• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduksi Kepemimpinan Lokal pdf 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Reproduksi Kepemimpinan Lokal pdf 1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

REPRODUKSI KEPEMIMPINAN LOKAL DAN KEBANGKITAN

POLITIK IDENTITAS:

Studi Kasus Gerakan Politik Darul Islam di Pedesaan Sulawesi Selatan1

Oleh:

Sofyan Sjaf2

Hingga saat ini, studi Snouck Hurgronje3 (1893–1895) masih tetap relevan untuk dibicarakan dalam konteks ke-Indonesia-an. Dua alasan mengapa studi rintisan Snouck Hurgronje dianggap masih relevan, yakni: pertama, adanya perubahan kebijakan pemerintah Belanda dalam menanggapi perkembangan kekuatan Islam di Indonesia sebagai negeri jajahannya (Benda, 1980).4 Walau demikian argumentasi Snouck Hurgronje tidaklah sepenuhnya benar disebabkan perubahan kebijakan tersebut pada kenyataannya memberikan ruang bagi tumbuhnya gerakan politik (perlawanan) yang berbasis identitas Islam di Indonesia5; dan kedua, disadari atau tidak, Snouck telah membuka ruang gagasan substansi sekaligus tindakan praksis tentang relasi atau “perkawinan”        

1 Judul tugas MK. Teori Sosial dan Struktur Sosial di bawah asuhan Dr. Ir. Lala Kolopaking, MS. Judul tugas ini sekaligus judul untuk penelitian yang akan penulis lakukan dalam rangka penyelesaian tugas akhir pada Program Studi Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasarjana IPB.

2 Mahasiswa Program Doktoral pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB; NRP: I363070031.

3

Snouck Hurgronje adalah seorang arsitek keberhasilan politik Belanda terhadap Islam yang paling legendaris. Latar belakangnya adalah salah seorang profesor di Universitas Leiden yang ahli mengenai masalah penjajahan dan sebagai konsultan masalah-masalah pribumi di dalam Kementrian Urusan Penjajahan. Perlu pula dikemukakan bahwa Snouck Hurgronje merupakan seorang yang membuka zaman baru hubungan Belanda – Indonesia. Adapun studi studi yang ia lakukan di Indonesia berkaitan dengan rumusan politik kolonial Belanda terhadap Islam di Indonesia.

4

Perubahan kebijakan pemerintah Belanda didasarkan karena ketakutan Belanda terhadap kekuatan Islam di Indonesia. Menanggapi hal ini, Snouck Hurgronje memberikan argumentasinya untuk meredam ketakutan tersebut. Adapun argumentasi yang dimaksud, sebagai berikut: (1) ketiadaan lapisan klerikal (sistem komando [paus] sebagaimana dikenal dalam agama Kristen Katolik), maka kekhalifaan yang dikenal oleh Islam hanyalah sebuah simbol yang hampir tak berdaya bagi kesatuan semua orang Islam. Selanjutnya menurut Snouck Hurgronje betapa pun Pan-Islam merupakan ideologi samar-samar yang membahayakan, namun ia bukanlah realitas politik yang bisa dihubungkan dengan kekhalifaan; dan (2) Kiai atau ulama di Indonesia bukanlah kelompok yang terlibat dalam komplotan jahad. Menurut Snouck Hurgronje bahwa kiai dan ulama merupakan individu yang independen dan bertugas sebagai ahli-ahli kitab suci dan guru-guru agama dari dunia Ilahi dan kebanyakan mereka tidak menginginkan lain daripada mengabdi kepada Allha dengan damai (Benda, 1980).

5 Tentang hal ini, Benda (1980) memberikan catatan penting bahwa perubahan kebijakan Pemerintah Belanda tentang Islam yang ditawarkan oleh Snouck Hurgronje, meliputi dua hal pokok: pertama, berkaitan dengan Islam Religius, Snouck menawarkan suatu sikap toleransi yang dijabarkan di dalam sikap netral terhadap kehidupam keagamaan. Kebijakan toleransi ini, kemudian mendorong hadirnya berbagai organisasi sosial-politik berbasis Islam, seperti: Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Ahmadiyah, dan lain-lain (perlu dicatat bahwa kelahiran organisasi sosial-politik ini tidak terlepas dari perkembangan kritik Islam Ortodoks oleh Islam Moderat). ; dan kedua, berkaitan dengan Islam Politik, Snouck menawarkan adanya tindakan drastis melalui aksi meliter untuk mengembalikan kewibawaan Belanda. Dengan demikian, hal tersebut dapat meletakkan dasar bagi keamanan agama dan dasar yang langgeng bagi suatu

(2)

antara adat/hukum adat dengan Islam sebagai identitas politik yang terus langgeng.6

Berselang beberapa ratus tahun kemudian, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, ramalan Snouck kembali menguak dipermukaan. Di bawah kepemimpinan rezim Orde Lama (Soekarno) dan Orde Baru (Soeharto), Islam Politik sebagai identitas7 senantiasa mewarnai proses perubahan sosial yang terjadi negeri ini. Akan tetapi, kedua rezim ini cenderung melakukan pemisahan negara nasional dan cita-cita pembangunanisme dari identitas Islam.8 Bahkan lebih dari itu, mencoba mematikan gerakan politik yang berbasiskan Islam sebagai identitas karena dianggap dapat mengancam stabilitas negara.9

