• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI JAGUNG VARIETAS LOKAL SEBAGAI JAGUNG SEMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "POTENSI JAGUNG VARIETAS LOKAL SEBAGAI JAGUNG SEMI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI JAGUNG VARIETAS LOKAL SEBAGAI JAGUNG SEMI

Yudiwanti1), Sri Gajatri Budiarti 2) Wakhyono 3),

1)

Dosen pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB, Jl. Meranti Kampus IPB Darmaga - Bogor, Telp.&Faks. (0251) 629353, e-mail: yudiwanti_wahyu@yahoo.com (Personal untuk komunikasi)

3)

Peneliti pada Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor

2)

Alumni Departemen Agronomi dan Hortikultura

ABSTRAK

Penelitian bertujuan mempelajari potensi jagung varietas lokal sebagai jagung semi. Varietas lokal yang dipelajari adalah Bima, Campolaga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, dan Lokal Srimanganti, dan sebagai kontrol digunakan varietas unggul Bisi-3. Percobaan disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Untuk menguji perbedaan rataan perlakuan terhadap kontrol digunakan kontras ortogonal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua varietas lokal berbunga lebih cepat dibanding kontrol, sehingga panen pertama juga dapat dilakukan lebih cepat. Jumlah tongkol per tanaman semua varietas lokal tidak berbeda dari kontrol, yaitu berkisar antara 2.3 – 3.0 pada varietas lokal dan 2.3 pada kontrol. Jumlah tongkol yang dipanen dari semua tanaman tiap satuan percobaan pada varietas lokal umumnya lebih banyak dibanding kontrol kecuali Campolaga dan Genjah Kodok. Bima, Genjah Kodok dan Ketip Kuning menghasilkan tongkol kualitas A berturut-turut sebesar 23.2%, 39.1% dan 18.9%, sedangkan kontrol 8.5%. Varietas Ketip Kuning potensial dikembangkan sebagai varietas untuk jagung semi.

Kata kunci: jagung varietas lokal, jagung semi

PENDAHULUAN

Jagung semi (baby corn) adalah tongkol jagung yang dipetik ketika masih sangat

muda dan sebelum biji terbentuk. Salah satu kendala dalam produksi jagung semi di

Indonesia adalah belum tersedianya varietas unggul yang dirancang secara khusus

sebagai jagung semi. Varietas jagung yang umum dipakai petani untuk menghasilkan

jagung semi adalah varietas yang dirancang untuk menghasilkan biji. Menurut Yodpetch

dan Bautista (1983) karakteristik varietas jagung yang dapat digunakan untuk

memproduksi jagung semi diantaranya yaitu umur panen pendek, hasil panen tinggi,

jumlah tongkol tiap tanaman banyak (prolifik), dan tongkol berkualitas baik dalam hal

rasa, ukuran, dan warnanya.

Jagung varietas lokal yang terdapat di beberapa daerah di tanah air menarik untuk

(2)

memiliki umur panen yang pendek. Selain itu ukuran tongkolnya relatif lebih kecil

sehingga diharapkan memenuhi kriteria kualitas jagung semi untuk ekspor. Penelitian ini

bertujuan mempelajari potensi beberapa varietas lokal jagung untuk dikembangkan

sebagai jagung semi.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Sindang Barang, Bogor pada

bulan April 2002 sampai bulan Juni 2002. Enam varietas lokal jagung yang digunakan

adalah Bima, Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, dan Lokal

Srimanganti, dan sebagai pembanding digunakan varietas hibrida Bisi - 3. Percobaan

disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak dengan tiga ulangan. Satuan

percobaan berupa baris tunggal sepanjang 6 m, dan terdiri atas 30 tanaman. Teknik

budidaya mengikuti cara yang lazim diterapkan. Pemanenan tongkol jagung semi

dilakukan 2 – 4 hari setelah rambut jagung keluar (silking). Panen dimulai dari tongkol

yang muncul pertama sampai tongkol terakhir. Pengamatan dilakukan terhadap 10

tanaman contoh kompetitif yang diambil secara acak pada setiap satuan percobaan.

Peubah yang diamati mencakup: tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah buku per

tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah tongkol per tanaman yang dihasilkan

tanaman contoh, bobot tongkol kotor, bobot tongkol bersih, panjang dan diameter

tongkol, jumlah tongkol yang layak dipasarkan, dan jumlah tongkol afkir. Data rataan

satuan percobaan dianalisis ragam, dan untuk menguji perbedaan rataan perlakuan

terhadap kontrol digunakan kontras ortogonal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Umur berbunga, umur panen pertama dan terakhir, serta periode panen genotipe

yang diuji disajikan dalam Tabel 1. Semua varietas lokal berbunga nyata lebih cepat

dibanding kontrol. Keenam varietas lokal berbunga dalam kisaran umur 39.0 – 48.3 HST,

sedangkan Bisi-3 berbunga pada umur 52.7 HST. Umur berbunga tersebut berada dalam

kisaran umur yang lazim untuk jagung. Hasil penelitian Moedjiono dan Mejaya (1994)

pada 100 genotipe koleksi plasma nutfah jagung di Balitkabi Malang menunjukkan umur

