• Tidak ada hasil yang ditemukan

Linearitas Pergeseran Pemikiran tafsir Marketin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Linearitas Pergeseran Pemikiran tafsir Marketin"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Linearitas Pergeseran Pemikiran Marketing dan Komunikasi

Berdasarkan Perkembangan Teknologi Media

Ahmad Badari Burhan & Helpris Estaswara

Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila

Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan

Ph. (+62)85286229590 | E-mail: ahmadbadariburhan@univpancasila.ac.id Ph. (+62)81310488088 | E-mail: the.estaswara@yahoo.com

Abstrak

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah pola konsumsi dan juga cara berkomunikasi konsumen. Kondisi ini telah menyebabkan perubahan dinamika lingkungan bisnis. Merespons perubahan tersebut, disiplin pemasaran modern kemudian menggeser fokus kajiannya dari consumer-centric menjadi

media-centric dalam upayanya untuk mempertahankan kepuasan pelanggan pada era media baru. Pergeseran ini membuat peran komunikasi menjadi sentral dan strategis. Secara umum, perkembangan pemikiran pemasaran sendiri sebenarnya selaras dengan perkembangan teori-teori komunikasi massa sejak 1940an. Namun, pada era teknologi komunikasi yang telah melahirkan media baru, disiplin pemasaran membutuhkan peran disiplin ilmu komunikasi dalam memahami karakteristik media baru dan dampaknya terhadap konsumen serta bagaimana perilaku konsumen atas media baru ini. Studi ini bertujuan untuk: Pertama, mengungkapkan berbagai keselarasan prinsip-prinsip dalam disiplin komunikasi massa dengan pemasaran modern dalam konteks media baru. Penjelasan dilakukan dengan memahami kesamaan dari keduanya yang telah berkembang sebelum tahun 1950-an hingga saat ini. Kedua, menguraikan kebutuhan keterlibatan komunikasi dalam pemikiran pemasaran modern tentang implikasi dari media baru yang terkait dengan karakteristiknya, efek, kebiasaan dan penggunaan, dan implementasinya pada upaya pemasaran kepada pelanggan. Studi ini menunjukkan bahwa pemasaran dan komunikasi di era media baru pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Kata Kunci: media baru, komunikasi massa, pemasaran modern.

Abstract

Rapid development of communication technologies has created to what is known today as new media. It has changed the consumption patterns and how to communicate with the customer. It also changes business environment become more complicated. In respect to these changes, modern marketing discipline then shift its focus from “consumer-centric” to “media-centric” and place communication become more central and strategic. Principally, the development of marketing thought is parallel to the development of mass communication theories since 1940s. Moreover, since the emergence of new media technologies, marketing discipline requires a high degree of involvement of communication in understanding characteristics of new media and its impact on consumer media habit and how to use it in order to maintain customer satisfaction and loyalty. This study is aimed at; firstly, identifying similarity of development history of basic ideas and main perspectives in mass communications and marketing disciplines. Explanation is conducted by understanding the similarity of both that has been developed before 1950s until today. Secondly, elaborating the needs of communication involvement in modern marketing thought on implications of new media associated with its characteristics, effects, habit and use, and its implementation on marketing efforts to customer. The study shows that marketing and communication in the era of new media, in principle, cannot be separated one another.

Keywords: new media, mass communication, modern marketing.

CoverAge: Journal of Strategic

Communication

Vol. 3, No. 1, Hal. 68-74 September 2012 Fakultas Ilmu Komunikasi,

Universitas Pancasila

(2)

PENDAHULUAN

P a d a t a h u n 2 0 0 4 , s a l a h s e o r a n g C h i e f ExecutiveOfficer (CEO) Unilever pernah mengatakan bahwa pendekatan pemasaran massa yang selama ini membantu membesarkan perusahaannya tidak lagi efektif. Pemasaran yang ditujukan pada konsumen individu kemudian dijadikan sebagai pusat dari strategi pemasaran Unilever sampai sekarang. Beberapa perusahaan besar yang berada di kategori consumer packaged goods (CPG) lainnya, seperti Kraft Foods, Nestlé maupun Procter and Gamble (P&G), juga menjalankanpendekatan yang sama,di mana prinsip-prinsip atas direct-to-consumer (DTC) diimplementasikan dalam strategi pemasarannya (Copulsky et al., 2004).

Senada dengan CEO Unilever tersebut, Jim Stengel (Miloski, 2005:19)―mantan Global Marketing Officer (GMO) dari P&G pada tahun yang sama―juga pernah mengatakan bahwa, “kita masih sangat bergantung pada taktik-taktik pemasaran yang sudah tidak relevan dengan kenyataan perilaku konsumen dewasa ini.” Secara umum, Stengel mengungkapkan bahwa model pemasaran tradisional sudah ketinggalan zaman. Model yang relevan saat ini harus dibangun dalam konteks new media di mana dengan pendekatan seperti ini akan membuat P&G mampu berhubungan dengan pelanggannya secara tepat. Perusahaan CPG semacam P&G, sebelum tahun 2004 hanya mengandalkan iklan TV untuk menjangkau khalayaknya dan kurang melakukan pendekatan one-to-one communication. Namun, sejak satu dekade lalu sampai hari ini dan di masa-masa mendatang, lebih menerapkan prinsip-prinsip DTC alih-alih pendekatan pemasaran tradisional.

Apa yang telah dipahami oleh P&G di atas membuktikan bahwa lingkungan bisnis telah berubah. Perubahan ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi media (Magnani, 2004). Perkembangan teknologi media yang pesat sejak dekade 80-an sampai awal 90-an, faktanya telah mengakibatkan lahirnya banyak media komunikasi (pemasaran) baru, baik visual, audio (broadcast) maupun media cetak alternatif (print media) yang berbasis internet dan berteknologi digital (Schroeder, 2004; Straubhaar & LaRose, 2006). Dari televisi yang pada awalnya hanya bersifat one-way medium telah bergeser menjadi two-way medium di mana kontrol khalayak menjadi lebih besar dari waktu sebelumnya (Estaswara, 2008; Tauder, 2005). Kehadiran internet dan berbagai media baru lain yang berbasis micro processor dan bersifat

interaktif—termasuk Social Nerwork Sites (SNSs)— telah memberi cara dan peluang baru dalam berkomunikasi dan bahkan dalam memasarkan produk (Kettler, 2002).

Berbagai fakta di atas akhirnya menandai perubahan peradaban manusia, dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi (Toffler, 1984), dari era globalisasi 2.0 menjadi era globalisasi 3.0 (Friedman, 2005), yang akhirnya mulai menggeser konsep pemasaran massa (mass marketing) menjadi model pemasaran yang lebih segmented dan personalized (Estaswara, 2008; Schultz, 2000). Model pemasaran yang fokus pada kebutuhan, keinginan dan harapan individu konsumen alih-alih mempertahankan konsep konsumen massa (mass consumer). Bahkan, Larry Light—mantan CMO (Chief Marketing Officer) McDonald—pernah mengatakan bahwa era komunikasi adalah era “The Age of I” (Miloski, 2005:20; BusinessWeek, 12/07/2004).