Padahal hadirnya gerakan politik di Indonesia, dimana menempatkan identitas sebagai arena perjuangannya, tidak hanya berasal dari identitas Islam saja. Melainkan lebih dari itu, beragam motif identitas mewarnai gerakan politik yang mencoba bermanuver karena ketidakpuasannya dengan pemerintah pusat. Adapun gerakan politik yang dimaksud antara lain: Papua Merdeka (PM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan lain-lain.10

Meski dapat dipastikan bahwa gerakan politik identitas tersebut berhasil ditumpas semasa dua rezim yang telah dikemukakan sebelumnya, akan tetapi politik identitas bagaikan “api dalam sekam”. Hal ini terbukti ketika rezim Orde Baru tumbang, dimana gerakan politik berbasis identitas kembali hadir mewarnai proses transisisi di Indonesia. Umumnya strategi yang diterapkan oleh gerakan politik identitas tersebut berbeda antara satu dengan lainnya. Ada yang memilih strategi konflik terbuka (konfrontatif) dengan pemerintah dan ada pula yang lebih memilih strategi dengan mengambil langkah-langkah preventif dengan pemerintah.

       

6

Tentang hal ini, munculnya Sarekat Islam (SI) yang didirikan tahun 1912 berhasil merekrut banyak pengikut partai yang berasal dari pedesaan. Alasanya banyaknya para pengikut SI dari petani karena SI tampak sebagai wadah yang bisa mengekspresikan kegelisahan dan keinginan memberontak kaum tani yang selama ini tertahan melawan perubahan zaman (Benda, 1980: 65– 67).

7

Beragam definisi tentang arti yang terkandung dari kata identitas. Akan tetapi, sebagaimana kepentingan penelitian ini, pengertian identitas berkaitan dengan studi ini meminjam istilah yang dikemukakan Amartya Sen. Menurutnya dua hal yang perlu ditumbuhkan untuk memahami kata “identitas”, pertama, identitas itu secara mutlak bersifat majemuk, dan bahwa taraf untuk kepentingan identitas tidak harus meniadakan kepentingan identitas lainnya; dan kedua, seseorang harus mengambil pilihan mengenai kepentingan relatif manakah yang harus diberikan, sesuai konteksnya, diantara berbagai kesetiaan dan prioritas yang mungkin saling berebut untuk diutamakan.

8 Dalam pemerintahan Orde Lama, Soekarno berupaya “mematikan” tumbuhnya partai politik yang berafiliasi dengan identitas Islam, yakni Masyumi. Untuk merangkul beragam identitas yang ada, Soekarno kemudian membangun strategi dengan menawarkan alternatif ideologi NASAKOM (Nasionalis, Sosialis, Agama, dan Komunis). Demikianpun dengan pemerintahan Orde Baru (Soeharto) yang menawarkan strategi Pancasila sebagai Ideologi negara yang cenderung menekankan pada 5 agama yang diakui oleh pemerintah.

9 Setidaknya beberapa organisasi sosial-politik dimana Islam sebagai identitas yang dianggap yang hadir diberbagai daerah, seperti: Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Nangroe Aceh Darusslam (NAD), Darus Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, Permesta di Sumatera Barat, dan lain-lain.

(3)

Tentunya fenomena seperti di atas menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Terlepas dari manakah latar belakang identitas yang hadir mewarnai gerakan politik berbasis identitas yang ada, namun secara sosiologis perihal reproduksi kepemimpinan dan kebangkitan politik identitas yang ada di tanah air (khususnya di pedesaan) menarik untuk ditelusuri lebih jauh lagi.

Dengan membatasi diri pada gerakan politik identitas tertentu, yakni Darul Islam (DI), penulis akan mencoba menulusuri reproduksi kepemimpinan lokal dan kebangkitan Darus Islam (DI) sebagai gerakan politik identitas di pedesaan Sulawesi Selatan.11 Walau gerakan politik ini pernah mendapat kecaman keras sebagai gerakan separatis dari dua rezim yang pernah hampir di negeri ini, ternyata dalam kenyataannya menunjukkan hal yang berbeda. Ini dapat ditunjukkan secara de facto, dimana DI (meski bukan secara institusional) sebagai gerakan politik identitas masih mendapat simpatik yang cukup baik oleh rakyat di Sulawesi Selatan. Melalui Pilkada Sulawesi Selatan, Azis Muzakkar yang merupakan “anak genetik” Kahar Muzakkar berhasil memperoleh dukungan suara sebanyak kurang lebih 23 persen.12 Tidak itu saja, dibeberapa daerah pedesaan

Sulawesi Selatan, kegiatan sosial dan keagamaan yang diselenggarakan oleh mereka yang pernah bersentuhan dengan Darul Islam Kahar Muzakkar ternyata mendapat dukungan dan simpatik dari warga, bahkan masyarakat ikut terlibat di dalamnya.13

Fenomena seperti ini sebenarnya dapat dijelaskan secara sosiologi, dimana motif-motif yang ditumbuhkan oleh Darul Islam berupa etnis, regional, dan keagamaan sebagai ikatan kohesivitas yang mampu mereproduksi keberlanjutan gerakan politik identitas ini. Nampaknya konsep patron-klien yang kental dan masih berlaku di Sulawesi Selatan perlu kembali dikaji karena telah berhasil menjembatani bertahannya nilai-nilai Darul Islam yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar dan diteruskan oleh pengikut-pengikutnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Darul Islam yang telah lama hilang dan digantikan dengan “wajah baru”nya seperti saat ini, menggugah kesadaran penulis untuk menelusuri lebih dalam tentang reproduksi politik identitas ini baik dari dimensi kepemimpinannya maupun upaya untuk kembali membangkitkan gerakan politik ini dengan nilai-nilai yang diyakininya.

