• Tidak ada hasil yang ditemukan

Middle Class Matters Analisis Keterlibat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Middle Class Matters Analisis Keterlibat"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Middle Class Matters

: Analisis Keterlibatan Aktor dan Relasi Kuasa

dalam

British Exit

Disusun sebagai tugas mata kuliah European Governance

Dosen Pengampu: Suci Lestari Yuana, M.I.A

Disusun oleh:

Naomi Resti Anditya 14/364286/SP/26076

Dea Sona Alamanda 14/364549/SP/26123

Michelle Harland 14/367555/SP/26427

Jerrico Syahputra 15/384143/SP/26855

M. Febrian Ramadhani 14/363554/SP/26056

Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

23 Juni 2016 merupakan tanggal yang sangat bersejarah bagi Uni Eropa. Belum pernah ada preseden terkait dengan implementasi Artikel 50 dalam Perjanjian Maastricht sebelumnya, dan Inggris mengawali keluarnya anggota dalam Uni Eropa. Rencana mengenai referendum ini telah lama diatur, dan hasil yang keluar bagi banyak orang tidak terlalu mengejutkan. Sejarah mencatat perdebatan mengenai identitas Inggris sebagai bagian atau bukan bagian dari Eropa. Inggris terkenal menjadi ‘sarang’ dari orang-orang yang merasa skeptis dengan integrasi Uni Eropa dan mencoba untuk menegosiasikan posisinya agar tidak subordinat di bawah organisasi supranasional seperti Uni Eropa. Diprediksikan bahwa setelah Inggris akan ada negara-negara lain yang terdorong untuk keluar dari Uni Eropa, mengikuti skeptisme terhadap Uni Eropa yang semakin runcing. Terdapat banyak penjelasan yang mencoba memahami krisis di Uni Eropa yang paling jelas diawali oleh Brexit. Beberapa menekankan pada isu identitas, melemahnya interdependensi dalam isu ekonomi, kehadiran negara ‘hegemonik’ seperti Jerman, maupun penjelasan yang berkaitan dengan cara-cara Uni Eropa mengimplementasikan kebijakannya.

(3)

1.2 Rumusan Massalah

Bagaimana menjelaskan isu British Exit dengan penekanan pada agensi kelas menengah?

1.3 Kerangka Konseptual Pendekatan Governance

Makalah ini akan menggunakan pendekatan tata kelola (governance) untuk memahami

disintegrasi Uni Eropa yang tercermin dari Brexit. Di dalam pendekatan governance¸

terdapat tiga fokus analisis, yaitu politics, policy, dan polity. Dalam politics, analisis akan berpusat pada aktor, sedangkan dalam policy pada kebijakan, dan polity pada implementasi kebijakan. Makalah ini akan menggunakan fokus politics dan hendak menganalisis beberapa poin, yaitu konteks politik domestik di dalam Inggris, keterlibatan (involvement) aktor-aktor yang berperan dalam Brexit di dalam Inggris maupun di Uni Eropa, serta relasi kuasa antaraktor tersebut.1

Analisis yang digunakan dalam makalah ini sangat menekankan pentingnya agensi; bahwa agensi atau aktorlah yang menentukan keluar atau menetapnya Inggris dalam Uni Eropa. Kami melihat bahwa ketimpangan kelas dan ketimpangan kekuatan Inggris di Uni Eropa sangat memengaruhi perilaku pemilih di Inggris.

Teori Kelas Menengah Rueschemeyer (1992)

Agensi yang ditekankan dalam tulisan ini adalah kelas menengah. Dalam Capitalist Development and Democracy, penelitian Rueschemeyer et al. di Amerika Latin membawa suatu teori baru untuk menjelaskan pra-kondisi demokrasi yang disertai dengan perkembangan kapitalis. Dalam rumusannya, ia menjelaskan bahwa agensi kelas menengah sangat penting dalam menentukan arah demokrasi dan perkembangan kapitalisme. Pada mulanya, ia menggambarkan sebuah piramida yang menjelaskan struktur kelas yang ada di Amerika Latin.

1 Commission of the European Community, European Governance: A White Paper, Brussel, 2001.

(4)

Meskipun berawal dari penelitian di Amerika Latin, akan tetapi piramida ini juga dapat berlaku di Eropa, karena struktur kelas yang diakibatkan oleh penjajahan di Amerika Latin cenderung sama dengan struktur kelas di negara asli penjajah. Kelas atas dikuasai oleh aristokrat, yaitu kaum kerajaan yang memiliki seluruh tanah dan kekuatan politik. Kelas menengah merupakan orang-orang kaya, yang sebagian bekerja untuk kerajaan, misalnya seniman, akademisi, penasihat kerajaan, dan posisi lain yang memungkinkan mereka untuk menjadi kaya, tetapi bagaimanapun, mereka tidak memiliki akses politik yang luas. Sedangkan kelas bawah merupakan kelompok yang tidak memiliki akses politik maupun sumber daya. Karena dipengaruhi semangat Era Pencerahan, kelompok kelas menengah yang memiliki akses sumber daya ini merasa bahwa seluruh manusia memiliki hak sosial dan hak politik. Dua agenda itulah yang membuat kelas menengah menggulingkan kelas aristokrat dan membuat sebuah political opening. Dua agenda itu pula yang memungkinkan terjadinya demokratisasi. Tidak hanya demokratisasi, tetapi Rueschemeyer juga berbicara mengenai demokratisasi di Barat yang seperti tidak lepas dari logika kapitalisme.2 Apabila kita masih bertumpu pada analisis kelas, maka dapat dikatakan bahwa integrasi Uni Eropa, meskipun dianggap proyek perdamaian, namun penggeraknya mula-mula adalah kelas menengah yang ingin mendapatkan akses pasar lebih luas dan mengekspansi modalnya. Kelas bawah hanya menjadi basis legitimasi kelas menengah. Apabila kelas bawah mulai mengancam, biasanya kelas menengah akan mengendurkan hak-hak politik dan hak sosial mereka.

Dari teori kelas menengah tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkara integrasi atau disintegrasi di Uni Eropa sebenarnya sama-sama merupakan agenda kelas menengah. Akan tetapi, dengan situasi ekonomi Uni Eropa dan situasi ekonomi global, tidak semua kelas menengah setuju dengan ekspansi modal secara transnasional, dan lebih penting lagi, tidak semuanya diuntungkan dari integrasi ini. Sehingga sangat mungkin terjadi split di antara kelompok kelas menengah. Kelompok yang menang adalah kelompok yang dapat memobilisasi kelas bawah sebagai basis legitimasi bagi klaim-klaim mereka. Sedikit tambahan, Inggris juga masih mewarisi feodalisme masa lalu dengan munculnya tuan tanah (lords) yang ingin muncul kembali melalui akses di parlemen (terutama Partai Konservatif) dan memberikan dukungannya.

