• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengukur Keadilan di Dalam Agenda Pemban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengukur Keadilan di Dalam Agenda Pemban"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kertas Posisi

Akses terhadap

Keadilan

(2)

KERTAS POSISI

Mengukur Keadilan di Dalam

Agenda Pembangunan:

Rumusan Indikator-Indikator Pencapaian

Pemenuhan Akses terhadap Keadilan

Oleh Negara.

Tim Penyusun:

Yasmin Purba

Donny Ardyanto

Penerbit:

YLBHI

Didukung oleh: INFID

(3)

I. Pendahuluan: Akses terhadap Keadilan Sebagai Sebuah Definisi.

Ketika berbicara tentang akses terhadap keadilan, tidak ada definisi tunggal yang disepakati bersama baik oleh para pemikir hukum, maupun praktisi sektor keadilan. Ada berbagai aliran yang memiliki definisinya masing-masing tentang apa yang menjadi objek dari akses terhadap keadilan, siapa yang berhak atas akses terhadap keadilan, dan apa tujuan dari akses terhadap keadilan.

Sebagian pemikir menganggap bahwa akses terhadap keadilan hanya meliputi aspek-aspek prosedural dari keadilan itu saja. Salah satu pemikir aliran prosedural ini adalah Francesco Fracioni, seorang profesor hukum internasional dari Institut Universitas Eropa, yang berpendapat bahwa akses keadilan adalah “…hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan hukum dan ketersediaan mekanisme pemulihan hukum, baik di pengadilan maupun mekanisme-mekanisme perlindungan quasi-judicial yang setara.” Pemikiran Fracioni ini masuk kedalam kategori konsep tradisional 1

dari akses terhadap keadilan.

Aliran pemikiran lainnya adalah aliran yang tidak hanya menekankan pada akses terhadap prosedur keadilan, namun juga pada hasil (outcome) dari proses keadilan itu sendiri. Salah satu pemikir yang mendukung aliran substantif ini adalah Lawrence M. Friedman, seorang profesor hukum dari universitas Stanford, yang berargumen bahwa “Keadilan mungkin tidak merujuk pada suatu lembaga atau suatu proses, namun pada suatu hasil yang kongkrit- yaitu, keadilan sebagai sebuah hasil (outcome), atau memberikan hak yang selayaknya bagi seseorang.” 2

Alberta Civil Liberties Research Centre, sebuah lembaga penelitian yang berfokus pada isu kebebasan sipil dan hak asasi manusia di Kanada, membagi konsep tentang akses terhadap keadilan kedalam 4 kategori yaitu: 3

1. Hak untuk hadir di hadapan pengadilan. Pandangan ini dilihat sebagai konsep paling sempit dari akses terhadap hak atas akses terhadap keadilan, di mana akses yang dimaksud hanya mencakup hak formal seseorang untuk beracara atau membela diri di muka pengadilan.

2. Advokasi bagi mereka yang tidak mampu. Konsep ini berpandangan bahwa tujuan dari akses terhadap keadilan adalah untuk memberikan pendampingan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu membayar jasa hukum.

3. Mereformasi sistem peradilan. Konsep ketiga ini memandang tujuan dari akses terhadap keadilan bukan saja sekedar advokasi bagi orang-orang yang tidak mampu menyewa pengacara, namun juga berfokus pada reformasi sistem peradilan melalui penguatan sistem bantuan hukum, penyerdehanaan prosedur peradilan, serta membangun mekanisme gugatan kelompok atau gugatan pihak ketiga.

4. Kesetaraan hasil (kualitas keadilan). Konsep ini tidak hanya befokus pada kesetaraan kesempatan bagi para pencari keadilan dari kelompok miskin saja, namun juga menyasar pada kesetaraan hasil dengan mengatasi persoalan-persoalan yang menghambat mereka yang mencoba mengakses sistem peradilan. Bentuk-bentuk pemulihan yang ditargetkan oleh para pendukung advokasi kesetaraan kualitas keadilan ini adalah reformasi dan efisiensi berbagai

Francesco Francioni, “Access to Justice, Denial of Justice and International Investment Law”, The European Journal of

1

International Law, vol. 20, ed. 3, 2009.

Lawrence M. Friedman, “Access to Justice: Some Historical Comments”, Fordham Urban Law Journal, vol. 37, ed. 1, 2009.

