• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Tindak Pidana Perpajakan."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak dipandang sangat penting di dalam negara yang bersifat kesejahteraan (welfare

state) yaitu sebagai salah satu pendapatan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial

masyarakat di negara yang bersangkutan.5 Indonesia termasuk salah satu negara yang

menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara, walaupun belum

menempatkan pajak sebagai salah satu sumber peningkatan kesejahteraan rakyat.

Beberapa pakar di bidang perpajakan merumuskan pajak sebagai bentuk iuran wajib

yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada pemerintah tanpa imbalan langsung

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku, untuk digunakan membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Penarikan pajak dilakukan oleh pemerintah berdasarkan pada peraturan yang berlaku umum

dan dapat dipaksakan.

Meskipun terdapat contradictio in terminis “iuran wajib” dalam pengertian pajak,

tetapi banyak orang memahami pajak adalah bentuk pungutan uang kepada rakyat yang dapat

dipaksakan berlakunya melalui badan-badan kekuasaan negara. Iuran pada umumnya diberi

pengertian sokongan dalam bentuk uang pada perkumpulan secara suka rela,6 dan apabila

5

Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Jakarta: Mandar Maju, 2004), hal. 39

6

(2)

yang bersangkutan tidak membayar, maka yang bersangkutan tidak dapat diberikan sanksi

hukum. Seseorang membayar iuran lebih merupakan kewajiban etis dari pada kewajiban

hukum. Sebaliknya, apabila hal itu ditempatkan sebagai kewajiban, maka kepada mereka

yang tidak membayar dapat diancam dengan sanksi hukum, termasuk sanksi pidana yang

telah ditetapkan sebelumnya. Pengertian iuran wajib pada pajak, bertitik tolak dari kewajiban

yang ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan penggunaan uang dari

wajib pajak untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sehingga

atas pelanggaran iuran wajib dapat dikenai dengan sanksi pidana.

Begitu pentingnya pajak sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai

pembangunan, serta pemberian fasilitas oleh pemerintah guna kepentingan orang pribadi atau

badan, maka dalam beberapa referensi hukum pidana dan kriminologi pelanggaran atas

perundang-undangan pajak digolongkan sebagai kejahatan berat (felony) yang dapat diancam

dengan pidana penjara dan denda secara komulatif.

Penggolongan kejahatan di bidang perpajakan sebagai kejahatan berat tercermin pada

UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada UU tersebut, kejahatan di bidang

perpajakan dikategorikan sebagai salah satu kejahatan korupsi yang sulit diberantas.

Hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik, dan ini adalah begian dari tata

tertib hukum yang memuat cara-cara untuk mengatur pemerintahan. Yang termasuk kedalam

hukum ini ialah: hukum tata negara, hukum pidana dan hukum administratif,sedangkan

hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administratif ini, sekalipun ada yang

menghendaki (a.l. Prof. Adriani tsb.dimuka) agar supaya kepada hukum pajak diberikan

tempat tersendiri disamping hukum administratif (otonomi hukum pajak) karena hukum

(3)

yaitu hukum pajak dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian

lagipula hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk

lapangan pekerjaannya.7

Referensi hukum pidana juga menempatkan tindak pidana di bidang pajak sebagai

white collar crime dan sekaligus merupakan salah satu jenis dari business crimes.8 Bahkan dewasa ini, sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan transportasi abad ke 21,

tindak pidana pajak sudah merupakan tindak pidana lintas batas negara atau sering dikenal

sebagai transfer pricing, yang selalu tumpang-tindih dengan tindak pidana pencucian uang.9

Dilihat dari segi normanya, peraturan di bidang perpajakan termasuk bidang hukum

administrasi, yaitu merupakan bagian dari keseluruhan aturan hukum yang menentukan

bagaimana negara sebagai penguasa menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugas,

atau cara bagaimana penguasa itu seharusnya bertingkah laku dalam mengusahakan

tugas-tugasnya.10

7 Brotodihardjo R.Santoso ,

Penghantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. 3, (Bandung: Rafika Aditama, 1998), hal. 10.

8

Michael Clarke (1990); Ellen S. Podgor (1993); Marshal B. Clinard (1980) sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, Tax Crimes merupakan salah satu dari 9 (sembilan) "corporate crimes" yaitu: tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana di bidang pasar modal, tindak pidana dalam bidang kepailitan, tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup, tindak pidana dalam bidang komputer, dan tindak pidana dalam bidang keuangan.