       

11

Menurut catatan yang penulis peroleh bahwa DI sebagai salah satu gerakan politik identitas di Indonesia berlangsung sepanjang 15 tahun, yakni dari tahun 1950 sampai dengan 1965. Untuk Darul Islam di Sulawesi Selatan di bawah kepemimpinan kharismatik Kahar Muzakkar. Adapun motif “pemberontakan” dari gerakan politik identitas ini adalah mencoba mengelaborasi basis etnis, regional, dan keagamaan yang kompleks (Haervey dan Van Dijk dalam Matin Rossler, 2001).

12 Sebagai catatan bahwa tidak terdapat satupun kandidat Gubernur Sulawesi Selatan dalam Pilkada langsung yang pertama kali diselenggarakan ini memperoleh persentasi di atas 50 persen. Dengan demikian, angka yang diperoleh Azis Muzakkar termasuk besar dari 4 kandidat yang bersaing dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan.

13

(4)

Islam Politik: Identitas yang Bersejarah14

Pertanyaan penting tentang Islam politik di Indonesia adalah apakah kehadiran Islam politik sebagai identitas hadir begitu saja? Ataukah Islam politik merupakan ketidaksadaran-kultural yang melekat dan merupakan bagian dari kesejarahan di negeri ini?

Di awal tulisan ini, telah dikemukakan bahwa semenjak Indonesia dalam jerujih penjajahan (baik Belanda maupun Jepang), Islam sebagai agama sekaligus tatanan sosial merupakan kekuatan yang dianggap berbahaya.15 Meski argumentasi Snouck dapat menenangkan “ketakutan” Pemerintah Belanda terhadap Islam, akan tetapi gerakan dalam bentuk pemberontakan terhadap Belanda tak dapat terelakkan. Berdirinya berbagai organisasi sosial-politik diawal-awal tahun 1910-an hingga 1920-an (seperti: Indische Partij, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, dan lain-lain) sebagai upaya politik asosiasi Pemerintah Belanda ternyata tidak mampu meredam semangat perjuangan yang dibangun berdasarkan identitas masing-masing organisasi sosial-politik tersebut.

Upaya Snouck untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih modern16, dimana bukan Indonesia Islam dan Indonesia yang dipimpin oleh adat sebagai identitas ke-Indonesia-an dalam kenyataannya sia-sia. Sebaliknya, kondisi ini malah menguntungkan Indonesia, dimana pendidikan yang dijadikan sebagai media awal ternyata memberikan kesadaran akan pentingnya emansipasi berbangsa (Benda, 1980). Tidak hanya itu saja, dikotomi Islam Religi dan Islam Politik yang dikemukakan oleh Snouck malah membuka “jebakan” bagi Pemerintah Belanda sendiri. Inilah yang kemudian disoroti oleh Wertheim bahwa pendikotomian yang dilakukan oleh Snouck, malah mengaburkan posisi dan peran kepemimpinan lokal (kiai dan ulama) yang ada di pedesaan Jawa. Secara utuh Wartheim mengemukakan:

“...adalah perkembangan kemudian ini yang membuka matanya untuk melihat arti yang sangat penting dari kiai dan ulama sebagai tokoh-tokoh inti di daerah pedesaan Jawa...” (Wertheim dalam Benda, 1980: 9).

Dengan demikian, Islam sebagai indentitas dengan gerakan politiknya pada Pemerintahan Belanda tidak dapat dipisahkan dalam konteks kejadian-kejadian pemberontakan atau perlawanan yang dilakukan masyarakat pedesaan di Jawa saat itu.

       

14 Istilah Islam politik penulis pinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang membagi dua bentuk fenomena Islam, yakni Islam Santri dan Islam Politik.

15

Pernyataan ini sebagaimana uraian yang disampaikan oleh Harry J. Benda (1980) dalam bukunya yang berjudul “Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Kependudukan Jepang” diterbitkan oleh Pustaka Jaya.

16

(5)

Hal yang sama dialami oleh Jepang ketika menggantikan Belanda sebagai penjajah baru di Indonesia. Meski politik devide it impera berhasil dilakukan oleh Jepang, akan tetapi tetap saja merasa ketakutan terhadap segala bentuk gerakan politik yang dibangun dari identitas Islam (Benda, 1980). Dengan kebijakan yang mirip dilakukan oleh Belanda, Jepang memberikan keleluasan bagi para pemimpin-pemimpin Islam di Indonesia, temasuk mempertahankan berdirinya Masyumi sebagai kekuatan politik. Namun demikian, kondisi seperti ini tetap saja menyisahkan beragam persoalan hingga saat ini, diantaranya pertentangan antar elit yang saling berbeda latar belakang identitasnya, yakni elit priyayi, elit nasionalis, dan elit Islam.

Setelah Jepang menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia (tahun 1945), pertarungan politik identitas kembali mencuat. Saat itu, pertarungan bukan lagi terjadi antara Indonesia dengan kolonial, melainkan pertarungan identitas sesama orang Indonesia. Hal ini kemudian membuktikan bahwa politik “pecah belah” atau devide it impera Jepang menunjukkan keampuhannya untuk membenturkan antar identitas yang melekat pada wajah elit negara ini.

