BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak dipandang sangat penting di dalam negara yang bersifat kesejahteraan (welfare
state) yaitu sebagai salah satu pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat di negara yang bersangkutan.5 Indonesia termasuk salah satu negara yang
menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara, walaupun belum
menempatkan pajak sebagai salah satu sumber peningkatan kesejahteraan rakyat.
Beberapa pakar di bidang perpajakan merumuskan pajak sebagai bentuk iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, untuk digunakan membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Penarikan pajak dilakukan oleh pemerintah berdasarkan pada peraturan yang berlaku umum
dan dapat dipaksakan.
Meskipun terdapat contradictio in terminis “iuran wajib” dalam pengertian pajak,
tetapi banyak orang memahami pajak adalah bentuk pungutan uang kepada rakyat yang dapat
dipaksakan berlakunya melalui badan-badan kekuasaan negara. Iuran pada umumnya diberi
pengertian sokongan dalam bentuk uang pada perkumpulan secara suka rela,6 dan apabila
5
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Jakarta: Mandar Maju, 2004), hal. 39
6
yang bersangkutan tidak membayar, maka yang bersangkutan tidak dapat diberikan sanksi
hukum. Seseorang membayar iuran lebih merupakan kewajiban etis dari pada kewajiban
hukum. Sebaliknya, apabila hal itu ditempatkan sebagai kewajiban, maka kepada mereka
yang tidak membayar dapat diancam dengan sanksi hukum, termasuk sanksi pidana yang
telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian iuran wajib pada pajak, bertitik tolak dari kewajiban
yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan penggunaan uang dari
wajib pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga
atas pelanggaran iuran wajib dapat dikenai dengan sanksi pidana.
Begitu pentingnya pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai
pembangunan, serta pemberian fasilitas oleh pemerintah guna kepentingan orang pribadi atau
badan, maka dalam beberapa referensi hukum pidana dan kriminologi pelanggaran atas
perundang-undangan pajak digolongkan sebagai kejahatan berat (felony) yang dapat diancam
dengan pidana penjara dan denda secara komulatif.
Penggolongan kejahatan di bidang perpajakan sebagai kejahatan berat tercermin pada
UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU tersebut, kejahatan di bidang
perpajakan dikategorikan sebagai salah satu kejahatan korupsi yang sulit diberantas.
Hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik, dan ini adalah begian dari tata
tertib hukum yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Yang termasuk kedalam
hukum ini ialah: hukum tata negara, hukum pidana dan hukum administratif,sedangkan
hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administratif ini, sekalipun ada yang
menghendaki (a.l. Prof. Adriani tsb.dimuka) agar supaya kepada hukum pajak diberikan
tempat tersendiri disamping hukum administratif (otonomi hukum pajak) karena hukum
yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian
lagipula hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk
lapangan pekerjaannya.7
Referensi hukum pidana juga menempatkan tindak pidana di bidang pajak sebagai
white collar crime dan sekaligus merupakan salah satu jenis dari business crimes.8 Bahkan dewasa ini, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi abad ke 21,
tindak pidana pajak sudah merupakan tindak pidana lintas batas negara atau sering dikenal
sebagai transfer pricing, yang selalu tumpang-tindih dengan tindak pidana pencucian uang.9
Dilihat dari segi normanya, peraturan di bidang perpajakan termasuk bidang hukum
administrasi, yaitu merupakan bagian dari keseluruhan aturan hukum yang menentukan
bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugas,
atau cara bagaimana penguasa itu seharusnya bertingkah laku dalam mengusahakan
tugas-tugasnya.10
7 Brotodihardjo R.Santoso ,
Penghantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, (Bandung: Rafika Aditama, 1998), hal. 10.
8
Michael Clarke (1990); Ellen S. Podgor (1993); Marshal B. Clinard (1980) sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, Tax Crimes merupakan salah satu dari 9 (sembilan) "corporate crimes" yaitu: tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana dalam bidang kepailitan, tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup, tindak pidana dalam bidang komputer, dan tindak pidana dalam bidang keuangan.
9
Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 2 UU No 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan sebagai bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan hasil disamarkan, sehingga menyulitkan pelacakan. Bidang perpajakan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan uang hasil dari tindak pidana tersebut dapat disamarkan melalui penyedia jasa keuangan.