2

Alberta Civil Liberties Research Centre, “What is Access to Justice?”, dapat diakses di:

http://www.aclrc.com/what-is-access-to-3

(4)

bidang di dalam sistem peradilan, serta mereformasi lembaga-lembaga sosial lainnya dengan tujuan untuk menciptakan model layanan yang lebih holistik.

Sementara itu, UNDP, sebuah badan PBB yang berfokus pada pembangunan dan penghapusan kemiskinan, memiliki definisinya sendiri terkait dengan akses terhadap keadilan. Menurut UNDP, akses terhadap keadilan adalah “Kemampuan masyarakat untuk mencari dan mendapatkan pemulihan melalui institusi keadilan, baik yang formal ataupun informal, yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.” 4

Untuk kepentingan pembuatan kertas posisi ini, YLBHI memutuskan untuk menggunakan definisi akses terhadap keadilan yang dirumuskan oleh UNDP. Ada dua alasan mengapa YLBHI menggunakan definisi yang dirumuskan oleh UNDP tersebut:

1. Definisi tersebut mengakui mekanisme keadilan informal, namun tetap menekankan pada standar hak asasi manusia sebagai landasan. Hal ini kami anggap penting, mengingat praktik-praktik penerapan mekanisme keadilan informal, khususnya di dalam sistem hukum adat, masih cukup luas di Indonesia, sehingga perlu diterapkan sebuah standar yang dapat memastikan bahwa mekanisme-mekanisme informal tersebut tetap dapat menjamin kompetensi, independensi, dan kesetaraan bagi para pihak yang menggunakan mekanisme tersebut;

2. Definisi tersebut kami rasakan cukup tepat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan hukum ini akan kami elaborasi lebih jauh lagi di dalam bab yang membahas tentang kondisi akses terhadap keadilan di Indonesia.

Kertas Posisi ini disusun oleh YLBHI dan INFID untuk memaparkan tentang pentingnya jaminan akses terhadap keadilan bagi masyarakat sebagai sebuah tujuan pembangunan. Kami mengambil tiga sudut pandang utama yaitu hak asasi manusia, perdamaian dan pembangunan yang berkeadilan, sebagai menjadi landasan argumen tentang pentingnya akses terhadap keadilan di dalam proses pembangunan. Kemudian, kami juga memaparkan kebutuhan-kebutuhan keadilan masyarakat Indonesia yang perlu diakomodasi oleh pemerintah di dalam menentukan tujuan-tujuan pembangunannya, dan kami mengusulkan indikator-indikator apa saja yang perlu ditetapkan untuk mengukur keberhasilan pemerintah di dalam memenuhi akses terhadap keadilan bagi warganya.

Selain itu, Kertas Posisi ini kami susun untuk juga mendorong pemerintah untuk mengambil posisi aktif di dalam mendorong proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan pasca 2015 yang diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka untuk Pembangunan yang Berkelanjutan, yang menempatkan akses terhadap keadilan sebagai tujuan pembangunan yang berdiri sendiri.

II. Akses terhadap Keadilan Sebagai Unsur yang Instrumental di Bidang Hak Asasi Manusia, Perdamaian dan Pembangunan.

Kami meyakini bahwa tujuan utama penyelenggaraan negara adalah terbangunnya tatanan masyarakat yang merdeka dan bermartabat di mana setiap orang dapat terbebas dari belenggu ketidakberdayaan yang diakibatkan baik oleh keterbatasan sosial, ekonomi, maupun keterbatasan kemampuan fisik, posisi geografis dan keterbatasan-keterbatasan lainnya yang berada di luar kontrol orang tersebut untuk mengatasinya.

Lihat, UNDP, “Programming for Justice: Access for All”, dapat diakses di: www.unrol.org/files/

4

(5)

Perwujudan masyarakat yang merdeka dan bermartabat tersebut mensyaratkan, setidak-tidaknya, tiga hal yaitu, jaminan terhadap hak asasi manusia, perdamaian dan pembangunan. Dalam laporannya, yang diberi judul “In Larger Freedom”, kepada Majelis Umum PBB, mantan Sekretaris Jendral PBB, Kofi Annan menyatakan sebagai berikut:

“Kemerdekaan yang lebih luas berarti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak atas pemerintahan yang mereka sepakati, yang berdasarkan hukum, di dalam sebuah masyarakat di mana para individunya dapat, tanpa adanya diskriminasi atau retribusi, berbicara, beribadah dan berorganisasi secara bebas. Mereka juga harus terbebas dari kemiskinan…dan bebas dari rasa takut—sehingga kehidupan dan penghidupan mereka tidak terkoyak-koyak oleh kekerasan dan perang. Tentunya, semua orang berhak atas keamanan dan pembangunan.” 5

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia, baik yang berdimensi sipil dan politik, seperti kebebasan berpendapat atau hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, maupun yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya, seperti bebas dari kemiskinan, harus berjalan beriringan dengan adanya jaminan keamanan dan pelaksanaan pembangunan untuk dapat saling menguatkan perwujudannya.