Hal yang tak kalah menariknya ketika berbicara tentang politik identitas setelah kemerdekaan Indonesia dicapai. Ketidakpuasan sebagian orang terhadap kepemimpinan Soekarno sebagai elit nasionalis semakin memperuncing munculnya polarisasi antar identitas di tanah air. Janji-janji yang tidak ditepati Soekarno sebagai kepala negara, kemudian mendorong terjadinya pemberontakan yang dimotori oleh gerakan politik berbasis identitas dibeberapa daerah di Indonesia. Salah satu dari pemberontakan berbasis identitas tersebut adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan.17

Setidaknya kehadiran Darul Islam (DI) di bawah pemimpin kharismatik Kahar Muzakkar, membuat struktur kekuasaan pusat (Soekarno) mengalami tantangan. Pemberontakan dengan motif etnis, regional, dan keagamaan yang dilakukan oleh DI tersebut ternyata mengundang perhatian yang serius bagi pemerintahan Orde Lama. Walau memakan waktu 15 tahun lamanya (1950 – 1965), DI di bawah kepemimpinan Kahar Muzakkar akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah.18

Meski demikian, apakah gerakan politik identitas terutama identitas yang berbasis religi berhenti sampai disitu saja? Dari berbagai sumber dan menurut analisis penulis bahwa gerakan politik identitas tersebut, tidak akan pernah surut sepanjang negara ini berdiri, meski dapat di atasi oleh rezim yang berkuasa. Bahkan hingga saat ini, mereka yang pernah terlibat dalam aktivitas “organisasi

       

17 Patut dicatat, bahwa selain DI/TII sebagai gerakan politik berbasis identitas Islam, juga terdapat beberapa gerakan politik berbasis religi lainnya yang berupaya melakukan pemberontakan, antara lain: RMS, PERMESTA, dan lain-lain.

(6)

separatis” malah tampil sebagai pemimpin alternatif masyarakat yang diharapkan dapat membuka jalan menuju kesejahteraan masyarakat yang sesungguhnya.

Berangkat dari penggalan ringkas kesejarahan di atas, mengingatkan penulis tentang konsep habitus yang dikemukakan Bordiue (2006). Berkaitan dengan dimensi kesejarahan, Bordieu menguraikannya dengan konsepnya tentang habitus. Bordieu mengungkapkan bahwa habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis (Bordieu dalam Harker et. al., 2006). Dengan bahasa lain, habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah.19

Selanjutnya analisis habitus dari setiap peristiwa atau lintasan sejarah seseorang atau institusi tertentu adalah ranah. Menurut Bourdieu dalam Harker et. al. (2005) bahwa habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Ranah bukan ikatan intersubyektif antar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Tidak hanya itu, habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar itu, terbentuklah ranah yang tidak lain adalah jaringan relasi posisi-posisi obyektif. Atau dengan kata lain, ranah dapat diartikan metafora yang digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya.

Perihal ranah ini, Bourdieu (2005) kembali mengingatkan bahwa ranah mengisi ruang sosial.20 Konsep ini menganalogikan realitas sosial sebagai sebuah ruang dan pemahamannnya menggunakan pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai ragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya, serta sejumlah titik kontak. Sehubungan dengan ini, maka saat dimana ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai berbagai bentuk modal (Takwin dalam Harker et. al., 2005). Dengan demikian, dalam ruang sosial yang ada, individu dengan habitus-nya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya.

Selain konsep habitus, ranah, dan modal di atas, peristiwa tertentu yang dideskripsikan dalam bentuk kesejarahan oleh Bordeui juga menggunakan konsep yang dinamakan praktik. Praktik ini merupakan suatu produk dari relasi

       

19

Pernyataan ini disampaikan oleh Bagus Takwin dalam kata pengantar buku “Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu” diterbitkan oleh Jalasutra, Yogyakarta (2005).

(7)

antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat (Bordieu, 2005). Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Dalam hal ini, modal dapat dimaknai sebuah kosentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya (Takwin dalam Harker et. al., 2005). Dengan demikian, dua hal yang penulis ingin garis bawahi, pertama, telah diuraikan bahwa Islam politik yang menjadi “ketakutan” penjajah hingga rezim Orde Baru merupakan identitas yang mempunyai akar sejarah atau identitas yang bersejarah, dan kedua, untuk menyelaraskan dengan kesejarahan yang ada (masa lalu – saat ini), maka konsep Bourdieu, seperti: habitus, ranah, modal, dan praktek merupakan konsep yang relevan untuk digunakan dalam studi ini.

Dekonstruksi Pelapisan Sosial di Pedesaan Sulawesi Selatan

Untuk menelusuri kembali sistem pelapisan sosial masyarakat Makassar dan Bugis,21 analisis H. J. Friedricy masih relevan untuk digunakan (Poelinggomang, 2004). Dalam hal ini, Friedricy melakukan analisis asal-usul dan hubungan kekerabatan dari tokoh-tokoh yang memegang peranan penting dalam epos Galigo.22 Adapun sistem pelapisan dua etnis yang dominan di Sulawesi Selatan ini, yaitu bangsawan (ana’karaeng) dan orang meredeka (tu’maradeka).