9

Tindak pidana pencucian uang berdasarkan Pasal 2 UU No 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dinyatakan sebagai bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan hasil disamarkan, sehingga menyulitkan pelacakan. Bidang perpajakan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang berpotensi menghasilkan uang yang cukup besar dan uang hasil dari tindak pidana tersebut dapat disamarkan melalui penyedia jasa keuangan.

10 Kusumadi Pudjosewojo dalam Kansil,

(4)

Dalam proses penegakan hukum dimana penegakan hukum pidana pajak termasuk di

dalamnya, maka akan selalu berhadapan dengan suatu sistem peradilan pidana (criminal

jutice system). Sistem ini adalah suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan.11 Dalam sistem ini terdapat komponen, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini saling terkait dan harus dapat bekerja sama

untuk mencapai tujuan sistem ini, yaitu:12

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

kaeadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

kejahatannya.

Kegiatan penyidikan merupakan tahapan kegiatan beracara pidana sebagai penegakan

hukum pidana, yang mungkin didahului dengan kegiatan penyelidikan dan harus

dilaksankaan dengan kegiatan berikutnya, yaitu kegiatan penuntutan, kegiatan pemeriksaan

perkara di pengadilan dan eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana

ditentukan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Oleh karena itu, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981). Dari

pernyataaan tersebut, berarti kegiatan penyidikan baru dimulai apabila terdapat bukti

11

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan keadilan dan pengabdian hukum, Universitas Indonesia, 1999), hal. 84

12

(5)

permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Sebelum melakukan penyidikan, maka penyidik harus menerbitkan surat perintah penyidikan.

Apabila suatu perintah penyidikan dan pelaksanaan penyidikan dilakukan oleh pejabat

pegawai negeri sipil, maka PPNS tersebut harus segera menyampaikan hasil penyidikannya

kepada penyidik POLRI.

Berkas hasil penelitian dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), sedangkan

untuk dapat disampaikan kepada pengadilan melalui penuntut umum harus memenuhi syarat

formal dan syarat material. Syarat formal berkaitan dengan dipenuhinya syarat procedural

menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan syarat

material berkaitan dengan kelengkapan data hasil penyidikan yang akan dijadikan bahan

argumentasi untuk membuktikan di pengadilan.

Sehubungan dengan penanganan perkara tindak pidana pajak, maka ada satu unsur

yang tidak dapat diabaikan, yakni penyidikan yang dilakukan oleh pejabat pegawai negeri

sipil yang memegang peranan cukup penting karena ada kalanya berhadapan langsung

dengan pelaku di lapangan dengan para pelaku tindak pidana pajak.

Selain komponen dalam sistem peradilan pidana sebagaimana yang disebutkan di

atas, maka perlu ditambahkan lagi satu komponen yang khusus untuk perkara tindak pidana

pajak, yakni penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang juga berwenang melakukan

penyidikan bilamana terjadi suatu tindak pidana di bidang pajak demi menunjang

keberhasilan penuntut umum menangani perkara tindak pidana pajak.

Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang

(6)

dalam sebuah penelitian yang berjudul: Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana Perpajakan.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil menurut

perundang-undangan di Indonesia?

2. Bagaimanakah peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak pidana

perpajakan?

3. Bagaimanakah hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan

dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap penyidik pegawai negeri sipil

menurut perundang-undangan di Indonesia

2. Untuk mengetahui peran penyidik pegawai negeri sipil dalam penyidikan tindak

pidana perpajakan

3. Untuk mengetahui hubungan hukum antara penyidik pegawai negeri sipil perpajakan

dengan penyidik kepolisian dalam penanganan tindak pidana perpajakan

D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis

Secara teoritis penelitian ini memberikan manfaat dalam memahami peran penyidik

pegawai negeri sipil di bidang perpajakan. Selain itu hasil penelitian ini dapat

(7)

praktisi perpajakan yang tertarik pada masalah peran penyidik pegawai negeri sipil di

bidang perpajakan

2. Praktis

Hasil penelitian dapat menjadi bahan kajian awal bagi Direktorat Jenderal Pajak

untuk melakukan peningkatan kualitas PPNS dan fakta penelitian dapat dijadikan

pertimbangan bagi PPNS dalam menjalankan peran penyidikan dalam tindak pidana

perpajakan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah

Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata

belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) Perpajakan dan Penyidik POLRI dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana

Perpajakan”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini adalah asli

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk

mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah

yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun

induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup

ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah

konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan. Sebagai

acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan

(8)

Penegakan hukum dalam arti luas ditegaskan oleh Mardjono Reksodipuro sebagai

berikut:

