• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGI (1)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

Oleh: Muhammad Alqadri Burga

Program Studi Dirasah Islamiyah, Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan, UIN Alauddin Makassar

Email: qadriburga@gmail.com

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Salah satu karakteristik pendidikan Islam adalah memiliki paradigma yang tidak hanya memandang manusia sebagai objek pendidikan, melainkan juga sebagai pelaku pendidikan. Manusia merupakan makhluk pedagogik yang diciptakan oleh Allah swt. dengan membawa potensi dapat dididik dan mendidik. Potensi ini pulalah yang kemudian mengantar manusia mendapat kepercayaan atau amanah sebagai khali>fah.

Potensi yang dimiliki setiap manusia untuk mencari atau menemukan kebenaran melalui proses pembelajaran menunjukkan bahwa manusia memerlukan pendidikan. Hal ini juga berarti bahwa setiap orang berpotensi untuk dididik dan mendidik. Teori nativisme dan empirisme yang digabungkan oleh William Stern dengan teori konvergensinya telah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat didik dan mendidik.1

(2)

Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik (homo educan-dum) diimplementasikan pada kegiatan pendidikan yang di dalamnya terdapat pendidik dan peserta didik sebagai objek utama pendidikan. Peserta didik dalam perspektif pendidikan sering disebut sebagai manusia yang belum dewasa, maka ia memerlukan pertolongan dari orang lain yang dianggap dewasa. Proses pertolongan inilah yang disebut dengan pendidikan.

Pendidikan berfungsi membantu perkembangan manusia menuju ke arah yang secara normatif lebih baik. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa mengetahui hakikat manusia. Pendidikan yang didasarkan atas pemahaman yang salah mengenai hakikat manusia akan berakibat fatal. Misalnya, menganggap manusia hanya sebagai makhluk biologis. Hal ini tidak beda dengan para filsuf2 yang mengidentikkan manusia dengan hewan yang memiliki kekhususan serta kelebihan tertentu, seperti manusia adalah hewan yang berbicara, berpikir dan berbudaya. Berdasarkan pendapat tersebut kemudian berkembang konsep bahwa manusia adalah binatang yang dapat mendidik dan dididik (animal educandum).3

Lain halnya dengan al-Qur’an yang memandang bahwa manusia itu bukanlah

binatang.4 Manusia diberi kemuliaan (potensi) berupa fit}rah, indra, akal, dan hati. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Ru>m/30: 30.

2Diungkapkan oleh Aristoteles dalam Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam

(Pekanbaru Riau: Infinite Press, 2004), h. 10.

3Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005), h. 39.

4Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, h. 11. Lihat juga Sadulloh

(3)

ِنيِدلِل َكَهۡجَو ۡمِق

َ

أَف

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.5

Dipertegas dalam QS Al-Ḥajj/22: 46.

َ

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.6

Kedua ayat tersebut menjelaskan kemuliaan manusia tampak dalam tujuan penciptaannya dan diberikan berbagai sumber daya insani (fit}rah, pendengaran, penglihatan, akal, dan hati) sebagai kelengkapan hidupnya. Namun semua itu masih bersifat potensial yang harus dikembangkan dan diarahkan untuk mencapai tujuan penciptaan manusia. Allah swt. pada akhir ayat sangat mewanti-wanti upaya pengembangan tersebut, sebab tidak sedikit manusia gagal mencapai insa>n ka>mil karena tidak mampu menggunakan potensi yang diberikan sebagaimana mestinya.

5Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka As-Salam, 2010), h.

574.

(4)

Fenomena korupsi, pembunuhan, penipuan, dan tindak kejahatan lainnya merupakan gambaran dari ketidakmampuan manusia dalam memanfaatkan berbagai potensi yang ada pada dirinya atau kegagalan pendidikan mengembangkan berbagai potensi tersebut. Realitanya pelaku kejahatan tidak menafikan orang-orang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan formal tertinggi. Realitas ini merupakan hasil dari praktik pendidikan yang lebih mengutamakan kognisi ketimbang afeksi. Meski ada upaya pengembangan kepribadian melalui pendidikan karakter yang wajib disisipkan pendidik dalam setiap pembelajarannya, namun pembelajaran di Indonesia didesain sedemikian rupa untuk mengembangkan kognisi. Di sinilah pentingnya pengetahuan akan hakikat manusia dalam proses pendidikan, agar pendidikan menjadi jalan untuk mewujudkan manusia yang menyadari dirinya sebagai makhluk individu, sosial, beragama, dan berbudaya (insa>n ka>mil).

Berdasarkan uraian tersebut, maka makalah ini akan membahas mengenai hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik dengan memfokuskan pada fit}rah, pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia, serta implikasi berbagai potensi tersebut terhadap pendidikan Islam.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan pada latar belakang masalah, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

(5)

2. Bagaimana optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia?

3. Bagaimana implikasi hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik terhadap pendidikan Islam?

C.Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka makalah ini bertujuan untuk:

a. Menjelaskan optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia.

b. Menjelaskan optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia

c. Menemukan implikasi hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik terhadap pendidikan Islam.

