• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orang Bajo Dan Komunitas Lokal Studi Ten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Orang Bajo Dan Komunitas Lokal Studi Ten"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara geografis wilayah Indonesia terdiri atas 17.508 pulau yang terbentang dari Pulau Weh di sebelah barat sampai Papua di timur; dan dari Pulau Miangas di utara sampai Pulau Rote di selatan. Gugusan pulau-pulau tersebut tersebar di sebuah kawasan laut yang disebut Nusantara, dengan luas keseluruhannya mencapai 5,8 juta km2. Dari luas 5,8 juta km2 tersebut, 3,9 juta km2 atau 2/3 di antaranya adalah wilayah laut dan hanya 1,9 juta km2 atau 1/3 saja wilayah daratan. “Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia, dengan total garis pantai 81.000 km.1

Dengan luas wilayah geografis yang demikian, maka tidak mengherankan apabila di Indonesia terdapat banyak suku bangsa, seperti Bugis, Makassar, Buton, Bajo, Jawa, Minangkabau, Batak, dan sebagainya yang masing-masing mempunyai bahasa, adat istiadat serta kebudayaan sendiri-sendiri. Dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan di Indonesia diwarnai oleh kehadiran berbagai suku bangsa tersebut yang salah satu di antaranya adalah suku Bajo. Komunitas Bajo ini hidupnya terpencar di berbagai perairan Nusantara seperti Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pola hidup mereka relatif sama yaitu hidup

(2)

berpindah-pindah di atas perahu atau rumah tancap di atas tebing laut yang jauh dari pemukiman komunitas lokal.2

Bagi orang Bajo, lautan yang luas merupakan tempat pertemuan dan berinteraksi di antara mereka, sebagaimana daratan yang luas bagi suku lain. Dengan cara hidupnya yang unik ini, orang Bajo dipandang khas dan unik oleh orang luar. Kekhasan mereka antara lain tercermin dalam bahasa pergaulan mereka, yang merupakan expresi dari pada kesatuan mereka sebagai kelompok. Selain itu, bagi orang Bajo laut juga dijadikan sebagai tempat belajar dan tempat hidup atau tempat tinggal dan tempat mencari nafkah.3

Pemukiman orang Bajo sebahagiaan besar sudah menetap, namun wilayah pemukiman yang mereka pilih masih di atas laut dan pesisir pantai. Pemukiman orang Bajo di Pulau Sulawesi, tersebar di sekitar perairan Kendari, Kepulauan Togean, Selat Tiworo, Kepulauan Wakatobi, perairan Manado dan di Teluk Bone. Walaupun mereka tinggal berjauhan dan tersebar di berbagai pulau, mereka masih menjalin hubungan kekerabatan satu sama lain. Orang Bajo telah hidup secara menetap dan mengelompok di daerah-daerah pesisir termasuk dalam kelompok orang Bajo yang telah mengikuti program pemukiman sosial yang diselenggarakan oleh Kementerian Sosial RI.4

2 Abdul Manan, Rekam Jejak Suku Bajo Perahu. (Sultra Kekar Bajo. 2011. Hlm. 17.

3 Abd. Latif Bustami, Rumusan Seminar Nasional; Upaya Pemberdayaan Mayarakat Bajo Wakatobi. (Sultra: 2011). Hlm. 5

(3)

Suku Bajo bersama masyarakat adat lainnya telah dihargai dan dilindungi melalui penguataan hukum yaitu Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-3-K) dan telah ditindak lanjuti dengan implementasi kebijakan yang berpihak pada tindakan affirmatif.5

Sebagai suatu komunitas yang hidup di laut, orang Bajo menggantungkan kehidupannya pada hasil laut. Oleh karena itu, pada umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumber daya alam laut, sedangkan komunitas yang di darat dengan segala potensi sumber daya alamnya kurang mendapat perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik.6

Bajo merupakan sebutan awam. Nama asli komunitas ini adalah “Sama” orang Bajo hanya mengenal tiga arah mata angin, yakni napa (utara), bara’ (barat) dan selatang (selatan). Meskipun mereka hanya mengenal tiga arah mata angin, namun belum pernah mereka tersesat di laut. Alat transportasi mereka adalah perahu jenis “Soppe”, sejenis perahu yang memiliki kemiripan dengan perahu yang digunakan masyarakat di Kepulauan Riau. Dahulu dan sekarang masih dijumpai Soppe yang sekaligus berfungsi sebagai tempat hunian mereka. Orang Bajo sejak dahulu terkenal sebagai pengembara ulung.

Orang Bajo merupakan suku bangsa maritim yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Pada umumnya orang Bajo sulit menyatu

5Abd. Latif Butami. Op Cit.

(4)

dengan penduduk setempat dan enggan untuk tinggal di darat. Mereka lebih suka hidup terpisah dari komunitas yang lain dan tinggal di laut. Masyarakat suku Bajo kerap disebut gipsi laut karena hidupnya berpindah-pindah. Namun berbeda, komunitas Bajo di Wanci kini telah membaur dengan masyarakat setempat dan bermukim di darat.7 Menurut Padbrugge bahwa:

“Orang Bajau merupakan (suatu campuran dari bemacam-macam bangsa, paling kasar dan paling nyaring suaranya kalau diberi minum arak; kebanyakan di antaranya adalah orang Cina dengan janggut panjang, orang Jawa dengan janggutnya yang telah dicabut, Orang Makassar dan lain-lain (bangsa) yang giginya diasah, dan berbagai macam lagi orang Bali, orang Melayu dsb, malahan ada yang kelihatan memberi hormat yang patuh yakni dengan memberi sembah yang baik dengan merendahkan kakinya seperti cara kita (Belanda) sehingga kami menarik kesimpulan bahwa ia pernah berkenalan atau berdiam bersama dengan orang Belanda kalangan tinggi, dan kami beranggapan bahwa ia adalah budak yang melarikan diri; akan tetapi karena mereka merasa bahwa kami mengamati orang itu saja, maka ia tak pernah muncul lagi.”8

Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu dari lima provinsi yang terletak di Pulau Sulawesi. Ibu kotanya Kendari. Banyak suku bangsa yang merupakan penduduk asli provinsi ini, misalnya suku bangsa Tolaki, Wawonii, Moronene, Muna, Kulisusu, Wolio, Ciacia, dan Wakatobi. Sedangkan suku bangsa yang merupakan penduduk pendatang seperti Suku bangsa Bugis, Bajo, Toraja dan Jawa.

Desa Mola merupakan salah satu perkampungan Suku Bajo di Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang kini mulai berubah di tengah arus perkembangan zaman. Sebagian warga Bajo tidak lagi hidup di atas

7 Hasirun Ady. Ayo, Jalan-Jalan ke Wakatobi. (Makassar: Pustaka Refleksi. 2011) Hlm. 47

(5)

laut lepas, mereka kini sudah mempunyai tempat tinggal tetap di darat. Bahkan hampir semua memiliki alat teknologi elektronik, seperti televisi. Dimana masyarakatnya mayoritas beraktivitas sebagai nelayan. Sebagai nelayan tentunya sumber pendapatannya berasal dari laut dengan berbagai peralatan yang bergantung pada hasil tangkapan yang diperoleh.9

Di Wakatobi komunitas Bajo tersebar di beberapa tempat. Ada Bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain. Sehingga Suku Bajo selalu ditemukan di hampir semua negara Asia Tenggara yang memiliki pesisir pantai.10

Orang Bajo Mola dahulunya berasal dari Mantigola (Kaledupa). Namun daerah tempat tinggalnya selalu diganggu oleh segerombolan gerilyawan (DI/TII). Oleh sebab itu, perpindahan orang Bajo Kaledupa ke Wakatobi, yaitu ingin mencari tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman. Namun, perpindahan Orang Bajo ke Wakatobi tidak begitu saja, mereka dahulu harus melakukan nego dengan para sara adat yang berada di Wakatobi, seperti sara Wanci, Mandati, dan Liya.

Orang Bajo yang berada di Desa Mola dulunya dianggap masyarakat primitif. Pada mulanya, orang Bajo tinggal di dalam Laut atau di pinggir pantai yang jauh dari pemukiman penduduk lokal, mereka

9 http://www.antarafoto.com/foto-cerita/v1299218116/0/cerita-dari-bajo-mola4/32011 12:55 sejak dulu. diakses pada tanggal 10 0ktober 2011.

(6)

menjalani hidupnya di atas perahu sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya, serta rumah-rumah tancap. Mereka hanya berinteraksi dengan satu sama lainnya yang berada di lingkungan mereka sendiri. Karena mereka menutup diri dengan masyarakat lokal yang ada di darat. Bagi komunitas Bajo laut dijadikan sebagai sumber mata pencaharaian (kehidupan). Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads atau sea gpysies.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman orang Bajo yang berada di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi tersebut tidak lagi seperti orang Bajo yang berada di daerah lain. Mereka kini telah banyak mengalami perkembangan dalam hal hidup maupun dalam akivitas mereka sehari-hari selama mereka tinggal di darat. Hal itu, disebabkan karena pola pikir mereka yang ingin lebih maju serta lebih baik dari sebelumnya. Serta mereka juga ingin seperti komunitas lokal yang berada di darat. Hal ini tentu saja membawa dampak lebih baik buat kesejahteraan orang Bajo.

