• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan Kabupaten Murung Ray

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Pendahuluan Kabupaten Murung Ray"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun Oleh:

P T B I T A B I N A S E M E S T A

Laporan Pendahuluan

Rev : 01

Juni

2007

(2)

DAFTAR ISI

Daftar Isi ... i

Daftar Tabel... ii

Daftar Gambar ... iii

1.0 PENDAHULUAN ... 1

2.0 METODE Penelitian ... 3

2.1 Data yang dikumpulkan... 3

2.2 Metode Pengumpulan Data ... 3

2.3 Analisis Data ... 3

3.0 HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS ... 4

3.1 Sejarah Perkembangan Desa Tumbang Olong ... 4

3.2 Demografi... 6

3.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk dan Wilayah Administrasi Desa. 6 3.2.2 Latar belakang etnik dan religi ... 8

3.2.3 Pendidikan ... 9

3.3 Sosial Ekonomi dan Budaya... 11

3.3.1 Sumber Mata Pencaharian Penduduk dan Sistem Pemanfaatan Sumberdaya ... 11

3.3.2 Warisan Budaya (Arkeologi)... 21

3.4 Kesehatan Masyarakat... 22

3.4.1 Sarana Pelayanan Kesehatan Masyarakat... 22

3.4.2 Penyakit, Pengobatan Medis dan Pengobatan Tradisional... 22

3.4.3 Perumahan dan Sistem Layanan Air Bersih ... 25

3.5 Persepsi Tentang Proyek ... 26

3.5.1 Pengetahuan Tentang Rencana Kegiatan Eksplorasi Tambang BHP Billiton di Bumbun ... 26

3.5.2 Persepsi Tentang Risiko dan Manfaat Kegiatan... 27

4.0 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI... 29

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan

Penduduk di Kabupaten Murung Raya Menurut Kecamatan, tahun 2005 ... 7 Tabel 2 Jumlap Rumah Tangga, Penduduk, dan Rata-Rata Anggota Keluarga

Penduduk Kecamatan Tumbang Olong*, 2005 ... 7 Table 3 10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit

Purukcahu, 2005 ... 24 Table 4 10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit

Muara Teweh, 2005... 24

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lokasi Pertambangan Blok Bumbun, Blok dahlia, dan Blok Luon ... 2 Gambar 2 Kantor Kecamatan Tumbang Olong... 6 Gambar 3 Sekolah Dasar di Desa Tumbang Olong... 10 Gambar 4 Sketsa lokasi pemanfaatan sumberdaya alam oleh penduduk

Desa Tumbang Olong... 12 Gambar 5 (a) Padi hasil panen perladangan berpindah,

(b) Penjualan sayur mayur hasil kebun... 15 Gambar 6 Lahan bekas ladang di tepi jalan logging1 ... 16 Gambar 7 Koperasi PT. Sarang Sapta Putra menyediakan kebutuhan

sehari-hari bagi karyawan, sebagian di antaranya adalah

penduduk Desa Tumbang Olong ... 17 Gambar 8 Katok, unit pendulangan emas tradisional di Sungai Murung ... 18 Gambar 9 Penduduk Desa Tumbang Olong sedang memperbaiki jaring untuk

menangkap ikan... 20 Gambar 10 Pusat Kesehatan Masyarakat di Desa Tumbang Olong... 22

Gambar 11 Sarana angkutan yang disediakan oleh PT. Sarang Sapta Putra Salah satu manfaat yang diperoleh penduduk dengan beroperasinya

(4)

KAJIAN ASPEK SOSIAL DAN KESEHATAN MASYARAKAT

PADA BLOK PENAMBANGAN BATUBARA “THREE CORNERS”

Di Desa Tumbang Olong Kecamatan U’ut Murung, Kabupaten Murung Raya

1.0. PENDAHULUAN

Kajian aspek sosial dan kesehatan masyarakat dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial dan kesehatan masyarakat secara umum. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat secara menyeluruh di wilayah rencana kegiatan.yang dapat digunakan sebagai informasi awal, sehingga dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan dalam melaksanakan kegiatan, terutama mengenai keterbatasan aspek sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat.

Laporan ini menguraikan hasil kajian sosial dan kesehatan masyarakat secara umum berkaitan dengan rencana kegiatan eksplorasi penambangan batubara di tiga wilayah penambangan yang disebut Three Corners yang mencakup Blok Bumbun yang akan dikelola oleh PT. Juloi Coal, Blok Dahlia yang akan dikelola oleh PT. Sumber Barito, dan Blok Luon yang akan dikelola oleh PT. Kalteng Coal (Gambar 1). Ketiga blok penambangan ini berada di wilayah Kabupaten Murung Raya, Propinsi Kalimantan Tengah.

(5)
(6)

2.0. METODE Penelitian

2.1 Data yang dikumpulkan

Data sosial dan kesehatan yang dikaji dalam studi ini mencakup tiga aspek yaitu:

a. Aspek demografi yang mencakup: • jumlah penduduk

• kepadatan penduduk • pendidikan.

b. Aspek sosial ekonomi dan sistem nilai masyarakat yang mencakup: • sistem mata pencaharian,

• sistem ”pemilikan”/penguasaan lahan, • sistem pemanfaatan sumber daya alam, • Kesempatan kerja dan berusaha, • warisan budaya,

• persepsi tokoh masyarakat terhadap rencana kegiatan.

c. Aspek kesehatan masyarakat mencakup: • Sistem pengobatan medis dan tradisional • Sarana pelayanan kesehatan

• Perumahan dan sistem layanan air bersih

2.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tiga metode/teknik, yaitu:

• Wawancara mendalam (depth Interview), dengan sejumlah informan yang dipilih secara purposif. Wawancara dilakukan dengan informan secara individual atau secara kelompok (group interview). Dalam proses wawancara digunakan Pedoman Wawancara.

• Observasi lapangan, untuk mengkonfirmasi informasi yang diperoleh, atau mengumpulkan informasi yang tidak dapat diperoleh, melalui wawancara.

• Pengumpulan data sekunder, terutama yang berkaitan dengan aspek kependudukan dan kesehatan masyarakat. Selain ini, juga dipelajari literatur hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan wilayah studi.

2.3 Analisis Data

(7)

3.0. HASIL PENGAMATAN DAN ANALISIS

3.1 Sejarah Perkembangan Desa Tumbang Olong

Sebagaimana telah disitir di bagian sebelumnya, Desa Tumbang Olong mengalami perkembangan signifikan pada tahun 2007 dengan pemekaran menjadi dua desa dan terpilih menjadi ibu kota kecamatan. Namun demikian, berdasarkan penuturan tokoh masyarakat yang berhasil ditemui, diceritakan bahwa pada awalnya Desa Tumbang Olong ini berada di tepi Sungai Olong dengan nama Desa Olong.

Desa Tumbang Olong, pada awalnya terletak di tepi Sungai Olong dan bernama Desa Olong. Tidak ada catatan atau informasi yang bisa diperoleh berkenaan dengan awal pendirian Desa Olong. Pada tahun 60an Desa Olong dipindahkan lokasinya ke lokasi desa yang sekarang, namun demikian tidak diketahui pula sejak kapan nama desa berubah menjadi Desa Tumbang Olong. Berdasarkan informasi dari informan, salah satu alasan utama pemindahan lokasi desa adalah karena di alur Sungai Murung di bagian hilir Desa Olong terdapat riam yang cukup curam yang menghambat transportasi penduduk dan seringkali menyebabkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa1. Pada saat kepindahan tersebut penduduk Olong terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama menuju ke lokasi Desa Tumbang Olong yang sekarang dan kelompok yang kedua dalam jumlah yang lebih sedikit menuju ke sekitar muara Sungai Laas.

Pada saat pindah ke lokasi desa yang sekarang, kondisi sosial ekonomi masyarakat dianggap dalam keadaan kurang. Rumah-rumah dibuat dari kulit kayu dan penduduknya hanya betul mengandalkan akitivitas berladang berpindah dan berburu sebagai sumber pangan dan penghasilan mereka. Kebutuhan sehari-hari seperti garam atau barang pokok lainnya diperoleh dari tempat lain dan untuk itu mereka harus melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu ke arah hilir.