2. Kegunaan Penulisan

a. Memberi sumbangsih pemikiran dalam teori belajar dan pembelajaran, khususnya mengenai hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik.

(6)

II.PEMBAHASAN

A.Optimalisasi Fit}rah sebagai Potensi Dasar Manusia 1. Pengertian Fit}rah

Sebelum lebih lanjut membahas fit}rah sebagai potensi dasar manusia, terlebih dahulu penulis memaparkan pengertian fit}rah. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengantar pembaca dalam memahami makna dan upaya optimalisasinya dalam pendidikan Islam.

Secara etimologi, kata “fit}rah” berasal dari bahasa Arab “fat}ara” yang berarti merobek, membelah, menciptakan, terbit, tumbuh, memerah, berbuka, sarapan, sifat pembawaan (yang ada sejak lahir).7 Ibnu Manz}u>r menambahkan, arti fit}rah adalah

“ketetapan Allah kepada makhluk-Nya ketika masih dalam rahim ibunya”.8

Al-Qur’an sendiri menyebut fit}rah dengan segala bentuk derivasinya sebanyak 20 kali.9 Berdasarkan hasil pelacakan dan penghimpunan ayat-ayat tersebut, diperoleh makna fit}rah berarti ciptaan, perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ikhlas, dan tauhid.10

7Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka

Progresif, 1997), h. 1063.

8Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukarram bin Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Jilid III (Beirut: Dār

al-Sadr, 1992), h. 55-56.

9Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd al-Ba>qi>, al-Mu’jam Mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m (Bairut:

Da>r al-Fikr, 1991), h. 522-523.

10Muhammad Alqadri Burga, “Fit}rah Manusia dalam Al-Qur’an: Studi Tafsir Maud}u>‘i>

(7)

Achmad Mubarok menjelaskan, bahwa

Dalam bahasa Arab, fit}rah mempunyai arti belahan, muncul, kejadian, dan penciptaan. Jika fit}rah dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud dengan fit}rah manusia adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaannya sejak lahir, atau oleh bahasa Melayu disebut dengan keadaan semula jadi.11

Menurut Waryono Abdul Ghafur,

Fit}rah adalah potensi untuk berevolusi menuju ketinggian, keluhuran dan kesempurnaan. Oleh karena itu, fit}rah hanya dimiliki oleh manusia yang bisa dikembangkan sebaik-baiknya atau menurun serendah-rendahnya, sehingga manusia bisa hidup berdasarkan fit}rah-nya atau sebaliknya, malah mening-galkannya.12

Hasan Langgulung memberikan interpretasi fit}rah dengan berdasar pada hadis Nabi saw.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang anak dilahir -kan melain-kan dalam keadaan fit}rah, maka orang tuanyalah yang menjadi-kan- menjadikan-nya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, Hasan Langgulung memahami bahwa yang dimaksud dengan fit}rah adalah potensi yang baik, sebab pengertian menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi itu bermakna menyesatkan. Ibu bapaknyalah (lingkungan) yang merusak dan menyesatkan fit}rah yang asalnya suci dan sepatutnya berkembang ke

11Achmad Mubarok, Sunnatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam

(Jakarta: The International Institute Of Islamic Thought, 2003), h. 24.

12Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2005), h. 226.

13Ima>m Abi> Husain Muslim al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisabu>ri>, S}ahi>h Muslim, Juz IV (Beirut

(8)

arah yang baik itu. Selain itu, ia menambahkan bahwa dalam bahasa Arab, fit}rah itu bermakna tabiat yang suci atau baik.14

Hal senada diungkapkan Ahmad Tafsir mengenai makna fit}rah. Berdasarkan hadis Nabi di atas, fit}rah diartikan potensi berupa kemampuan sebagai pembawaan. Ayah dan ibu dalam hadis tersebut adalah lingkungan, yang mana keduanya dapat menentukan perkembangan seseorang.15

Ibn A<syur dalam M. Quraish Shihab memberi pengertian fit}rah sebagai unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fit}rah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang terdiri dari jasad, akal dan jiwa.16

Atas dasar banyaknya makna fit}rah tersebut, maka Muhaimin dan Abdul Mujib memformulasikan makna fit}rah sebagai berikut:

1. Fit}rah berarti suci (t}uhr)

2. Fit}rah berarti Islam (di>n al-Isla>m)

3. Fit}rah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (al-tauh}i>d) 4. Fit}rah berarti murni (al-ikhla>s})

5. Fit}rah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran

14Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi

(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005), h. 214-215.

15Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung: PT. Remaja Rosda-karya,

2012), h. 35.

16M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 11 (Cet.

