• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Teologi Orang Basudara: Rancang Bangun Teologi Lokal GPM"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

TEOLOGI ORANG BASUDARA DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

A. Pengantar

Mengapa teologi orang basudara harus memberikan kontribusi

pada keindonesiaan? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menyadari

bahwa pasca 19451 orang Maluku mempunyai dua identitas, yaitu identitas

kemalukuan (primordial) dan keindonesiaan (nasional). Hal ini

dikarenakan ketika Indonesia terbentuk, Maluku bahkan juga GPM

menawarkan diri untuk terlebur dan menjadi bagian dari Indonesia. Oleh

sebab itu, teologi orang basudara yang penulis konstruksikan belum

tuntas jika tidak menyinggung kontribusinya bagi Indonesia sebagai

identitas nasional GPM dan Maluku.

Karena itu, bab ini secara khusus ditambahkan oleh penulis untuk

melihat bahwa teologi orang basudara tidak hanya sekedar memberi

kontribusi bagi Maluku (GPM) semata, melainkan juga memberi

kontribusi bagi konteks keindonesiaan. Kontribusi yang diberikan berupa

nilai dan cita rasa untuk merasapi nilai tersebut dan juga epistemologi

untuk berteologi dalam konteks Indonesia yang begitu majemuk.

1

(2)

B. Kontribusi teologi orang basudara pada keindonesiaan

Apakah teologi orang basudara turut memberikan kontribusi pada

keindonesiaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dilacak pada nilai

dan cita rasa untuk meresapi nilai tersebut dan juga sifat yang ditawarkan

oleh teologi orang basudara bagi konteks keindonesiaan dan bukan pada

dogma teologi orang basudara. Oleh sebab itu, bagi penulis ada dua poin

besar yang diwarkan sebagai bentuk kontribusi teologi orang basudara

dalam konteks keindonesiaan:

1. Teologi orang basudara menawarkan nilai kesetaraan dan cita

rasa orang basudara untuk merasapi nilai kesetaraan tersebut.

Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya bahwa, esensi

yang paling mendasar dari falsafah hidop orang basudara sebagai sumber

daya primordial yang digunakan untuk mengkonstruksikan teologi orang

basudara adalah kesetaraan, maka teologi orang basudara, baik dasar

teologisnya dan implementasinya pada dasarnya mengandung nilai

kesetaraan. Nilai kesetaraan tersebut lah yang kemudian ditawarkan oleh

teologi orang basudara sebagai kontribusi bagi konteks Indonesia yang

(3)

Di sisi lain, nilai kesetaraan yang ditawarkan oleh teologi orang

basudara, juga telah lama hidup dan berakar dalam nilai-nilai Pancasila

sebagai dasar negara Indonesia. Karena itu, pada dasarnya teologi orang

basudara dan Pancasila memiliki gagasan ide yang sama yaitu kesetaraan.

Di satu sisi, gagasan ide yang sama tersebut bukanlah sebuah hal yang

terjadi tiba-tiba atau tidak sengaja, melainkan dapat dilacak dalam

jejak-jejak sejarah.

Secara sejarah, Soekarno dengan rendah hati mengakui bahwa

dirinya bukan pencipta Pancasila, melainkan penggali.2 Pernyataan

Soekarno dengan tegas menegaskan bahwa Pancasila bukanlah sesuatu

yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan, atau Pancasila bukanlah hasil adopsi

dari negara lain, melainkan Pancasila adalah sintesa dari falsafah-falsafah

hidup yang berakar di dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia, salah

satunya adalah falsafah hidop orang basudara sebagai sumber daya

primordial bagi pengkonstruksian teologi orang basudara.

Oleh sebab itu, Pancasila yang ada setelah pasca 1945 merupakan

inkarnasi dari berbagai kearifan lokal nusantara pra 1945, salah satunya

falsafah hidop orang basudara sebagai kosmologi hidup manusia Maluku.

Sehingga wajar jika teologi orang basudara yang dikonstruksikan dari

2

Bernadus Wibowo Suliantoro, “Nilai Keadilan di Balik Ritual Sadranan

Hutan Wonosadi, Gunung Kidul, Jateng” dalam Kearifan Lokal Pancasila “Butir-Butir

(4)

sumber daya primordial falsafah hidop orang basudara memiliki nilai

kesetaraan yang sama dengan Pancasila.