(7)

kehidupan mereka seperti tempat ibadah (mesjid), listrik, poskesdes, koperasi, sekolah, pasar dan instalasi air bersih. Dimana perkampungan ini dibangun di atas laut dengan timbunan batu karang.

Selain itu, kini juga telah banyak perubahan yang dialami oleh komunitas Bajo. Sebelum orang Bajo di darat mereka hanya berinteraksi satu sama lainnya di laut. Namun, setelah orang Bajo di darat mereka lebih intensif berinteraksi dengan komunitas lokal yang ada di darat. Seperti halnya dalam hal hubungan sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Walaupun tidak semua orang Bajo yang lainnya mengikuti perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupan mereka. Tetapi, dengan perubahan yang dialami orang Bajo di desa tersebut membawa mereka hidup lebih baik, aman dan sejahtera dibanding waktu mereka masih di laut lepas.

Keberadaan orang Bajo yang berada di Desa Mola telah menjadi perhatian besar pemerintah setempat. Pemerintah pun kini telah lebih memperhatikan kesejahteraan serta kemajuan orang Bajo yang berada di Desa Mola. Sebab, Pemerintah telah memberikan bantuan-bantuan buat kesejahteraan orang Bajo itu sendiri, karena komunitas Bajo yang berada di Desa Mola itu sendiri merupakan perkampungan Bajo dengan jumlah penduduk yang terbanyak se-Indonesia.

(8)

pemerintah memberikan bantuan buat kelayakan serta kesejahteraan orang Bajo yang berada di Desa Mola tersebut. orang Bajo di dominasi usia 0-24 tahun yang berarti laju pertumbuhan penduduk kedepannya akan tergolong tinggi. Hal ini dikarenakan usia penduduk tersebut merupakan penduduk yang akan menghasilkan generasi-generasi baru, yang nantinya berpotensi menggunakan sumberdaya laut.

Perkampungan Bajo yang berada di Desa Mola itu sendiri, sudah seperti kota. Sebab pemerintah telah mengarahkan jalur pusat kota itu sendiri tidak jauh dari pada perkampungan Bajo itu. Walaupun, perkampungan Bajo itu masih berada di dalam Desa Mola. Namun komunitas Bajo menyebut tempat tinggal mereka seperti Dualistis yaitu kota-desa, desa-kota.

Keberadaan orang Bajo di Desa Mola Kabupaten Wakatobi itu sendiri hingga sekarang masih banyak orang yang belum mengetahui secara pasti keberadaan serta perkembangan ataupun perubahan yang dialami orang Bajo di Desa Mola.

(9)

Berdasarkan penjelasan diatas yang dipaparkan, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam tentang kehadiran orang Bajo di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi dalam kurung waktu (1975-2010).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah “Bagaimana perkembangan serta perubahan orang Bajo ditengah-tengah komunitas lokal di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Permasalahan ini kemudian dirinci dalam beberapa sub permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana latar belakang keberadaan orang Bajo di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ?

2. Bagaimana perkembangan orang Bajo ditengah-tengah komunitas lokal di desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ? 3. Sejauhmana perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik

orang Bajo dalam interaksi mereka dengan komunitas lokal di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi?

4. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan orang Bajo di Desa Mola ?

C. Batasan Masalah

(10)

diakhiri pada tahun 2010, karena pada tahun 2010 akitivitas ataupun kehidupan orang Bajo mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Secara spasial penelitian ini hanya di batasi pada wilayah administratif Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Secara tematik pembahasan penulisan ini dibatasi hanya pada kehadiran orang Bajo dan perubahan-perubahan yang terjadi pada orang Bajo di tengah komunitas lokal di Desa Mola.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang keberadaan orang Bajo di Desa Mola.

2. Untuk mengetahui perkembangan orang Bajo ditengah-tengah komunitas lokal.

3. Untuk mengetahui perubahan kehidupan sosial, ekonomi, budaya serta politik orang Bajo dalam interaksi mereka dengan komunitas lokal 4. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan

komunitas Bajo.

E. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

(11)

pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten dalam meningkatkan kesejahteraan orang Bajo. Agar supaya mereka bisa hidup layak seperti komunitas lokal yang berada di darat.

b. Sebagai tambahan informasi pada masyarakat Bajo yang berada di tempat lain mengenai perkembangan dan perubahan yang dialami oleh Bajo di Desa Mola kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi.

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pikir 1. Tinjauan Pustaka

a. Pengertian Komunitas Lokal

Komunitas Lokaladalah istilah yang mengacu kepada sekumpulan

orang yang hidup dalam suatu kawasan dan saling berhubungan satu sama

lain dan memiliki kepentingan dan nilai bersama. Secara praktis,

komunitas lokal dalam konteks nilai berkonservasi tinggi merupakan

sekumpulan orang yang hidup di dalam atau disekitar kawasan hutan atau

ekosistem alam lain yang memiliki jaringan komunikasi,memiliki

kepentingan bersama dengan hutan atau ekosistem alam lain dan memiliki

simbol lokal tertentu berkaitan dengan kawasan tersebut.11

(12)

Pengertian komunitas lokal melampaui sekedar pengertian masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pengertian komunitas lokal digunakan untuk menampung gejala-gejala baru di masyarakat tentang adanya pemukiman-pemukiman baru di perkotaan atau di pinggiran kota, jauh dari pada adat maupun masyarakat lokal. Suatu real estate, perumnas dan sebagainya yang merupakan perumahan-perumahan baru tidak bisa dikatakan sebagai masyarakat adat maupun sebagai masyarakat lokal.12

Komunitas lokal adalah kelompok masyarakat yang secara historis memiliki teritorial dan identitas diri dan mengidentifikasikan diri sebagai kelompok yang berbeda.13

Jadi, dapat disimpulkan bahwa komunitas lokal merupakan sekumpulan orang yang mendiami suatu wilayah, yang mana merupakan penduduk asli ataupun masyarakat pribumi di wilayah tersebut. Dikatakan komunitas lokal karena setiap orang yang lahir disuatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status orisinal atau asli atau tulen (indigenious) sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negara lainnya.

Lokal (pribumi) bersifat autochton (melekat pada suatu tempat). Secara lebih khusus, istilah lokal (pribumi atau penduduk asli) ditunjukkan kepada setiap orang yang lahir dengan orang tua yang juga terlahir disuatu tempat.

b. Suku Bajo atau Bajau

12http://www.webrimpolri.org/dinamis/local-by-for-local-job-policing/halaman-3. diakses pd tgl 17 maret 2012

(13)

Istilah Bajo dipakai untuk orang-orang perahu penyeberang yang tempat tinggal mereka berkembang melintasi Laut Cina Selatan. Jumlah mereka berkurang drastis selama abad terakhir. Masyarakat Bajo di Indonesia tinggal terutama di daerah kepulauan di daerah pantai Sulawesi, pemukiman mereka umumnya di dekat Manado, Ambogaya, dan Kendari; di Baggai, Sula, dan kepulauan Togian; sepanjang selat Tiworo; di teluk Bone; dan sepanjang pantai Makassar.14

Suku Bajo atau Bajau dikenal sebagai salah satu suku nomaden di Indonesia yang beraktivitas di atas perahu. Kehidupannya pun berpindah-pindah akibat tradisi yang mengakar kuat pada suku Bajo. Oleh karena itu banyak peneliti yang kesulitan untuk memastikan tempat asal-usul dari suku Bajo. Karena ketika lahir hingga meninggalpun segala aktivitas hanya diabdikan kepada laut. Laut dijadikan sebagai tumpuan dalam mencari nafkah dan kehidupannya

Bajo atau Bajau merupakan salah satu suku pelaut yang kini banyak mendiami wilayah Sulawesi. Sebagai suku pelaut, orang-orang Bajo masih kalah terkenal dibanding suku-suku lainnya di Sulawesi. Masyarakat Bajo juga sering berlayar untuk mencari ikan dan merantau ke luar wilayah wakatobi, malahan ke luar Indonesia. Mereka terbiasa hidup di laut dan sanggup beradaptasi dengan alam sekitar.

Bajau nama ‘Bajau’ lebih terkenal di wilayah Indonesia bagian timur. Di kawasan ini orang bajau (disebut juga Bajo) ditemukan diperairan Selat Makassar (di pulau Laut dan pantai timur Kalimantan,

(14)

sekitar Bone ); di Teluk Bone (di pulau Bajoe yang berhadapan langsung dengan watampone) ; di daerah Nusa tenggara Timur Pulau Alor dan sekitarnya: di Kepulauan Banggai di sebelah timur Sulawesi; di Teluk Tomini (terutama di kepulauan Togian dan di Toriaje ); di maluku Utara di Kepulauan Bacan; dan diperairan Laut Sulawesi baik Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur (Termasuk Sabah Timur) maupun Kepulauan Sulu.