(3)

Berbagai konsep (atau pun jargon-jargon) pemasaran baru kemudian banyak bermunculan, seperti o n e - t o - o n e m a r k e t i n g , d a t a b a s e d m a r k e t i n g , r e l a t i o n s h i p m a r k e t i n g , n e w mediamarketing, marketing 3.0., viral marketing, buzz marketing, new wave marketing, interactive marketing, sampai integrated marketing dan sebagainya (Misloski, 2005; Zahay, Schroeder, 2004; Schultz & Griffin, 2004; Corsten & Kumar, 2005; Phelps et. al., 2004). Inti dari semuanya, di era teknologi komunikasi ini, para pemasar dituntut harus mampu untuk membidik, mengenali dan berhubungan dengan target audience -nya secara lebih fokus sehingga secara relatif lebih mampu memuaskan needs, wants dan expectations konsumen dibandingkan dengan para pesaingnya (Ahmet et al., 2005). Di samping itu, pemasar juga dituntut untuk selalu mencari berbagai cara baru dalam berkomunikasi dengan konsumennya memanfaatkan kehadiran new media yang bertujuan untuk menciptakan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan berdasarkan prinsip two way communication (symetric) dan personalized (Duncan, 2002; Irawan, 2008). Berangkat dari fakta tersebut, tidaklah mengherankan jika perusahaan-perusahaan besar dalam kategori CPG, seperti P&G, Kraft Food, Nestlé dan Unilever kemudian mengadopsi berbagai konsep pemasaran baru (modern) yang lebih personalized guna menyikapi perubahan lingkungan bisnis, pergeseran perilaku konsumen dan tantangan kompetisi di masa-masa mendatang yang diakibatkan oleh munculnya “the new media.” Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa artikel ini sebenarnya memiliki satu asumsi dasar di mana perubahan teknologi media— menjadi digital, interaktif, asynchronous, dialog, dan personal (Estaswara, 2008; Straubhaar & LaRose, 2006)—sebagai medium interaksi, komunikasi dan penyebaran informasi terkait dengan aktivitas perusahaan dalam upaya meningkatkan profit memiliki peran krusial dalam perkembangan teori dan konsep pemasaran. Di sisi lain, perkembangan teknologi media dengan berbagai macam dinamikanya telah menjadi dasar perkembangan ilmu komunikasi. Memahami berbagi gagasan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk melihat sejauhmana linearitas pergeseran pemikiran marketing dan komunikasi itu sendiri berdasarkan perkembangan teknologi media.

TINJAUAN PUSTAKA

Peradaban dan Teknologi Media Komunikasi

Kerangka pemikiran dalam artikel ini didasarkan pada gagasan Alvin Toffler tentang perubahan peradaban manusia terkenal dengan sebutan The Third Wave (1980). Gagasan Toffler ini kemudian dikaitkan dengan ide-ide mengenai perkembangan teknologi media dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang dikembangkan oleh Straubhaar & LaRose (2006) serta merujuk pada penjelasan Estaswara (2008).

Seiring dengan adanya perubahan pasar pada tahun 1970-an, Alfin Toffler, sang futurist muncul dengan gagasannya tentang demasifikasi. Ide ini menyerang paradigma dominan yang berkembang pada waktu itu, mass marketing (The Future Shock, 1970). Selaras dengan pandangan Trout dan Rise (2002), dalam bukunya yang berjudul The Third Wave (1980), Alfin Toffler kemudian membagi peradaban manusia ke dalam tiga bagian. Berbasis pada pemahaman tersebut, dalam artikel ini kemudian dibangun ide-ide tentang pembagian peradaban manusia dengan menggunakan perkembangan teknologi media sebagai pijakan utama dalam berpikir (Estaswara, 2008; Straubhaar & LaRose, 2006). Dengan kata lain, perubahan peradaban manusia yang telah diungkapkan oleh Toffler akan dikaitkan dengan perkembangan teknologi media dan perubahan masyarakat, termasuk juga didalamnya bagaimana pemasaran dan bisnis dikelola serta perkembangan komunikasi itu sendiri sebagai sebuah ilmu.

(4)

waktu itu masih bersifat oral communication. Hal ini mengingat bahwa teknologi komunikasi yang dominan saat itu hanyalah mulut atau face-to-face communication. Tentu saja, dalam komunikasi model ini jarak menjadi kendala utama, apalagi alat transportasi utama pada waktu itu hanyalah memanfaatkan tenaga kuda, di samping jalan kaki. Kondisi ini semua membuat basis sistem sosial-ekonominya berpusat pada keluarga. Demikian juga dengan sistem organisasi yang berkembang masih bersifat personal (Estaswara 2008, Straubhaar & LaRose, 2006).

Sistem pertanian mulai berubah sejak ditemukan mesin uap oleh James Watt sekitar 350 tahun lalu. Tidak hanya itu, pada masa ini juga banyak penemuan-penemuan teknologi lainnya, termasuk teknologi cetak (movable type) yang menandai awal mula perkembangan print mass media—diawali dari Gutenberg Bible. Namun, puncak perubahan sosial terjadi pada saat Revolusi Industri (industrial revolution). Peristiwa ini menandai perubahan peradaban manusia menuju industrialisasi. Gelombang perubahan kedua (second wave) ini mengantarkan pada era masyarakat industri. Pada abad ini, sektor bisnis utama adalah industrialisasi (pabrik). Ide-ide pemasaran yang dikembangkan pun lebih ditujukan untuk menjual komoditas hasil industri. Ide-ide ini berlangsung melintasi perspektif Classical, Neoclassical sampai Formative Marketing (Lusch & Vargo, 2004). Fokus utamanya adalah penjualan barang (goods focused). Pada waktu itu modal kapital menjadi sumber daya ekonomi yang utama. Sedangkan tipe komunikasi yang dijalankan sudah berkembang menjadi mass communication sejak ditemukannya mesin cetak. Penemuan ini akhirnya melahirkan buku dan majalah yang kemudian menandai dimulainya era publisitas. Perkembangannya kemudian lahir radio dan televisi di abad 20. Kondisi ini berpengaruh pada basis sistem sosial-ekonomi menuju pada kesepakatan massa (uniformity) yang ditentukan melalui agenda publik—yang umumnya berangkat dari agenda media. Mengingat sektor ekonomi utamanya adalah industri, maka sistem organisasinya pun bersifat mechanic(Estaswara 2008, Straubhaar & LaRose, 2006).

Munculnya Revolusi Industri sekitar abad ke-18 (1750-1850) bagaimana pun juga telah melahirkan era baru di bidang produksi barang, pemasaran dan periklanan. Pada masa itu banyak bermunculan produsen yang membuat barang secara massal (mass production) dengan sistem manufacturing

atau pabrikan. Mengingat pasar lokal sudah jenuh dibanjiri oleh produk, maka muncul kebutuhan atas saluran distribusi yang luas, yang bersifat lintas geografi (mass distribution). Tidak mengherankan jika kemudian banyak dibangun rel kereta api, pelabuhan, bahkan kanal-kanal pelayaran sebagai jalur ekspansi distribusi barang. Dengan adanya mass production, produsen juga harus menciptakan mass consumption supaya produknya diserap oleh pasar. Maka, tak dapat dipungkiri lagi jika kemudian peran mass media sebagai channel komunikasi pemasaran menjadi sangat penting, di mana pesan-pesan informatif dan persuasif melalui mass communication dan mass advertising banyak dibuat dengan tujuan menciptakan permintaan produk secara massal (Egan, 2007).

