• Tidak ada hasil yang ditemukan

107 Full Paper Prosiding Aksesibilitas P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "107 Full Paper Prosiding Aksesibilitas P"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

AKSESIBILITAS PENDIDIKAN INKLUSIF

ANAK USIA DINI PENYANDANG DISABILITAS

Di DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 6/2014

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8/2016

(

Inclusive Education Accessibility for Early Childhood With Disabilities

in Law Number 6/2014 and Law Number 8/2016)

Siti Fanatus Syamsiyah

a

a

IKIP PGRI Jember, Indonesia

e-mail : fannah.miq@gmail.com

Abstrak: Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas pendidikan inklusif penyandang disabilitas usia dini di dalam Undang-Undang No. 8/2016 Tentang Penyandang Disabilitas, dan untuk mengetahui peluang menginisiasi pendidikan inklusif dari Desa berdasarkan pada Undang No. 6/2014 Tentang Desa. Kajian ini merupakan Studi Pustaka. Selain kedua Undang-Undang tersebut sebagai sumber primer, informasi dikumpulkan melalui buku teks, jurnal, artikel, dan hasil penelitian. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa Undang-Undang No. 8/2016 belum memberikan aksesibilitas pendidikan inklusif bagi anak usia dini penyandang disabilitas. Peluang besar untuk dapat menginisiasi pendidikan inklusif penyandang disabilitas usia dini terdapat di dalam Undang-Undang No 6 /2014, yaitu dengan adanya dana desa dan adanya kesempatan untuk ikut merumuskan dan menetapkan program Desa dengan menjadi anggota dari Badan Permusyawaratan Desa atau berpartisipasi dalam Musyawarah Desa. Peluang besar menginisiasi pendidikan inklusif di Desa akan harus dimanfaatkan dengan baik. Partisipasi aktif dari para guru Pendidikan Anak Usia Dini, Tokoh Pendidik, dan kelompok pemerhati dan perlindungan anak akan sangat menentukan bagi terwujudnya pendidikan inklusif anak usia dini penyandang disabilitas di Desa. Saran Penulis harus ada pendampingan terutama dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang faham mengenai urgensi pendidikan inklusif bagi anak usia dini, terutama bagi penyandang disabilitas.

Kata Kunci: Aksesibilitas, Pendidikan Inklusif, Penyandang Disabilitas Usia Dini, Desa.

Abstract: The purpose of this study was to determine the early childhood inclusive education accessability in Undang-Undang No. 8 / 2016 About Disability, and opportunities to initiate inclusive education from village based on Undang-Undang No. 6 / 2014 About the Village. This research wasbeing done by using library study. Besides both of Undang-Undangs as a primary source, information collected through text books, journals, articles, and result of research. The results of this study indicate that UU No. 8 / 2016 has not provided the accessibility of inclusive education for early childhood with disabilities. A great opportunity to be able to initiate inclusive education for early childhood with disabilities contained in UU No. 6 / 2014, namely the presence of village funds and their opportunity to participate in formulating and establishing Village program to become a member of the Village Consultative (Badan Permusyawaratan Desa) or participate in Deliberation Village. The opportunity of Inclusive Education initiated in the village have to be used rightly. Active participation from the teachers of Early Childhood Education, People Educators, and advocacy groups and Protection of Children will be very decisive for the realization of the Early Childhood Inclusive Education of persons with disabilities in the village. Suggestions Writer, there is must be accompaniment by assistance mainly from Governmental Organization (NGO) that understand the urgency Regarding Inclusive Education For Early Childhood, especially those with disabilities.

Keyword: Accessibility, Inclusive Education, Early Childhood with disabilities, Village.

PENDAHULUAN

Pendidikan inklusif memang bukan konsep yang

baru, termasuk di Indonesia. Pendidikan inklusi

telah bergema sejak peluang untuk mendapatkan

pendidikan di sekolah reguler bagi penyandang

(2)

2

penyandang Disabilitas

.

Demikian pula dengan

konsep aksesibilitas, Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1997

Tentang Penyandang Cacat

mendefinisikan aksesibilitas sebagai: “

kemudahan

yang disediakan bagi penyandang cacat guna

mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala

aspek kehidupan dan penghidupan

” (Pasal 1 Ayat

4)

.

Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk

menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih

menunjang penyandang cacat dapat

sepenuhnya

hidup bermasyarakat (pasal 10 Ayat

2)

.

Bentuk

aksesibilitas dapat berupa fisik ataupun non fisik,

seperti jalan yang berupa

ramp

, pintu yang

lebarnya dapat dilewati kursi roda, informasi,

pengetahuan dan sebagainya. Aksesibilitas juga

dapat berupa peraturan yang dapat memberikan

kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk

dapat hidup secara layak dan setara dengan

masyarakat lainnya. Aksesibilitas adalah hak

penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 (e) UU No. 8 tahun 2016.