10 Kusumadi Pudjosewojo dalam Kansil,
Dalam proses penegakan hukum dimana penegakan hukum pidana pajak termasuk di
dalamnya, maka akan selalu berhadapan dengan suatu sistem peradilan pidana (criminal
jutice system). Sistem ini adalah suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi
kejahatan.11 Dalam sistem ini terdapat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini saling terkait dan harus dapat bekerja sama
untuk mencapai tujuan sistem ini, yaitu:12
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
kaeadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
kejahatannya.
Kegiatan penyidikan merupakan tahapan kegiatan beracara pidana sebagai penegakan
hukum pidana, yang mungkin didahului dengan kegiatan penyelidikan dan harus
dilaksankaan dengan kegiatan berikutnya, yaitu kegiatan penuntutan, kegiatan pemeriksaan
perkara di pengadilan dan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Oleh karena itu, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981). Dari
pernyataaan tersebut, berarti kegiatan penyidikan baru dimulai apabila terdapat bukti
11
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan pengabdian hukum, Universitas Indonesia, 1999), hal. 84
12
permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik harus menerbitkan surat perintah penyidikan.
Apabila suatu perintah penyidikan dan pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh pejabat
pegawai negeri sipil, maka PPNS tersebut harus segera menyampaikan hasil penyidikannya
kepada penyidik POLRI.
Berkas hasil penelitian dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), sedangkan
untuk dapat disampaikan kepada pengadilan melalui penuntut umum harus memenuhi syarat
formal dan syarat material. Syarat formal berkaitan dengan dipenuhinya syarat procedural
menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan syarat
material berkaitan dengan kelengkapan data hasil penyidikan yang akan dijadikan bahan
argumentasi untuk membuktikan di pengadilan.
Sehubungan dengan penanganan perkara tindak pidana pajak, maka ada satu unsur
yang tidak dapat diabaikan, yakni penyidikan yang dilakukan oleh pejabat pegawai negeri
sipil yang memegang peranan cukup penting karena ada kalanya berhadapan langsung
dengan pelaku di lapangan dengan para pelaku tindak pidana pajak.
Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan di
atas, maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana
pajak, yakni penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang juga berwenang melakukan
penyidikan bilamana terjadi suatu tindak pidana di bidang pajak demi menunjang
keberhasilan penuntut umum menangani perkara tindak pidana pajak.
Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
dalam sebuah penelitian yang berjudul: Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Perpajakan.
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil menurut
perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimanakah peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana
perpajakan?
3. Bagaimanakah hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan
dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil
menurut perundang-undangan di Indonesia
2. Untuk mengetahui peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak
pidana perpajakan
3. Untuk mengetahui hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan
dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan
D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis
Secara teoritis penelitian ini memberikan manfaat dalam memahami peran penyidik
pegawai negeri sipil di bidang perpajakan. Selain itu hasil penelitian ini dapat
praktisi perpajakan yang tertarik pada masalah peran penyidik pegawai negeri sipil di
bidang perpajakan
2. Praktis
Hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian awal bagi Direktorat Jenderal Pajak
untuk melakukan peningkatan kualitas PPNS dan fakta penelitian dapat dijadikan
pertimbangan bagi PPNS dalam menjalankan peran penyidikan dalam tindak pidana
perpajakan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah
Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata
belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana
Perpajakan”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah
yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun
induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup
ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah
konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Sebagai
acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan
Penegakan hukum dalam arti luas ditegaskan oleh Mardjono Reksodipuro sebagai
berikut:
Dalam arti luas, penegakan hukum harus termasuk pula kewaspadaan pembuat
undang-undang yang ada di masyarakat yang belum dapat terjaring oleh sistem
peradilan pidana, baik karena celah-celah dalam hukum pidana yang memungkinkan
pelaku menghindari sanksi pidana maupun hukum itu sendiri telah secara sadar,
namun secara tidak adil memihak kepada kelompok-kelompok yang kuat dengan
tidak merumuskan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai kejahatan.”13
Ini berarti bahwa konteks penegakan hukum harus diantisipasi sejak dini melalui
proses pembuatan undnag-undang. Dengan demikian diharapkan setiap bentuk
penyimpangan atau kejahatan dapat dijaring dengan undang-undang dalam rangka supremasi
hukum. Proses pembuatan undang-undang ini merupakan faktor pengaruh yang berasal dari
sistem hukum itu sendiri, antara lain dilator belakangi oleh kemampuan perumus
undang-undang agar mampu menutup celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Dalam kaitan dengan penegakan hukum tersebut, Farouk Muhammad menyatakan
bahwa “Penegakan hukum itu sendiri hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan”.14 Hal
ini dapat difahami, karena tujuan akhir dari penegakan hukum adalah untuk menciptakan
kondisi kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan serasi. Namun demikian diakui bahwa
tanpa sarana, termasuk melalui proses penegakan hukum maka harapan akan sulit tercapai.
