• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMBIAYAAN BERMASALAH A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian - Analisis Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Perusahaan Pembiayaan Astra Credit Company Di Medan (Studi Pada PT Astra Credit Company Cabang M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMBIAYAAN BERMASALAH A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian - Analisis Terhadap Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Perusahaan Pembiayaan Astra Credit Company Di Medan (Studi Pada PT Astra Credit Company Cabang M"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMBIAYAAN BERMASALAH

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi mengenai persetujuan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan nama suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas. Untuk dapat mencerminkan apa yang dimaksud perjanjian, Rutten dalam Purwahid Patrik merumuskan sebagai berikut :36 “Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditunjukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik”. Perjanjian berasal dari istilah belanda yaitu “overeenkomst” menurut J. Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih kedua belah pihak saling

36Purwahid Patrik,Perikatan yang lahir dari Perjanjian, (Semarang : Seksi Hukum Perdata

(2)

mengikat diri.37 R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lainnya atau kedua orang itu saling berjanji untuk saling melaksanakan suatu hal.38 Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akhibat hukum.39Wirjono Projodikoro, memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta dan benda antara kedua belah pihak dalam mana satu pihak berjanji untuk melaksanakan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.40 Suatu perjajian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti pemberian kredit, asuransi, dan jual beli barang.41Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan secara tertulis dan perjanjian yang dilakukan secara lisan, kedua bentuk perjanjian tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja perjanjian secara tertulis dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan.42

37J. Satrio,

Hukum Perjanjian,(Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 20.

38R. Subekti,Hukum perjanjian,(Jakarta, Cetakan ke XII, Intermasa, 1987), hal. 1. 39Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta,Edisi

kelima,Liberty, 1998), hal. 4.

40 Wirjono Projodikoro,Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan tertentu,

(Bandung, Sumber, 1979), Hal. 7.

(3)

2. Asas-Asas Perjanjian

a. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1315 menegaskan : ”Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

b. Asas Konsensualitas

(4)

dinyatakan cukup. Sesuai dengan artinya konsensualitas adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan bahwa terjadinya suatu perjanjian setelah terjadi suatu kata sepakat dari kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, dengan kesepakatan maka perjanjian menjadi sah dan mengikat kepada para pihak dan berlaku bagi undang-undang bagi mereka.43

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang ataupun belum diatur dalam undang-undang. Karena hukum perjanjian mengikuti asas kebebasan berkontrak, oleh karena itu disebut juga menganut sistem terbuka. Hal ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KitabUndang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sedangkan menurut sultan remi sjahdeni, asas kebebassan berkontrak dalam perkembangannya ternyata dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memilikibergaining power yang seimbang dalam kenyataanya tersebut sering tidak terjadi demikian sehingga negara menganggap perlu untuk campur tangan melindungi pihak yang lemah.44

43Gatot Supramono,Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009), hal. 164 44 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang dalam

(5)

Asas ini menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa saja, perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi, asalkan perjanjian nya tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.45

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. Itikad baik yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Istilah itikad baik dalam pelaksanaan suatu perjanjian terdapat di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi : “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu dan oleh kata ketentuan-ketentuan perundang-undangan mengenai perjanjian itu, melainkan juga itikad baik. Asas yang dikutip oleh Purwahid Patrik menyatakan bahwa bona fides adalah merupakan kerangka yuridis dari kepatutan selanjutnya ia mengatakan bahwa kekacauan terjadi karena kepatutan in abstracto menurut sifatnya adalah sesuatu yang objektif, sedangkan bona fides (itikad baik) dalam arti yang sebenarnya terletak pada jiwa manusia.46 Asas itikad baik tidak hanya ada pada waktu pelaksanaan perjanjian, akan tetapi pada waktu

45Gatot Supramono,op.cit.,hal. 164

46 Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Keputusan dalam perjanjian, (Semarang badan

(6)

membuat perjanjian juga dilandasi dengan itikad baik, sehingga itikad baik antara pada waktu membuat perjanjian dengan pelaksanaan menjadi sinkron.47

e. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginesl)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak, dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikat dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.48 Dalam asas ini para pihak yang melakukan perjanjian masing-masing harus saling percaya satu sama lain, kepercayaan itu menyangkut saling memenuhi kewajibannya seperti yang diperjanjikan.49

f. Asas kepatutan

Suatu perjanjian dibuat bukan hanya semata-mata memperhatikan ketentuan undang-undang, akan tetapi kedua belah pihak harus memperhatikan pula tentang kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di masyarakat sehingga perjanjian itu dibuat secara patut, dan melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.50

g. Asas kekuatan mengikat

Suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan

47Gatot Supramono,op.cit., hal. 165.

48 Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang

Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung, Alumni, 1983), hal 113-114

(7)

tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral, yang mengikat para pihak.51

h. Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk saling menghormati satu sama lain.52

i. Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuat. Asas ini merupakan merupakan kelanjutan dari asas persamaan, kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan Jika diperluka dapat menuntut perluasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun kreditor memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik, dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditor yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditor dan debitor seimbang.53 j. Asas keadilan

Asas keadilan lebih tertuju pada isi dari perjanjian bahwa ini perjanjian harus mencerminkan adanya keadilan pada kedua belah pihak yang berjanji, isi perjanjian harus seimbang antara hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan tidak ada perbuatan penekanan fisik maupun psikis sewaktu membuat perjanjian.54

51Mariam Darus Badrulzaman,op.cit., hal. 114. 52Loc.cit.

53Loc.cit.

(8)

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu :

a. Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya

Adanya kata sepakat, berarti bahwa subjek (kreditor dan debitor) yang mengadakan perjanjian itu dengan kesepakatan, yaitu setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari isi perjanjian itu. Artinya apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat ternyata kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat sejumlah teori, yaitu55: 1) Teori kehendak(wilstheorie)

Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu perjanjian, mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

2) Teori kepercayaan(vetrouwenstheorie)

Berdasarkan teori kepercayaan, kata sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah satu pihak dapat dipercaya secara

(9)

objektif oleh pihak lainnya. Pada umumnya pernyataan yang dipercaya berasal dari pihak debitor setelah kreditor mengetahui semua informasi yang berhubungan dengan debitor.

3) Teori ucapan(uitinggstheorie)

Menurut teori ini landasan kata sepakat didasarkan pada ucapan atau jawaban pihak debitor. Kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitor mengucapkan persetujuan terhadap penawaran yang dilakukan oleh debitor. Apabila jawaban dilakukan dengan tulisan atau surat maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat menulis surat jawaban.

4) Teori pengiriman(verzendingstheorie)

Dalam teori pengiriman , kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat debitor mengirimnya dilakukan melalui pos, maka kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat surat jawaban itu diberi cap atau distempel oleh kantor pos.

5) Teori penerimaan(onvangstheorie)

Menurut teori penerimaan, kata sepakat dianggap telah terjadi pada saat kreditor menerima surat jawaban atau menerima jawaban lisan melalui telepon dari debitor.

6) Teori pengetahuan(vernemingstheorie)

(10)

pengetahuan memandang kreditor mengetahui baik secara lisan maupun tulisan.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Seseorang yang dapat membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Hakikatnya setiap orang yang sudah dewasa (sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah menikah walaupun belum mencapai umur 21 tahun) dan sehat akal adalah cakap menurut hukum. Aspek keadilan dilihat dari orang yang membuat perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu harus mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya atas perbuatannya itu.

c. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian atau objek perjanjian serta prestasi yang wajib dipenuhi, kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian itu dimaksudkan untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika pokok perjanjian, objek perjanjian dan prestasi itu tidak dilaksanakan maka perjanjian itu batal. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat ketiga ini berakibat batal demi hukum, oleh karena itu perjanjian dianggap tidak pernah ada.

d. Suatu sebab yang halal

(11)

bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-Undang tidak mempedulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, yang menjadi perhatian dan yang diawasi oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak. Menurut Abdulkadir Muhammad, akibat huum perjanjian yang berisi tidak halal adalah batal (nietig, void). Tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan pejanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa (sebab) maka ia dianggap tidak pernah ada (Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).56 Semua perjanjian yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian batal demi hukum, untuk dapat menyatakan demikian diperlukan formalitas tertentu, yaitu dengan putusan pengadilan, hal ini menyangkut kepercayaan, karena perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan berakibat semua orang menjadi percaya pada putusan tersebut.57

4. Objek dan Subjek Perjanjian a. Objek perjanjian

Seorang kreditor berhak atas suatu prestasi yang diperjanjikan, dan debitor melaksanakan prestasi, dengan demikian hakikat dari suatu perjanjian adalah

56 Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke III, (Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti, 2000), hal. 227.