Pada masa-masa itu, hubungan antara penduduk Desa Tumbang Olong dengan penduduk desa-desa lain yang relatif berdekatan seperti desa-desa Kalasin, Tujang atau Topus sudah terjalin. Beberapa penduduk melakukan perkawinan dengan penduduk dari desa-desa tersebut. Dengan demikian sebagian penduduk Desa Tumbang Olong memiliki hubungan kekerabatan/genealogis dengan penduduk desa lain.

Perkembangan desa secara signifikan mulai terjadi pada masa tahun 1980an ketika perusahaan kayu (PT Sarang Sapta Putra) memulai aktivitasnya di kawasan hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Pada tahun 1986, didirikan Sekolah Dasar di Desa Tumbang Olong. Pembukaan jalan logging oleh perusahaan membuka dan mempermudah aksesibilitas

1

(8)

penduduk Desa Tumbang Olong ke daerah lain walaupun hingga tahun 1998, jalan tersebut masih tertutup dan belum dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum sementara kendaraan operasional perusahaan tidak diperbolehkan membawa penduduk setempat yang hendak menumpang. Dengan kondisi demikian penduduk setempat masih tetap mengandalkan sarana perahu dan aliran sungai.

Walaupun kegiatan PT. Sarang Sapta Siaga (SSP) sudah mulai berjalan sejak tahun 1990-an dan banyak terdapat pekerja baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang berasal dari luar wilayah Desa Tumbang Olong, kebijakan PT SSP masih tertutup demikian pula penduduk Desa Tumbang Ulong yang masih “tertutup” terhadap orang luar. Beberapa pekerja senior PT. SSP yang berasal dari luar daerah menyebutkan bahwa pada masa itu mereka sangat segan masuk ke Desa Tumbang Olong karena banyak sekali yang terkena jipen (denda) karena dianggap melanggar aturan adat setempat.

Kondisi tersebut perlahan berubah dengan dilakukannya pendekatan oleh PT. SSP dengan cara memberikan bantuan-bantuan pembangunan kepada warga Desa Tumbang Olong pada sekitar tahun 1992-1993, penyerapan tenaga kerja penduduk Desa Tumbang Olong di PT. SSP, hingga yang terakhir yang paling banyak mempengaruhi perubahan adalah dibukanya akses jalan logging untuk penduduk setempat dan diperbolehkannyan kendaraan antar jemput karyawan untuk ditumpangi secara gratis oleh penduduk lokal pada tahun 1999-2000. Kondisi ini dengan segera mengubah orientasi transportasi penduduk dari transportasi air menjadi transportasi darat.

Pada perkembangan selanjutnya, selain PT. SSP, di Desa Tumbang Olong juga beroperasi perusahan lain yaitu PT. Jayanti Group dan PT. Borneo. Kehadiran PT. BHP Billiton yang akan melakukan kegiatan penambangan di Blok Bumbun, lokasi yang berdekatan dengan Desa Tumbang Olong, diharapkan oleh masyarakat akan semakin mengembangkan atau mengganti peran perusahaan lain yang telah habis masa operasinya. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut dan berbagai keuntungan ikutan yang menyertainya telah menyebabkan Desa Tumbang Olong menjadi lebih terbuka. Kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut juga sekaligus telah mengubah orientasi kerja kalangan generasi muda dengan keinginan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Hingga awal tahun 2007, Desa Tumbang Olong merupakan bagian dari Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya. Sejak tanggal 15 Januari 2007, Kecamatan Sumber Barito dibagi 3 (tiga)2 dan setelah pemecahan kecamatan itu Desa Tumbang Olong menjadi bagian dari Kecamatan U’ut Murung. Sebelumnya, sebagai syarat untuk dan dalam rangka pembentukan kecamatan baru yaitu Kecamatan U’ut Murung., yang mengharuskan suatu kecamatan memiliki minimal lima buah desa, Desa Tumbang Olong di bagi dua menjadi Desa

2

(9)

Tumbang Olong 1 dan Desa Tumbang Olong 2. Dengan demikian, desa-desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan U’ut Murung adalah desa Tumbang Olong 1 (sebagai ibukota Kecamatan), Tumbang Olong 2, Kalasin (Karamu), Tumbang Tujang dan desa Tumbang Topus.

Gambar 2

Kantor Kecamatan Uut Murung

3.2 Demografi

Aspek Kependudukan yang dikaji dalam uraian berikut meliputi kajian demografi secara umum berdasarkan rujukan data sekunder untuk memperlihatkan gambaran di tingkat kewilayahan. Uraian meliputi jumlah dan kepadatan penduduk, serta pendidikan.

3.2.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk dan Wilayah Administrasi Desa

Secara administratif Desa Tumbang Olong termasuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan U’ut Murung yang secara resmi pembentukannya ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2007. Sebelumnya, Desa Tumbang Olong merupakan bagian dari Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya yang memiliki wilayah seluas 17.083 Km2. Dengan jumlah penduduk 15.659 jiwa, kepadatan penduduk di Kecamatan Sumber Barito merupakan yang terendah di Kabupaten Murung Raya, yaitu 1 jiwa/km2 (Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005). Selain tingkat kepadatan penduduk yang rendah, Kecamatan Sumber Barito juga memiliki angka tingkat pertambahan penduduk yang paling kecil (0,25 %) dibanding kecamatan lain di Kabupaten Murung Raya (Tabel 1).

(10)

Tabel 1

Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Murung Raya Menurut Kecamatan, tahun 2005

Kecamatan

Sumber: Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005

a

Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Permata Intan dan Kecamatan Sungai Babuat

b

Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya

c Pada tahun 2007, dibagi 2 (dua) menjadi Kecamatan Tanah Siang dan Kecamatan Tanah Siang Selatan d

Pada tahun 2007, dibagi 3 (tiga) menjadi Kecamatan Sumber Barito, Kecamatan Seribu Riam dan Kecamatan U’ut Murung LPP = Laju Pertumbuhan Penduduk

tad = tidak ada data

Dengan statistik kependudukan seperti itu, rata-rata jumlah anggota keluarga penduduk Desa Tumbang Olong adalah 3,2 jiwa per keluarga. Dibandingkan dengan desa-desa lain di wilayah kecamatan yang baru, yaitu Kecamatan U’ut Murung, rata-rata anggota keluarga di Desa Tumbang Olong merupakan yang terendah (Tabel 2).

Tabel 2

Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, dan Rata-Rata Anggota Keluarga Penduduk Kecamatan Uut Murung*, 2005

Desa Jumlah Rumah

Sumber: diolah dari Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005

* Kecamatan U’ut Murung sebelumnya merupakan bagian Kecamatan Sumber Barito, menjadi kecamatan tersendiri sejak tahun 2007.

(11)

warga Desa Tumbang Olong 1, jumlah ini tidak termasuk para pekerja di PT. Sarang Sapta Putra yang berasal dari luar desa. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa keseluruhan keluarga di Desa Tumbang Olong 2 berjumlah sekitar 250 KK.

Sebelum dilakukan pemekaran wilayah desa, secara administratif Desa Tumbang Olong terdiri atas 6 wilayah RT yaitu :

• RT 01 dengan Ketua RT bernama Nagi, lokasinya berada di wilayah Tepian Sungai Murung. Wilayah RT 01 juga merupakan pusat desa.

• RT 02 dengan Ketua RT bernama Udun lokasinya berada di wilayah jalan antara Tepian Sungai Murung dengan Simpang Empat (berjarak sekitar 3 km)

• RT 03 dengan Ketua RT bernama Darmiadi lokasinya berada di wilayah perusahaan PT. Sarang Sapta Putra

• RT 04 dengan Ketua RT bernama Sulaeman lokasinya berada di sekitar Sungai Laas dan Simpang Tiga (Jalan Masuk Ke PT. Sarang Sapta Putra dari arah Selatan dan merupakan Akses ke PT.Barito Cipta)

• RT 05 dengan Ketua RT bernama Iman berada di wilayah perusahaan PT. Jayanti Montom (dekat Base Camp Bumbun)

• RT 06 dengan Ketua RT bernama Korek berada di wilayah Simpang Empat (jalan masuk ke Desa Tumbang Olong berhadapan dengan PT. Sarang Sapta Putra)

Berdasarkan Keterangan Kepala Desa Tumbang Olong I, wilayah Desa Tumbang Olong 1 mencakup RT 01 sampai dengan RT 05, sementara Desa Tumbang Olong 2 mencakup wilayah RT 06. Berkaitan dengan pemecahan wilayah ini, kebanyakan masyarakat belum mengetahui dengan pasti tentang pembagian yang dilakukan, baik mengenai batas maupun pembagian RT yang baru.