(3)

Tabel 1. Umur berbunga, umur panen dan periode panen beberapa varietas jagung lokal dan varietas hibrida Bisi-3

Varietas Umur Berbunga (HST)

47.1 hari. Pada penelitian ini, panen awal semua varietas lokal (42.3 – 48.3 HST) lebih

cepat dibanding Bisi-3 (54.0 HST) tetapi secara statistik tidak nyata. Umur panen terakhir

Genjah Kodok dan Ketip Kuning (58.0 HST untuk keduanya) nyata lebih cepat dibanding

Bisi-3 (77.0 HST), tetapi keempat varietas lokal lainnya tidak berbeda dari Bisi-3. Kedua

varietas lokal juga memiliki periode panen nyata lebih pendek dibanding Bisi-3, yaitu

15.7 hari untuk Genjah Kodok, 15.3 hari untuk Ketip Kuning, dan 24.0 hari untuk Bisi-3,

sedangkan keempat varietas lokal lainnya tidak berbeda dari Bisi-3.

Tabel 2. Bobot tongkol, ukuran tongkol, dan jumlah tongkol per tanaman beberapa varietas jagung lokal dan varietas hibrida Bisi-3

Bobot tongkol (g) Ukuran tongkol (cm)

Varietas

Kotor Bersih Panjang Diameter

Bima

Kecuali Lokal Oesao dan Lokal Srimanganti, bobot tongkol bersih varietas lokal

yang lain nyata lebih rendah dibanding kontrol (Tabel 2). Bima, Campolaga, Genjah

Kodok, dan Ketip Kuning dengan kisaran bobot tongkol 44.0 – 49.7 g/tanaman nyata

lebih rendah dibanding bobot tongkol Bisi-3 (67.4 g/tanaman). Hal yang sama terjadi

pada bobot tongkol bersih. Kecuali Lokal Oesao (14.7 g/tanaman) dan Lokal Srimanganti

(4)

tanaman) tetapi tidak nyata, keempat varietas lokal lainnya menghasilkan bobot tongkol

bersih yang nyata lebih rendah dibanding kontrol, yaitu berkisar 7.6 – 9.4 g/tanaman.

Hasil ini lebih rendah dari hasil penelitian Indriati (1999) pada enam populasi jagung

semi pada seleksi daur ulang siklus pertama yang memperoleh bobot tongkol kotor

dengan kisaran 72.52 – 88.97 g dan bobot bersih dengan kisaran 15.44 – 19.36 g.

Panjang tongkol semua varietas lokal yang diuji nyata lebih pendek dibanding

kontrol, yaitu berkisar 5.3 – 9.4 cm untuk varietas lokal dan 11.6 cm untuk Bisi-3 (Tabel

2). Untuk diameter tongkol, Campolaga dan Lokal Srimanganti (keduanya 1.6 cm) serta

Lokal Oesao (1.7 cm) nyata lebih besar dibanding Bisi-3 (1.4 cm), sedangkan diameter

tongkol ketiga varietas lokal lainnya (1.4 cm) tidak berbeda dari kontrol.

Tabel 3. Jumlah tongkol dan pengkelasan tongkol jagung semi yang dihasilkan varietas lokal dan Bisi-3

Jumlah tongkol/tanaman Kelas tongkol layak (%)

Total Layak A B C D

Jumlah tongkol per tanaman semua varietas lokal tidak berbeda dari kontrol, yaitu

berkisar antara 2.3 – 3.2 pada varietas lokal dan 2.6 pada kontrol (Tabel 3). Jumlah

tongkol layak pasar per tanaman juga tidak menunjukkan perbedaan antar genotipe yang

diuji, yaitu berkisar 1.9 – 2.9 untuk varietas lokal dan 2.2 untuk Bisi-3. Penelitian Indriati

(1999) dengan enam populasi jagung semi pada seleksi daur ulang siklus pertama

menunjukkan jumlah tongkol per tanaman 2.5 – 3.6 tongkol , dan yang layak dipasarkan

1.5 – 2.0 tongkol

Pada budidaya jagung semi yang lazim, dilakukan pembuangan malai

(detasselling) untuk merangsang munculnya tongkol-tongkol selain tongkol utama

(Wardjito, 1996). Pada penelitian ini tindakan tersebut tidak dilakukan karena diinginkan

memperoleh genotipe jagung yang potensi genetik prolifiknya bagus sehingga bila

(5)

Berdasarkan kecenderungan jagung menghasilkan tongkol dengan jumlah tertentu,

jagung dapat dibedakan menjadi tipe non prolifik dan prolifik. Tipe non prolifik

cenderung bertongkol tunggal tiap tanaman sedangkan tipe prolifik mempunyai dua

tongkol atau lebih. Karakter prolifik dipengaruhi baik oleh faktor genetik maupun oleh

faktor lingkungan. Potensi prolifik diduga dikendalikan oleh gen resesif (Harris et al.,

1976). Dengan asumsi prolifikasi dikendalikan oleh gen resesif maka dengan silang diri

(selfing) 5 – 6 kali generasi akan diperoleh galur murni (inbred) yang menampakkan

karakter prolifik.

