• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sambutan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Sambutan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kasih karuniaNya,

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Sia Tagulandang

Biaro dapat menyelesaikan “Dokumen Kajian Perencanaan Pengembangan Pendapatan Ekonomi Masyarakat Kepulauan” Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Tahun 2016.

Dokumen Kajian Perencanaan Pengembangan Pendapatan Ekonomi Masyarakat Kepulauan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro Tahun 2016, berisi kajian pengembangan pendapatan ekonomi dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemampuan masyarakat kepulauan. Dokumen ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro kedepan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Bupati Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atas apresiasi dan dukungan yang diberikan selama proses penyusunan dokumen dilaksanakan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang terkait langsung mapun tidak langsung, khususnya kepada masyarakat yang berada di kawasan pesisir Tagulandang dan sekitarnya.

Kami menyadari bahwa dokumen ini masih terdapat beberapa kekurangan, sehingga berbagai saran, masukan dan pendapat demi penyempurnaan dokumen ini sangat kami harapkan.

(3)

ii

1.2. Maksud dan Tujuan Kajian………... 6

1.3. Manfaat Kajian…..………. 6

Bab II Landasan Teori……….. 7

2.1. Pengertian Wilayah Pesisir……….. 7

2.1.1 Pengertian Potensi Pesisir dan Permasalahannya….. 9

2.1.2 Pengembangan Wilayah……….. 14

2.2. Pembangunan……… 16

2.2.1. Pembangunan Kualitas Manusia……….. 16

2.2.2. Paradigma Pembangunan Kualitas Manusia……….. 17

2.2.3. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan……… 18

2.3. Definisi Kesejahteraan……….……… 18

2.3.1. Konsep Kemiskinan……… 22

2.3.2. Pendekatan Dalam Pengukuran Kemiskinan………. 26

2.4. Nelayan………. 33

2.4.1. Ciri-ciri Nelayan……….. 33

2.4.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kegiatan Nelayan 34 2.4.3. Pengembangan Kelompok Nelayan………. 36

2.5. Modal dan Biaya Produksi………..……… 36

2.5.1. Faktor Tenaga Kerja……… 37

2.5.2. Waktu Melaut……… 37

2.5.3. Ketidakberdayaan Teknologi dan Ekonomi Nelayan.. 38

2.6. Pengertian Pendapatan……….. 40

Bab III Metodologi Penelitian……… 43

3.1. Data dan Sumber Data………. 43

3.2. Metode Pengumpulan Data………. 43

3.3. Ruang Lingkup Wilayah…..………. 43

3.4. Metode Analisis………. 44

Bab IV Gambaran Umum Kab. Kep. SITARO……….. 45

4.1. Profil Kabupaten Kepulauan SITARO……… 45

4.1.1. Deskripsi Wilayah……….. 45

4.1.2. Kondisi Fisik……… 55

4.2. Demografi……… 59

4.3. Tata Ruang Wilayah………. 61

4.4. Kawasan Rawan Bencana Alam………. 74

4.5. Sosial dan Budaya………. 78

Bab V Hasil Kajian / Penelitian……… 82

(4)

iii

5.1.1. Kependidikan Masyarakat Pesisir………. 82

5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Responden………. 86

5.2.1. Tanggunagan Setiap Masyarakat Pesisir……… 86

5.2.2. Pendapatan dan Pengeluaran……….. 88

5.2.3. Pengeluaran Bulanan dari Responden……… 91

5.2.4. Kondisi Rumah dari Responden……….. 92

5.2.5. Modal dan Pengalaman Kerja Responden…………. 95

5.2.6. Bantuan dari Pemerintah……… 100

Bab VI Strategi Peningkatan Pendapatan Ekonomi…………..…. 117

Bab VII Kesimpulan dan Saran……….. 135

7.1. Kesimpulan……… 135

7.2. Saran……….. 136

Daftar Pustaka………. 138

(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Wilayah pesisir dan lautan memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias daratan, akhirnya menjadikan lautan sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosial ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia. Kekayaan sumber daya laut tersebut menimbulkan daya tarik dari berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.

(6)

2

Hal ini yang muncul di permukaan dalam hubungannya dengan

peningkatan kualitas hidup nelayan adalah keterdesakkan kelompokm masyarakat ini akibat semakin intensifnya penetrasi nelayan asing terhadap sumber daya dan pasar domestik. Pengusaha dalam bidang marine-bisnis nasional dengan modal besar dengan jaringan pasar yang luas dan pemanfaatan teknologi yang hmpir mustahil tersaingi oleh kelompok masyarakat nelayan nasional. Upaya perlindungan melalui peraturan daerah dan peningkatankemandirian kelompok masyarakat ini merupakan agenda yang mendesak untuk segera diselesaikan sebagai bagian integral pengembangan masyarakat nelayan.

Keseluruhan kecenderungan pembangunan tersebut melahirkan ketersaingan kelompok yang tidak hanya nampak pada tingkat pendapatan yang dimiliki, melainkam juga pada kualitas hidup, pola aktifitas ekonomi, skala dan jenis output yang dihasilkan. Tentu saja pergantian generasi pada kelompok masyarakat ini juga berlangsung secara marjinal dengan segala konsekwensi social yang terbawa serta. Bila keadaan seperti ini berlanjut, maka investasi yang dibutuhkan untuk pengelolaan sumber daya kelautan, dan upaya pengembangan sumberdaya manusia makin bertambah mahal.

(7)

3

tambak ini tinggal di desa pesisir atau berdekatan dengan lokasi tambak dan

mata pencaharian utamanya berasal dari mengelola tambak.

Pendayagunaan sumber daya perikanan ditujukan untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Taraf hidup masyarakat pesisir dapat ditingkatkan jika pendapatannya sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup. Pendapatan masyarakat pesisir tidak terlepas dari banyaknya tangkapan ikan yang mereka dapatkan.

(8)

4

lumbung padi demikianlah keadaan nelayan tradisional yang belum sejahtera

dihadapan potensi laut dan perikanan kawasan pesisir yang melimpah di bumi Nusantara yang tercinta ini.

Berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat pesisir, terdapat beberapa faktoryang menyebabkan mereka masih tertinggal antara lain keadaan sumber daya alam yang semakin menipis, kurangnya budaya menabung dan mengelola keuangan keluarga, serta struktur ekonomi atau tata niaga yang belum kondusif bagi kemajuan dan kemakmuran masyarakat (Rokhmin Dahuri dan Rais Ginting,2001).

Karakteristik sosial masyarakat pesisir diatas menjadi penghambat untuk mengembangkan kemampuan partisipasi mereka dalam pembangunan wilayah. Seiring dengan belum berfungsinya atau belum adanya kelembagaan sosial masyarakat maka upaya kolektif untuk mengelola potensi sumberdaya wilayah juga menjadi terhambat. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap lambannya arus perubahan sosial ekonomi yang terjadi di kawasan pesisir, sehingga dinamika pembangunan wilayah menjadi terganggu.

Salah satu strategi yang dapat ditempuh dalam upaya membangun masyarakat pesisir agar potensi pembangunan dapat dikelola dengan baik adalah dengan membangun dan memperkuat ekonomiyang dimiliki atau yang ada pada masyarakat dan meningkatkan kualitas SDM, sertamemperluas akses ekonomi dan peningkatan keterampilan ekonomi masyarakat.