3.2.2 Latar belakang etnik dan religi

Berdasarkan kelompok etnik, Desa Tumbang Olong dihuni oleh penduduk dengan latar belakang etnik suku Dayak Ot Danum3 sebagai penduduk terbanyak. Selain Dayak Ot Danum, dalam jumlah kecil terdapat juga penduduk berlatar belakang etnik Dayak Siang, Dayak Punan dan Dayak Bakumpai. Kelompok Dayak Siang banyak terdapat di daerah hilir yaitu di sekitar Puruk Cahu, sementara Dayak Punan sebagian besar berada di daerah yang lebih hulu seperti di Desa Kalasin,Tujang dan Topus.

Selain etnik Dayak, dengan adanya perusahaan-perusahaan seperti PT. SSP, atau Jayanti Group dan PT. Borneo, juga terdapat penduduk lain dengan latar belakang etnik non-Dayak

3

(12)

yang berasal dari pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi bahkan ditemukan pula keluarga pekerja yang berasal dari Flores (NTT). Namun demikian, pada umumnya, karyawan yang bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut tinggal di dalam camp dan tidak bergabung dengan warga masyarakat.

Aturan-aturan adat dan kepercayaan yang dianut masyarakat masih dijalankan oleh masyarakat Tumbang Olong. Walaupun penduduk desa terbagi ke dalam dua kelompok penganut agama mayoritas yaitu Hindu Kaharingan dan Kristen Evangelis, aturan-aturan adat masih dipegang dan dihormati oleh penduduk setempat. Beberapa upacara, seperti upacara panen, upacara perkawinan, upacara kelahiran (palas bidan), upacara mengobati penyakit atau upacara pindah rumah dan keselamatan (ngahit) masih dilakukan oleh penduduk. Dalam upaca-upacara tersebut terlihat penggabungan antara sistem dan nilai adat dengan nilai agama. Dalam setiap upacara tersebut selalu terdapat peran tokoh Adat, Dukun, tokoh agama dan tokoh formal seperti Kepala Desa.

3.2.3 Pendidikan

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah informan, secara umum dapat diperkirakan bahwa tingkat pendidikan penduduk di Desa Tumbang Olong tergolong rendah. Indikasi tentang rendahnya tingkat pendidikan penduduk ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh para informan yang diwawancara (Tamat SD, Tidak Tamat SD atau bahkan Tidak Sekolah). Jumlah penduduk yang mampu menamatkan sekolah hingga SMP sangat terbatas. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya sarana pendidikan setingkat SMP pada saat para informan ini memasuki usia sekolah setingkat SMP. Hingga tahun 1998, SMP yang menjadi rujukan adalah SMP yang terdapat di Puruk Cahu (sekarang menjadi Ibukota Kabupaten) yang berjarak sekitar 100 km dari Desa Tumbang Olong. Jarak yang jauh dan biaya yang mahal menyebabkan banyak di antara penduduk Desa Tumbang Olong yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Desa Tumbang Olong adalah Sekolah Dasar yang dibangun pada pertengahan tahun 1980-an yang hingga saat ini masih berfungsi cukup baik karena dirawat oleh masyarakat dengan bantuan perusahaan-perusahaan yang ada di sekitar Desa Tumbang Olong (Gambar 3).

Berdasarkan wawancara dengan salah seorang pengajar di Sekolah Dasar Tumbang Olong, diketahui bahwa jumlah murid di SD Tumbang Olong adalah 166 murid. Pada saat ini keseluruhan tenaga pengajar di SD Tumbang Olong berjumlah 9 orang termasuk Kepala Sekolah dan 1 orang Penjaga Sekolah.

Pada tahun ajaran 1999-2000, berdiri Sekolah Menengah Pertama yang dalam proses belajar-mengajarnya masih menggunakan gedung milik SD Tumbang Olong hingga sekarang.

(13)

Walaupun sudah berdiri sendiri, menjelang saat ujian (sekitar 2 atau 3 bulan menjelang ujian akhir SMP), murid kelas tiga biasanya dikirim ke SMP Puruk Cahu untuk belajar lebih efektif hingga mengikuti dan menyelesaikan ujian.

Gambar 3

Sekolah Dasar di Desa Tumbang Olong

Secara umum, berdasarkan wawancara dengan guru pengajar SD Tumbang Olong, terindikasi bahwa kesadaran penduduk untuk menyekolahkan anak mereka mulai berkembang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Keberadaan perusahaan kayu PT. Sarang Sapta Putra yang berada di Desa Tumbang Olong dianggap telah mempengaruhi cara pandang masyarakat mengenai pendidikan. Informan juga menyampaikan bahwa, pada saat sekarang, sebagian besar murid Sekolah Dasar yang rajin mengikuti pelajaran dengan baik adalah anak-anak dari penduduk yang bekerja sebagai karyawan PT. Sarang Sapta Putra.

Pada awalnya, warga Desa Tumbang Olong tidak begitu menganggap penting pendidikan. Banyak anak-anak sekolah yang membolos karena anak-anak tersebut diajak berladang oleh orang tua mereka. Seringkali guru-guru harus mengalah terhadap pola kegiatan berladang dan membiarkan murid tidak mengikuti proses belajar-mengajar dengan cara meliburkan kegiatan sekolah atau anak-anak yang bekerja membantu orang tua di ladang.

(14)

3.3 Sosial Ekonomi dan Budaya

3.3.1 Sumber Mata Pencaharian Penduduk dan Sistem Pemanfaatan Sumberdaya

(15)

Gambar 4

(16)

a. Berladang.

Aktivitas pertanian berladang berpindah (shifting/swidden cultivation) merupakan aktivitas mata pencaharian yang umum dilakukan penduduk Desa Tumbang Olong untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Bagi sebagian besar penduduk, berladang masih dianggap sebagai pekerjaan yang harus diutamakan4.

Kegiatan berladang biasanya dimulai dengan melakukan penebasan pada sekitar bulan Juli dan pembakaran ranting-ranting pohon pada bulan Agustus. Kedua kegiatan tersebut merupakan kegiatan penyiapan lahan. Biasanya kegiatan seperti ini selain dilakukan dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga5 juga dilakukan secara bergotong royong dengan keluarga-keluarga lainnya untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja. Keluarga yang telah membantu keluarga lain dalam penyiapan lahan, berhak untuk meminta bantuan dari keluarga lain tersebut, ketika tiba gilirannya untuk menyiapkan lahan perladangannya.

Penanaman padi6 dilakukan sekitar bulan September-Oktober ketika mulai musim hujan dan panen dilakukan sekitar bulan Maret dan April. Setelah panen, dengan tersedianya lahan hutan yang masih luas, biasanya lahan yang telah dibuka itu tidak ditanami lagi. Kegiatan perladangan berikutnya dilakukan dengan membuka lahan hutan lainnya dan seterusnya. Lahan ladang yang telah dipanen ditinggalkan untuk menghutan kembali hingga suatu saat keluarga yang membuka lahan tersebut kembali lagi ke lahan tersebut untuk berladang. Siklus perladangan berpindah berkisar antara 8 hingga 10 tahun. Seorang informan mengemukakan bahwa biasanya penduduk membuka lahan hutan yang pohon-pohonnya telah berdiameter antara 10-15 cm (diperkirakan telah berumur 8 tahunan). Pada hutan seperti ini dianggap kesuburan lahannya telah kembali sementara pohon-pohonnya tidak terlalu besar dan tidak akan menyulitkan ketika dilakukan penebangan dan pembersihan lahan. Pola perladangan seperti ini, sangat umum dilakukan oleh komunitas Dayak di berbagai tempat di Kalimantan seperti yang dituliskan dalam banyak literatur (lihat misalnya Gunawan dan Abdoellah, 1995).

