• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kritis - Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kritis - Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kritis

Paradigma kritis terutama bersumber dari pemikiran sekolah Frankfrut.

Ketika itu di Jerman tengah terjadi proses propaganda besar-besaran Hitler. Media

dipenuhi prasangka, retorika dan propaganda. Media dijadikan alat dari

pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi saranan pemerintah mengobarkan

semangat perang, berangkat dari sana ternyata media bukalah entitas yang netral,

tetapi bisa dikuasai oleh kelompok yang dominan. Dari pemikiran sekolah

Frankfrut inilah lahir pemikiran paradigma kritis. Pernyataan utama dari

paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam

masyarakat yang mengontrol proses komunikasi. Menurut Sindhunata (Eriyanto

2001:24), teori kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme

lewat modal yang besar, yang mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan

masyarakat. Individu tidak lagi mempunyai kontrol terhadap modal tersebut,

malah secara alamiah pula jadi diluar kesadarannya ia harus menyesuaikan

dengan masyarakat yang dikuasai modal. Kondisi berita saat ini dengan akumulasi

modal besar-besaran menyatakan bahwa berita itu objektif, tapi melalui

paradigma kritis pertanyaan yang diajukan pertama kali itu adalah objektivitas itu

sendiri. Semua kategori harus dipertanyakan, karena bisa menjadi alat kelompok

dominan untuk memapankan kekuasaan dan dominasinya didalam masyarakat.

Menurut Horkheimer (Eriyanto 2001:24), teori kritis haruslah memberi

kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat yang irasional menjadi

masyarakat yang rasional, tori kritis yakini mampu menjadi teori emasipatoris

karena sifat dasar dari teori kritis yang selalu curiga dan mempertanyakan dengan

kritis dengan masyakat. Paradigma ini berasal dari Marx teorinya yang kritis

terhadap ekonomi jamannya, Marx menyatakan dalam sistem kapitalisme, orang

tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata terpaksa,

(2)

mengasingkan manusia, baik dari dirinya sendiri, maupun dari orang lain. Marx

melihat dalam masyarakat kapitalisme jamannya dimana sekelompok kecil

masyarakat pemilik modal telah memperbudak sekelompok besar masyarakat

kelas bawah melalui kekuatan modal dan kepemilikan hak pribadinya. (Franz

1999: 95)

Dalam pemikiran sekolah Frankfrut, media hanya dimiliki dan didominasi

oleh kelompok dominan dalam masyarakat dan menjadi sarana untuk meneguhkan

kelompok dominan sekaligus memarjinalkan dan meminggirkan kelompok

minoritas. Karena media dikuasai oleh kelompok yang dominan, realitas yang

sebenarnya telah terdistorsi dan palsu, Oleh karena itu, penelitian media dalam

perspektif ini terutama diarahkan untuk membongkar kenyataan palsu yang telah

diselewengkan dan dipalsukan tersebut oleh kelompok dominan untuk

kepentingannya.

Pemikiran Madzhab Frankfurt ini dikembangkan oleh Stuart Hall

(Eriyanto 2001:25) ia mengkritik kecendrungan studi media yang tidak

menempatkan ideologi sebagai bagian yang penting, Hall menggunakan berbagai

teori dari Saussure, Levi Strauss, Bathes Lacan, Althusser dan Gramsci untuk

menjelaskan bagaimana peran media dalam meresapkan ideologi tersebut, dalam

tulisannya ia berusaha menjelaskan bagaimana ideologi meresap dalam teks,

mengkonstruksi pembentukkan realitas dalam kehidupan sehari-hari. Ia bergerak

dari teori struktural Althusser dan mengadopsi teori hegemoni untuk menjelaskan

bagaimana teks dapat membentuk ideologi dan bisa menjadi lahan studi bagi

analisis kritis

Sejak tahun 1960-an, studi media didominasi oleh pendekatan behavioris,

terutama di Amerika. Dalam penelitian ini media diandaikan memiliki kekuatan

yang besar, akan tetapi tidak dipandang secara serius karena masyarakat dilihat

sebagai pluralis, terdiri dari berbagai kelompok-kelompok yang berbeda

kepentingannya, pluralitas itulah yang akan ditampilkan dalam media dan

beragam kepentingan itu akan mencapai titik ekuilibrium dalam bentuk konsensus

dengan sendirinya jika dibiarkan alami dan tidak melalui paksaan. Hall mengkritik

hal ini dengan memasukkan teori mengenai normal dan penyimpangan (Eriyanto,

(3)

definisi diskriminatif dan menyimpang dari masyarakat atau partisipasi kelompok

lain sebagai kondisi yang ilmiah. Dan bagaimana definisi menyimpang ini

diterapkan untuk orang miskin, buruh, petani, kelompok minoritas, atau kulit

hitam. Terjadinya konsensus antara yang normal dan yang menyimpang tersebut

menurut Hall, bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah tetapi didefinisikan secara

sosial.