(9)

5

sosial masyarakat maka upaya kolektif untuk mengelola potensi sumberdaya

wilayah juga menjadi terhambat. Keadaan ini berpengaruh besar terhadap lambannya arus perubahan sosial ekonomi yang terjadi di kawasan pesisir, sehingga dinamika pembangunan wilayah menjadi terganggu.

Salah satu strategi yang dapat ditempuh dalam upaya membangun masyarakat pesisir agar potensi pembangunan dapat dikelola dengan baik adalah dengan membangun dan memperkuat kelembagaan sosial yang dimiliki atau yang ada pada masyarakat dan meningkatkan kualitas SDM, dengan jalan memperluas wawasan pembangunan dan keterampilan ekonomi masyarakat.

Diharapkan melalui strategi ini masyarakat secara kolektif mempunyai kemampuan optimal dalam membangun wilayahnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang diharapkan serta dapat memiliki pendapatan yang baik atau cukup dalam kehidupan sehari-hari.

(10)

6

dalam membangun wilayahnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang

diharapkan serta dapat memiliki pendapatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN

Berdasarkan latar belakang, maka yang menjadi tujuan kajian ini adalah sebagai berikut :

• Untuk mendapatkan gambaran tingkat pendapatan masyarakat kepulauan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan Biaro

• Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan Biaro

• Untuk mendapatkan gambaran mengenai strategi dan kebijakan yang dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat kepulauan di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang dan Biaro

1.3. MANFAAT KAJIAN

(11)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian Wilayah Pesisir

(12)

8

Menurut Dahuri (2001), terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa

wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir mempunyai dua karateristik, yaitu sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan dan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebut masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir dimaksud adalah nelayan, pembudidaya, pemasar ikan, pengolah hasil laut, dan masyarakat pesisir lainnya yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.

Adapun ciri-ciri yang dipantulkan komunitas atau masyarakat pesisir di Indonesia adalah:

(13)

9

2) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada sumber daya energi yang

murah dan konvensional untuk dapat menggali kekayaan alam laut yang merupakan tempat pencaharian kebutuhan hidup.

3) Masyarakat pesisir sangat tergantung pada modal tunai untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama untuk modal kegiatan pelayanan dan konsumsi.

4) Masyarakat pesisir sangat tergantung kepada pihak lain baik secara individu maupun berkelompok dalam sistem jaringan kerja, baik penangkapan ikan, jasa pelelangan ikan maupun terhadap para pemilik modal.

5) Masyarakat pesisir sangat membutuhkan program-program pemberdayaan yang dapat mengeluarkan masyarakat pesisir dari jerat kehidupan yang sangat tajam dan tidak mengenal kompromi. (Suwardi Lubis, 2010)

2.1.1. Pengertian Potensi Pesisir dan Permasalahannya

(14)

10

Pengembangan dimaksud dapat dilakukan melalui suatu proses

pembangunan yang memanfaatkan segala potensi pesisir. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri et al.,

2001).

Seperti terjadi pada wilayah lainnya, pemanfaatan potensi pesisir dalam pembangunan wilayah pesisir juga tidak luput dari masalah, khususnya sumberdaya pesisir yang dapat pulih. Secara garis besar, gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia meliputi: pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam. Keberadaan masalah tersebut menyebabkan potensi wilayah pesisir tidak dapat digunakan sesuai dengan mutu dan fungsinya untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Berdasarkan gambaran Poverty Headcount Index, 32 % masyarakat pesisir tergolong miskin. Dari data penduduk, sebanyak 16.420.000 jiwa masyarakat Indonesia hidup di 8.090 desa pesisir, sebagian masih tergolong miskin (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012).

(15)

11

menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya

potensi hayati dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang, sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Oleh karena itu sungguh ironi sekali dengan banyaknya potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir namun kondisi ekonomi masyarakat pesisir masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Kusnadi (2002), perangkap kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara berlebihan. Hasil-hasil studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah menunjukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan tidak mudah untuk diatasi.

(16)

12

teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan

cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaha nelayan terhadap teknologi (Kusnadi, 2000). Selain itu boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskinan nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah.

Masalah pemasaran hasil tangkapan juga terkadang dapat merepotkan masyarakat pesisir. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.

Dengan demikian, masalah sosial ekonomi yang terdapat pada kehidupan nelayan antara lain adalah:

a) Rendahnya tingkat pendidikan,

b) Miskin pengetahuan dan teknologi untuk menunjang pekerjaannya, c) Kurangnya tersedia wadah pekerjaan informal dan

d) Kurangnya daya kreativitas, serta

(17)

negara-13

negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan, bahwa kekakuan aset

perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat asset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut.

Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

(18)

14

Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam

kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh

Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Sosial ekonomi masyarakat nelayan dilihat dari kehidupan masyarakat terkait dengan penambahan pendapatan hidup mereka untuk peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan. Jika mengkaji dari segi sosial budaya masyarakat nelayan, kita menilai kehidupan masyarakat terkait dengan budaya atau adat istiadat yang mereka miliki dalam kehidupan.

2.1.2. Pengembangan Wilayah

(19)

15

2006).

Pengembangan wilayah selanjutnya dapat didefinisikan sebagai upaya menata ruang dan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara lebih optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sukirno (2000) membedakan wilayah atas tiga pengertian yaitu :

1. Wilayah homogen, yaitu dimana kegiatan ekonomi yang berlaku di berbagai pelosok ruang mempunyai sifat yang sama, antara lain ditinjau dari segi pendapatan perkapita dari segi struktur ekonomi.

2. Wilayah modal, merupakan suatu wilayah sebagai ruang ekonomi dikuasai oleh beberapa pusat kegiatan ekonomi.

3. Wilayah administrasi, yaitu suatu wilayah yang didasarkan atas pembagian administrasi Pemerintahan.

(20)

16

2.2. Pembangunan

2.2.1. Pembangunan Kualitas Manusia

Menurut Brian dan White dalam Widodo, menyatakan ada 4aspek yang terkandung dalam pembangunan kualitas manusia sebagai sebagai upaya peningkatan kapasitas mereka :

1. Pembangunan harus memberikan penekanan pada kapasitas kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut serta energi yang diperlukan.

2. Pembangunan harus menekankanpada pemerataan (equity) perhatian yang tidak merata pada masyarakat, akan memecahkan masyarakat dan akan menghancurkan kapasitas mereka.

3. Pembangunan mengandung arti pemberian kuasa dan wewenang yang lebih besar pada rakyat. Hal pembangunan baru cukup bermanfaat bagi masyarakat bila mereka memiliki wewenang yang sepadan. Pembangunan harus mengandung upaya peningkatan wewenang pada kelompok masyarakat lemah. Koreksi terhadap keputusan-keputusan yang tidak adil tentang alokasi hanya dapat dilakukan bila kelompok lemah ini mempunyai wewenang yang sangat besar.

4. Pembangunan mengandung kelangsungan perkembangan (sustainable) dan interdependensi di antara Negara-negara dunia. Karena konsep kelangsungan dan kelestarian pembangunan, kendala sumber daya yang bterbatas dan langka akan menjadi pertimbangan pertama dalam upaya peningkatan kapasitas.