(5)

1.4 Argumentasi Utama

Makalah ini berargumen bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa dapat dijelaskan di dua level: di level domestik, ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang dalam integrasi Inggris dalam Uni Eropa, dan kelompok yang kalah (kelas menengah-bawah) dimobilisasi oleh kelas menengah Inggris yang menginginkan kedaulatan dan kejayaan Inggris kembali, dan berjayanya ekonomi Inggris di tanah sendiri. Kekuatan ini lebih besar daripada kelompok kelas menengah yang merasa diuntungkan dari integrasi ini. Kelas menengah Inggris terbagi menjadi dua, namun mereka yang anti-EU mendapat simpati dan dukungan yang lebih besar dari kelas bawah.

(6)

BAB II

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

2.1 Konteks Politik Domestik dan Regional

Hasil referendum untuk menentukan apakah Inggris keluar dari Uni Eropa atau tidak memberikan pengaruh yang sangat penting baik bagi Uni Eropa maupun Inggris sendiri. Masyarakat hingga politisi Inggris terpecah menjadi dua kubu, yakni pendukung Brexit dan penentang Brexit. Pertempuran antara kedua kubu pun terus memanas hingga terlaksananya referendum.

Kubu pro Brexit melihat keluarnya Inggris dari Uni Eropa cenderung akan memberikan keuntungan yang lebih bagi Inggris. Alasan pertama, mereka melihat bahwa jangkauan kekuasaan Uni Eropa begitu besar hingga berdampak pada kedaulatan Inggris. Kedua, aturan-aturan yang ditetapkan Uni Eropa cenderung memberikan kerugian bagi Inggris. Seperti halnya fakta bahwa ‘kontribusi kotor’ yang dibayarkan Inggris setiap tahunnya jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatannya setiap tahun. Dari sekitar 12 milyar euro pajak yang diberikan setiap tahunnya, Inggris hanya menerima setidaknya 7 milyar saja untuk pembangunan. Di sisi lain, Inggris pun mengalami defisit perdagangan dengan negara-negara anggota Uni Eropa. Padahal, Inggris mengalami surplus apabila bekerja sama dengan negara-negara di benua lain. Kemudian alasan yang tidak kalah penting adalah isu terkait imigran. Dikhawatirkan apabila Inggris terus-menerus mengikuti regulasi Uni Eropa terkait migrasi dari Timur Tengah, maka dikhawatirkan mengancam keamanan Inggris.3

Menjelang referendum, pertempuran politik Inggris pun terus memanas. Kedua belah pihak saling menjelek-jelekkan, bahkan melakukan teror. Ditemukan bahwa kubu Brexit telah meluncurkan sebuah poster besar bergambar gelombang imigran membanjiri Inggris dengan bahasa-bahasa yang tidak pantas.4 Selain itu, berbagai surat kabar pun menyajikan berita-berita terkait dengan Brexit. Kedua kubu berlomba-lomba ‘memberi makan’ media

3 Roger Bootle, “why Britain needs 'Brexit’,” The Telegraph, 1 November 2015,

<http://www.telegraph.co.uk/finance/comment/11968813/Three-reasons-why-Britain-needs-Brexit.html> , diakses pada 17 April 2017.

4 Anealla Safdar, “Brexit: UKIP's 'unethical' anti-immigration poster”, 28 June 2017,

(7)

dengan kampanyenya masing-masing agar mampu memengaruhi masyarakat melalui opininya di media.

Upaya pembunuhan pun dilakukan kepada anggota parlemen Inggris, Jo Cox, yang dikenal karena pandangan pro-imigran, kegigihan membantu pengungsi, dan mengkampanyekan untuk mempertahankan agar Inggris teteap menjadi bagian dari Uni Eropa.5 Seseorang yang diduga melakukan pembunuhan tersebut pun tidak merasa bersalah, justru mengatakan bahwa Cox adalah seorang pengkhianat.

Pergolakan pun terjadi dalam bidang ekonomi. Beberapa investor asing mengirim surat kepada para pekerjanya di Inggris untuk mengingatkan betapa pentingnya stabilitas, sekaligus mendorong mereka bertahan di Uni Eropa. Beberapa perusahaan seperti Ford, Citigroup, Goldman, dan Morgan Stanley turut mendonasikan ratusan ribu dolar untuk kampanye kelompok Britain Stronger in Europe. Tidak hanya investor asing yang menentang Brexit, namun kebanyakan pengusaha domestik pun turut khawatir akan hengkangnya Inggris dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sebagian besar perdagangan yang berjalan dilakukan dengan negara-negara anggota Uni Eropa.

Kekhawatiran akan melemahnya perekonomian Inggris akibat Brexit terlihat dari banyaknya masyarakat yang menukarkan uangnya dengan euro atau dollar di berbagai money changer. Pound sterling diprediksikan akan merosot tajam apabila Inggris benar-benar keluar dari Uni Eropa. Masyarakat pun berbondong-bondong menukarkan uangnya untuk disimpan. Namun di sisi lain, referendum Brexit tersebut turut memanaskan bursa judi di Inggris. Tak sedikit orang yang meramaiakan referendum ini dengan memasang taruhan.

2.2 Konfigurasi Aktor-Aktor Domestik

Bagian ini hendak menjelaskan posisi aktor-aktor kelas menengah dengan sumber daya ekonomi dan akses politik besar di Inggris juga menjelaskan bagaimana negara bagian di Inggris menentukan posisinya. Perlu diketahui bahwa referendum 23 Juni menghasilkan suara akhir yang dimenangkan dengan pilihan suara ‘pergi’ sebanyak 51.9% berbanding 48.1% memilih ‘tinggal’. Dengan jumlah referendum sebesar 71.8% dengan pemilih lebih dari 30 juta orang. Rincian dalam wilayah Inggris sendiri yaitu, Inggris memilih Brexit

sebesar 53.4% dan pergi 46.6%, Wales memilih Brexit sebesar 52.5% dan tinggal 47.5%, Skotlandia dan Irlandia Utara keduanya memilih tinggal di Uni Eropa, dengan perolehan