Pada saat setelah padi ditanam dan menjelang musim panen, relatif sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjaga ladang. Pada saat-saat seperti ini, wkatu yang luang dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa untuk mencari sumber penghidupan lainnya seperti mencari emas atau membuat papan kayu. Untuk memenuhi kebutuhan subsisten

4

Dalam konteks perspektif kebudayaan sebagai sistem adaptasi terhadap lingkungan, berladang bukan semata-mata hanya merupakan cara untuk memenuhi kebutuhan subsistensi (ekonomi) masyarakat, melainkan sebagai basis (infrastruktur) yang menentukan kebudayaan masyarakat secara keseluruhan (lihat misalnya Harris, 1980). Dalam perspektif kebudayaan seperti ini, perubahan pada sistem mata pencaharian, selain karena terjadinya perubahan pada aspek kependudukan, dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek lain dari kebudayaan seperti sistem sosial dan sistem nilai/kepercayaan masyarakat. Bila ini terjadi, maka kebudayaan suatu masyarakat mengalami perubahan; perubahan kebudayaan adalah hasil adaptasi terhadap lingkungan.

5

Sebagaimana diungkapkan di muka, pada saat dibutuhkan tenaga kerja yang banyak, anak-anak sekolah seringkali dilibatkan oleh orang tua mereka untuk ikut menyiapkan lahan untuk perladangan. Dalam kondisi seperti ini, kegiatan belajar-mengajar sering diliburkan oleh Kepala Sekolah/Guru.

6

(17)

lainnya, sebagian penduduk juga melakukan kegiatan mencari ikan, mencari kayu Gaharu atau berburu binatang di hutan. Kegiatan seperti ini, misalnya banyak dilakukan pada bulan Mei dan Juni setelah panen dilakukan.

Sejalan dengan perkembangan sistem perekonomian masyarakat, yang di antaranya dipicu oleh kehadiran perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan maupun pendulangan emas di sungai, sistem kerja sama dalam pengolahan lahan perladangan juga mengalami perkembangan/perubahan. Pola berburuh/sistem upah di bidang pertanian telah dikenal di Desa Tumbang Olong; penduduk laki-laki maupun perempuan yang bekerja sebagai buruh tani mendapatkan upah sebesar Rp. 20000/hari dan makan. Namun, dalam praktiknya, tenaga kerja buruh tani ini sulit didapat karena pada saat yang bersamaan masing-masing keluarga memiliki lahan ladang yang harus digarap.

Dalam penanaman padi ladang, untuk menanami lahan dengan luas sekitar 1 hektar, dibutuhkan bibit padi sejumlah kurang lebih 3,5 blek (wadah dari kaleng yang berukuran sekitar 20 liter). Dengan bibit padi yang ditanam sebanyak ini, seorang informan mengemukakan bahwa pada panen yang terakhir yang bersangkutan memperoleh padi sebanyak 20 karung yang diperkirakan akan menghasilkan beras sebanyak 800 kg (40 kg beras/karung). Jumlah beras tersebut cukup untuk dikonsumsi oleh keluarganya yang berjumlah 7 orang (termasuk kerabat yang tinggal serumah) selama setahun.

(18)

Gambar 5

Padi hasil panen perladangan berpindah dan Penjualan sayur mayur hasil kebun

Dalam melakukan perladangan berpindah, penggunaan lahan untuk ladang biasanya diatur oleh dan atau atas sepengetahuan Kepala Desa dan Kepala Adat7. Secara adat, informan-informan yang diwawancarai menyatakan bahwa wilayah perladangan mereka mencakup kawasan hutan yang berada di wilayah Desa Tumbang Olong8 (claim adat) walaupun dalam praktiknya wilayah perladangan penduduk yang terjauh terletak tidak lebih dari sekitar 5 hingga 10 km dari perkampungan9. Dengan dibukanya jalan-jalan untuk kepentingan kegiatan pembalakan kayu (logging) oleh perusahaan-perusahaan kayu, terdapat kecenderungan di kalangan penduduk untuk membuka lahan perladangan di tepi atau sekitar jalan logging tersebut. Pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa beberapa daerah yang berdekatan dengan jalan tersebut sudah dijadikan ladang oleh penduduk Desa Tumbang Olong (Gambar 6). Kemudahan mengakses lahan di tepi jalan

logging tersebut menjadi pertimbangan penduduk untuk membuka ladang.

7

Wawancara dengan informan mengindikasikan bahwa Kepala Desa lebih berperan dalam penentuan lahan untuk perladangan.

8

Wawancara dan observasi lapangan tidak memperoleh informasi mengenai batas wilayah desa secara jelas, kecuali beberapa batas alam seperti sungai yang dijadikan sebagai batas wilayah desa.

9

(19)

Gambar 6

Lahan bekas ladang di tepi jalan logging

Dalam membuka lahan untuk perladangan, penduduk asli (Dayak Ot Danum) dapat membuka ladang secara bebas selama lahan tersebut berada di dalam wilayah desa. Lahan yang dibuka cenderung menjadi “milik/dikuasai” oleh yang membuka lahan dan dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada orang lain dengan ganti rugi/”dijual”, namun harus dengan sepengetahuan Kepala Desa. Orang luar, misalnya orang Dayak Bakumpai atau lainnya seperti orang Flores yang bermukim di Desa Tumbang Olong, dimungkinkan pula melakukan perladangan di wilayah Desa Tumbang Olong dengan seijin Kepala Desa dan atau dengan cara “membeli” lahan dari penggarap sebelumnya.

Sistem penguasaan lahan seperti ini menampakkan kemiripan dengan sistem penguasaan lahan di desa-desa lain atau di wilayah kecamatan lain, misalnya di desa-desa di wilayah kecamatan Laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya. Laporan yang dibuat oleh PT. Bita Bina Semesta (dalam persiapan) mengenai social economic baseline study,

khususnya untuk kegiatan pertambangan yang akan dikelola oleh PT. Maruwai Coal, menunjukkan bahwa lahan-lahan ladang yang telah dibuka dan kemudian banyak di antaranya yang ditanami dengan tanaman karet “dikuasai/dimiliki” secara individual oleh penduduk. Lahan-lahan “milik” penduduk yang terkena kegiatan proyek penambangan dikompensasi dengan sejumlah uang yang diberikan kepada “pemilik” atau yang “menguasainya”, sementara untuk lahan yang dinyatakan sebagai lahan adat dikompensasi dengan pemberian uang “tali asih” (goodwill payment).

(20)

Berbeda dengan penduduk di desa-desa di Kecamatan laung Tuhup dan Kecamatan Barito Tuhup Raya10, penanaman karet di bekas ladang atau lahan lainnya tampak tidak menonjol di Desa Tumbang Olong. Beberapa tahun yang lalu, penduduk Tumbang Olong pernah menanam Pohon Karet11. Namun karena harga karet dinilai rendah, usaha karet tidak berkembang lebih lanjut.

Sebagaimana dikemukakan di atas, sistem perladangan berpindah merupakan sistem mata pencaharian yang utama bagi sebagian besar penduduk. Namun demikian, seiring dengan berkembangnya sistem perekonomian masyarakat/desa yang di antaranya dipicu oleh kehadiran perusahaan perkayuan, terdapat kecenderungan perubahan orientasi dalam sistem mata pencaharian, khususnya di kalangan generasi muda yang lebih berorientasi pada jenis pekerjaan di perusahaan dengan sistem upah. Pada sebagian penduduk, dengan bekerja di perusahaan, mereka tidak sempat lagi untuk melakukan kegiatan berladang. Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok (beras) mereka melakukannya dengan cara membeli. Beberapa penduduk yang bekerja di perusahaan, dapat membeli kebutuhan pokok tersebut di koperasi karyawan perusahaan yang menyediakan berbagai kebutuhan bagi karyawan dan juga penduduk Desa Tumbang Olong pada umumnya.