13
Mardjono Reksodipuro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hal 7.
14
Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah sarana dan
fasilitas pendukung, seperti halnya kelembagaannya, proses peningkatan kemampuan aparat
penegak hukum dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Dalam konteks penegakan hukum
tindak pidana pajak, nampaknya kelima faktor berpengaruh di dalamnya. Faktor hukum
terletak pada ketidakjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993. Sinyalemen
tersebut diperkuat Luhut MP Pangaribuan yang menyatakan bahwa “Sistem peradilan pidana
yang belum jelas mengenai konsep penyidik tunggal ini membawa akibat buruk pada proses
penegakan hukum.”15 Selanjutnya faktor penegak hukumnya terletak pada penindakan oleh
PPNS yang tidak didampingi oleh penyidik Polri dan penyampaian berkas kepada penuntut
yang dilakukan secara langsung.
Di sisi lain, faktor sarana dan fasilitas yang terbatas juga ikut memberikan andil
karena terbatasnya dana, faktor masyarakat dan faktor budaya yang kurang disiplin juga ikut
berperan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat juga berpotensi memberikan pengaruh
terhadap berhasilnya penegakan hukum. Dalam hal ini peran yang diharapkan dari
masyarakat antara mengenai pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum, sikap terhadap
hukum serta perilakunya. Selanjutnya budaya atau kultur yang tumbuh ditengah masyarakat
juga member pengaruh langsung terhadap proses penegakan hukum, karena hukum itu
tumbuh dan berkembang sejalan dengan aspek kebudayaan.
Pendapat lain mengenai landasan dalam penegakan hukum dikemukakan oleh M.
Mastra Liba, yaitu meliputi:
a. Landasan ajaran/faham agama,
15
b. Landasan ajaran kultur/adat-istiadat, dan
c. Landasan aturan hukum positif yang jelas.16
Walaupun pendapat ini mirip dengan pendapat Soejono Soekanto tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, namun tidak ditegaskan pentingnya pengaruh
kepribadian dan mentalitas aparat penegak hukum. Dalam pendapat ini, pengaruh aparat
tercakup dalam ajaran/faham agama yang justru dalam kondisi saat ini terlalu jauh
ditinggalkan atau diabaikan.
Upaya untuk menegakkan hukum tidaklah merupakan sesuatu yang mudah, dalam
arti banyak kendala yang dihadapi. Empat belas kendala penegakan dikemukakan oleh M.
Mastra Liba sebagai berikut:
1. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan Jaksa Agung sejajar Menteri,
2. Sistem perundangan belum memadai,
3. Faktor sumber daya manusia,
4. Faktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana,
5. Corpsgeist dalam institusi,
6. Tekanan yang kuat kepada aparat penegak hukum,
7. Faktor budaya,
8. Faktor agama,
9. Legislatif sebagai Lembaga Legislasi perlu secara maksimal mendorong dan member
contoh teladan yang baik dalam penegakan hukum,
10. Kemauan politik pemerintah,
11. Faktor kepemimpinan,
16
12. Kuatnya jaringan kerjasama pelaku kejahatan (organiza crime),
13. Kuatnya pengaruh kolusi dalam jiwa pensiunan aparat penegak hukum,
14. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.17
Apabila berbagai kendala di atas dicermati secara baik, maka pada umumnya
member pengaruh yang cukup signifikan. Artinya, upaya penegakan hukum merupakan suatu
harapan yang masih jauh untuk dapat diwujudkan, mengingat banyaknya batu sandungan
yang menghadangnya. Walaupun secara kontekstual bahwa kebijakan penegakan hukum
tersebut telah tertuang dalam perundang-undangan tertinggi yaitu Garis-garis Besar Haluan
Negara, namun masih diperlukan kemauan politik serta tekad dari semua pihak yang terkait
di dalamnya.