Di dalam laporan yang sama, Kofi Annan menegaskan:

“Negara-negara yang memiliki tata pemerintahan yang baik dan menghormati hak asasi manusia lebih berpeluang untuk menghindari kengerian konflik dan mengatasi hambatan-hambatan pembangunan…Oleh karena itu, kita tidak akan bisa menikmati pembangunan tanpa adanya keamanan, kita tidak akan bisa menikmati keamanan tanpa adanya pembangunan, dan kita tidak akan bisa menikmati keduanya tanpa ada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Apabila kemajuan atas seluruh tujuan tesebut tidak didorong, maka tidak akan ada satu tujuanpun yang berhasil.”

Kemanan di dalam konteks ini dimaknai sebagai upaya untuk memelihara perdamaian sebagai jaminan bagi seluruh individu untuk terbebas dari rasa takut, terutama rasa takut akan kekerasan dan perang yang dapat menghancurkan kehidupan suatu masyarakat.

II.1. Akses terhadap Keadilan dan Hak Asasi Manusia.

Di dalam tiga unsur utama bagi masyarakat yang merdeka yaitu, hak asasi manusia, perdamaian dan pembangunan, akses terhadap keadilan memiliki peranan yang instrumental yang dapat memperkuat perwujudan bagi masing-masing unsur tersebut.

Di dalam konteks hak asasi manusia, akses terhadap keadilan hak yang diakui di dalam hampir seluruh instrumen internasional pokok hak asasi manusia seperti, Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (1966), Konvensi Menentang Penyiksaan (1984), Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (1979), Konvensi tentang Hak Anak (1989), Konvensi tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (1990), dll.

Di antara instrumen-instrumen pokok HAM tersebut, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol) adalah instrumen yang paling sering dirujuk terkait dengan rincian akses terhadap keadilan yang harus diberikan kepada setiap individu.

Majelis Umum PBB, Laporan Sekretaris Jendral “In Larger Freedom: towards development, security and human rights for all”, 21

5

(6)

Pasal 14 Kovenan Sipol mengakui hak bagi setiap orang untuk diperlakukan sama di mata hukum dan atas persidangan yang adil, yang diselenggarakan oleh pengadilan yang kompeten, independen dan imparsial. Selain itu, untuk menjamin keadilan atas diri seseorang yang terkena tuduhan 6

melakukan tindak pidana, maka dia memiliki hak-hak untuk mengakses, antara lain : 7

- Informasi terkait dengan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, dalam bahasa yang dia pahami;

- Waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaan atas dirinya dan untuk berkomunikasi dengan penasehat hukum yang dia pilih sendiri;

- Persidangan, atas dirinya, yang dilakukan tanpa penundaan yang berlarut-larut; - Kesempatan untuk dihadirkan di persidangan;

- Kesempatan untuk membela dirinya sendiri atau melalui pendamping hukum yang dia pilih sendiri;

- Informasi atas hak-haknya;

- Bantuan hukum, apabila dia tidak mampu membayar jasa pendampingan hukum;

- Mendapatkan bantuan penerjemah secara gratis, apabila dia tidak memahami bahasa yang digunakan di pengadilan;

- Mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi;

- Mendapatkan kompensasi atas hukuman yang dijatuhkan atasnya sebagai akibat dari kelalaian hukum.

Di samping hak atas akses terhadap keadilan bagi tersangka/terdakwa, Kovenan Hak Sipol tersebut juga menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pemulihan (remedy) yang efektif, apabila hak dan/atau kebebasannya, yang dijamin oleh Kovenan, dilanggar. 8

Tersebarnya jaminan hak atas akses terhadap keadilan di berbagai instrumen pokok hak asasi internasional tersebut menunjukkkan betapa pentingnya akses terhadap keadilan bagi penikmatan hak asasi manusia oleh setiap individu. Hal ini dikarenakan oleh sifat dari akses terhadap keadilan itu sendiri yang bukan hanya sebuah hak yang asasi, namun juga merupakan alat yang penting untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi manusia lainnya, yang diakui secara universal. Dengan kata lain, akses keadilan dapat memberikan ruang yang setara bagi setiap individu untuk mempertahankan haknya dan mendapatkan pemulihan apabila hak-hak asasinya dilanggar.