Gambar 7

Koperasi PT. Sarang Sapta Putra menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi karyawan, sebagian di antaranya adalah penduduk Desa Tumbang Olong

10

PT. BBS (dalam persiapan) melaporkan bahwa tanaman karet telah diperkenalkan kepada penduduk di Desa Muara Maruwai dan Batu Bua (sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Laung Tuhup), sejak tahun 1914. Usaha budidaya tanaman karet berkembang terutama sejak 1970an dengan diperkenalkannya bibit karet unggulan di Desa Tumbang Baloi dan sekitarnya (sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Barito Tuhup Raya). Di desa-desa di kedua kecamatan ini, hampir setengah penduduknya bergantung pada tanaman karet sebagai sumber cash income.

11

(21)

b. Pendulangan Emas.

Sistem pertanian berladang berpindah sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk dilakukan setahun sekali dan sangat bergantung pada hujan. Pada musim kemarau, kegiatan usaha sebagian penduduk beralih ke kegiatan pendulangan emas secara tradisional di Sungai Murung.

Pada masa-masa permukaan air sungai turun ketika musim kemarau, Desa Tumbang Olong menjadi desa yang ramai dengan kedatangan para pencari emas. Biasanya hal itu berlangsung selama 2 bulan pada saat puncak kemarau atau sekitar bulan Juli dan Agustus. Berbagai kebutuhan pokok mengalami peningkatan harga, bahan bakar solar misalnya meningkat dari yang biasanya Rp. 10.000/liter menjadi Rp. 15.000/liter.

Dari kegiatan penambangan emas dengan menggunakan alat penyedot yang ditempatkan di atas rakit/perahu (katok), dalam satu hari bisa didapatkan rata-rata sekitar 10 gram emas murni dengan harga jual mencapai Rp. 140.000/gram. Walaupun demikian beberapa informan mengemukakan bahwa faktor nasib juga menentukan dalam pekerjaan mencari emas ini. Satu unit perahu katok yang dimiliki oleh seseorang biasanya diawaki oleh 5 hingga 6 orang yang berbagi tugas dalam pencarian emas. Hasil penjualan emas yang diperoleh akan dibagi dua antara pemilik perahu katok dan awak perahu katok setelah dipotong dengan semua biaya operasi pencarian emas. Setengah dari hasil bersih tersebut kemudian dibagi secara merata di antara awak perahu

katok.

Beberapa orang informan menceritakan bahwa apabila kegiatan mendulang emas ini sudah dimulai, bagi orang-orang yang beruntung penghasilan sekitar 5 juta hingga 10 juta bisa didapatkan dalam waktu satu bulan bekerja. Sebagian dari penghasilan ini seringkali digunakan untuk merayakan keberhasilan pekerjaan dengan dengan berfoya-foya minum tuak yang menjadi kebiasaan mereka.

Gambar 8

(22)

c. Pencarian Kayu Gaharu.

Selain pencarian emas, sejumlah kecil penduduk terbiasa melakukan pekerjaan mencari kayu Gaharu (aquilaria beccariana) yang bernilai ekonomi tinggi. Beberapa informan mengemukakan bahwa kayu tersebut sudah sangat sulit dicari, sehingga seringkali memerlukan waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan kayu ini dengan jarak jelajah yang jauh. Pada saat penelitian dilakukan diperoleh informasi bahwa ada satu keluarga yang berhasil mendapatkan kayu langka tersebut. Pada saat itu diperkirakan Gaharu yang diperoleh bernilai Rp. 10.000.000/kg.

d. Pencarian Kayu Ulin.

Produk hutan lain yang biasa dijadikan sumber pencaharian penduduk adalah Kayu Ulin. Pencarian kayu ini biasanya dilakukan secara berkelompok, namun berbeda dengan kayu Gaharu, Kayu Ulin relatif masih banyak terdapat di hutan-hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Pada saat penelitian, didapati tiga orang informan yang akan menebang kayu Ulin dengan jarak lokasi pohon tersebut relatif tidak jauh karena bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam dari Desa Tumbang Olong. Kayu ulin yang sudah dipotong menjadi papan dan dijual di Desa Tumbang Olong dengan harga Rp.1.250.000/m3, sementara yang berbentuk batang Rp. 1,500.000/m3.

e. Penangkapan Burung.

Jenis sumber daya alam lainnya yang biasa diperjualbelikan adalah burung. Jenis-jenis yang biasa ditangkap adalah Tinjau Gunung atau Murai Batu dengan harga bisa mencapai Rp. 5 juta/ekor. Selain itu juga diperjualbelikan burung-burung lainnya, misalnya burung caling (betet) yang dijual dengan harga Rp. 50.000/ekor. Burung-burung tersebut masih mudah didapati di hutan-hutan sekitar Desa Tumbang Olong. Biasanya setelah ditangkap burung-burung tersebut dilatih terlebih dahulu oleh penangkapnya sebelum dijual.

f. Sarang Burung Walet.

Walaupun dalam jumlah yang terbatas, ditemukan pula sumber mata pencaharian penduduk yang berasal dari penjualan sarang Burung Walet. Lokasi sarang burung walet yang menjadi milik penduduk Tumbang Olong (Dayak Ot Danum) adalah di daerah yang dikenal dengan sebutan Gunung Bahio.

(23)

bersih yang diperoleh informan selama dua tahun berjumlah sekitar Rp.80.000.000 yang menurut pengakuannya digunakan untuk melaksanakan ibadah haji bersama istrinya.

Jumlah penduduk Desa Tumbang Olong yang melakukan kegiatan pengumpulan sarang burung walet tidak banyak. Selain karena jumlah guanya hanya sedikit dan lokasinya jauh, biaya operasi yang diperlukan juga relatif tinggi.

g. Penangkapan Ikan.

Kegiatan menangkap ikan di Sungai memberikan sumber protein selain binatang buruan hutan. Penangkapan ikan biasanya dilakukan pada saat permukaan air sungai tidak dalam keadaan tinggi. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga, hasil ikan yang diperoleh juga biasa dijual terutama kepada pekerja-pekerja perusahaan yang berada di camp-camp di sekitar Desa Tumbang Olong.

Jenis ikan yang ditangkap di antaranya adalah ikan Tapah atau ikan Patin. Ikan-ikan tersebut laku dijual dengan harga antara Rp. 20.000 hingga Rp. 25.000/kg. Lokasi penangkapan ikan ini biasanya di Sungai Murung arah ke hulu dan hilir Desa Tumbang Olong (Gambar 4).

Gambar 9

Penduduk Desa Tumbang Olong sedang memperbaiki jaring untuk menangkap ikan

h. Buruh/Karyawan Perusahaan/Pabrik.

(24)

Pada saat penelitian dilakukan, kegiatan PT. SSP sudah mulai menurun dan program pengurangan tenaga kerja telah mulai dilakukan. Pada bulan April 2007 sekitar 200 pekerja telah diberhentikan, sehingga jumlah yang masih bekerja tinggal sekitar 600 karyawan. Wawancara dengan karyawan PT SSP mengungkapkan bahwa sejak tahun 2005 PT. SSP tidak lagi menerima pegawai tetap (permanen). Sistem yang berlaku adalah sistem borongan, dalam hal ini upah dihitung berdasarkan banyaknya pekerjaan penyusunan kayu yang bisa dilakukan oleh karyawan selama jam kerja (1 shift).

Dengan sistem demikian, rata-rata pekerja di PT. SSP bisa mendapat upah sebesar Rp.700.000 hingga Rp. 1.000.000 per-bulan, termasuk biaya lembur yang dihitung sebesar Rp. 4.500/jam.

Selain berasal dari penduduk Desa Tumbang Olong atau desa-desa lain di Kecamatan U’ut Murung, Kecamatan Seribu Riam dan Kecamatan Sumber Barito, pegawai PT. SSP ada juga yang berasal dari desa-desa lain, misalnya, di Kecamatan Laung Tuhup. Sensus yang dilakukan di 21 desa di sekitar kegiatan pertambangan batu bara PT. Maruwai (PT. BHPB 2007) mengidentifikasi 17 orang pegawai PT. SSP yang berasal dari Desa Muara Laung I (6 orang), Muara Tuhup (7 orang), Tawai Haui (2 orang), dan Muara Maruwai I serta Makunjung, masing-masing 1 orang.