Nama Bajau atau Bajo seperti juga nama Orang Laut adalah eksonim (exonym), nama yang beri oleh orang luar. Orang Bajo yang juga biasa disebut orang laut karena tempat tinggal mereka berada dalam laut dan mata pencaharian utama mereka berada pada laut.15

Orang-orang Bajo dikenal sebagai orang laut yang mengembara dari satu pulau ke pulau lain. Di Kendari, orang-orang Bajo tinggal di Sulawesi Tenggara. Mereka tinggal dan menyebar di pantai teluk Kendari dan pulau-pulau disekitar Kota Buton, terutama di Kepulauan Tukang Besi, seperti di Pulau Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Mata pencaharian etnis Bajo adalah nelayan, yakni mencari teripang, lola dan sirip ikan hiu. Namun, orang Bajo di Desa Mola mata pencaharian lebih kepada ikan dan Penyu. Kemudian mereka jual kepada komunitas lokal yang di darat sekitar tempat mereka tinggal.16

Bajo, Bajau atau Sama Bajo juga merupakan salah satu suku di Indonesia yang menyebar ke berbagai penjuru negeri. Bahkan perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas,

15 Adrian Bernard Lapian. orang laut, bajak laut dan raja laut .(Yogyakarta: Mata Bangsa. Yogyakarta. 2001). Hlm. 150.

(15)

tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkan. Julukan bagi mereka sudah barang tentu sea nomads, karena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu.

Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan komunitas Suku Bajo, yakni: (1) menangkap ikan merupakan pencaharian utama yang dilakukan secara turun temurun, serta (2) memiliki dialek bahasa yang sama.

Secara psikologis, mereka merasa perkasa dan lebih “jago” dari masyarakat yang ada di darat karena mampu mengarungi samudera bagaimanapun besar dan dalamnya samudera itu. Namun, mereka di sisi lain merasa inferior karena orang-orang darat mempunyai peradaban dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dibanding mereka yang hanya bergelut di laut. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika muncul persepsi di luar masyarakat Suku Bajo bahwa Suku Bajo adalah masyarakat terasing, terbelakang, dan tertutup.

(16)

ada dua konsep utama yang yaitu: (1) Laut, adalah wilayah perairan yang luas dan airnya asin yang memiliki berbagai fungsi. Laut bagi orang Bajo mutlak adanya, karena selain sebagai tempat tinggal, juga sebagai tempat mencari nafkah hidupnya, (2) Orang Bajo, adalah sekelompok orang pengembara lautan yang berdomisili bersama keluarganya di laut atau pesisir pantai.

Komunitas Suku Bajo dalam kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan laut dan perahu. Mereka terkadang berpindah-pindah dari satu pantai ke pantai yang lain di Kepulauan Indonesia. Dalam catatan Magellan ditunjukkan bahwa Suku Bajo telah hidup sebagai orang laut sejak awal abad ke-16. Pola hidup mengembara ini membuat orang-orang Eropa menyebut mereka sebagai sea gypsies (gipsi laut) atau sea nomads (pengembara laut). Sebagai pengembara laut, mereka sudah mulai mencoba untuk menetap di suatu tempat sementara, yaitu di pantai atau di pesisir laut. Mereka bekerja dengan mencari hasil-hasil laut mulai dari ikan hingga akar bahar kemudian dijualnya kepada masyarakat yang tinggal di daratan.

(17)

Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa Suku Bajo justru juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif. Mobilitas penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.

Pola pemukiman masyarakat Bajo yang hidup secara berkelompok berdasarkan etnisnya dan frekuensi mobilitas mereka dari satu tempat ke tempat yang lain relatif tinggi. Meskipun demikian, pergaulan dan hubungan dengan masyarakat (orang darat) telah terjadi kontak sosial sehingga mereka tidak terisolasi dengan lingkungan sosialnya dimana mereka bermukim. Perubahan pola hidup dari pengembara menjadi menetap dengan berhubungan dengan orang-orang darat terjadi baik di lingkungan pasar maupun dalam lembaga pendidikan seperti lingkungan sekolah.17

2. Kerangka Pikir

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang ada dalam wilayah Republik Indonesia. Sama halnya dengan provinsi lain, Sulawesi Tenggara pun didiami oleh berbagai suku bangsa yang tentunya akan

(18)

melahirkan kebudayaan beraneka ragam pula. Salah satunya adalah Suku Bajo. Seperti yang kita ketahui bahwa suku Bajo itu tersebar dimana-mana bahkan sampai ke pelosok Nusantara. Suku Bajo kini telah banyak mengalami perkembangan, namun ada juga yang masih mempertahankan kebudayaannya.

Wakatobi merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Sulawesi Tenggara yang menyimpan sebuah orang pendatang yang kini telah mengalami perkembangan Komunitas yang dimaksud adalah komunitas Bajo. Komunitas Bajo adalah komunitas yang awalnya tinggal di laut dalam perahu, di sekitar pantai, dan bahkan di rumah - rumah tancap. Namun, seiring dengan perkembangan zaman komunitas Bajo yang berada di Wakatobi kini telah berbaur dengan masyarakat lokal atau masyarakat luar yang bermukim di darat.

(19)

sendiri. Kini pemerintah lebih banyak memperhatikan kesejahteraan komunitas Bajo yang berada di Desa Mola tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan dalam skema berikut :

G. Metode Penelitian

1. LokasiPenelitian

Studi ini mengambil lokasi di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Adapun batas-batasnya: (1) Sebelah Selatan berbatasan Desa Usuno, (2) Sebelah Utara berbatasan Sungai Wanci, (3) Sebelah Barat berbatasan Desa Kapota, (4) Sebelah Timur berbatasan Desa Mandati (peta kantor Desa Mola). Luas desa ini adalah sekitar kurang

(20)

lebih 2 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 7000 jiwa dan terdiri atas 2000 KK (data statistik kantor Desa Mola tahun 2010). Desa ini dapat dicapai dengan menggunakan dua jalur, yakni jalur laut menggunakan perahu layar atau kapal-kapal motor dan melalui jalan darat. Wilayah Desa Wewangriu secara administratif membawahi 5 dusun yakni: Dusun Mekar, Dusun Bahari, Dusun Nelayan, Dusun Segar, dan Dusun Teratai .18

Walaupun penelitian ini difokuskan pada kehadiran orang Bajo di Desa Mola, namun kehadiran orang Bajo yang ada di sekitar tempat lainnya juga dijadikan sebagai objek penelitian sepanjang itu dianggap perlu dan diketahui menyimpan informasi penting yang berkaitan dengan topik penelitian, seperti perkembangan dan perubahan yang dialami orang Bajo yang ada di Desa Mola yang saat ini. Diperoleh pula data di berbagai instansi seperti Kantor Desa Mola, Kantor Kecamatan Wangi-Wangi, Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi, Kantor Bappeda Kabupaten Wakatobi, Perpustakaan Daerah Kabupaten Wakatobi, dan Departemen Sosial Provinsi Sulawesi Selatan.

2. Metode Penelitian

Sesuai dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulisan skripsi ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian sejarah; atau secara lebih khusus bagi penelitian sejarah maritim. Oleh karena itu metode yang digunakan adalah juga metode sejarah.

Metode penelitian sejarah berbeda dengan metode penelitian ilmu-ilmu lain. Menurut Pelto penelitian sejarah ialah penelitian yang bersifat

(21)

ideografis dimana penyelidikan dilakukan untuk memberikan gambaran yang konkrit mengenai kejadian yang khusus yang dilakukan oleh manusia di lokasi dan waktu tertentu.19 Sedangkan menurut Sartono Kartodirjo20 metode sejarah adalah seperangkat azas dan kaidah-kaidah yang sistematis yang digubah untuk membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan menyajikan suatu sintesis dari hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis. Menurut Garraghan metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.21 Karena itu Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa metode sejarah adalah sarana sejarawan untuk melaksanakan penelitian dan penulisan sejarah.22

Menurut Kuntowijoyo23 terdapat lima tahapan dalam penelitian sejarah yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi kritik sejarah, interpretasi (analisis dan sintesis), dan penulisan. Pemilihan topik berkenaan dengan alasan peneliti mengangkat topik ini (berupa kedekatan intelektual dan kedekatan emosional). Pengumpulan sumber berkenaan dengan pengumpulan data dan informasi. Verifikasi kritik sejarah berkenaan dengan uji keabsahan suatu sumber. Interpretasi (analisis dan

19 Pelto, Pertti J & Gretel H. Pelto. Anthropological Research The StructureOf Inquiry. (Cambridge: Cambridge University Press. 1984). Hlm. 19

20 Sartono, Kartodirjo. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992). Hlm. 3.

21 Gillbert J. Grraghan Dikutip dalam buku Muh. Shaleh Madjid dan Abd. Rahman Hamid. “Pengantar ilmu sejarah”, (Makassar. Rehan Intermedia. 2008). Hlm. 48

22 Nugroho Notosusanto. Norma-Norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, (Jakarta: Dephankam. 1971). Hlm. 12.

(22)

sintesis) berkenaan dengan pencarian dan keterkaitan makna antar fakta, sedangkan penulisan berkenaan dengan laporan hasil penelitian. Implementasi tahapan-tahapan kerja tersebut dalam penelitian ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian-bagian lain dari penulisan skripsi ini.

3. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer terbagi dari dua yakni tertulis dan lisan. Sumber primer dalam bentuk lisan yang diperoleh berupa arsip, kependudukan serta perkembangan desa dari kantor desa. Sumber primer dalam bentuk lisan diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dari orang Bajo yang bertempat tinggal di darat dan laut, masyarakat lokal, aparat desa, dan eksportir ikan.