Tongkol yang layak pasar menurut kriteria PT Dieng Jaya (dalam Goenawan,

1989) untuk tujuan ekspor dalam bentuk dikalengkan adalah yang diameternya kurang

dari 1.8 cm. Selanjutnya berdasarkan panjangnya, tongkol dibedakan menjadi empat

kelas yaitu: kelas A (maksimum 7.5 cm), kelas B (> 7.5 cm – 8.5 cm), kelas C (> 8.5 cm

– 9.5 cm), dan kelas D (> 9.5 cm – 10.5 cm). Untuk persentase tongkol layak pasar dari

semua tongkol yang dipanen tiap genotipe pada penelitian ini, varietas Bisi-3 lebih tinggi

dibanding varietas lokal, hal tersebut ditunjukkan oleh persentase tongkol afkirnya yang

paling rendah (36.3 %) dibanding persentase tongkol afkir varietas lokal (47.5 – 73.5 %).

Genjah Kodok menghasilkan tongkol kualitas A terbanyak (39.1 %), disusul Bima

(23.3 %), sedangkan tongkol layak pasar yang dihasilkan Bisi-3 terutama dari kelas D

(47.3 %). Gambaran tongkol layak pasar dan tongkol afkir hasil penelitian disajikan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Tongkol jagung semi layak pasar (kiri) dan afkir (kanan)

Dari enam varietas lokal yang diuji dalam penelitian ini, Ketip Kuning potensial

dikembangkan lebih lanjut sebagai varietas jagung semi. Varietas lokal tersebut

(6)

dibanding varietas lokal lainnya, dan umur panennya nyata lebih cepat dibanding kontrol

(Bisi-3).

KESIMPULAN

Varietas lokal memiliki umur panen lebih pendek sehingga dapat meningkatkan

produksi jagung semi melalui peningkatan frekuensi penanaman tiap satuan waktu.

Varietas lokal Ketip Kuning potensial dikembangkan sebagai varietas jagung semi dan

perlu diuji lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Goenawan, W. 1989. Pengaruh Populasi Tanaman dan Pembuangan Bunga Jantan (Detasseling)

terhadap Produksi Jagung Semi (Baby Corn) pada Jagung Manis (Zea mays saccharata).

Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 51 hal. Harris, R. E., R. H. Moll and C. W. Stuber. 1976. Control and inheritance of prolificacy in maize.

Crop Sci. 16: 843 – 850.

Moedjiono dan M. J. Mejaya. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma nutfah jagung koleksi Balittan Malang. Zuriat 5(2): 27 – 32.

Wardjito. 1996. Pengaruh jumlah tanaman per rumpun dan umur emaskulasi pada produksi

jagung semi. Hal: 193 – 197. Dalam Ali, S. D., Rofik, S. B., R. M. Sinaga, Yusdar H. dan

Zainal A. (eds.) Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran. Balitsa. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Bandung dan Ciba Plant Protection. Bandung.

Gambar

Tabel 3.  Jumlah tongkol dan pengkelasan tongkol jagung semi yang dihasilkan varietas lokal dan Bisi-3
Gambar 1.

Referensi

Dokumen terkait

Data data yang didapatkan dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pondok Aren, dalam grafik terlihat bahwa pelaporan SPT yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang

Seorang muslim dalam usaha harus berhias diri dengan akhlak mulia, seperti: sikap jujur, amanah, menepati janji, menunaikan hutang dan membayar hutang dengan baik, memberi

Cakupan tindak pidana Pasal 221 ayat (1) ke-1 KUHPidana yaitu menyembunyikan pelaku kejahatan atau memberi pertolongan kepadanya menghindari penyidikan atau

Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terkait proses komunikasi dan bisnis tunarungu dalam menjalakan usaha dapat kita ketahui bahwa, proses komunikasi

Teknik aalisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regreis linier berganda yang digunakan untuk mengetahui pengaruh antara kepuasan terhadap

Halusinogen, efek dari narkoba ini bisa mengakibatkan bila dikonsumsi dalam sekian dosis tertentu dapat mengakibatkan seseorang menjadi ber-halusinasi dengan melihat

Selanjutnya, dengan mendasarkan pada Permenakertrans Nomor 19/2012, timbul demo buruh secara nasional untuk merubah status hubungan kerja outsourcing bagi jenis pekerjaan (yang

2) Pada Efek Krep Akibat Penyempurnaan ; kerut akan hilang atau berkurang dengan pencucian yang sering, mengkeret. Kain Rajut Kain rajut berbeda dengan tenun, jika kain tenun