Namun demikian, meskipun sama-sama memiliki nilai kesetaraan,

teologi orang basudara menawarkan cita rasa untuk meresapi nilai

kesetaraan tersebut, karena cara merasapi mempengaruhi tingkat

kesetaraan yang diperoleh, berbeda dengan Pancasila yang hanya

menawarkan kesetaraan tanpa cita rasa untuk merasapi kesetaraan.

Cita rasa yang ditawarkan oleh teologi orang basudara untuk

merasapi kesetaraan adalah cita rasa orang basudara (persaudaraan).

Mengapa cita rasa orang basudara? Pertama, gagasan dan praktek orang

basudara pada dasarnya ada diseluruh wilayah Indonesia, sehingga ketika

menawarkan cita rasa orang basudara untuk meresapi kesetaraan, tidak

akan ada suatu bentuk alienasi terhadap wilayah-wilayah lain di dalam

konteks Indonesia. Kedua, bentuk dasar dari kesetaraan tercermin di

dalam give and take, dan bentuk give and take yang paling alami terbentuk

di dalam keluarga (orang basudara). Karena itu, ketika Indonesia yang

begitu majemuk merasapi kesetaraan dalam bingkai orang basudara

(persaudaraan), maka kesetaraan bukan lagi sebatas ide atau gagasan ideal

dalam Pancasila, melainkan telah menjadi perintah untuk dilakukan,

(5)

terbentang dari Sabang sampai Merauke, oleh sebab itu Indonesia harus

setara.

Di satu sisi, cita rasa orang basudara (persaudaraan) menjadi

bingkai dalam merevitalisasi kembali nilai-nilai pada Pancasila, salah

satunya menjadikan kesatuan dan kebhinekaan. Sehingga

pertanyaan-pertanyaan yang selama ini direnungkan tentang mengapa semua suku

bangsa di Indonesia harus menyatu di dalam perbedaan, dapat terjawab,

karena pada dasarnya orang Indonesia yang terdiri dari Sabang sampai

Merauke adalah orang basudara (orang bersaudara), oleh sebab itu

sebagai sesama orang bersaudara masyarakat Indonesia harus bersatu di

dalam perbedaan.

Bahkan lebih jauh, cita rasa orang basudara (persaudaraan),

menjadi sebuah perekat bagi kepercayaan masyarakat Indonesia lewat

Pancasila dengan mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah

menciptakan Indonesia dengan segala kemajemukannya dalam sebuah

imaji orang basudara. Karena itu, pengakuan iman tersebut kemudian

melahirkan kesadaran, dan kesadaran tersebut mempengaruhi cara

pandang terhadap eklusifisme agama, etnis, status sosial, dan budaya yang

selama ini menjadi penjara dalam proses berinteraksi dan berelasi dalam

(6)

2. Teologi orang basudara menawarkan proses berteologi yang

inklusif dalam konteks keindonesiaan.

Sebagai sebuah teologi lokal yang dikonstruksikan dari sumber

daya lokal, teologi orang basudara menyandang sikap berteologi inklusif

yang diperoleh dari falsafah hidop orang basudara. Sikap inklusif tersebut

tercermin dalam sistim soa yang merupakan salah satu unsur dalam

struktur suatu negeri di Maluku.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada bab IV, bahwa soa

berfungsi sebagai pembagian kelompok marga atau clan di satu negeri

tertentu di Maluku. Namun, pada perkembangannya, diciptakanlah soa

pendatang (soa bebas) yang berfungsi sebagai tempat untuk menghimpun

semua pendatang yang datang dari luar dan hendak tinggal di suatu negeri

tertentu di Maluku.