(8)

suara tinggal dari Skotlandia sebesar 62% dan pergi 38% , sementara Irlandia Utara sebesar 55.8% dan pergi 44.2%. Wales memilih untuk keluar didasarkan karena adanya sentimen

voters, Wales yang merupakan daerah termiskin di wilayah tersebut dan ‘ditinggalkan’ oleh kegiatan politik. Wales cenderung tidak stabil, tidak terdapat ‘ladang’ pekerjaan yang layak, dan wilayah ini didominasi oleh Partai Buruh. Jika dengan vote ini akan menyebabkan perbaikan kondisi dan mendapat perhatian politikus maka Wales akan tetap pada pilihan

vote.6 Dan voters leave akibat kegagalan Uni Eropa untuk mengatasi masalah ekonomi sejak 2008 dimana masih banyak terdapat pengganguran di Eropa Selatan sebesar 20%. Perbedaan antara kehidupan orang Eropa selatan dan Jerman-yang menikmati 4,2% pengangguran-sangat dalam. Eropa secara keseluruhan telah mengalami stagnasi secara ekonomi. Kemudian masalah kedaulatan dan timbulnya nasionalisme. Ada ketidakpercayaan yang tumbuh pada organisasi keuangan, perdagangan, dan pertahanan multinasional yang diciptakan setelah Perang Dunia II. Uni Eropa, IMF, dan NATO adalah contoh bagus dari hal ini. Institusi Uni Eropa dipercaya tidak lagi melayani suatu tujuan. Tidak hanya itu, organisasi-organisasi ini mengambil alih kendali dari masing-masing negara. Ketidakpercayaan dan ketakutan kehilangan kendali membuat Brexit menjadi solusi yang masuk akal bagi mereka. Dan faktor terakhir adalah krisis imigrasi di Eropa merupakan pemicunya. Beberapa pemimpin Uni Eropa berpendapat bahwa membantu para pengungsi adalah kewajiban moral. Tapi Inggris memandang imigrasi sebagai isu nasional, karena mempengaruhi kehidupan internal negara.

Aktor

Domestik David Davis (Sekretaris DExEU), Boris Johnson (Menteri Luar Negeri)

Theresa May (Perdana Menteri), Liam Fox <Departemen Perdagangan Internasional (DIT)>,

Internasional Angela Merkel(kanselir Jerman), Francois Hollande (Presiden Francis), Jean-Claude Juncker (presiden komisi Eropa dan mantan perdana menteri Luxemburg)

Dalam negosiasi mengenai Brexit dengan Uni Eropa sendiri memiliki tiga wakil dari Inggris untuk bernegosiasi. Pertama dipimpin oleh anggota veteran parlemen konservatif dan juru kampanye untuk meninggalkan Uni Eropa, David Davis. Kedua, mantan sekretaris pertahanan, Liam Fox yang sekarang bekerja sebagai sekretaris perdagangan internasional.Ketiga, Boris Johnson yang merupakan pemimpin kampanye resmi untuk 6 Ellie Mae O’Hagan, ‘Wales Voted For Brexit Because It Has Been Ignored By Westminster For Too Long,’

(9)

meninggalkan Uni Eropa yang juga menjabat sebagai sekretaris luar negeri.Mereka bertiga masing-masing diatur untuk berperan dalam negosiasi dengan Uni Eropa dan mencari kesepakatan internasional baru. Meskipun Theresa May, selaku perdana menteri, yang akan memiliki keputusan akhir.7 Theresa May merupakan salah satu aktor politik yang kuat karena memiliki kontrol terhadap Brexit dalam pemerintahan Inggris. Dia memiliki kesempatan kapan akan mengambil keputusan untuk memicu Pasal 50, seperti apa sikap Inggris dalam perundingan dan kesimpulan seperti apa yang dapat diterima. May dikabarkan mengumumkan tenggat waktu yaitu akhir Maret 2017 untuk memicu Pasal 50 tanpa pemberitahuan atau setidaknya berkonsultasi dengan kabinet.

Ketiga wakil yang dipilih May sendiri merupakan aktor penting di Inggris. David Davis, sekretaris untuk departemen yang baru dibentuk Department for Exiting the European Union

(DExEU). DExEU adalah departemen yang bertanggung jawab untuk mengawasi perundingan yang mengarah ke pilihan ‘pergi’ Inggris dari Uni Eropa dan membangun hubungan post-Brexit EU-UK baru. Tahap awal persiapan Brexit telah ditandai dengan liputan media tentang peperangan antara Davis, Liam Fox, yang diangkat menjadi Sekretaris Kabinet Perdagangan Internasional baru, menuju Departemen Perdagangan Internasional (DIT), dan Menteri Luar Negeri Boris Johnson. Kepentingan datang dari pihak ketiga di tiga departemen. Brief Departemen Perdagangan Internasional sangat dipersulit oleh ketidakpastian mengenai ekonomi masa depan yang diinginkan dan hubungan dagang dengan Uni Eropa, dan sejauh mana Inggris memiliki satu jembatan untuk mengejar semua aspek kebijakan perdagangan, termasuk kebebasan untuk membuat perjanjian perdagangan dengan negara-negara ketiga. Oleh karena itu jelas bahwa berurusan dengan Brexit kemungkinan akan menyebabkan banyak masalah pada tingkat menteri dan birokrasi tumpang tindih.8 Beberapa aktor politik diluar Inggris adalah Angela Merkel selaku kanselir Jerman, Presiden Francis-Francois Hollande, Jean-Claude Juncker-presiden komisi Eropa dan mantan perdana menteri Luxemburg, ketiganya menolak keputusan Brexit dan menggangap bahwa Inggri dan Uni Eropa merupakan bagian tak terpisahkan dan bila sampai terjadi akan menjadi berita buruk dalam politik, ekonomi, dan sosial di Inggris maupun Eropa.9

7 Alex Hunt & Brian Wheeler, ‘Brexit: All You Need To Know About The UK Leaving The Eu,’ BBC News (daring), 30 March 2017, http://www.bbc.com/news/uk-politics-32810887 , diakses 18 April 2017

8 The UK In A Changing Europe For Political Studies Association Of The UK, Brexit And Beyond: How The United Kingdom Might Leave The European Union, Political Studies Association, London, 2016, hlm. 16-17

9 Bloomberg News, Britain’s Brexit Referendum: Key Players (daring), 23 June 2016,

(10)

https://www.bloomberg.com/news/articles/2016-06-23/eu-referendum-the-key-brexit-players-from-cameron-to-Selain itu terdapat pula pengaruh dari partai-partai di dalam parlemen Inggris. Partai-partai ini yang akan mempengaruhi kecenderungan pilihan masyarakat di dalamnya dalam

vote.

Partai Nasionalis Skotlandia Mendapat keuntungan dari FTA

di Uni Eropa

Nicola Sturgeon Independen Skotlandia, negara independen di dalam Uni Eropa.