(21)

17

atas dasar aspirasi dan kebutuhannya dan bertumpuh pada kemampuan dan

perkembangan individu dan masyarakat yang bersngkutan.

2.2.2. Paradigma Pembangunan Kualitas Manusia

(22)

18

2.2.3. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu digandeng dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development (1987), adalah ”pembangunan

untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan tersebut telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992.

Menurut (Dahuri et al., 2001), secara ekologis terdapat empat persyaratan utama yang menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang limbah sesuai kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) mendesain dan membangun prasarana dan sarana sesuai karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan.

2.3. Definisi Kesejahteraan

(23)

19

Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang

kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya.

Ada banyak definisi dan konsep yang berbeda tentang kesejahteraan atau “well-being”. Misalnya, dapat dikatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan komoditas secara umum; seseorang dikatakan mampu (memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya yang dimilikinya (kekayaan). Selain itu, dapat diukur juga dari kemampuan untuk memperoleh jenis barang-barang konsumsi tertentu (misalnya makanan dan perumahan). Seseorang yang kurang mampu untuk andil (berfungsi) dalam masyarakat mungkin memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah (Sen, 1983) atau lebih rentan (vulnerable) terhadap krisis/gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi dalam konteks ini, kesejahteraan dapat berarti adanya kemampuan memenuhi kebutuhan komoditas secara umum (yakni adanya daya beli terhadap sekelompok pilihan komoditas (Watts, Harrold W 1968) atau jenis konsumsi tertentu (misalnya kecukupan konsumsi makanan) yang dirasa sangat essensial/perlu untuk memenuhi standar hidup dalam masyarakat, maupun dalam arti adanya kemampuan untuk andil/berfungsi dalam masyarakat.

(24)

20

dari atribut/variable terukur (misalnya pendapatan dan pengeluaran) terhadap

seluruh penduduk. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa posisi relatif dari inidividu rumah tangga dalam masyarakat merupakan aspek penting dari kesejahteraan mereka. Tingkat ketimpangan secara keseluruhan dalam suatu negara, wilayah atau kelompok penduduk, baik dalam bentuk dimensi moneter maupun non-moneter, juga merupakan indikator yang dapat menggambarkan secara ringkas tentang tingkat kesejahteran dalam kelompok tersebut. Hal ini yang perlu dicatat dari bahasan tentang kesejahteraan yaitu kerentanan (vulnerability). Kerentanan didefinisikan sebagai peluang atau fisik menjadi

miskin atau jatuh menjadi lebih miskin pada waktu-waktu mendatang. Kerentanan merupakan dimensi kunci dari kesejahteraan karena kerentanan berakibat pada perilaku individu (dalam bentuk investasi, pola produksi, strategi penanggulangan) dan persepsi dari kondisi mereka sendiri.

Menurut Bank Dunia (Wolrd Bank 2000), “poverty is pronounced derivation in well being”, dimana kesejahteraan dapat diukur dari kekayaan yang dimiliki seseorang, kesehatan, gizi, pendidikan, asset, perumahan, dan hak-hak tertentu dalam masyarakat tertentu seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan juga berarti kurangnya kesempatan/peluang, ketidakberdayaan, dan kerentanan. Kemiskinan benar-benar masalah multi-dimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multi-dimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

(25)

21

kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu

lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat kompleks karena multi-dimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai produksi tingkat kesejahteraan.

Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi.

(26)

22

dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah.

Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga.

Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja.

Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat.

2.3.1. Konsep Kemiskinan

(27)

23

Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas

orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.

Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi, yaitu:

1. Dimensi Ekonomi

Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara finansial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Dimensi Sosial dan Budaya

Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.

3. Dimensi Sosial dan Politik

Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.

(28)

24

dihadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang (Bayo,

1996).

Menurut Drs. Edi Suharto, M.Sc, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.

Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan

oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan kemiski’nan absolut ini biasanya diukur melalui “batas kemiskinan” atau “garis kemiskinan” (poverty line), baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapata, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut biasanya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai miskin secara absolut.

Bank Dunia menghitung garis kemiskinan absolut dengan menggunakan pengeluaran konsumsi yang dikonversi kedalam US$ PPP (Puchasing Power Parity/ Paritas Daya Beli), bukan nilai tukar US$ resmi. Tujuannya adalah untuk

(29)

25

seharga US$ 1 di Amerika. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan

kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survey yang biasaya dilakukan setiap lima tahun sekali. Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US$ 1 PPP perkapita perhari; b) US$ 2 PPP perkapita perhari. Ukuran tersebut sering direvis menjadi US$ 1,25 PPP dan US$ 2 PPP perkapita perhari.

Pendapatan perkapita yang Tinggi sama sekali bukan merupakan jaminan tidak adanya kemiskinan absolut dalam jumlah yang besar. Hal ini mengingat besar atau kecilnya porsi atau bagian pendapatan yang diterima oleh kelompok-kelompok penduduk yang paling miskin tidak sama untuk masing-masing negara, sehingga mungkin saja suatu negara dengan pendapatan perkapita yang Tinggi justru mempunya persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan internasional yang lebih besar dibandingkan suatu negara yang pendapatan perkapitanya lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemsikinan tersebut antara lain struktur pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di negara yang bersangkutan, berbagai pengaturan politik dan kelembagaan yang dalam prakteknya ikut menentukan pola-pola dstribusi pendapatan nasional.

(30)

26

Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai,

orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (modernisasi). Sikap malas, tidak memiiki kebutuhan berprestasi (needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah bebrapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural.

Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki hanya sedikit tanah,para nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.

2.3.2. Pendekatan dalam Pengukuran Kemiskinan

(31)

27

Strategi kebutuhan dasar memang memberi tekanan pada pendekatan

langsung dan bukan cara tidak langsung seperti melalui effek menetes kebawah (trickle down effect) dari pertumbuhan ekonomi yang Tinggi. Keseulitan umum dalam penentuan indikator kebutuhan dasar adalah standart atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi oleh adat, budaya, daerah, dan kelompok sosial. Disamping itu kesulitan penentuan seara kuantitatif oleh masing-masing komponen kebutuhan dasar yang dimiliki oleh komponen itu sendiri. Misalnya selera konsumen terhadap satu jenis makan atau komoditi lainnya.

Beberapa kelompok atau ahli telah mencoba merumuskan mengenai konsep kebutuhan dasar ini termasuk alat ukurnya. Konsep kebutuhan dasar yang dicakupa dalah komponen kebutuhan dasar dan karakterisktik kebutuhan dasar serta hubungan keduanya dengan garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Berdasarkan komposisi pengeluaran konsumsi penduduk, dapat dihitung besarnya kebutuhan minimum untuk masing-masing komponen.

Kembali pada pengukuran kemisinan, menurut Ravallion (1998), ada tiga tahapan yang diambil dalam mengukur kemiskinan. Tiga tahapan ini mencakup: 1) Mendefinisikan indikator kesejahteraan

(32)

28

3) Membuat ringkasan statistic untuk memberikan informasi secara agregat

mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi realtifnya terdapat standart minimum yang telah ditentukan.