Selanjutnya kelompok bangsawan ini merupakan lapisan teratas, yang memiliki kedudukan politik, sosial dan ekonomi lebih tinggi. Merekalah yang dapat menduduki kepemimpinan dala masyarakat. Jenjang kelompok bangsawan ini kemudian dibedakan lagi menurut hubungan perkawinan. Artinya, derajat kebangsawanan seseorang ditentukan oleh perimbangan darah kebangsawanan yang mengalir dalam tubuhnya (Poelinggomang, 2004).23

Perlu ditambahkan bahwa pembedaan di atas, hanya dikhususkan bagi mereka yang termasuk kelompok keturunan Tu’manurung. Sehingga umumnya keberadaan kebangsawanan di Sulawesi Selatan dibedakan antara bangsawan pusat dan bangsawan daerah (Poelinggomang, 2004).24 Selanjutnya perlu

       

21

Makassar dan Bugis merupakan dua etnis yang mendominasi sistem sosial di Sulawesi Selatan.

22 Pemikiran Friedricy senada dengan Pelras (2006) yang mengatakan bahwa konsep stratifikasi sosial ini diuraikan di La Galigo dalam mitos tentang nenek moyang orang Bugis yang pada akhirnya membedakan dua jenis manusia.

23 Sebagai contoh kerajaan Gowa, tingkat kebangsawanan dibedakan, antara lain: ana’tino, ana’cera, ana’karaeng, dan ana’sipuwe. Selanjutnya tingkatan kebangsawanan ini, ana’tino

merupakan mempunyai itngkatan yang tertinggi karena ayah dan ibu berasal dari bangsawan murni. Menurut tradisi etnis Makassar ana’tino masih dibedakan lagi, yakni ana’patola dan

ana’manrapi. Ana’patola inilah yang kemudian berhak menduduki tahta kerajaan. 24

(8)

digarisbawahi bahwa masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dikenal sebagai masyarakat yang sangat ketat mempertahankan aturan pelapisan sosialnya.

Meski sama dalam pembedaan sistem pelapisan sosialnya, namun Pelras (2006) memberi gambaran yang berbeda dalam menjelaskan sistem pelapisan di Sulawesi Selatan. Menurutnya pelapisan masyarakat di Sulawesi Selatan, dibedakan menjadi dua bagian, pertama, mereka yang “berdarah putih” dimana keturunan déwata; dan kedua, jenis manusia yang ”berdarah merah” yaitu rakyat biasa, rakyat jelata, atau budak.25

Kemudian Pelras (2006) kembali menegaskan bahwa hirarki dalam masyarakat tradisional Bugis tidak lepas dari simbol-simbol tertentu yang menunjukkan status sosial mereka. Mereka meyakini bahwa perbedaan simbol diantara mereka sangat menentukan dengan siapa mereka berinteraksi. Hal ini berkaitan dengan tata cara berperilaku yang seharusnya menurut nilai-nilai sosial yang telah ditetapkan. Perlu pula ditambahkan, selain pembagian dua jenis strata sosial orang Bugis berdasarkan “warna darah” atau keturunan, juga dikenal hierarki sistem pemerintahan berdasarkan teritorial tertentu dengan hukum dan pemimpinnya masing-masing (Pelras, 2006).

Hal yang menarik lainnya, dari pembagian pelapisan sosial masyarakat tersebut, dikenal sistem patron-klien di dalam sistem pelapisan masyarakat Sulawesi Selatan.26 Dalam kaitannya dengan ini, hubungan patron-klien dikalangan masyarakat Bugis dapat dilihat pada pandangan mereka tentang konsep Ajjoa’raeng27 dan Joa’28 (Mattulada, 1998). Mattulada (1998) kembali menekankan bahwa kesetiaan Joa’ kepada Ajjoa’raeng nya bukannya tanpa syarat. Umumnya, mereka (Joa’) tetap setia kepada Ajjoa’raeng, apabila

Ajjoa’raeng tetap bersungguh–sungguh menjaga dan menghargai siri’ mereka. Seperti halnya masyarakat Bugis, bagi etnis Makassar Ajjoa’raeng dikenal dengan istilah karaeng atau ana’karaeng. Sedangkan Joa’nya dikenal dengan sebutan ana’-ana’ atau taunna yang dengan sukarela menjadi pengikut. Adapun

        bangsawan daerah. Sedangkan bangsawan daerah adalah kelompok bangsawan keturunan penemu gaukang. Mereka disebut bangsawan yang lainnya atau ana’karaeng maraengannaya.

25

Perlu ditekankan bahwa sistem pelapisan (stratifikasi) sosial ini mutlak dan tidak boleh tercampur. Meski demikian, aturan ini semakin longgar seiring waktu bergulir.

26 Definisi patron-klien yang menarik diungkapkan oleh James Scott. Menurutnya patron-klien adalah suatu kasus kusu hubungan antar dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumberdaya yang dimilikinya untuk memberikan pelrindungan atau keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi, kepada patron.

27Ajjoa’raeng adalah orang yang menjadi ikatan atau panutan dan ini bisa seorang punggawa, aru ataupun pemuka masyarakat lainnya. Pendeknya dia merupakan tokoh pemimpin, yang menjadi sumbu kegiatan orang-orang disekitarnya, yang mengikuti kemauan serta kehendaknya dengan patuh.