3.3.2 Warisan Budaya (Arkeologi)

Studi lapangan yang dilakukan tidak berhasil mengidentifikasi informasi tentang warisan budaya masyarakat di Desa Tumbang Olong dan sekitarnya. Sebagaimana dikemukakan dalam bagian sejarah perkembangan desa, kawasan perkampungan Desa Tumbang Olong yang dihuni sekarang baru mulai dihuni sejak tahun 1960an, sebelumnya penduduk tinggal di sekitar Sungai Olong. Berkaitan dengan warisan budaya, Undang-Undang No. 9 tahun 1992 tentang arkeologi menyatakan bahwa objek yang memiliki nilai ilmiah, sejarah, dan arkeologis adalah benda-benda yang berumur di atas 50 tahun atau yang mengandung nilai-nilai budaya tertentu.

Merujuk kepada Undang-undang ini, kemungkinan besar di wilayah Desa Tumbang Olong yang sekarang tidak akan ditemukan benda-benda yang dikategorikan sebagai warisan budaya. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa warisan budaya, khususnya yang berbentuk atau berbahan kayu (wooden archaelogical remains)12 terdapat di sekitar desa, yang dibawa ke Desa Tumbang Olong dari permukiman lama di sekitar Sungai Olong (Desa Olong).

12

(25)

3.4 Kesehatan Masyarakat

3.4.1 Sarana Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Sarana kesehatan di Desa Tumbang Olong, pada awalnya hanya berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) dengan satu orang tenaga Mantri Kesehatan yang didirikan sekitar tahun 1995 bersamaan dengan dimulainya kegiatan Klinik Karyawan di PT. Sarang Sapta Putra. Selama ini Pustu dan Klinik inilah yang bekerja memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Mulai tahun 2002, Pustu ini mendapat penambahan tenaga medis 1 orang Dokter walaupun saat itu masih menginduk ke Puskesmas di Kecamatan Sumber Barito.

Sejalan dengan rencana pemekaran kecamatan, sejak Januari 2007 status Puskesmas Pembantu Tumbang Olong ditingkatkan menjadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dengan wilayah kerjanya mencakup Desa Kalasin dan Desa Tujang. Walaupun termasuk wilayah yang harus dilayani, dalam praktiknya desa-desa tersebut jarang dikunjungi karena terkendala oleh biaya transportasi yang mahal untuk mencapai desa-desa tersebut.

Upaya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilakukan pula dengan membentuk dua buah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), masing-masing di Desa Tumbang Olong 1 dan di Kompleks Perumahan Karyawan PT. SSP (Desa Tumbang Olong 2). Sejauh ini, kegiatan pelayanan kesehatan di kedua Pos Yandu tersebut belum berjalan dengan baik.

Gambar 10

Pusat Kesehatan Masyarakat di Desa Tumbang Olong

3.4.2 Penyakit, Pengobatan Medis dan Pengobatan Tradisional

(26)

kebiasaan meminum air mentah13. Penduduk setempat meyakini bahwa air mentah lebih murni dan memberi rasa segar terhadap tubuh dibanding dengan air yang sudah dimasak. Wawancara dengan Dokter Kepala dan staf Puskesmas lainnya mengungkapkan bahwa kebiasaan seperti itu tampaknya berkorelasi dengan tingginya prevalensi penyakit Diare yang diderita penduduk. Jenis penyakit lain yang tinggi prevalensinya adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Malaria.

Berkenaan dengan jenis-jenis penyakit yang banyak diderita oleh penduduk, kegiatan pengumpulan data di lapangan tidak mendapatkan data mengenai ini. Puskesmas Tumbang Olong yang baru dibentuk (sebelumnya adalah Puskesmas Pembantu) belum memiliki catatan yang tertata dengan baik. Terlepas dari ini, jenis-jenis penyakit yang banyak diderita oleh penduduk Tumbang Olong seperti di atas menunjukkan kemiripan dengan jenis-jenis penyakit yang umum diderita oleh penduduk di tingkat Kabupaten Murung Raya (Tabel 3, Tabel 4).

Kondisi kesehatan masyarakat yang kurang baik, menurut Kepala Puskesmas dan staff lainnya, diperburuk oleh tingkat kepercayaan dan pemahaman penduduk terhadap pengobatan medis yang relatif rendah. Praktik pengobatan tradisional masih merupakan cara yang dianggap paling sesuai oleh penduduk. Seringkali pasien dibawa berobat ke Puskesmas dalam keadaan yang sudah mengkhawatirkan karena lebih dahulu ditangani dengan cara pengobatan tradisional. Demikian pula dalam perawatan ibu hamil dan praktek persalinan, peran bidan kampung (dukun beranak) masih dominan.

Keyakinan penduduk terhadap penyebab penyakit dan praktik pengobatan tradisional sangat terkait erat dengan sistem kepercayaan kepada hantuan (mahluk halus penyebab penyakit) dan dukun14. Salah satu jenis penyakit yang masih diyakini berasal dari hantuan ini adalah

sugak. Keluhan yang dirasakan oleh penderita sugak adalah rasa nyeri di daerah ulu hati dan biasanya terasa secara mendadak. Penduduk setempat sangat percaya bahwa penyakit ini tidak boleh diobati dengan cara disuntik karena bisa berakibat kematian. Hal ini berkaitan erat pula dengan persepsi bahwa sugak merupakan akibat dari kapuhunan yaitu perilaku menangguhkan/membatalkan atau tidak menyelesaikan sesuatu hal yang sudah diniatkan. Selain sugak, penduduk setempat juga meyakini masih banyak berkembang penyakit yang disebabkan oleh teluh.

13

Berdasarkan penelitian di wilayah Kecamatan Laung Tuhup, Hanson (1999) melaporkan bahwa air dipercaya oleh masyarakat sebagai bukan pembawa penyakit, karena itu seringkali mereka tidak menganggap perlu untuk memasak air terlebih dahulu untuk keprluan minum.”… “Penyakit dianggap sebagai sesuatu (miasma) yang melayang di udara yang dapat “jatuh” menimpa “jiwa” seseorang.

14

(27)

Table Sos-3

10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit Puruk Cahu, 2005

No. Jenis Penyakit Jumlah Kasus

1 ISPA 396

Sumber: Center for Health Research University of Indonesia and PT. Billiton Indonesia, 2006

Table 4.

10 Jenis Penyakit yang Banyak diderita Pasien di Rumah Sakit Muara Teweh, 2005

No. Diseases No. of Cases

1 ISPA 1311

2 Diarrhoea 415

3 Gastritis 241

4 Gingivitis and Peri apical 214

5 Dermatitis 201

Sumber: Center for Health Research University of Indonesia and PT. Billiton Indonesia, 2006

Untuk pengobatan penyakit-penyakit seperti itu, yang dianggap berperan penting adalah dukun. Prosedur pengobatan oleh dukun ini biasanya diawali dengan sengeang (diagnosa magis). Dukun yang dianggap mampu akan melakukan sengeang hingga didapatkan “informasi permintaan sesajen” dari hantuan yang mengganggu pasien. Permintaan macam dan jenis sesajen dari mahluk halus (hantuan) ini harus dipenuhi agar mahluk halus tersebut pergi dan penyakitnya hilang. Jika tidak dipenuhi dengan lengkap, mahluk halusnya akan kembali lagi untuk menagih kekurangan dan penyakit pasien akan kambuh.

(28)

bahwa, setidaknya ada 5 orang yang dipercaya mampu melakukan pengobatan sebagai dukun tradisional di Desa Tumbang Olong.

Pengetahuan tentang pola makan sehat dan pemenuhan kecukupan gizi penduduk juga masih perlu ditingkatkan. Kebiasaan memakan sayuran dan buah-buahan masih terbatas pada sayuran dan buah-buahan yang berasal dari hutan seperti terung hutan, daun pakis, umbut, atau jantung pisang hutan. Sementara itu untuk kebutuhan protein, penduduk memiliki kebiasaan untuk memakan ikan tangkapan yang berasal dari Sungai Murung dan sekitarnya. Apabila air naik pada musim hujan dan ikan lebih sulit ditangkap, biasanya dilakukan perburuan khewan hutan yang banyak menyeberangi sungai seperti payau (rusa) atau babi15.