Pada masyarakat industri, energi bersumber pada batu bara, minyak, dan gas. Berbagai kegiatan eksplorasi kekayaan alam dan cadangan energi bumi banyak dilakukan dan menjadi sumber perkembangan ekonomi. Era Industrialisasi juga melahirkan berbagai mesin elektronik. Kota-kota dengan pabrik-pabrik yang besar banyak bermunculan. Dari pusat-pusat industri ini, kemudian mengalirkan berjuta-juta produk seperti kemeja, sepatu, arloji, mainan, sabun, shampo, kamera, sampai senjata. Tidak mengherankan jika saat ini di Amerika Utara, 250 juta masyarakatnya hidup dalam dunia industrialisasi. Di Eropa Barat, dari Skandinavia Selatan membentang sampai Italia, 250 juta masyarakatnya juga hidup dari sektor industri. Di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet bagian barat, 250 juta rakyat hidup sebagai masyarakat industri. Sedangkan daerah industri di Asia, seperti Jepang, Hongkong, Singapura, Taiwan, Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan serta sebagian daratan Cina, juga terdapat sekitar 250 juta masyarakat yang menggerakan sektor industri. Secara keseluruhan dalam peradaban industri paling tidak melibatkan satu milyar manusia atau sekitar 20% penduduk dunia saat ini (Estaswara 2008).

(5)

Amerika Serikat pada tahun 1641. Lalu, pada tahun 1731, lahir majalah pertama di Inggris, Gentlement’s Magazine (Straubhaar & LaRose, 2006). Retorika yang sebelumnya hanya meliputi komunikasi suara melalui teknik pidato atau dialog telah bergeser ke arah tulisan. Implikasi lahirnya mesin cetak dan publikasi adalah literacy. Apa artinya? Masyarakat menjadi pandai membaca dan memahami berbagai informasi. Agenda media massa telah menjadi agenda publik yang melahirkan “pengetahuan massa.” Maka, tidaklah mengherankan jika ilmu pengetahuan dan industrialisasi pun berkembang pesat sampai akhirnya muncul Revolusi Industri.

Retorika pada dasarnya bukanlah sekadar ilmu berbicara namun termasuk juga tulisan. Pemahaman ini akhirnya melahirkan ilmu publisitas yang berkembang pada awal abad ke-20. Seiring dengan munculnya teknologi radio (1896) dan televisi (1925), pengertian publisitas meluas tidak hanya terkait dengan media cetak, namun juga siaran radio dan televisi. Akhirnya, ilmu publisitas berkembang menjadi apa yang sekarang dikenal dengan komunikasi massa. Masa-masa selanjutnya, perkembangan mass media tidak hanya didominasi oleh print media saja. Faktanya, pada tahun 1920 radio sudah mengudara dan dapat didengarkan oleh khalayak luas. Pada tahun 1926 lahir commercial radio yang pertama di AS (Straubhaar & La Rose, 2006). Tak lama setelah itu muncul televisi dan pada tahun 1947 untuk pertama kalinya iklan televisi ditayangkan di AS dalam format hitam-putih dengan gambar tidak bergerak (freeze television). Lalu, pada tahun 1953 TV berwarna dikenalkan. Dua tahun kemudian, tahun 1955, iklan TV pertama di Inggris muncul (Straubhaar & La Rose, 2006; Egan, 2007).

Perkembangannya kemudian, televisi komersial mulai mendapatkan saingan baru dengan munculnya cable TV. Cable TV yang pertama di AS sebenarnya sudah lahir pada tahun 1948, namun saat itu siarannya masih terbatas hanya di daerah Oregon dan Pennsylvania saja. FCC (Federal Communications Commission) masih melarang penyebaran cable TV. Keadaan mulai berubah pasca tahun 1972. Peraturan tentang pembatasan wilayah siaran cable TV kemudian direvisi. Akibatnya, pada dekade 80-an di AS telah di banjiri TV kabel (Straubhaar & LaRose, 2006). Lahirnya radio dan televisi bagaimana pun juga menandai era mass communication. Perkembangannya kemudian, pada dekade 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu

komunikasi yang dirumuskan Hovland (Barelson & Janowitz, 1953). Menurutnya, ilmu komunikasi dikatakan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk memformulasikan secara tepat atas prinsip-prinsip penyebarluasan informasi serta pembentukan opini dan sikap.

Era mass communication melahirkan apa yang dikenal dengan mass marketing. Sifat dari komunikasi ini masih satu arah (one-way communication). Bagaimana pun juga era ini bertahan sampai akhir 70-an. Walaupun dekade 50-an pemikiran pemasaran sudah berfokus konsumen, namun pasarnya masih umum (mass market). Pergeseran mulai terjadi dengan lahirnya paradigma Marketing as Social and Economic Process. Jika kita bicara realitasnya, apakah hari ini sudah tidak ada lagi perusahaan yang menjalankan mass marketing? Fokus uraian ini adalah perkembangan pemikiran pemasaran, bukan prakteknya. Fakta menunjukkan bahwa sampai hari ini masih banyak perusahaan menggunakan mass marketing dalam memasarkan produknya, termasuk perusahan-perusahaan di Indonesia (Estaswara 2008).

Selanjutnya, dengan ditemukannya digital technology dan Internet yang disebut sebagai revolusi informasi (information revolution), akhirnya menggeser tatanan industrial. Perkembangan teknologi ini menandai perubahan peradaban menuju masyarakat informasi. Pada gelombang perubahan ketiga ini, sektor utama kehidupan adalah informasi. Konsekuensinya, modal intelektual atau pengetahuan dan skill (operant resources) menjadi sumber daya ekonomi yang utama. Dengan ditemukannya digitalisasi media dan internet, tipe komunikasi yang dijalankan telah berkembang menjadi technological communication. Kondisi ini berpengaruh pada basis sistem sosial-ekonomi menuju kesepakatan massa namun bersifat segmented dan ansynchronistic—dunia tanpa batas wilayah dan waktu. Pada masa ini dapat disebut juga sebagai era komunikasi dua arah ( two-way communication) atau era media interaktif. Ide-ide pemasaran akhirnya bergeser dari produk ke konsumen (consumer focused). Seperti dikatakan oleh Kitchen dan Schultz (1999), digitalisasi, teknologi informasi, intellectual property, dan sistem komunikasi merupakan satu-kesatuan utama yang mendorong perubahan konsep komunikasi pemasaran (Estaswara 2008).

(6)

kemudian konsep learning organization dalam pengelolaan perusahaan. Organisasi pada abad ke-21 ini disebut dengan “organisasi pembelajar”. Drucker (1997) menggambarkan organisasi seperti ini dengan mengatakan sebagai sebuah organisasi yang berbasis pengetahuan di mana sebagian besar pekerjanya terdiri atas para spesialis yang mengarahkan dan mendisiplinkan kinerja mereka sendiri melalui pengelolaan umpan balik dari para kolega, customer maupun kantor pusat. Sehingga, bisnis akan menjadi apa yang disebutnya dengan organisasi yang berbasis informasi. Sebuah cerminan organisasi masa depan dalam era informasi (Estaswara 2008).