Dalam arti luas, penegakan hukum harus termasuk pula kewaspadaan pembuat

undang-undang yang ada di masyarakat yang belum dapat terjaring oleh sistem

peradilan pidana, baik karena celah-celah dalam hukum pidana yang memungkinkan

pelaku menghindari sanksi pidana maupun hukum itu sendiri telah secara sadar,

namun secara tidak adil memihak kepada kelompok-kelompok yang kuat dengan

tidak merumuskan perbuatan-perbuatan tersebut sebagai kejahatan.”13

Ini berarti bahwa konteks penegakan hukum harus diantisipasi sejak dini melalui

proses pembuatan undnag-undang. Dengan demikian diharapkan setiap bentuk

penyimpangan atau kejahatan dapat dijaring dengan undang-undang dalam rangka supremasi

hukum. Proses pembuatan undang-undang ini merupakan faktor pengaruh yang berasal dari

sistem hukum itu sendiri, antara lain dilator belakangi oleh kemampuan perumus

undang-undang agar mampu menutup celah-celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab.

Dalam kaitan dengan penegakan hukum tersebut, Farouk Muhammad menyatakan

bahwa “Penegakan hukum itu sendiri hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan”.14 Hal

ini dapat difahami, karena tujuan akhir dari penegakan hukum adalah untuk menciptakan

kondisi kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan serasi. Namun demikian diakui bahwa

tanpa sarana, termasuk melalui proses penegakan hukum maka harapan akan sulit tercapai.

13

Mardjono Reksodipuro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hal 7.

14

(9)

Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah sarana dan

fasilitas pendukung, seperti halnya kelembagaannya, proses peningkatan kemampuan aparat

penegak hukum dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Dalam konteks penegakan hukum

tindak pidana pajak, nampaknya kelima faktor berpengaruh di dalamnya. Faktor hukum

terletak pada ketidakjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993. Sinyalemen

tersebut diperkuat Luhut MP Pangaribuan yang menyatakan bahwa “Sistem peradilan pidana

yang belum jelas mengenai konsep penyidik tunggal ini membawa akibat buruk pada proses

penegakan hukum.”15 Selanjutnya faktor penegak hukumnya terletak pada penindakan oleh

PPNS yang tidak didampingi oleh penyidik Polri dan penyampaian berkas kepada penuntut

yang dilakukan secara langsung.

Di sisi lain, faktor sarana dan fasilitas yang terbatas juga ikut memberikan andil

karena terbatasnya dana, faktor masyarakat dan faktor budaya yang kurang disiplin juga ikut

berperan di dalamnya. Di sisi lain, masyarakat juga berpotensi memberikan pengaruh

terhadap berhasilnya penegakan hukum. Dalam hal ini peran yang diharapkan dari

masyarakat antara mengenai pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum, sikap terhadap

hukum serta perilakunya. Selanjutnya budaya atau kultur yang tumbuh ditengah masyarakat

juga member pengaruh langsung terhadap proses penegakan hukum, karena hukum itu

tumbuh dan berkembang sejalan dengan aspek kebudayaan.

Pendapat lain mengenai landasan dalam penegakan hukum dikemukakan oleh M.

Mastra Liba, yaitu meliputi:

a. Landasan ajaran/faham agama,

15

(10)

b. Landasan ajaran kultur/adat-istiadat, dan

c. Landasan aturan hukum positif yang jelas.16

Walaupun pendapat ini mirip dengan pendapat Soejono Soekanto tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, namun tidak ditegaskan pentingnya pengaruh

kepribadian dan mentalitas aparat penegak hukum. Dalam pendapat ini, pengaruh aparat

tercakup dalam ajaran/faham agama yang justru dalam kondisi saat ini terlalu jauh

ditinggalkan atau diabaikan.

Upaya untuk menegakkan hukum tidaklah merupakan sesuatu yang mudah, dalam

arti banyak kendala yang dihadapi. Empat belas kendala penegakan dikemukakan oleh M.