Aktor partai politik yang paling mendominasi datang dari dua partai; Konservatif dan buruh. Partai konservatif salah satu yang terkuat namun suara mereka terbelah dua. David Cameron dan George Osborne merupakan tokoh politik di dalamnya yang ingin Inggris tinggal di Uni Eropa. Namun, yang berseberangan melihat referendum sebagai kesempatan memenangkan kembali kedaulatan Inggris yang hilang. Salah satu tokoh yang mengkampanyekan untuk Brexit adalah Boris Johnson. Sedangkan, dari partai tandingan konservatif yaitu Partai Buruh, lebih memilih tetap untuk berada di Uni Eropa dan mendukung proyek di Eropa dimana Inggris terlibat didalamnya. Hal ini bisa dipahami karena keuntungan yang didapat bila Inggris masih berada di Uni Eropa yaitu dalam hal ketenagakerjaan sendiri buruh akan menerima pembayaran langsung dari EU senilai 44 triliun. Sebagian besar anggota mengkampanyekan untuk tetap tinggal karena negosiasi dianggap kurang memusatkan pada hak buruh.Jeremy Corbyn merupakan ketua Partai Buruh

(11)

yang turut berada di parlemen menunjukkan tanda yang sebaliknya.Corbyn sendiri tidak terlalu gencar berkampanye seperti keinginan partainya.

Dari Partai Nasionalis Skotlandia sendiri merupakan partai pro-Uni Eropa, namun terdapat dugaan bahwa beberapa nasionalis-salah satunya adalah menteri Skotlandia pertama, Nicola Sturgeon- dapat memilih Brexit untuk mempercepat keinginan kemerdekaan yang sempat dikalahkan/ditolak pada referendum 2014. Orang-orang Skotlandia sendiri lebih

Europhile daripada Eurosceptic. Ideologi mereka lebih pada kesejahteraan dan ekonomi, dimana mereka menginginkan kemerdekaan dari Inggris sehingga dapat menjadi negara independen di dalam Uni Eropa. Dengan adanya Brexit ini akan berpengaruh pada perekonomian Inggris yang akan mempengaruhi ideologi kesejahteraan dan perekonomian negara yang mereka inginkan dimana mereka berusaha melindungi kepentingan ekonomi. Sepert Partai Nasionalis Skontlandia yang ingin memiliki kemerdekaannya sendiri, terdapat pula partai lainnya yang memiliki tujuan serupa yaitu The United Kingdom Independence Party (UKIP) dengan ambisi meninggalkan Uni Eropa. Nigel Farage sebagai ketua partai yang berada pada anti-imigrasi dalam UKIP turut sepakat bahwa Inggris harus meninggalkan Uni Eropa-masalah imigran yang saat ini dihadapi oleh Uni Eropa. Meskipun begitu, UKIP mengalami dilemma karena partai ini sendiri turut mendapat manfaat dari perdagangan bebas dengan Eropa dan meski Brexit terjadi isu imigran dan supremasi hukum Uni Eropa akan masih terus berlanjut. Partai-partai Irlandia Utara sebagian memilih untuk tetap berada di Uni Eropa.The Democratic Unionists, dimana Arlene Foster yang merupakan menteri untuk pertama kali gencar melakukan kampanye untuk meninggalkan Uni Eropa.10

Klaim-klaim yang diajukan oleh mereka menunjukkan alasan-alasan penting konstituen, namun isu-isu tersebut sebenarnya sangat berkaitan dengan bagaimana aktor-aktor penting kelas menengah ini mempersepsikan integrasi Uni Eropa. Integrasi dan disintegrasi ini berujung pada pengorganisasian kepentingan ekonomi, bahkan dalam isu identitas sekalipun. Di satu sisi, kelompok Leave menginginkan sebuah tatanan ekonomi yang lebih eksklusif bagi orang-orang Inggris, dan di kelompok Remain menginginkan tatanan ekonomi yang lebih inklusif, tidak hanya untuk orang-orang Inggris saja. Dua klaim tersebut tetap dapat dibaca sebagai cara kelas menengah Inggris mempertahankan dan memaksimalkan keuntungan. Baik dengan jalur yang lebih eksklusif maupun inklusif.

10 Edward Aldred, ‘Brexit: Where Do The Parties Stand?’ OpenEuropeBerlin (daring),

(12)

2.3 Persepsi Masyarakat Uni Eropa terhadap Isu yang Ditangani Uni Eropa

Apabila kita melihat hasil survei yang telah tertera di atas, dapat kita pahami bahwa mayoritas masyarakat dari beberapa negara di Eropa menentang keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa karena hal ini dapat memunculkan dampak negatif terhadap Uni Eropa. Seperti yang kita tahu, proses keluarnya Britania Raya sebagai anggota Uni Eropa pada dasarnya tidak hanya menuai respon dari kalangan masyarakat lokalnya, akan tetapi juga ikut mendapatkan respon dari negara-negara anggota Uni Eropa sendiri. Keputusan yang mereka ambil untuk melepaskan keanggotaannya di satu sisi menimbulkan sebuah kekecewaan yang cukup besar di kalangan negara anggota lainnya. Pasalnya, Britania Raya merupakan salah satu anggota Uni Eropa yang paling berpengaruh dari segi militer dan juga ekonomi. Lalu, mereka juga merupakan salah satu negara yang memiliki kursi atau kedudukan di UN

Security Council.11 Oleh karena itu, keluarnya Britania Raya sebagai bagian dari Uni Eropa merupakan hal yang sangat disayangkan untuk terjadi bagi negara-negara Uni Eropa.

Menteri keuangan Jerman, Wolfgang Schauble, mengatakan bahwa adanya referendum yang terjadi ini akan menjadi pertanda awal rusaknya integrasi di Uni Eropa yang telah berlangsung selama beberapa puluh tahun. Hal ini dikarenakan referendum yang dilakukan oleh Britania Raya akan memicu negara-negara anggota lainnya yang merasa tidak puas

(13)

dengan sistem di Uni Eropa untuk ikut keluar dari keanggotaan.12 Jika hal ini terus berlanjut, hal ini tentunya akan dapat merubah cara pandang masyarakat internasional terhadap Uni Eropa. Mereka yang pada mulanya berpandangan positif dan menganggap Uni Eropa dapat menjadi model pertama bagi organisasi supranasional, nantinya akan berubah menjadi semakin skeptis terhadap eksistensinya di masa depan nanti.