(9)

6. Fit}rah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan

ma‘rifatulla>h

7. Fit}rah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesengsaraan

8. Fit}rah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature)

9. Fit}rah berarti al-gari>zah (insting) dan al-munazzalah (Wahyu dari Allah).17 Berdasarkan uraian tersebut, penulis memahami bahwa fit}rah merupakan seperangkat alat atau potensi manusia yang tidak terbatas pada peng-Esa-an Tuhan dan kebenaran menerima agama saja, akan tetapi lebih kompleks dari pada itu. Bahwa fit}rah merupakan segenap potensi atau kemampuan yang melekat pada diri manusia yang Allah berikan sebagai bekal kekhalifahannya untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan sebagai alat untuk ma‘rifatulla>h.

Berdasarkan berbagai penjelasan mengenai makna fit}rah dan pengertian para pakar mengenai fit}rah manusia, dapat dipahami bahwa fit}rah merupakan default factory setting manusia. Di mana perangkat kerasnya (tubuh z}ahiriyyah) dibuat sedemikian rupa sebagai bekal kekhalifahan dan untuk melakukan rutinitas ibadah kepada Allah. Begitu pun perangkat lunaknya (bat}iniyyah) telah disetting dengan iman kepada Allah, kesiapan untuk menerima dan melaksanakan agama Allah, serta kemurnian dan kesucian jiwa dari hal-hal kuasa selain Allah (tauhi>d).

17Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka

(10)

2. Optimalisasi Fit}rah

Berdasarkan QS al-Rūm/30: 30 dan hadis dari Abū Hurairah yang diriwayat-kan oleh Muslim yang dikemukadiriwayat-kan sebelumnya, maka optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia dapat dilakukan dengan pendidikan dan penciptaan lingkungan yang kondusif.

a. Pendidikan sebagai Pengembangan Fit}rah

Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa manusia diciptakan oleh Allah di dunia ini sebagai penerima dan pelaksana ajaran-Nya. Dia mempunyai tugas pokok, yaitu di samping untuk li ta‘abbudi ila>lla>h juga bertugas selaku khali>fah fi> al-ard}. Oleh karena itu, Allah tidak membiarkan manusia begitu saja tanpa bekal yang memadai, tetapi Dia dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya memberikan anugerah yang sangat tinggi nilainya, yaitu berbagai kemampuan atau potensi yang memungkinkan manusia mampu memikul tanggung jawab tersebut.

(11)

fit}rah juga menuntut agar pendidikan Islam harus bertujuan mengarahkan pendidikan kepada terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah.18

Pendidikan dipandang sebagai suatu ikhtiar yang sangat menentukan dalam menjaga manusia tetap berada pada fit}rah-nya, baik fit}rah pengakuan terhadap Tuhannya, fit}rah agama yang hani>f, maupun segenap potensi lain yang ada pada dirinya. Diharapkan manusia tidak menyimpang dari garis kodrat yang telah ditentukan, mengingat ia berada pada kehidupan yang serba dinamis19 dan dalam pertumbuhannya sering mendapat pengaruh positif maupun negatif.

b. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif

Fit}rah manusia pada dasarnya tidak mengalami perubahan, tetapi hanya mengalami penyimpangan.20 Penyimpangan itu bisa terjadi kapan pun dan di mana pun serta dipengaruhi oleh faktor apa pun. Muchotob Hamzah menginformasikan ada dua faktor (ekstern) pokok yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, yaitu oleh kedua orang tuanya dan oleh setan yang dianggap sebagai musuh yang nyata.21

18Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka

Dasar Operasionalnya (Bandung: Trigenda Karya, 2003), h. 141.

19Dewasa ini, pengaruh kebudayaan Barat yang negatif berkembang sedemikian kuat lewat

berbagai saluran, sehingga tidak menutup kemungkinan perkembangan anak dapat mengarah kepada yang negatif dan anak mudah terbawa oleh arus globalisasi modern yang keluar dari garis-garis Islam. Di sinilah pentingnya pendidikan terutama pendidikan Islam untuk memelihara dan menumbuh kembangkan potensi atau pembawaan manusia agar tetap berada pada posisi yang semestinya, sehingga dalam kehidupannya memiliki iman yang kuat dan kokoh. Lihat Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001), h. 86-87.

20Muchotob Hamzah, dkk., Tafsir Maudhu‘i al-Muntaha, Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka

Pesantren, 2004), h. 50.

(12)

Kedua orang tua dipandang sebagai gambaran lingkungan22 dan merupakan salah satu faktor yang bisa berpengaruh baik dan buruk. Sebagaimana hadis dari Abu> Hurairah yang diriwayatkan Muslim, bahwa orang tualah yang mempengaruhi anak untuk menyalahi atau menyimpang dari fit}rah-nya. Oleh karena lingkungan sangat berpengaruh pada diri manusia, sehingga dalam proses pendidikannya harus senantiasa menciptakan keadaan atau kondisi lingkungan yang kondusif, agar fit}rah itu tetap berada pada keadaan awal, bahkan bisa berkembang ke arah yang lebih baik seiring dengan pertumbuhan biologis dan jiwa seseorang.