Sumber data yang kedua adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud berupa Buku, Jurnal, Laporan hasil Penelitian, bulletin, majalah, guntingan koran, catatan kecil narasumber dan karya hasil penelitian. data tersebut diperoleh dari beberapa lembaga di Makassar seperti: Perpustakaan UNM, Perpustakaan Unhas, Perpustakaan Daerah, Perpustakaan UIN Alauddin, Kantor BPS Kabupaten Wakatobi, kantor Bappeda, Kantor Statistik Kecamatan Wangi-Wangi, dan Koleksi Perorangan.

4. Alasan Pemilihan Topik

(23)

hal yang berkenaan dengan laut dan selama kuliah peneliti senang dengan mata kuliah sejarah maritim dan sejarah sosial. Kedekatan kedua yakni kedekatan emosional dimana peneliti merasa bisa menjangkau lokasi penelitian baik secara spasial maupun budged (finansial).

5. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data sebagai langkah pertama dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah bahan yang dianggap relevan, baik berupa bahan tertulis (Dokumen), lisan maupun visual. Dari studi pendahuluan yang penulis lakukan mengenai ketersediaan jumlah informasi dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak informasi yang cukup memadai yang dapat digunakan sebagai bahan penulisan. Sumber tersebut antara lain adalah sumber primer yang berupa dokumen tertulis yang akan diperoleh dari kantor desa setempat dimana informasi yang akan diperoleh mengenai daftar nama keseluruhan penduduk, laporan tahunan masyarakat Desa Mola, jumlah penduduk, jenis kelamin, dan pekerjaan.

(24)

cuma-cuma oleh aparat desa.

Wawancara juga dilakukan kepada komunitas Bajo yang berada di darat, yang meliputi: kapan membaur dengan penduduk lokal, kapan bermukim di darat, perkembangan orang Bajo, perubahan kehidupan orang Bajo, insiatif sendiri untuk membaur, tanggapan komunitas lokal, cara berinteraksi, peran orang Bajo, kapan masuk dunia politik, berapa yang masuk politik, berapa yang tidak lolos dan lolos, siapa orang Bajo masuk dunia politik, dan kebijakan-kebijakan pemerintah.

Wawancara juga dilakukan kepada Sejarahwan Wakatobi, yang mana berhasil didapatkan meliputi seperti: asal-usul orang Bajo Mola, alasan berpindah tempat/ lokasi, kapan orang Bajo berada di Mola, tanggapan masyarakat lokal, jenis tempat tinggal, berapa jumlah orang yang berada di tempat tinggal tersebut, kapan tinggal di rumah tancap, bahan-bahan diperoleh, jenis mata pencaharian, kapan waktu melaut, berapa hasilnya, jenis-jenis ikan yang diperoleh, sedangkan wawancara yang dilakuakan pada istri orang Bajo meliputi sebagai berikut: aktivitas yang dilakukan, peran dalam ekonomi keluarga. Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada komunitas lokal, seperti hubungan antara orang Bajo dan lokal, cara berinteraksi.

(25)

Daerah Kabupaten Wakatobi, Biro Pusat Statistik Kabupaten Wakatobi, Perpustakaan wilayah Makassar, Kantor Departemen Sosial Makassar, Badan Arsip dan Kepustakaan Makassar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang serta perpustakaan di beberapa Lembaga Perguruan Tinggi di Makassar antara lain perpustakaan Universitas Negeri Makassar, Perpustakaan Universitas Hasanuddin serta Perpustakaan UIN Alauddin Makassar.

a. Kritik Sejarah

Kritik dilakukan untuk menentukan otentitas dan kredibilitas dari sumber. Semua sumber yang dikumpulkan diverifikasi karena data yang diperoleh tidak secara keseluruhan dapat digunakan langsung dalam penulisan karya ini. Untuk itu dilakukan krtitik eksteren dan kritik interen. Kritik eksteren dilakukan untuk menguji kebenaran sumber dengan cara meneliti tulisannya, gaya bahasa, penggunaan ejaan penulisan nama ikan dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk menguji keabsahan sumber apakah sumber itu tiruan, turunan atau palsu. Untuk menguji keabsahan sumber juga dilakukan kritik interen agar dapat diketahui apakah isi sumber tersebut layak dan dapat dipercaya keabsahannya. Dilakukan penilaian intrinsik terhadap sumber melaui penentuan sifat dan membandingkan dengan sumber lain. Melalui kritik interen dan kritik eksteren ini spekulasi fakta dapat dihindari.

(26)

Setelah dilakukan kritik sumber data sudah dikategorikan sebagai fakta sejarah. Fakta sejarah yaitu berupa fakta perkembangan serta perubahan yang dialami komunitas Bajo yang berada di desa Mola selama kurun waktu 2000- hingga 2010, hal itu dapat dilihat melalui tempat pemukiman mereka saat ini serta dampak kesejahteraan ekonomi dan sosial yang dirasakan. Namun demikian fakta yang diperoleh masih berdiri sendiri sehingga untuk melihat keterkaitan antar fakta diperlukan adanya penafsiran agar hubungan antara fakta satu dengan fakta lainnya menjadi jelas. Melalui penafsiran ini maka fakta-fakta tadi dapat menjadi satu kesatuan yang harmonis sehingga sejarah tentang kehadiran komunitas Bajo di Desa Mola selama kurun waktu 1975-2010 dapat dihadirkan sesuai dengan konteksnya.

c. Historiografi (Penulisan)

Tahap terakhir dari metode penelitian sejarah adalah penulisan. Tahapan ini merupakan tahapan puncak sebab penulis mulai mengungkap dan memahami realita sejarah sebagaimana terjadinya. Sampai pada tahapan ini ilmu sejarah membutuhkan ilmu lain sebagai ilmu bantu dalam mengeksplorasikan data sejarah.

(27)
(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kondisi Geografis

Desa Mola merupakan salah satu desa yang ada di dalam wilayah administratif Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Desa Mola terletak di pesisir pantai yang jaraknya dengan Ibu Kota Kabupaten Wakatobi dan dapat ditempuh dengan 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak tempuh desa Mola dengan Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Kendari) adalah 500 Km yang dapat ditempuh dalam waktu 11 Jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut.24 Adapun batas-batas administratif desa Mola adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Wanci. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Usuno. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kapota . 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mandati.25

Secara keseluruhan wilayah Desa Mola mempunyai luas sekitar 2 Km2 yang terdiri dari lima dusun, yaitu Dusun Mekar, Dusun Bahari, Dusun Nelayan, Dusun Teratai dan Dusun Segar. Di sebelah timur terdapat hamparan perbukitan yang cukup luas yang oleh sebagian masyarakat dijadikan sebagai lahan perkebunan.

Letak geografis Desa Mola yang berada di daerah pesisir pantai membawa keuntungan tersendiri bagi orang Bajo. Orang Bajo yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan sangat diuntungkan letak geografis ini karena sangat memudahkan untuk melakukan penangkapan

(29)

ikan baik di pinggiran pantai maupun lautan lepas. Masyarakat Bajo yang dulu sering dikategorikan sebagai suku tertinggal, sejak dekade 1990-an secara berangsur-angsur kian maju dan mulai sejajar dengan kelompok etnik lainnya yang ada di Wanci. Kini malah mereka tidak lagi semata-mata menggantungkan hidup sebagai penangkap ikan, tetapi mulai pula merambah pekerjaan jenis lain seperti pedagang, PNS, peternak, dan petani.

B. Kondisi Demografis 1. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data tahun 2004 - 2010 penduduk Desa Mola telah mencapai sekitar 7000 jiwa yang dari 3065 laki-laki dan 3935 perempuan dengan jumlah rumah tangga sekitar 2000 KK. Adapun data penduduk asli yang masuk dalam Desa Mola yaitu hanya 11 orang. Penduduk asli yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu orang darat yang terdaftar jadi penduduk Desa Mola. Untuk mengetahui lebih jelas komposisi penduduk Desa Mola dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel I

Komposisi Penduduk Desa Mola

Berdasarkan Perkembangan Penduduk Desa Mola Tahun 2004-2010

(30)

Sumber: *) Diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik ( BPS) Kabupaten Wakatobi

**) Diperoleh dari kantor Desa Mola

Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa perkembangan penduduk di desa Mola mengalami perkembangan yang cukup pesat setiap tahun. Walaupun pada tabel di atas terlihat ada penurunan sedikit pada tahun 2008. Penurunan ini lebih disebabkan oleh faktor alamiah seperti faktor kematian, perkawinan dengan penduduk dari kalangan etnik lokal yang kemudian berpindah tempat tinggal sehingga tidak tercatat lagi secara administratif sebagai penduduk desa Mola. Bagaimana komposisi penduduk Desa Mola berdasarkan jenis kelamin dalam tujuh tahun terakhir ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2

Sumber: *) diperoleh dari Kantor BPS Kabupaten Wakatobi **) Diperoleh Dari Kantor Desa Mola

(31)

pria dan wanita tidaklah terlampau jauh. Sementara dari sisi pertumbuhan dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan. Pertambahan ini lebih disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu karena faktor kelahiran.