Kemudian apabila kita berbicara mengenai isu-isu yang terjadi dalam Uni Eropa, tentunya terdapat beragam isu yang berusaha untuk diselesaikan oleh pihak Uni Eropa. Beberapa diantaranya yang hingga saat ini menjadi fokus Uni Eropa meliputi permasalahan mengenai krisis pengungsi dan juga permasalahan ekonomi. Berbagai kebijakan telah berusaha untuk dijalankan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Namun, hal ini tentunya tidak pernah luput dari pandangan dan respon masyarakat Uni Eropa sendiri.

Apabila kita melihat hasil survei yang telah tertera di atas, dapat kita pahami bahwa dalam menilai kinerja Uni Eropa dalam mengatasi permasalahan pengungsi, mayoritas dari masyarakat cenderung menunjukkan sikap tidak puas terhadap Uni Eropa. Terlepas dari hal itu, apabila kita melihat menengok persentase ketidakpuasan Britania Raya terhadap Uni Eropa dalam penanganan isu pengungsi, dapat diamati bahwa Britania raya mencapai angka ketidakpuasan sebesar 70 persen dan angka kepuasan hanya sebesar 22 persen saja.13 Merujuk kepada hasil survei tersebut, kita tentunya dapat menarik sebuah garis besar bahwa

(14)

masyarakat Uni Eropa cenderung tidak menyetujui penanganan isu pengungsi yang dilakukan oleh Uni Eropa. Hal ini tentunya dapat terjadi karena dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Salah satu diantaranya adalah kurang optimalnya manajemen dan juga kebijakan yang dijalankan sehingga sering kali hal tersebut justru membebani mayoritas negara anggota Uni Eropa sendiri. Oleh karena itu, hasil survei terkait dengan penanganan isu pengungsi dalam hal ini cenderung menuai kritik dibandingkan respon positif dari masyarakat Uni Eropa.

Selain itu, respon yang sama juga ikut ditunjukkan oleh masyarakat Uni Eropa terkait dengan penanganan Uni Eropa dalam mengatasi masalah ekonomi. Berdasarkan hasil survei, dapat diamati bahwa tingkat ketidakpuasan yang tinggi ditunjukkan kembali oleh negara Yunani dengan jumlah sebesar 92 persen. Sedangkan untuk posisi kedua ditempati oleh Italia dengan selisih yang cukup jauh yakni 68 persen. Untuk Britania Raya sendiri, tingkat ketidakpuasan berada di tingkat yang tergolong sedang, yakni sebesar 56 persen.14 Jika melihat angka ketidakpuasan yang ditunjukkan oleh hasil survei tersebut, dapat dikatakan bahwa angka ketidakpuasan masyarakat Uni Eropa menunjukkan rata-rata yang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya terkait dengan isu pengungsi.

Hobolt (2016) menganalisis berdasarkan statistik dari mereka yang anti-EU dan pro-EU, baik di lingkungan domestik maupun regional, bahwa mereka adalah aktor yang kalah dan

(15)

menang dalam globalisasi. Berdasarkan statistik yang telah kita saksikan, mereka yang menang dalam globalisasi dan memiliki kualifikasi secara ekonomi dan pengetahuan memiliki semangat persatuan Eropa yang lebih tinggi dibandingkan yang anti-EU.15

Kemudian, ketika berbicara mengenai Brexit, hal ini tidak lepas dari respon parlemen Uni Eropa. Di dalam parlemen Uni Eropa, mayoritas dari anggota parlemen sepakat untuk bersikap keras dalam proses negosiasi bersama pemerintah Inggris. Selain itu mayoritas dari anggota parlemen juga menyetujui resolusi ‘garis merah’ untuk diterapkan dalam proses negosiasi dengan Inggris. Hal ini dibuktikan dengan adanya 516 anggota parlemen yang menyetujui resolusi tersebut, sedangkan 133 anggota menolak dan 50 anggota memilih untuk

abstain.16 Berdasarkan resolusi tersebut, anggota parlemen Uni Eropa menolak tawaran dari Theresa May untuk melakukan negosiasi lebih lanjut terkait dengan hubungan Inggris dan Uni Eropa di masa mendatang. Menurut mereka, diskusi tersebut hanya dapat diberlakukan apabila Inggris telah berhasil memenuhi dan menyelesaikan persyaratan-persyaratan yang diperlukan untuk keluar dari Uni Eropa. Beberapa diantara persyaratan tersebut diantaranya meliputi persyaratan finansial dan juga menyangkut hak-hak warga negara Uni Eropa dan juga Inggris. Seperti yang kita tahu, berdasarkan resolusi yang telah disepakati, Uni Eropa mengharuskan Inggris untuk membayar divorce bills sebanyak 60 miliar euro sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh Inggris sebagai anggota dari Uni Eropa sebelum keluar dari keanggotaan. Meskipun hal ini ditentang oleh sebagian anggota parlemen, namun menurut Michel Barnier selaku kepala negosiator Uni Eropa merasa bahwa hal ini perlu dilakukan untuk dapat membahas lebih lanjut hubungan Uni Eropa dengan Inggris di masa yang akan datang.17

2.4 Integrasi atau Disintegrasi: Urusan Kelas Menengah

Sebelum memahami peran kelas menengah dalam isu Brexit, ada baiknya untuk memahami demografi pemilih (voter) pada referendum lalu untuk mendapatkan gambaran

15 Sara B. Hobolt (2016) The Brexit vote: a divided nation, a divided continent, Journal of European Public Policy, 23:9, 1259-1277

16 D. Boffey, ‘European backs red lines resolution for Brexit negotiations,’ Guardian (daring), 5 April 2017, <https://www.theguardian.com/politics/2017/apr/05/european-parliament-red-lines-resolution-brexit-negotiations>, diakses pada 3 Mei 2017.

(16)

tentang siapa saja yang memilih apa. Grafik ini diambil dari beberapa sumber media yang kredibel, seperti The Guardian, BBC, The Economist, dan YouGov.

(17)

Grafik ini menunjukkan demografi yang lebih kompleks, dilihat dari pendapatan, pekerjaan professional, kualifikasi pendidikan, mobilitas penduduk, serta usia. Dari seluruh komponen tersebut, hasilnya tidak mengejutkan. Mereka yang memiliki mobilitas tinggi, menggunakan paspor secara berkala, memiliki pekerjaan professional, dalam usia produktif, serta memiliki jenjang pendidikan yang tinggi memilih untuk tinggal (Remain) karena merasa diuntungkan oleh single market Uni Eropa.