(12)

pelaksanaan prestasi. Prestasi merupakan objek dari suatu perikatan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wujud prestasinya ialah :

1) memberikan sesuatu, 2) berbuat sesuatu, 3) tidak berbuat sesuatu.

Tentang objek/prestasi perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu yang logis dan praktis, takkan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak menentukan hal demikian.58 Maka Pasal 1320 ayat (3) menentukan, bahwa objek/prestasi perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu (een bepaalde onderwarp). Sekurang-kurangnya objek itu mempunyai “jenis” tertentu seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Objek atau jenis objek merupakan persyaratan dalam mengikat perjanjian, dengan sendirinya perjanjian demikian “tidak sah” jika seluruh objek/voorwep-nya tidak tertentu.

b. Subjek Perjanjian

Kreditor dan debitor itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditor mempunyai hak atas prestasi dan debitor wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Sesuai dengan teori dan praktek hukum, kreditor terdiri dari :

1) Individu sebagai persoonyang bersangkutan : natuurlijke persoonatau manusia tertentu,rechts persoonatau badan hukum.

(13)

2) Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu : seorangbezitteratas kapal.

3) Beziteerdapat bertindak sebagai kreditor dalam suatu perjanjian. Kedudukan nya sebagai subjek kreditor bukan atas nama pemilik kapalinpersoon.

4) Persoonyang dapat diganti.

Mengenai persoon kreditor yang “dapat diganti” atau vervangbaar, berarti kreditor yang menjadi subjek pemula, telah ditetapkan dalam perjanjian; sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditor baru. Perjanjian yang dapat diganti ini dapat dijumpai dalam bentuk perjanjian“aan order”atau perjanjian atas order/atas perintah. Demikian juga dalam perjanjian“aan tooder” perjanjian “atas nama” atau “kepada pemegang/pembawa” pada surat-surat tagihan hutang (schuldvordering papier). Tentang siapa yang menjadi debitor, sama keadaannya dengan orang-orang yang dapat menjadi kreditor :

1) Individu sebagai persoon yang bersangkutan : natuurlijke persoon atau manusia tertentu,rechts persoonatau badan hukum.

2) Seseorang atas kedudukan/keadaan tertentu bertindak atas orang tertentu. 3) Seseorang yang dapat diganti menggantikan kedudukan debitor semula, baik

atas dasar bentuk perjanjian maupun izin persetujuan debitor. Perjanjian Pembiayaan Konsumen

(14)

dana bagi masyarakat perlu diperluas, dimana salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan pembiayaan, diantaranya Pembiayaan Konsumen.

Untuk mendukung maksud tersebut, maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dan terakhir dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan untuk melengkapi Keputusan Presiden sebelumnya.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, menyatakan bahwa Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.

Berdasarkan pengertian lembaga pembiayaan sebagaimana dimaksud di atas, maka dalam lembaga pembiayaan terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Badan Usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara

membiayai pihak-pihak atau sektor usaha yang dibutuhkan.

c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang untuk suatu keperluan. d. Barang Modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau

barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya.

e. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking), artinya tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan hutang kepada bank yang menjadi krediturnya.

f. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.59

(15)

Menurut Munir Fuady, lahirnya pemberian kredit dengan sistem pembiayaan konsumen ini sebenarnya sebagai jawaban atas kenyataan-kenyataan berikut:60

1. Bank-bank kurang tertarik/tidak cukup banyak dalam menyediakan kredit kepada konsumen, yang umumnya merupakan kredit-kredit berukuran kecil. 2. Sumber dana yang formal lainnya banyak keterbatasan atau sistemnya kurang

fleksibel atau tidak sesuai kebutuhan.

3. Sistem pembayaran informal seperti yang dilakukan oleh para lintah darat atau tengkulak dirasakan sangat mencengkeram masyarakat dan sangat usuary oriented. Sistem pembiayaan formal lewat koperasi, seperti Koperasi Unit Desa ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan.

Lembaga Pembiayaan merupakan badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dan atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 menyatakan bahwa lembaga pembiayaan meliputi:

a. Perusahaan pembiayaan b. Perusahaan Modal Ventura

c. Perusahaan pembiayaan infrastruktur

Kegiatan-kegiatan usaha lembaga pembiayaan diatur dalam Pasal 3 s/d Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009. Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: a) Sewa Guna Usaha; b) Anjak Piutang; c) Usaha Kartu Kredit; dan/atau d)Pembiayaan Konsumen.

Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi: a) Penyertaan saham (equity participation); b) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi

60 Munir Fuady, Hukum Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung : PT. Citra

(16)

equity participation) ; dan /atau c) Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha(profit/revenue sharing).

Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:

a. Pemberian pinjaman langsung(direct lending)untuk Pembiayaan Infrastruktur; b. Refinancingatas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau

c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;

Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan:

a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;

b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services) ; c. Penyertaan modal (equity investment) ;

d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau

e. Kegiatan atau pernberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan dari Menteri.

Kegiatan usaha lembaga pembiayaan dapat dilakukan oleh:

1. Bank, meliputi Bank Umum, Bank Tabungan dan Bank Pembangunan

(17)

dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan-perusahaan.

3. Perusahaan Pembiayaan, yaitu badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga keuangan.

Perusahaan pembiayaan yang dimaksud di atas harus berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Dalam hal perusahaan pembiayaan berbentuk PT, berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan jo Pasal 9 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan jo Pasal 3 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, bahwa saham perusahaan pembiayaan dapat dimiliki oleh :

a. Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia.

b. Badan Hukum Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan).

(18)

Kegiatan pembiayaan dilakukan dalam suatu perjanjian, yaitu perjanjian pembiayaan. Perjanjian Pembiayaan Konsumen adalah pembayaran harga barang tidak dibayar dalam satu kali pembayaran, tetapi dalam beberapa kali angsuran. Maksudnya, bahwa perusahaan pembiayaan berkewajiban utama memberikan sejumlah uang untuk pembelian sesuatu barang konsumen, sementara konsumen berkewajiban utama untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran kepada perusahaan pembiayaan.

Perjanjian Pembiayaan Konsumen dibuat secara tertulis dan isinya telah ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan yang kemudian dituangkan dalam bentuk formulir-formulir, dibuat secara massal dan diberlakukan bagi semua konsumen. Dengan demikian Perjanjian Pembiayaan Konsumen termasuk dalam Perjanjian Standar/Perjanjian Baku karena konsumen tidak dapat mengubah, menambah dan mengganti seluruh atau sebagian isi perjanjian.

B. Klausula Baku Dalam Suatu Perjanjian Pembiayaan

Klausula baku, atau umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku, standard contract, termuat dalam Pasal 1 angka 10, adalah:

“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.61

Dengan ketentuan ini, setiap syarat dalam dokumen (bon pembelian, bon parker, tanda terima pencucian pakaian, tanda penyerahan kiriman barang, kwitansi

(19)

pembayaran biaya rumah sakit/dokter dan yang sejenis), atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian rumah, perjanjian pembelian kendaraan bermotor atau alat-alat elektronik, perjanjian asuransi, dan sejenisnya), dilarang digunakan sepanjang bertentangan dengan ketentuan termasuk Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen. Klausula baku itu batal demi hukum (Pasal 18 ayat 3) terhitung sejak tanggal 20 April 2000. Klausula baku yang dilarang antara lain adalah larangan pengalihan tanggung jawab, penolakan penyerahan barang atau uang kembali, pernyataan tunduknya konsumen pada aturan-aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, letak atau bentuknya sulit terbaca atau dimengerti. Pelaku usaha, siapapun dia, wajib menyesuaikan klausula bakunya dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat 4).