28 Pengikut-pengikut ini mereka sebut Joa’ adalah pengikut Ajoa’raeng yang berasal dari golongan maradeka yang setia. Seseorang yang merasa dirinya Joa’ dari seorang Ajjoareng akan selalu berusaha menunjukkan kesetiaannya tersebut dalam keadaan apapun, dan kapan pun

(9)

hubungan antara Karaeng dengan Taunna disebut Minawang (Kooreman dalam Pelras, 2006). Kemudian jika ditelusuri lebih jauh bahwa hubungan patron-klien di Sulawesi Selatan sudah berlangsung sejak lama dan bukan merupakan gejala yang baru. Sebagai misal, gejala patronase ini digambarkan sebagai berikut:

“...Orang kecil hampir kehilangan perlindungan sama sekali terhadap keangkuhan dan kekejaman para ana’karaeng. Akibatnya orang tersebut terpaksa mencari perlindungan pada mereka yang melakukan kekejaman atau kejahatan, yaitu kaum bangsawan. Mereka ini memberikan perlindungan tersebut, namun dengan syarat, anakaraeng menghendaki ketundukan dari orang dijaganya, dan orang yang dilindunginya mempersembahkan suatu ketaatan (kepatuhan) dari mana berkembang kemudian suatu hubungan yang bisa kita sebut kepengikutan...” (Ahimsa-Putra, 2007).

Meski demikian, pertanyaan kritis adalah apakah sistem pelapisan sosial di Sulawesi Selatan tersebut, masih layak untuk diterapkan hingga saat ini? Dengan tidak bermaksud mereduksi keadaan yang ada, menurut penulis bahwa diperlukan dekonstruksi sistem pelapisan yang berlangsung di pedesaan Sulawesi Selatan. Dekonstruksi dimaksudkan untuk memberikan kondisi kontekstual yang tepat akan perubahan struktur atau sistem pelapisan yang berlangsung hingga sampai saat ini.

Dalam bingkai tersebut, penulis kembali menggunakan batasan teori kelas menurut Bourdieu. Wilkes dalam Harker et. al. (2005) menyatakan bahwa fondasi kelas yang digunakan oleh Bourdieu tidak semata-mata disandarkan pada ekonomi obyektif atau kriteria-kriteria politik, melainkan pada pertimbangan yang melampaui jangkauan luas tentang praktik-praktik kelas, meliputi selera makanan, cara berpakaian, disposisi tubuh, model rumah, dan berbagai pilihan sosial dalam kehidupan sehari-hari, juga golongan ekonomi dan pemerintahan yang lebih familier.

Hal yang sama dikemukakan oleh Anglo-Saxon dalam Harker et. al. (2005) bahwa struktur dan agensi, subyektivitas dan obyektivitas, metodologi reflektif dan non-reflektif, tentang kesadaran kelas, dan bagaimana cara ‘mengukur’ semua itu, masing-masing merupakan bagian dari pendekatan Bourdieu pada suatu isu tentang kelas. Dengan demikian, Bourdieu menegaskan bahwa terdapat cara menetapkan posisi kelas sosial dalam masyarakat, sebagaimana penjelasannya di bawah ini:

(10)

sedikit rintangan pada upaya-upaya mobilisasi, dibandingkan dengan kumpulan agen lainnya” (Harker et. al., 2005).

Selanjutnya Bourdieu (Harker et. al., 2005) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara habitus dengan disposisi kelas dalam sistem sosial tertentu. Dalam hal ini, Bourdieu kembali menegaskan:

“Ranah produksi –yang dengan jelas tidak dapat berfungsi, jika ia tidak dapat memperhitungkan selera yang ada, disposisi yang kurang lebih kuat untuk mengkonsumsi barang-barang yang kurang –lebih terdefinisi secara jelas–memungkinkan selera untuk terealisasikan dengan cara-cara menawarkan kepadanya, pada setiap saat, keseluruhan benda budaya sebagai sebuah sistem kemungkinan gaya, dimana selera dapat memilah sistem keistimewaan gaya yang membentuk sebuah gaya hidup...selera-selera yang terealisasikan secara aktual bergantung ada keadaan sistem benda-benda yang ditawarkan; setiap perubahan dalam sistem benda-benda menyebabkan perubahan selera” (Harker et. al., 2005).

Dengan demikian, Bourdieu kembali ingin mempertegas bahwa kelas dominan merupakan sebuah ruang yang relatif otonom, yang strukturnya didefinisikan oleh distribusi modal ekonomi dan budaya diantara anggotanya. Masing-masing fraksi kelas dicirikan oleh konfigurasi distribusi tertentu ini yang berkorespondensi dengan sebuah gaya hidup tertentu, lewat perantara habitus (Harker et. al.,2005).

Atau dengan bahasa lain bahwa pelapisan sosial yang dimaknai sebagai kelas oleh Bourdieu lebih bersifat dinamis, dimana kelas dan fraksi kelas datang dan pergi. Jika demikian halnya, maka argumentasi bahwa masyarakat (khusunya pedesaan) di Sulawesi Selatan adalah masyarakat yang sangat ketat mempertahankan aturan pelapisan sosialnya bisa terbantahkan dengan sendirinya.