Sekalipun UU No. 8 tahun 2016 masih baru,

namun perubahan pendekatan dari

medical model

menjadi

social

model,

serta

digunakannya

beberapa

istilah

baru

seperti

(penyandang

disabilitas), Komisi Disabilitas, diaturnya upaya

fasilitasi dari pemerintah sebagai bentuk kewajiban

dengan pembentukan Unit Layanan Disabilitas

(ULD), menjadikan UU penyandang disabilitas ini

menarik untuk dikaji. Salah satu yang menarik

untuk dikaji adalah tentang pendidikan inklusi,

karena sebelum UU No. 8 tahun 2016 disahkan

Indonesia telah memiliki banyak peraturan

perundang-undang

yang

mengatur

tentang

pendidikan inklusi bagi penyandang disabilitas.

Pendidikan inklusi kembali menarik perhatian

masyarakat. Masih banyak permasalahan yang

muncul di tingkat implementasi, hal ini terungkap

dari hasil rumusan hasil Seminar Nasional Gerakan

Disabilitas di Indonesia yang pada tanggal 29

November tahun 2016 di Kabupaten Jember

Provinsi Jawa Timur, diantaranya : Guru sekolah

reguler masih belum bisa menyampaikan materi

pengajaran karena terbatasnya SDM, Guru

Pendamping masih terbatas, masih sedikitnya

penterjemah bahasa isyarat bagi penyandang

disabilitas Tuli berakibat belum terpenuhinya hak

penyandang

disabilitas

dalam

memperoleh

pendidikan. Selain itu, pendidikan inklusif yang

didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 Tentang

Sisdiknas dan Permendiknas No. 7 Tahun 2009

lebih memprioritaskan pelaksanaan pendidikan

inklusi dimulai di tingkat SD. Pada Pasal 4 Ayat

(1) Permendiknas No. 20 Tahun 2009 menyatakan

bahwa “

Pemerintah kabupaten/kota menunjuk

paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu)

sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan

dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib

menerima peserta didik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (1)”.

Akibatnya, fasilitasi

termasuk pelatihan guru sekolah inklusi hanya

diarahkan kepada guru SD, SMP, dan SMA.

Sementara untuk tingkat Pendidikan Anak Usia

Dini (PAUD) masih belum diatur dalam kedua

peraturan tersebut. Terbatasnya pengetahuan dan

informasi terkait pendidikan inklusi bagi anak usia

dini menjadi salah satu permasalahan yang

disampaikan dalam Semiloka tersebut. Pendidikan

Anak Usia Dini adalah pendidikan yang diberikan

kepada anak yang berada di rentang usia 0-6 tahun.

PAUD pada Pasal 1 ayat (4) UU No. 20 Tahun

2003 Tentang Sisdiknas didefinisikan sebagai

suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada

anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang

dilakukan

melalui

pemberian

rangsangan

pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak

memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan

lebih lanjut.”

PAUD terbagi menjadi PAUD

Formal, Non Formal, dan Informal. PAUD Formal

terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK) dan

Raudhotul Athfal (RA). Sementara Tempat

Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB),

Satuan Paud Sejenis (SPS) seperti Pos PAUD yang

terintegrasi dengan Pos Pelayanan Terpadu

(POSYANDU) masuk kategori PAUD Non

Formal.

Catatan dari Direktorat Rehabilitasi Sosial

Penyandang Disabilitas di Kementerian Sosial

mencatat bahwa sebanyak 199.163 anak di 24

provinsi menyandang disabilitas, dengan rincian

78.412 anak dengan disabilitas ringan, 74.603 anak

dengan disabilitas „sedang‟ dan 46.148 an

ak

(3)

3

Tabel 1.Proporsi Penyandang Disabilitas Menurut Kelompok Umur dan Tipe Daerah Tahun 2012 Kelompok

Sumber: Susenas 2012, BPS

Angka penyandang disabilitas di Desa lebih besar dibandingkan di kota. Berdasarkan perkiraan jumlah penyandang disabilitas dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 adalah sebagaimana pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Perkiraan Jumlah (dalam ribuan) dan Proporsi Penyandang Disabilitas Menurut Tipe Daerah Tahun 2012 Tipe

Sumber: Susenas 2012, BPS

Dengan kondisi dan latarbelakang sebagaimana tersebut di atas, maka kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aksesibilitas pendidikan inklusif penyandang disabilitas usia dini di dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan di dalam UU No. 8 Tahun 2016 serta peluang untuk menginisiasi pendidikan inklusif di Desa.