Dalam masyarakat informasi, digital technology dengan kemampuan lintas medianya (multimedia) dan internet yang berkemampuan lintas batas, telah mengubah wajah peradaban dunia menjadi kompleks. Pada awal tahun 1970-an, faktanya masih belum ditemukan satu pun website, namun pada akhir abad ke-20, tercatat ada sekitar 4,7 juta website. Di Indonesia sendiri, intenet sudah masuk pada tahun 1984 dan sepuluh tahun kemudian lahir provider Internet komersial yang pertama, IndoNet. Di lain pihak, perkembanagn teknologi juga terjadi di Indonesia. Sampai akhir 1990-an h1990-anya terdapat satu televisi, TVRI. Sekar1990-ang, televisi nasional sudah mencapai 11 stasiun dan lebih dari 100 stasiun televisi daerah. Jumlah ini belum terhitung dengan Cable TV. Demikian juga dengan jumlah stasiun radio di Indonesia, yang saat ini sudah mencapai lebih dari 700 buah, belum termasuk radio komunitas. Pasca kebebasan pers pada tahun 1999, jumlah majalah, koran, judul buku, stasiun televisi, stasiun radio, serta jumlah website sampai judul film dan lagu di meningkat pesat. Ini baru di Indonesia, sebagai representasi dari developing country yang dalam perkembangan teknologi informasi, tidak semaju negara-negara Barat (Estaswara 2008).

New Media dan Perilaku Konsumen

Terkait dengan media baru, dunia pemasaran hari ini bagaimana pun juga harus beradaptasi dengan karakteristik konsumen di era informasi, terutama sekali karakteristik pola media usage dan media habit-nya. Dengan adanya media baru, konsumen menjadi lebih superior dalam menentukan kapan (when), di mana (where), dan bagaimana (how) mereka menggunakan media. Beberapa pemikir pemasaran menyebut fenomena ini sebagai “the age of the consumer” atau era konsumen. Konsumen hari ini dan di masa-masa mendatang memegang penuh kontrol atas media pemasaran

dan tidak memberikan toleransi lagi terhadap pesan-pesan pemasaran yang membuatnya tidak suka (Magnani, 2004).

Efektivitas pemasaran tidak lagi ditentukan oleh kemampuan dalam menjangkau khalayak luas melalui media massa. Dewasa ini, khalayak sangat terfragmentasi atas berbagai keinginan individu (personal interest). Fragmentasi diperkuat dengan lahirnya media baru (new media), seperti Internet, e-mail, video gaming, in-store kiosk, dan sebagainya (Kim, Han & Schultz, 2004; Kitchen & Li, 2004). Di samping itu, perusahaan yang telah menjalankan one-to-one marketing perlu untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang karakteristik personal konsumennya, tidak sekedar hanya memikirkan bagaimana menciptakan kreativitas pesan (inside-out), tanpa adanya basis atas pemahaman tentang perilaku komunikasi target khalayaknya (outside-in). Sebelum dekade 1990-an, kenyataannya mudah bagi semua perusahaan untuk menjangkau target audience tertentu (niche audience) melalui media massa atau paling tidak medium yang semi-massa, seperti direct mail atau email. Seiring berkembangnya Internet dan berbagai media teknologi komunikasi yang dapat diakses dari mana pun secara personal, membuat konsumen jauh lebih memiliki kekuasaan untuk menghindari berbagai pesan pemasaran (Magnani, 2004:18). Di sisi lain, konsumen juga jauh lebih memiliki akses terhadap informasi. Melalui internet, konsumen dengan mudah mendapatkan berbagai informasi yang digunakannya untuk membandingkan harga maupun kualitas suatu produk. Dengan informasi yang dimilikinya tersebut, konsumen kemudian melakukan tawar-menawar dengan perusahaan. Pemasar di era new media menghadapi konsumen yang sangat kritis karena mereka berbekal banyak informasi yang akurat tentang kelebihan dan kelemahan produk di banding dengan produk lainnya. Di samping itu, konsumen bisa melakukan pembelian secara online. Mereka dapat membeli suatu produk dari mana pun dan kapan pun juga. Faktanya, tidak ada media dalam sejarah kehidupan manusia yang memberikan kepada konsumen kebebasan dan kekuasaan penuh seperti yang diberikan oleh media hari ini (Estaswara 2008).

(7)

iMediaConnection pernah menggambarkan fenomena perilaku konsumen dalam menggunakan media di era komunikasi dengan “prime time becoming my time” (Miloski, 2005:18).

New Media dan Teknologi Jaringan

Bukti fragmentasi media menuju media baru dapat ditelusuri dari perkembangan teknologi jaringan yang berawal dari dikenalkannya generasi jaringan 1G (AMPS atau Advance Mobile Phone Service) yang muncul sekitar 1990-an. Teknologi generasi pertama ini mampu mengubah perilaku penguna telepon. Walaupun teknologinya masih berbasis analog, namun sudah cukup untuk mengubah perilaku berkomunikasi, dari yang dulunya menggunakan telepon tetap atau rumah (fixed phone) menjadi mobile dengan menggunakan handphone.

Perkembangan generasi selanjutnya, lahirlah teknologi 2G (GSM atau Global System for Mobile Communication) yang sudah mampu menghadirkan fitur SMS dan MMS. Short Message Service (SMS) adalah standar layanan komunikasi telepon mobile yang berupa teks. SMS menggunakan standar protokol komunikasi yang memungkinkan pertukaran pesan teks singkat antar pengguna. SMS merupakan salah satu cara berkomunikasi yang bayak dilakukan oleh masyarakat Indonesia melalui handphone. Adapun Multimedia Messaging Service (MMS) adalah sebuah layanan pesan telepon mobile yang memungkinkan pengguna untuk mengirim pesan yang bersifat multimedia, seperti gambar, audio, video, dan rich text. Kehadiran GSM memiliki dampak yang jauh lebih besar dalam mengubah cara berkomunikasi manusia. Sejak dikenalkannya teknologi generasi kedua ini, pertumbuhan jumlah pengguna handphone meningkat pesat.

Selanjutnya, lahirnya generasi ketiga—sering dikenal dengan 3G—semakin menambah kapasitas kemampuan media baru (handphone, komputer) dalam menampilkan audio-visual dan koneksi Internet secara mobile. Saat ini, teknologi 3G sudah diperkuat lagi dengan munculnya teknologi 3,5G yang mampu mempercepat transfer data dengan basis teknologi HSDPA (High-Speed Downlik Packet Access). Teknologi ini mampu membuat internet dapat diakses secara mobile dengan kecepatan tinggi. Kehadiran 3G dan 3,5G membuat jargon “the Age of I” atau “prime time becoming my time” semakin menemukan realitasnya. Bahkan perkembangan terkini, telah lahir generasi teknologi terbaru, 4G yang berbasis pada teknologi Next

Generation Network(NGN).