II.2. Akses terhadap Keadilan dan Perdamaian.

Hak-hak asasi manusia haya dapat dinikmati secara penuh di dalam suatu masyarakat yang damai. Sebaliknya, untuk memelihara perdamaian di dalam masyarakat, maka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan syarat yang utama. Dengan kata lain, hak asasi manusia dan perdamaian memiliki hubungan yang interdependen yang tidak dapat berdiri secara terpisah.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1996, Pasal 14 paragraf (1).

6

Ibid, paragraf (3a-c).

7

Ibid, Pasal 2 paragraf (3 a-c).

(7)

Akses terhadap keadilan, selain sebagai alat untuk mempertahankan atau melindungi penikmatan hak-hak asasi manusia, merupakan unsur yang penting di dalam upaya pemeliharaan perdamaian di dalam masyarakat.

Dalam konteks perdamaian, YLBHI melihat bahwa akses terhadap keadilan menjadi faktor yang penting karena:

1. Akses keadilan memberikan pilihan bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau konflik dengan tidak menggunakan kekerasan. Alternatif di luar kekerasan ini sangatlah penting di dalam mengurangi ketegangan antar individu atau kelompok di dalam masyarakat; dan

2. Di dalam situasi pasca konflik, khususnya ketika terjadi pelanggaran HAM berat selama terjadinya konflik, akses terhadap keadilan dapat mendorong akuntabilitas dan mencegah impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM, sehingga dapat mencegah terulangnya kejahatan yang dapat mengarah pada situasi konfilk yang baru.

II.3. Akses terhadap Keadilan dan Pembangunan yang Berkeadilan.

Karena tujuan negara adalah mewujudkan masyarakat yang merdeka dan bermartabat, maka target-target pembangunan negara harus diarahkan pada upaya-upaya untuk membebaskan setiap individu dari segala bentuk ketimpangan yang menimbulkan ketidakberdayaan dan segala keterbatasan yang dapat membelenggu dan menghambat penikmatan hasil pembangunan dan melanggengkan kemiskinan. Kami menyebut tujuan pembangunan ini sebagai pembangunan yang berkeadilan.

Dalam konteks ini, akses terhadap keadilan memiliki peran yang intrumental di dalam memperkuat keberdayaan masyarakat, khususnya di bidang hukum. Masyarakat yang berdaya secara hukum akan dapat memahami, menentukan prioritas-prioritas, serta dapat berpartisipasi di dalam proses pembuatan kebijakan publik. Asian Development Bank menemukan bahwa di dalam masyarakat yang berdaya secara hukum terjadi mobilisasi kapasitas dan tuntutan kolektif yang dapat menekan perbaikan-perbaikan institusional untuk memasukkan muatan-muatan pembangunan ke dalam peraturan perundang-undangan. 9

Mobilisasi kapasitas dan tuntutan secara kolektif yang dimungkinkan oleh akses terhadap keadilan tersebut di atas menjadi sangat signifikan di dalam upaya melawan kemiskinan. Hal ini ditekankan oleh Magdalena Sepulveda, Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia, yang berpendapat bahwa.

“Tanpa adanya akses terhadap keadilan yang setara, mereka yang hidup di dalam kemiskinan tidak akan dapat menuntut hak-hak mereka, atau melawan kejahatan-kejahatan, kesewang-wenangan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap mereka, yang membuat mereka terjebak di dalam lingkaran setan impunitas, penindasan dan pengucilan. Akses terhadap keadilan yang setara dapat memberikan perlindungan dan peningkatan bagi pendapatan dan penghidupan masyarakat miskin, namun lebih dari itu, akses terhadap keadilan dapat meningkatkan kemampuan, pilihan, keamanan dan kekuatan mereka.” 10

Asian Development Bank, “LAW AND POLICY REFORM at THE ASIAN DEVELOPMENT BANK”, hlm. 8.

9

Majelis Umum, Laporan Pelapor Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia, ‘Promotion and protection of human

10

(8)

Dengan demikian, kami memandang bahwa akses terhadap keadilan membuka ruang yang setara bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam menentukan arah kebijakan pembangunan yang berkeadilan serta memperkuat kontrol masyarakat untuk memastikan akuntabilitas negara di dalam melaksanakan pembangunan itu sendiri.