Kesadaran untuk menciptakan soa yang bukan hanya mampu

untuk mengakomodir masyarakat asli suatu negeri, tetapi juga mampu

untuk mengakomodir masyarakat pendatang yang hendak tinggal di suatu

negeri tertentu di Maluku, mencerminkan sikap keterbukaan yang

dilakukan oleh masyarakat Maluku untuk menerima pendatang dari luar

(7)

Sikap keterbukaan tersebut menjadi sebuah tabiat atau karakter

manusia Maluku yang kemudian bermuarah pada gagasan orang basudara

sebagai sebuah identitas manusia Maluku dalam kosmologi hidup manusia

Maluku. Karena itu, teologi orang basudara yang dikonstruksikan dari

falsafah hidop orang basudara sebagai sebuah kosmologi hidup manusia

Maluku, tentu mempunyai sifat inklusif.

Oleh sebab itu, teologi orang basudara sebagai suatu landasan

eklesiologi GPM kemudian menawarkan suatu proses berteologi yang

lebih inklusif dalam konteks keindonesiaan dengan membuka diri dan

menerima pendatang dari luar Maluku untuk terlebur dalam kehidupan

keagamaan di Maluku. Hal ini dapat dibuktikan dengan komposisi warga

jemaat GPM yang tidak hanya terdiri dari masyarakat Maluku, melainkan

juga dari luar masyarakat Maluku.

Di sisi lain, teologi orang basudara memberikan suatu bentuk

kesadaran untuk memahami gereja, bahwa gereja bukan hanya ada bagi

masyarakat penyandang budaya tertentu, melainkan gereja harus ada

untuk semua masyarakat yang menyandang budaya yang berbeda-beda

(seperti GPM yang membuka diri untuk menerima masyarakat

penyandang budaya lain untuk bersama-sama ada dalam persekutuan

(8)

Oleh sebab itu, teologi orang basudara memberi pijakan awal bagi

gereja-gereja dalam konteks keindonesiaan untuk kembali memikirkan

suatu bentuk berteologi yang inklusif, disamping mendorong tiap-tiap

agama untuk merumuskan suatu bentuk teologi yang inklusif dalam

konteks keindonesiaan.

Di satu sisi, proses berteologi inklusif yang ditawarkan oleh teologi

orang basudara dalam konteks keindonesiaan, juga sejalan dengan sikap

inklusif dalam beberapa teks injil, salah satunya teks teks Yohanes 4:1-26

yang berbicara tentang percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di

depan sumur Yakub. Ketika Yesus meminta air (ayat ke-7), perempuan

Samaria yang tidak disebutkan namanya di dalam Alkitab itu tiba-tiba

tersentak dan meminta alasan mengapa Yesus yang adalah seorang Yahudi

meminta air kepada seorang perempuan Samaria? (ayat ke-9).

Permintaan alasan yang dikemukakan oleh perempuan tanpa nama

tersebut, menunjukan bahwa perempuan ini paham betul akan identitas

yang terbentang antara dia dan Yesus, yaitu identitas suku dan identitas

gen. Yang dimaksud dengan identitas suku ialah, Yesus mempunyai

identitas sebagai seorang Yahudi dari Galilea, sedangkan perempuan

tersebut merupakan keturunan Samaria yang pada saat itu dipandang

(9)

Bagi Izak Lattu, orang Samaria saat itu dipandang sebagai

masyarakat berdosa, karena ada beberapa hal;

Dalam ajaran tradisional Yahudi yang menganggap bahwa orang Samaria telah terkontaminasi dengan darah orang-orang non Yahudi melalui pernikahan, terutama karena orang Samaria tidak ikut diangkut ke pembuangan bersama dengan orang Israel lainnya ketika kerajaan Asyiria menghancurkan kerajaan Israel Utara di tahun 722/721/721 BC (2 Raj.17:22-41).

Orang Samaria juga dianggap tidak suci dan dipinggirkan oleh orang Yahudi karena memiliki tempat ibadah yang berbeda. Orang Samaria tidak beribdah kepada Tuhan di Yerusalem tetapi memilih gunung Gerizim sebagai tempat beribadah. Orang Samaria memandang gunung Gerizim sebagai tempat Musa memberkati Israel (Ul. 27 :11-12). Oleh karena itu, bagi orang Samaria, gunung Gerizim adalah tempat yang tepat untuk membangun tempat penyembahanbagi Tuhan. Pada era penjajahan Mekadonia, Alexander agung memberikan kesempatan kepada orang Samaria untuk memperbaiki tempat ibadah orang Samaria di gunung Gerizim. Tempat ibadah ini menjadi titik perdebatan ketika orang Yahudi merestorasi Bait ALLAH yang dibangun oleh Salomo di Yerusalem. Permusuhan tempat ibadah ini terjadi sampai penghancuran tempat ibadah di gunung Germizim pada tahun 128 BC. Perbedaan pendapat soal tempat ibadah menciptakan imajinasi kotor terhadap orang Samaria dalam kesadaran kolektif orang