Bagi dunia telekomunikasi, teknologi seluler generasi keempat atau NGN banyak menarik perhatian. Hal ini dikarenakan NGN menyediakan jaringan terbuka yang mampu memberikan layanan terintegrasi dengan akomodasi layanan berbasis sirkuit switch dan paket switch. Layanan tersebut di antaranya adalah mobile service dan fixed service, baik untuk publik maupun untuk private. Jaringan NGN juga menawarkan arsitektur terbuka, Service Driven Network, dan Jaringan Package Based yang seragam. NGN menawarkan akses tak terbatas bagi user dari berbagai penyedia layanan yang berbeda. NGN juga mendukung mobilitas secara menyeluruh dengan memberikan layanan yang konsisten dan tersedia di mana-mana bagi user (IT Telkom Today,19 Mei 2009; Rachmana & Praditya, 2006).

Perkembangan teknologi di atas juga berjalan seiring dengan kemajuan teknologi micro prossesor yang menjadi hardware utama teknologi komputer dan handphone di samping sofistikasi software. Faktanya, dewasa ini perkembangan teknologi smartphone—telepon seluler yang memiliki kemampuan mengakses Internet dan multimedia— berjalan selaras dengan kemajuan teknologi jaringan data. Penjualan smartphone sendiri juga semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, saat ini banyak smartphone yang dijual dengan harga murah untuk kalangan menengah ke bawah (Inilah.com, 29/04/2010).

Dengan perkembangan teknologi komunikasi yang sedemikian maju, akibatnya akan melahirkan berbagai dampak terhadap konsumen terkait dengan penggunaan media, mengakses informasi, serta cara berkomunikasi dan berinteraksi. Kenyataannya, dewasa ini banyak orang lebih suka menghabiskan waktunya untuk mengakses Social Network Sites (SNSs) melalui smartphone-nya. Trend ini semakin memuncak dengan hadirnya BlackBerry (BB)—yang di dalamnya terdapat aplikasi YM dan FB serta secara otomatis melahirkan komunitas-komunitas BB karena adanya aplikasi BlackBerry Messenger (BBM). Menariknya lagi, ternyata smartphone produksi RIM (Research in Motion) ini laris terjual, dan bahkan menjadi trenddi Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Importir Seluler Indonesia (AISI), penjualan BB di Indonesia sepanjang tahun 2009 sudah menembus angka satu juta unit. Sedangkan untuk tahun 2010 ini, RIM telah memasarkan 1,4 juta unit BB di Indonesia (Ridwan, 2010).

(8)

memahami target audience-nya secara personal (intimate) sehingga dengan kreatif, terarah dan tidak mengganggu mampu memadukan berbagai pesan pemasaran dalam gaya hidup khalayaknya. Ke depan, sekali sebuah perusahaan dengan pesan pemasarannya mengganggu aktivitas media yang dilakukan khalayaknya, maka mereka tidak akan pernah lagi menggunakan media tersebut. Dengan cara memahami konsumen yang kemudian dipadukan dengan strategi integrasi multi-channel, perusahaan akan lebih mampu untuk menjangkau khalayaknya dengan cara yang jauh lebih tepat dari apa yang dapat dilakukan di masa-masa sebelumnya.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yang merupakan penelitian dengan sumber data kepustakaan yang relevan dengan tujuan penelitian ini, yaitu menjelaskan linearitas pergeseran pemikiran m a r k e t i n g d a n k o m u n i k a s i b e r d a s a r k a n perkembangan teknologi media. Penelitian seperti ini umumnya digunakan untuk menganalisis, mengkritisi dan menelaborasi ilmu pengetahuan dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah berpikir ilmiah guna memberikan kontribusi secara akademik. Tujuannya untuk mencari dan merumuskan teori, konsep-konsep, prinsip-prinsip, asumsi-asumsi, pola-pola, dasar-dasar, sampai dalil-dalil yang sesuai dengan tujuan penelitian (Ridley, 2008).

Sedangkan metode penelitian yang digunakan berjenis kualitatif dengan sifat deskriptif dengan cara menganalisis data literatur, diberikan makna dan dielaborasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai hasil penelitian, pemikiran teoretis dan data lainnya yang relevan, baik secara pemikiran maupun yang bersifat empiris dan praktis. Dalam pemilihan sumber data, tetap didasarkan pada prinsip-prinsip objektivitas, dapat dibuktikan, derajad keyakinan, dan nilai kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dari sumber yang digunakan sebagai data penelitian. Terakhir, metode analisis data menggunakan annotated bibliographyatau analisis yang dilakukan dengan cara memahami sumber-sumber pemikiran dan empiris (hasil penelitian ilmih dan praktis) yang digunakan untuk merumuskan teori serta

konsep-konsep yang relevan guna menjawab pertanyaaan penelitian (Cooper, 1988; Randolph, 2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perubahan yang terjadi di lingkungan pemasaran akibat perkembangan teknologi media bagaimana pun juga melahirkan berbagai dampak yang perlu untuk dipikirkan ulang. Salah satunya adalah pentingnya peran komunikasi dalam keseluruhan strategi dan proses pemasaran. Pemasaran dewasa ini tidak lagi dapat mengandalkan komunikasi hanya melalui media massa. Pendekatan pemasaran massa telah digantikan personalized marketing dengan lahirnya media baru.

Dilihat secara umum, perkembangan pendekatan pemasaran sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori komunikasi massa. Lahirnya radio dan televisi (1890-1925) bagaimanapun juga telah menandai lahirnya era mass communication. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1940-an, lahirlah komunikasi sebagai ilmu seiring dengan dikenalkannya definisi ilmu komunikasi oleh Hovland (Estaswara, 2008). Kemudian, era mass communication melahirkan mass marketing. Sifat dari komunikasi ini masih satu arah (one-way communication). Era ini bertahan sampai akhir dekade 50-an, baik dalam perkembangan teori komunikasi massa maupun pemasaran. Hal ini mengingat juga bahwa pada dekade 50-an pemikiran pemasaran mulai berfokus pada konsumendengan lahirnya banyak penelitian di bidang perilaku konsumen seiring berkembangnya aliran psikologi kognitif yang menempatkan manusia bukan lagi hanya sebagai objek dari lingkungan (komunikasi). Walaupun demikian, pandangan pemasaran terhadap pasarmasih bersifat umum (Estaswara, 2008).

(9)

Di samping itu, ada juga Katz, Blumer dan Gurevitz (1959) yang pertama kali mengungkapkan uses and gratification, kemudian McLuhan (1963) melalui teori determinisme media-nya (ekologi media), serta McComb dan Shaw (1972) yang mengenalkan agenda setting—lahir sebagai kritik atas hypodermic needle theory—yang juga kembali mendudukan pemahaman tentang keperkasaan

media massa walaupun pada tingkatan yang moderat dan dengan fokus yang digeser kepada receiver (Rakhmat, 2000). Pada titik ini, teori komunikasi massa tidak dapat lagi dipandang sebagai sebuah model yang bersifat linier, namun sudah bergeser ke arah two-way communication, paling tidak yang bersifat asimetris.

Berdasarkan urain di atas, jelas terlihat bahwa

Tabel 1: Hubungan antara Perkembangan Pemikiran

Komunikasi (Massa) dan Pemasaran

(10)

perkembangan pemikiran pemasaran berhubungan dengan perkembangan teori komunikasi massa yang diperkuat dengan lahirnya aliran pemikiran psikologi kognitif. Sebelum dekade 50-an, gagasan pemasaran yang berkembang adalah pemasaran massa atau sering disebut juga dengan era product-centric. Pemikiran komunikasi massa pun sebelum dekade yang sama juga berbasis pada prinsip one-way communication yang menganggap media massa sangat powerful. Lahirnya pendekatan ini juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran psikologi behaviorism yang berkembang saat itu. Artinya, bagaimanapun juga paham pemasaran di era product centric masih mengandalkan prinsip-prinsip komunikasi satu arah melalui media massa.