III. Kondisi Akses terhadap Keadilan di Indonesia.

Pada tanggal 24 Februari, 2015 yang lalu, YLBHI bersama INFID mengadakan sebuah Focus Group Discussion yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat sipil yang bekerja di sektor keadilan baik dari Jakarta maupun luar Jakarta, seperti Aceh dan NTT. Tujuan dari kegiatan diskusi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan bagi proses pembangunan akses terhadap keadilan di Indonesia;

2. Menyusun indikator-indikator yang dapat dijadikan acuan yang akurat bagi pemenuhan target pembangunan di bidang akses terhadap keadilan; dan

3. Menyusun rencana tindak lanjut dan agenda bersama untuk mengawal proses inklusi indikator-indikator keadilan yang telah disusun bersama kedalam target pembangunan nasional dan global.

Dari diskusi tersebut, ada beberapa hal yang disampaikan oleh para peserta terkait dengan kondisi akses terhadap keadilan di Indonesia:

- Pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat masih sangat rendah;

- Akuntabilitas aparat penegak hukum masih rendah, sehingga masih terdapat praktik-praktik korupsi di dalam proses penegakkan hukum;

- Penghormatan terhadap hak-hak asasi di kalangan aparat penegak hukum juga masih rendah, sehingga cara-cara kekerasan masih banyak digunakan;

- Mekanisme kontrol terhadap institusi dan aparat penegak hukum masih lemah;

- Sistem hukum masih dalam proses pembangunan, sehingga masih banyak ketidaksesuaian antar peraturan perundang-undangan serta tumpang-tindih antar berbagai prosedur dan mekanisme hukum;

- Masyarakat Indonesia masih belum sampai ke tahap masyarakat hukum yang modern, hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk mengakses mekanisme-mekanisme hukum non-formal. Salah satu asumsi yang digunakan: semakin moderen sebuah masyarakat, kesadaran untuk mengunakan mekanisme hukum formal semakin besar.

Masukan-masukan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survey indeks Rule of Law yang dibuat oleh World Justice Project tahun 2014, yang menemukan bahwa kinerja penegak hukum Indonesia di dalam menjalankan penyelidikan/penyidikan yang efektif sangatlah buruk (0.31), kemudian penegakkan due process of law di dalam proses hukum pidana juga sama buruknya (0.35). Indeks tersebut juga menunjukkan bahwa korupsi di kepolisian tinggi (0.37), begitu juga tingkat korupsi di dalam sistem hukum pidana secara keseluruhan (0.38). 11

Dengan mempertimbangkan masukan-masukan yang diberikan oleh para praktisi sektor keadilan di Indonesia, serta hasi survey yang dilakukan oleh World Justice Project tersebut, maka jelas terlihat

World Justice Project, “The Rule of Law Index 2014”, dapat diakses di: http://worldjusticeproject.org/sites/default/files/files/

11

(9)

bahwa masyarakat Indonesia masih belum berdaya secara hukum dan keadilan masih belum dapat diakses dengan setara oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, hambatan yang paling utama di dalam akses terhadap keadilan di Indonesia adalah praktik-praktik korupsi dan represi yang masih meluas di kalangan aparat penegak hukum.

IV. Akses terhadap Keadilan sebagai Tujuan Pembangunan Nasional dan Indikator-Indikator Pencapaiannya.

Dari masukan-masukan tentang kondisi akses terhadap keadilan di Indonesia, yang didapatkan melalui proses focus group discussion bersama praktisi-praktisi sektor keadilan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan keadilan (justice needs) masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Adanya pemberdayaan hukum, terutama masyarakat miskin dan marjinal, sehingga mereka dapat memahami hak-hak mereka dan dapat lebih berpartisipasi di dalam proses pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka;

2. Meningkatkan akses bantuan hukum yang lebih besar sehingga dapat menjangkau lebih banyak lagi masyarakat miskin yang ingin menggunakan mekanisme-mekanisme hukum formal untuk menyelesaikan sengketa dan/atau mempertahankan hak mereka;

3. Pembenahan institusi penegakkan hukum yang dapat menghilangkan praktik-praktik korupsi dan kekerasan di dalam proses penegakkan hukum di Indonesia;

4. Pembenahan sistem hukum sehingga tidak terjadi ketidaksesuaian peraturan hukum ataupun tumpang tindih antar mekanisme/institusi hukum.