Tabel 3

Komposisi Penduduk Desa Mola

Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2010

No. Tingkat Usia Jumlah Penduduk Jumlah

(orang)

(32)

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan kebutuhan vital untuk membangun masyarakat di manapun di dunia ini. Beberapa negara di dunia seperti Jepang, Singapura, Hongkong, Swiss, dan lain-lain telah membuktikan bahwa ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas lebih banyak memberi efek kemajuan dibandingkan dengan sumberdaya alam. Dan untuk meningkatkan sumberdaya manusia, maka kata kuncinya adalah pendidikan. Oleh karena aspek pendidikan sekarang ini telah dijadikan sebagai salah satu barometer dalam mengukur kemajuan suatu bangsa.

Secara teoritis, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dengan usia yang relatif muda, maka orang tersebut akan lebih dinamis dalam menyerap informasi, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menjawab tantangan hidupnya.

Berkaitan dengan pernyataan di atas maka secara khusus dalam wilayah Desa Mola kini telah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat pendidikan di Desa Mola dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:

Tabel 4

Komposisi Penduduk Desa Mola Berdasarkan Tingkat Pendidikan

NO Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Presentase

1. Belum Sekolah 1007 14,17%

(33)

3. TK 85 0,815%

Data dalam tabel 4 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang tidak bersekolah di Desa Mola masih menempati posisi yang dominan, yakni sebesar 3169 jiwa atau 45,27%, lalu disusul oleh penduduk yang belum bersekolah sebanyak 712 jiwa atau 10,17%. Sementara yang berpendidikan SD hanya 750 jiwa atau 10,38%, SMP sebanyak 735 jiwa 10,08%, SMA 455 jiwa atau 4,5%, sedangkan yang berpendidikan S1 baru sebanyak 57 jiwa atau hanya 0,72%.

Dengan melihat tabel di atas, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Desa Mola yang dominan adalah yang tidak bersekolah yang mencapai 3169 jiwa dengan persentase 45, 27%, hal itu disebabkan karena masih ada orang Bajo yang lebih mengedepankan mencari uang yang banyak dibanding menuntut ilmu setinggi-tingginya. Selain itu, salah satu faktornya juga bahwa orang Bajo tidak ingin hidupnya diatur oleh peraturan melainkan orang Bajo ingin bebas.

(34)

pola pikir mereka masih tetap tradisional. Profesi yang ditekuni oleh mereka belum variatif karena masih terfokus pada profesi sabagai nelayan penangkap ikan dan pemungut hasil laut. Sementara penduduk dari sisi profesi sudah mulai variatif karena sudah merambah pula dunia pertanian, peternakan, pertukangan, bisnis, dan bahkan sudah ada pula yang menjadi pejabat daerah dan politisi.

3. Mata Pencaharian Orang Bajo

Sebagai masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai dengan latar belakang sebagai suku Bajo yang lazim dikenal sebagai orang laut, maka masyarakat desa Mola sebagian besar menggantungkan hidupnya di laut sebagai nelayan penangkap ikan dan pencari hasil laut lainnya.

Walaupun demikian telah banyak penduduk Desa Mola yang mulai merambah pekerjaan lain di luar sebagai nelayan. Oleh karena itu tingkat kemakmuran merekapun menjadi berbeda-beda pula. Tingkat kemakmuran mereka tercermin dalam gaya hidup keseharian, baik itu menyangkut pakaian, rumah, kendaraan, perhiasan, dan lain sebagainya. Di samping sebagai nelayan, mereka juga telah mulai merambah profesi lain seperti PNS, POLRI, petani, peternak, montir, Pengusaha kecil dan menengah, pembantu rumah tangga, dukun kampung terlatih, dan sebagainya. Untuk mengetahui lebih jelasnya keadaan penduduk desa Mola berdasarkan mata pencahariannya dapat dilihat pada tabel V berikut ini:

Tabel 5

(35)

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah Jiwa Presentase

7. Pengusaha Kecil dan Menengah 25 0,68

8. Pembantu Rumah Tangga 2 0,05 merupakan mata pencaharian utama yang banyak digeluti oleh penduduk Desa Mola. Total penduduk yang menggeluti profesi ini mencapai 4.502 orang atau sekitar 95,55%. Hal ini bisa dipahami karena penduduk Desa Mola terdiri dari suku Bajo yang secara alamiah dan kultural sejak dahulu kala dikenal sebagai suku bangsa yang menggantungkan hidup di laut. Walaupun demikian telah ada sedikit orang Bajo di Mola yang mencoba menggeluti profesi lain di luar nelayan. Seperti tampak pada Tabel 5 di atas telah ada orang Bajo di Mola yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga sebanyak 2 orang atau 0,05%, PNS sebanyak 44 orang atau 1,11%, petani 10 orang atau 0,27%, montir 20 orang atau 0,54%, pengusaha kecil 25 0rang atau 0,68%, bahkan telah ada peternak sebanyak 51 orang atau 1,39%.

(36)

dianggap sebagai lompatan budaya yang sangat besar dibandingkan dengan apa yang terjadi pada orang Bajo di manapun di Nusanatara. Komunitas Bajo Berese di Kecamatan Wabula Kabupaten Buton misalnya, mereka enggan merapat ke darat walaupun pemerintah setempat telah berupaya untuk “mendaratkan” mereka. Merek lebih suka hidup berkelompok sesama orang Bajo dan membikin perkampungan di atas tebing laut di kejauhan sekitar 200 meter dari bibir pantai. Di antara sekitar 300 jiwa penduduk Bajo berese ini tidak satupun yang menekuni profesi lain selain sebagai nelayan penangkap ikan dan pemungut hasil laut.

C. Sejarah Singkat Desa Mola

Orang Bajo yang ada di Mola sesungguhnya adalah pendatang yang berasal dari Pulau Kaledupa. Pada dekade 1950-an ketika terjadi keguncangan politik dan keamanan akibat perembesesan gerakan DI/TII, maka kehidupan masyarakat Bajo di Kaledupa menjadi guncang dan tidak menentu. Mereka yang hidup di pesisir pantai yang terbuka seringkali menjadi bulan-bulanan pasukan DI/TII. Mereka, oleh pasukan DI/TII sering dituding sebagai mata-mata dan kaki tangan TNI dan begitu pula sebaliknya. Keadaan ini menjadikan orang Bajo di Kaledupa menjadi hidup dalam siatuasi yang tidak aman dan penuh ketikapastian.

(37)

Timur Kaledupa) terjadi pada tahun 1956. Perpindahan ini terpaksa dilakukan karena orang Bajo merasa tidak nyaman oleh gangguan pasukan DI/TII yang datang setiap saat. Namun ternyata di daerah Sampela inipun gangguan itu tetap datang, sehingga pada tahun 1957 orang Bajo kembali mengambil inisiatif untuk pindah ke tempat lain yang lebih aman. Adapun daerah yang dipilih adalah Ogu yang terletak di bagian utara Pulau Wanci. Di tempat yang baru ini orang Bajo memang bisa menikmati rasa aman dari gangguan DI/TII. Namun di pemukiman baru ini orang Bajo ternyata belum bisa menikmati kenyamanan dan oleh karenanya mereka hanya bertahan selama enam bulan karena selalu diterpa badai dan gelombang air laut yang tidak bersahabat.

Akhirnya, orang Bajo kemudian mencari tempat yang lebih aman. Maka dipilihlah daerah Mola sekarang sebagai pemukiman mereka sejak tahun 1958 yang lalu. Di Mola ini orang Bajo merasa aman dan nyaman karena terlindung oleh Pulau Kapota dari terpaan badai dan gelombang. Di samping itu mereka juga aman dari gangguang DI/TII karena dekat dengan pos polisi dan tentara yang ada di kota Wanci.

(38)
(39)

BAB III

ORANG BAJO DALAM DEKADE 1970- AN A. Latar belakang Keberadaan Orang Bajo

Dahulu suku Bajo dikenal sebagai pengembara lautan, hidupnya berpindah-pindah dari sutu tempat ketempat lain. Mereka menggunakan perahu yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga. Keadaan tersebut berlangsung sejak dahulu, dan sampai kira-kira seabad yang lalu. Kemudian mereka mulai menetap di pinggir pantai. Dari pengalaman mereka itulah sehingga mereka dapat mengenal kehidupan yang menetap dan memilih tanah sehingga sedikit demi sedikit dan mulai meninggalkan tradisi pengembaraan di lautan. Kemudian sudah mengenal dan mendirikan perkampungan di tepi pantai.

Dari hasil penelusuran sejarah, orang Bajo yang ada di Desa Mola sekarang, ternyata berasal dari daerah Montigola di Pulau Kaledupa, Sulawesi Tenggara. Mereka berpindah tempat untuk menghindari intimidasi dan ketidakpastian politik akibat kehadiran gerombolan DI/TII sejak tahun 1956. Orang Bajo di Montigola tersebut berpindah tempat karena mereka merasa tidak nyaman dan selalu dikambing hitamkan oleh orang - orang yang berkepentingan serta pemukiman atau tempat tinggal selalu diganggu oleh DI/TII. Pada waktu itu orang Bajo di Mantigola seringkali dimintai bantuan untuk mengantarkan aparat keamanan dalam perjalanan laut antar pulau dengan menggunakan perahu mereka, baik dari aparat kepolisian maupun TNI.