Oleh karena itu, konsensus dibentuk melalui praktik sosial, politik, disiplin

legal dan bagaimana kekuasaan, otoritas itu ditempatkan, jadi menurut Hall,

konsensus itu terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi

sosial dan legitimasi. Media dipandang tidaklah refleksi dari konsensus, tetapi

media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan

melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi

tindakan lain.Pembentukkan “definisi tentang situasi” tesebut adalah suatu proses

yang harus dianalisis, karena melalui pendefinisian itulah media bekerja, sehingga

realitas disini tidak lagi dianggap sebagai seperangkat fakta, tetapi hasil dari

pandangan tertentu dari pembentukkan realitas, medialah menjadi kunci utama

pertarungan kekusaan tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan

dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh

khayalak. Konstruksi realitas lewat media, menempatkan masalah representasi

menjadi isu utama dalam penelitian kritis.

Dalam pembentukkan realitas tersebut ada 2 titik perhatian Hall (Eriyanto

2001:24). Pertama, bahasa. Bukan sebagai sistem penandaan seperti pandangan

kaum strukturalis, bahasa disini dianggap sebagai arena pertarungan sosial dan

bentuk pendefinisian realitas. Jadi kenapa si A harus kita tafsirkan seperti ini

bukan seperti itu, dikarenakan lewat pertarungan sosial dalam memperebutkan

dan memperjungakan makna, pada akhirnya penafsiran atau pemaknaan tertentu

yang menang dan lebih diterima, lebih dari itu penafsiran dan pemaknaan lainnya

dianggap tidak benar dan meyimpang.

Kedua, politik penandaan, yakni bagaimana praktik sosial dalam

membentuk makna, mengontrol dan menentukan makna. Titik perhatian disini

adalah peran media dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan

(4)

menjadi bidang dimana pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat, ia

melekat dalam produksi sosial, produksi media dan sistem budaya. Sehingga efek

dari ideologi dalam media itu menampilkan pesan dan realitas hasil konstruksi

tersebut tampak seperti nyata, natural dan benar dan kita sebagai anggota dari

komunitas tersebut hanya tinggal menerima (taken for granted) dalam

pengetahuan mereka.

2.2 Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis

Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita yang

bersumber darimana berita itu bersumber, bagaimana berita tersebut diproduksi

dan bagaimana kedudukan wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan

proses produksi berita yaitu (Eriyanto 2001:31) :

1. Fakta

Bagi kaum kritis, realitas merupakan kenyataan semu yang telah terbentuk

oleh proses kekuatan sosial,politik dan ekonomi. Oleh karena itu,

mengharapkan realitas apa adanya tidaklah mungkin, karena sudah

tercelup oleh kelompok ekonomi dan poltik, Mengutip Stuart Hall

(Eriyanto 2001:31), realitas tidak secara sederhana dilihat sebagai 1 set

fakta. Tetapi hasil dari ideologi dan pandangan tertentu. Definisi mengenai

realitas ini diproduksi secara terus-menerus melalui praktik bahasa yang

dalam hal ini selalu bermakna sebagai pendefinisian secara selektif realitas

yang hendak ditampilkan. Implikasinya adalah suatu persolan atau

peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna

integral, tunggal dan intrisik. Makna yang muncul hanyalah makna yang

ditransformasikan melalui bahasa. Makna dalam konteks ini adalah sebuah

produksi sosial, hasil sebuah praktik. Bahasa dan simbolisasi adalah

perangkat yang digunakan untuk memproduksi makna.

