• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL PENERAPAN KETERAMPILAN ORIGAMI TE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "JURNAL PENERAPAN KETERAMPILAN ORIGAMI TE"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN KETERAMPILAN ORIGAMI TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK LOW VISION DI SDLB NEGERI A CITEUREUP

Tunanetra merupakan keadaan seseorang yang mengalami hambatan atau keterbatasan fungsi penglihatan, baik yang masih memiliki sisa penglihatan maupun yang harus dibantu dengan alat bantu yang selanjutnya disebut dengan Low Vision. Hambatan atau keterbatasan pada fungsi penglihatan banyak memiliki dampak pada mereka, salah satunya pada aspek motorik. Hal ini dikarenakan anak yang memiliki hambatan pada fungsi penglihatan menyebabkan anak kesulitan dalam menggunakan motorik terutama motorik halus. Subjek dalam penelitian ini adalah anak low vision yang memiliki hambatan pada motorik halus, hal ini dikarenakan tidak dilatihnya motorik halus sedari anak masih kecil. Maka dari itu peneliti bermaksud mencari solusi dalam menangani permasalahan tersebut, yakni dengan pemanfaatan media keterampilan origami sebagai media pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan motorik halus anak low vision. Origami merupakan seni dalam melipat kertas yang memiliki manfaat melatih motorik halus anak. Oleh karena itu dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan media keterampilan origami dalam melatih kemampuan motorik halus anak low vision di SDLB Negeri A Citeureup. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan subjek tunggal, desain A-B-A . Hasil penelitian menggunakan presentase dan ditampilkan melalui tabel dan grafik. Berdasarkan analisis data yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan pada kemampuan motorik halus anak setelah diberikan intervensi. Dapat disimpulkan bahwa media yang digunakan dalam melatih motorik halus terutama pada jemari tangan memiliki pengaruh dalam kelenturan jemari dan kekuatan otot jemari tangan, walaupun tidak signifikan. Penerapan media origami dapat diterapkan untuk melatih motorik halus pada tangan. Hal ini dikarenakan dengan origami anak dapat melenturkan dan memperkuat otot jemari tangan, selain itu media ini sangat menyenangkan bagi anak.

Kata kunci: tunanetra, keterampilan origami, kemampuan motorik halus anak low vision

THE IMPLEMENTATION OF ORIGAMI SKILLS TO IMPROVE FINE MOTOR SKILLS CHILDREN WITH LOW VISION AT SDLB NEGERI A CITEUREUP

Abstract: A blindness is circumstances of someone who experiencing the barriers or limitation of visual function, although who still have the vision and the rest should be assisted with tools with called as low vision. The barriers or limitation on visual function has an impact on a lot of them, one of aspect that barriered is the motor aspect. This because children who have barriers of their visual function causes difficulty in using the motor especially for fine motor. The subjects of this research were low vision children who have barriers in fine motor skill and those who are not trained since their still baby. Therefore the researchers intend to seek a solution in dealing with these problems, that is the use of media origami skills to improve fine motor skills children with low vision. Origami is the art of folding paper with fine motor training benefits. Therefore, this research aims to determine the influence of media using origami skills of fine motor skills in children with low vision at SDLB Negeri A Citeureup. As for the methods that is used in this research is the experimental method with a single subject, A-B-A design. The results using percentage and displayed through tables and graphs. Based on the analysis of data, it showed an increases in the fine motor skills after the child is given the intervention. It can be conclude that the media used in the training of fine motor skills, especially for fingers have influence in finger flexibility and muscle strength of the fingers, although it is not significant. The implementation media origami can be applied to train the fine motor skills for hand. This is because with origami, the children can flex and strengthen the muscles of the fingers, in addition that the media is very fun for children.

(2)

PENDAHULUAN

Perkembangan fisik tidak lepas dari otot-otot yang mempengaruhi kemampuan motorik. Namun tidak cukup hanya otot yang dapat mempengaruhi kemampuan motorik. Kematangan syaraf otak juga dapat mempengaruhi kemampuan motorik, yakni dengan sistem syaraf yang mengatur otot untuk mengembangkan keterampilan motorik.