Dari berbagai kendala tersebut, faktor yang dipandang cukup dominan terutama
adalah kepemimpinan, sumber daya manusia, adanya konflik kepentingan yang sulit
dilepaskan, tidak diterapkannya nilai-nilai agama, budaya, kemauan politik pemerintah, serta
peran DPR yang hingga kini masih belum optimal.
Idealnya, setiap proses penegakan hukum harus terlebih dahulu dijamin bahwa aparat
patuh dan taat terhadap hukum. Apabila dalam penegakan hukum aparatnya belum bersih,
maka ibarat sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan lantai, maka juga tidak terwujud
kondisi bersih yang diinginkan.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan teori sistem peradilan pidana. Peradilan
pidana merupakan suatu sistem. Penjelasan sederhana terhadap pengertian ini adalah sejak
dilakukannya suatu penyidikan tindak pidana, kemudian ditindaklanjuti dengan penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga akhirnya pelaksanan putusan pengadilan
17
merupakan suatu rangkaian proses satu kesatuan. Rangkaian ini dibagi dalam tahap-tahap
(empat tahap), yakni penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan
pelaksanaan putusan pengadilan. Meskipun masing-masing penanggung jawabnya secara
organisatorial terpisah, namun satu sama lain saling tergantung dan saling mempengaruhi
untuk menghasilkan suatu output atau produk bersama sebagai hasil bekerjanya sistem.Jika
peradilan pidana adalah suatu sistem, maka empat tahap tersebut merupakan empat sub
sistem yang menjadi pondasi bangunan sistem.18
Dengan mendasarkan pada pengertian sistem ini, maka peradilan pidana,
eksistensinya untuk mencapai hasil yang diinginkan hanya dapat dipertahankan dengan
terpeliharanya hubungan antara sub sistem. Apabila kinerja suatu sub sistem yaitu produk
yang dihasilkan buruk, maka dapat diperkirakan produk sub sistem yang mengikuti
berikutnya menjadi tidak baik. Demikian seterusnya dan penyimpanganya akan semakin
melebar hingga pada kinerja sistem secara keseluruhan akan menjadi sangat buruk. Produk
sistem penyidikan adalah BAP. Dengan bahan dasar BAP, sub sistem penuntutan
menghasilkan surat dakwaan yang akan dikontes (adversary system)19 dengan pembelaan
terdakwa dibantu advokatnya, pada pemeriksaan di sidang pengadilan (sub sistem ketiga).
Putusan pengadilan yang dihasilkan selanjutnya diterapkan oleh sub sistem pelaksanaan
putusan pengadilan. Jika BAP tidak mampu menyajikan kebenaran materiil dari suatu tindak
pidana, mudah dibayangkan pada akhir proses, putusan pengadilan yang dihasilkan dan
dilaksanakan juga akan tidak tepat. Adapun yang paling ekstrim adalah jika dalam putusan
yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah dibebaskan.
18 Joseph O’Connor and Ian McDermott, The Art of Systems Thinking, Essential Skills for
Creativity and Problem Solving (London: Thorsons, 1997), hal. 2-3. 19 Luhut M.P. Pangaribuan,
Tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana cakupan tugasnya adalah:
(1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
(2) menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta;
(3) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
perbuatannya.20
Sepintas, tugas pertama sepertinya terus-menerus menjadi tugas sub sistem
penyidikan (institusi kepolisian) dan tugas ketiga menjadi tanggung jawab sub sistem
pelaksanaan putusan pengadilan (Institusi Pemasyarakatan). Hal ini tidak sepenuhnya benar.
Tugas mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan adalah benar tugas
kepolisian, apabila tugas ini dilihat sebagai tugas antara. Jika sistem diartikan sebagai siklus,
maka tugas ini adalah tugas sistem secara keseluruhan, bukan hanya kepolisian. Begitu pula
halnya dengan tugas mengupayakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya, juga sebagai tugas sistem, tidak cuma lembaga
pemasyarakatan.21
Membahas peradilan pidana sebagai suatu sistem, berarti mempelajarinya tidak
hanya dari segi hukum tetapi juga non hukum, terutama manajemen. Terkait dengan hukum,
berprosesnya sistem peradilan pidana harus menggunakan hukum acara pidana sebagai
20
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.
pedoman.22Proses peradilan pidana sebagai wujud konkrit dari sistem peradilan pidana akan berlangsung apabila terjadi suatu tindak pidana yang melanggar hukum pidana substansif
(hukum pidana materil).23 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum
pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum
pidana.24 Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substansif,
sehingga hukum acara pidana disebut sebagai hukum pidana formil.25
Hubungan PPNS dan kepolisian sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan
suatu tindak pidana pajak. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan
kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas
menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di
dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas
penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya, apa saja tugas dan
kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau
tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau
hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai
suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah
yang berkuasa, yaitu kepolisian dan PPNS harus bertindak guna mencapai tujuan negara
dengan mengadakan hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki
hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya
berbeda.26
Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan
perkara tindak pidana pidana pajak, kepolisian dan PPNS sebagai organisasi kenegaraan
(birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial.
Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer menyatakan bahwa kini dalam
masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai
lembaga negara yang melambangkan era modern, dan tidak mungkin memahami kehidupan
sosial masa kini kalau tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini.27
Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”,
mengungkapkan ada 2 (dua) model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model Pengendalian
Kejahatan (Crime Control Model) dan Model Perlindungan Hak (Due Process Model).
Packer mengajak untuk memahami betapa rumitnya proses kriminal, dia berusaha mengambil
karakteristik dari model-model yang berlawanan. Perbedaan kedua model itu akan terlihat
pada saat penangkapan sampai orang itu diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari
Crime Control Model adalah efisiensi yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap
dan diadili, seakan-akan tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model,
karakteristiknya adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan
26
Wirjono Prodjodikoro, Asas-AsasHukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hal. 20.
27
seseorang harus melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat
banyak mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model
menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam bekerjanya
KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.28
Sebagai teori pendukung, digunakan teori koordinasi. Dalam nota kesepakatan telah
disinggung bahwa penyidik Polri berperan sebagai koordinator, pengawasan dan Pembina
teknis terhadap pelaksanaan tugas PPNS. Terkait dengan itu, di dalam instruksi Kapolri
Nomor Pol. Ins/08/IX/1999 dinyatakan juga bahwa keberadaan PPNS sebagai penyidik
pembantu bagi penyidik Polri.
Hal itu ditegaskan oleh M. Mastra Liba yang menyatakan sebagai berikut:
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP menjelaskan bahwa kewenangan penyidik Polri atau
PPNS sama seperti yang tercantum dalam Pasal 7. Hal tersebut sebenarnya tercermin pula di
dalam Kputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PN.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman
Pelaksanaan KUHAP pada bidang penyidikan, yang antara lain disebutkan Polri sebagai
Penyidik Utama wajib mengkoordinasikan PPNS dengan memberikan pengawasan, petunjuk
dan bantuan.
Pengertian koordinasi sendiri menurut Stoner dan Wankel dalam Moekijat adalah:
“Proses penyatu paduan tujuan-tujuan dan kegiatan-kegaiatan dari bagian-bagian atau
bidang-bidang fungsional atau organisasi yang terpisah untuk mencapai suatu sasaran
organisasi secara efisien.”29 Dengan demikian, upaya penyatupaduan yang tidak dapat
28
R. Indra Sanjaya, Relevansi Kejaksaan dengan KPK dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana, diakses dari situs: http://www.hukum-ku.blogspot.com/2008/07/sistem-peradilan-pidana.html. Diakses tanggal 12 Maret 2012.
29 Moekijat,
diwujudkan cenderung dapat menggagalkan sasaran yang ingin dicapai dalam konteks
koordinasi tersebut.
Kecenderungan penyimpangan PPNS dalam penindakan hukum terhadap tindak
pidana pajak juga tidak dapat dipisahkan dari teori koordinasi, dimana problematic penerapan
koordinasi berkisar pada perbedaan-perbedaan, yaitu “Perbedaan dalam orientasi sasaran,
perbedaan dalam orientasi waktu, perbedaan dalam orientasi hubungan antra pribadi dan
perbedaan dalam formalitas struktur”.30
Ini berarti bahwa faktor perbedaan tersebut dalam beberapa hal akan menghambat
koordinasi yang dilakukan oleh penyidik Polri selaku koordinator, pengawas dan Pembina
teknis terhadap penyidik PPNS. Dalam hal ini, perbedaan kepentingan seringan mewarnai
koordinasi yang ditandai dengan gejala egoism sektoral yang cenderung mengutamakan
kepentingan unit/pihaknya masing-masing daripada kepentingan bersama.