3.4.3 Perumahan dan Sistem Layanan Air Bersih

Rata-rata rumah penduduk setempat berbentuk rumah tunggal sederhana terbuat dari kayu ulin yang banyak diperoleh dari wilayah hutan di sekitar perkampungan. Bentuk rumah sederhana ini merupakan hasil dari pembangunan dan pengembangan masyarakat yang disponsori oleh PT. Sarang Sapta Putra.

Berdasarkan keterangan beberapa informan, kondisi rumah kayu yang terlihat rapi, teratur dengan jendela untuk sirkulasi udara yang lebar ini baru dimulai sejak sekitar tahun 1992. Sebelumnya rumah-rumah penduduk hanya terbuat dari kulit-kulit kayu yang ditutup dengan atap dari alang-alang. Beberapa rumah, termasuk kelompok rumah di blok Kepala Desa, sekitar Sekolah Dasar/perumahan Guru SD, dibuatkan secara gotong-royong dengan bantuan kayu dan pendanaan dari PT. SSP. Sejalan dengan perkembangan perekonomian penduduk maka hampir seluruh penduduk memiliki rumah yang terbuat dari kayu yang rapi dan atap seng.

Selama observasi dilaksanakan di lokasi Desa Tumbang Olong, tidak ditemukan rumah yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan atap alang-alang. Di beberapa halaman terlihat antene parabola yang mengesankan bahwa penduduk Desa Tumbang Olong sudah lebih terbuka terhadap informasi dan relatif mampu secara ekonomi.

Beberapa rumah penduduk sudah dilengkapi dengan sarana penerangan listrik yang berasal dari Genset, tetapi dari beberapa penduduk yang berhasil ditemui menyatakan bahwa penggunaan genset tidak terus-menerus dilakukan setiap malam, listrik hanya digunakan pada malam-malam tertentu pada saat tersedia minyak solar.

Untuk melakukan aktivitas mandi, cuci dan kakus (MCK), sejak tahun 2002 penduduk Desa Tumbang Olong sudah mendapatkan saluran air bersih yang berasal dari mata air yang ditampung dalam bak penampungan yang berasal dari sumbangan perusahaan PT. SSP.

15

(29)

Bahkan pada tahun 2006, bak penampungan air dengan sumber mata air ini bertambah dengan bantuan dari pemerintah. Dengan adanya dua bak penampungan air bersih ini, saluran air bersih yang bisa dipergunakan untuk masak sudah bisa disalurkan ke rumah-rumah penduduk.

Dari hasil observasi di lapangan adanya pengaliran air ke rumah-rumah ini mendorong pembuatan sarana MCK di rumah sendiri. Terlihat beberapa rumah sudah memiliki MCK sendiri. Namun demikian, di rumah-rumah yang bahannya didominasi oleh kayu tersebut, melakukan penampungan air di kamar mandi yang mereka buat terlihat sulit kecuali apabila menggunakan drum-drum bekas. Hal ini pula yang tampaknya memotivasi perusahaan PT. BHP Billiton untuk menyumbangkan sebanyak 287 tong air (drum) kepada penduduk Desa Tumbang Olong. Selain itu pengaliran air buangan terlihat masih belum dikelola dengan baik. Pembuangan masih memanfaatkan saluran sungai kecil atau selokan yang berada di sekitar rumah.

Dengan kondisi tersebut, sebagian penduduk masih tetap menggunakan Sungai Murung untuk melakukan aktivitas mandi, cuci, kakus. Selain sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, lokasi-lokasi MCK ini terlihat memiliki fungsi sebagai media untuk bersosialisasi. Pada saat penelitian dilakukan setidaknya terdapat dua buah rakit panjang yang terbuat dari kayu yang biasa digunakan untuk aktivitas MCK penduduk.

3.5 Persepsi Tentang Proyek

3.5.1 Pengetahuan Tentang Rencana Kegiatan Eksplorasi Tambang BHP Billiton di Bumbun

Merujuk pada informasi dari pihak pemrakarsa, kegiatan eksplorasi di Bumbun pernah disosialisasikan kepada masyarakat bahkan pernah terjadi proses ganti rugi tanaman karet di lokasi Quarry. Namun demikian tampaknya penduduk belum/tidak memahami dengan jelas tentang tahapan kegiatan dan kemungkinan-kemungkinan dampak atau pengaruh yang akan diterima oleh mereka.

Wawancara dan diskusi dengan beberapa informan, memberikan gambaran bahwa sosialisasi belum tersebar dengan merata dan informasi yang terserap oleh penduduk juga masih terbatas. Tahapan kegiatan dan aktivitas yang dilakukan selama ini yang masih terbatas dan berada jauh dari wilayah permukiman bisa jadi merupakan salah satu penyebab penduduk tidak begitu merasa perlu untuk mendapatkan informasi tambahan dari kegiatan yang dilaksanakan.

Sementara itu beberapa penduduk setempat yang terserap di kegiatan proyek sebagai tenaga kerja juga tidak bisa memberikan informasi kepada penduduk. Informasi yang dimiliki para pekerja lokal ini juga terbatas dan dibatasi oleh kewenangan dalam menyampaikan informasi kepada penduduk. Kondisi yang kemudian terjadi adalah terbentuknya kesenjangan informasi antara kegiatan dengan penduduk di Desa Tumbang Olong.

(30)

3.5.2 Persepsi Tentang Risiko dan Manfaat Kegiatan

a. Persepsi Terhadap Resiko Proyek.

Kegiatan pembangunan selalu menghasilkan resiko dan manfaat dan hal ini berlaku pula dalam kegiatan eksplorasi tambang. Persepsi penduduk tentang manfaat dan resiko kegiatan yang akan mereka terima merupakan hal yang penting untuk diketahui agar bisa merencanakan setepat mungkin penanganan yang harus dikembangkan dalam masyarakat.

Wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan mengindikasikan bahwa penduduk belum memiliki pemahaman tentang risiko yang dapat timbul dari kegiatan eksplorasi. Terlihat bahwa kejelasan batas wilayah eksplorasi hanya diketahui oleh sebagian kecil penduduk tertentu. Sebagian besar penduduk tidak menyadari bahwa area eksplorasi tersebut mencakup wilayah hulu Sungai Bumbun atau aliran Sungai Laas yang kemudian masuk ke Sungai Murung (penduduk setempat lebih mengenal dengan sebutan Sungai Barito), yang banyak terkait secara langsung dengan aktivitas mereka seperti kegiatan MCK, menangkap ikan atau pendulangan emas.

Beberapa penduduk yang sedikit mengetahui tentang batas area eksplorasi dan posisinya dengan wilayah hulu S. Bumbun atau aliran S. Laas, juga tidak mengekspresikan kecemasan terhadap dampak yang mungkin timbul dari kegiatan eksplorasi tersebut atau keyakinan bahwa kegiatan eksplorasi tidak akan menimbulkan dampak yang merugikan mereka. Hal ini bisa terjadi karena tahap-tahap kegiatan eksplorasi tidak diketahui oleh sebagian besar penduduk.

b. Persepsi Terhadap Manfaat Proyek.

Keterbatasan informasi yang diterima penduduk pada proses sosialisasi terlihat pada wawancara yang berkaitan dengan persepsi penduduk terhadap manfaat kegiatan (proyek). Pola pendekatan yang selama ini dilakukan oleh PT. SSP sudah membentuk pencitraan di masyarakat bahwa perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah mereka akan menjadi penyumbang bagi keperluan-keperluan penduduk.

Dalam diskusi yang dilakukan dengan aparat dan tokoh setempat, pencitraan bahwa perusahaan tambang (milik orang asing) memiliki modal dan kekayaan yang besar seolah sudah terbentuk. Seragam dan atribut, aturan-aturan kedisplinan para pekerja, hingga jenis kendaraan yang digunakan, menjadi bahan perbandingan dan penilaian oleh penduduk.