Jenis, Fungsi dan Ciri-ciri Perjanjian Baku 1. Jenis Perjanjian Baku

Terhadap jenis perjanjian baku ini Mariam Darus membedakan menjadi tiga, yaitu :

a. Perjanjian baku sepihak

Yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya dalam perjanjian itu.

b. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah

(20)

c. Perjanjian baku yang ditentukan oleh lingkungan notaries atau advokat

Yaitu perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda, jenis ini disebut contract model.

Biasanya dalam perjanjian baku sepihak (eenzekelijk standaarcontract) pihak yang kuat disini adalah pihak yang ekonominya lebih kuat dan mempunyai kedudukan posisi dalam keadaan yang dibutuhkan oleh pihak lain. Sementara perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah misalnya dalam bidang agraria, seperti formulir perjanjian yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri no.104/Dja/1977 berupa antara lain akta jual beli, akta hipotik. Selain itu juga termasuk formulir-formulir perjanjian khusus dimana peran pemerintah merupakan hal yang pokok dalam mengatur perjanjian itu untuk ketertiban umum. Sedangkan perjanjian baku di lingkungan notaris atau advokat biasanya dipakai untuk rujukan bentuk formulir atau advokat.

(21)

Jenis dari perjanjian baku (sepihak) ini dapat bermacam-macam, Remy Sjahdeni membedakan dua jenis perjanjian baku (sepihak) ini, yaitu:62

a. Dokumen yang ditandatangani

Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan ke dalam dokumen yang harus ditandatangani sebagai tanda kesepakatan. Contohnya adalah perjanjian kredit di bank, perjanjian kredit sindikasi polis, asuransi, perjanjian pengangkutan kapal dan lain-lain. Umumnya berbentuk formulir yang sudah baku, dan pihak lain hanya dapat mengisi bagian-bagian umum yang sengaja dikosongkan untuk diisi pihak lainnya, sementara syarat-syarat yang sudah ada tidak dapat diundangkan lagi.

b. Dokumen yang tidak ditandatangani

Yaitu perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan dalam bentuk dokumen yang diberikan kepada pihak lain yang tidak perlu ditandatangani, dan dengan menerima dokumen tersebut telah dianggap menyepakati isi dari perjanjian atau syarat-syarat baku itu. Contohnya adalah tiket parkir, kwitansi tanda pembayaran atau tanda terima dari pembelian barang atau jasa, tiket atau tanda terima pembayaran yang sifatnya massal, dengan mencantumkan klausul-klausul tertentu, dan biasanya kesempatan untuk membaca dan mempelajari dokumen-dokumen itu sangat singkat, bahkan dapat dikatakan tidak diberikan kesempatan waktu.

2. Fungsi Perjanjian Baku

(22)

Fungsi dari perjanjian baku tidak terlepas dari latar belakang dan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya perjanjian baku. Disamping masalah yang ditimbulkannya, perjanjian baku pada dasarnya memberikan beberapa kegunaan praktis yang memang dibutuhkan dalam lapangan hukum perjanjian saat ini, seiring dengan kemajuan zaman, teknologi industri dan modernisasi.

Beberapa hal penting yang dapat dikatakan sebagai fungsi perjanjian baku antara lain: a. Untuk digunakan dalam jenis transaksi tertentu dengan menghindari terjadinya perundingan berulang-ulang. Dalam transaksi tertentu dengan hal yang sama, sulit dilakukan tawar menawar (bargaining) isi dari suatu perjanjian.

b. Efisiensi, terciptanya kelancaran dalam penyediaan barang dan jasa. Dalam masa globalisasi dan industrialisasi sekarang ini dipengaruhi juga oleh sifat modern dalam masyarakat yang menghendaki pelayanan barang dan jasa yang cepat, maka perjanjian baku berfungsi sangat strategis terutama dalam hal waktu, biaya dan tenaga. Ditambahkan pula adanya produksi massal yang membuat kebutuhan akan perjanjian baku menjadi begitu penting.

c. Memungkinkan pengusaha memperhitungkan dan mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Dengan perjanjian yang sudah baku, maka secara cepat sudah dapat terhitung apa yang didapat dan resiko apa yang muncul dan segalanya akan lebih pasti disebabkan konsumen tinggal menerima saja apa yang diinginkan oleh pihak pengusaha yang membuat perjanjian baku tersebut.

d. Memberi keuntungan pelaku usaha dalam hal perselisihan yang menyangkut perjanjian baku tersebut.63

3. Ciri-ciri Perjanjian Baku

Untuk dapat membedakan dan membagi suatu perjanjian menjadi perjanjian baku perlu kiranya diketahui ciri-ciri umum yang biasanya terdapat dalam perjanjian baku. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penekanan pengertian perjanjian baku oleh Mariam Darus terletak pada isi dan bentuknya yang sudah dibakukan, dan

(23)

Remy Sjahdeni menekankan klausul-klausul yang dibakukan yang tidak memberikan peluang untuk dirundingkan, maka terdapat ciri-ciri lain yang lebih mempersempit permasalahan dari pengertian perjanjian baku yang lebih luas.

Dengan berpedoman pada pengertian perjanjian baku yang diberikan Black’s Law Dictionary,64dapat disimpulkan ciri-ciri perjanjian baku, antara lain :

a. Bentuk yang sudah dibakukan

b. Menyangkut barang dan jasa konvensional

c. Penjual berada dalam kedudukan yang lebih kuat dalam tawar menawar d. Pembeli tidak mempunyai kesempatan nyata untuk mencari perjanjian yang

lebih menguntungkan di tempat lain.

e. Pembeli tidak mempunyai kesempatan yang nyata untuk menawar syarat-syaratnya, perjanjian itu diberikan secara “take it or leave it”.

Sedangkan P.S. Atiyah memberikan ciri-ciri perjanjian baku sebagai berikut : “the typical was made on a set of fixed or standard terms with a few blanks allowing for the insertion of the names of the parties, the particular subject-matter of the contract the prince, and perhaps one or two other details”.65

Karakteristik Hukum Perjanjian di Indonesia

Hukum perjanjian di Indonesia sebagaimana dimuat dalam buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata termaksud dalam rumpun civil law system. Berbeda dengan system common law, menurut sistem ini sebuah kontrak merupakan persetujuan yang mengikat secara hukum. Agar sebuah kontrak mengikat secara hukum, proses penawaran serta penerimaan yang mengawali penutupan kontrak harus memenuhi persyaratan tertentu seperti :

1. Persetujuan sebagai hasil dari perundingan para pihak belum menghasilkan perjanjian, persetujuan hanya menunjukkan persetujuan kehendak para pihak tentang beberapa hal.

(24)

2. Untuk kepentingan hukum, persesuaian kehendak saja tidak cukup, tetap harus dinyatakan melalui pernyataan atau perbuatan.

3. Agar penawaran sebagai pernyataan atau perbuatan mengikat secara hukum (legally binding), penawaran tersebut harus jelas, tegas dan konkrit.