Yahudi.3

Selain pertentangan identitas suku, perempuan tersebut juga

menyadari dengan sungguh pertentangan identitas gen (laki-laki dan

perempuan) antara dia dengan Yesus yang sangat berpengaruh pada saat

3

(10)

itu dalam sistim patriakhi.4 Bahkan penulis injil Yohanes di dalam

penulisan teks ini, hanya mendeskripsikan bahwa Yesus sementara

bercakap-cakap dengan seorang perempuan tanpa menyebutkan nama dari

perempuan Samaria tersebut, dan hal ini adalah bentuk praksis dari

gagasan patriakhi yang berlaku pada saat itu.

Namun, tindakan Yesus untuk menjawab pertanyaan dari

perempuan Samaria tersebut (ayat ke- 10), menggambarkan sikap

keterbukaan yang dipraktekan oleh Yesus terhadap perempuan Samaria

tersebut. Bahwa dengan segala keterbatasan (suku dan gen) yang dimiliki

oleh perempuan Samaria tersebut, Yesus tetap melihat dia utuh sebagai

seorang manusia yang harus diberlakukan layaknya manusia dan bukan

benda. Oleh sebab itu, Yesus mengajak perempuan Samaria untuk terlibat

dalam hubungan yang inklusif, hubungan yang tidak didasarkan pada

identitas suku atau gen, melainkan hubungan yang berbasis pada

kesetaraan yang mana belum pernah terjadi antara orang Yahudi dan orang

Samaria sebelumnya.

Di satu sisi, sifat inklusif dalam injil yang digambarakan lewat

kisah percakapan antara Yesus dengan perempuan Samaria pada uraian di

atas, pada dasarnya juga sejalan dengan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai

(11)

dasar negara Indonesia. Bahkan jika bertolak dari pemikiran John Titaley

tentang salah satu cara memahami Pancasila adalah dengan menempatkan

Pancasila sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh naskah UUD

1945, maka ada dua gagasan menarik yang didapati yaitu, gagasan

kemerdekaan Indonesia dan gagasan keberagaman (religiositas)

Indonesia.5

Gagasan kemerdakaan selain menegaskan pernyataan dari

masyarakat Indonesia bahwa kemerdekaan itu adalah hak asasi semua

bangsa di dunia termasuk Indonesia,6 gagasan tersebut juga menegaskan

kemerdekaan dalam konstelasi keberagaman pada konteks Indonesia. Oleh

sebab itu, semua bentuk keberagaman di Indonesia juga harus merdeka

dari sekat-sekat eksklusifisme yang selama ini memenjarakan

keberagaman pada konteks keindonesiaan. Sehingga, Pancasila pada

dasarnya memiliki sifat inklusif yang menjurus pada proses mengakui dan

menerima kemerdekaan dalam seluruh bentuk keberagaman, baik itu

dalam agama, suku, budaya, dan juga status sosial di Indonesia.

Di samping itu, gagasan keberagaman menunjukan sebuah realita

bahwa sebagai sebuah fenomen baru, Indonesia pada dasarnya sangat

beragam, yang mana keberagaman itu terbentang dari Sabang sampai

5

John A. Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga-Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-agama, (Salatiga: Satya Wacana University Pres, 2013), 48-49.

(12)

Merauke. Karena itu, Indonesia harus menjaga keberagaman tersebut

lewat sifat inklusif di dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Berdasarkan uraian tentang sifat inklusif yang telah penulis

kemukakan dari teologi orang basudara, injil, dan juga Pancasila, terlihat

dengan jelas bahwa ketiga aspek tersebut pada dasarnya memiliki

kesejajaran sifat inklusif yang sama. Karena itu, teologi orang basudara

sebenarnya memberikan sebuah penegasan tentang pentingnya sifat

inklusif dalam berteologi pada konteks keindonesiaan, dan memberi

penegasan untuk selalu mengedepankan sifat inklusifisme dalam konteks

keindonesiaan.