METODE

Kajian ini menggunakan studi kepustakaan dengan tehnik pengmpulan data melalui studi dan kajian terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang penyandang Disabilitas, UU No. 4 Tahun 2014 Tentang Desa, serta peraturan perundang-undang yang terkait dengan kajian ini.selain itu, kajian juga dilakukan pada hasil-hasil penelitian terdahulu, catatan konferensi, serta jurnal yang memiliki korelasi dengan tema kajian ini. Proses analisa dan olah data dilakukan

dengan tahapan: mengidentifikasi teori secara sistematis, pencarian pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan kajian ini (Nazir: 2003: 111).

HASIL

Hasil kajian yang telah dilakukan, terdapat beberapa temuan yang diraikan sebagai berikut:

1) UU No. 8/2016 ; Pendidikan Belum Untuk Semua

Hak Pendidikan bagi penyandang disabilitas dalam UU No. 8 tahun 2016 diatur pada Pasal 10 sebagai berikut:

Hak pendidikan untuk Penyandang Disabilitas meliputi hak:

a. mendapatkan pendidikan yang bermutu pada

satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus;

b. mempunyai Kesamaan Kesempatan untuk

menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan;

c. mempunyai Kesamaan Kesempatan sebagai

penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan; dan

d. mendapatkan Akomodasi yang Layak sebagai

peserta didik.

Penjelasan Pasal 10 (a) berbunyi :

“Konsep pendidikan inklusi “Yang dimaksud

dengan “pendidikan secara inklusif” adalah

pendidikan bagi peserta didik Penyandang Disabilitas untuk belajar bersama dengan peserta didik bukan Penyandang Disabilitas di sekolah reguler atau perguruan tinggi. “Yang

dimaksud dengan “pendidikan secara khusus”

adalah pendidikan yang hanya memberikan layanan kepada peserta didik Penyandang Disabilitas dengan menggunakan kurikulum

khusus, proses pembelajaran khusus,

bimbingan, dan/atau pengasuhan dengan

tenaga pendidik khusus dan tempat

pelaksanaannya di tempat belajar khusus.

(4)

4

kesetaraan (Pasal 1:9). Penyediaan akomodasi yang layak menjadi tanggungjawab dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Pasal 43 ayat 1). Namun, ketentuan mengenai akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas tersebut belum diatur secara terperinci, karena belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya sebagai ketentuan dari Pasal 43 ayat (2).

Adapun kewajiban Pemerintah terhadap pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas di atur pada Pasal 40 sebagai berikut:

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib

menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi

pendidikan untuk Penyandang Disabilitas di setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan kewenangannya.

Dalam penjelasannya diuraikan mengenai apa yang dimaksud dengan “jalur pendidikan”, “jenis pendidikan” dan “jenjang pendidikan” sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “jalur pendidikan” adalah jalur formal, nonformal, dan informal.

Yang dimaksud dengan “jenis pendidikan”

adalah pendidikan umum, kejuruan, akademik,

profesi, vokasi, dan keagamaan. Yang

dimaksud dengan “jenjang pendidikan” adalah

pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

Pembatasan dilakukan dengan membatasi definisi “jenjang pendidikan” yang hanya dimaknai sebagai pendidikan dasar, menengan, dan tinggi. Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 pengertian dari “jalur, jenjang, jenis” pendidikan juga diatur pada Pasal 1 sebagai berikut:

“(7) Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. (8) Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. (9) Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada

kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan

pendidikan.”

Eksklusivitas juga terlihat pada Pasal berikutnya, yaitu Pasal 42 Ayat (1) yang berbunyi: “Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi pembentukan Unit Layanan

Disabilitas untuk mendukung penyelenggaraan

pendidikan inklusif tingkat dasar dan menengah.”

Pembatasan dan eksklusivitas terjadi pada pasal ini, dimana Unit Layanan Disabilitas hanya dibatasi di tingkat dasar dan menengah. Pasal 42 Ayat (2) menjelaskan apa tugas dan fungsi dari Unit Layanan Disabilitas adalah:

Unit Layanan Disabilitas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berfungsi:

a. meningkatkan kompetensi pendidik

dan tenaga kependidikan di sekolah reguler dalam menangani peserta

didik Penyandang Disabilitas;

b. menyediakan pendampingan kepada

peserta didik Penyandang

Disabilitas untuk mendukung

kelancaran proses pembelajaran;

c. mengembangkan program

kompensatorik;

d. menyediakan media pembelajaran

dan Alat Bantu yang diperlukan

peserta didik Penyandang

Disabilitas;

e. melakukan deteksi dini dan

intervensi dini bagi peserta didik dan calon peserta didik Penyandang Disabilitas;

f. menyediakan data dan informasi

tentang disabilitas;

g. menyediakan layanan konsultasi; dan

h. mengembangkan kerja sama dengan

pihak atau lembaga lain dalam

upaya meningkatkan kualitas

pendidikan peserta didik

Penyandang Disabilitas.

2) UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Dengan berlakunya UU Desa No. 6 Tahun 2014 Desa menjadi Pemerintahan yang merupakan perpaduan antara self governing community dan local self government. Dengan status yang baru ersebut, Desa memiliki kewenangan mengatur dan membuat program kebijakan secara mandiri. Program pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berskala lokal Desa dengan membuka ruang partisipasi masyarakat yang lebih luas, yaitu dengan adanya forum Musyawarah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

(5)

5

Dalam UU No. 6 Tahun 2014 diatur mengenai adanya Dana Desa. Sebagai mandat UU maka sejak tahun 2015 Pemerintah telah menyalurkan Dana Desa sebesar 20, 76 Triliun dengan rata-rata DD perdesa 200,3 Juta. Adanya Dana Desa tersebut ditujukan untuk pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa termasuk dalam bidang pendidikan. Partisipasi warga dalam UU Desa diatur dalam pasal 54, dimana semua unsur warga menjadi bagian dari musyawarah tertinggi di Desa dalam pengambilan keputusan strategis yang diselenggarakan oleh Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). Sebagai lembaga perwakilan desa, BPD memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu (1) membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa; (2) merumuskan program dan alokasi dana desa; (3) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; serta (3) melakukan pengawasan kinerja pemerintah desa.

PEMBAHASAN

“Pernyataaan Salamanca menuntut semua negara

untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif ke

dalam perundang-undangan atau kebijakan

pemerintah, untuk menerima semua anak di sekolah reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk melakukan sebaliknya dan untuk memberi prioritas kebijakan dan anggaran tertinggi untuk meningkatkan sistem pendidikan nasional sehingga memenuhi kebutuhan semua anak tanpa memandang perbedaan atau kesulitan individualnya. (dikutip dalam Kjell Skogen: 2002).

Pernyataan Salamanca yang menjadi rujukan UNESCO tahun 1955 tersebut menunjukkan adanya dua point esensial yang akan selalu berkaitan, yaitu

kebijakan Pemerintah / Perundang-undangan dan

penyediaan anggaran. Adanya Undang-undang dan

tersedianya anggaran menjadi syarat utama bagi terealisasinya pendidikan untuk semua. Hal senada juga dikemukakan oleh Skjørten (2002) bahwa legislasi dan peraturan saja tidak dapat melaksanakan inklusi. Menurut Skjørten (2002) banyak negara yang memiliki peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait pendidikan inklusi namun bermasalah di tingkat implementasi kebijakan tersebut. Terkait masalah yang terjadi pada implementasinya, Skjørten (2002) mensyaratkan adanya Satu hukum untuk semua adalah dasar untuk inklusi artinya: pertama, Undang-undang harus disusun sedemikian rupa sehingga kebutuhan setiap orang terakomodasi oleh undang-undang yang sama. Kedua, undang-undang khusus untuk kelompok tertentu hanya akan menghasilkan segregasi. Ketiga, Implementasi undang-undang harus didukung dengan penyediaan alokasi dana yang memadai.

Pada dasarnya konsep pendidikan inklusif tidak dapat dipisahkan dengan konsep Education For All

(EFA) atau yang disebut dengan istilah Pendidikan

Untuk Semua (PUS). Korelasi tersebut dapat dilihat pada definisi pendidikan inklusif yang dirumuskan dalam Seminar Agra tahun 1998, yang merumuskan pendidikan inklusif sebagai “pendidikan yang mengakui bahwa semua anak dapat belajar. Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan anak. Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, gender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV /AIDS dll (Stubbs, 2002:38). Definisi yang menekankan bahwa pendidikan inklusif dimaksudkan untuk semua anak, juga dapat difahami dari pernyataan UNESCO yang menempatkannya sebagai gerakan untuk menantang kebijakan dan praktek eksklusi (Stubbs, 2002:40). Esensi berbagai definisi yang dirumuskan oleh berbagai lembaga tersebut dirangkum menjadi beberapa konsep, yaitu konsep tentang anak, konsep tentang sistem pendidikan dan sekolah, konsep tentang keberagaman dan diskriminasi, konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi (Stubbs, 2002). Konsep tentang anak diartikan bahwa semua anak berhak mendapatkan pendidikan didalam keberagaman yang toleran dan saling menghargai, dengan sistem pendidikan dan sekolah yang adaptif dan menyesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa ada diskriminasi sebagai proses mewujudkan masyarakat inklusif.