(40)

memindahkan pemukimannya kedaratan dan harus pula menganti mata pencahariannya dari nelayan penangkap ikan menjadi petani. Masyarakat suku Bajo menganggap bahwa perlakuan gerombolan gerilyawan tidak memungkinkan lagi untuk menetap dan bertempat tinggal di Kampung Lassareng. kemudian berpindah tempat tinggal ke Desa Bajoe.”26

Akibat seringnya mereka mengantar aparat keamanan, maka merekapun kemudian dicurigai oleh pasukan DI/TII sebagai mata-mata dan kaki tangan dari aparat keamanan sehingga mereka sering diintimidasi dan tidak sedikit dari mereka yang ditangkap dan disiksa oleh para gerombolan DI/TII. Sebaliknya, bila mereka memenuhi keinginan gerombolan DI/TII, maka merekapun dicurigai oleh aparat keamanan dan masyarakat setempat sebagai kaki tangan dari gerombolan DI/TII.

Sebagaimana diketahui, orang Bajo di Mantigola hidup sebagai nelayan dengan peralatan tradisional dengan menggunakan perahu yang disebut ”soppe”. Perahu “soppe” inilah yang sering dipinjam untuk mengantar aparat pemerintah ke daerah yang ditujuinya. Dalam bahasa Bajo “Katu”, “Katu” merupakan suatu permintaan yang dengan paksa ataupun tidak untuk mengantar mereka ke pulau lain.

Dalam situasi ketidakpastian seperti itulah, maka pada tanggal 28 Agustus 1957 orang Bajo di Mantigola melakukan perpindahan27. Adapun lokasi yang dipilih adalah daerah Sampela di bagian timur Pulau Kaledupa yang sekarang menjadi desa Sama Bahari. Namun di tempat yang baru inipun orang Bajo masih merasakan hal yang sama sebagaimana yang mereka rasakan ketika masih bermukim di Mantigola. Seperti dituturkan

26 Anshar, dkk. Pola Pemukiman dan Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Bajau di Sulawesi Selatan. (Sulawesi Selatan.Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan, 1996). Hlm. 18-19.

(41)

oleh La Maga yang pada waktu itu menjabat sebagai Koramil di Kaledupa bahwa “bagi masyarakat pesisir yang merasa tidak nyaman atau dalam arti terganggu dengan pergolakan ini dipersilahkan menyingkirkan diri ke tempat yang lebih aman”.

Atas saran La Maga tersebut, maka pada akhir tahun 1957 orang Bajo yang baru beberapa bulan tinggal di Sampela, kemudian pindah lagi ke tempat yang lebih aman. Adapun tempat yang dipilih letaknya cukup jauh dari Sampela, yakni daerah Ogu di bagian utara Pulau Wanci. Pada saat itu, orang Bajo yang pindah ke Ogu sekitar 12 KK. Namun di tempat baru inipun mereka bermukim tidak lama. Masalah utama yang dihadapi bukan lagi soal politik dan keamanan, melainkan tantangan alam. Ternyata di daerah Ogu ini pemukiman orang Bajo sering diterpa badai dan gelombang laut yang tidak bersahabat. Oleh karena itu mereka kemudian melaporkan hal itu kepada Sara (Dewan Adat) Wanci, Mandati dan Liya. Atas saran dari Dewan sara Wanci, Mandati dan Liya, mereka kemudian pindah dan bermukim di daerah Mola. Di Mola inilah mereka baru bisa mendapatkan ketenangan hidup. Mereka bebas dari gangguan gerombolan DI/TII karena dekat dengan pos polisi dan TNI yang ada di Kota Wanci. Juga mereka bebas dari terpaan badai dan gelombang karena terlindung oleh Pulau Kapota.

(42)

negosiasi yang cukup panjang dan sanggup menerima segala peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Adat, barulah orang Bajo dipersilahkan untuk menempati laut dan membangun pemukiman di sepanjang pantai Wanci dan Mandati yang kini dikenal sebagai Desa Mola.

Nama Mola awalnya dari Molo. “Molo” artinya disaat orang berjalan dan kakinya kena air laut, maka ia akan masuk dalam lubang air tersebut. Akan tetapi, dalam bahasa Wanci, Molo artinya “aesu no molo”, artinya “kakiku terbenam ke dalam lubang”.

Setelah suku Bajo berada di Mola mereka merasa nyaman dan tidak lagi terkontakminasi dengan politik serta aman dari pergolakan yang terjadi. Setelah pergolakan DI/TII mulai reda, La Maga meminta mereka untuk kembali ke kampung halaman mereka di Montigola. Akan tetapi, tetua adat setempat tidak mengizinkan mereka untuk kembali. Selain itu, orang Bajo di Mola tidak ingin lagi pindah karena kehidupan mereka di desa ini jauh lebih aman serta bersahabat dengan komunitas lokal di tempat tersebut.28

B. Pemukiman Orang Bajo

Komunitas Bajo yang berada di Desa Mola memulai kehidupan mereka dari Kaledupa sebagai orang laut, kemudian hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka awalnya hanya hidup di atas perahu yang dikenal dengan perahu “Soppe”. Di perahu inilah komunitas Bajo lahir, tidur dan berinteraksi satu sama lain. Walaupun, orang Bajo ini hanya tinggal di perahu, hubungan mereka dengan komunitas di darat tetap terjalin dengan baik. Sebab, Orang Bajo tetap terikat dengan komunitas di darat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

(43)

Oleh sebab itu, mereka satu sama lainnya melakukan tukar menukar barang dengan cara sistem barter. Orang Bajo menukarkan hasil tangkapan mereka dengan ubi-ubian ataupun makanan lainya dari penduduk setempat. Sehingga, dengan cara seperti inilah mereka bisa melakukan interaksi dengan komunitas lokal dan mengenal satu sama lainnya. Walaupun mereka bertempat tinggal di atas laut dalam perahu mereka masing-masing.

Setelah mereka mulai berinteraksi dengan komunitas lokal, yang dulunya mereka hanya tinggal di dalam perahu, secara perlahan-lahan mereka mulai mendirikan rumah di atas air pada kawasan pinggir laut, yang mereka namakan rumah tancap atau biasa disebut dengan rumah panggung. Mereka mulai bertempat tinggal di rumah tancap tersebut sekitar tahun 1960-an. Di rumah tancap atau rumah panggung tersebut orang tinggal sekitar 3 – 4 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari Ibu, Bapak dan anak.

Orang Bajo Mola mendirikan rumah tancap dengan menggunakan bahan-bahan dari batang kelapa atau kayu bakau. Bahan-bahan itu mereka peroleh dari hasil swadaya masyarakat sekitar. Mereka diberikan dengan cuma-cuma, namun dengan alasan tidak merusak alam yang ada di darat. Karena penduduk lokal sangat menjaga tanaman yang mereka tanam. Dengan mendirikan rumah tancap di tepi pantai hubungan orang Bajo dengan komunitas lokal semakin dekat. 29

C. Mata Pencaharian Orang Bajo

Tiap manusia memiliki sistem ekonomi atau sistem mata pencaharian hidup yang spesifik, sesuai dengan spesifikasi kebudayaan

(44)

dan keadaan potensi sumber daya yang tersedia pada alam sekeliling. Dimana masyarakat itu sendiri bertempat tinggal, sekaligus menata dasar-dasar kehidupan mereka sebagai suatu kesatuan sosial, ekonomi, dan kultural. Dalam hal ini tiap-tiap keadaan alam yang mempunyai coraknya sendiri-sendiri. sedikit banyak memaksa orang-orang hidup di atas suatu areal tertentu, untuk menuruti cara hidup tertentu pula sesuai dengan karakteristik sekitar alamnya.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang Bajo yang bermukim di wilayah pantai mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di laut. Mereka hidup dengan cara menangkap ikan di laut dengan menggunakan alat tangkap serta sistem peralatan transportasi laut yang tradisional.

Orang Bajo di Mola sudah memanfaatkan laut mereka sebagai tempat mata pencaharian. Dengan memanfaatkan laut orang Bajo dalam keperluan menangkap ikan, pencaharian taripang dan perdagangan hasil laut. Dalam dekade inipun, jenis mata pencaharian orang Bajo beragam yaitu awalnya orang Bajo berprofesi sebagai pengambil batu karang, kemudian berubah menjadi penangkap ikan di laut lepas (nelayan) seperti ikan tuna, cakalang.

(45)

berkumpul bersama dengan keluarga mereka, sedangkan pagi hari mereka juga ada yang bekerja dan beristirahat.

Dalam hal ini, orang Bajo yang pergi mencari ikan di laut hanyalah para lelaki saja. Sedangkan perempuan tinggal menunggu kepulangan suami mereka di rumah. Dengan berharap banyak dengan hasil tangkapan yang dibawa pulang. Setelah mereka pulang dari melaut. Peran istri dalam hal ini hanyalah untuk membantu para suami menjual hasil tangkapan yang telah di dapat di laut. Hasil tangkapan itu kemudian di jual di pasar Bajo.30

Adapun jenis alat tangkap yang mereka gunakan untuk mencari hasil laut seperti: tombak, bakal, jaring, bagu’, laduh, sambiah, bunre’, dan ambai,

Alat tangkap di atas merupakan alat tangkap tradisional yang lazim dipakai yang bukan saja orang Bajo di Mola, tapi juga di Nusantara. Walaupun peralatannya tradisional, namun bagi orang Bajo peralatan semacam itu sudah cukup untuk menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Mereka lebih senang sebab tidak semena-mena membunuh binatang yang hidup di laut. Orang Bajo justeru menjaga laut, karena laut merupakan tempat mereka mencari nafkah sehari-hari.

