberikan bagian nenek seperenam. Abu Bakar bertanya “ siapa yang mengetahui hal itu selain Anda?” Al Mughirah menjawab: Muhammad bin Maslamah “ kata Ibnu Abi Umar: “Maka Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenenk tersebut.”

Sedangkan contoh ijma’ yang mustanadnya qiyas ialah, haramnya lemak babi, karena diqiyaskan kepada dagingnya, berdasarkan firman Allah pada surah al Maidah (5):3

ههبه ههلنل ره غوله لنههأه امووو رهيزهنخه مه لووو مهدنل وو ةهتو مو مهكه لوعو مورلحه

ۦ

ٱ صي

صلٱ صح

ٱ

صي صلٱ

صي

صت

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah

Kedua kelompok yang berpendapat, untuk terjadinya ijma’, tidak dipersyaratkan adanya musnad. Ijma’ dapat saja terjadi meskipun tanpa mustanad, asalkan terdapat kesepakatan pada umat Islam, dimana hal itu terjadi melalui ilham yang diilhamkan Allah kepada mereka yang melakukan kesepakatan untuk menemukan kebenaran.

(14)

juga berupa dalil zhanni, dalam bentuk hadis ahad maupun qiyas. Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat mustanad ijma’ hanya dapat diakui apabila berupa dalil yang besifat qath’i. Dengan demikian, hadia ahad dan qiyas tidak dapat menjadi mustanad ijma’.

4. Qiyas

a. Pengertian qiyas

Qiyas secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara keduanya. Menurut ulama ushul fiqih, qiyas adalah mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnyalantaran ada persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa.10

b. Unsur-Unsur Qiyas11

1) Al-Ashl (Dasar/Pokok)

Adapun yang dimaksud dengan al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nashsh, baik nashsh tersebut berupa Al-Qur’an maupun sunnah.

Mengenai unsur pertama ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut.

 Al-ashl tidak mansukh,. Artinya, hukum syara’ yang akan menjadi sumber pengqiyasan itu masih berlaku pada masa hidup Rasulullah. Apabila telah dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.

 Hukum syara’

 Bukan hukum yang dikecualikan.

Sebagai contoh dari unsur pertama ini ialah, haramnya khamr. Khamr diharamkan berdasarkan firman Allah. Sebagaimana terdapat dalam surah al-Maidah (5): 90:

ب

ه اههص

و نأ

و وو رهههسه مو وو ره خو اههموننإه ااوونهمواءو نويذهلن اهوييأويلوو

صلٱ

صي صلۦۦۦٱ ۦۦ

صم

صلٱ

ٱ

هك

ه لنعولو ههوبهنهتو فو نهط

ول

هش

ن ل ل

ه هموع

و همل

ره مهلول أ

و وو

صم

صجٱ

صي

ٱ

صن ۦۦۦسرۦۦ

صج

صز صلٱ

ن

و وح

ه له ته

صف

٩٠

10Abdul wahab khallaf, Ushul Fiqh, (Bandung: Balai pustaka, 1996), hal 92-93

(15)

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan

Berdasarkan persyaratan unsur pertama di atas, kita dapat berkata, keharaman khamr dapat menjadi al-ashl untuk menetapkan hukum haram minuman memebukan lainnya, sebab syarat-syarat al-ashl terpenuhi, dimana ketentuan haramnya khamr adalah berdasarkan nashsh Al-Qur’an, tidak mansukh, ayat tersebut jelas berbicara hukum syara’ dan tidak termasuk hukum yang dikecualikan.

2) Al-Far’u

Adapun yang dimaksud dengan far’u ialah, masalah yang hendak di qiyaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Para ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut

 Sebelum diqiyaskan tidak pernah ada nashsh lain yang menetukan hukumnya.

 Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang terdapat dalam far’u

 Tidak terdapat dalil qath’I yang kandungannya berlawan dengan al-far’u

 Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang terdapat dalam al far’u.

3) Hukum Ashl

Adapun yang dimaksud dengan hukum ashl ialah, hukum yang terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertentu, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah. Terhadap unsur ketiga ini, para ulama mengatakan, syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.

 Hukum tersebut adalah syara’

 ‘illat hukum tersebut dapat ditemukan; bukan hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah-nya.

 Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushushiyyah Rasulullah

 Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya Rasulullah; bukan ketentuan hukum yang sudah dibatalkan (mansukh)

(16)

‘illat ialah siafat ayng terdapat pada ashl (poko) yang menjadi dasar dari pada hukumnya, dan denagn sifat tersebut dapat diketahui adanya hukuman pada far’u (cabangnya). Sedangkan menurut para ahli ilmu ushul fiqh dengan perkataan mereka :‘illat ialah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum.12

Sedangakan pengertian ‘illat pada buku Abd Rahman Dahlah, ‘illat ialah, suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum. Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian yang mendalam,, bahwa tujuan Allah dalam menetapkan setiap hukum adalah mewujudkan kemaslahatan bagi hamba-hambaNya, yaitu dengan meraih manfaat dan menghindarkan bahaya dan kemudaratan bagi hamba. Para ulama menetapkan beberapa syarat terhadap suatu ‘illat hukum, agar dipandang sah sebagai ‘illat, yaitu sebagai berikut.