Ukuran kemiskinan pada tingkat makro dapat memberikan gambaran kemiskinan rumah tangga menurut wilayah regional, provinsi, dan kota-desa. Untuk menetapkan rumah tangga sebagai kelompok sasaran program, seperti intervensi dan mengurangi dampak krisis, kriteria-kriteria infrastruktur pelayanan pemerintah dan fasilitas umum lainnya menurut karakteristik wilayah dan rumah tangga sangat penting untuk diperhatikan. Beberapa indikator untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin dapat dikembangkan berdasarkan karakteristik rumah tangga, termasuk indikator demografi, sosial ekonomi, dan indikator lainnya. Indikator-indikator ini pad aumumnya cocok untuk digunakan. Tetapi beberapa diantaranya hanya sesuai untuk kota atau desa. Indikator ekonomi yang dapat digunakan untuk mendefinisikan rumah tangga miskin yaitu ciri-ciri pekerjaan yang dilakukan oleh kepala rumah tangga dan akses terhadap sumber/asset. (Pernia & Quibria, 1991). Untuk wilayah pesisir karakteristik pekerjaan kepala rumah tangga adalah sebagai nelayan. Yang mana kehidupannya bergantung dengan hasil tangkapan laut.

Hasil penelitian World Bank oleh Don Chemichovsky dan Oey Astra Meesok dengan menggunakan data Susenas 1978 (Masfufah, 2000), menyatakan beberapa karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia antara lain:

(33)

29

2) Tingkat pendidikan anggota rumah tangga dan kepala rumah tangga

rata-rata rendah

3) Pekerjaan saring berubah dan sebagian dari mereka mau menerima tambahan pekerjaan lain bila ditawarkan.

4) Sebagian besar pengeluaran untuk mengkonsumsi makanan dengan persentase pengeluaran untuk karbohidrat paling besar

5) Sebagian besar pendapatan utamanya bersumber dari pertanian dan penguasaan tanahnya masih marginal

6) Kondisi rumahnya masih sangat memprihatinkan dalam hal penyediaan air bersih dan listrik untuk penerangan.

Karakteristik rumah tangga lain yang berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan yaitu jumlah anggota rumah tangga. Makin besar jumlah anggota rumah tangga akan makin besar pula risiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat. Umur kepala rumah tangga juga berkaitan dengan tingkat kemiskinan walaupun hubungannya tidak begitu jelas, akan tetai ada kecenderungan bahwa kepala rumah tangga tidak miskin lebih tua debandingkan rumah tangga miskin (Faturrokhman dan Molo, 1995)

Dalam buku Dasar-dasar Analisis Kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2002) diuraikan karakteristik rumah tangga dan individu yang berkaitan dengan kemiskinan yang digolongkan menjadi tiga kelompok.

1) Karakteristik Demografi

(34)

30

Karakteristik anggota rumah tangga (seperti umur), sering sangat

berbeda untuk setiap rumah tangga miskin dan tidak miskin. Makin besar jumlah anggoa rumah tangga makin besar pula resiko untuk menjadi miskin apabila pendapatannya tidak meningkat.

b) Rasio ketergantungan (Dependency Ratio). Rasio ketergantungan dihitung sebagai rasio jumlah anggota rumah tangga yang tidak berada dalam angkatan kerja (apakah muda atau tua) terhadap mereka yang berada pada angkatan kerja dalam rumah tangga tersebut. Adapun hubungan antara rasio ketergantungan dengan tingkat kemiskinan adalah berkorelasi positif, dimana ketika rasio ketergantungan Tinggi maka tingkat kemiskinan akan semakin meningkat.

c) Gender kepala rumah tangga, secara umum telah diketahui bahwa jenis kelamin kepala rumah tangga berpengaruh secara signifikan terhadap kemiskinan rumah tangga dan sering ditemui bahwa rumah tangga yang dikepalai wanita lebih miskin daripada yang dikepalai laki-laki.

2) Karakteristik Ekonomi

Karakteristik ekonomi mencakup pekerjaan, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan kepemilikan rumah tangga.

(35)

31

pendapatan yang dapat diterima oleh penduduk atau rumah tangga.

Apabila endapatan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan minimum maka resiko untuk menjadi miskin lebih besar.

b. Pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting untuk dpertimbhangkan ketika menentukan karakteristik penduduk miskin. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah tingkat pendapatan dan juga distribusinya diantara anggota rumah tangga dan diantara berbagai kelompok sosial. Meskipun demikian, dalam prakteknya indikator pendapatan sering mengahdirkan masalah-masalah tertentu. Pendapatan sulit didefinisikan karena pendapatan mencakup banyak komponen, namun hanya beberapa komponen yang berkaitan dengan monete (misalnya, rumah tangga pertanian mengkonsumsi sebagian besar produksi sendiri)

(36)

32

khususnya makanan, untuk mewakili bagian yang paling sgnifikan dari

total pengeluaran penduduk miskin.

d. Kepemilikan rumah tangga. Kepemilikan rumah tangga mencakup barang –barang yang sangat besar jumlahnya (tanah, peternakan, perlalatan pertanian, bangunan, dan barang-barang tahan lama lainnya) dan asset finansial. Indikator tersebut menarik perhatian karena mencerminkan inventaris kekayaan rumah tangga dan dengan demikianmemperngaruhi arus pendapatan rumah tangga. Lebih lanjut, rumah tangga tertentu khususnya di wilayah perdesaan dapat menjadi miskin dalam hal pendapatan namun kaya ketika kepemilikan mereka dipertimbangkan.

3) Karakteristik Sosial

a. Kesehatan dalam rumah tangga. Empat jenis indikator yang umumnya digunakan untuk mencirikan kesehatan dalam menganalisis standar hidup rumah tangga meliputi status gizi, status penyakit, ketersediaan pelayanan kesehatan, dan penggunaan pelayanan-pelayanan kesehatan tersebut oleh rumah tangga miskin dan tidak miskin.

(37)

33

yang mampu dan tidak mampu membuat penduduk yang tidak mampu

(miskin) akan semakin tertinggal tingkat pendidikannya.

c. Tempat tinggal. Kondisi tempat tinggal di evaluasi berdasarkan tiga komponen: perumahan, pelayanan, dan lingkungan. Indikator perumahan mencakup jenis bangunan (ukuran dan jenis bahan bangunan), kepemilikan tempat tinggal (sewa atau milik sendiri), dan perlengkapan rumah tangga. Indikator pelayanan menitikberatkan pada ketersediaan dan penggunaan air minum, jasa komunikasi, listrik, dan sumber energi lain. Terakhir, indikator lingkungan menekankan pada level sanitasi, tingkat isolasi (ketersediaan jalan yang dapat digunakan pada setiap saat, lamanya waktunya waktu tempuh dan tersedianya transportasi ke tempat kerja) dan tingkat keamanan personal. Secara umum terbentuk bahwa rumah tangga miskin hidup dalam kondisi yang lebih berbahaya (beresiko), lingkungan yang kurang higienis yang mempunyai kontribusi terhadap tingkat kesehatan yang rendah dan produktifitas anggota rumah tangga yang lebih rendah.