Bagi kaum kritis berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara

berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan

(5)

menyatakan bahwa fakta adalah yang sebenarnya yang dapat diliput oleh

wartawan, berita bagi kaum ini adalah refleksi dan pencerminan dari

realitas atau miror of reality sehingga harus mencerminkan realitas yang

hendak diberitakan. Hal ini disanggah oleh pandangan kritis yang

menyatakan bahwa realitas yang hadir didepan wartawan sesungguhnya

adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas itu telah disaring dan

disuarakan oleh kelompok yang dominan dalam masyarakat, Realitas pada

dasarnya adalah pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan

basis penafsiran masing-masing. Sehingga realitas yang dihasilkan

bukanlah realitas yang alamiah, tetapi sudah melalui proses pemaknaan

kelompok yang dominan dan konstruksi tersebut ditentukan oleh

bagaimana kekuatan yang dominan memberi pengaruh yang besar dalam

fakta yang hadir di tengah khalayak bagi kepentingan mereka (kelompok

dominan)

2. Posisi Media

Pandangan kritis melihat media bukan hanya alat dari kelompok

dominan, tetapi juga memproduksi ideologi dominan, membantu

kelompok dominan menyebarluaskan gagasannya, mengontrol kelompok

lain dan membentuk konsensus antar anggota komunitas. Lewat medialah,

ideologi dominan, apa yang baik dan apa yang buruk dimapankan

(Eriyanto 2001:36). Media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek

yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan

pemihakkanya. Dalam pandangan kritis, media juga dipandang sebagai

wujud dari pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada

dalam masyarakat. Disini, media bukan sarana yang netral yang

menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa

adanya, tetapi kelompok dan ideologi yang dominan itulah yang akan

tampil dalam pemberitaan.

Titik penting memahami media menurut paradigma kritis adalah

bagaimana media melakukan politik pemaknaan, menurut Stuart Hall

(6)

sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan. Makna adalah suatu produksi

sosial, suatu praktik, menurutnya media massa pada dasarnya tidak

mereproduksi, melaikan menentukan (to define) realitas melalui

pemakaian kata-kata yang terpilih. Makna, tidaklah secara sederhana dapat

dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan

sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Media

di sini dipandang sebagai perang antar kelas. Ia adalah media diskusi

publik di mana masing-masing kelompok sosial tersebut saling bertarung,

saling menyajikan perspektif untuk memberikan pemaknaan terhadap

suatu persoalan. Setiap pihak menggunakan logika, penafsiran, dan bahasa

tertentu agar pandangannya lebih diterima oleh publik. Dalam pandangan

kritis, pada akhirnya kelompok yang dominanlah yang menguasai

pembicaraan dan menentukan wacana.

3. Posisi Wartawan

Paradigma krtis melihat wartawan dalam menghasilkan berita tidak

mungkin mengesampingkan atau menghilangkan aspek etika, moral dan

nilai-nilai tertentu, Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya,

apa yang dia lihat. Moral dalam banyak hal berarti keberpihakan pada satu

kelompok atau nilai tertentu adalah bagian yang integral yang tidak dapat

terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. Wartawan

disini bukanlah pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipasi

dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Karena

fungsinya tersebut wartawan menulis berita bukan hanya sebagai penjelas,

tetapi membentuk realitas sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Ini

karena wartawan dipandang bukanlah subjek yang netral dan otonom.

Sebaliknya, wartawan adalah bagian dari anggota suatu kelompok

(7)

4. Hasil Liputan

Kaum pluralis menyatakan andaikata ada standar yang baku itu

sering kali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dua sisi, netral

dan objektif. Peliputan yang berimbang ini artinya menampilkan

pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat dan hendak

diberitakan. Akan tetapi paradigma kritis menyangkal itu semua,

persoalannya bukannya pada bagimana baik-buruknya laporan itu, tapi

apakah laporan itu memiliki bias atau tidak. Artinya kalau ada wartawan

yang menulis berita dari satu sisi, mewawancarai hanya satu pihak,

memasukkan banyak opini pribadi, bukan lagi masalah benar atau salah,

tapi semuanya itu bagian dari kerangka ideologi wartawan itu. Wartawan

adalah bagian dari kelompok dominan yang bertujuan meminggirkan

kelompok yang dominan bahkan wartawan cendrung memilih apa yang

ingin dia lihat dan menulis apa yang ingin dia tulis. Ketika melihat suatu

peristiwa dan menulis sesuatu, wartawan bahkan tidak bisa menghindari

diri dari stereotipe, melihat dengan sikap dan pandangan personalnya.