Keterampilan motorik ini dibagi menjadi dua yakni keterampil motorik kasar (gross motor) dan keretampilan motorik halus (fine motor). Keterampilan motorik kasar (gross motor) akan menggunakan gerakan kasar yang melibatkan seluruh otot untuk bergerak, seperti berjalan, berlari, melompat, dan sebagainya. Pada keterampilan motorik halus (fine motor) lebih menggunakan otot-otot kecil yang melakukan gerakan yang lebih kompleks, seperti menulis, melipat, menggambar, dan lain sebagainya.

Hurlock (dalam Syamsu Yusuf LN, 2012, hlm.104) menyebutkan “salah satu fungsi dari perkembangan keterampilan motorik bagi konstelasi perkembangan individu, yaitu melalui perkembangan motorik, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah (school adjusment)”. Pada usia prasekolah (taman kanak-kanak) atau usia kelas-kelas awal

Sekolah Dasar, anak sudah dapat dilatih menulis, menggambar, melukis, dan bergaris-garis.

Apabila dilihat dari fungsi perkembangan motorik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa motorik merupakan tugas perkembangan yang penting. Terutama pada motorik halus yang memegang peran penting saat anak akan memasuki lingkungan Sekolah (school adjusment), pada saat pra sekolah anak telah diajarkan untuk menulis untuk mengasah keterampilan motorik halus.

Penglihatan merupakan salah satu indera yang penting untuk kehidupan sehari-hari. Setiap individu memiliki ketajaman penglihatan (visus) dan lantang pandang yang berbeda. Apabila individu mengalami pengurangan visus dan derajat lantang pandang, maka individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam penglihatan. Dalam dunia pendidikan khusus, individu yang mengalami kesulitan penglihatan seperti yang disebutkan di atas disebut dengan low vision.

(3)

hidup sehari-hari terutama dalam belajar”. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian dari kelompok tunanetra.

Selain pengertian yang disebutkan di atas, Somantri (2006, hlm. 66) juga mendefinisikan tunanetra dengan cara dikelompokan menjadi dua kategori. Berdasarkan dengan ketajaman penglihatan (visus), yaitu :

1. Buta

Dikatakan buta jika sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0)

2. Low vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

Beberapa definisi mengenai Low vision (kurang awas) di atas dapat disimpulkan bahwa low vision termasuk tunanetra yang mengalami pengurangan penglihatan, yaitu memiliki visus kurang (lebih buruk) dari 6/18 pada mata yang terbaik atau luas penglihatan kurang dari 20 derajat diameter.

Pada pemaparan mengenai pengertian motorik halus dan pengertian low vision di atas, yang menjelaskan bagaimana fungsi penglihatan masih erat hubungannya dengan kemampuan motorik halus anak. Penglihatan merupakan salah satu persyaratan dalam penggunaan

kemampuan motorik halus. Namun tidak menutup kemungkinan anak yang mengalami hambatan pada visual tidak dapat menggunakan kemampuan motorik halus. Pada anak tunanetra kategori low vision, anak masih mampu untuk dilatih kemampuan motorik halus. Hanya saja dalam pelatihan motorik halus, harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak.

Namun pada observasi yang telah dilakukan di SLB Negeri A Citeureup kota Cimahi. Terdapat anak yang mengalami hambatan pada kemampuan motorik halus. Terutama pada kemampuan life skill akademik anak, yakni kemampuan menulis. Hal ini dikarenakan tidak adanya pembelajaran kepada anak untuk membaca dan menulis tulisan awas. Selain itu anak juga tidak dilatih dalam penggunaan motorik halus. Oleh karena itu anak tidak mampu dalam memegang pensil dan menggunakan gunting dengan benar.

(4)

melatih motorik halus anak terutama pada otot-otot jemari tangan. Selain itu keterampilan origami juga dapat meningkatkan konsentrasi, ketelitian dan melatih kesabaran anak pada saat membentuk origami menjadi bentuk yang sederhana. Sebagai pertimbangan lain origami yang memiliki dua sisi dengan perbedaan warna setiap sisinya. Warna origami yang kontras satu sama lain, akan mempermudah anak untuk melipat dan membentuk origami menjadi bentuk yang sederhana.