4. Apabila persyaratan itu belum terpenuhi, maka penawaran (offer) hanya dipandang sebagai tindakan ajakan saja.

Persyaratan penawaran (offer) yang mendahului perjanjian atau kontrak sebagaimana yang dibicarakan di atas, menyebabkan penawaran dalan hukum common law senantiasa dilakukan sedemikian rinci sehingga penawaran tersebut jelas, tegas dan konkrit. Karakteristik tingkat perincian dan penawaran tidak ditemukan dalam konstruksi hukum perjanjian di Indonesia menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan hukum perjanjian yang berasal dari rumpun hukumcivil law. Karakteristik tingkat yang tinggi inilah yang menyebabkan secara fisik kontrak di dalam sistem common law memiliki kerincian melebihi kontrak dalam sistem hukum civil law, karena bila di kemudian penawaran yang mensyaratkan tingkat kerincian yang tinggi tersebut akan menjadi ketentuan dan persyaratan (terms and conditions) dalam kontrak yang ditutup.

Perjanjian Baku Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

(25)

diatur mengenai larangan pencantuman klausul-klausul yang merugikan konsumen yaitu klausul-klausul yang berisi pengalihan tanggung jawab penolakan pengembalian barang ; penolakan penyerahan pengembalian uang yang telah dibayar ; pemberian kuasa untuk melakukan tindakan sepihak ; pengaturan pembuktian batas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa ; pemberian hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek transaksi ; pernyataan tunduk pada aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak ; dan pemberian kuasa untuk pembebanan hak yang dibeli secara angsuran ; hak gadai ; atau hak jaminan yang dibeli secara angsuran.

Pelarangan ini dimuat dengan tujuan untuk melindungi konsumen dari klausul-klausul yang tidak adil dan merugikan. Pembatasan atas asas kebebasan berkontrak salah satunya ada dengan undang-undang (wet). Dengan demikian terhadap klausul-klausul baku termasuk klausul eksemsi di perjanjian atau dokumen-dokumen lainnya. Sehingga permasalahan kesepakatan atas klausul-klausul yang tidak wajar tersebut dapat diselesaikan dengan adanya aturan yang melarang klausul-klausul tersebut. Hal ini juga berhubungan dengan konsep unconsnability di atas, bahwasannya klausul yang dilarang pencantumannya itu merupakan klausul yang tidak wajar dan tidak adil. Pelarangan inipun pada akhirnya turut membantu menciptakan peningkatan posisi tawar dari konsumen yang lebih lemah ketika berhadapan dengan perjanjian baku.

(26)

sepakat, adalah pihak konsumen sering mengetahui adanya klausul-klausul tersebut. Dengan tidak terbaca, tidak jelas maupun tidak diketahuinya klausul-klausul tersebut dapat dikatakan kekhilafan dari pihak konsumen. Kesulitannya yaitu adanya konsep syarat mengetahui (kenbaarheid) dan dalam aturan hukum common law dikenal dengan asasduty to read,66dengan pengertian bahwa pihak tersebut akan terikat pada perjanjian itu sekalipun untuk bagian tertentu atau bahkan untuk seluruh perjanjian tersebut ternyata pihak yang bersangkutan tidak pernah membacanya.

Kesulitan lainnya adalah Pasal 1322 KUH Perdata yang mengatur tentang kekhilafan menyatakan bahwa “kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian.67 Namun pengertiannya lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. Subekti bahwa kekhilafan atau hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Dan kekhilafan itu harus sedemikian rupa hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya. Dalam perjanjian baku yang dibuat dengan mencantumkan adanya kesengajaan dari pelaku usaha untuk menyesatkan mempergunakan kekhilafan lawan untuk keuntungannya. Ditambahkan oleh Prof. Subekti mengenai adanya syarat kekhilafan bahwa kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau sedikitnya sedemikian rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia berhadapan dengan

(27)

seseorang yang berada dalam kekhilafan.68 Sehubungan dengan hal itu, cara itikad baik dari pelaku usaha, karena adanya kesengajaan, menunjukkan tidak adanya itikad baik dalam perjanjian itu.

Ayat ketiga (3) dari pasal 18 mengatur mengenai ketentuan bahwa klausul baku yang mencantumkan ketentuan yang dilarang itu dinyatakan batal demi hukum. Mengenai hal ini perlu dikritisi bahwasannya dengan adanya aturan-aturan yang mengatur klausul baku ini, permasalahan tidak lagi menjadi permasalahan mengenai kesepakatan. Sebab permasalahan mengenai kesepakatan menyebabkan pembatalan menyangkut syarat subyektif dari sahnya perjanjian.

Permasalahan ini telah menjadi permasalahan syarat ‘sebab yang halal” yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1322 ayat (4) jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu sebab dilarang oleh undang-undang, oleh karena itu dinyatakan batal demi hukum (null and void).

Pada ayat (4) diatur mengenai ketentuan yang mewajibkan pelaku usaha menyesuaikan klausul-klausulnya dengan aturan-aturan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini mengingat bahwa pencantuman klausul-klausul seperti demikian telah menjadi hal umum dalam perjanjian dan perdagangan. Sehingga perlu adanya penyesuaian dari pelaku usaha dan itu pulalah yang menyebabkan baru diberlakukannya undang-undang tersebut pada tanggal 20 April 2000 atau setahun setelah disahkan yaitu tanggal 20 April 1999.

(28)

Asas kebebasan berkontrak yang didasari oleh liberalismedan individualisme dengan Laissez Faire-nya, dijadikan dasar pembenaran dan alasan bagi praktek perjanjian baku. Bahwa para pelaku usaha bebas membuat perjanjian yang dikehendaki dan menguntungkan sehingga bebas untuk dibuat secara baku dan pelaksanaannya dikembalikan pada kehendak pasar atau pasar bebas sebagai perwujudan dari teori Adam Smith yang menolak campur tangan pemerintah dalam perekonomian, sebagai akibat selanjutnya adalah situasi sosial ekonomi yang menghendaki adanya perjanjian baku dalam kehidupan sehari-hari. Ternyata hal ini dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan prinsip di antara paham-paham tersebut sehubungan dengan perjanjian baku.

(29)

Praktek yang seperti ini merupakan efek samping dari paham liberalisme. Paham liberalisme dalam perkembangannya telah menghasilkan sistem kapitalis, dimana dalam kapitalisme sistem perekonomian ditekankan pada peranan kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya.69Dengan sistem kapitalisme muncul pemilik-pemilik modal yang menguasai sistem ekonomi dan menciptakan kesenjangan di antara masyarakat. Oleh Karl Marx,70 hal ini dilihat secara material is dialektis histories, dalam kritik mengenai kapitalisme, dengan manusia hidup dalam masyarakat bahwa memahami manusia berarti memahami masyarakat, memahami masyarakat berarti memahami struktur masyarakat, memahami struktur masyarakat terbagi menjadi dua yaitu (1) suprastruktur dan (2) infrastruktur manusia, dan (1.2) dan sistem politik ; infrastruktur terdiri dari (2.1) sistem sosial dan (2.2) sistem ekonomi. Infrastruktur menentukan suprastruktur, karenanya sistem ekonomi sangat menentukan struktur yang lainnya sehingga orang memperebutkan sistem ekonomi, sementara sistem ekonomi dikuasai oleh kaum pemilik modal atau kapitalis. Akibatnya tidak terjadi suatu keadilan sosial dalam masyarakat.

Kapitalisme juga dihubungkan dengan laissez Jairedan teori ekonomi klasik Adam Smith, dengan membiarkan perekonomian termasuk perjanjian-perjanjian dan kontrak-kontrak di dalamnya, berjalan dengan sendirinya tanpa aturan dari negara. Akibatnya, karena sistem ekonomi telah dikuasai oleh para pemilik modal maka

(30)

perlindungan bagi yang lemah tidak memadai. Praktek perjanjian baku memanfaatkan keadaan ini sehingga pihak yang kuat tersebut dapat menguasai pihak-pihak yang lemah dalam perjanjian untuk meraih keuntungan yang besar akibat dari perbedaan kedudukan para pihak.