Di samping kedua poin besar yang ditawarkan oleh teologi orang

basudara dalam konteks keindonesiaan, teologi orang basudara sebagai

sebuah teologi lokal juga menawarkan pendekatan (epistemologi)

berteologi yang benar-benar baru bagi konteks keindonesiaan.

Epistemologi untuk berteologi yang ditawarkan, tidak melihat Indonesia

hanya sebagai konteks untuk mengoperasikan teologi tertentu, melainkan

melihat Indonesia sebagai konteks melakukan teologi sekaligus sebagai

teks untuk mengkonstruksikan teologi yang khas Indonesia.

Di satu sisi, teks untuk berteologi di Indonesia ialah Pancasila

(13)

Pancasila dibentuk berdasarkan kearifan lokal dari seluruh wilayah

Indonesia, dan seluruh kearifan lokal tersebut merupakan sidik jari

ALLAH yang telah berkarya bagi manusia dalam konteks Indonesia

menurut Eben Nuban Timo.7 Bahkan John Titaley dengan keras

menegaskan bahwa Pnacasila harus menjadi teks untuk berteologi di

Indonesia, karena karya keselamatan ALLAH pada konteks keindonesiaan

nyata di dalam Pancasila.8 Dengan demikian, Pancasila sebenarnya

merupakan sebuah inkarnasi Injil (dalam konteks Kekristenan), dan itu

berarti Pancasila harus menjadi teks untuk berteologi dalam konteks

keindonesiaan.

Di sisi lain, ketika Pancasila telah menjadi teks untuk berteologi

dalam konteks keindonesiaan, maka teologi yang dikonstruksikan dapat

membawa suatu nilai esensial (kesetaraan) yang sesuai bagi konteks

Indonesia yang sangat multikultur dan majemuk. Oleh sebab itu,

agama-agama perlu untuk menteologikan dirinya dalam konteks keindonesiaan

dengan melihat Pancasila sebagai teks untuk berteologi dan tidak lagi

berusaha untuk mengkontekskan teologi dari luar (asing) dalam proses

berteologi pada konteks keindonesiaan.

(14)

C. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa teologi

orang basudara yang dikonstruksikan dari sumber daya primordial

(Maluku), juga dapat memberikan kontribusi bagi konteks keindonesiaan

(nasional). Kontribusi tersebut bukanlah dogma teologi, namun nilai

kesetaraan dan cara untuk merasapi kesetaraan tersebut, yaitu dengan

bingkai orang basudara. Di samping itu, teologi orang basudara sebagai

sebuah teologi lokal juga menawarkan sebuah epistemology yang dapat

digunakan untuk berteologi, yaitu dengan melihat konteks bukan hanya

sebagai ruang untuk mengoperasikan teologi, melainkan juga sebagai teks

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat terjadi karena bahasa yang dipergunakan tidak jelas sehingga mempunyai arti lebih dari satu, simbol yang dipergunakan antara si pengirim dan

Kami bergabung dengan paduan suara Knox yang dipimpin oleh Karen Knudson—seorang organis, komponis, dan dirigen yang cukup terkenal. Paduan suara ini beranggotakan sekitar

Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran.. Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1997

rnenjeiaskan definisi secara opcrasional dari variabel pen cl i Ii :m. Variabel penelitian di definisikan sesuai dengan kebutuhan penelitian dengan mengacu pada

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W3, 2017 3D Virtual Reconstruction and Visualization of

Fraksi pati yang berukuran kecil memiliki keteraturan struktur amilopektin yang cukup tinggi sehingga memiliki struktur kristal yang padat dan kristalinitas yang relatif

Hasil penelitian menunjukkan hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi anak usia 1-2 tahun di Posyandu Pala VII Notoprajan Yogyakarta bahwa diantara

Motivasi yang kurang dari tenaga kesehatan khususnya bidan dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan terhadap kontrasepsi IUD di