Mastra Liba sebagai berikut:

1. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan Jaksa Agung sejajar Menteri,

2. Sistem perundangan belum memadai,

3. Faktor sumber daya manusia,

4. Faktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana,

5. Corpsgeist dalam institusi,

6. Tekanan yang kuat kepada aparat penegak hukum,

7. Faktor budaya,

8. Faktor agama,

9. Legislatif sebagai Lembaga Legislasi perlu secara maksimal mendorong dan member

contoh teladan yang baik dalam penegakan hukum,

10. Kemauan politik pemerintah,

11. Faktor kepemimpinan,

16

(11)

12. Kuatnya jaringan kerjasama pelaku kejahatan (organiza crime),

13. Kuatnya pengaruh kolusi dalam jiwa pensiunan aparat penegak hukum,

14. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.17

Apabila berbagai kendala di atas dicermati secara baik, maka pada umumnya

member pengaruh yang cukup signifikan. Artinya, upaya penegakan hukum merupakan suatu

harapan yang masih jauh untuk dapat diwujudkan, mengingat banyaknya batu sandungan

yang menghadangnya. Walaupun secara kontekstual bahwa kebijakan penegakan hukum

tersebut telah tertuang dalam perundang-undangan tertinggi yaitu Garis-garis Besar Haluan

Negara, namun masih diperlukan kemauan politik serta tekad dari semua pihak yang terkait

di dalamnya.

Dari berbagai kendala tersebut, faktor yang dipandang cukup dominan terutama

adalah kepemimpinan, sumber daya manusia, adanya konflik kepentingan yang sulit

dilepaskan, tidak diterapkannya nilai-nilai agama, budaya, kemauan politik pemerintah, serta

peran DPR yang hingga kini masih belum optimal.

Idealnya, setiap proses penegakan hukum harus terlebih dahulu dijamin bahwa aparat

patuh dan taat terhadap hukum. Apabila dalam penegakan hukum aparatnya belum bersih,

maka ibarat sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan lantai, maka juga tidak terwujud

kondisi bersih yang diinginkan.

Selanjutnya penelitian ini menggunakan teori sistem peradilan pidana. Peradilan

pidana merupakan suatu sistem. Penjelasan sederhana terhadap pengertian ini adalah sejak

dilakukannya suatu penyidikan tindak pidana, kemudian ditindaklanjuti dengan penuntutan,

pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga akhirnya pelaksanan putusan pengadilan

17

(12)

merupakan suatu rangkaian proses satu kesatuan. Rangkaian ini dibagi dalam tahap-tahap

(empat tahap), yakni penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan

pelaksanaan putusan pengadilan. Meskipun masing-masing penanggung jawabnya secara

organisatorial terpisah, namun satu sama lain saling tergantung dan saling mempengaruhi

untuk menghasilkan suatu output atau produk bersama sebagai hasil bekerjanya sistem.Jika

peradilan pidana adalah suatu sistem, maka empat tahap tersebut merupakan empat sub

sistem yang menjadi pondasi bangunan sistem.18

Dengan mendasarkan pada pengertian sistem ini, maka peradilan pidana,

eksistensinya untuk mencapai hasil yang diinginkan hanya dapat dipertahankan dengan

terpeliharanya hubungan antara sub sistem. Apabila kinerja suatu sub sistem yaitu produk

yang dihasilkan buruk, maka dapat diperkirakan produk sub sistem yang mengikuti

berikutnya menjadi tidak baik. Demikian seterusnya dan penyimpanganya akan semakin

melebar hingga pada kinerja sistem secara keseluruhan akan menjadi sangat buruk. Produk

sistem penyidikan adalah BAP. Dengan bahan dasar BAP, sub sistem penuntutan

menghasilkan surat dakwaan yang akan dikontes (adversary system)19 dengan pembelaan

terdakwa dibantu advokatnya, pada pemeriksaan di sidang pengadilan (sub sistem ketiga).

Putusan pengadilan yang dihasilkan selanjutnya diterapkan oleh sub sistem pelaksanaan

putusan pengadilan. Jika BAP tidak mampu menyajikan kebenaran materiil dari suatu tindak

pidana, mudah dibayangkan pada akhir proses, putusan pengadilan yang dihasilkan dan

dilaksanakan juga akan tidak tepat. Adapun yang paling ekstrim adalah jika dalam putusan

yang tidak bersalah dihukum, sementara yang bersalah dibebaskan.

18 Joseph O’Connor and Ian McDermott, The Art of Systems Thinking, Essential Skills for

Creativity and Problem Solving (London: Thorsons, 1997), hal. 2-3. 19 Luhut M.P. Pangaribuan,

(13)

Tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana cakupan tugasnya adalah:

(1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

(2) menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan

telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta;

(3) berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi

perbuatannya.20

Sepintas, tugas pertama sepertinya terus-menerus menjadi tugas sub sistem

penyidikan (institusi kepolisian) dan tugas ketiga menjadi tanggung jawab sub sistem

pelaksanaan putusan pengadilan (Institusi Pemasyarakatan). Hal ini tidak sepenuhnya benar.