Hal ini dikatakan merupakan efek samping, karena pada dasarnya paham liberalisme justru menginginkan adanya keadilan bagi tiap individu untuk lepas dari tekanan dan tekanan dengan semboyan Liberte, Egalite, Fratemite dan mengagungkan hak asasi manusia. Namun adanya perjanjian baku justru tidak sesuai dengan semboyan semula, karena yang terjadi adalah penguasaan syarat-syarat dalam perjanjian pihak yang lemah yang berarti tidak ada lagi kebebasan (Liberte) dan terjadinya ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian yang berarti ketiadaan asas persamaan (Egalite), serta dapat menimbulkan kerugian bagi yang lemah karena kurangnya perlindungan yang berarti tidak adanya asas persaudaraan atau solidaritas (Fraternite). Hal lainnya yang dapat dikatakan tidak sesuai adalah pada dasarnya teori ekonomi Adam Smith menginginkan suatu pasar bebas yang berlangsung fair, yang tidak menekan orang lain atau pihak lain berada dalam kedudukan yang lebih lemah.71 Keseimbangan kedudukan para pihak dalam perdagangan bebas ini dapat disimpulkan dari persyaratan yang dikatakan oleh Adam Smith sendiri, yaitu :

Sebab utama dari pertukaran dagang haruslah bahwa anda jauh lebih membutuhkan barangku daripada yang saya butuhkan, dan saya lebih membutuhkan barangmu daripada anda sendiri ; oleh karena itu jika tawar menawar dilakukan

(31)

dengan kearifan yang biasa haruslah pertukaran itu menguntungkan kedua belah pihak.72

Jadi pada dasarnya pandangan Adam Smith dalam pasar bebas yang menekankan kebebasan berkontrakpun juga berprinsip bahwa perjanjian itu harus dibuat dengan keadaan yang saling seimbang. Antara kebebasan, yang dijadikan dasar bagi liberalisme, dan kesamaan ini dalam hukum berhubungan erat sebagaimana digambarkan J.J. Rousseau dalam bukunya “The Social Contract’, sebagai berikut:

Kalau kita pertanyakan dimana letak persisnya kebajikan akhir, yang harus merupakan tujuan setiap sistem hukum, kita akan menemukan dua masalah pokok yaitu kebebasan, karena ketergantungan individual akan berarti banyak kekuatan yang terserap dari badan negara. Kesamaan, karena kebebasan tak akan bertahan tanpa kesamaan.73

Selain itu baik kodifikasi hukum perjanjian maupun paham-paham yang mendasarinya yaitu rasionalisme, liberalisme, dan individualisme, bertitik tolak pada penghormatan martabat manusia sehingga manusia diakui kemampuan dan martabat manusia untuk membuat suatu perjanjian dengan manusia lainnya, begitu pula dengan paham hukum kodrat yang turut mempengaruhi dimana prinsip persamaan derajat manusia yang menghargai hak-hak manusia serta keadilan. Dikatakan John Locke :

(32)

Karena itu, hukum kodrat mengajarkan kepada manusia bahwa semua manusia sederajat dan mandiri tidak boleh merugikan yang lain dalam hidup, kesehatan, kebebasan atau miliknya.

Dalam perjanjian baku pelaku usaha dan pihak yang mempunyai kedudukan kuat menggunakan manusia atau pihak lainnya sebagai sarana meraih keuntungan. Bahwa hukum mendasari diri pada norma moral, maka kewajiban untuk menghormati martabat manusia oleh Emanuel Kant dirumuskan sebagai perintah dalam bentuk berikut ini : “Hendaklah memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sarana belaka”.74 Padahal perjanjian merupakan wujud dari penghargaan terhadap manusia yang mandiri dan mempunyai martabat. Oleh karena itu hakikat dari perjanjian dalam perjanjian baku terutama dalam hal kedudukan para pihak yang seharusnya seimbang (gelijkwaardigheid) tidak terpenuhi.

Pada umumnya perjanjian baku dibuat oleh perusahaan-perusahaan besar dengan produksi massal untuk efisiensi dan menghindari tawar menawar antara konsumen dengan pelaku usaha. Barang atau jasa yang diproduksi mempunyai tingkat kebutuhan tinggi di dalam pasar, oleh karena itu dengan adanya perjanjian baku yang bersifat …. Take it or leave ir” pelaku usaha tidak perlu khawatir akan pilihan untuk menolak konsumennya karena masih banyak konsumen yang dianggap bersedia bertransaksi sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan dalam perjanjian baku itu. Kedudukan pelaku usaha disini sangat kuat terutama dalam tiga hal, yaitu (1) dalam hal keunggulan ekonomi sebagai perusahaan yang berproduksi massa, (2)

(33)

dalam hal kekuatan posisi tawar mengenai tingkat kebutuhan barang dan jasa yang ditawarkan dan (3) dalam hal psikologis yaitu dengan perjanjian baku yang massal tersebut membuat konsumen berada di bawah kekuasan pelaku usaha. Selain itu konsumen yang berhadapan dengan perjanjian baku biasanya bersifat individu-individu yang terlepas kaitannya satu sama lain. Hal inipun turut mendorong lemahnya pihak konsumen dan memperkuat kedudukan pelaku usaha. Demikian pula halnya pada perjanjian baku-perjanjian baku yang tidak diproduksi massal. Umumnya perjanjian baku seperti itu dibuat pelaku usaha dengan telah mempertimbangkan kedudukannya yang lebih kuat dari pihak lain, sehingga bentuk perjanjian baku dianggap sebagai bentuk yang menguntungkan ditambah pula dengan pertimbangan tingkat kebutuhan barang dan jasa yang ditawarkan serta juga mempertimbangkan bahwa umumnya pelaku usaha yang sejenis akan melakukan hal sama dalam membuat perjanjian (baku) untuk bertransaksi. Disini akan terlihat jelas bagaimana kedudukan para pihak dalam perjanjian baku, bahwasannya pihak yang dihadapkan dengan syarat-syarat perjanjian baku dalam kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha.

Sehubungan dengan kedudukan para pihak ini, perjanjian baku menjadi masalah terutama jika disadari bahwa sebagian besar bentuk perjanjian dalam hukum bisnis saat ini berbentuk perjanjian baku.

(34)

undang-undang swasta (legie particulariere wegever) dan syarat-syarat itu adalah undang-undang, bukan perjanjian.75 Pendapat lain yang mendukung perjanjian dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wilen verteouwen) yang membangkitkan kepercayaan para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian itu, berarti ia sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.76Terhadap pendapat yang kedua ini dapat dikritisi bahwa ia melihat kesukarelaan itu sejalan dengan pernyataan atau tindakan yang diberikan tanpa melihat keadaan dari kedudukan pihak yang lemah dan latar belakang tindakan yang diberikan tersebut, dan juga tidak melihat hakikat dari perjanjian itu yang menghendaki adanya kedudukan yang seimbang dari para pihak.

Kedudukan para pihak ini akan berpengaruh pada kesepakatan yang diberikan. Secara mental, psikologis dan kebutuhan, kesukarelaan menjadi hal yang samar dengan suatu keterpaksaan. Oleh karena itu pengaruh perbedaan kedudukan sangat besar dalam hal pemberian kesepakatan dan faktor kehendak bebas di dalamnya. Sedangkan dalam prakteknya hampir selalu terdapat kedudukan yang tidak seimbang dari para pihak dalam perjanjian baku, sehingga kesesuaian antara kehendak dan pernyataan dalam posisi seperti dapat dipertanyakan, yang berakibat pada kekuatan yang mengikatnya perjanjian tersebut.

Unsur Kesepakatan Dalam Perjanjian Baku

(35)

Kata sepakat dari para pihak merupakan esensi sekaligus syarat sah dari perjanjian. Unsur sepakat menurut KUHPerdata diartikan secara negatif, bahwa sepakat yang diberikan harus dalam keadaan bebas yaitu tanpa adanya paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog) sebagaimana diatur dalam Pasal 1320-1328 KUHPerdata. Pada Niew Nederlands Burgelijk Wetboek ditambahkan dengan menyebutkan alasan pembuatan suatu perbuatan hukum adalah ancaman (bedreging), penipuan (bedrog), kesesatan (dwaling) dan penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandingheden).