S e p e r t i t e r l i h a t p a d a t a b e l d i a t a s , perkembangan teori komunikasi massa kemudian mengalami pergeseran, dari media-centric— yang dapat dikatakan juga mewakili prinsip product-centric dalam perspektif pemasaran— menjadi receiver-centric yang merepresentasikan consumer-centric selama dekade tahun 1940-1960. Konsepsi tentang media-centric dalam konteks ini juga diartikan sebagai sender-centric. Pada dekade ini, teori-teori komunikasi mengkritisi dampak media massa yang powerful. Teori masyarakat massa (mass society theory) dan jarum hipodermik (hypodermic needle theory) kemudian dipertanyakan seiring dengan berkembangnya teori tentang pengaruh terbatas (limited effect) yang membatasi dampak media dengan menempatkan khalayak sebagai sentral kajian. Teori ini menerangkan bahwa khalayak bukanlah korban tak berdaya dari media (West & Turner, 2008).

Di sisi lain, paradigma pemasaran juga berubah fokus dari produk menuju ke pasar atau konsumen. Lahirlah kemudian apa yang disebut sebagai aliran marketing management yang menyatakan bahwa pemasaran harus berprinsip pada customer focused di mana nilai (value) tidak ditentukan oleh produk, tetapi pertukaran akan terjadi jika value ditentukan oleh pasar atau konsumen (Vargo & Lusch, 2004; Estaswara, 2008). Berangkat dari penjelasan ini terlihat bahwa pemikiran dalam disiplin pemasaran telah bergeser ke arah konsumen selaras dengan pergeseran teori-teori komunikasi massa yang berubah fokus ke arah receiver. Prinsip-prinsip pemasaran yang kemudian diadopsi sebagai prinsip komunikasi pemasaran juga bergeser dari product-value-added oriented menjadi Segmentation-Targeting-Positioning (STP) dengan penekanan tidak sekadar pada masalah produk, namun

telah dikembangkan ke arah harga, distribusi dan promosi atau sering dikenal dengan 4P’s (Estaswara, 2008).

Perkembangan selanjutnya, lahir teori-teori komunikasi massa yang lebih menekankan pada aspek perbedaan khalayak alih-alih media— selain McLuhan yang masih tetap berfokus pada aspek media dan peran pasif khalayak dengan mengembangkan pemikiran awal dari Harold Adam Innis (1951), seorang tokoh ekonomi politik berkebangsaan Kanada (West & Turner, 2008). Fokus kajian komunikasi massa bergeser pada perbedaan khalayak yang berkembang pada era ini teridentifikasi juga selaras dengan perkembangan ide-ide dalam disiplin pemasaran yang meletakkan konsumen sebagai sentral kajian. Menyikapi pergeseran pemikiran ini, prinsip-prinsip pemasaran kemudian berubah fokus dari 4P’s menjadi 4C’s, Consumer needs & wants, Consumer’s cost, Convinience to buy dan Communication (Estaswara, 2008).

Dewasa ini, seiring dengan fenomena internet sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi media, perkembangan teori komunikasi bergeser kembali ke arah media (baru). Namun dapat dikatakan berbeda dengan konsepsi media pada masa-masa awal perkembangan teori komunikasi massa. Pada era ini, media—new media—memang menjadi fokus utama, namun tidak meninggalkan prinsip perbedaan khalayak (receiver aspect) dalam merespon media. Teori-teori seperti uses and gratification masih relevan dengan perkembangan kenyataan sosial hari ini walau lahir pada masa-masa awal receiver-centric. Faktanya, khalayak dapat memilih media yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya, termasuk pilihannya atas berbagai jenis media baru. Di samping itu, lahir pula konsep CMC (Computer-Mediated Communication) yang menurut Lengel (Eadie, 2009) menjadi sangat penting perannya di era new media seiring dengan maraknya fenomena komunikasi melalui YM, FB sampai Tweeter.

Terkait dengan teori technological determinism (dikenal pula dengan sebutan determinisme media atau ekologi media oleh para pemikir komunikasi)yang diangkat oleh McLuhan—terlepas dari pro-kontra seputar bangunan teoretisnya— bagaimanapun juga saat ini media baru telah membentuk kebudayaan manusia, khususnya dalam cara berkomunikasi. Menurutnya, era internet dewasa ini tidak lebih dari era tribal di Hubungan antara Perkembangan Pemikiran

(11)

mana bentuk komunikasi yang berkembang tidak ubahnya komunikasi tatap muka, perbedaannya adalah saat ini komputer menjadi medianya atau sering dikenal juga dengan konsep the media is the extension of men. Artinya, komputer (new media) merupakan kepanjangan dari sistem syaraf pusat manusia (West & Turner, 2008) sebagai “homo communis.” Dengan mengartikan pemikiran McLuhan seperti di atas, maka dapat dikatakan juga bahwa teori technological determinism secara umum memiliki keselarasan pemahaman dengan konstruk yang terbangun dalam CMC dan juga uses and gratification terkait dengan kebebasan khalayak untuk memilih media baru sebagai media yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan harapannya.

Perkembagan teori komunikasi massa yang kembali berfokus pada objek kajian media juga teridentifikasi selaras dengan perkembangan pemikiran pemasaran. Media baru telah menjadi sentral pemikiran pemasaran dalam upayanya untuk selalu menjaga keberlangsungan komunikasi dengan pelanggan sebagai representasi dari bangunan hubungan yang saling menguntungkan

dalam jangka panjang. Seperti telah diungkapkan di bagian muka, konsep (dan jargon) pemasaran yang berkembang di era teknologi komunikasi ini telah memfokuskan diri pada media baru, termasuk konsepsi terkini yang diungkapkan oleh Kotler et al. (2010) tentang pemasaran dengan menyebutnya sebagai dekade Marketing 3.0. Sekali lagi, ide-ide utama pemasaran modern ini selaras dengan perkembangan teori komunikasi massa kontemporer—sama-sama memandang new media sebagai sentral kajian.

Pergeseran fokus kajian pemasaran dan komunikasi massa akibat dari perkembangan teknologi media, juga mengubah basis pemikiran komunikasi pemasaran dengan berkembangnya konsep IMC (Integrated Marketing Communications). Melalui pendekatan IMC, prinsip 4Cs kemudian direvisi oleh Schultz (2000) menjadi 5R’s, Responsiveness, Relevant, Receptivity, Recognition, dan Relationship. Gagasan dasar dibalik 5R’s sebenarnya berbasis pada fenomena interaktif media. Konsepsi tentang pesan dalam komunikasi pemasaran tidak lagi relevan jika menganut model komunikasi linear yang dikenalkan pertama kali oleh Lasswell

Tabel 2: Hubungan antara Perkembangan Prinsip Komunikasi

(Massa) dan Pemasaran

(12)

pada tahun 1948. Pemahaman atas media di era informasi harus menjadi dasar strategi pesan (creative strategy) dalam berkomunikasi dengan konsumen sebagai receiver. Model komunikasi yang kemudian dikembangkannya tidak lagi “ message-media-consumer,” namun berubah pola menjadi “media-message-consumer” (Schultz, 2000:26-27).