 Zhahir, yaitu ‘illat mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata.

 ‘illat harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan tujuan hukum.

 Mundhabithah, yaitu ‘illat mestilah sesuatu yang dapat di ukur dan jelas batasnya.

 Mula’im wa munasib, yaitu suatu ‘illat harus memiliki kelayakan dan memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang sebagai’illat

 Muta’diyyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya.

c. Landasan Qiyas Sebagai Dalil Hukum

Kedudukan qiyas sebagai dalil penetapan hukum dipahami jumhur ulama dari beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah serta atsar ash shahabi, sebagai berikut. 1) Dalil dari Al-Qur’an

Firman Allah pada surah an-Nisa’ (4): 59

يههلهواأهوو لووههس

ه رنل ااوههعهيط

ٱ

ه أووو هولنل ااوعهيط

ٱ

ه أو ااوونهمواءو ن

و يذهلن اهوييأ

ٱ

و يلوو

ههههلنل ىههلوإه ههوديرهههفو ههشو يههفه ههته زونولتو نإهههفو ههكهنمه ره أ

ٱ

ءءصي

صم صع

ۦۦۦهصم

صم صلٱ

ۦۦ

و

(17)

خو ك

و ههلهذول ههخهأو م

ه ههيو وو ههلنل ههبه ن

و وههنهمه ته تهنك

ه نإه لهوسهرنل وو

ۦۦررۦۦصي

ءرر صلٱ صو صلٱ

ٱ

صؤ صم

ٱ

لليوه تو نهس

صأ

و

صح

أووو

٥٩

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Melalui ayat diatas Allah memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat tentang suatu masalah di antara kaum muslimin, agar mencari penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasulullah (sunnah). Cara merujukkannya kepada Al-Qur’an dan sunnah adalah melalui metode qiyas.

2) Dalil dari Sunnah

Adapun dalil penggunaan qiyas yang berasal dari sunnah, antara lain, sebagai berikut.

Hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari

ملسو هيلع هللا ىلص يبنلا ىلا تءاج ةأرما نأ سابع نبا نع

ناك ول لاقف اهنع ةيضقأفأ رهش موص اهما ىلع ناك هنإ تلاقق

نأ قحأ هللا نيدف لاق معن تلاق هتيضاق تنكأ نيد كمأ ىلع

ضقي

Dari Ibnu Abbas bahawa seorang wanita menghadap Rasulullah saw dan bertanya tentang kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum ditunaikan ibunya itu: “Apakah saya dapat melaksanakannya atas namanya? Maka Rasulullah balik bertanya: jika ibumu mempunyai utang, apakah anda akan membayarnya?”wanita itu menjawab: “Benar” Rasulullah bersabda: “ Utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.

(18)

dan hutang kepada Allah. Karena itu, qiyas merupakan salah satu institusi yang legal dalam menetapkan hukum Islam.

3) Dalil dari Atsar ash-Shahabi

Adapun menganai dalil qiyas yang berasal dari atsar ash-shahabi, antara lain, ialah sebagai berikut.

 Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama dalam Islam

 Surat Umar kepada Abu Musa 4) Dalil dari logika

Adapun dalil qiyas yang berasal dari logika , setidaknya dapat diuraikan dari dua sisi sebagai berikut.

Pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan Allah selalu rasional. Dapat dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illat untuk mencapai kemaslahatan. Tiada ada satu hukum pun di dalam Islam yang tidak terdapat kemaslahatan manusia di dalamnya, baik kemaslahatan di dunia maupun akhirat. Sebab kemaslahatan manusialah yang menjadi tujuan akhir dari setiap ketentuan hukum Islam.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah-satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional,hukum islam sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang ada padanya,dapat

Selain itu, adanya Undang-Undang Sultan Adam yang terdiri dari 31 pasal yang berisi tentang hukum Islam, hukum acara Peradilan Islam, hukum agraria, hukum fiskal, hukum pidana,

Menurut tinjauan hukum pidana Islam, ketentuan sanksi hukum menurut Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dapat dikatakan sesuai dan

Pertama tahap formulasi penegakan hukum melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang yaitu pasal 263 KUHP dan Pasal 103 ayat (1)

Menurut ketentuan dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya dengan

Di jelaskan bahwa, ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHP berisi bahwa undang-undang menetukan terhadap pelaku tindak pidana-tindak pidana perzinaan yang diatur dalam

Pada ayat (1) disebutkan:”Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam ba- tas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.” Ayat (2)

Ini sangat dimungkinkan, bahwa memang benar al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama dan paling utama tidaklah memuat seluruh persoalan-persoalan hukum, akan tetapi, ia memberikan