Empat butir kebutuhan keadilan masyarakat tersebut, sebenarnya, telah diakomodasi oleh pemerintah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015.

Meskipun di dalam RPJMN 2015-2019, akses terhadap keadilan tidak menjadi tujuan yang berdiri sendiri, namun elemen-elemen utamanya sudah dicakup di dalam tujuan “Memperkuat Kehadiran Negara Dalam Melakukan Reformasi Sistem Dan Penegakan Hukum Yang Bebas Korupsi, Bermartabat Dan Terpercaya.” Tujuan ini sendiri kemudian dirinci kedalam 12 sasaran yang 12

antara lain adalah meningkatkan kualitas aparat penegak hukum, melakukan harmonisasi peraturan terkait HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, optimalisasi bantuan hukum dan membangun budaya hukum.

Untuk memastikan bahwa target-target akses terhadap keadilan dapat dicapai di dalam pelaksanaan program-program pembangunan pemerintah, maka YLBHI dan INFID mengusulkan indikator-indikator berikut ini untuk dijadikan alat ukur keberhasilan pemerintah di dalam upaya pemenuhan hak atas akses terhadap keadilan bagi masyarakat Indonesia. Indikator-indikator ini diturunkan dari kerangka analisis yang disusun berdasarkan asumsi dasar bahwa pemenuhan akses terhadap keadilan selalu berkaitan dengan: kerangka hukum normatif, kesadaran dan pengetahuan hukum, pendampingan dan bantuan hukum, intitusi resolusi konflik, serta pelaksanaaan dan penegakan hasil keputusan, di mana pada saat yang bersamaan dilakukan upaya untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas melalui mekanisme kontrol secara institusional maupun melalui tuntutan dari

Untuk lengkapnya, silahkan lihat RPJMN 2015 - 2019 yang dapat diakses di: http://bappenas.go.id/index.php?

12

(10)

masyarakat sebagai pemilik hak. Berangkat dari kerangka analisis tersebut kemudian 13

dikembangkan sebagai berikut:

Kerangka Hukum

Jaminan perlindungan HAM

Sejauh mana norma-norma hak asasi manusia diadopsi dalam sistem hukum?

Apakah masih banyak aturan hukum yang berlaku yang masih membuka ruang bagi pelanggaran HAM?

Kejelasan aturan

Apakah aturan dan norma hukum yang ada cukup jelas dan mudah dipahami? Apakah masih ada aturan hukum yang memiliki multi-interpretasi?

Kesesuaian antar aturan

Apakah semua aturan hukum sudah tersinkronisasi dengan baik?

Apakah masih ada aturan hukum yang sama-sama berlaku namun bertentangan satu dengan yang lainnya?

Non-diskriminasi

Sejauh mana prinsip non-diskriminasi diadopsi dalam sistem hukum? Apakah masih ada aturan hukum yang bersifat diskriminatif?

Kebebasan memperoleh informasi

Sejauh mana kebebasan memperoleh informasi diatur dalam norma hukum yang ada? • Identitas legal

Berapa banyak penduduk yang tidak memiliki akta kelahiran? Berapa banyak penduduk dewasa yang tidak memiliki KTP?

Kesadaran dan Kepatuhan Hukum (Melek Hukum)

Kesadaran hukum

Sejauh mana masayarakat memiliki kesadaran tentang hukum dan norma yang mengatur kehidupan mereka?

Pengetahuan hukum

Sejauh mana masayarakat memiliki pengetahuan tentang hukum dan norma yang mengatur kehidupan mereka?

Kepatuhan hukum

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan norma yang berlaku.

Kepercayaan publik terhadap aturan hukum

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan norma yang berlaku. Hal ini juga dipengaruhi oleh kepatuhan dari aparat penegak hukum terhadap hukum dan norma yang berlaku.

Akses informasi

Tingkat kesadaran masyarakat akan hak mereka untuk memperoleh informasi. Tingkat akses informasi oleh masyarakat.

Bantuan Hukum

Alokasi dana negara untuk bantuan hukum

Rasio pengacara dibandingkan dengan jumlah penduduk

Rasio ini juga perlu dilihat hingga di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten)

Rasio pengacara publik dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin

Lihat Henrik Alffram, Equal Access to Justice: Mapping Experience, SIDA, April 2011.