“Di Indonesia, anak-anak penyandang disabilitas menghadapi risiko lebih besar untuk mengalami diskriminasi, penelantaran, dan perlakuan buruk.” Hal tersebut diantaranya akibatkan oleh stigma yang melekat pada keadaan mereka, kurangnya sumber daya dan fasilitas, terbatasnya akses dan kebijakan yang tidak mampu melindungi (Kementerian Sosial, 2014, 12). Stigma yang masih sangat kuat melekat pada penyandang disabilitas tersebut bepengaruh pada tingkat partisipasi meereka dalm pendidikan sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 2. Situasi Orang dengan Disabilitas dalam Bidang Pendidikan di Indonesia

Jenis Pendidika n

Jenis Kelamin Jumlah

Laki-Laki

Perempua n

Tidak Sekolah/Ti dak Tamat SD

431.191 406.152 838.343

SD 234.316 152.436 386.752

SLTP 60.052 31.144 91.196

SLTA 44.995 19.778 64.773

D1/D2 277 137 414

D3/Sarjana Muda

1.913 981 2.894

S1/D4 3.481 1.463 4.944

S2/S3 148 55 203

(6)

6

Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia >15 Tahun Menurut Pendidikan

Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2013

Sumber: Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan

Hasil kajian yang dilakukan oleh UNICEF di tahun 2012 memperlihatkan bahwa program-program pendidikan pendidikan dan perkembangan anak usia dini yang efektif dapat menurunkan biaya pendidikan melalui peningkatan efisiensi internal pendidikan dasar, dengan sedikit anak mengulang kelas (UNICEF, 2012). Pendidikan inklusi bagi anak usia dini atau PAUD inklusif bukan tanpa dasar, Kerangka Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua [PUS]-2000 telah mengatur hal ini, pada poin pertama menyatakan sebagai berikut:

“Memperluas dan meningkatkan pendidikan anak usia

dini yang komprehensif khususnya untuk anak-anak yang paling rentan dan kurang beruntung” dan “31. Pemerintah, departemen terkait mempunyai tanggung jawab yang utama dalam memformulasi layanan anak usia dini dan kebijakan pendidikan antara konteks rencana nasional PUS, memobilisasi politik dan mendukung yang ada dan mempromosikan dengan fleksibel, program yang dapat diadaptasi untuk anak sesuai dengan umurnya dan tidak semata-mata perpanjangan yang menurun dalam sistem sekolah

formal”. (Kompedium:2010,24). Selain itu juga banyak hasil kajian yang menyatakan perlunya pendidikan inklusi dilaksanakan sejak PAUD (Rahayu dalam Jurnal Pendidikan Anak, 2013). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Dasar Depdiknas (2000) menunjukkan bahwa pendidikan Taman Kanak-kanak memberikan kontribusi terhadap kesiapan belajar siswa di kelas 1 SD (Hakim dalam Anam, 2011).

Keberadaan Unit Layanan Disabilitas merupakan bentuk keseriusan negara dalam melaksanakan amanat Undang-Undang terkait dengan pemenuhan hak pendidikan penyandang disabilitas. Karena menjadi sekolah inklusi tidak hanya sebatas menerima dan menyatukan siswa penyandang disabilitas di dalam kelas reguler saja, namun juga harus disertai dengan penyesuaian-penyesuaian sistem, metode, dan kurikulum sesuai dengan kebutuhan siswa dimasing-masing sekolah. Jika guru PAUD tidak memiliki kompetensi dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian tersebut, maka pengetahuan dan pelatihan menjadi sangat diperlukan. Lantas lembaga apa yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kompetensi guru PAUD terkai dengan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi bagi anak usia dini telah lama menjadi kebutuhan, terutama dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) para gurunya. Pentingnya pendidikan inklusif sejak usia dini juga terungkap dalam diskusi

Semiloka Nasional Disabilitas di Jember bulan November tahun 2016, diantara point Naskah Deklarasi Gerakan Bersama Indonesia Inklusi adalah mengenai

Percepatan penyelenggaraan pendidikan inklusif dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi (Naskah Deklarasi:2016).