Pertumbuhan jiwa sosial seseorang terjadi sejak lahir sampai dewasa. Kesadaran sosial itu mulai dari kesadaran diri sendiri mengenai pengalaman-pengalaman bergaul sejak kecil, berkembanglah kesadaran sosial anak-anak dan memuncak pada umur remaja. Para remaja sangat memperhatikan penerimaan sosial dari teman-teman sebayanya. Mereka merasa sangat sedih apabila dalam pergaulan tidak mendapat tempat, atau kurang dipedulikan oleh teman-temannya. Ingin diperhatikan dan mendapat tempat dalam kelompok teman-teman itulah yang mendorong remaja meniru apa yang dibuat, dipakai, atau dilakukan oleh teman-temannya. Mulai dari mode pakaian, lagak lagu, cara bicara, sampai pada cara bergaul sering kali yang diambil ukuran oleh remaja adalah teman-temannya.23

22Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2003),h. 44.

(13)

Biasanya remaja dalam menjalankan aktivitas-aktivitas keagamaan sangat dipengaruhi oleh teman-temannya. Misalnya, remaja yang ikut dalam kelompok yang tidak salat, atau tidak peduli akan ajaran agama, akan mau mengorbankan sebagian dari keyakinannya, demi untuk mengikuti kebiasaan teman sebayanya. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Lingkungan dapat memberikan pengaruh yang positif dan negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak, sikap, akhlak, serta perasaan keberagamaannya.

Jadi lingkungan yang positif adalah lingkungan yang kondusif dan mendukung untuk menumbuh kembangkan potensi atau fit}rah manusia agar selalu berada pada garisnya. Sedangkan lingkungan negatif merupakan lingkungan yang bisa berpengaruh buruk terhadap keberlangsungan perkembangan potensi manusia.

Lingkungan pendidikan pada dasarnya dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: 1) Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan situasi sosial terkecil dalam kehidupan umat manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan unit pertama dalam masyarakat. Dalam keluarga inilah terbentuk tahap awal proses sosialisasi dan perkembangan individu. Selain itu, keluarga merupakan mikro kosmos tempat manusia baru diciptakan dan sumber yang banyak memberikan dasar-dasar pengajaran bagi seseorang, serta faktor yang penting dalam pembinaan mental seseorang.

(14)

paling banyak mempengaruhi kondisi psikologi dan spiritual anak.24 Oleh karena itu, cara, bentuk, dan isi pendidikan dalam keluarga pasti mempengaruhi perkembangan watak, budi pekerti, dan kepribadian anak sebagai modal interaksi pada lembaga pendidikan selanjutnya.

Sebelum anak berinteraksi di luar rumah, perlu adanya penerimaan pengalaman-pengalaman dari keluarga di rumah terutama dari ayah dan ibunya, agar dalam interaksi sosialnya dapat berjalan dengan lancar dan harmonis, maka perlu adanya landasan moral yang kuat, sehingga anak tetap berada pada garis-garis fit}rah yang telah dianugerahkan Allah.

Dalam konteks inilah orang tua sebagai pemegang amanah dituntut untuk dapat menciptakan keluarga dalam suasana yang benar-benar dapat mengantar anak-anak menuju pencapaian kepribadian yang berakhlak mulia dan tertanam nilai-nilai keimanan yang kokoh sesuai dengan apa yang telah difit}rah-kan Allah swt. Sebagai pemegang amanat dari Allah, orang tua mempunyai kewajiban menyelamatkan keluarganya dari siksa api neraka. Hal ini dijelaskan dalam QS al-Tahri>m/66: 6.

اٗراَن ۡمُكيِلۡه

َ

أَو ۡمُك َسُفن

َ

أ ْآوُق ْاوُنَماَء َنيِ

لَّٱ اَهُّي

ه

أَٰٓ َي

َ

… ( . ٤ ) Terjemahnya:

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….25

24Jaudah Muh}ammad Awwa>d, Minha>j al-Isla>m fi> Tarbiyyah al-At}fa>l, terj. Sihabuddin,

Mendidik Anak Secara Islami (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 29.

(15)

Hal ini bisa dilakukan melalui peneladanan dan pembiasaan. Orang tua adalah orang yang menjadi panutan anaknya. Setiap anak pada awalnya mengagumi kedua orang tuanya. Semua tingkah laku orang tuanya ditiru oleh anak. Oleh karena itu, peneladanan sangat diperlukan dalam kehidupan keluarga. Ketika akan makan misalnya, ayah membaca basmalah, anak-anak menirukan itu. Tatkala orang tua salat, hendaknya anak pun diajak salat,26 sekalipun mereka belum mengetahui cara dan bacaannya.

2) Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan follow up dari pendidikan keluarga, karena sekolah memberikan pendidikan kepada anak yang tidak didapatkan dalam keluarga. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, terdiri dari guru (pendidik) dan siswa (peserta didik). Tentu antara mereka sudah pasti terjadi saling interaksi, baik antara guru sebagai pendidik dengan siswanya maupun antara sesama peserta didik sebagai teman belajarnya.

Pendidik hendaknya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung untuk berkembangnya potensi diri peserta didik. Tidak kalah pentingnya adalah seorang peserta didik akan selalu mengikuti apa yang sudah diajarkan dan bahkan mengikuti

26Adalah hal yang sia-sia jika orang tua hanya sekedar memerintah kepadanya dengan ucapan

(atau ditambah dengan ancaman) perihal salat. Sementara sang anak jarang atau bahkan tidak pernah menyaksikan langsung bagaimana orang tuanya melaksanakan salat. Oleh karena itu, agar anak gemar melaksanakan salat, terlebih dahulu hendaknya orang tua menjadi sosok teladan dalam masalah salat.

(16)

apapun yang dilakukan oleh pendidik. Peserta didik dengan mudah bisa menirukan apa yang dilakukan seorang pendidik, hal ini menuntut adanya sifat keteladanan yang baik dan itu ditemukan pada figur seorang pendidik.27

Keteladanan itu bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti seorang pendidik hendaknya menjauhkan diri dari sikap dusta agar peserta didik tidak belajar berdusta, tidak mengeluarkan kata-kata kotor dan umpatan agar peserta didik tidak meniru. Semua itu dibarengi dengan memberikan pengertian yang cukup kepada mereka perihal kebenaran, kebaikan dan keburukan yang harus dihindari. Lebih penting adalah hendaknya di lingkungan sekolah diciptakan suasana religius untuk lebih memotivasi anak agar selalu bersikap dan berprilaku sesuai fit}rah-nya.

3) Lingkungan Masyarakat

Masyarakat merupakan tempat pergaulan sesama manusia dan lapangan pendidikan yang luas, yaitu adanya hubungan antara dua orang atau lebih tak terbatas. Dengan demikian, dalam pergaulan sehari-hari antara seseorang dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, atau anggota masyarakat yang lain mengandung gejala-gejala pendidikan. Para tokoh tersebut mestinya dalam pergaulannya mengarah pada pengaruh yang positif, menuju kepada tujuan yang mencakup nilai-nilai yang tinggi atau luhur.

Masyarakat merupakan tempat berkumpul dan bersatunya individu-individu yang beraneka ragam prilakunya. Mulai dari yang baik sampai pada yang paling buruk

(17)

sekalipun terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, agar peserta didik dalam pergaulannya tidak mengalami penyimpangan ke arah yang negatif hendaknya dalam pergaulan masyarakat diciptakan situasi harmonis yang dapat menumbuhkan sikap kreativitas seorang anak.

Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan wahana kepada anak dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan yang positif seperti karang taruna, kelompok pengajian, atau bentuk kegiatan lain yang mendorong dan mendukung perkembangan psikologis serta spiritualitas anak. Melalui cara ini, anak-anak dilatih untuk mengembangkan jiwa sosial, kepemimpinan, kerja sama, dan kompetisi. Ini menjadi wahana untuk mengekspresikan kepribadian yang sebenarnya.28

Orang tua beserta tokoh masyarakat dalam hal ini dituntut untuk bersama-sama memasilitasi dan mendampingi kegiatan-kegiatan tersebut agar tidak melen-ceng dari tujuan yang diharapkan dengan cara memantau dan mengarahkan pada hal-hal khusus yang perlu untuk diarahkan.

B.Optimalisasi Pendengaran, Penglihatan, dan Hati sebagai Potensi Dasar Manusia Manusia pada dasarnya dilahirkan di dunia masih bersifat suci, dalam keadaan kosong29 belum mengetahui suatu apapun, dalam arti bahwa ia belum mumayyiz

28Lihat Ibid., h. 89-90.

29Fuad Nashori, Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(18)

(membedakan yang baik dan buruk). Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Nah}l/16: 78.

ۡيَش َنوُمَلۡعَت

لَ ۡمُكِتَٰ َههم

َ

ُ

أ ِنو ُطُب ۢنِدم مُكَجَرۡخ

َ

أ ُ هللَّٱَو

َ ۡم هسلٱ ُمُكَل َلَعَجَو ا

َرَٰ َصۡب

َ ۡ

لۡٱَو

ۡف

َ ۡ

لۡٱَو

َنوُرُك ۡكَش ۡمُكهلَعَل َ َد

( . ٨٧ ) Terjemahnya:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak menge-tahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.30

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui, kemudian Allah swt. memberikan potensi pendengaran, pengli-hatan, dan hati (fu’a>d) kepadanya sebagai bekal untuk memperoleh pengetahuan. Penggunaan kata sam‘a dan abs}a>r, bukan uzun (telinga) dan ‘ain (mata) juga menunjukkan bahwa yang terpenting dari potensi yang diberikan Allah bukanlah bentuknya (jasadnya), tetapi bagaimana fungsinya dapat mengantarkan kita kepada-Nya.

1. Optimalisasi Pendengaran

Pendengaran berasal dari kata “dengar” yang berarti dapat menangkap suara

(bunyi) dengan telinga; menurut; mengindahkan.31 Arti tersebut mengindikasikan bahwa orang yang mendengar tidak hanya menjadikan indra pendengarannya sebagai alat untuk menanggapi stimulus bunyi, namun juga ada upaya menuruti dan melaksanakannya dengan baik dan benar. Berarti ada upaya memahami berbagai

30Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 375.

(19)

pesan yang diterimanya melalui suara (bunyi). Kebenaran pemahaman akan suara yang didengarnya terlihat dari pelaksanaan dari apa yang dikehendaki oleh pemberi pesan suara (komunikator).

Berdasarkan pengertian tersebut, penulis memaknai kata mendengar dalam arti luas, yakni mengakomodasi informasi dan ilmu pengetahuan, baik yang sifatnya wahyu maupun penemuan-penemuan manusia yang sudah menjadi teori dan berusaha mengaplikasikannya dengan baik dan benar.

Allah menyebutkan kata sam‘a lebih awal ketimbang potensi lainnya dalam QS al-Nah}l/16: 78. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan manusia bahwa pen-dengaran bayilah yang paling pertama berfungsi sejak dilahirkan oleh ibunya. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan dalam pendidikan Islam adalah memperdengarkan azan pada sang bayi. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dalam hadis dari Ra>fi‘.

Dari Abdulla>h bin Abi> Ra>fi‘, dari ayahnya berkata: “Saya melihat Rasulullah saw. mengazani telinga Hasan bin Ali> ketika dilahirkan oleh Fa>t}imah” (HR al-Tirmizi> dan Abu> Da>wud).

Hadis tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam berupaya mengopti-malkan potensi pendengaran anak dengan memperdengarkan kalimat-kalimat tauhid

(20)

pada awal kelahiran dan merupakan upaya pembiasaan terhadap anak mendengarkan kalimat-kalimat yang baik.

2. Optimalisasi Penglihatan

Penglihatan berasal dari kata “lihat” yang berarti “menggunakan mata untuk

memandang; memperhatikan; mengamati”.33 Arti tersebut mengindikasikan bahwa melihat tidak hanya sebuah proses jatuhnya cahaya ke kornea mata dan diterjemahkan dalam warna dan bentuk, akan tetapi dapat dimaknai sebagai upaya pengamatan dan penelitian. Melihat berarti meneliti, memperhatikan segala fenomena yang terjadi baik pada diri manusia ataupun alam semesta yang lebih luas.

Allah swt. menerangkan dalam QS A<li ‘Imra>n/3: 190.

َههلنٱَو ِلۡ

لَّٱ ِفََٰلِتۡخٱَو ِضرۡ

ه

َ ۡ

لۡٱَو ِتََٰوَٰ َم هسلٱ ِق

ۡلَخ ِفِ هنِإ

ِبَٰ َبۡلَ ۡلۡٱ ِلِْوُ ِدلۡ ٖتََٰيلَأٓ ِرا

(. ٠٩٣ ) Terjemahnya:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.34

Ayat tersebut dapat dimaknai bahwa alam semesta dengan berbagai fenomenanya merupakan sesuatu yang harus dipelajari, diamati, atau diteliti oleh manusia untuk membuatnya semakin yakin akan kekuasaan Allah swt.. Sehingga ilmu yang baik adalah ilmu yang semakin mendekatkan kepada Allah swt.. Oleh karena itu, perlu integrasi dan interkoneksi sains dan teknologi dalam kajian keislaman.

(21)

Begitu pun sebaliknya, perlu integrasi dan interkoneksi Wahyu dalam pembelajaran sains dan teknologi.

Bila pendengaran dan penglihatan dimaknai dengan potensi yang sifatnya sekedar memahami yang empiris, maka cukup dengan menciptakan media pembelajaran yang mengstimulus keduanya agar dapat menerima/memahami materi pembelajaran sebagai bekal dalam mengelola bumi dalam kapasitasnya sebagai khali>fah. Namun lebih dari sekedar itu, mestinya kedua potensi tersebut mengantarkan kepada semakin yakinnya manusia kepada Sang Maha Pencipta dan membawanya kepada tujuan penciptaan yaitu ‘abd. Betapa banyak orang yang pada zahirnya mendengar dan melihat, namun pada hakikatnya dia tuli dan buta. Sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah/2: 7.

ٞميِظَع ٌباَذَع ۡمُه

َلَو ۖٞ َوَٰ َشِغ ۡمِهِرَٰ َصۡبَأ ََٰٓ َعَلَو ۖۡمِهِعۡمَس ََٰ َعَلَو ۡمِهِبوُلُق ََٰ َعَل ُ هللَّٱ َمَتَخ

). ٨ (

Terjemahnya:

Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.35

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang kafir (yang jauh dari rahmat Allah) tidak mau lagi melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, tidak mau lagi mendengar nasihat, yang demikian itu pada hakikatnya adalah orang yang tuli lagi buta. Oleh karena itu, pendidikan Islam mestinya mengarahkan potensi ini kepada semakin dekatnya manusia kepada Allah.

(22)

3. Optimalisasi Hati

Istilah “hati” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online diartikan sebagai Organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya).36

Pengertian kata hati tersebut mengindikasikan bahwa manusia merupakan makhluk biologis dan rohis. Apalagi bila dikaitkan dengan Hadis Rasulullah saw. dari

Nu‘ma>n bin Ba>syir rad}iyalla>h ‘an huma>.

َ لّ أ

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ingatlah bahwa ia adalah hati. (HR Bukha>ri no. 52 dan Muslim no. 1599).

Penulis memaknai hati semakna dengan heart, bukan liver dalam bahasa Inggris atau semakna qalb bukan kibd dalam bahasa Arab. Dia lebih rohani, dalam artian menjadi alat utama dalam melakukan kontemplasi.

Berdasarkan arti hati tersebut, dapat dipahami bahwa hati merupakan alat yang digunakan dalam proses perenungan dan berpikir untuk memahami segala sesuatu dan menjawab setiap pertanyaan yang muncul (terutama mengenai metafisik

(23)

dan transmetafisik), di mana proses tersebut membuatnya semakin yakin dan semakin dekat dengan Allah.

Kaitannya dengan potensi hati (qalb), al-Zamakhsyari> dalam Ramayulis menjelaskan bahwa

Qalb itu diciptakan oleh Allah sesuai dengan fit}rah asalnya dan kecenderungan menerima kebenaran darinya. Dari sisi ini, qalb merupakan bagian esensi dari nafs. Qalb berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, pengendali struktur nafs yang lain sehingga membentuk karakter. Bila qalb berfungsi secara normal, maka karakter manusia akan baik dan sesuai dengan fit}rah asalnya, karena manusia memiliki natur ila>hiyyah/rabba>niyyah. Natur ila>hiyyah merupakan natur suprakesadaran yang terpancarkan dari Tuhan. Dengan natur ini manusia tidak hanya mengenal lingkungan fisik, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan, dan keagamaan.37

Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa qalb (hati) bukanlah otentisitas manusia. Namun qalb hanya alat atau potensi yang diberikan oleh Allah yang perlu diarahkan dan dikembangkan. Karena posisinya lebih ke rohani, maka pengembangannya pun harus melalui pendekatan spiritual dalam pendidikan Islam.

C.Implikasi Konsep Hakikat Manusia sebagai Makhluk Pedagogik terhadap Pendidikan Islam

Teori dan praktik pendidikan Islam harus didasarkan pada konsep dasar tentang manusia. Tanpa kejelasan mengenai konsep ini, pendidikan akan meraba-raba. Bahkan menurut Ali Ashraf dalam Ramayulis, pendidikan Islam tidak akan

37Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta:

(24)

dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami tentang pengembangan manusia seutuhnya.38

Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas mengenai berbagai potensi yang diberikan kepada manusia sebagai alat untuk menjalankan tujuan dan fungsi penciptaannya dalam alam semesta. Berdasarkan uraian tersebut, paling tidak ada dua implikasi terpenting dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, yaitu:

1. Sistem Pendidikan Islam Harus Dibangun Atas Integrasi antara Pendidikan Qalbiyyah dan ‘Aqliyyah

Manusia merupakan makhluk resultan dari dua komponen (materi dan immateri), sehingga konsepsi pendidikan Islam menghendaki proses pembinaan yang mengacu ke arah realisasi dan pengembangan kedua komponen tersebut. Dengan demikian, out put dari pendidikan Islam adalah manusia muslim yang cerdas secara intelektual, terpuji secara emosional, dan mulia secara spiritual. Jika kedua komponen itu terpisah atau dipisahkan dalam proses kependidikan Islam, maka manusia akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-pribadi sempurna (insa>n ka>mil).

2. Pendidikan Islam Diarahkan untuk Mampu Melaksanakan Fungsi dan Tujuan Penciptaan Manusia (Khali>fah dan ‘Abd)

Al-Qur’an menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di dunia adalah

sebagai khali>fah, sementara tujuan penciptaannya sebagai ‘abd. Oleh karena itu,

(25)

untuk melaksanakan fungsinya, manusia dibekali oleh Allah dengan berbagai potensi. Dalam konteks ini, pendidikan Islam harus merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi manusia secara optimal, sehingga dapat terwujud dalam bentuk konkret di kehidupan.

Praktik ‘ubu>diyyah merupakan kewajiban manusia sebagai tujuan penciptaan memerlukan motivasi untuk dapat melaksanakannya dengan baik dan benar. Selain itu, diperlukan juga pengetahuan akan cara melaksanakan kewajiban tersebut. Diharapkan praktik-praktik ‘ubu>diyyah dan upaya pengelolaan bumi sebagai fungsi khali>fah tidak hanya membuat posisi manusia menjadi stagnan, tetapi semakin tinggi dengan berbagai kemuliaan di sisi Khalik-nya.