Dengan demikian apabila PPNS melakukan penindakan tindak pidana pajak dengan
tanpa dikoordinasikan dengan Polri merupakan bentuk penyimpangan yang mencerminkan
pelanggaran kewenangan hukum, karena bertentangan dengan peran Polri sebagai Korwas
dan Pembina Teknis PPNS serta tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Dari teori koordinasi di atas diperoleh pemahaman bahwa dalam upaya terkait itu
seharusnya diselaraskan dan dipadukan berbagai gerak, langkah serta kegiatan untuk sampai
pada sasaran yang sama melalui koordinasi. Apabila koordinasi tidak berjalan dengan baik,
sedang berbagai pihak terkait tersebut memiliki misi, fungsi dan kepentingan yang berbeda
maka dapat diperhitungkan bahwa pencapaian pada tujuan yang sama tidak akan tercapai.
30
Demikian halnya dengan peran Polri sebagai koordinator bagi PPNS, apabila Polri
tidak melaksanakan fungsi sebagai koordinator sebagaimana mestinya, maka penindakan
terhadap tindak pidana pajak oleh PPNS cenderung menyimpang dari konsep dan rencana
yang dicanangkan oleh Polri dan mereka akan berupaya mencapai sasarannya sendiri dengan
ukuran dan kriterianya sendiri pula. Fenomena itulah yang kemudian mengindikasikan
munculnya pelanggaran kewenangan hukum dalam penindakan tindak pidana pajak.
Pengertian pengawasan Polri terhadap PPNS yang dimuat dalam Nota Kesepakatan
Bersama tanggal 24 Februari 1999 tidak mengandung aspek penindakan, namun menyangkut
penyusunan pelaporan, pelaporan berkala dalam penyidikan, evaluasi hasil pelaporan serta
evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan.
Pengertian pengawasan secara umum dikemukakan oleh Sujamto, bahwa
pengawasan adalah: “Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan
yang sebenarnya mengenai pelaksanaan atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya
atau tidak”31
Salah satu peran Polri terhadap PPNS untuk melakukan pengawasan, maka dalam hal
ini Polri berwenang melakukan pengamatan, pemantauan serta penilaian terhadap kegiatan
PPNS, termasuk dalam aktivitas penindakan terhadap tindak pidana pajak.
2. Landasan Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi adalah
pendapat, pangakalan pendapat; Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa
sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan
operational
31
definition
.
32Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (
dubius
) dari suatu istilah yang dipakai. Guna
menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam
penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai
berikut:
a. Tindak pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda
yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht
voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha
memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman
pendapat.33
Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian
strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju
dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada
perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,
tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.34
32
Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPs USU), hal. 35.
33
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal 67. 34
b. Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan
jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.35
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup
undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.36
d. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37
e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.38
f. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi
tertentu.39 Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peranan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan penyidik POLRI adalah serangkaian tindakan
oleh PPNS dan penyidik POLRI sesuai dengan fungsi dan wewenangnya untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
35
Erly Suandy, Hukum Pajak, (Yogyakarta: PT. Salemba Empat, 2005), hal. 5.
36 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Pasal 1 angka (11) 37
Ibid, Pasal 1 angka (1)
38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka (2). 39 Indria Samego,
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma normadalam hukum
positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah
menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.40
Deskriptif analitis berarti bahwapenelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam
konteks teori-teorihukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang
peranan PPNS dalam penyidikan tindak pidana perpajakan.
2. Sumber data
Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang
berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yangdigunakan dalam
penelitian ini
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya
mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai Kepolisian RI
dan Perpajakan, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
RI, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan
Perubahannya, dan lain-lain, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang
otoritasnya di bawah undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan
40 C.G.F. Sunaryati Hartono,
Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan
pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder
Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks
berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan
klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.41
c. Bahan hukum tertier
Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan,
majalah dan jurnal ilmiah.42 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum
primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan
dan studi dokumentasi. Studi tersebut sangat berguna dalam membantu penelitian ilmiah
untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, dengan
memberikan pengertian penyusunan persoalan yang tepat, mempertajam perasaan untuk
menilai, membuat analisis dan membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.43
41
Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 141. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi,
Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 14.
43
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untukmengumpulkan
data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,literatur-literatur,
tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang
berkaitan dengan penelitian ini
4. Teknik Analisis Data
Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa "proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari pengamatan yang sudah dituliskan
dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.44
Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan
penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu
dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan
yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan
deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam
penelitian ini.
44