Di dalam Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2002 secara jelas disebutkan bahwa yang memiliki hak pendidikan adalah setiap anak, tidak ada pengaturan atau ketentuan usia tertentu. Mari kita lihat pada usia berapa yang dikategorikan sebagai “anak”. Dalam UU yang sama, yaitu Pasal 1 Ayat (1) jelaskan bahwa yang dimaksud “anak” adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas (tahun), termasuk anak yang masih

dalam kandungan”. Pembatasan jenjang pendidikan dengan menjadikan Sekolah Dasar sebagai jenjang pertama pendidikan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas sebenarnya bertentangan dengan hak pendidikan seorang anak. Perpres Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 2 menjelaskan tugas dari Kementerian dan Kebudayaan sebagai berikut: “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahan negara.” Dari Pasal tersebut PAUD merupakan tugas resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pentingnya PAUD juga terlihat dalam Pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam

melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

menyelenggarakan fungsi: a. perumusan dan

penetapan kebijakan di bidang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan masyarakat, serta pengelolaan kebudayaan; b. pelaksanaan fasilitasi penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan masyarakat, serta

pengelolaan kebudayaan; c. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan mutu dan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan;

(7)

7

argumen yang sangat menarik tentang pendidikan inklusif berikut ini: “Sekolah reguler dengan orientasi inklusi ini merupakan tempat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua; (Stubbs:2002).

Urgensi pendidikan inklusi sejak usia dini juga dapat dilihat dari sejumlah laporan penelitian yang mendokumentasikan pentingnya bantuan dini dalam meningkatkan pengalaman dan kemungkinan perkembangan anak (Henning Rye). Usia dini dinilai sebagai masa-masa yang sangat krusial bagi pembentukan karakter, itulah sebabnya diposisikan sebagai kesempatan (window of oportunity) kepada keluarga, sekolah dan masyarakat karakter yang seperti apa yang akan dibentuk. Nilai-nilai yang dimiliki yang

inheren dalam pendidikan inklusif seperti toleransi, simpati, dan kesabaran dinilai mampu menangkal egoisme, kebencian, dan kemarahan (wawancara Dalai Lama dengan psikiatris Dr. Culter yang dikutip oleh Hunning Rye). Dengan demikian maka jika pendidikan inklusi diyakini sebagai bentuk pendidikan yang akan memberikan nilai-nilai karakter yang baik bagi penyandang disabilitas dan masyarakat secara keseluruhan, dan juga berdasarkan pada hak-hak yang melekat pada anak sebagaimana telah diatur didalam peraturan yang tersebut di atas, maka pendidikan inklusi sejak usia dini bagi penyandang disabilitas menjadi sebuah keharusan untuk dibuatkan perangkat hukum yang mengaturnya atau dengan melakukan penyempurnaan atas undang-undang yang telah ada.

Memulai Pendidkan Inklusif dari Desa

Menurut UNICEF (2012) pada tahun 2009 Indonesia memiliki fasilitas PAUD yang relatif sedikit, demikian pula dengan akses dan kualitas pelayanan sangat tidak seimbang, rendahnya SDM guru belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan pendidikannya. Di tahun 2015, UNICEF mengeluarkan Laporan tahunan dan sekaligus menjadi tahun yang menandai berakhirnya program MDGs dan dimulauinya program SDGs. Di halaman 15 dengan tema “Anak -Anak di Indonesia Melampaui Batas Rata-rata Kesenjangan yang Besar” dilaporkan bahwa populasi anak Indonesia adalah sebesar 83 juta (33 pesrsen) dari total populasi sebesar 225 juta. Sementara sebanyak 4.7 juta anak di bawah 18 tahun putus sekolah. Perhatian terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia dini menjadi penting bagi semua anak, namun menjadi lebih penting terhadap anak dengan disabilitas karena identifikasi dan assesmen awal dapat membantu orang tua, guru dan yang lainnya menjadi lebih memahami dan merencanakan kebutuhan anak. selain itu, penyandang disabilitas anak juga dapat mempersiapkan diri untuk mengembangkan kemampuan mereka

(dikutip oleh UNICEF dari The Consultative Group on Early Childhood and Care: 2014).

Hasil data Susenas maupun Riskesdes menunjukkan bahwa prevalensi disabilitas di Desa adalah lebih tinggi dibandingkan di Kota. Dari tahun 2003 sampai tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas semakin tinggi.

Tabel. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Menurut Daerah tahun 2003-2012

Sumber: BPS dalam Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, 2014: 9

(8)

8

Tabel 4. Data Desa Dengan PAUD Tahun 2013

NO. PROVINSI DESA DESA

Sumber: Ditjen PAUDNI (Aplikasi Pendataan PAUDNI, Akhir Desember 2013)

Perbandingan antara desa dan Kabupaten/Kota, perssentase anak usia dini memiliki kecenderungan pilihan pendidikan yang berbeda. PAUD Formal (TK/RA/BA) menjadi pilihan utama di Kota. Sementara jenis PAUD Non Formal justru menjadi pilihan masyarakat Desa. dengan melakukan advokasi di tingkat Desa, bukan hanya dalam hal perumusan program atau kebijakan saja tetapi dari segi anggaran juga sangat memungkinkan. Peningkatan SDM tenaga pendidiknyam sampai perbaikan kualitas layanan dan fasilitas pun dapat dilakukan jika Tokoh Pendidik dan kelompok perwakilan pemerhati anak melakukan advokasi dengan aktif.