Dengan demikian, keselasaran perkembangan pemikiran pemasaran dan komunikasi massa dapat dijelaskan berdasarkan tabel di bawah. Secara umum, prinsip-prinsip pemikiran pemasaran yang berkembang sebelum tahun 50-an sampai hari ini dapat dikelompokkan menjadi tiga prinsip utama, yaitu product-centric, consumer-centric dan media-centric. Pertama, Product-centric atau pemikiran yang berfokus pada kualitas produk, di mana prinsip product value-added menjadi determinan ide. Kedua, “consumer-centric” atau pemahaman bahwa konsumen harus menjadi pusat perhatian, sudah memfokuskan pada prinsip penciptaan kepuasan pelanggan sebagai ide utamanya. Ketiga, “media-centric” atau media komunikasi menjadi sentral dalam kegiatan pemasaran, di mana prinsip-prinsip pemanfaatan media baru digunakan untuk memperkuat kepuasan dan loyalitas pelanggan menjadi persoalan krusial.

Prinsip-prinsip dalam pemasaran yang telah dijabarkan tersebut teridentifikasi identik dengan perkembangan prinsip-prinsip komunikasi massa. Pertama, ketika pemikiran komunikasi massa masih memegang teguh model one-way communication (linear), di mana pesan yang dikomunikasikan melalui media massa dapat mempengaruhi khalayak secara maksimal (powerful), prinsip pemasaran yang berkembang pada saat itu juga mendasarkan pada product-oriented. Kedua, ketika prinsip-prinsip komunikasi massa sudah bergeser ke arah model two-way communication (asymetric), di mana khalayak tidak lagi dipandang semata-mata sebagai “korban” media massa, namun dipahami sebagai manusia yang secara sadar dan aktif berinteraksi dengan media, prinsip pemasaran pun berkembang menjadi consumer-oriented, di mana kepuasan konsumen menjadi sentral kajian. Terakhir, seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dengan lahirnya micro prossessor sebagai dasar utama hardware dari semua alat komunikasi berbasis komputer— termasuk smartphone, model komunikasi yang dibangun kemudian bergeser ke arah two-way

communications (symetric), di mana media baru dianggap mengubah pola konsumsi media dan cara berkomunikasi khalayak. Gagasan ini pun selaras dengan perkembangan ide-ide dalam disiplin pemasaran yang telah memberikan perhatian serius pada media baru, khususnya efek media baru terhadap upaya penciptaan kepuasan dan loyalitas konsumen.

Tidak mengherankan jika kemudian pemikir pemasaran mengaitkan pemahanan tentang pemasaran modern di era teknologi media dengan disiplin komunikasi. sebagaimana yang dikutip Estaswara (2008), di antaranya adalah Martani Huseini, profesor pemasaran internasional dari Universitas Indonesiamengatakan bahwa:

“Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat merupakan pendorong berkembangnya disiplin dan konsep pemasaran. Perkembangan konsep tersebut sekaligus menjadikan peran komunikasi dalam aktivitas pemasaran pada posisi yang lebih sentral dan strategis.”

Senada dengan pemikiran di atas, peran penting komunikasi di bidang pemasaran juga diungkapkan oleh Kotler (2001) dan Kitchen dan Eagle(2005) dengan mengatakan bahwa:

"Modern marketing call for more than just

developing a good product, pricing it attractively, and making it accessible. Companies must also communicate with present and potential stakeholders, and the general public. Every company is inevitably cost into the role of c o m m u n i c a t o r a n d p r o m o t e r . F o r m o s t companies, the question is not whether to communicated but rather what to say, to whom, and how often."

Lebih lanjut, peran penting komunikasi dalam bidang pemasaran juga diungkapkan oleh AMA (American Marketing Association) dalam definisinya yang dikeluarkan pada tahun 2004. AMA mendefinisikan pemasaran sebagai berikut (Bolton, 2005; Estaswara, 2008):

“Fungsi organisasi dan serangkaian proses menciptakan, mengkomunikasikan dan menyampaikan nilai bagi pelanggan, serta mengelola relasi pelanggan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat bagi organisasi dan para stakeholder-nya.”

(13)

definisi pemasaran tersebut, terlihat bahwa terminologi “komunikasi” sudah digunakan secara lugas untuk menjelaskan fenomena pemasaran modern. Bagaimanapun juga pembangunan sebuah definisi bukanlah sekadar suatu kalimat. Lebih dari itu, sebuah definisi merupakan hasil dari konseptualisasi tentang suatu fenomena. Artinya, dengan diungkapkannya konsep komunikasi dalam definisi pemasaran menunjukkan bahwa peran komunikasi telah menjadi perhatian dalam disiplin ilmu pemasaran (Estaswara, 2008).Lebih menarik lagi, jauh-jauh hari sebelumnya, para pemikir pemasaran modern seperti Schultz, Tannenbaum dan Lauterborn (1993) maupun Shimp (2003), bahkan secara tegas telah mengatakan bahwa pemasaran di era informasi adalah komunikasi dan komunikasi adalah pemasaran, di mana keduanya tidak dapat dipisahkan.

SIMPULAN

Berangkat dari berbagi penjelasan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemasaran hari ini (modern marketing) tidak dapat menegasikan peran penting media baru dan komunikasi dalam penciptaan kepuasan serta loyalitas pelanggan. Dengan demikian, para pemasar yang hidup di lingkungan bisnis di era informasi ini, harus memahami karakteristik media baru dan berbagai konsep komunikasi. Demikian juga sebaliknya, para komunikator pemasaran atau ahli komunikasi pemasaran dan calon ahli komunikasi pemasaran atau mahasiswa yang saat ini sedang mengambil konsentrasi advertising, marketing public relations, strategic communication dan communication management—harus selalu melengkapi (meng- up-to-date) pengetahuannya mengenai konsep-konsep pemasaran modern.

Di sisi lain, konsekuensi atas keselarasan fokus antara disiplin pemasaran dan komunikasi (massa) yang diakibatkan oleh perubahan teknologi media menjadi apa yang dikenal dengan media baru, masih membutuhkan penelitian-penelitian seputar karakteristik, dampak dan perilaku media baru terhadap khalayaknya. Secara khusus, dibutuhkan juga penelitian-penelitian seputar pengaruh media baru terhadap konsumen atau sebaliknya, bagaimana perilaku konsumen terhadap media baru dalam konteks kepuasan dan loyalitas pelanggan menuju terciptanya brand-relationship over the

years dengan tujuan untuk membangun corporate credibility dan brand equity.

Catatan Akhir:

1Pemikiran McLuhan yang luas dan ditulisnya dengan

sangat eksentrik menimbulkan kesulitan dalam memahami gagasannya tentang determinisme media (teknologi komunikasi) secara tepat dan mendalam. Menurut West dan Turner (2008:153-154), pemikiran McLuhan tersebut banyak menuai kritik, karena tidak didukung dengan penjelasan dan data yang akurat. Namun, menyikapi berbagai kritik yang dialamatkan pada teorinya tentang determinisme media, McLuhan hanya menjawab “saya tidak menjelaskan—saya mengeksplorasi.”