(11)

Rasio ini juga perlu dilihat hingga di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten) • Kualitas dan integritas pengacara, termasuk pengacara publik.

Tingkat kepercayaan publik terhadap pengacara

Biaya pengacara

Aparatur Akses terhadap Keadilan

Institusi resolusi konflik kami bagi menjadi 3, yaitu dari sisi aparat, institusi serta prosedur. Dari sisi aparat, indikator akses keadilan terdiri dari:

Jumlah/rasio aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) dibandingkan dengan jumlah penduduk di

tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.

Jumlah/rasio petugas Rutan dan LP dibandingkan dengan jumlah tahanan dan narapidana di

setiap institusi Rutan/LP

Kualitas SDM aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP)

Integritas dan akuntabilitas aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP) Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP)

Institusi Akses terhadap Keadilan

Jumlah dan rasio kantor OBH terhadap penduduk miskin di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.

Jumlah dan rasio kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP terhadap penduduk di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.

Jangkauan/jarak dan persebaran kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP terhadap tempat tinggal penduduk.

Kondisi fisik/infrastruktur kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP.

Kondisi dan kualitas layanan kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP.

Kecepatan layanan kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP.

Biaya yang harus dikeluarkan oleh pencari keadilan ketika menggunakan institusi keadilan.

Prosedur Akses terhadap Keadilan

Adanya hukum acara yang adil, akuntabel dan menjamin HAM.

Adanya sistem yang mengatasi kendala bahasa, serta mengadopsi kebutuhan kaum difabel.

Tingkat independensi dalam kerja dan pengambilan keputusan dari aparat/institusi yang melakukan resolusi konflik serta dispute resolution.

Tersedianya mekanisme kontrol (internal and external oversight) serta mekanisme check

and balances dari/terhadap: Pengacara, Polisi, Jaksa, Hakim, Petugas Rutan dan petugas Penjara

Pelaksanaan dan Penegakan Resolusi

Keberadaan institusi dengan kewenangan yang jelas untuk mengeksekusi hasil.

Adanya aturan yang jelas jika hasil putusan/kesepakatan tidak dilaksanakan/ dieksekusi.

(12)

Millenium Development Goals (MDGs), sebagai kerangka kerja pembangunan global akan segera berakhir pada tahun 2015. Untuk mempersiapkan kerangka kerja pembangunan selanjutnya, para perwakilan negara di PBB, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan lainnya sedang menegosiasikan sebuah kerangka kerja baru pembangunan Pasca-2015.

Dalam kaitannya dengan agenda pembangunan pasca 2015, YLBHI dan INFID mendukung proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan yang diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka untuk Pembangunan yang Berkelanjutan yang mengusulkan 17 tujuan dan 169 target dalam pembangunan Pasca-2015 . Alasan utama kami mendukung usulan dari Kelompok Kerja Terbuka 14

tersebut adalah karena di dalam proposal tersebut, akses terhadap keadilan dijadikan tujuan pembangunan yang berdiri sendiri

Di dalam proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan tersebut, akses terhadap keadilan dituangkan sebagai Tujuan ke-16 yang berbunyi “Mempromosikan masyarakat damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan, memberikan akses terhadap keadilan bagi semua orang dan membangun lembaga-lembaga yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan.” 15

Tujuan ini kemudian diperjelas di dalam target no. 16.3 yang menyatakan “Pemajuan penegakkan negara hukum di tingkat nasional dan internasional dan memastikan akses yang setara atas keadilan bagi semua orang.

Magdalena Sepulveda mengatakan bahwa penempatan akses keadilan sebagai target pembangunan yang berdiri sendiri merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa pemenuhannya ditempatkan sebagai hal yang vital di dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang berpusat pada manusia (human-centred social and economic development). Sementara, kami memandang 16

pentingnya akses terhadap keadilan ditempatkan sebagai target yang berdiri sendiri, dan bukan sebagai faktor pendorong (enabling factor) atau sebagai landasan yang abstrak, adalah agar pemenuhannya dapat diukur dengan indikator-indikator capaian yang spesifik.

VI. Penutup.

Kami meyakini bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara hanya dapat tercapai di dalam masyarakat yang damai di mana hak-hak asasi manusia setiap individu dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh pemerintah.