(11)

Reproduksi Sosial: Upaya Memahami Politik Identitas di Pedesaan Sulawesi Selatan

Setelah mengetahui dimensi histori Islam politik sebagai identitas yang bersejarah dan upaya dekonstruksi sistem pelapisan sosial di pedesaan Sulawesi Selatan, hal terpenting lainnya adalah menelusuri bagaimana mekanisme reproduksi kepemimpinan lokal dan kebangkitan politik identitas dalam kontek pedesaan di Sulawesi Selatan.

Untuk mengetahui proses reproduksi sosial (kepemimpinan dan kebangkitan politik identitas), maka teori Bourdieu tentang reproduksi sosial menarik untuk digunakan dalam analisis tulisan ini. Guna mengetahui konsepsi utuh tentang reproduksi (sosial dan budaya) ini, maka perlu mengenal terlebih dahulu konsep dasar Bourdieu berkaitan dengan praksis, habitus, dan arena (lihat pada Tabel 1).

Tabel 1. Definisi Tentang Konsep Dasar Bourdieu.

No. Konsep Dasar Defenisi

1. Praksis

Pertama, praksis berada dalam ruang dan waktu. Ini adalah sesuatu yang dapat diamati dalam tiga

dimensi, dan dari waktu ke waktu; Kedua, praksis secara tidak sadar – atau tidak sepenuhnya secara sadar – diatur dan digerakkan. Tidak ada yang sepenuhnya acak atau kebetulan, namun praksis terjadi; dan Ketiga, meskipun praksis dipahami tanpa kehendak sadar, hal ini bukan berarti tanpa tujuan.

2. Habitus

(12)

Lanjutan Tabel 1.

No. Konsep Dasar Defenisi

3. Arena

Arena adalah suatu arena sosial yang di dalamnya perjuangan dan manuver terjadi untuk

memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena juga didefinisikan sebagai taruhan yang dipertaruhkan – benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya – dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekonkretan.

Sumber: Jenkins, R. (2004).

Merujuk konsep dasar di atas, Bourdieu kemudian membangun model reproduksi sosial yang ia yakini keberadaannya. Adapun model reproduksi yang dimaksud, terdiri atas: pertama, model reproduksi sederhana. Model ini cenderung sederhana dimana hanya terdapat dua variabel yang saling dialektis, yakni struktur-struktur sosial yang ada di dalam masyarakat dan praktik-praktik yang berlangsung. Meski demikian, Bourdieu secara khusus menolak model semacam ini karena bertipe “objektivis”, dimana gagal mempertimbangkan realita waktu (lihat Gambar 1).

Stuktur-struktur Praktik-praktik

Gambar 1. Model Reproduktif Sederhana.

Struktur-struktur Habitus

Praktik

(13)

Struktur-struktur Habitus

Persepsi

Praktik

Keadaan-keadaan Historis

Spesifik

Gambar 3. Model Reproduksi dan Perubahan.

Kedua, model minimal Bourdieu, yakni model yang tercipta akibat dari kelemahan dari model pertama. Dalam model ini, Bourdieu melakukan penambahan waktu pada rumusan objektif sehingga memungkinkan orang untuk dapat mempersepsi hubungan dialektis antara struktur objektif dan praktik, sehingga ia menyediakan sebuah tingkat teoritis yang dapat menjelaskan perubahan (lihat Gambar 2); dan ketiga, model reproduksi dan perubahan, dimana selalu mengingatkan kembali bahwa pada giliran keadaan historis yang spesifik mengambil sifat-sifat struktur. Model yang dikenal dengan praktik budaya non-reduksionis ini – beserta konsepsi habitus yang dinamis yang diletakkan pada strategi, beserta refleksivitas dan perubahan yang dibangun di dalamnya, dan sebuah hubungan dialektis yang jelas dengan dunia materi (lihat Gambar 3).

Dari tiga model reproduksi (sosial dan budaya) yang dikemukakan oleh Bourdieu di atas, dikaitkan dengan konteks kepimpinan lokal29 dan kebangkitan politik identitas, maka beberapa artikulasi yang penting untuk dikemukakan. Namun sebelum itu, penting terlebih dahulu menempatkan beberapa konsepsi dasar Bourdieu dalam konteks reproduksi kepemimpinan lokal dan kebangkitan politik identitas berdasarkan kondisi riil yang terjadi di masyarakat pedesaan. Adapun konsepsi dasar yang dimaksud, sebagai berikut:

       

(14)

1). Praksis dapat dimaknai bahwa ketimpangan struktur sosial yang hadir ditengah-tengah masyarakat pedesaan di Sulawesi Selatan dalam kurung waktu tertentu merupakan andil dari “kesalahan” prilaku kepemimpinan yang tidak mampu menjawab problem mendasar yang dihadapi oleh masyarakat. Kondisi ini kemudian mendorong hadirnya beragam gugatan-gugatan yang ditujukan kepada kepemimpinan yang ada saat ini. Tidak hanya itu saja, sentuhan kesejarahan tentang Darul Islam yang pernah melekat dalam ingatan masyarakat, dalam kenyataannya menggugah kesadaran masyarakat untuk kembali “membangkitkan” kenangan akan idealnya politik identitas tersebut yang diharapkan mampu mencegah terjadinya ketimpangan struktur yang ada;