Senada dengan grafik sebelumnya, grafik ini pun menunjukkan data bahwa pemilih

Remain biasanya cenderung merupakan masyarakat dengan kelas sosial menengah atas yang memiliki akses cukup luas terhadap berita berskala internasional yang kredibel seperti The Guardian, atau pendukung partai-partai progresif, juga dalam usia produktif.

(18)

intensif. Akan tetapi yang cukup mengejutkan di sini adalah frekuensi dari mereka yang tidak

tahu dan tidak memilih juga besar.

Apa yang hendak ditunjukkan dari grafik ini

bukan hanya angka-angka demografi pemilih, tetapi juga

siapa yang lebih memiliki power untuk

memengaruhi. Mereka yang memilih

untuk Remain dan Leave pun diliputi oleh keadaan yang spesifik

dan memilih untuk mendukung kampanye partai yang spesifik. Demografi ini sebenarnya juga menunjukkan bahwa ada kelompok yang lebih berkuasa dari yang lainnya di dalam parlemen, dan melalui kampanye-kampanye yang dilakukan figur-figur partai yang semakin kontras dan menggunakan isu-isu yang sensitif seperti identitas, maka masyarakat dapat terbelah sedemikian rupa (yang memilih Remain dan Leave presentasenya tidak terpaut banyak, kira-kira hanya 4%).

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya mengenai konfigurasi partai dan pendukungnya, bahwa ternyata satu partai belum tentu mendukung satu posisi secara

unanimous. Hal ini penting untuk dipahami bahwa ternyata di dalam internal partai ada split, sehingga logika mengenai partai yang dapat menarik simpatisannya untuk memilih sepertinya agak sulit dipahami, meskipun hal tersebut sangat dimungkinkan. Jaringan dalam partai lebih rapuh untuk menentukan pilihannya, kecuali partai yang dari awal pembentukannya memang pro-integrasi dan kontra-integrasi seperti PLD dan UKIP. Ada aktor lain yang lebih dapat menjelaskan kekuatan kampanye, yaitu kelompok kelas menengah.

Kampanye selama ini gencar dilakukan oleh kelompok, bukan partai, dan kelompok ini memiliki figur-figur lintas partai yang tidak selalu sejalan dengan visi partainya, misalnya

(19)

Theresa Villier, Zac Goldsmith, dan banyak lagi. Mereka semua lama terlihat sebagai orang-orang anti-EU yang ingin menekankan pentingnya kedaulatan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga merasa bahwa bergabung dengan EU tidak meningkatkan posisi mereka maupun kesejahteraan masyarakat. Perlu dicatat bahwa orang-orang tersebut merupakan orang-orang yang memiliki posisi tinggi dan terpandang dalam masyarakat Inggris. Beberapa merupakan mantan bangsawan yang masih memiliki sumber daya besar dan berada dalam partai yang berevolusi dari house of lords.

Di sisi lain, kelompok yang menginginkan Inggris tetap tinggal menjadi anggota di Uni Eropa lebih sedikit, tetapi orang-orang tersebut juga memiliki posisi yang kuat. David Cameron adalah pemimpin dari grup kampanye resmi Britain Stronger in Europe, bersama George Osborne, Barack Obama, Theresa May, Philip Hammond, Jeremy Hunt, Sarah Wollaston, Justine Greening, James Brokenshire, Michael Fallon, dan Hillary Benn. Kelompok lainnya adalah Labour in Britain yang dipimpin oleh Jeremy Corbyn, menekankan bahwa Partai Buruh akan memilih untuk tinggal, meski tidak semuanya. Ia bersama Benn, Alan Johnson, dan Sadiq Khan. Orang-orang lain yang penting adalah Nicola Sturgeon, Tim Farron dari Liberal Demokrat, Will Straw, dan Lord Rose. Meskipun orang-orang ini memiliki posisi yang kuat, tetapi figur-figur dalam kelompok Out lebih familiar dan gencar melakukan kampanye dengan donor yang cukup besar.

Donor menjadi pembicaraan penting karena hal itu juga memengaruhi kekuatan mereka. Menurut pemberitaan yang dilansir oleh BBC melalui informasi oleh Electoral Commission, kampanye Remain mendapat dana resmi sebanyak 6.9 juta poundsterling, sedangkan Leave

sebanyak 2.8 juta poundsterling. Akan tetapi secara keseluruhan, pengkampanye Leave

mendapat jumlah donasi lebih banyak dari kampanye Remain. Leave mendapat 8.2 juta poundsterling dan Remain 7.5 juta poundsterling. Dari segi jumlah, sebenarnya pemerintah melalui Electoral Commission sangat mendukung kelompok pro-EU namun banyak grup pebisnis dan Lord yang memberikan donasi besar-besaran kepada kampanye anti-EU. Kekuatan pendukung Brexit juga didukung oleh kantongnya yang besar.1819 Apabila kita

18 BBC, Leave and Remain EU donations and loans revealed (daring), http://www.bbc.com/news/uk-politics-eu-referendum-36267668, 2016, diakses pada 19 April 2017

19 The Guardian, Brexit campaigners dominating referendum fundraising battle (daring),

(20)

mencermati artikel-artikel yang berbicara mengenai donor ini, maka dapat dilihat bahwa sebenarnya pendukung kedua kelompok sama-sama kelas menengah, yaitu mereka yang tetap kuat secara finansial, di dalam EU maupun di luar EU. Bahkan banyak perusahaan dan mantan tuan tanah (lords) yang mau menyumbang donasi bagi kelompok Out, dan hal ini cukup mengejutkan karena mereka sebenarnya juga cukup diuntungkan dari perdagangan bebas. Ada kemungkinan bahwa pendonor Out lebih merasa dirugikan dengan perdagangan bebas karena kalah saing dengan investasi dari perusahaan lain di Uni Eropa.

2.5 Keinginan Inggris untuk Otonom dan Kekalahan dalam Kontestasi Kekuatan Uni Eropa sekarang yang terdiri dari 27 negara anggota setelah ditinggalkan oleh Inggris, masing-masing negara layaknya melakukan perang identitas dalam suatu wadah besar yaitu Uni Eropa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang muncul dalam Uni Eropa sebagai suatu komunitas yang memiliki ketidakseragaman terhadap permasalahnan yang ada, seperti krisis Yunani, krisis pengungsi, krisis ekonomi Eropa maupun permasalahan lain yang meningkatkan sentimen euro-skeptical diantara negara-negara Uni Eropa seperti Denmark, Perancis, Italia, Belanda, maupun Inggris sendiri yang menjadi pionir dengan meninggalkan Uni Eropa dengan referendum.