Menggunakan media origami yang mengharuskan anak menggunakan motorik halus dengan melipat kertas diharapkan anak dapat menggunakan kedua tangannya dalam membuat suatu bentuk dan dapat berkonsentrasi dengan baik saat melipat, dengan demikian diadakan penelitian untuk mengetahui sejauh mana media origami ini mampu meningkatkan kemampuan motorik halus anak dalam kemampuaan menulis permulaan pada anak SDLB negeri A Citeureup.

METODE PENELITIAN

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi dalam penelitian ini adalah keterampilan origami.

Seni kreasi melipat kertas dari jepang atau lebih dikenal dengan istilah origami. Hirai (2014, hlm iii) menyebutkan “origami atau seni melipat kertas adalah seni mengubah selembar kertas yang semula tidak berbentuk menjadi bermacam bentuk atau model dengan menggunakan sentuhan seni melipat kertas”. Namun Ichigo (hlm i)menyebutkan origami adalah seni kreasi yang sangat bermanfaaat untuk melatih daya imajinasi, kreasi, kesabaran, keuletan, dan kecerdasan otak kanan pada anak.

Origami memiliki banyak manfaat yakni, meningkatkan kreatifitas anak, mengaktifkan otak anak, dan dapat menjadi sarana komunikasi anak dengan sekitarnya. Selain itu origami juga bermanfaat meningkatkan motorik halus anak, dengan menekan kertas dengan ujung-ujung jari. Cara ini merupakan latihan yang afektif untuk melatih motorik halus.

(5)

yang menggunakan keterampilan origami sebagai berikut:

a. Melipat kertas dengan berbagai macam ukuran origami. Mulai dari ukuran 14×14 cm, 16×16cm, dan 20×20 cm.

b. Anak diminta untuk meremas kertas sebelum diminta untuk melipat

c. Melipat kertas dengan berbagai lipatan dasar, seperti melipat origami menjadi dua bagian menjadi persegi panjang, dan segitiga.

d. Melipat origami menjadi berbagai bentuk dari yang sederhana sampai ke bentuk yang lebih komplek, seperti pohon cemara; bunga; kumbang dan ikan.

Variabel terikat biasa disebut juga dengan variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas, atau merupakan variabel yang menjadi akibat dari variabel terikat. Adapun variabel terikat (target behavior) pada penelitian ini yakni kemampuan motorik halus anak low vision pada aspek menulis permulaan.

Menurut Soendari (dalam Ulfah Saefatul Mustaqimah, 2013, hlm 25) menyebutkan “motorik halus ialah gerak yang hanya menggunakan otot-otot tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil yang membutuhkan koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang baik”. Motorik pada penelitian ini lebih menekankan pada koordinasi gerak dan daya konsentrasi

yang baik. Adapun aspek-aspek yang diukur dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Kelenturan otot-otot jemari tangan b. Kekuatan otot-otot jemari tangan Adapun indikator-indikator yang telah disusun sesuai target behavior yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu:

1) Menggerakan alat tulis

Penilaian yang dilakukan berdasarkan indikator menggerakan alat tulis sebagai berikut:

- Nilai 3 : jika anak mampu mengikuti pola sesuai dengan bentuknya dan tidak keluar dari garis.

- Nilai 2 : jika anak mampu mengikuti pola tetapi keluar dari garis.

- Nilai 1 : jika anak hanya mampu membuat coretan tapi tidak membentuk pola yang telah disediakan.

- Nilai 0 : jika anak tidak mampu membuat coretan.

2) Menebalkan huruf dan kata

Penilaian yang dilakukan berdasarkan indikator menebalkan huruf dan kata sebagai berikut:

- Nilai 3 : jika anak mampu menebalkan huruf sesuai dengan bentuknya dan tidak keluar dari garis.

- Nilai 2 : jika anak mampu menebalkan huruf tetapi keluar dari gaaris.

(6)

membentuk huruf yang telah disediakan.

- Nilai 0 : jika anak tidak mampu membuat coretan.

3) Menyalin huruf dan kata

Penilaian yang dilakukan berdasarkan indikator menyalin alat tulis sebagai berikut:

- Nilai 3 : jika anak mampu menyalin huruf sesuai dengan kata yang telah disediakan.

- Nilai 2 : jika anak tidak mampu menyalin kata dengan lengkap.