2). Dalam konteks reproduksi kepemimpinan lokal dan kebangkitan politik identitas, habitus dapat dimaknai dari dua sisi sudut pandang, yakni: (a) dari sudut pandang kepemimpinan, habitus yang melekat dalam diri kepemimpinan seseorang tidak lagi dianggap sebagai penjelmaan dari sosok pemimpin yang mewakili kondisi masyarakat yang sesungguhnya terjadi. Inilah yang kemudian mendorong pandangan (b) bahwa Darul Islam merupakan bingkai solutif yang dapat menjawab problem masyarakat pedesaan di Sulawesi Selatan dengan seperangkat sistem nilai yang dimilikinya; dan

3). Arena dimaknai sebagai bentuk pertarungan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial yang menghimpit kehidupan masyarakat pedesaan di Sulawesi Selatan, seperti: kemiskinan30, kesenjangan kepemilikan lahan, ketimpangan desa-kota, ketertinggalan, kebodohan, dan lain-lainnya.31 Hal ini disadari bahwa fenomena “ketertinggalan” di pedesaan kita masih menjadi momok yang menghantui.

Dengan demikian, artikulasi konsepsi Bourdie dalam kaitannya dengan reproduksi kepemimpinan lokal dan kebangkitan politik identitas di pedesaan Sulawesi Selatan dapat dimaknai: pertama, realita ketimpangan struktur sosial di masyarakat pedesaan Sulawesi Selatan secara praksis (disadari atau tidak) memberikan imbas terhadap kepercayaan maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan lokal yang hadir. Dalam kondisi seperti ini, habitus

       

30

Data PODES (2006) menyebutkan bahwa dari 69.957 desa di Indonesia hampir 45,2 % dinyatakan Kementerian Daerah Tertinggal masuk dalam kategori desa tertinggal. Selain itu, data Sakernas (2005) juga menyebutkan bahwa angka pengangguran terbuka telah mencapai 11,10 juta jiwa (10,45% dari penduduk Indonesia), dimana sekitar 5,28 juta jiwa (8,44%) tinggal di pedesaan dan di perkotaan 5,82 juta jiwa (13,32%). Angka setengah pengangguran yang mencapai 29,92 juta jiwa (28,16%), porsi terbesar terdapat di perdesaan sejumlah 23,00 juta jiwa (36,76%), dan perkotaan hanya mencapai 6,92 juta jiwa atau 15,83%.

31

(15)

masyarakat akan kejadian-kejadian yang menimpanya dan ragam peristiwa (sejarah) kehadiran Darul Islam sebagai kekuatan politik berbasis identitas dengan seperangkat sistem nilainya kembali membangunkan ingatan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang diharapkan dapat merubah kondisi yang ada.

(16)

Referensi

Agger, B. 2007. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogayakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Bandung: Pustaka Jaya.

Harker, R., Mahar, C., et. al. 2005. Pengantar Paling Komprehensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: ISAI.

Huntington, Samuel P. 2000. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Yogyakarta: Penertbit Qalam.

Huntington, Samuel P. 1995. Gelombang Demokrasi Ketiga. Jakarta: Grafiti.

Hefner, R. W. 2000. Civil Islam. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Hefner, R. W., Horvatich, P. 2001. Islam di Era Negara – Bangsa: Politik dna Kebangkitan Agama muslim di Asia Tenggara. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

Jenkins, R. 2004. Membca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kartodirdjo, S. 1986. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, S. 1983. Elit Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.

Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES.

Noer, Deliar. 1997. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan.

Mattulada, H. A. 1975. Latoa: Suatu Lukisan Analisis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Djakarta: Disertasi Universitas Indonesia.

___________, 1998, “Sejarah,Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan”, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang.

Scott, J.C. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta.

Sen, Amartya. 2007. Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas. Serpong: Margin Kiri.

Sheehan, Sean. 2006. Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan. Serpong: Margin Kiri.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO. Jakarta.

Poelinggomang, E. L. 2004. Perubahan Politik dan hubungan Kekuasaan Makassar 1906 – 1942. Yogyakarta: Ombak.

Gambar

Tabel 1.  Definisi Tentang Konsep Dasar Bourdieu.
Gambar 2.  Model Minimal Bourdieu.
Gambar 3.  Model Reproduksi dan Perubahan.

Referensi

Dokumen terkait

bayangan yang dapat kita lihat dalam cermin, tetapi di tempat bayangan tersebut tidak terdapat cahaya pantul  Yakin Benar  Tidak Yakin Benar Sifat bayangan yang dibentuk oleh

Maka sangat penting untuk mengatur TATA-TERTIB dalam pelaksanaan MOGOK KERJA sebagaimana dimaksud diatas oleh PUK SP-KEP SPSI PT Freeport Indonesia yang SAH secara Legal-Formal

Penyebab kelainan yang paling mungkin dari pasien ini adalah:..

Adapun cara untuk mendekati atau mengetahui ada tidaknya otokorelasi antara lain dengan uji Durbin-Watson (uji DW), yaitu dengan cara membandingkan antara nilai DW

Kerentanan ini diakibatkan adanya tekanan dari dalam dirinya yaitu rasa malu, perasaan tidak nyaman, tersisih dan tekanan yang berasal dari luar lingkungan keluarga

Penelitian ini membahas tentang pengembangan sistem pembayaran rekening air di desa Bandar Baru yang merupakan sebuah aplikasi berbasis web, dimana saat ini calon pelanggan

Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, yaitu penelitian untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen

Gaya belajar merupakan sebuah pendekatan yang menjelaskan mengenai bagaimana individu belajar atau cara yang ditempuh oleh masing- masing-masing orang untuk