Sepakat itu sendiri merupakan pertemuan dua kehendak. Kehendak itu tidak akan bisa dikatakan bertemu dan menjadi sepakat apabila tidak diberikan secara bebas. Kehendak tersebut berkaitan dengan kodrat manusia yang bebas dan bahwa manusia mempunyai kebebasan individu sebagai makhluk yang berakal budi. Seperti yang telah diuraikan bahwa kebebasan individu itu mempunyai beberapa arti yaitu kesewenang-wenangan, kebebasan moral dan kebebasan eksistensial.77 Kebebasan kehendak termasuk dalam kebebasan psikologis, dan berkaitan erat dengan manusia yaitu kebebasan eksistensial. Tanpa kebebasan individual dalam arti demikian, tidak dapatlah suatu keadaan dikatakan bebas. Demikian pula halnya dengan kebebasan eksistensial tidak terdapat ketika seseorang memberikan persetujuannya, maka sepakat tersebut tidak diberikan secara bebas.

Dalam perjanjian baku pihak yang lemah ataupun pihak yang diajukan syarat-syarat mencari perjanjian yang lebih menguntungkan di tempat lain. Perjanjian baku

(36)

ini bersifat “take it or leave it” sehingga tidak ada pilihan-pilihan didalamnya. Sebenarnya pengertian “take it or leave it” ini merupakan pilihan juga, yang berarti pilihan menerima atau menolak perjanjian baku tersebut. Namun keadaan ini tidaklah dapat disebut suatu pilihan, sebab pilihan yang ada keduanya tidak menguntungkan. Di satu sisi jika menerima dihadapkan pada klausul-klausul yang memberatkan, sedangkan di sisi lain jika menolak tidak ada alternatif lain selain perjanjian baku tersebut, dan juga tingkat kebutuhan yang tinggi terhadap objek perjanjian sehingga pihak yang berhadapan dengan perjanjian baku terpaksa memenuhinya. Sifat “Take it or leave it” ini didukung pula dengan penyeragaman syarat baku atau syarat-syarat itu identik satu sama lain baik karena monopoli maupun karena adanya “invisible hand” yang mengatur pasar sehinga para pelaku usaha menyeragamkan klausul-klausulnya sebagai tuntutan pasar.

Akibatnya tidak terdapat pilihan-pilihan dalam perjanjian baku. Sedangkan kebebasan kehendak menuntut adanya pilihan-pilihan yang dapat diambil atau ditentukan sendiri olehnya. Dikatakan oleh Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat-nya yaitu “Kehendak bebas adalah kekuatan makhluk rohani untuk memilih atau tidak memilih kebaikan yang terbatas yang diketahui terbatas”.78 Jadi ketiadaan pilihan yang disebabkan oleh sifat “take it or leave it” dari perjanjian baku menyebabkan ketiadaan kehendak bebas merupakan unsur utama dalam sepakat. Sebagai subjek dalam perjanjian, manusia diakui sebagai subyek yang konkrit sebagai perwujudan

(37)

eksistensi manusia. Dengan eksistensinya, manusia dapat bertindak dan menentukan pilihannya sendiri. Dikatakan oleh Huijbers :

“Dasar kebebasan yang ada pada manusia terletak dalam hal ini, bahwa ia mempunyai pandangan yang luas atas beberapa kemungkinan yang ada pada dirinya sendiri maupun pada lapangan tindakannya. Pandangan macam ini menimbulkan alternatif bertindak disebut pandangan universal. Lalu menyusul apa yang bersifat hakiki bagi kebebasan manusia yakni bahwa tindakannya/pilihannya berasal dari dirinya sendiri”.79

Alasan-alasan pembatasan perjanjian yang disebabkan tidak terpenuhinya syarat subyektif : dalam hal sepakat yaitu paksaan, kekhilafan dan penipuan, tidak dapat diartikan secara sempit seperti yang sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal KUHPerdata. Tidak adanya pilihan dalam perjanjian baku merupakan juga tidak terpenuhinya sepakat bagi syarat subyektif sehingga perjanjian tersebut dapat saja dibatalkan. Karena adanya pilihan-pilihan termasuk sebagai kebebasan seperti dikatakan selanjutnya oleh Huijbers bahwa : “Kebebasan berupa inisiatif atau pilihan (bebas bertindak, bebas memilih) disebut kebebasan ‘dari’, yakni kebebasan dari halangan dan paksaan”.80

Ketidakseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian baku juga mempengaruhi kebebasan ini, terutama dalam hal kebebasan moral. Pihak pelaku usaha atau pihak yang memberikan syarat-syarat baku berada pada tingkatan yang

(38)

lebih dibutuhkan sedangkan pihak lainnya dalam keadaan membutuhkan. Dalam keadaan demikian “kesukarelaan” dapat dipertanyakan, karena merasa dalam posisi yang lemah, seseorang dapat memberikan pernyataannya atau tindakannya dengan terpaksa dalam arti tidak sukarela. Maka unsur sepakat sebagai pertemuan dua kehendak secara bebas sulit dapat terpenuhi karena tidak adanya kesukarelaan akibat dari tidak seimbangnya kedudukan para pihak.

Klausula Baku dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dalam Kerangka Hukum Perjanjian Menurut Hukum KUH Perdata

Apabila dianalisa berdasarkan konstruksi hukum perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka keabsahan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut yang mengandung klausul baku dapat didekati pertama dari segi sahnya berdasarkan pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPerdata. Pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk sahnya perjanjian harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu adanya kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian ; kedua para pihak yang melakukan perjanjian adalah cakap, dalam pengertian mampu untuk melakukan hak dan kewajiban sebagai akibat ditutupnya perjanjian; yang ketiga adanya hal tertentu; dan yang terakhir adalah mempunyai kausa yang halal.

(39)

Kalau kita cermati lebih lanjut yang namanya sepakat mempunyai substansi bahwa suatu penawaran yang disepakati atau diterima oleh lawan dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian pembiayaan konsumen penawaran lessee diterima atau diakseptasi oleh lessor. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang paling penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Penawaran diartikan sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian yang ditujukan kepada pihak lawan janjinya, usul mana yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.

Dalam perjanjian baku mekanisme penawaran dan penerimaan atau akseptasi terwujud, namun akseptasi tersebut lebih didasarkan pada kelemahan posisi tawar bukan didasarkan pada hal-hal yang objektif rasional. Lain dengan masalah-masalah tidak mengetahui apa yang disepakati dan ini tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan. Terdapat anggapan bahwa orang yang menandatangani suatu perjanjian tahu dan karenanya menghendaki isi perjanjian tersebut. Jika pihak yang satu tidak membaca isi sebelum menandatanganinya, maka hal itu adalah kelalaiannya sendiri.

(40)

harus diwujudkan melalui suatu kesepakatan (penawaran dan penerimaan) dalam suatu kontrak. Adanya kesepakatan dapat diketahui dengan adanya dokumen-dokumen kaitannya dengan perjanjian pembiayaan konsumen. Akan tetapi dokumen-dokumen perjanjian itu otentik ataupun di bawah tangan semua merupakan macam atau cara menyatakan kehendak. Hal itu tidak merupakan kehendak bebas hasil dari kesepakatan. Jadi sebuah kontrak serta akta dapat dikatakan sebagian tidak semuanya wujud adanya pernyataan kehendak (kesepakatan) antara para pihak bahwa mereka menghendaki timbulnya hubungan hukum.

Kita ketahui bahwa cara menyatakan kehendak terdapat beberapa macam baik secara tegas maupun secara diam-diam. Kehendak secara tegas dapat dengan cara lisan tertulis atau dengan tanda atau isyarat. Kehendak yang diwujudkan secara tertulis dapat berupa akta otentik atau akta bawah tangan.