- Nilai 1: jika anak hanya mampu membuat coretan tapi tidak mampu menyalin huruf yang disediakan. - Nilai 0 : jika anak tidak mampu

membuat coretan.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen pendekatan SSR (Single Subjek Research). Penelitian SSR ini mengunakan pola desain A-B-A, yang terdiri dari tiga tahapan kondisi A1 (Baseline 1), B (Perlakuan), A2 (baseline 2) yang termasuk salah satu desain dasar SSR. Subjek dalam penelitian ini yaitu anak tunanetra kategori low vision, siswa kelas VI SDLB Negeri A Citeureup.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tunanetra merupakan suatu kondisi seseorang yang mengalami hambatan atau memburuknya fungsi penglihatan, maupun yang masih memiliki sisa pengliahatan namun harus dikoreksi dengan alat bantu. Seseorang yang memiliki sisa penglihatan walaupun sangat terbatas dan harus dikoreksi dengan alat bantu biasanyanya disebut dengan low vision.

Menurut The American Medical Association proposed this definition in 1934, dan sekarang disetujui oleh the American Foundation for the Blind (dalam Hallahan dan Kauffman, 1980, hlm. 310) mendefinisikan:

A legally blind person is said to be one who has visual acuity of 20/200 or less in the better eye even with correction (e.g., glasses) or whose field of vision is so narrowed that its widest diameter subtends an angular distance no greater than 20 degrees.

Dijelaskan bahwa seseorang dikatakan tunanetra apabila ketajaman penglihatannya 20/200 atau kurang pada mata yang terbaik setelah dikoreksi, atau sudut pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat.

(7)

media keterampilan origami sebagai variabel bebas yang mempengaruhi peningkatan motorik halus anak low vision sebagai variabel bebas. Pembuktian ini dilakukan dengan melihat hasil Baseline-1 (A1), intervensi (B), dan Baseline-2 (A2). Adapun kaitan antara pengaruh lahihan keterampilan Origami dengan meningkatkan kemampuan motorik halus terhadap jemari tangan anak adalah dengan berdasarkan kepada hasil analis sebagai berikut.

Fase baseline-1 (A-1) pengambilan data dilakukan sebanyak empat sesi. Pada fase ini telah dianalis di atas bahwa subjek masih cenderung kaku dalam menggerakan alat tulis, cenderung tidak mengikuti pola yang diberikan. Pada aspek kekutan otot jemari tangan subjek mudah lelah dalam mengerjakan soal yang diberikan.

Ketunanetra tentunya berdampak pada beberapa aspek, salah satunya yaitu motorik. Sebagaimana Tarsidi (2008) menyebutkan bahwa ‘anak yang tunanetra biasanya menunjukan keterlambatan dalam perkembangan motoriknya’. Hal ini dikarenakan anak yang memiliki hambatan pada penglihatan memiliki kesulitan dalam menciptakan konsep pada lingkungan sekitarnya, yang menyebabkan anak menjadi tidak termotivasi atau tidak

dapat meniru setiap gerakan yang ada di lingkungan sekitarnya.

Pemaparan di atas telah menjelaskan bahwa anak tunanetra tanpa terkecuali anak low vision mengalami hambatan keterlambatan pada aspek motorik, terutama pada motorik halus. Hal ini dikarenakan motorik halus memerlukan keterampilan koordinasi yang lebih rumit, seperti menulis, melipat, menyusun kubus dan lain sebagainya.

Namun keterampilan motorik halus dapat di tingkatkan, dengan cara melatih anak supaya lebih terampil. Salah satu caranya melatih motorik halus yakni dengan media keterampilan origami. Keterampilan origami banyak dipilih dikarenakan origami merupakan media yang lebih dekat dengan dunia anak, selain itu warna-warna kertas origami yang mencolok memudahkan anak low vision dalam melihat objek tersebut.

(8)

Mulyana (2012, hlm 32) menyebutkan “keterampilan origami memiliki tujuan, yaitu untuk melatih dan mengembangkan kemampuan motorik halus anak melalui latihan kelenturan, koordinasi dan kekuatan otot tangan selama anak melakukan kegiatan pembelajaran origami.” Melalui kegiatan melipat berbagi bentuk origami dengan berbagai teknik diharapkan kelenturan jemari tangan dan kekuatan otot tangan semakin baik.