2.4. Nelayan

2.4.1. Ciri – cirri Nelayan

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung dari hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau pun budidaya. (Mulyadi, 2005)

(38)

34

a. Dari segi mata pencaharian, nelayan adalah yang segala aktivitasnya

berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir, atau yang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian.

b. Dari segi cara hidup, komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada saat untuk mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak, seperti saat berlayar, membangun rumah, atau tanggul penahan gelombang disekitar desa.

c. Dari segi keterampilan, meskipun pekerjaan nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya memiliki keterampilan sederhana. Kebanyakan nelayan bekerja adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua, bukan yang dipelajari secara profesional.

d. Dari segi bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa–desa nelayan terpencil yang sulit dijangkau transportasi darat. Komunitas nelayan di desa yang terpencil biasanya menggunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitas rendah. Sementara itu kesulitan transportasi angkutan hasil ke pasar juga akanmenjadi penyebab rendahnya hasil laut di daerah mereka. (Sasmita, 2006)

2.4.2. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Kegiatan Nelayan

(39)

35

selalu muncul adalah masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran

eksploitasi penguasa baik secara ekonomi maupun politik. (Sasmita, 2006) Berdasarkan pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi :

a. Nelayan Tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatan seluruhnya berasal dari perikanan.

b. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan.

c. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan.

d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim – musim tertentu saja aktif sebagai nelayan.

Munurut Sasmita (2006), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat produksi nelayan, yaitu:

1. Peralatan yang digunakan oleh nelayan dalam penangkapan ikan yaitu, perahu tanpa mesin atau perahu dengan mesin (motorisasi), jaring dan pancing.

2. Peralatan/modal nelayan dinilai dari peralatan yang digunakan, seperti :

a) Harga perahu, apakah perahu mempergunakan mesin atau tidak.

b) Harga dari peralatan penangkapan ikan, misalnya jaring dan pancing c) Bahan bakar, oli (untuk satu kali melaut), konsumsi, es, biaya lapor

(40)

36

d) Tenaga kerja, yang digunakan untuk melaut (menangkap ikan)

menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga.

e) Musim, sangat berpengaruh terhadap kegiatan kerja nelayan yaitu musim barat dan musim timur.

2.4.3. Pengembangan kelompok Nelayan

Pengembangan kelompok nelayan tidak dapat hanya didekati dari sudut yang sempit atau secara sektoral. Pengembangan suatu sistem yang didasari oleh pendekatan pembangunan masyarakat, merupakan cara yang terbaik. Dalam hubunga ini, pengembangan kualitas kelembangaan, kualitas sumber daya manusia, dan infrastruktur penunjang dan atau pemanfaatan infrastruktur yang telah ada kedalam skenario pengembangan, merupakan suatu pola pembangunan masyarakat yang memerlukan perumusan permasalahan secara terintegrasi. Interaksi fungsional keseluruhan variabel strategis tersebut diharapkan sanggup menciptakan proses pemberdayaan kelompok masyarakat nelayan yang dapat mempertahankan diri dan terlindungi dari pola interaksi yang sehat dengan kelembagaan lain yang sejenisnyadan atau yang terkait dalam menjalankan usahanya.

2.5. Modal dan Biaya Produksi

(41)

37

modal. Modal bergerak langsung menjadi biaya produksi dengan besarnya

biaya itu sama dengan nilai modal yang bergerak (Rangkuti, 1995)

Sebagian modal nelayan digunakan untuk biaya operasi, yaitu penyediaan input produksi (sarana produksi), biaya operasi dan biaya – biaya lain dalam satu usaha kegiatan nelayan. Biaya produksi atau biaya operasi nelayan biasanya diperoleh dari kelompok nelayan kaya atau pemilik modal, karena adanya hubungan pinjam meminjam uang sebagai modal kerja dimana pada musim panen, hasil tangkapan (produksi) ikan nelayan digunakan untuk membayar seluruh pinjaman utang, dan tingkat harga ikan biasanya ditentukan oleh pemilik modal (Sasmita, 2006)

2.5.1. Faktor Tenaga Kerja

Tenaga kerja di Indonesia dan sebagian besar negara – negara berkembang termasuk negara maju pada umumnya merupakan tenaga untuk usaha nelayan atau usaha keluarga. Keadaan ini berkembang dengan semakin meningkatnya kebutuhan manusia dan semakin majunya suatu kegiatan usaha nelayan karena semakin maju teknologi yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan, sehingga dibutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga yang khusus dibayar setiap sekali turun melaut sesuai dengan produksi ikan yang dihasilkan. (Masyuri, 1999)

2.5.2. Waktu Melaut

(42)

38

ikan seperti ini merupakan penangkapan ikan lepas pantai. Jauh dekat daerah

tangkapan dan besar kecilnya perahu yang digunakan menentukan lamanya melaut. Kedua, pola penangkapan ikan satu hari, biasanya nelayan berangkat melaut sekitar 14.00 mendarat kembali sekitar jam 09.00 hari berikutnya. Penangkapan ikan seperti ini biasa dikelompokkan sebagai penangkapan ikan lepas pantai. Ketiga, pola penangkapan ikan tengah hari, penangkapan ikan seperti ini merupakan penangkapan ikan dekat pantai, umumnya mereka berangkat sekitar jan 03.00 dini hari atau setelah subuh dan mendarat kembali pagi hari sekitar jam 09.00. (Masyuri, 1999)

2.5.3. Ketidakberdayaan Teknologi dan Ekonomi Nelayan

Ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi karena kondisi sumberdaya perikanan yang mudah berpindah – pindah dari satu tempat ketempat lain, disisi lain, untuk menangkap ikan nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup diatas air. Umumnya para nelayan mengalami keterbatasan dalam teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, menyebabkan :

1. Wilayah operasi menjadi terbatas hanya disekitar perairan pantai.

(43)

39

3. Alat tangkap sederhana (teknologi penangkapan yang rendah) yang dimiliki

oleh nelayan mengakibatkan jumlah tangkapan rendah. Kondisi ini merugikan nelayan karena pendapatan yang diperoleh nelayan rendah. 4. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan, cenderung kurang

menguntungkan nelayan buruh (Mulyadi, 2005)

Pada umumnya ilmu ekonomi (ekonomika) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bagaimana tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun masyarakat berusaha memenuhi kebutuhan dari berbagai alat pemuas kubutuhan atau sumberdaya yang terbatas adanya. Alat pemuas kebutuhan ini disebut sebagai sumberdaya, dapat berupa barang konsumsi maupun barang produksi (Suparmoko, 1997)

Pada dasarnya prisip – prinsip dalam ekonomika sumberdaya alam tidaklah terlalu khusus dan menggunakan prinsip – prinsip analisis pada umumnya. Barang – barang sumberdaya alam tidaklah bebas adanya sehingga untuk memperolehnya memerlukan pengorbanan. Selanjutnya dalam melakukan pilihan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan itu selalu dipertimbangkan adanya pemuasan kebutuhan dengan tujuan untuk memaksimalkan produksi, baik untuk perorangan ataupun untuk masyarakat.

(44)

40

dampaknya adalah justru memburuknya kondisi fisik dari dunia ini, dan

sayangnya masyarakat sangat lamban dalam menemukan pemecahan terhadap masalah yang timbul. Beberapa hal yang menjadi alasan dari lambannya penyesuaian itu ialah bahwa :

1. Masyarakat lebih mengenal adanya pemilikan pribadi (privat) dan mekanisme pasar, sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan dipelihara bersama masih sulit dimengerti.

2. Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat itu, demikian pula tentang teknologi untuk menghasilkan apa yang diinginkan tersebut tidak banyak kita ketahui.