Dapat dikatakan adanya kehendak dari lessee untuk menggunakan jasa pembiayaan menjadi pemilik kendaraan mobil, serta kehendak lessor untuk mendapatkan margin keuntungan dengan menyalurkan pembiayaan dengan cara pembiayaan konsumen belum merupakan suatu kesepakatan walaupun dibuat dengan akta otentik. Kehendak itu harus dinyatakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dapat dimengerti oleh pihak yang lain.81 Kehendak lessee serta kehendak dari pihak lessor saling dimengerti dan pihak lessor menerima atau menyetujui kehendak lessee maka kesepakatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1320 dalam KUH Perdata sudah terpenuhi. Sepakat dari para pihak merupakan substansi sekaligus

(41)

syarat sah dari perjanjian. Unsur sepakat dari KUH Perdata diartikan secara negatif, bahwa sepakat yang diberikan harus dalam keadaan bebas yaitu tanpa adanya paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog) sebagaimana ditegasan dalam pasal 1320 sampai dengan pasal 1328 KUH Perdata. Sepakat itu sendiri pada dasarnya pertemuan dua kehendak sebagaimana diuraikan di atas. Kehendak itu tidak akan bisa dikatakan bertemu dan menjadi kesepakatan apabila tidak diberikan secara bebas. Kehendak itu berkaitan dengan kodrat manusia yang bebas dan bahwa manusia mempunyai kebebasan individu sebagai makhluk yang berakal budi. Kebebasan kehendak termaksud dalam kebebasan psikologis, dan berkaitan erat dengan kebebasan moral serta kebebasan yang tertinggi manusia yaitu kebebasan eksitensial. Tanpa kebebasan individu dalam arti demikian tidak dapat suatu keadaan dikatakan bebas. Demikian pula halnya dengan sepakat, apabila kebebasan psikologis, kebebasan moral dan kebebasan eksitensial tidak terdapat ketika seseorang memberikan persetujuannya, maka sepakat tersebut tidak diberikan secara bebas. Dalam perjanjian yang menggunakan klausula baku pihak lessee tidak mempunyai kesempatan yang nyata untuk menawar syarat-syarat tertentu yang lebih menguntungkan.

(42)

No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 18 ayat 3 UU No.8 Tahun 1999 perjanjian yang mengandung klausula baku adalah batal demi hukum.

Namun ada hal yang berbeda dari segi konstruksi sahnya antara konsep sahnya perjanjian menurut KUH Perdata dengan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut konsepsi KUH Perdata, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi bukannya batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan. Syarat subyektif adalah terpenuhinya kualitas obyek yang melakukan perjanjian yaitu kecakapan. Kedua adanya kesepakatan atau sepakat antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian perjanjian itu sah atau mempunyai kekuatan hukum kecuali pihak yang mana tidak memberikan kesepakatannya atau pihak yang tidak cukup mengajukan pembatalan.

Menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999, perjanjian yang mencantumkan klausula baku mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian tersebutvoid ab initio atau dianggap tidak ada perjanjian atau batal demi hukum. Sementara dilihat dari perspektif KUH Perdata adanya klausula baku merupakan indikasi tidak adanya kesepakatan. Perjanjian yang mengandung cacat dalam kesepakatan mengandung dua kemungkinan. Pertama perjanjian itu berlaku bagi pihak-pihak yang menutup perjanjian itu. Kedua perjanjian itu batal karena adanya pembatalan dari pihak dengan siapa ia menutup perjanjian.

(43)

undang-undang yang bersifat khusus (lex specialiteit derogt lex generalis). Dalam hal ini Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan perundang-undangan yang sifatnya khusus mengatur tentang Perlindungan Konsumen. Sementara Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan perundang-undangan yang sifatnya general di bidang hukum perdata. Hukum perikatan diatur secara umum di dalam buku III KUHPerdata namun tidak secara spesifik mengatur tentang klausula baku dalam perlindungan konsumen. Oleh karena itu maka yang diterapkan adalah ketentuan pembatalan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai ketentuan yang spesifik.

C. Para Pihak Dalam Pembiayaan Konsumen

Para pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen adalah : 1. Pihak Perusahaan Pembiayaan

(44)

barang yang dibelinya dari pemasok, sedangkan pihak konsumen wajib membayar kembali kredit secara angsuran kepada perusahaan tersebut82

Kewajiban pihak-pihak dilaksanakan berdasarkan kontrak pembiayaan konsumen. Sejumlah uang dibayarkan tunai kepada pemasok untuk kepentingan konsumen, sedangkan pemasok menyerahkan barang kepada konsumen. Dengan penyerahan tersebut barang yang bersangkutan menjadi milik konsumen. Pihak konsumen wajib membayar secara angsuran sampai lunas kepada perusahaan sesuai dengan kontrak. Selama angsuran belum dibayar lunas, maka barang milik konsumen tersebut menjadi jaminan hutang secara fidusia.

2. Pihak Dealer/Supplier

Pihak dealer/supplier adalah pihak penyedia barang yang dibutuhkan konsumen. Pihak dealer/supplier adalah pihak penjual barang kepada konsumen atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Hubungan kontraktual antara pihak dealer dan konsumen adalah jual beli bersyarat. Syarat yang dimaksud adalah pembayaran dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Antara pihak dealer dan konsumen terdapat hubungan kontraktual, dimana dealer wajib menyerahkan barang kepada konsumen dan konsumen wajib membayar harga barang secara angsuran kepada perusahaan yang telah melunasi harga barang secara tunai.

(45)

Antara pihak ketiga (perusahaan pembiayaan konsumen) dan dealer tidak ada hubungan kontraktual, kecuali sebagai pihak ketiga yang disyaratkan. Oleh karena itu, apabila pihak ketiga melakukan wanprestasi, padahal kontrak jual beli dan kontrak pembiayaan konsumen telah selesai dilaksanakan, maka jual beli bersyarat tersebut dapat dibatalkan oleh dealer dan pihak konsumen dapat menggugat pihak ketiga yaitu perusahaan pembiayaan konsumen berdasarkan wanprestasi.

3. Pihak Konsumen

Pihak konsumen adalah pihak yang membutuhkan barang. Konsumen adalah pihak pembeli barang dari pemasok atas pembayaran oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Konsumen tersebut dapat berstatus perorangan (individual) dapat pula perusahaan bukan badan hukum. Dalam hal ini ada 2 (dua) hubungan kontraktual, yaitu :

1) Perjanjian pembiayaan yang bersifat kredit antara perusahaan dan konsumen; 2) Perjanjian jual beli antara pemasok dan konsumen yang bersifat tunai.

(46)

dan konsumen, pihak pemasok menetapkan syarat bawa harga akan dibayar oleh pihak ketiga, yaitu perusahaan pembiayaan konsumen. Apabila karena alasan apapun, perusahaan tersebut melakukan wanprestasi, yaitu tidak melakukan pembayaran sesuai dengan kontrak, maka jual beli barang antara pemasok dan konsumen akan dibatalkan. Dalam perjanjian jual beli, pihak pemasok menjamin barang dalam keadaan baik, tidak ada cacat tersembunyi dan pelayanan purnajual (after sale service).

Prinsip dasar dari transaksi pembiayaan konsumen dapat dilihat dari hubungan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi pembiayaan konsumen tersebut, sebagai berikut:

a) Hubungan Pihak Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen.

Hubungan antara perusahaan pembiayaan dengan konsumen adalah hubungan kontraktual, dalam hal ini kontrak pembiayaan. Pihak perusahaan pembiayaan berkewajiban untuk memberikan sejumlah dana (uang) untuk pembelian suatu barang konsumsi. Sementara pihak konsumen berkewajiban untuk membayar kembali uang tersebut secara angsuran (cicilan) kepada pihak perusahaan pembiayaan. Jadi hubungan kontraktual antara pihak penyediaan dengan konsumen adalah sejenis perjanjian kredit.