Selain itu, kami juga menyadari bahwa proses pembangunan memiliki kompleksitasnya sendiri di mana di dalamnya terdapat berbagai benturan kepentingan. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa akses terhadap keadilan memiliki peran yang instrumental di dalam memastikan adanya perangkat instrumen dan mekanisme yang efektif yang dapat melindungi hak-hak asasi manusia di dalam proses pembangunan, dan memastikan bahwa setiap orang yang dilanggar haknya, dapat memperjuangkan keadilan dan pemulihan atas dirinya. Selain itu, kami juga percaya bahwa akses

Untuk mengetahui secara lengkap target-target pembagunan yang diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka, silahkan lihat, Open

14

Working Group Proposal for Sustainable Development Goals, yang dapat diakses di https://sustainabledevelopment.un.org/ focussdgs.html

Ibid.

15

Majelis Umum, “Laporan Pelapor Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia”, Loc. Cit.

(13)

terhadap keadilan dapat menghindarkan masyarakat dari konflik dan kekerasan di dalam menyelesaikan benturan-benturan kepentingan di dalam pelaksanaan pembangunan.

Oleh karena itu, kami menyambut baik upaya pemerintah yang telah mengakomodasi kebutuhan keadilan masyarakat Indonesia atas akses terhadap keadilan di dalam RPJMN 2015-2019. Namun demikian, untuk menghindari pergeseran dari target-target pemenuhan akses terhadap keadilan tersebut hingga menjadi sekedar aspirasi belaka, maka kami mendorong pemerintah untuk mengadopsi indikator-indikator pemenuhan akses terhadap keadilan yang kami usulkan di atas, sebagai alat ukur keberhasilan pencapaian target akses terhadap keadilan oleh pemerintah.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap perdamaian dunia, oleh karena itu ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di suatu negara, dengan sendirinya akan menjadi ancaman bagi perdamaian di seluruh dunia.

Maka, terkait dengan tujuan pembangunan global pasca 2015 ini, YLBHI dan INFID mendorong pemerintah Indonesia untuk:

1. Mendukung proposal yang diajukan oleh OWG-SDGs yang memuat 17 tujuan dan 169 target yang harus dicapai untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Kami juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendukung proposal tersebut sebagai bagian dari komitmennya untuk mencapai keadilan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia;

2. Mendukung Tujuan 16 dari proposal pembangunan yang berkelanjutan yaitu,

"[M]empromosikan masyarakat damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan, memberikan akses terhadap keadilan bagi semua orang dan membangun lembaga-lembaga yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan.” Dan mendorong pemerintah untuk mendukung Goal 16 dan 12 targetnya tersebut sebagai bagian dari komitmen globalnya terhadap perdamaian dunia;

3. Kami, secara khusus, mendukung target 16.3 dari proposal WOG-SDGs, yaitu “Pemajuan penegakkan negara hukum di tingkat nasional dan internasional dan memastikan akses yang setara atas keadilan bagi semua orang.” Dan kami juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendukung target tersebut sebagai salah-satu upaya pemenuhan hak setiap orang atas kesetaraan di muka hukum dan atas pengadilan yang adil, sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik di mana Indonesia menjadi salah satu negara pihak di dalamnya.

Referensi

Dokumen terkait

“Menurut saya pribadi pencak silat dalam hal ini Perisai Diri tidak hanya mengajarkan sekadar pukulan dan tendangan, tetapi lebih penting lagi adalah arti pentingnya

Adapun yang menjadi parameter pengamatan dalam penelitian ini yaitu mortalitas larva S. litura dan daya makan larva S. Pengamatan mortalitas total dilakukan setelah

Tapi, Tuhan, atau Wujud Murni (pure being), yang merupakan asal dan pencipta segala sesuatu, bukan merupakan term pertama dalam rantai yang berkesinambungan dan karena

Cara pemupukan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan adalah dengan cara ditugal atau membuat pocket sebanyak 8 titik disekeliling tanaman kelapa sawit, cara ini diterapkan oleh

: PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA TENTANG PERUBAHAN ATAS PBRATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR T6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN SERI,. KODE, DAN

 Melengkapi administrasi pencairan di provinsi;  Sosialisasi kepada sekolah dan Komite Sekolah;  Membina dan memonitor pelaporan sekolah;  Melakukan monitoring dan

Alat-alat anasir cuaca yang digunakan pada stasiun klimatologi antara lain alat pengukur curah hujan, kelembaban nisbi udara, pengukur suhu udara, pengukur suhu dan kelembaban nisbi

Uang Rupiah kertas pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 dinyatakan masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan