• Tidak ada hasil yang ditemukan

Referat TB Paru WORD 2003.doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Referat TB Paru WORD 2003.doc"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa. Hasil ini ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit tuberkulosis sudah ada dan dikenal sejak zaman dahulu, manusia sudah berabad-abad hidup bersama dengan kuman tuberkulosis.1

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.2

Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai 1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif. 3

Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.4

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA II.1 EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.2

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40% total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini.3

(3)

angka insiden TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir dengan kematian. 3

Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai 1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif. 5

Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB(MDR-TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB). 6

II.2 DEFINISI

Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang menular dan disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi.7

TB paru primer merupakan TB paru yang muncul segera saat infeksi pertama kali. Pada daerah dengan tingkat transmisi M. Tuberculosis, jenis penyakit ini lebih sering muncul pada anak-anak. Daerah yang sering terlibat dalam TB paru primer adalah lobus medial dan lobus bawah paru. Lesi yang terbentuk biasanya terletak di perifer dan disertai dengan limfadenopati hilar atau paratracheal yang biasanya sulit dideteksi secara radiologis

Tuberculosis Post Primer Biasanya disebut juga sebagai tuberculosis sekunder. Tuberculosis ini terjadi sebagai proses reaktivasi infeksi laten dan biasanya terjadi pada segmen atas paru dimana tekanan oxigen lebih tinggi dibandingkan bagian paru lainnya yang sangat menunjang pertumbuhan bakteri.

II.3 MIKROBIOLOGI

A. Morfologi dan Struktur Bakteri

(4)

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam–alkohol.8

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.9

B. Biomolekuler

Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.

Gen pab dan gen groEL masing-masing menyandi protein berikatan posfat misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65 kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.

Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.9

(5)

II.4 PATOGENESIS

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

(6)

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

(7)

tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadisecara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

(8)

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya9

Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis10

II.5 KLASIFIKASI A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+)

(9)

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif.

2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif.

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :

1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.

2) Infeksi jamur 3) TB paru kambuh

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya. c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).

2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

e. Kasus kronik / persisten

(10)

Catatan:

a. Kasus pindahan (transfer in):

Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah.

b. Kasus Bekas TB:

1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. 2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan

OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologic.9

II.6 DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. A. Anamanesis

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).

1. Gejala respiratorik

a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu b. batuk darah

c. sesak napas d. nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik a. Demam

b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 3. Gejala tuberkulosis ekstra paru

(11)

getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess

Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) b. Pagi ( keesokan harinya )

(12)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya. b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas

saring sebanyak + 1 ml.

c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.

d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus.

e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil. f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong

yang terbuka dengan menggunakan lidi.

g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak. h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium. 3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan mikroskopik:

Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

(13)

2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian

o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). 3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+). Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst

Skala Bronkhorst (BR) :

1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. 2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. 3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. 4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang. 5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :

1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh. 2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

(14)

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif

1. Fibrotik 2. Kalsifikasi

3. Schwarte atau penebalan pleura Luluh paru (destroyed Lung ) :

1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :

1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas

2. Lesi luas

Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Gambar 6. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.

(15)

Gambar 7. TB paru primer

Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan yang menunjukkan limfadenopati hilar kanan.

E. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB.

(16)

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda : a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garisantigen pada membran.

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

F. Pemeriksaan Lain 1. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

(17)

c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).

3. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.

(18)

Gambar 11 Skema Alur Diagnosis TB Paru (alternative 2)

II.7 PERJALANAN PENYAKIT Cara penularan12

1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

(19)

A.Risiko penularan12

1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satutahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. B.Risiko menjadi sakit TB12

1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.

2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.

3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). 4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: 1. 50% meninggal

(20)

Gambar 11. Faktor Risiko Kejadian TB II.8 PENATALAKSANAAN

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

(21)

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas Paduan obat yang dianjurkan :

1) 2 RHZE / 4 RH atau 2) 2 RHZE / 4R3H3 atau 3) 2 RHZE/ 6HE.

Paduan ini dianjurkan untuk 1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru)

Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi

b. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)

2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal 3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal.

(22)

o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal. o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal. o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik

positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama

Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur resistensi) terhadap OAT. e. TB Paru kasus kronik

1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.

3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan. 4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

Paket Kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.

(23)

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar. 4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan penggunaan monoterapi.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT

Obat Dosis

(mg/kgBB/Hari) Intermitten (mg/kgBB/Hari) < 40 40-60 > 60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Berat Badan Tahap Intensif

tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a. Pasien baru TB paru BTA positif.

b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Berat

Tahap Intensif Tiap hari

(24)

Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30-37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj. 2 tablet 4KDT + 2 tablet Etambutol2 tablet 2KDT 38-54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj. 3 tablet 4KDT + 3 tablet Etambutol3 tablet 2KDT 55-70 kg 4 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tablet Etambutol ≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj.

5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

Tahap

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

a. Pasien kambuh b. Pasien gagal

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Catatan:

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

(25)

obat Tahap

Intensif (dosis harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

B. Efek Samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin

(syndrom pellagra).

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

(26)

f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang

terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

(27)

Tabel 11. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol

Kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari

Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Tabel 12. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya

Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana

Mayor Hentikan pengobatan

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisisn dihentikan, ganti etambutol

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol Kelainan sistemik, termasuk

syok dan purpura Rifampisin Hentikan Rifampisin Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:

1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik

2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya

3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon 4. Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu

(28)

D. Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.

1. Pasien rawat jalan

a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam

c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.

2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap :

TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : a. Batuk darah (profus)

b. Keadaan umum buruk c. Pneumotoraks

d. Empiema

e. Efusi pleura masif / bilateral

f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang mengancam jiwa :

a. TB paru milier b. Meningitis TB

Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat

E. Terapi Pembedahan lndikasi operasi

1. Indikasi mutlak

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif

2. lndikasi relatif

(29)

b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan c. Sisa kavitas yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) 1. Bronkoskopi

2. Punksi pleura

3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh

1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan 3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif F. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

Evaluasi klinik

1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit

3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)

1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak 2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

a. Sebelum pengobatan dimulai

b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) c. Pada akhir pengobatan

3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: 1. Sebelum pengobatan

2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)

3. Pada akhir pengob

Evaluasi efek samping secara klinik

(30)

2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan) 5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila

ada keluhan)

6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman

Evalusi keteraturan berobat

1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.

2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Evaluasi pasien yang telah sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.

Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.

II.9 RESISTEN GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE) A. Definisi

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB. 2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada

riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.

(31)

sampai 16 minggu. Laporan WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu : 1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

4. Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan

5. pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten

6. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga 7. mengganggu bioavailabiliti obat

8. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti 9. pengirimannya sampai berbulan-bulan

10. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan 11. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

12. Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru

B. Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR) Klasifikasi OAT untuk MDR

Kriteria utama berdasarkan data biologikal dibagi menjadi 3 kelompok OAT:

1. Obat dengan aktivitas bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam

2. Obat dengan aktivitas bakterisid rendah: fluorokuinolon

3. Obat dengan akivitas bakteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS Fluorokuinolon

(32)

fluorokuinolon lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihindari

pemakainnya karena efek samping pada kulit yang berat (foto sensitif). Resistensi silang

Tionamid dan tiosetason

Etionamid pada kelompok tionamid komplit resistensi silang dengan a. Aminoglikosid

b. Fluorokuinolon

c. Sikloserindan terizidon

Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain.

Obat tambahan yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin),aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin, klavulanat.

Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 –3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Ciprofloksasin dengan dosis 1000 – 1500 mg atau ofloksasin 600 – 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari).

Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.

Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan. Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus.

Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik, merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat. Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetetapi pencegahan MDR-TB. II.10 PENGOBATAN PADA KEADAAN KHUSUS

A. TB Milier 1. Rawat inap

2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH

3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang

(33)

b. Sesak napas

c. Tanda / gejala toksik d. Demam tinggi

e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 – 6 minggu.

B. Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB) 1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.

2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan kortikosteroid

3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu

4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. 5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

C. TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB) 1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.

2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.

3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk :

a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) b. Pengobatan :

1) perikarditis konstriktiva

2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's

4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu.

D. TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)

1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol

2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru)

3. Gula darah harus dikontrol

4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan

6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

E. TB Paru Dengan HIV / AIDS

(34)

tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)

1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.

2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat

3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit

4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril.

5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati

6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum

7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak

8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.

9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman pengobatan MDR-TB

Waktu Memulai Terapi

1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel 6)

Tabel 13. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV Kondisi Rekomendasi Kondisi Rekomendasi

TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau hitung limfosit

(35)

bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load > 55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)

2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan kemungkinan terjadinya efek toksik OAT

3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida

4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan

F. TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui

1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin

3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi

4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan

5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.

G. TB Paru dan Gagal Ginjal

1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin

2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin

3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin) 4. Rujuk ke ahli Paru

H. TB Paru dengan Kelainan Hati

1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan

(36)

3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE 4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis

akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH

5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

I. Hepatitis Imbas Obat

Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis)

Penatalaksanaan

1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) ® OAT Stop 2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop

3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2 ® OAT Stop 4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop

5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan Paduan OAT yang dianjurkan :

1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)

2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES

3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi

II.11 KOMPLIKASI

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

(37)

6. Efusi pleura

BAB III KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

(38)

primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.

Penatalaksanaan TB dimulai dari penemuan pasien TB yang terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Setelah pasien masuk dalam klasifikasi yang telah ditentukan, barulah pengobatan yang tepat dapat dilaksanakan. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) 3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

(39)

sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva World Health Organization. 2011

2. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in: Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008

3. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011

4. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva World Health Organization. 2010PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.

5. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007

6. Price, Sylvia A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Pross Penyakit, Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1995.

7. Sudoyo, W. Aru. et. al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.

8. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.

9. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

10. Nataraj G. Newer diagnostics for detection of multidrug-resistant tuberculosis. J postgrad Med 2011

11. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.

(40)

Gambar

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010
Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya9
Gambar 5.  Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya ada tindakan mengambil satu bola secara acak dari wadah yang berisi N bola yang diberi nomor 1, 2, .., N dengan peluang masing-masing bola terambil adalah sama.?.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Natalia dan Wahidahwati (2016) mengenai Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengungkapan Sustainability

PENGARUH KEMAMPUAN GURU DALAM MENGELOLA KELAS TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA.. DI MTs AMIN DARUSSALAM

Evaluasi satu tahun pasca operasi menunjukkan pasien telah mampu secara aktif melakukan gerakan fleksi dari siku dengan kekuatan skala 3 serta fleksi dari jari-jari dengan

Tujuan penulisan Laporan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui peran dan strategi public relations dalam meningkatkan brand image di Lorin Solo Hotel.. Metode penelitian

Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen pendidikan dimasa depan merupakan manajemen pendidikan yang dirancang atau disusun

0536/LS-BJ/2017 Belanja Pembayaran Honorarium Tenaga Kerja Non Pegawai /Tidak tetap (Jasa Tenaga Petugas Jalan Lintasan) Bagian Bulan April 2017, Kegiatan, Pengendalian