Oleh karena itu perhatian penelitian harus diarahkan untuk mencari

ideologi wartawan tersebut dan bagaimana ideologi itu dipraktikkan untuk

memarjinalkan kelompok lain lewat berita.

2.3 Ideologi

Dalam pengertian yang paling umum dan yang paling lunak, ideologi

adalah pikiran yang terorganisasi, yakni nilai, orientasi dan kecendrungan yang

saling melengkapi sehingga membentuk perspektif-perpektif yang diungkapkan

melalui komunikasi (Lull, 1995:1). Ideologi juga menjadi konsep yang sentral

dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan dan

lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi

tertentu. Teori-teori menyatakan bahwa ideologi dibentuk oleh kelompok yang

dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka.

Salah satu cara yang digunakan adalah membuat kesadaran kepada khalayak

(8)

dalam pendekatan ini dipandang sebagai medium melalui dimana kelompok yang

dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi

kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar

(Eriyanto 2001:13).

Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada

kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang mendominasi menganggap

hal tersebut sebagai kewajaran dan kebenaran. Disini menurut Van Djik, dapat

menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana

kelompok yang dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak

dominan melalui kampanye disinformasi (seperti agama tertentu yang

meyebabkan suatu kerusuhan, orang kulit hitam selalu bertindak kriminal) melalui

kontrol media, dan sebagainya, sehingga kita menganggap suatu yang wajar kalau

kita melihat film dimana digambarkan penjahatnya adalah orang kulit hitam atau

orang cina yang terlibat mafia obat-obat terlarang. Inilah contoh bagaimana

ideologi itu bekerja, yang membuat kita tidak sadar untuk mempertanyakan

penggambaran seperti itu. Oleh Karena itu, ideologi selalu berpretensi untuk

melanggengkan status quo, menggambarkan kelompok dominan lebih bagus

daripada kelompok yang minoritas.dan meskipun struktur hubungan tersebut

berlansung timpang dan tidak dominan, namun kita tidak pernah

mempertanyakannya dalam (Eriyanto 2001:31)

Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Alhusser.

Ideologi atau level suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang

dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi.

Althusser mengatakanmengatakan ada 2 dimensi hakiki negara: Represif (Represif

State Apparatus/RSA) dan ideologi (Ideological State Aparatus/ISA). Kedua

dimensi ini erat dengan eksistensi negara sebagai alat perjuangan kelas, yang satu

dengan jalan memaksa, sedangkan yang lain dengan jalan mempengaruhi.

Meskipun berbeda, kedua perangkat tersebut mempunyai fungsi yang sama, yakni

melanggengkan penindasan yang tampak dalam relasi produksi masyarakat. RSA

pada mulanya bersifat menindas, penindasan yang dilakukan ini selanjutnya diberi

arti ideologis (seolah-olah bernilai dan sah). ISA bersifat sebaliknya RSA bersifat

(9)

saling berintegrasi dalam rangka fungsi represif negara. RSA mengamankan

kondisi politik yang diciptakan oleh ISA dengan tindak manipulasi kesadaran

warga masyarakat. Justru karena RSA terhadap situasi politik yang diciptakan

oleh ISA ini, ISA menyusun suatu kerangka legitimasi yang akan mengabsahkan

tindakan RSA tersebut hingga masyarakat tidak akan melawan tindakkan

memaksa RSA, bahkan diterima sebagai kebenaran. Dalam konsepsi ideologi ini,

media ditempatkan Althusser sebagai Ideological State Apparatus, bagaimana

mempertahankan kekuasaan melalui seperangkat alat kebahasaan.

2.4 Hegemoni

Konsep hegemoni dipopulerkan ahlih filsafat politik terkemukan Italia,

Antonia Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak

hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi

juag kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa

untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara

produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan

pelestarian “kepatuhan aktif” dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh

kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik.

Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang

dijalankan untuk mepertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan para

korbannya, sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam

pikiran mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang

disebarkan secara sadar dan dapat meresap, serta berperan dalam menafsirkan

pengalaman tentang kenyataan.