3. Karena adanya eksternalitas, maka biaya produksi barang dan jasa sering menjadi tidak jelas, di samping adanya kelambanan dalam mobalitas manusia (Suparmoko, 1997)

2.6. Pengertian Pendapatan

Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/penerimaan total adalah nilai produksi komoditas secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi. (Soekartawi, 1995)

(45)

41

usahatani untuk petani, melaut untuk nelayan, dan berternak untuk peternak

(RahimdanRetno, 2008).

Ada beberapa konsep biaya dalam ilmu ekonomi yaitu :

1. Biaya tetap (Fixed cost) adalah sebagian biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit. 2. Biaya tidak tetap (Variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya

dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh.

3. Biaya total (Total cost) adalah keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan atau penjumlahan biaya tetap total dan biaya variabel tetap total.

4. Biaya tetap rata – rata (average fixed cost) adalah biaya tetap total dibagi kuantitas keluaran. Ketika keluaran naik, biaya tetap rata – rata menurun karena biaya total yang sama ditanggung oleh kuantitas keluaran yang semakin besar.

5. Biaya variabel rata – rata (Average variable cost) adalah biaya variabel total dibagi kuantitas keluaran.

6. Biaya total rata – rata (Average cost) adalah biaya total dibagi kuantitas keluaran. ATC sama juga dengan jumlah biaya tetap rata – rata dan biaya variabel rata – rata.(Sugiarto, et al, 2002)

(46)

42

1. Faktor internal dan faktor eksternal akan bersama – sama mempengaruhi

biaya dan pendapatan. Faktor internal meliputi pengalaman, alat tangkap, lama melaut, biaya operasional, umur, dan jarak tempuh melaut.

(47)

43

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder time series atau runtun waktu yang bersumber dari berbagai instansi di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sitaro, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sitaro dan Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Utara.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan untuk penyusunan dokumen Perencanaan Pengembangan Pada Pendapatan Masyarakat Kepulauan ini terdiri dari:

- Data Primer : data yang diperoleh secara langsung melalui

observasi/pengamatan, wawancara/kuesioner dll. Dengan banyaknya Sampel sebanyak 50 responden, yang bersumber dari Pulau Siau sebanyak 15 responden, Pulau Tagulandang sebanyak 15 responden, Pulau Biaro sebanyak 10 Responden dan Pulau Makalehi sebanyak 10 responden

- Data Sekunder: data yang diperoleh dari literature, publikasi dan lainnya.

3.3. Ruang Lingkup Wilayah

(48)

44

3.4. Metode Analisis

Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.4.1. Analisis Statistik Deskriptif

Analisis ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang bersifat kuantitatif. Pendekatan ini berangkat dari data yang diproses menjadi informasi yang berguna bagi pengambilan keputusan. Analisis statistic deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui indicator sosial ekonomi seperti profil responden yang mencakup umur, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, dan lain-lain.

3.4.2. Analisis Hierarki Proses

(49)

45

BAB IV

Gambaran Umum Kabupaten Kepulauan

Siau, Tagulandang, dan Biaro

4.1. Profil Kabupaten Kepulauan Sitaro

4.1.1 Deskripsi Wilayah

Kabupaten Siau Tagulang Biaro merupakan kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang mempunyai potensi wilayah, kondisi geografis maupun potensi khas lain yang berbeda dengan kabupaten/kota lainnya.

Letak dan posisi Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, secara geografis Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro terletak antara 20 07 48” – 20 48’ 36” LU dan 1250 09’ 36” – 1250 29’ 24” BT, dengan batas-batas

administrasi sebagai berikut:

• Sebelah Utara : Kabupaten Kepulauan Sangihe

• Sebelah Timur : Laut Maluku dan Laut Pasifik

• Sebelah Selatan : Kabupaten Minahasa Utara

• Sebelah Barat : Laut Sulawesi

Kondisi topografi, kondisi topografi Kabupaten Kepulauan Siau

Tagulandang dan Biaro pada umumnya memiliki bentuk wilayah yang berbukit

dan bergunung dan memiliki kemiringan lereng yang curam. Meskipun curam

daerah ini masih dimanfaatkan penduduk untuk ditanami dengan tanaman

perkebunan seperti kelapa, cengkeh dan pala. Daerah datar relatif sempit dan

umumnya hanya terdapat di pesisir pantai yang dijadikan tempat pemukiman

penduduk, seperti di Ulu, Ondong (Pulau Siau), Buhias (Pulau Tagulandang)

(50)

46

dan bergelombang di Pulau Siau dapat dijumpai di Pihise dan Pangirolong,

sedangkan di Pulau Tagulandang dapat dijumpai di Apeng Mulengen.

Ketinggian tempat di pulau Siau bervariasi antara 0 meter dari

(51)

47

yaitu puncak gunung Karangetang. Kota Ondong sebagai pusat kegiatan

kabupaten terletak pada ketinggian + 0 - 10m dpl hal yang sama dengan Kota

Ulu sebagai pusat perdagangan dan jasa. Ketinggian tempat di Pulau

Tagulandang bervariasi dari 0 m dpl sampai 784 m dpl (Wuluri Balinge),

sedangkan di Pulau Biaro bervariasi antara 0 m dpl sampai 323 m dpl.

Secara Administratif Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

terdiri dari 10 Kecamatan dengan 47 buah pulau dan sebanyak 7 buah pulau

merupakan pulau yang berpenghuni sedangkan sisanya sebanyak 40 pulau

tidak berpenghuni. Dari seluruh pulau yang ada di Kabupaten Kepulauan Siau

Tagulandang Biaro Pulau Siau merupakan pulau yang terbesar dengan luas

129,05 km2 dengan jumlah kecamatan sebanyak 10 Kecamatan dengan

wilayah Kecamatan Siau Timur yang memiliki luas terbesar yaitu 55,95 km2dan

Kecamatan Siau Tengah dengan luas paling terkecil yaitu 11,8 km2.

Jarak antara Ibukota Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

(Ondong) dengan Ibukota Provinsi Sulawesi Utara (Kota Manado) adalah 85 mil

laut (157,42km). Sedangkan jarak rentang kendali di Kabupaten ini dengan

tempat-tempat lain adalah sebagai berikut :

- Ulu Siau (Kec. Siau Timur) – Buhias (Kec. Tagulandang) : 21 mil laut (38, 892 Km)

- Ulu Siau (Kec. Siau Timur) – Biaro (Kec. Biaro): 41 mil laut (75, 932 Km)

- Ulu Siau (Kec. Siau Timur) – Tahuna (Kab. Kepl Sangihe): 60 mil laut (111, 12 Km)

(52)

48

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro atau yang sering

disingkat dengan SITARO merupakan salah satu dari kabupaten yang berada

di Provinsi Sulawesi Utara yang terletak pada koordinat 2007’48’’ – 2048’36”

Lintang Utara dan 125009’36’’ – 125029’24” Bujur Timur. Wilayah ini memiliki

batas dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe di sebelah utara, Laut Maluku di

timur, Kabupaten Minahasa Utara di selatan, dan laut Sulawesi di barat.

Secara administratif luas dari Kabupaten Kepulauan Sitaro adalah

275,95 km2, yang terdiri dari 47 pulau di mana sebanyak 12 pulau sudah

berpenghuni, dan 35 pulau belum berpenghuni. Terdapat 5 buah gunung, salah

satunya gunung Karangetang yang dikenal sebagai gunung berapi dan

statusnya yang masih sangat aktif.

