BOOK REVIEW
Judul : ASEAN: Life After the Charter
Editor : S. Tiwari
Penerbit : Institute Of Southeast Asian Studies
Bahasa : Inggris
Jumlah halaman : 186 halaman
Tahun penerbitan : 2010
Pembuat resensi : Prita Amalia, S.H. M.H.
Buku ASEAN: Life After the Charter,
sebenarnya bukan merupakan buku baru. Buku
ini diterbitkan pada 2010, beberapa tahun setelah
ASEAN memiliki Piagam ASEAN (ASEAN
Charter). Tinjauan terhadap buku ini masih
penting dan relevan dengan perkembangan
ASEAN saat ini. Selain itu, buku ini cocok bagi
para pembaca yang baru mengenal dan ingin memahami ASEAN setelah
berlakunya Piagam ASEAN.
Buku ini berisi kumpulan artikel dari beberapa sarjana yang
memiliki perhatian terhadap perkembangan ASEAN sebagai sebuah
berusaha untuk menyajikannya dengan pemikiran yang berimbang
sehingga ada beberapa topik yang ditulis oleh dari satu sarjana.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengenalan
(introduction) dan perspektif sektor swasta (private sector perspectives).
Pada bagian pengenalan, buku ini mencoba membahas hal-hal mendasar
dan filosofis terkait dengan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional
internasional. Bagian mendasar dan filosofis itu terkait dengan kedudukan
ASEAN sebagai subjek hukum internasional. Artikel-artikel bertajuk
ASEAN Legal Personality After Its New Charter atau artikel untuk
menjawab permasalahan-permasalahan apakah ASEAN adalah organisasi
internasional yang eksis menjadi topik besar dalam bagian pertama buku
ini.
Bagian kedua membahas mengenai isu sektor swasta, di antara
artikel yang ada ialah ASEAN Charter and ASEAN Economic Community,
Uncertain of an Uncertain Global Economy on Integration Initiatives,
Challenges to Achieving the ASEAN Economic Community, ASEAN as
Integrated Market, A Miscellany of Trade Issues, dan Policy Issues for
ASEAN Countries. Dalam resensi buku ini, penulis hanya akan
memfokuskan peninjauan terhadap artikel-artikel yang membahas
mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA (ASEAN Economic
Community) yang akan segera dilaksanakan pada Desember 2015.
Salah satu artikel ditulis oleh S. Tiwari dengan judul Legal
kontrak yang melibatkan ASEAN dan suatu catatan terkait dengan
fenomena terlambatnya beberapa negara anggota untuk meratifikasi dan
mengimplementasikan perjanjian dalam kerangka ASEAN.
Artikel selanjutnya sangat terkait dengan judul besar dari buku ini,
yaitu Life in ASEAN after The Entry Into Force of the ASEAN Charter,
Implications, and Follow Ups, yang ditulis oleh Termsak
Chalermpalanupap. Artikel ini membahas akibat hukum setelah ASEAN
memiliki Piagam ASEAN, di antaranya ialah kewajiban negara anggota
ASEAN untuk menyesuaikan ketentuan hukum nasionalnya dengan
ketentuan-ketentuan dalam kerangka ASEAN sebagaimana dimanatkan
dalam Pasal 5 Piagam ASEAN, mempercepat implementasi
perjanjian-perjanjian ASEAN, dan aktif berpartisipasi dalam kegiatan ASEAN.