Hegemoni bekerja melalui dua saluran yaitu ideologi dan budaya. Melalui

hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan

dapat ditularkan. Akan tetapi hal ini sangat berbeda dengan manipulasi dan

indoktrinasi, hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai suatu

kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemonik itu menyatu tersebar dalam praktik

kehidupan, persepsi dan pandangan dunia sebagai sesuatu yang dilakukan dan

(10)

Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu

kelompok terhadap kelompok lain. Salah satu kekuatan hegemoni adalah

bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang

dianggap benar. Dalam proses produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang

halus, sehingga apa yang diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran,

memang begitulah adanya, logis dan bernalar (common sense) dan semua orang

menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan (Eriyanto

2001:105). Maka dari itu perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan

ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah

satunya kunci adalah nalar atau common sense ini, jika ide atau gagasan dari

kelompok dominan/berkuasa telah diterima sebagai sesuatu yang common sense

dan tidak didasarkan pada kelas sosial, kemudian ideologi itu diterima, maka

hegemoni telah terjadi.

2.5 Analisis Wacana Kritis

Dalam analisis wacana kritis, wacana di sini tidak dipahami semata

sebagai studi bahasa. Pada akhirnya memang analisis wacana memang

menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis di

sini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa

dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tepai

juga dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan

praktik tertentu, yang termasuk didalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto 2001:7)

Menurut Fairclough dan Wodak (1997, 258), analisis wacana kritis

melihat wacana sebagai bentuk praktik sosial. Menggambarkan wacana sebagai

praktik sosial menyebabkan hubungan dialektis, di antara peristiwa diskursif

tertentu dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik

wacana dalam hal ini bisa menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan

mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial,

laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas, kelompok minoritas melalui dimana

(11)

Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor yang penting, yakni

bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan yang terjadi

didalam masyarakat. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui

bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya

masing-masing (Fairclough & Wodak 1997). Karakteristik penting analisis

wacana menurt Teun A, Van Djik, Fairclogh dan Wodak. (Eriyanto 2001:7) :

1. Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action).

Dangan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagi bentuk

interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti dalam ruangan tertutup,

konsekuensi dari hal ini adalah bahwa, wacana dipandang sebagai sesuatu

yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,

menyangga, bereaksi dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai

sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol bukan sesuatu yang

diluar kendali.atau diekspresikan diluar kesadaran.

2. Konteks

Analisis wacana memperhatikan konteks wacana, seperti latar,

situasi, peristiwa dan kondisi, wacana dipandang sebagai sesuatu yang

diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Menurut

Guy Cook analisis wacana memeriksa konteks komunikasi: siapa yang

mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan

situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari

perkembangan komunikasi; dan hubungan dengan masing-masing pihak.

Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan

mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipasi dalam bahasa, situasi

dimana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan

sebagainya. Wacana disini dimaknai sebagai teks dan konteks

bersama-sama (Eriyanto 2001:9).

Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks

(12)

dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi gambran

spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa disini,

memasukkan konteks, karena bahasa selalu berada dalam konteks dan

tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipasi, interteks, situasi dan

sebagainya.

3. Historis

Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan

menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu. Misalnya, kita

melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa menentang

Soeharto. Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh

kalau kita bisa memberikan konteks historis dimana teks itu diciptakan.

Bagaimana situasi sosial dan politik pada saat itu. Oleh karena itu, kita

perlu mempertimbangkan mengapa wacana yang berkembang atau yang

dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti (Eriyanto,

2001:11)

4. Kekuasaan

Setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau

apa pun, tidak dipandangsebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral

tetapi merupakan pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah

satu kunci hubungan antara wacana dengan kekuasaan. Analisis wacana

kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja

tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik,

ekonomi dan budaya tertentu.

Kekuasaan itu dalam hubungan dalam hubungannya dengan

wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol, Satu

orang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana.

Kontrol disini tidaklah harus dalam bentuk fisik dan langsung tapi juga

kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut

bisa bermacam-macam. Bisa berupa kontrol atas konteks yang secara

(13)

siapa pula yang hanya bisa mendengar dan mengiyakan. Selain konteks,

kontrol tersebut juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur

wacana. Seseorang yang mempunyai lebih besar kekuasaan bukan hanya

menentukan bagian mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak

tetapi juga bagaimana ia harus ditampilkan. Ini misalnya dapat dilihat dari

penonjolan atau pemakaian kata-kata tertentu (Eriyanto, 2001:12).