Selain itu, jenis alat tangkapan yang tradisional tersebut menghasilkan jenis-jenis ikan yang bermacam-macam seperti: 1). Ikan Baronang, 2). Ikan Katamba, 3). Ikan Papakulu, 4). Ikan Sori, 5). Ikan Mubara, 6). Kepiting Pasir, 7). Baguntu, 8). Ampala, 9). Bangsa, 10) Kalempeda, dan 11). Cocoreng. Ini merupakan jenis-jenis ikan yang mereka dapatkan dengan menggunakan alat yang masih tradisional.

(46)

Namun, hasil tangkapan ini semuapun tetap mereka jual bahkan dibarter sekalipun untuk hidup mereka dan dimakan juga. Dengan menggunakan alat sederhanapun pada saat itu, mereka tetap menghasilkan ikan yang besar-besar.31

D. Pola Hubungan Sosial Orang Bajo dengan Komunitas Lokal

Dalam konteks hidup bermasyarakat manusia dikatakan mahluk sosial yang hidup saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya. Dimana baik secara individu maupun kelompok sehingga muncul kesadaran pada setiap individu atau antar kelompok bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dalam mencapai suatu tujuan. Dalam hal ini, orang Bajo dan penduduk lokal menjalin beberapa hubungan, baik dari segi aspek, sosial, ekonomi, budaya serta politik.

1. Aspek Sosial

Pada dekade 1970-an, hubungan antara komunitas Bajo dengan komunitas lokal belum terjalin begitu intens. Sebab, pada saat itu orang Bajo belum membuka diri dengan dunia luar. Mereka hanya berkomunikasi satu sama lainnya dilingkungan mereka atau di laut. Tapi, hubungan mereka dengan komunitas lokal tetap bersahabat.

Orang Bajo di Mola melakukan interaksi dengan penduduk lokal di darat yaitu pada saat, orang Bajo menjual hasil tangkapannya serta ketika ingin pergi mengambil air tawar di darat. Namun, hanya sebatas pergi mengambil air tawar, lalu pulang dengan menggunakan sampan – sampan kecil. Air tawar tersebut diambil dari sumur orang darat yang terdapat di Wanci, Mandati, Padakuru, Padaue, Wungka, Komala, Waha, Patuno, Liyamawi, Liyatogo dan Numana.

2. Aspek Ekonomi

(47)

Salah satu faktor lainnya mengenai hubungan antara orang Bajo dengan komunitas lokal tersebut yaitu dalam segi bidang ekonomi. Segi ini masuk sebab, adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang beraneka ragam diantara mereka. Masalah ini dihadapi oleh setiap individu maupun keluarga.

Pada tahun 1956 - 1967, orang Bajo dengan komunitas lokal di darat dalam memenuhi kebutuhan mereka saat itu dengan mengenal yang namanya sistem barter. Sistem barter yang dimaksudkan disini yakni barang yang ditukar dengan barang. Sistem barter itu berlangsung cukup lama diantara mereka.

Sejak dekade ini, orang Bajo dalam memenuhi kebutuhannya sangat tergantung akan umbi-umbian begitu pula sebaliknya dengan penduduk lokal, yang mana sangat tergantung dengan hasil laut dari orang Bajo. Dengan adanya hasil masing-masing baik dari orang Bajo maupun komunitas lokal maka mereka melakukan yang nama barter.

3. Aspek Budaya

Dalam aspek kebudayaan, orang Bajo dengan komunitas lokal pada saat itu. Bisa dilihat dari segi bahasa mereka masing-masing. Dimana orang Bajo mempunyai bahasa tersendiri dilingkungannya. Sedangkan komunitas lokal juga mempunyai bahasa sendiri. Namun, walaupun bahasa yang mereka gunakan berbeda tetapi tetap menjalin hubungan yan baik. Mereka malah menjadikan perbedaan bahasa tesebut sebagai ilmu, karena bisa bertukar bahasa yang mereka miliki antara orang Bajo dengan penduduk lokal.

(48)

tersebut tidak menjadikan mereka saling berdiam diri. Bahkan mereka sama-sama terbuka untuk saling menukar bahasa agar supaya bisa lebih akrab satu sama lainnya.

4. Aspek Politik

Dalam hal politik hubungan antara orang Bajo dengan penduduk lokal pada dekade ini cukup terjalin dengan baik. Walaupun orang Bajo tidak ikut serta dalam hal pemerintahan, contohnya dalam hal pemilihan kepala desa. Tetapi mereka tetap membantu agar berjalan dengan baik. Pada saat itu, mereka belum masuk dalam dunia politik, karena mereka merasa belum pantas ikut campur tangan dalam dunia politik, yang mereka anggap cukup keras. Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagi hubungan mereka dengan penduduk lokal setempat. Mereka malah menghargai satu sama lainnya yaitu antara orang Bajo dengan penduduk lokal setempat.32

BAB IV

PERKEMBANGAN ORANG BAJO SEJAK DEKADE 2000 - AN

A. Perkembangan Orang Bajo Di Tengah-Tengah Komunitas Lokal

Berbicara mengenai perkembangan yang dialami komunitas Bajo di Desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi, berarti adanya suatu peningkatan taraf kehidupan yang terjadi dalam hidup orang Bajo. Yang pada umumnya

(49)

apa yang dimiliki tidak begitu menunjang pola hidup orang Bajo. Oleh karena itu, perkembangan yang dapat dilihat dari orang Bajo setelah membaurnya dengan penduduk lokal di darat yaitu dari pola pikir serta dari segi ekonomi, pendidikan maupun kesehatan.

1. Pola Pikir

Seiring perkembangan zaman, pola pikir komunitas orang mulai terbuka, maju serta berkembang. Orang Bajo, ingin seperti dengan penduduk lokal di darat. Orang Bajo Mola telah menerima perkembangan modernisasi yang terjadi dilingkungan mereka. Perubahan pola pikir orang Bajo yang dari waktu ke waktu semakin berkembang membuat hidup mereka jauh lebih baik serta orang Bajo kini berani tampil dimuka umum. Perubahan Pola pikir mereka berkembang sejak tahun 2000.

Dengan perubahan pola pikir orang Bajo, membawa dampak baik dalam kehidupannya. Salah satu bentuk perubahan pola pikir orang Bajo Mola. Yaitu saat ini orang Bajo kini telah banyak yang mengenyam pendidikan, mata pencahariannya kini berkembang, serta paham akan ilmu kesehatan (medis).

Salah satu data yang diambil di lapangan yaitu pada keluarga Pa Abdul Gafur, yang berusia 54 tahun, beliau sekaligus menjabat sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Bajo, yang mana mempunyai tujuh orang anak. Dalam hal ini, dengan perubahan pola pikir yang terjadi pada dirinya. Beliau dalam keluarganya kini telah mengedepankan yang namanya pendidikan. Salah satu bukti kini anaknya telah ada yang menjadi PNS pada tahun 2008, Pengusaha dan selebihnya saat ini sedang menuntut ilmu di bangku SD, dan SMA.

(50)

Dari segi ekonomi yang dimilikinya, orang Bajo kini mengalami kemajuan, mereka memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Namun, saat ini mata pencahariannya bukan hanya itu saja. Pada tahun 2000 ada yang beralih menjadi petani sebanyak 10 orang, pengusaha kecil dan menengah sebanyak 15 orang, polisi sebanyak 3 orang, peternak sebanyak 51 orang, serta montir sebanyak 20 orang. Bahkan, orang Bajo yang ada di Desa Mola ini sudah ada yang menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yaitu sebanyak 41 orang. Hal, tersebut menjadi bukti bahwa orang Bajo kini jauh lebih maju. Walaupun berada ditengah – tengah penduduk lokal. Mereka kini juga bersaing dalam memajukan taraf hidupnya, tidak ingin selalu berada di bawah.

Tetapi, tidak hanya melihat dari segi mata pencahariannya yang saat ini berkembang. Melainkan juga dari segi keterampilan yang orang Bajo Mola miliki, khususnya orang Bajo yang berprofesi sebagai nelayan. Yang mana pada tahun 2003 orang Bajo telah menggunakan alat tangkap yang modern. Orang Bajo yang pertama kali menggunakan alat tangkap modern adalah H. Halim. Dengan melihat hasil yang diperoleh meningkat pada tahun 2005 H.Gega pun membeli alat tangkap modern.

(51)

dari sebelumnya yaitu Rp. 3.000.000,-. Sebagaimana yang diungkapkan oleh:

“Keluarga Mudaing (45 tahun) seorang nelayan dari kalangan suku Bajo di Mola ini. Ketika masih menggunakan alat tangkap tradisonal penghasilan dalam setiap bulannya hanaya sekitar Rp. 1.000.000,-. Namun, setelah menggunakan alat tangkap modern sejak tahun 2008 penghasilannya mencapai sekitar Rp. 3. 000. 000,-/ bulan”.33

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan alat tangkap modern, pendapatan orang Bajo dari hasil tangkapan makin meningkat. Sehingga membuat kehidupan orang Bajo jauh lebih baik dan sejahtera. Walaupun mereka berada ditengah-tengah penduduk lokal di darat.