Hal ini didasari dengan adanya dominasi relasi kuasa sendiri dalam Uni Eropa, dimana Uni Eropa sebelumnya didominasi oleh Perancis, Jerman dan Inggris yang kemudian memilih untuk meninggalkan Uni Eropa. Ketiga negara tersebut menjadi ‘3 negara besar’ di Uni Eropa dibandingkan negara anggota lainnya. Prancis-Jerman terbiasa membuat aliansi (Franco-German) meskipun sering tidak setuju dalam beberapa hal pula. Akan tetapi Inggris jauh lebih independen dari aliansi tersebut. Moravcsik bahkan memprediksi, apabila Uni Eropa pada akhirnya mengalami disintegrasi, maka ia disebabkan oleh preferensi dari ketiga negara besar ini. Faktanya, Inggris telah berpisah dari Uni Eropa. Apabila yang diprediksikan oleh Moravcsik tepat, maka disintegrasi Uni Eropa telah dimulai dari Inggris.20 Dari ketiga negara tersebut, Webber menyebut Jerman sebagai negara semi-hegemonik, karena ia sebenarnya seperti pemain utama dalam arena Uni Eropa tetapi tidak begitu kentara. Jerman di bawah Angela Merkel sangat pro-integrasionis dan terus mendorong negara-negara di Uni Eropa untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang sama. Angela Merkel, dan bukan

(21)

Claude Juncker dan bukan Donald Tusk. Ada banyak pemberitaan yang mengatakan bahwa ambisi Merkel telah membuat banyak negara anggota lain merasa inferior. Jerman sangat ingin mempertahankan eksistensinya di dalam Uni Eropa karena ia mendapatkan banyak keuntungan ekonomi dari keterlibatannya dalam Uni Eropa. Hingga saat ini, Jerman masih memimpin sebagai kekuatan ekonomi terbesar di UE, diikuti Prancis, lalu Inggris. Jerman juga sangat pros-integrasi karena ia merasa mendapatkan leverage di dalam EU dibandingkan ketika ia disebut sebagai Jerman saja. Masih ada sentimen negara-negara besar terhadap Jerman atas sejarah Perang Dunia yang dikompori oleh Jerman.

Krisis yang terjadi di Uni Eropa beberapa tahun belakangan juga membela respon banyak negara. Krisis pengungsi memecah negara-negara Uni Eropa ke dalam kubu-kubu. Uni Eropa di Utara dan Barat yang lebih menekankan pada nilai-nilai kemanusian, serta negara-negara anggota Uni Eropa di bagian Selatan dan Timur yang lebih fokus pada masalah stabilitas. Hal ini menimbulkan pro dan kontra terkait penanggulangan masalah pengungsi ataupun ketidakseragaman terkait kebijakan politik luar negerinya. Masalah lain secara historis juga menunjukan adanya variasi terkait respon yang timbul ketika menanggapi permasalahan krisis Eropa. Negara-negara yang skeptis terhadap sistem moneter terintegrasi dalam satu mata uang seperti Italia, Belanda, maupun Inggris yang memang dari awal menolak sistem tersebut terkait rivalitas ekonomi dengan Jerman.

Selain itu terkait dampak yang ditimbulkan dari adanya keputusan Inggris juga menimbulkan adanya wacana negara-negara anggota Uni Eropa yang lainnya untuk mengikuti jejak Inggris layakanya domino effect.21 Mulai dari Italia yang mengalami peningkatan rasio utang yang tidak sehat dengan penggunaan ataupun penerapan mata uang Euro yang kemudian ingin segera keluar dari keanggotaan Uni Eropa, Belanda yang hingga sekarang belum merasakan dampak positif yang signifikan terkait keanggotaannya dalam Uni Eropa, Perancis yang terinspirasi oleh keberanian Inggris dimana hal itu dilihat sebagai sebuah freedom, maupun Yunani yang sudah sangat skeptis terhadap Jerman sebagai aktor utama dalam merangkul negara-negara anggota Uni Eropa.

Apabila kita menilik kembali grafik yang tersedia di dalam poin 2.3, maka kita dapat melihat bahwa sebenarnya tingkat ketiadakpuasan Inggris terhadap cara Uni Eropa menangani krisis bukanlah ketidakpuasan tertinggi, namun mereka justru yang paling berhasrat untuk meninggalkan Uni Eropa. Ada kemungkinan bahwa antagonisme terhadap

(22)
(23)

KESIMPULAN

Situasi menjelang referendum di Inggris pada tanggal 23 Juni 2017 cukup memanas dengan kampanye anti-EU dan pro-EU berlangsung di berbagai tempat, baik di dalam Inggris maupun di Uni Eropa dan di dunia. Pada akhirnya, Inggris menjadi negara yang pertama kali keluar dari Uni Eropa dan mulai bersiap mengimplementasikan Artikel 50. Dengan menggunakan pendekatan governance dengan titik analisis politik yang menekankan pada aktor atau agensi, maka tulisan ini menggunakan teori kelas menengah Rueschemeyer sebagai kerangka konsep untuk menjelaskan bahwa integrasi atau disintegrasi Uni Eropa merupakan agenda yang sama-sama didorong oleh kelas menengah, namun perkara yang lebih penting lagi adalah bagaimana kelas menengah pada akhirnya terbelah menjadi dua kelompok, Leave dan

Remain. Kelompok ini menunjukkan kelas menengah mana yang sebenarnya merasa diuntungkan dan atau tidak diuntungkan dari integrasi Uni Eropa.

Pada bagian pertama, tulisan ini telah menjelaskan mengenai konfigurasi para pendukung dua kelompok di level domestik Inggris. London, Skotlandia, dan Irlandia Utara merupakan bagian negara yang didominasi pemilih Remain, sedangkan bagian periferi Inggris didominasi pemilih Leave. Partai-partai penting di Inggris sendiri menunjukkan keberpihakan mereka masing-masing, meskipun ada split dalam internal partai. Aktor-aktor ini merupakan aktor yang memiliki banyak akses politik dan sumber daya, dan terkenal ingin mempertahankan identitas ke-Inggris-an mereka. Klaim-klaim yang mereka perlihatkan merupakan sebuah posisi mereka terhadap hak politik dan hak ekonomi. Mengikuti pasar bebas Uni Eropa berarti harus mau patuh pada sebuah tatanan yang lebih kosmopolitan, dan tidak seluruh rakyat Inggris setuju terhadap ide tersebut, karen itu berarti superioritas ekonomi maupun politik Inggris tidak berjaya di tanahnya sendiri.