2.6 Analisis Wacana Model Theo Van Leeuwen

Theo Van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk

mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan

posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu kelompok dominan lebih

memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa, Van Leeuwen menjelaskan

bahwa ideologi dan kekuasaan itu tercermin lewat teks (Eriyanto, 2001:346) dan

bahasa itu adalah pencerminan dari ideologi, sehingga dengan mepelajari bahasa

yang tercermin dalam teks, ideologi dapat dibongkar. Titik perhatian Van leeuwen

terutama didasarkan pada bagaimana penggambaran peristiwa dan aktor-aktor

ditanpilkan dengan cara yang tertentu lewat teks media. Penggambaran itu

mencerminkan bagaimana pertarungan sosial itu terjadi. Masing-masing

kelompok saling menonjolkan basis penafsirannya sendiri dan memunculkan

bahasanya sendiri.

Di sini, ada kaitan antara wacana dan kekuasaan. Kekuasaan bukan hanya

bekerja melalui jalur-jalur formal atau hukum, tetapi juga melalui serangkaian

wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok lain sebagai yang

tidak benar dan buruk. Salah satu agen dalam pendefinisian itu adalah media.

Lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung

membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu.

Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi sesuatu hal atau

kelompok dan mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain (Eriyanto,

(14)

Analisis Van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak

dan aktor (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Ada

dua pusat perhatian:

A. Exclusion

Pertama, proses pengeluaran (exclusion). Apakah dalam suatu teks berita ada

kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan dan strategi wacana apa

yang dipakai untuk itu. Proses pengeluaran ini akan, secara tidak langsung bisa

mengubah pemahaman khayalak akan suatu isu dan melegitimasi posisi

pemahaman tertentu. Berikut adalah strategi bagaimana suatu kelompok atau

seorang individu itu dikeluarkan dalam pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).

1. Pasivasi

Pada dasarnya ini adalah proses bagaimana satu kelompok atau

aktor tertentu tidak dilibatkan dalam suatu pembicaraan atau wacana.

Menurut van Leeuwen, kita perlu mengkritisi bagaimana masing-masing

kelompok itu ditampilkan dalam teks, apakah ada pihak atau aktor yang

dengan strategi wacana tertentu hilang dalam teks. Salah satu cara klasik

untuk mengetahui hal ini adalah dengan membuat kalimat dalam bentuk

pasif.

2. Nomalisasi

Strategi ini berhubungan dengan mengubah kata kerja (verba)

menjadi kata benda (nomina). Umumnya dilakukan dengan memberikan

imbuhan “pe-an,” hal ini dilakukan karena ada hubungannya dengan

kalimat yang berbentuk aktif. Dalam struktur kalimat yang berbentuk aktif,

selalu membutuhkan subjek. Kalimat aktif juga selau berbentuk kata kerja

yang menunjukkan pada apa yang dilakukan (proses) oleh subjek.

Sebaliknya kata benda tidak membutuhkan subjek, karena ia bisa hadir

mandiri dalam kalimat. Nomalisasi tidak membutuhkan subjek, karena

nominalisasi pada dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang

(15)

3. Penggantian anak kalimat

Penggantian subjek juga dapat dilakukan dengan memakai anak

kalimat yang sekaligus berfungsi sebagai pengganti aktor.

B. Inclusion

Proses pemasukkan (inclusion) adalah kalau suatu kelompok atau aktor

ditampilkan didalam media dengan menggunakan strategi wacana. Dengan

memakai kata, kalimat, informasi, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu,

cara berbicara tertentu yang direpresentasikan dalam teks. Berikut adalah strategi

bagaimana suatu kelompok atau seorang individu itu dimasukan dalam

pembicaraan (Eriyanto, 2001;174-190).

1. Deferensiasi-Indiferensiasi

Ini merupakan strategi wacana bagaimana suatu kelompok

disudutkan dengan menghadirkan kelompok atau wacana lain yang

dipandang lebih dominan atau lebih bagus. Satu peristiwa atau aktor sosial

bisa ditampilkan dalam teks secara mendiri, sebagi suatu peristiwa yang

unik atau khas, tetapi bisa juga dibuat kontras dengan menampilkan

peristiwa atau aktor lain dalam teks. Hadirnya (inclusion) peristiwa atau

kelompok lain selain yang diberitakan itu, menurut van Leeuwen, bisa

menjadi pertanda baik bagaimana suatu peristiwa direpresentasikan

didalam teks. Penghadiran kelompok atau peristiwa lain secara tidak

langsung ingin menujukkan bahwa kelompok itu tidak lebih bagus

dibandingkan dengan kelompok lain.