(47)

dengan kontrak leasing, dimana secara yuridis barang leasing tetap menjadi milik lessor, terkecuali pihak lessee menggunakan hak pilih (opsinya) untuk memiliki barang tersebut pada akhir kontrak.

b) Hubungan pihak konsumen dengan supplier

Antara pihak konsumen dengan pihak supplier terdapat suatu hubungan jual beli, dalam hal ini jual beli bersyarat, dimana pihak supplier selaku penjual menjual barang kepada pihak konsumen selaku pembeli, dengan syarat bahwa harga akan dibayar oleh pihak ketiga, yaitu pihak perusahaan pembiayaan. Syarat tersebut mempunyai arti bahwa apabila pihak perusahaan pembiayaan tidak jadi (batal) memberikan dana, maka jual beli antara supplier dengan konsumen menjadi batal pula.

c) Hubungan Perusahaan Pembiayaan dengan Supplier.

(48)

D. Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen

Jaminan-jaminan yang dapat diberikan dalam transaksi pembiayaan konsumen ini pada prinsipnya serupa dengan jaminan terhadap perjanjian kredit bank biasa, khususnya kredit konsumsi. Untuk itu dapat dibagi menjadi:83

1. Jaminan Utama

Dalam suatu kredit yang adalah juga termasuk bagian dari bisnis maka dalam hal transaksi pembiayaan konsumen yang menjadi jaminan utama adalah kepercayaan dari kreditur pada debitur (konsumen), bahwa pihak konsumen dapat dipercaya dan sanggup membayar hutang-hutangnya. Jadi disini prinsip-prinsip pemberian kredit berlaku. Misalnya prinsip-prinsip 5 C (Collateral, Capacity, Character, Capital, Condition of Economic).

2. Jaminan Pokok

Sebagai jaminan pokok terhadap transaksi pembiayaan konsumen adalah barang yang dibeli dengan dana tersebut. Jika dana tersebut diberikan misalnya untuk membeli mobil, maka mobil yang bersangkutan menjadi jaminan pokoknya. Biasanya jaminan tersebut dibuat dalam bentukFiduciary Transfer of Ownership (fidusia). Karena adanya fidusia ini maka biasanya seluruh dokumen yang berkenaan dengan kepemilikan barang yang bersangkutan akan dipegang oleh pihak kreditur (pemberi dana ) hingga kredit lunas.

(49)

Fidusia merupakan lembaga jaminan, yang lahir berdasarkan kesulitan-kesulitan gadai. Perbedaan mendasar antara fidusia dan gadai adalah, bahwa obyek gadai penguasaannya diserahkan kepada penerima gadai (pemegang gadai).Sedangkan fidusia, penguasaannya berada pada pemberi fidusia.

3. Jaminan Tambahan

Di samping jaminan utama dan jaminan pokok sering juga diminta jaminan tambahan terhadap transaksi pembiayaan konsumen ini, walaupun tidak seketat jaminan untuk pemberian kredit bank. Biasanya jaminan tambahan terhadap transaksi seperti ini berupa pengakuan hutang (Promissory Notes) dan kuasa menjual barang. Disamping itu, sering juga dimintakan “persetujuan istri/suami” untuk konsumen pribadi dan persetujuan komisaris/RUPS untuk konsumen perusahaan, sesuai ketentuan Anggaran Dasarnya.

E. Fidusia

Fidusia berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan.84Berdasarkan arti kata fidusia tersebut, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya

84Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada),

(50)

penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.85 Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta, yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa kreditur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.86

Lembaga jaminan fidusia pertama kali timbul untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan dengan menggunakan lembaga jaminan gadai dan lembaga jaminan lainnya, yang menggunakan syarat “inbezitstelling”, sehingga benda jaminan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat 2 KUHPerdata. Dalam memenuhi syarat inbezitstelling ini adakalanya dirasakan berat oleh pemberi gadai, karena benda-benda jaminan justru sangat dibutuhkan untuk keperluan sehari-hari atau keperluan menjalankan usaha.87

85Ibid.

86Ibid,hal. 124.

87Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan edisi Revisi Dengan UUHT, (Fakultas

(51)

Adanya kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan usahanya dengan cara memperoleh kredit tetapi masih membutuhkan benda-benda yang hendak dijaminkan tetap berada dalam penguasaan si debitur melahirkan lembaga fidusia. Untuk mengatur jaminan fidusia sebagai salah satu sarana membantu kegiatan usaha dan guna memberi kepastian hukum pada para pihak yang berkepentingan, dibuat Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, selanjutnya disingkat UUJF.

Adapun ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia menurut Purwahid Patrik dan Kashadi:88

1. Memberikan kedudukan yang terdahulu kepada kreditor penerima fidusia terhadap kreditor lainnya (Pasal 27 UUJF)

Hak didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi obyek jaminan fidusia kepada kantor pendaftaran fidusia.

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite)(Pasal 20 UUJF).

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. (Pasal 6 dan Pasal 11 UUJF)

(52)

Akta Jaminan Fidusia dibuat oleh notaris memuat hal-hal sbb: a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; d. Nilai Penjaminan;

e. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara :

a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia artinya langsung melaksanakan eksekusi melalui lembaga parate eksekusi.

b. Melalui pelelangan umum c. Penjualan dibawah tangan.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Jaminan Fidusia, yang menjadi obyek dan subyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

1. Obyek Jaminan Fidusia

(53)

benda tersebut, maupun penjelasan surat bukti kepemilikannya dan bagi benda inventory yang selalu berubah-ubah dan atau tetap harus dijelaskan jenis bendanya dan kualitasnya.

2) Subyek Jaminan Fidusia

Subyek Jaminan Fidusia menurut UUJF adalah Pemberi Fidusia yaitu orang perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dan Penerima fidusia dalam hal ini adalah orang perseorangan atau korporasi yang menerima piutang yang pembayarannya dijamin dengan fidusia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UUJF, utang yang dapat dijamin dengan fidusia dapat berupa :

a. Utang yang telah ada;

b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau

c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi. Utang yang dimaksud adalah utang bunga atas pinjaman pokok dan biaya lainnya yang jumlahnya dapat ditentukan kemudian.

Proses terjadinya fidusia dilakukan melalui dua tahapan yaitu : 1. Pembebanan Jaminan Fidusia

(54)

a. Identitas Para Pihak;

b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia; d. Nilai penjaminan;

e. Nilai benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia. 2. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Jaminan Fidusia harus didaftarkan dengan tujuan untuk melahirkan jaminan fidusia bagi penerima fidusia, memberi kepastian kepada kreditor lain mengenai benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditor serta untuk memenuhi asas spesialitas.

Sesuai dengan ketentuan UUJF Bagian Ketiga, dapat dilakukan pengalihan terhadap jaminan fidusia. Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia dapat dilakukan dan ini mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditur baru (accessoir), dan hal ini harus didaftarkan oleh kreditor baru ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

Referensi

Dokumen terkait

peneliti terdiri dari bentuk gerakan penolakan HTI di Kecamatan Simpang Teritip,. kemudian dilanjutkan dengan melihat kelemahan dan kelebihan dalam

Skripsi Penentuan Kebutuhan Obat Dan Alat..... Alinea

menggunakan perangkat pembelajaran pada konsep daur ulang sampah terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir tingkat tinggi biologi di SMA. 2) Bagi siswa,

Hal itu dijelaskan oleh Nurudin, seorang ketua bidang pembinaan di LPTQ Kecamatan Kalidawir ketika diwawancarai oleh penulis pada hari Senin?. tanggal 26 Desember

Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa genre-genre baru dalam seni rupa kontemporer Indonesia dan dunia yang akhirnya menjadi mainstream sendiri yaitu Seni Media (Media Art)

menentukan: “ Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan

pegawai dapat membalas alasan yang telah dikirimkan oleh penilai dengan cara menekan tombol pada bagian notifikasi maka sistem akan menampilkan form untuk

Karya-karya yang digunakan sebagai penentu indi- kator analisa penelitian ini masing-masing memiliki benang merah satu sama lain, serta menjadi bagian dari arus utama