Artikel berikutnya ditulis oleh Michael Ewing Chow yang
membahas mengenai bagaimana implementasi Piagam ASEAN dapat
terlaksana oleh masing-masing negara anggota. Di antara pembahasannya,
Michael mencoba merumuskan tiga permasalahan besar terkait dengan
implementasi perjanjian internasional, yaitu kurangnya kemauan politis
dari negara untuk melaksanakan perjanjian tersebut, pengadilan lebih
memilih untuk menerapkan hukum nasionalnya dibandingkan dengan
melaksanakan kewajiban yang tercantum pada perjanjian internasional,
dan permasalahan struktural administratif yang mencegah kewajiban
Artikel lain yang terkait dengan MEA adalah seperti yang ditulis
oleh Kanya Satyani Sasradipoera berjudul ASEAN Trade in Goods
Agreement (ATIGA). Artikel tersebut mengulas bagaimana ATIGA
mengatur tentang perdagangan barang dalam kerangka ASEAN. Beberapa
kerangka perjanjian perdagangan yang telah dimiliki ASEAN yaitu
Common Effective Preferential Tariffs (CEPT) dalam kerangka ASEAN
Free Trade Area dan beberapa perjanjian sebelumnya. Untuk
melaksanakan MEA, ASEAN harus melakukan suatu pendekatan baru
untuk dapat menyatukan berbagai perdagangan barang yang ada di
negara-negara ASEAN. Artikel ini mencoba untuk membandingkan antara
kerangka CEPT dan ATIGA, di mana ATIGA terlihat lebih lengkap
karena mencakup semua aspek perdagangan barang, seperti liberalisasi
tarif, liberalisasi halangan nontarif, rules of origin, fasilitasi perdagangan,
bea cukai, dan kebijakan standar dan kesesuaian kesehatan dan
phytosanitary. Hal baru yang terdapat dalam kerangka ATIGA
dibandingkan dengan CEPT adalah penjadwalan pengurangan tarif secara
penuh, kebijakan nontarif, dan fasilitasi perdagangan. Artikel ini juga
membahas perkembangan persiapan implementasi ATIGA.
Artikel lain, yang ditulis oleh Yap Lai Peng, membahas mengenai
The ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 (ACIA), Its
Objectives, Plan and Progress. Dalam Artikel ini ACIA dijelaskan dengan
sangat rinci dan mudah untuk dipahami. Penulis artikel mencoba membagi
Perjanjian Investasi ASEAN, keuntungan dari ACIA, serta rencana dan
perkembangan ACIA. ACIA merupakan suatu bentuk konsolidasi dari
perjanjian investasi sebelumnya, yaitu ASEAN Agreement for the
Promotion and Protection of Investment yang juga dikenal sebagai
Investment Guarantee Agreement 1987 dan 1998 Framework Agreement
on The ASEAN Investment Area. Dengan dibentuknya MEA, maka
dibuatlah ACIA dengan tujuan untuk lebih membuka investasi. ACIA
ditandatangani pada Februari 2009 dan akan mulai berlaku setelah semua
negara anggota ASEAN melakukan notifikasi dan mendepositkan
instrumen ratifikasi ke Sekretariat Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa.
Beberapa artikel berikutnya membahas dari perspektif sektor swasta,
di antaranya mengenai Piagam ASEAN dan hubungannya dengan MEA
yang ditulis oleh Razeen Sally. Razeen Sally menulis artikel tersebut
dengan sangat menarik dan dengan sudut pandang yang sangat detail dan
menyeluruh. Pembahasan suatu integrasi ekonomi yang berusaha
dicita-citakan oleh ASEAN dibahas dengan membandingkan posisi ASEAN
dengan keberadaan organisasi internasional lainnya. Selain itu, artikel
dimaksud juga membahas mengenai ASEAN Track Record, yakni suatu
perjalanan ASEAN dalam membuat perjanjian dalam bidang ekonomi dan
juga ASEAN Plus yang merupakan suatu upaya ASEAN untuk bekerja
sama dengan negara di luar negara anggota ASEAN. Penulis artikel
organisasi regional internasional lainnya yang telah lebih dahulu memiliki
single market, yaitu Uni Eropa.
Pandangan lain mengenai kondisi perekonomian ASEAN
digambarkan oleh Eduardo Pedrosa dengan judul artikel Implications of an
Uncertain Global Economy on Integration Iniatives. Artikel ini
menggambarkan kondisi perekonomian negara-negara ASEAN yang
berada dalam satu kawasan dalam kondisi krisis yang serba tak menentu.