Deferensiasi dalam wujudnya sering kali menimbulkan prasangka

tertentu, terutama dengan membuat membuat garis batas antara pihak

“kita” dan pihak “mereka,” kita baik sementara mereka buruk, hal ini

menunjukkan bagaimana strategi wacana tertentu satu kelompok yang

(16)

2. Objektivasi-Abstraksi

Elemen wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah

informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial dtampilkan dengan

memberi petunjuk yang konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstrak.

3. Nominasi-Kategorisai

Dalam suatu pemberitaan mengenai aktor (sesorang/kelompok)

atau mengenai suatu permasalahan, sering kali terjadi pilihan apakah aktor

tersebut ditampilkan apa adanya ataukah yang disebut adalah kategori dari

aktor sosial tersebut. Kategori ini bisa macam-macam yang menunjukkan

ciri penting dari seseorang: bisa berupa agama, status,bentuk fisik dan

sebagainya.

4. Nominasi-Identifikasi

Strategi wacana ini hampir mirip dengan kategorisasi, yakni

bagaimana suatu kelompok, peristiwa atau tindakkan tertentu

didefinisikan. Bedanya dalam indentifikasi, proses pendefinisian itu

dilakukan dengan memberi anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua

proposisi, dimana proposisi kedua adalah penjelas atau keterangan dari

proposisi pertama. Umumnya dihubungkan dengan kata hubung seperti

yang, di mana. Proposisi kedua ini dalam kalimat posisinya sebenarnya

murni sebagai penjelas siapa orang itu atau apa tindakan atau peristiwa itu.

Akan tetapi sering kali pemberian penjelas ini mensugestikan makna

tertentu karena umumnya berupa penilaian atas seseorang, kelompok, atau

tindakkan tertentu,

5. Determinasi-Indeterminasi

Dalam pemberitaan sering kali aktor atau peristiwa disebutkan

secara jelas, tetapi sering kali juga tidak jelas (anomin). Anonimitas ini

bisa jadi karena wartawan belum mendapakan bukti yang cukup untuk

menulis, sehingga lebih aman untuk menulis anomin. Dengan membentuk

(17)

tidak spesifik. Efek generalisasi ini makin besar kalau, miasalnya, anonim

yang dipakai dalam bentuk plural seperti banyak orang, sebagaian orang,

dan sebagainya.

6. Asimilasi-Individualisasi

Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor

sosial yang diberitakan ditunjukkan dengan jelas kategorinya atau tidak.

Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial

yang spesifik yang disebut dalam berita tetapi komunitas atau kelompok

sosial di mana seseorang tersebut berada.

7. Asosiasi-Disosiasi

Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan, apakah aktor

atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah ia dihubungkan dengan

Referensi

Dokumen terkait

129 2.Uji Linieritas Iklim (X2)Organisasi Terhadap Produktivitas Sekolah (Y)... Uji Linierias data Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Terhadap Iklim Organisasi

Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner In: Buku Ajar Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1 st Edition, Jakarta

“PERBANDINGAN BERATNYA LESI ARTERI KORONER PASIEN PACSA ACUTE CORONARY SYNDROME DENGAN FAKTOR RESIKO DIABETES MELITUS DAN NON- DIABETES MELITUS DI RSUP HAJI ADAM

Berdasarkan uraian diatas penulis mencoba untuk menganalisa hal-hal apa saja yang mempengaruhi konsumen dalam menggunakan jasa transportasi kereta api dengan menggunakan 5

membentuk kedisiplinan serta kepribadian siswa SMPN 1 Sumbergempol. Tulungagung yang sesuai dengan

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengambil judul dalam penelitian ini adalah “Pengaruh Capital Adequacy Ratio, Laba Akuntansi, dan Komponen Arus Kas Terhadap

variabel yang ada dalam penelitian ini, yaitu gaya berpikir dan coping strategy. sebagai variabel independen dan resiliensi sebagai

[r]