Upaya Pengembangan Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Intelektual di Kab. Flores Timur
Globalisasi yang berkembang tanpa batas telah mendorong perubahan dalam berbagai aspek hidup manusia. Pengaruh “luar” dengan begitu mudahnya masuk dan merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Tak ketinggalan, bidang hukum pun mendapat tantangan baru untuk segera menjawab kebutuhan-kebutuhan baru yang dilahirkan oleh proses globalisasi.
Dalam bidang perdagangan internasional, tonggak sejarah baru lahir bersamaan dengan terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization) pada tahun 1995 yang merupakan kelanjutan dari
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dibentuk setelah Perang Dunia II. Fungsi utama dari WTO adalah untuk memastikan bahwa perdagangan antarnegara anggota dapat dilakukan dengan lancar, dapat dipercaya, dan sebebas mungkin, sehingga kesejahteraan yang dicita-citakan dapat tercapai dengan baik. Kini, kebijakan WTO mencakup beberapa hal penting dalam dunia perdagangan, antara lain,
anti dumping dan penyelesaian sengketa perdagangan (Trade Dispute Settlement) antarnegara.
Salah satu dari empat perangkat hukum yang penting bagi WTO adalah
Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights
Ruang lingkup pengaturan TRIPS tersebut telah diadopsi ke dalam sejumlah produk hukum Indonesia, antara lain, UU No. 29 Tahun 2000 (Perlindungan Varietas Tanaman), UU No. 30 Tahun 2000 (Rahasia Dagang), UU No. 31 Tahun 2000 (Desain Industri), UU No. 32 Tahun 2000 (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), UU No. 14 Tahun 2001 (Paten), UU No. 15 Tahun 2001 (Merek), dan UU No. 19 Tahun 2002 (Hak Cipta).
Salah satu topik hangat dalam HaKI adalah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual masyarakat asli / tradisional ata yang dikenal oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) sebagai
traditional knowledge/ TK. Kekayaan intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat adat/ asli/ tradisional ini mencakup banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional, karya-karya seni, karya sastra, filsafat, catatan perkembangan seni, sejarah, bahasa, ilmu hukum, wayang, batik, naskah klasik, naskah primbon, obat-obatan, hingga apa yang dikenal sebagai indigenous science and technology.
WIPO menggunakan istilah TK untuk menunjuk pada kesusasteraan berbasis tradisi, karya artistik atau ilmiah, pertunjukan, invensi, penemuan ilmiah, desain, merek, nama dan simbol, informasi yang tidak diungkapkan, dan semua inovasi dan kreasi berbasis tradisi lainnya yang disebabkan oleh kegiatan intelektual dalam bidang-bidang industri, ilmiah, kesusasteraan atau artistik. Gagasan ”berbasis tradisi” menunjuk pada sistem pengetahuan, kreasi, inovasi dan ekspresi kultural yang umumnya telah disampaikan dari generasi ke generasi, umumnya dianggap berkaitan dengan masyarakat tertentu atau wilayahnya, umumnya telah dikembangkan secara non sistematis, dan terus menerus sebagai respon pada lingkungan yang sedang berubah.1
Perlindungan hukum terhadap TK masih sangat lemah. Pada tingkat internasional, perlindungan TK belum diatur di dalam dokumen TRIPS. Lemahnya perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual masyarakat adat/ asli/ tradisional ini maka yang kebanyakan terjadi justru eksplorasi dan eksploitasi yang tidak sah oleh pihak asing.
Sebagai contoh masalah pembatalan paten Shisedo atas ramuan tradisional Indonesia, kasus paten basmawati rice antara India dan perusahaan multinasional (MNC) Amerika Serikat. Dalam kasus paten Turmenic (1996), University of Mississippi Medical Centre di Amerika Serikat telah memperoleh paten dari USPTO (patent number 5401504) atas curcuma longa yang oleh masyarakat tradisional India digunakan dalam berbagai keperluan seperti untuk kosmetik, obat-obatan, penyedap rasa makanan, dan lainnya. Selain itu, klaim lagu “Rasa Sayange”, Reog Ponorogo, dan Tari Pendet dalam promosi “Truly Asia” oleh Malaysia menyadarkan kita pada pentingnya perlindungan terhadap TK.