Persentase Anak Berumur 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin

dan Jenis PAUD, 2014 Sumber: BPS - Susenas 2014

(9)

9

2018 dengan rata rata DD perdesa sebesar 1,4 Miliar. (Kepala Biro Perencanaan Kementerian Desa PDTT, 2016). Pengaturan terkait penggunaan dana Desa yaitu Permendesa No. 5 huruf (a) tahun 2015 dengan jelas menyebutkan prioritas penggunaan dana desa adalah untuk mencapai tujuan pembangunan Desa yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa yang dilakukan melalui pemenuhan kebutuhan dasar berupa pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (Pasal 6 huruf c).

Saat ini hak-hak anak penyandang disabilitas menjadi komponen penting dari Agenda pembangunan SGDs. Menurut WHO sekitar 15 persen dari populasi dunia, atau diperkirakan 1 milyar orang adalah penyandang disabilitas (WHO: 2013)1 Berakhirnya MDGs menjadi awal bagi SDGs (2015-2030). Selain prinsip No one left behind, satu hal yang sangat penting dari SDGs dan membedakannya dengan MDGs adalah pentingnya peran Pemerintah Daerah, termasuk Desa. Tujuan 1-11 menegaskan peran penting Pemerintah Daerah. Disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa semakin menegaskan letak strategis pendidikan inklusi bisa dilakukan ditingkat desa. Keterlibatan semua unsur warga dalam setiap pengambilan keputusan public dapat dilakukan, termasuk Tokoh Pendidikan, aktivis perempuan perlindungan Anak, termasuk penyandang disabilitas. Keterwakilan tokoh, guru, dan pemerhati anak harus berada di tingkat BPD dengan memiliki wakil tetap dalam perumusan dan penentuan kebijakan publik, dan harus dipastikan bahwa yang menjadi anggota BPD adalah guru atau tokoh pendidikan yang memiliki kapabilitas dan integritas terhadap kepentingan pendidikan inklusif. Sehingga mampu melakukan partisipasi yang representatif.

Mengingat pentingnya masa usia dini dalam pembentukan karakter, maka pendidikan inklusi harus mampu direalisasikan sampai di tingkat PAUD. Penyelenggaraan pendidikan inklusi di Desa akan membuka aksesibilitas penyandang disabilitas terhadap hak untuk mendapatkan pendidikan dengan memaksimalkan peran Pemerintah Desa sesuai dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dengan adanya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 maka Desa memiliki kewenangan penuh untuk membuat peraturan dengan melibatkan masyarakat. Otonomi dan Kewenangan yang dimiliki Desa terutama dalam pengelolaan Dana Desa akan memberikan

1

.Lihat WHO, Disability and health-Fact Sheet No. 352‟, September 2013 dalam

https://www.unicef.org/disabilities/files/Disabilities_2pa ger_indicators_SDGs.pdf

kemudahan penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas usia dini yang berada di Desa, tentunya apabila masyarakat secara aktif memaksimalkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam forum Musyawarah Desa. Dengan melakukan perubahan metode pelaksanaan pendidikan inklusi dengan memulainya dari tingkat desa.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Undang-Undang No. 8/2016 belum memberikan aksesibilitas pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas usia dini. Kesimpulan ini didasarkan kepada: a) Belum adanya fasilitasi Unit Layanan Disabilitas bagi guru PAUD. Fasilitasi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk menyediakan Unit Layanan Disabilitas hanya disediakan sejak tingkat pendidikan dasar. Dengan demikian, menurut penulis, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) guru PAUD untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif belum menjadi prioritas Pemerintah. Kompetensi yang dimiliki oleh guru PAUD, terutama yang berada di lembaga swasta dan termasuk PAUD Non Formal belum layak untuk memberikan pendidikan secara inklusif. keberadaan Unit Layanan Disabilitas dengan fungsi yang dimilikinya akan sangat membantu bagi peningkatan kompetensi dan kapabilitas guru sehingga bisa layak menyelenggarakan pendidikan inklusif.

2.UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa memberikan peluang untuk menginisiasi pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas usia dini, yaitu melalui: a) Ruang Partisipasi.