(24)

menguntungkan mereka, dan akan selalu panik apabila pasar itu terancam, tetapi apabila harus integrasi dalam politik, belum tentu mereka mau, seperti contohnya penerimaan pengungsi yang berarti meredistribusikan hak-hak ekonomi, sosial, dan politik lagi.

Pada bagian ketiga, kami melihat bahwa aktor yang cukup menentukan di level domestik justru kelompok kampanye yang lintas-partai. Dalam kelompok kampanye, terlihat bahwa sebenarnya semua pendukung di dua kubu adalah kelas menengah, akan tetapi mereka terbelah; yang satunya pro-integrasi karena merasa ekonomi lebih pasti bersama EU; yang lain sisi merasa tanpa EU, batas politik lebih pasti dan ekonomi rakyat Inggris lebih jaya. Hal ini dibuktikan dengan figur-figur kelas menengah Inggris yang kaya ataupun figur bangsawan Inggris yang memberikan donor besar bagi kelompok Leave. Ditambah lagi, secara strategis kelompok Leave

mengampanyekan berbagai isu yang dapat mendulang simpati dari kelas bawah yang memang secara mayoritas merasa lebih diuntungkan dengan keluarnya Inggris dan Uni Eropa.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Ann Pettifor, "Brexit And Its Consequences", Globalizations 14, no. 1 (2016): 127-132.

Commission of the European Community, European Governance: A White Paper, Brussel, 2001. D. Rueschemeyer et al., Democracy and Capitalist Development, Cambridge University Press, Cambridge, 1992.

The UK In A Changing Europe For Political Studies Association Of The UK, Brexit And Beyond: How The United Kingdom Might Leave The European Union, Political Studies Association, London, 2016, hlm. 16-17

Sumber Jurnal

Sara B. Hobolt (2016) The Brexit vote: a divided nation, a divided continent, Journal of European Public Policy, 23:9, 1259-1277

Artikel Daring

Anealla Safdar, “Brexit: UKIP's 'unethical' anti-immigration poster”, 28 June 2017,

<http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/brexit-anti-immigration-ukip-poster-raises- questions-160621112722799.html<http://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/06/brexit-anti-immigration-ukip-poster-raises-questions-160621112722799.html>, diakses pada 17 April 2017.

Alex Hunt & Brian Wheeler, ‘Brexit: All You Need To Know About The UK Leaving The Eu,’ BBC News

(daring), 30 March 2017, http://www.bbc.com/news/uk-politics-32810887 , diakses 18 April 2017

Bloomberg News, Britain’s Brexit Referendum: Key Players (daring), 23 June 2016,

https://www.bloomberg.com/news/articles/2016-06-23/eu-referendum-the-key-brexit-players-from-cameron-to-carney , diakses 18 April 2017

BBC, Leave and Remain EU donations and loans revealed (daring), http://www.bbc.com/news/uk-politics-eu-referendum-36267668, 2016, diakses pada 19 April 2017

B. Stokes, ‘Euroskepticism Beyond Brexit,’ Pew Research Center (daring), 7 June 2016, <http://www.pewglobal.org/2016/06/07/euroskepticism-beyond-brexit/>, diakses 18 April 2017.

B. Stokes, ‘Euroskepticism Beyond Brexit,’ Pew Research Center (daring), 7 June 2016, <http://www.pewglobal.org/2016/06/07/euroskepticism-beyond-brexit/>, diakses 18 April 2017.

B. Stokes, ‘Euroskepticism Beyond Brexit,’ Pew Research Center (daring), 7 June 2016, <http://www.pewglobal.org/2016/06/07/euroskepticism-beyond-brexit/>, diakses 18 April 2017.

(26)

D. Weber, ‘How likely is it that the European Union will disintegrate? A critical analysis of competing theoretical perspectives’, European Journal of International Relations, 0(0), 1-25, 2012, p. 13

Edward Aldred, ‘Brexit: Where Do The Parties Stand?’ OpenEuropeBerlin (daring),

http://www.openeuropeberlin.de/brexit-where-do-the-parties-stand-by-edward-aldred/ , diakses 18 April 2017

Ellie Mae O’Hagan, ‘Wales Voted For Brexit Because It Has Been Ignored By Westminster For Too Long,’ Independent (daring), 25 June2016, http://www.independent.co.uk/voices/brexit-wales-eu-referendum-vote-leave-uk-ignored-by-westminster-a7102551.html , diakses 18 April 2017

Ian Cobain, “Jo Cox killed in 'brutal, cowardly' and politically motivated murder, trial hears,” 14 November 2016, <https://www.theguardian.com/uk-news/2016/nov/14/jo-cox-killed-in-politically-motivated-murder-trial-thomas-mair-hears>, diakses pada 17 April 2017.

Roger Bootle, “why Britain needs 'Brexit’,” The Telegraph, 1 November 2015,

<http://www.telegraph.co.uk/finance/comment/11968813/Three-reasons-why-Britain-needs-Brexit.html> , diakses pada 17 April 2017.

The Guardian, Brexit campaigners dominating referendum fundraising battle (daring),

Gambar

Grafik yang pertama  menunjukkan presentasi voters dari setiap wilayah. Blok biru
Grafik terakhir yang ingin kami tunjukkan adalah grafik usia pemilih. Biasanya secara

Referensi

Dokumen terkait

Suatu himpunan tak kosong X dengan konstanta 0 yang dilengkapi dengan operasi biner ∗ disebut sebagai aljabar BCL (Binary and Constant’s Liu), apabila memenuhi aksioma-aksioma

terintegrasinya negara2 miskin ke dalam sistem perekonomian dunia/ global, tetapi justru karena terlalu intensifnya negara2 maju terintegrasi ke dalam sistem. ekonomi dunia

Dari hasil pelaksanaan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Kapuas Hulu secara umum

Pada tahap perencanaan tindakan dimulai dengan mengidentifikasi masalah yang diteliti berdasarkan observasi lapangan. Kegiatan pada tahap ini dimulai dengan melakukan

This research is aimed to describe the types of classroom techniques used by the teacher, the purpose of every classroom technique, teachers‘ roles, students‘ roles, and role

Teknik pembiusan dengan penyuntikkan obat yang dapat menyebabkan pasien mengantuk, tetapi masih memiliki respon normal terhadap rangsangan verbal dan tetap dapat mempertahankan

Penggunaan pendekatan Filologi tersebut dianggap sangat penting karena Filologi ialah ilmu yang berkaitan dengan naskah dan pernaskahan, dan juga bisa dikatakn sebagai

Islamisasi sains yang diidentifikasi Nidhal merupakan Model i‘jâz tidak bisa dikembangkan karena terlalu integrasi agama dan sains modern yang ditawarkan Nidhal