Tahap terakhir yang dilakukan setelah fase intervensi yaitu fase baseline-2 (A-2). Diharapkan pada fase ini akan terjadinya perubahan yang lebih baik. Fase baseline-2 terjadi sebanyak 4 sesi. Hasil analisis yang dilakukan pada fase ini ditemukan bahwa subjek tidak lagi kaku dalam menggerkan alat tulis. Kekuatan otot tangan subjek lebih kuat, hal ini terbukti dari subjek tidak mudah lelah saat mengerjakan soal yang diberikan. Hal ini dikarenakan subjek dilatih dahulu otot jemari tangannya dengan memanfaatkan keterampilan origami sebagai media pembeljaran.

Dengan berjalannya waktu keterampilan yang lebih rumit akan menjadi life skill yang dimanfaatkan dalam aktivitas sehari-hari dan dalam kegiatan belajar di sekolah. Bunner (dalam Mulliken dan Buckley, 1983, hlm. 147) mengingatkan “practitioners

that for the (nonmotorically) handicapped, fine motor skills may receive the greatest emphasis in training programs since they are important not only to academic success (writing) but also to vocational success (use of tools and utensils)”.

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dan diperlihatkan melalui tabel dan grafik dengan menggunakan desain A-B-A, diketahui bahwa pelaksanaan latihan keterampilan origami dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak, dalam kemampuan menulis permulaan pada subjek DA.

SIMPULAN

(9)

Dapat disimpulkan bahwa media yang digunakan dalam melatih motorik halus terutama pada jemari tangan memiliki pengaruh dalam kelenturan jemari dan kekuatan otot jemari tangan, walaupun tidak signifikan. Penerapan media origami dapat diterapkan untuk melatih motorik halus pada tangan. Hal ini dikarenakan dengan origami anak dapat melenturkan dan memperkuat otot jemari tangan, selain itu media ini sangat menyenangkan bagi anak.

REKOMENDASI

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan, maka penelitian memberikan rekomendasi penelitian ini kepada pihak-pihak yang dipandang perlu untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini. Seperti yang telah diketahui bahwa penerapan keterampilan origami dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak low vision. Terutama pada otot tangan, maka dari itu peneliti menyarankan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Rekomendasi bagi para pendidik Penelitian ini sekiranya dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan bagi para pendidik untuk menggunakan media

keterampilan origami dalam proses melatih motorik halus anak.

2. Rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengadakan penelitian mengenai latihan motorik halus menggunakan media keterampilan origami kembali dengan target behavior yang berbeda, sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih baik lagi dan dapat menemukan penemuan-penemuan baru yang melengkapi kekurangan penelitian yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Hallahan, D. P. & Kauffman, J. M. (1980). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia: Prentice Hall Internasional

Hirai, M. (2013). Origami Kreatif. Jakarta: Indria Pustaka

Ichigo. (2013). Aku Cepat Pintar Membuat Origami. Jakarta: Niaga Swadaya

Mulyana, R. (2012). Penerapan Pembelajaran Origami dengan Teknik Pemberian Simbol untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Anak. UPI: Tidaak Diterbitkan

(10)

Motorik Halus dalam Menulis Permulaan siswa Cerebral Palsy Sedang di SLB D YPAC Bandung. UPI: Tidak Diterbitkan

Somantri, T. S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

PEMAHAMAN GURU TERHADAP PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

(2) Penolakan atas usulan pengalihan status Rumah Negara Golongan II menjadi Rumah Negara Golongan III, baik oleh Sekretaris Jenderal Departemen atas nama Menteri

Perpustakaan Sekolah Peranannya dalam Proses belajar Mengajar .Jakarta: Kreasi Media

PEMAHAMAN GURU TERHADAP PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Terimakasih atas semangat, doa, serta dukungan yang telah kalian berikan kepada saya selama ini4. Terimakasih telah menjadi

Algoritma Genetika dipakai untuk menentukan cara terbaik dalam mendeteksi kebakaran antara memakai mode addressable (pengalamatan) dan mode non addressable (konvensional)

Penelitian ini hanya mengambil variable independen Komitmen Profesional (X1) variabel Lingkungan Etika (X2), Sifat Machiavellian (X3), Personal Cost (X4) dan