Alat tangkap modern yang dimilki nelayan Bajo yang berada di Desa Mola ini, sepeeti Pancing Tuna, yang mengasilakan ikan tuna ukuran besar, Pancing gurita, yang menghasilkan tangkapan gurita besar bahkan dapat menghasilkan ikan pari, Pukat Hariamau yang menghasilkan ikan pelagis maupun ikan cakalang kecil serta, Body Batang. Dengan menggunakan alat-alat modern ini penghasilan merekapun lebih sejahtera.

3.Segi Pendidikan

Dalam hal pendidikan komunitas Bajo saat ini tidak kalah dengan penduduk lokal. Mereka juga telah memiliki tingkat pendidikan yang hampir setara dengan tingkat pendidikan yang penduduk lokal capai. Walaupun tingkat pendidikan komunitas lokal lebih banyak. Namun, orang Bajo sudah banyak yang menunut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sampai tingkat universitas bahkan ada yang melanjutkan pendidikannya sampai S2. Universitas yang ia masuki seperti di Universita

(52)

Hasanuddin, Universitas Haluoleo, Universitas Negeri Makassar, UNDANA, UT, UMB, dan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang).

NO Nama-nama orang Bajo Tingkat Pendidikan (Universitas) 1. Ir. Abdul Manan, M.Sc UNHALU dan Perancis

2. Abdul Gafur B, S. Ip UNDANA 3. Asraruddin, S. Pdi, M.Pd UMM dan UNM

4. A. Munawar, S.Si UNHAS

Sumber: laporan kepala Desa Mola, 5 Agustus 2012

Hal tersebut menjadi bukti bahwa orang Bajo telah mengalami perkembangan dibidang pendidikan bahkan walaupun mereka berada ditengah-tengah penduduk lokal ini.

Pendidikan yang mereka capai sampai saat ini, karena mereka ingin meningkatkan ilmu pendidikan yang mereka miliki dan tidak ingin kalah dengan penduduk lokal sekalipun harus bersaing satu sama lainnya. Dengan tingkat pendidikan orang Bajo yang kini semakin baik dan maju membuat orang Bajo kini diperhitungkan dalam urusan pemerintahan daerah yang ada di Kabupaten Wakatobi itu sendiri.

“Menurut salah satu informan, orang Bajo kini tidak kalah dengan tingkat pendidikan penduduk lokal. Salah satu buktinya adalah bahwa orang Bajo yang kini telah berhasil menduduki salah satu jabatan penting yang ada di pemerintahan. Dia adalah seorang sosok Bapak Abdul Manan, Ia adalah ketua BAPPEDA Wakatobi. Ia terangkat menjadi ketua BAPPEDA pada tahun 2008. Orang Bajo kini dapat dipercaya untuk memegang jabatan penting di daerah, walaupun berada ditengah – tengah penduduk lokal, yang memiliki pendidikan yang tinggi.”34

B. Kebijakan Pemerintah Terhadap Orang Bajo

(53)

Berbicara mengenai pada kebijakan-kebijakan pemerintah, di setiap negara pasti mempunyai kebijakan sendiri pada negaranya masing-masing. Begitu pula dengan Indonesia mempunyai beberapa kebijakan-kebijakan untuk warga negaranya. Namun, dalam hal ini khususnya di Kabupaten Wakatobi itu sendiri juga mempunyai kebijakan yang berbeda dengan kabupaten yang lain buat masyarakatnya. Apa lagi buat suku-suku yang ada di Wakatobi, baik suku pendatang maupun suku asli di Wakatobi itu sendiri.

Dalam penelitian ini, disini saya membahas suku pendatang yang ada di Wakatobi itu sendiri yakni suku Bajo. Suku Bajo kini menjadi perhatian pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Kabupaten itu sendiri. sekitar setahun yang lalu Presiden juga telah mengeluarkan kebijakan buat suku Bajo di seluruh dunia yakni

1. Kebijakan Presiden melalui Menteri Perikanan dan Kelautan (Fadel Muhammad). Dimana dikeluarkannya KEPRES No. 10 Tahun 2010. Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau lainnya. Melalui kebijakan pemerintah dalam tindakan afrimative (penyesuaian yang ada di wilayah pesisir) dari 10800 desa yang ada di Indonesia terdapat 10300 desa yang dikategorikan miskin. Setelah disurvei oleh pemerintah maka yang mendominasi adalah suku Bajo.

2. Di dalam Kepres tersebut terdapat beberapa kebijakan antara lain:

(54)

b. Dana Blogren (dana APBN), yang terdapat didalamnya modal usaha.

c. KUR (Kredit usaha Raya)

Hal di atas merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden untuk seluruh suku Bajo yang berada di seluruh Indonesia. Sedangkan kebijakan dari pemerintah setempat sendiri untuk orang Bajo yang ada di desa Mola yakni :

1. Diberikannya Bantuan langsung ( berupa permodalan) kepada masyarakat Bajo berekonomi kecil. (Tahun 2008)

2. Diberikannya Tunjangan bagi aparat desa ( Tahun 2002) 3. Bagi anak – anak Bajo di Mola diberikannya Tunjangan

sekolah Lanjutan (Tahun 2010).

4. Kebijakan melakukan aktivitas di zona lehabilitas.

Tujuan dikeluarkannya beberapa kebijakan tersebut di atas agar kehidupan orang Bajo yang berada di Desa Mola jauh lebih baik dan sejahtera dibanding sebelumnya. Serta agar supaya orang Bajo bisa lebih mengembangkan usaha-usaha yang ingin dididirikannya serta meningkatkan minat pendidikan. Dengan dikeluarkannya kebijakan yang tertera di atas kini orang Bajo juga tidak jauh berbeda dengan kehidupan yang dialami penduduk lokal yang berada di daratan. Dimana jika kita melihat secara sepintas kehidupan orang Bajo dengan penduduk lokal saat ini hampir sama.35

C. Pergeseran Pola Pemukiman dan Pola Hubungan Sosial Orang Bajo dengan Komunitas Lokal

1. Pergeseran Pola Pemukiman

Pergeseran pemukiman orang Bajo yang terdapat di Desa Mola itu sendiri, terjadi pada tahun 1975. Pada tahun 1975 ini orang Bajo telah

(55)

menimbun pantai dan menjadikannya sebagai daratan. Dalam hal ini, orang Bajo menganggap laut tersebut dikatergorikan menjadi darat karena orang Bajo telah menimbunnya dengan menggunakan batu karang dan saat itu pemukiman mereka telah menyatuh dengan pemukiman komunitas lokal yang ada di darat. Penimbunan laut tersebut mereka lakukakan bersama-sama. Awalnya, orang Bajo mengumpulkan sebanyak mungkin batu karang kemudian menimbun lautnya dan mendirikan sebuah rumah permanen. Batu karang tersebut diperoleh dari dalam laut.

Pada tahun 1982, orang Bajo telah membaur dengan komunitas lokal setempat. Pembauran itu mereka lakukan dengan insiatif sendiri, tidak adanya campur tangan dari pihak lain seperti pemerintah. Keinginan orang Bajo membaur dengan komunitas lokal itu dikarenakan mereka ingin seperti komunitas lokal yang kehidupannya jauh lebih baik dibanding dengan mereka. Hal itu, diterima positif oleh pemerintah setempat maupun komunitas lokal. Sejak membaurnya pada tahun 1982 dan pola pikirnya makin berkembang sejak tahun 2000, membuat perubahan bagi kehidupan maupun aktifitasnya orang Bajo makin baik.

Gambar

Tabel IKomposisi Penduduk Desa Mola
Tabel 2Komposisi Penduduk Desa Mola
Tabel  3Komposisi Penduduk Desa Mola

Referensi

Dokumen terkait

Dan untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan atau hubungan nilai-nilai religi dalam penghayatan iman dengan ciri-ciri Entrepreneurship pada entrepreneur ,

Keterangan: *) Siginifikansi nyata taraf kepercayaan 95% Faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan dengan motivasi petani menanam mangrove adalah pengalaman, pen- didikan

Neuroblastoma adalah tumor padat ekstrakranial pada anak yang paling sering, meliputi 8-10% dari seluruh kanker masa knak-kanak, dan merupakan neoplasma bayi yang

1Chronicles 29:11 Thine, O LORD, is the greatness, and the power, and the glory, and the victory, and the majesty: for all that is in the heaven and in the earth is thine

Stres kehamilan adalah salah satu fenomena yang dialami oleh setiap ibu khususnya ibu yang pertama kali mengalami kehamilan (primigravida) yang dipicu oleh

yang dikucurkan oleh bank umum syariah maka akan semakin besar pula profitabilitas yang mungkin akan diperoleh bank dari pembiayaan tersebut. Bank tidak akan mengalami

Tongkang atau Ponton adalah suatu jenis kapal yang dengan lambung datar atau suatu kotak besar yang mengapung, digunakan untuk mengangkut barang dan ditarik dengan