Aksesibilitas masyarakat untuk menjadi bagian dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan akses keterwakilan setiap unsur masyarakat melalui forum Musyawarah Desa. b). Dana Desa, besaran Dana Desa juga menjadi hak masyarakat dalam bidang pendidkan.

SARAN

(10)

10

REFERENSI

Badan Pusat Statistik (BPS), PROFIL ANAK

INDONESIA 2015, Jakarta: Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP&PA), diakses dari

http://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/25/10 18/profil-anak-indonesia-tahun-2015

Hakim, Aceng Lukmanul, Pengaruh Pendidikan Anak Usia Dini terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas I Sekolah Dasar di Kabupaten dan Kota Tangerang

Kementerian Kesehatan RI, Situasi Penyandang Disabilitas, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Semester II 2014, diakses dariKementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal Sekretariat Direktorat Jenderal PAUDNI 2014, Buku Data PAUDNI

2013 diakses dari

http://www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/0 1/structure-publikasi-pusdatin-info-datin.html

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Pusat Data Dan Sstatistik Pendidikan Dan Kebudayaan 2016, Statistik Pendidikan Anak Usia Dini 2015/2016

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Ministry of Education And Culture Pusat Data Dan Statistik Pendidikan Dan Kebudayaan Center For Educational Data And Statistics And Culture 2016, Iindonesia Educational Statistic in Brief 2015/2016,

Kurdi, Fauziah Nuraini, Strategi dan Teknik

Pembelajaran Pada Anak Dengan Autisme,

Artikel,

http://forumkependidikan.unsri.ac.id/userfiles/Ar

tikel%20Fauziah%20Nuraini-UNSRI-OK%20PRINT.pdf

Mboi, Nafsiah, dkk, 2010, Kompendium Perjanjian, Hukum dan Peraturan Menjamin Semua Anak Memperoleh Kesamaan Hak untuk Kualitas Pendidikan dalam Cara Inklusif, Jakarta: IDP NORWAY, BRAILLO NORWAY dan IDPN Indonesia http:dx.doi.org/10.1596/978-08213-9836-4www.idp-

europe.orgidoes/uio_upi_inclusion_book/index.p hp

Nazir, Muhammad. 2003. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia

Permendes No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Tata tertib Pengambilan Keputusan musyawarah Desa

Permen Desa PDT dan Transmigrasi No. 22 Tahun 2016

Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Permeneg PP&PA No.5 Tahun 2011 Tentang Pemenuhan Hak Pendidikan Anak

Perpres Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Stubbs, Sue, 2002, Pendidikan Inklusif Ketika Hanya

Ada Sedikit Sumber (terj.),

Co-ordinator@iddc.org.uk,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Unicef, Laporan Tahunan Indonesia 2015,

http://allinschool.org/wp- content/uploads/2015/01/OOSC-EXECUTIVE-Summary-report-EN.pdf

Unicef, Pendidikan & Perkembangan Anak Usia Dini, dalam Unicef Indonesia: Ringkasan Kajian edisi Oktober 2012

https://www.unicef.org/indonesia/id/A3_-_B_Ringkasan_Kajian_Pendidikan.pdf

Unicef, TAKE US SERIOUSLY! Engaging Children with Disabilities in Decisions Affecting their

Lives, diakses dari

https://www.unicef.org/disabilities/files/Take_Us _Seriously.pdf

Unicef, The Investment Case for Education and Equity,

diakses dari

Gambar

Tabel 1.Proporsi Penyandang Disabilitas Menurut
Tabel 2. Situasi Orang dengan Disabilitas dalam
Tabel. Persentase Penduduk Penyandang
Tabel 4. Data Desa Dengan PAUD Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pada hakekatnya zakat, infaq/sedekah maupun dana sosial lainnya yang diamanahkan melalui Lembaga Amil Zakat Swadaya Ummah didayagunakan untuk meningkatkan taraf hidup kaum

Montirani video-iskazi građana o početku predstave koje- ga se nitko nije mogao sjetiti, osim glumice iz predstave Skup Žuže Ergenyi i gospodina Nikole Beatovića, zagrep-

[r]

Menurut Oxorn (2010), partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur yang disertai pendataran dan

(1) Rotasi Perangkat Desa untuk menaikkan Jabatan Perangkat Desa dan memindah antar jabatan yang setingkat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)

Sebagai contoh, Toronto merupakan wilayah tepian danau tercemar berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air, dalam waktu singkat dari tahun 1980 sampai tahun

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Eisend & Langner, 2010) yang mengungkapkan bahwa keahlian seorang selebriti yang mengendorse sebuah

Lokasi terminal model nearside coba diterapkan dengan adanya permasalahan arus pergerakan dalam kota dengan adanya terminal terpadu (terminal lama). Pemindahan terminal lama