Tabel 4.1

LETAK GEOGRAFIS KABUPATEN KEP SIAU TAGULANDANG BIARO

Letak Geografis Kab. Kepulauan Siau Tagulandang Biaro

1 Ulu Siau – Buhias 21 mil laut

2 Ulu Siau – Biaro 41 mil laut

3 Ulu Siau – Tahuna 60 mil laut

4 Ulu Siau – Manado 85 mil laut

Sumber : Sitaro dalam Angka, 2015

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro terbagi menjadi 10

kecamatan, di mana pada 2013 dari sejumlah kecamatan tersebut terbagi lagi

ke dalam 83 desa dan 10 kelurahan.

TABEL 4.2

NAMA KECAMATAN, IBUKOTA DAN JUMLAH DESA/KELURAHAN Nama Kecamatan, Ibukota dan Jumlah Desa/Kelurahan

1 Biaro Lamanggo 5

2 Tagulandang Selatan Kisihang 6

3 Tagulandang Buhias 15

4 Tagulandang Utara Bawoleu 6

5 Siau Barat Selatan Talawid 7

6 Siau Timur Selatan Sawang 14

(53)

49

8 Siau Tengah Beong 4

9 Siau Timur Ulu 16

10 Siau Barat Utara Hiung 8

Sumber : Sitaro dalam Angka, 2015

Berdasarkan data hasil proyeksi, pada 2013 jumlah penduduk

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro adalah sebesar 64.744 orang,

yang terdiri dari 32.000 laki-laki (49,43%) dan 32.744 perempuan (50,57%).

Jumlah ini naik 1,48 persen dari hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh

Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 yang berjumlah 63.801 orang.

Jika dilihat berdasarkan sebaran penduduk di setiap kecamatan, jumlah

penduduk terbanyak berada pada Kecamatan Siau Timur yakni sebanyak

16.418 jiwa, dan jumlah penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Siau

Tengah dengan jumlah penduduk sebanyak 1.907 jiwa. Berdasarkan tingkat

kepadatan penduduk per kecamatan, kepadatan tertinggi dimiliki oleh Siau

Timur Selatan dengan 311 jiwa/km2, dan kecamatan dengan kepadatan

penduduk terendah yakni Biaro dengan 148 jiwa / km2.

Sebagai kabupaten kepulauan, subsektor perikanan di Kabupaten

SITARO tentu sangat bergantung dari perikanan laut. Terdapat 4.078 rumah

tangga perusahaan perikanan di Kabupaten SITARO yang mencari ikan

dengan berbagai jenis peralatan dan kendaraan. Produksi perikanan laut pada

2013 mencapai 15.772 ton, dengan nilai mencapai lebih dari 393 milyar rupiah.

Kecamatan Tagulandang merupakan salah satu kecamatan yang ada di

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Sulawesi Utara. Secara

geografis, Kecamatan Tagulandang terletak pada 2º18’16’’ - 2º22’30’’ lintang

(54)

50

adalah Buhias yang terletak di Kelurahan Bahoi. Kecamatan Tagulandang ini

memiliki batas-batas administratif yaitu

- Di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kecamatan Tagulandang

Utara,

- Di sebelah timur berbatasan langsung dengan Laut Maluku,

- Di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Biaro, dan

- Di sebelah barat berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi.

Kecamatan Tagulandang terdiri dari 15 desa, Atau Kecamatan

Tagulandang terdiri dari 13 desa dan 2 kelurahan. Masing- masing desa

dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut sebagai kapitalaung,

sedangkan tingkat kelurahan dipimpin oleh seorang lurah. Desa yang paling

jauh jaraknya dari ibukota kecamatan adalah Desa Mulengen yang berjarak

kurang lebih 9 km. Desa ini memiliki luas wilayah 4,38 km2 atau 7,89 persen

dari seluruh luas Kecamatan Tagulandang. Sedangkan Kelurahan Bahoi yang

menjadi ibukota Kecamatan Tagulandang memiliki luas wilayah 4,74 km2 atau

8,54 persen dari luas keseluruhan.

Kecamatan Tagulandang memiliki satu buah gunung yang berstatus

masih aktif, yaitu Gunung Ruang. Gunung ini bertipe Stratovolcano, terletak di

sebelah barat Pulau Tagulandang. Terdapat dua perkampungan di Pulau

Ruang, yaitu Desa Laingpatehi dan Desa Pumpente. Kecamatan Tagulandang

juga mempunyai satu pulau yang tidak berpenghuni yaitu pulau Pasige yang

terkenal dengan hasil perikanan lautnya.

Penduduk merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

(55)

51

juga akan meningkatkan jumlah tenaga kerja sebagai pelaku pembangunan.

Akan tetapi, penduduk bisa menjadi penghambat bahkan beban dalam proses

pembangunan suatu daerah apabila kualitas penduduk tersebut rendah. Oleh

karena itu, menjadi tanggung jawab pemerintah yang bersangkutan untuk terus

berusaha meningkatkan mutu atau kualitas penduduknya.

Pada tahun 2013, tercatat jumlah penduduk di Kecamatan Tagulandang

mencapai 12.282 jiwa dengan kepadatan 221,22 jiwa/km2. desa/kelurahan

yang memiliki penduduk terbanyak adalah Kelurahan Bahoi sejumlah 2.037 jiwa

dengan kepadatan penduduk 429,75 jiwa/km2. Sementara desa/kelurahan

yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Desa Pumpente dengan jumlah

307 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 146,19 jiwa/km2.

Rasio banyaknya penduduk laki-laki dan perempuan di Kecamatan

Tagulandang adalah sebesar 95,67. Angka rasio dibawah 100 menunjukkan

bahwa penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan dengan penduduk

laki-laki. Banyaknya keluarga di Kecamatan Tagulandang pada tahun 2013

adalah 3.452 keluarga. Rata-rata banyaknya penduduk per keluarga berkisar

antara 3-4 jiwa.

Konsep pembangunan manusia seutuhnya merupakan konsep yang

menghendaki peningkatan kualitas hidup penduduk, baik secara fisik, mental,

maupun spiritual. Pembangunan yang dilakukan menitikberatkan pada

pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) seiring dengan pembangunan di

bidang lainnya. Dengan adanya pemberdayaan penduduk disegala bidang

diharapkan setiap daerah memiliki SDM yang berkualitas, produktif, dan efisien

(56)

52

penduduk ini meliputi aspek moral (iman dan taqwa), aspek fisik (kesehatan),

aspek ilmu pengetahuan (pendidikan) dan aspek kesejahteraan ekonomi. Oleh

karena itu, pemerintah secara konsisten berupaya melalui jalur pendidikan

meningkatkan SDM di Kecamatan Tagulandang. Peningkatan SDM ini lebih

difokuskan terutama pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi

penduduk untuk bersekolah.

Ketersediaan sarana kesehatan sangatlah penting bagi masyarakat.

Sampai tahun 2013, pemerintah telah berupaya untuk menyediakan sarana dan

prasarana kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Buktinya, sekarang

sudah ada fasilitas rumah sakit umum di Kecamatan Tagulandang.