Kedua hal tersebut harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan mengembangkan sistem pendidikan Islam masa kini dan masa depan. Menurut Ramayulis, fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung pada sejauh mana kemampuan umat Islam menerjemahkan dan merealisasikan konsep hakikat manusia sebagai makhluk pedagogik di alam semesta ini.39

Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai sarana yang kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari generasi ke generasi. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia sebagai

(26)

khali>fah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang mengarahkan dan me-ngembangkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas. Tidak ada lagi dikotomi ilmu, agar manusia tegar sebagai khali>fah dan takwa sebagai ‘abd.

III.PENUTUP A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan, bahwa:

1. Optimalisasi fit}rah sebagai potensi dasar manusia mesti dengan pendidikan dan penciptaan lingkungan yang kondusif.

2. Optimalisasi pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai potensi dasar manusia dengan senantiasa mengarahkannya untuk merespon stimulus empiris tidak hanya kepada sesuatu yang sifatnya materi, tetapi juga kepada sesuatu yang semakin mendekatkannya kepada Allah.

(27)

B.Saran

1. Orang tua dan pendidik agar mengondisikan peserta didik pada situasi atau lingkungan belajar yang kondusif. Dalam artian, lingkungan belajar peserta didik harus mengarahkannya pada pengembangan potensi yang dimiliki. 2. Pemerintah atau penentu kebijakan pendidikan agar sepenuhnya

(28)

27

Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Awwa>d, Jaudah Muh}ammad. Minha>j al-Isla>m fi> Tarbiyyah al-At}fa>l, terj. Sihabuddin, Mendidik Anak Secara Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Al-Ba>qi>, Muh}ammad Fu‘a>d ‘Abd. al-Mu’jam Mufahras li Alfa>z al-Qur’a>n al-Kari>m. Bairut: Da>r al-Fikr, 1991.

Burga, Muhammad Alqadri. “Fit}rah Manusia dalam Al-Qur’an: Studi TafsirMaud}u>‘i> ”. Makalah yang disajikan pada Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana UIN Alauddin, Makassar, 8 April 2017.

Darajat, Zakiah, dkk.. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. VI; Jakarta: Bumi Aksara, 2006. _________. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2001.

Departemen Agama RI.. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka As-Salam, 2010.

Ghafur, Waryono Abdul. Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan Konteks. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005.

Hamzah, Muchotob, dkk.. Tafsir Maudhu‘i al-Muntaha, Jilid 1. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.

Hitami, Munzir. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. Pekanbaru Riau: Infinite Press, 2004.

Ibnu Manz}u>r, Jama>l al-Di>n Muh}ammad bin Mukarram. Lisa>n al-‘Arab, Jilid III. Beirut: Dār al-Sadr, 1992.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, https://kbbi.web.id (30 Oktober 2017). Langgulung, Hasan. Pendidikan dan Peradaban Islam: Suatu Analisa Sosio-Psikologi.

Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2005.

(29)

Mubarok, Achmad. Sunnatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam. Jakarta: The International Institute Of Islamic Thought, 2003.

Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya, 2003.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Al-Naisabu>ri>, Ima>m Abi> Husain Muslim al-Hajja>j al-Qusyairi>. S}ahi>h Muslim, Juz IV. Beirut Libanon: Da>r al-Ihya>’ al-Turat} al-‘Arabi>, 1997.

Nashori, Fuad. Potensi-potensi Manusia: Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2015.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 11. Cet. XI; Jakarta: Lentera Hati, 2004.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. IXX; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 201o.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu emisi CH 4 dapat juga berasal dari Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL) baik yang berupa reaktor atau kolam ( lagoon ) dan septic tank atau cubluk dari rumah

Air limbah dari kedua gedung tersebut dialirkan dengan sistem perpipaan tertutup dan diolah dalam satu unit IPAL yang terletak di basement gedung 2 Selama ini ini,

Menjelaskan tentang siklus dan tahapan tiap siklus serta Indikator keberhasilan tindakan yang akan dicapai. 1) Perencanaan: merupakan kegiatan merancang secara rinci

Ditinjau dari produksinya, Kabupaten Bengkulu Utara adalah sentra produksi kacang hijau di Provinsi Bengkulu dengan total Produksi sebanyak 256 ton atau 28,53 persen dari

‘Tata bahasa’ ini kemudian banyak dianggap sebagai dasar penting kerangka analisa multimodality , dan bersandar pada kerangka ini banyak kajian telah dilakukan

yang dimilki perusahaan lebih besar dari pada hutang lancarnya. 301) “Current Rasio adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana aktiva lancar menutupi

HASIL UJI KEKERASAN TABLET LEPAS LAMBAT IBUPROFEN Batch I.. Kekerasan Tablet

Berdasarkan penjelasan diatas dan sesuai dengan survei awal yang telah dilakukan di Panti Werdha Hargo Dedali Surabaya, jumlah hipertensi pada lansia terus meningkat