DAFTAR PUSTAKA

Ahmet, H., Satish J., & William, O. B. (2005). Market orientation: A meta-analytic review and assessment of its antecedents and impact on performance. Journal of Marketing, 69 (April 2005):24–41.

Antaranews.com (2010, 14 Juli). Pengguna ponsel Indonesia akan capai 80 persen. Dakses pada 21 Agustus 2010 dari http://www.antaranews. com/berita/211716/pengguna-ponsel-indonesia-akan-capai-80-persen.

Arndt, M. (2004, July 12). Online extra: Marketing in the ‘the age of I’. BusinessWeek online. Diakses pada 21 Agustus 2010 dari http://www. johnstockmyer.com/enmu/ageofi.htm.

Bolton, R. N. (ed.) (2005). Marketing renaissance: Opportunities and imperatives for improving marketing thought, practice, and infrastructure. Journal of Marketing, 69 (October 2005): 1–25. Copulsky et al. (2004). Consumer packaged

goods get intimate. IMC Journal of Integrated Communications, (2004): 14–19.

Corsten, D. & Kumar, N. (2005). Do suppliers benefit from collaborative relationships with large retailers? An empirical investigation of efficient consumer response adoption. Journal of Marketing, 69 (July 2005):80–94.

Duncan, T. (2002). Using Advertising and Promotion to Build Brands. NY: McGraw-Hill Company. Eadie, W. F. (Ed.). (2009). 2 1 s t C e n t u r y

(14)

Estaswara. (2008). T h i n k I M C : E f e k t i v i t a s Komunikasi untuk Meningkatkan Loyalitas Merek dan Laba Perusahaan. Jakarta: Gramedia Putaka Utama.

Friedman, T. (2005). The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First Century. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Inilah.com (2010, 29 April). Harga Smartphone mengarah ke Rp1 Juta. Diakses pada 22 Agustus 2010 dari http://m.inilah.com/news/ detail/497001/harga-smartphone-mengarah-ke-rp1-juta.

Irawan, H. (2008, November). 6 penyebab kegagalan membangun customer database. Majalah Marketing.

IT Telkom Today (2009, 19 Mei). Didominasi h a m b a t a n , N G N t e t a p m e n j a n j i k a n . Diakses pada 22 Agustus 2010 dari http:// ittelkomtoday.blogspot.co.id/2009/05/ didominasi-hambatan-ngn-tetap.html.

Kettler, H. (2002). Integrated marketing communications at Dow Chemical Company: IMC in theory and practice. J o u r n a l o f Integrated Marketing Communications.

Kim, I., Han, D., & Schultz, D. E. (2004). Understanding the diffusion of integrated marketing communications. J o u r n a l o f Advertising Research, 44(1):31–45

Kitchen, P. J. & Eagle, L. (2005) New paradigm - IMC - under fire. Competitiveness Review, 15(1):72-80.

Kitchen, P. J. & Li, T. (2005). Perceptions of integrated marketing communications: A Chinese ad and PR agency perspective. International Journal of Advertising, 24(1): 51– 78.

Kotler, P. (2001). Marketing Managemet. New Jersey: Prentice Hall.

Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2010). Marketing 3.0: From Products to Customers to the Human Spirit. New Jersey: John Wiley & Son. Lusch, S. L., & Vargo R. F. (2004). Evolving to a

new dominant logic for marketing. Journal of Marketing, 68 (January 2004):1–17

Magnani, R. (2006). The blur age: Effective communications i n today’s changing environment. Evanston: Jurnal of Integrated Marketing Communications, 10–15.

Misloski, W. (2005). Marketing neo-renaissance: An opportunity for tommorow’s multi-channel integrated marketer. Journal of Integrated Marketing Communications, 17–25.

Peppers, D. & Rogers, M. (1993). The One-to-One Future:Building Relationships One Customer at A Time. New York: Currency Doubleday.

Phelps, J. E., Lewis, R., Mobilio, L., Perry, D., & Raman, N. (2004). Viral marketing or electronic word-of-mouth advertising: Examining consumer responses and motivations to pass along email. Journal of Advertising Research, 44(4):333-348.

Pine, J. B. (1993). Mass Customization. The New Frontier of Business Competition. Boston: Harvard University Press.

Rachmana, N., & D. Praditya. “Analisis dan simulasi model trafik next generation network.” Konferensi Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, 3-4 Mei 2006. Rakhmat, J. (2001). Psikologi Komunikasi. Bandung:

Remadja Rosda Karya.

Ridley, D. (2008). The Literature Review: A Step-By-Step Guide for Students. London: Sage Publications.

Ridwan, M. (2010, 12 Agustus). Importir tolak pelarangan layanan BlackBerry. Sinar Harapan. Schultz, D. E., Tannebaum, S., & Lauterborn, R.

(1993). Integrated Marketing Communications. Chicago: NTC Business Book.

Schultz, D. E., Tannebaum, S., & Lauterborn, R. (2000). Marketing communication planning in a converging marketplace. Evanston: Journal of Integrated Communications, 24–28.

Schroeder, S. D. (2004). Direct marketing lessons for mass marketer. Evanston: Journal of Integrated Marketing Communications, 40–43.

Shimp, T. A. (2003). Periklanan Promosi: Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran terpadu. Jakarta: Airlangga.

Straubhaar, J. & LaRose, R. (2006). Media Now: Understanding Media, Culture and Technology. United States: Thomson Wadsworth.

(15)

West, R. & Turner, L. H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 2) (M. N. D. Maer, pentj.). Jakarta: Salemba Humanika. Zahay, D., Schultz, D. E., & Griffin, J. (2004). The role

Gambar

Tabel 1: Hubungan antara Perkembangan Pemikiran Komunikasi (Massa) dan Pemasaran
Tabel 2: Hubungan antara Perkembangan Prinsip Komunikasi (Massa) dan Pemasaran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian tindakan kelas ini dilakukan berpijak pada permasalahan yang terjadi dalam proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penelitian,

Pada sisi lain kita liat bahwa meski kualitas teknis layanan antenatal care lebih rendah di banding di puskesmas/polindes, namun fasilitas kesehatan swasta justru

Tes KGS berbentuk tes objektif (pilihan ganda) mencakup ketiga materi percobaan, yaitu: 1) sintesis dan karakterisasi natrium tiosulfat pentahidrat, 2)

yang selalu diminati baik dimusim liburan maupun tidak adalah pasar buah berupa buah pisang dan kelapa muda.Dalam pemasaran hasil pertanian di Lokasi Wisata Pantai

Secara ekonomis, dalam perhitungan biaya operasional pabrik es, komponen biaya yang cukup menentukan adalah komponen biaya untuk tenaga listrik (PLN atau Generator

Eluen yang sudah jadi dimasukkan ke dalam chamber sebagai fase gerak dan kertas saring dimasukkan hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah chamber

Hasil penelitian yang diperoleh kemudian dianalisis untuk melihat produktivitas tenaga kerja bagian produksi (X 1 ), volume penjualan (X 2 ) dan laba kotor (Y)