Kecamatan Tagulandang adalah daerah kepulauan sehingga akses ke

ibukota provinsi dan kabupaten semuanya menggunakan transportasi laut,

begitu juga transportasi ke desa masih ada yang menggunakan transportasi

laut, yaitu akses ke Desa Laingpatehi dan Desa Pumpente. Transportasi darat

yang ada di Kecamatan Tagulandang seperti mobil penumpang, bus, dll.

Banyaknya kunjungan kapal penumpang dan barang, lalu lintas barang, lalu

lintas penumpang di Pelabuhan Tagulandang.

Kecamatan Biaro merupakan wilayah yang dimekarkan dari Kecamatan

Tagulandang terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu Desa Lamanggo sebagai ibu kota

kecamatan, disusul Desa Buang, Desa Dalinsaheng, Desa Karungo dan

terakhir Desa Tope. Kecamatan Biaro mempunyai sebuah gunung yang dikenal

dengan nama Gunung Bukiri, yang oleh masyarakat biaro dikenal sebagai

tempat yang bersejarah. Gunung Bukiri tepat di wilayah Kampung Dalinsaheng.

(57)

53

kecamatan tetangga, kabupaten dan propinsi semuanya lewat laut. Kecamatan

Biaro dikenal dengan hasil perikanan laut, dan juga dan juga menawarkan

potensi alam wisata kebahariaan.

Letak geografis Kecamatan Biaro berada di 2038’8” – 2040’53” Lintang

Utara dan 125022’26” – 125025’10” Bujur Timur. Kecamtan Biaro ini juga

berbatasan langsung dengan:

- Di sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Tagulandang

- Di sebelah Timur berbatasan dengan Laut Maluku

- Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara

- Di sebelah Barat berbatasan dengan Laut Sulawesi

Untuk jarak Ibukota Kecamatan ke Ibukota Propinsi sekitar ± 44 mil Laut, jika

jarak ibukota kecamtan ke Ibukota Kabupaten 44 mil laut.

Kecamatan Biaro berdasarkan pembagian wilayah administratif

pemerintah daerah keadaan tahun 2008 sampai 2012 berbagi dalam 5 desa

dan 18 dusun/lindongan dipimpin oleh seorang camat. Pada tingkat desa

dipimpin oleh Kepala desa, yang disebut dengan Kapitalau, tingkat lindongan

dipimpin oleh kepala lindongan.

Jumlah penduduk di kecamatan biaro adalah berjumlah 3.593 jiwa.

Distribusi/ persebaran penduduk di kecamatan biaro terlihat sekitar 29,95%

penduduk tinggal di Desa Buang yang memiliki luas wilayah 5,54 km2 atau

sekitar 25,35% dari total keseluruhan luas wilayah kecamatan biaro. Desa

Dalinsaheng merupakan desa yang memiliki tingkat kepadatan penduduk

tertinggi yaitu sekitar 211-212 orang per kilometer persegi. Sementara desa

(58)

54

sekitar 99-100 orang perkilometer persegi. Sex ratio atau perbandingan

banyaknya laki-laki dan perempuan di Kecamatan Biaro adalah sebesar 99,39.

Sex ratio dibawah angka 100 menunjukan bahwa banyaknya jumlah penduduk

dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk

dengan jenis kelamin laki-laki.

Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan suatu daerah

adalah tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Pemerintah secara

konsisten berupaya melalui jalur pendidikan meningkatkan sumber daya

manusia penduduk di biaro. Peningkatan sumber daya manusia ini lebih

difokuskan pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi penduduk

untuk bersekolah. Adapun di Kecamatan Biaro terdapat beberapa sekolah yang

terdiri dari Sekolah Dasar Negeri/ Swasta, SLTP Negeri. Kecamatan Biaro juga

memiliki puskesmas umum, posyandu, tenaga kesehatannya. Banyaknya

akseptor aktif, Penduduk menurut agama yang dianut, banyaknya tempat

ibadah.

Jalan merupakan prasarana angkutan darat yang penting untuk

memperlancar kegiatan perekonomian. Tersedianya jalan yang berkualitas

akan mendukung usaha pembangunan khususnya untuk memudahkan

mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke

daerah lain. Selain itu untuk memenuhi transportasi darat di Kecamatan Biaro

(59)

55

4.1.2 Kondisi fisik

4.1.2.1 Kondisi Hidrologi dan sumber daya air

Di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro hanya sedikit aliran

sungai yang besar, salah satu aliran sungai yang cukup besar terdapat di Pulau

Tagulandang yaitu Sungai Minanga yang berada di Kecamatan Tagulandang

Utara, sedangkan di pulau lainnya hanya aliran sungai kecil. Sungai Minanga

memiliki lebar tidak lebih dari 15m dengan kedalaman air rata-rata 1 – 3 meter,

sungai ini dijadikan sebagai sumber air bersih bagi penduduk di sekitarnya. Di

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro terdapat beberapa mata air

potensial yang menjadi sumber air bersih bagi kebutuhan penduduk.

Tabel 4.3

Daerah Aliran Sungai (DAS) di Wilayah Kab. Kepl Siau Tagulandang Biaro

No. Nama DAS Luas (Ha) Debit (M3/dtk)

1. DAS Minanga + 3.169,33 0,3

2. DAS Karalung + 215,23 0,1

Sumber: Dinas PU Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro

Penyediaan air bersih untuk masyarakat di Kab. Kepl Siau Tagulandang

Biaro saat ini dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Ulu, dengan

memanfaatkan air yang berasal dari mata air Akelabo dan mata air Kalarung.

PDAM Ulu saat ini mendistribusikan air bersih masih terbatas untuk penduduk

di wilayah Siau Timur, Siau Barat, Siau Barat Selatan dan sebagian wilayah

Tagulandang. Sedangkan untuk wilayah lain di kabupaten ini ketersediaan air

bersih diusahakan oleh masyarakat sendiri seperti menggunakan sumur gali,

pada beberapa tempat yang susah air masyarakat memanfaatkan air hujan

dengan membangun PAH (Penampungan Air Hujan) untuk kebutuhan akan air

Gambar

TABEL 4.2
Tabel 4.3Daerah Aliran Sungai (DAS) di Wilayah Kab. Kepl Siau Tagulandang Biaro
Gambar 4.1. Posisi Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro di Provinsi Sulawesi Utara
Tabel 4.4 Jumlah dan kepadatan penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dalam membentuk moral yang baik di masyarakat Pagelaran

Diharapkan dengan adanya metode Material Requirement Planning (MRP) perencanaan dan persediaan bahan baku produksi berjalan dengan baik dan keberhasilan dalam pemenuhan

Berikut ini merupakan jenis fauna yang tidak ada di Indonesia bagian timur adalah ..... Hutan bakau (mangrove) di Indonesia dapat dijumpai di daerah berikut ini,

Thanks for your critiques and suggestions, The Lecturers of English Education Department, Eko Wahyudi, S.Pd, the Headmaster of SMP Bina Taruna Surabaya, Enni

Misalkan piringan Bulan dan Matahari tampak dengan diameter sudut yang sama ( D ) dan kedua titik pusat piringan objek terpisah oleh jarak D/ 2.. Dari gambar di bawah ini,

biaya yang ditanggung penjual akan lebih besar dengan harga pokok penjualan lebih kecil.. biaya ditanggung penjual lebih besar dengan pertimbangan harga pokok penjualan

Indonesia is rapidly expanding its program of transettlement of persons from the densely populated islands of Java, Bali and Lombok to agricultural development