(31)

Pada gilirannya, persepsi yang berkembang mengenai manfaat yang bisa diterima oleh penduduk berkaitan dengan adanya kegiatan eksplorasi adalah harapan terhadap adanya berbagai bantuan terhadap penduduk. Bentuk-bentuk permintaan yang implisit dan tema-tema tentang bentuk-bentuk proposal banyak dimunculkan dalam diskusi. Di sisi lain perbedaan karakteristik antara perusahaan kayu (PT. SSP) dengan perusahaan Tambang yang berpengaruh terhadap jumlah tenaga kerja lokal yang bisa diserap dan tingkat keahlian yang disyaratkan, sepertinya belum difahami oleh penduduk Desa Tumbang Olong.

Gambar 11

(32)

4.0. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kajian cepat (rapid assessment) tentang aspek sosial dan kesehatan masyarakat yang dilakukan di Desa Tumbang Olong berkaitan dengan rencana kegiatan eksplorasi pertambangan di wilayah “Three Corners” mengemukakan beberapa pokok persoalan (issues) sebagai berikut:

1. Ketergantungan yang besar terhadap perusahaan dan tingkat pendidikan yang rendah

Secara tradisional masyarakat Tumbang Olong bergantung dari sektor pertanian/sumber daya alam yang tersedia di lingkungan mereka, berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Orientasi pekerjaan sebagian masyarakat mengalami perubahan seiring dengan beroperasinya beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas operasionalnya di sekitar Desa Tumbang Olong sejak tahun 1980-1990an.

Secara signifikan kehadiran beberapa perusahaan di Desa Tumbang Olong telah mempengaruhi orientasi kerja penduduk, khususnya kalangan generasi muda. Perubahan orientasi kerja ini, diindikasikan oleh keinginan dan ketergantungan mereka untuk bekerja di perusahaan yang dianggap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dan mapan. Ketergantungan ini bukan hanya dalam kaitannya dengan keinginan untuk memperoleh pekerjaan, melainkan juga ketergantungan untuk memperoleh manfaat lain misalnya berupa pembangunan sarana dan prasarana sosial atau kesehatan.

Dengan menurunnya kegiatan salah satu perusahaan, dalam hal ini salah satu perusahaan kayu yang beroperasi di Desa Tumbang Olong, ketergantungan yang tinggi terhadap perusahaan tersebut akan “beralih” kepada perusahaan-perusahaan lain atau perusahaan-perusahaan yang akan beroperasi di sana, misalnya PT, BHPB.

Selain itu, secara umum terindikasi bahwa tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Namun demikian kehadiran beberapa perusahaan kayu di Desa Tumbang Olong, dalam batas tertentu telah meningkatkan skill sebagian penduduk dengan bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut.

Berkaitan dengan rencana kegiatan eksplorasi, isu tentang ketergantungan ini perlu lebih diperhatikan oleh PT. BHPB; perhatian dan prioritas harus diberikan kepada penduduk desa untuk terlibat dalam kegiatan eksplorasi, sesuai dengan kebijakan perusahaan yang akan memberikan kesempatan kepada penduduk lokal untuk bekerja di perusahaan.

2. Kegiatan perladangan/kebun dan identifikasi lahan untuk kegiatan eksplorasi

Kajian yang dilakukan secara cepat khususnya tentang aktivitas perladangan berpindah mengindikasikan bahwa lokasi kegiatan perladangan penduduk Desa Tumbang Olong pada umumnya terletak di sekitar desa. Namun demikian dengan adanya claim

(33)

pendataan/identifikasi lahan dan tanam-tumbuh untuk eksplorasi dan pembangunan camp perlu dilakukan secara cermat untuk menghindarkan konflik dengan masyarakat atau untuk menghindarkan claim yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

3. Warisan budaya dan lokasi/tempat keramat/kuburan leluhur

Kajian cepat yang dilakukan tidak berhasil mengidentifikasi keberadaan warisan budaya leluhur penduduk Desa Tumbang Olong. Namun demikian, dengan merujuk pada masyarakat lain di Kecamatan Laung Tuhup dan Barito Tuhup Raya sangat dimungkinkan bahwa penduduk Tumbang Olong juga memiliki warisan budaya berbahan kayu yang memiliki nilai magis termasuk juga lokasi-lokasi yang mungkin dianggap keramat yang biasanya terdapat di sekitar kampung di kawasan hutan. Berkenaan dengan ini, perlu dilakukan identifikasi yang lebih detil tentang warisan budaya dan lokasi-lokasi yang memiliki nilai sakral/magis untuk menghindarkan terjadinya pelanggaran terhadap adat dalam kegiatan eksplorasi.

4. Pemahaman tentang kegiatan eksplorasi,

Pemahaman penduduk tentang rencana kegiatan eksplorasi pertambangan secara umum terindikasi sangat minim, mereka tidak memiliki pemahaman yang mencukupi tentang kegiatan eksplorasi pertambangan dan hal-hal yang mungkin atau tidak akan terjadi karena kegiatan eksplorasi yang dilakukan. Berkaitan dengan ini, kegiatan sosialisasi perlu diintensifkan dan disampaikan dengan cara yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam.

5. Fasilitas transportasi

(34)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bappeda Kabupaten Murung Raya dan BPS Kabupaten Barito Utara, 2005. Penduduk Kabupaten Murung Raya Tahun 2005.

2. Bita Bina Semesta, PT. (dalam persiapan). Social Economic Baseline Study for BHP Billiton Indonesia Coal Project (ICP) Central Kalimantan.

3. Gunawan, Budhi dan Abdoellah, O.S. 1995. “Forest Management and utilization: A Case of Traditional System of the Wehean Dayak in Diak Lay Village, east Kalimantan” Dalam Kusnaka Adimihardja et al. (eds.), Adaptation and development, Interdisciplinary Perspectives on Subsistence and Sustainability in Developing Countries. Proceedings of International Seminar on Indigenous Knowledge. UPT. Indonesian Research Center for Indigenous Knowledge, Padjadjaran University, Bandung, Indonesia.

4. Hanson, Chris. 1999. The People of Laung Tuhup District. Report on Anthropological Survey Conducted for P.T. Maruwai Coal.

5. Harris, Marvin. 1980. Cultural Materialism. New York: Random House, Inc.

6. Center for Health Research University of Indonesia and PT. Billiton Indonesia. 2006.

Public Health Baseline Survey.

(35)

Head Office:

Jl. Pahlawan No. 74 - Bandung 40124West Java, Indonesia Ph: 62 22 7202748 (Hunt), Fax: 62 22 7202749 E-mail : bita@bita.co.id

Jakarta Office:

Jl. Prof. Dr. Satrio No. 289, 3rdFloor, Karet Kuningan, Jakarta -12930, Indonesia

Phone: 62.21 5790 1030, 7093 1291 , Fax: 62 21 5790 1291 E-mail : bita-eng@indo.net.id

Balikpapan Office:

Gambar

Gambar  2 Kantor Kecamatan Uut Murung
Tabel 1
Gambar 3
Gambar 4 Sketsa lokasi pemanfaatan sumberdaya alam oleh penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian portofolio merupakan metode penilaian berkesinambungan dengan berbagai kumpulan informasi atau dokumentasi hasil pekerjaan seseorangyang diambil selama proses

Pabrik Indonesia – sejak Laporan Kemajuan kami terakhir, TFT telah membantu APP untuk menyelaraskan Supplier Evaluation and Risk Assessment (SERA) atau alat

Dengan menggunakan analisis secara teori dan matematis, hasil penelitian sejauh ini telah menunjukan bahwa implementasi sistem komunikasi wireless melalui sistem network

Remunerasi adalah segala penerimaan yang diterima oleh dan merupakan hak Pegawai Non PNS, baik berupa upah atau gaji termasuk tunjangan atau penerimaan lain yang diberikan

Sehingga dari sini dapat ditarik sebuah pengertian mengenai literasi perpajakan adalah kemampuan atau pengetahuan mengenai pajak, pengetahuan disini diartikan bahwa

Selain itu, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar mahasiswa adalah kemampuan berpikir kritis (KBK) mahasiswa. Hasil penelitian disimpulkan bahwa:

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga skripsi dengan judul “Penerapan

Registrasi citra dengan metode yang diusulkan secara iteratif melakukan penemuan titik-titik fitur yang bersesuaian antara citra reference dan citra floating dan