Kondisi perekonomian tersebut akan berdampak pada rencana ASEAN
untuk membentuk single market sehingga untuk melaksanakan agenda
integrasi ekonomi, harus dicarikan solusinya. Artikel ini pada awalnya
memberikan gambaran pesimis, namun kemudian mendorong negara
ASEAN untuk lebih realistis guna mencari solusi agar terlaksananya
integrasi ekonomi.
Sepertinya MEA merupakan suatu tantangan baru bagi
negara-negara anggota ASEAN yang harus dicoba untuk tercapainya pertumbuhan
ekonomi. Untuk itu, David Parsons mencoba menggambarkannya dalam
sebuah artikel yang berjudul Challenges to Achieving ASEAN Economic
Community. Pandangan positif diberikan pada dua perjanjian internasional
dalam kerangka ASEAN yang sangat penting guna terlaksananya MEA,
yaitu ATIGA dan ACIA. Dua perjanjian dimaksud dianggap baik dan
penting untuk perkembangan dunia bisnis. Namun demikian, implementasi
perjanjian internasioal tersebut bukan merupakan hal yang mudah bagi
mengimplementasikan kedua perjanjian dimaksud. Tantangan lain bagi
sebagian negara anggota ASEAN adalah untuk meningkatkan angka
perdagangan dan investasi di negara masing-masing guna mencapai
kondisi MEA yang baik.
Pandangan ASEAN sebagai single market dalam buku ini ditulis
oleh Martin Hutagalung. Dalam artikelnya, Martin mengungkapkan bahwa
tantangan terbesar bagi ASEAN adalah untuk menyakinkan sektor swasta
bahwa ASEAN serius untuk merealisasikan MEA 2015 secara menyeluruh
termasuk semua perjanjian internasional yang terkait. Artikel ini
memberikan gambaran bagaimana dunia bisnis memberikan pandangan
terhadap ASEAN sebagai sebuah pasar. Penulis artikel memberikan dua
rekomendasi terhadap hal tersebut, yaitu bahwa Sekretariat ASEAN harus
lebih aktif dalam memberikan informasi kepada sektor swasta mengenai
Piagam ASEAN, ACIA, ATIGA, dan perjanjian-perjanjian lainnya yang
berhubungan, yang akan memberikan manfaat bisnis. Rekomendasi
selanjutnya adalah terkait publikasi mengenai hukum dan regulasi yang
ada di negara-negara anggota ASEAN yang berhubungan dengan masalah
ekonomi. Hal ini sangat penting bagi pelaku bisnis untuk mengetahui
hukum dan regulasi yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN.
Dua artikel terakhir ditulis oleh editor buku ini dengan judul A
Miscellany of Trade Issues dan Policy Issues for ASEAN Countries. Kedua
artikel ini sepertinya merupakan benang merah dari beberapa artikel yang
internasional misalnya adalah pada mulanya hanya halangan tarif, namun
sekarang isunya sudah menjadi halangan nontarif. Selain itu, tanggung
jawab sektor swasta dan korupsi merupakan isu-isu tambahan dalam
perdagangan di ASEAN. Artikel yang terakhir mengenai Policy Issues for
ASEAN Countries merupakan garis besar dari artikel-artikel sebelumnya,
yaitu membahas bagaimana pelaksanaan dari status hukum ASEAN.
Kemudian bahwa untuk menjamin terlaksananya perjanjian-perjanjian
ASEAN diperlukan pengawasan serta pembahasan mengenai beberapa
hambatan serta hubungan antara negara-negara anggota ASEAN dan
sektor swasta.
Memahami ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional,
khususnya setelah piagam ASEAN diberlakukan sehingga memberikan
banyak perubahan dan juga status hukum yang berbeda bagi ASEAN,
bukan merupakan suatu hal yang mudah. Begitu juga untuk memahami
MEA dengan dua perjanjiannya, yaitu ATIGA dan ACIA. Namun
demikian, melalui buku ini para pembaca diharapkan dapat memperoleh
jawaban mengenai bagaimana ASEAN seharusnya bekerja setelah
berlakunya Piagam ASEAN, khususnya bagaimana ASEAN dapat