Tugas mencegah agar masyarakat tidak menjadi korban kejahatan adalah benar tugas

kepolisian, apabila tugas ini dilihat sebagai tugas antara. Jika sistem diartikan sebagai siklus,

maka tugas ini adalah tugas sistem secara keseluruhan, bukan hanya kepolisian. Begitu pula

halnya dengan tugas mengupayakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi perbuatannya, juga sebagai tugas sistem, tidak cuma lembaga

pemasyarakatan.21

Membahas peradilan pidana sebagai suatu sistem, berarti mempelajarinya tidak

hanya dari segi hukum tetapi juga non hukum, terutama manajemen. Terkait dengan hukum,

berprosesnya sistem peradilan pidana harus menggunakan hukum acara pidana sebagai

20

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1994), hal. 140.

(14)

pedoman.22Proses peradilan pidana sebagai wujud konkrit dari sistem peradilan pidana akan berlangsung apabila terjadi suatu tindak pidana yang melanggar hukum pidana substansif

(hukum pidana materil).23 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum

pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan

pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum

pidana.24 Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substansif,

sehingga hukum acara pidana disebut sebagai hukum pidana formil.25

Hubungan PPNS dan kepolisian sendiri terutama berkaitan dengan tugas penyidikan

suatu tindak pidana pajak. Untuk menghindari kesimpang-siuran tugas, penyalahgunaan

kewenangan, tumpang tindihnya kewenangan, serta kegagalan mencapai tugas

menyelesaikan kejahatan yang terjadi di masyarakat, perlu ada suatu hukum yang di

dalamnya antara lain memuat siapa aparat penegak hukum yang oleh negara diberikan tugas

penegakan hukum pidana, bagaimana tata cara penegakannya, apa saja tugas dan

kewajibannya, serta apa sanksi bila ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara atau

tugas dan kewenangannya. Hukum tersebut dikenal sebagai hukum pidana formal atau

hukum acara pidana, Wirjono Prodjodikoro merumuskan hukum acara pidana ini sebagai

suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah

(15)

yang berkuasa, yaitu kepolisian dan PPNS harus bertindak guna mencapai tujuan negara

dengan mengadakan hukum pidana. Oleh karena itu, keempat subsistem ini memiliki

hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana tujuannya adalah satu, tetapi tugasnya

berbeda.26

Dalam Konteks bekerjanya hukum di masyarakat, khususnya dalam penanganan

perkara tindak pidana pidana pajak, kepolisian dan PPNS sebagai organisasi kenegaraan

(birokrasi) diarahkan untuk mencapai tujuan negara, tujuan hukum dan tujuan sosial.

Mengenai hal ini Peter M. Blau dan Marshall M. Meyer menyatakan bahwa kini dalam

masyarakat kontemporer birokrasi telah menjadi suatu lembaga yang menonjol, sebagai

lembaga negara yang melambangkan era modern, dan tidak mungkin memahami kehidupan

sosial masa kini kalau tidak mengerti tentang bentuk lembaga ini.27

Herbert L. Packer dalam bukunya “The Limits of The criminal Sanction”,

mengungkapkan ada 2 (dua) model dalam proses Peradilan Pidana yaitu Model Pengendalian

Kejahatan (Crime Control Model) dan Model Perlindungan Hak (Due Process Model).

Packer mengajak untuk memahami betapa rumitnya proses kriminal, dia berusaha mengambil

karakteristik dari model-model yang berlawanan. Perbedaan kedua model itu akan terlihat

pada saat penangkapan sampai orang itu diputuskan bersalah. Adapun karakteristik dari

Crime Control Model adalah efisiensi yang mana proses kriminal itu bekerja, cepat ditangkap

dan diadili, seakan-akan tersangka itu bersalah, sedangkan Due Process Model,

karakteristiknya adalah perlindungan hak-hak tersangka, untuk menentukan kesalahan

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-AsasHukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), hal. 20.

27

(16)

seseorang harus melalui suatu persidangan. Dalam kenyataaanya kedua model ini sangat

banyak mempengarui hukum acara pidana indonesia, karakteristik Due Process Model

menonjol pada KUHAP yaitu dilindunginya hak-hak tersangka, namun dalam bekerjanya

KUHAP, maka Crime Control Model yang paling menonjol.28

Sebagai teori pendukung, digunakan teori koordinasi. Dalam nota kesepakatan telah

disinggung bahwa penyidik Polri berperan sebagai koordinator, pengawasan dan Pembina

teknis terhadap pelaksanaan tugas PPNS. Terkait dengan itu, di dalam instruksi Kapolri

Nomor Pol. Ins/08/IX/1999 dinyatakan juga bahwa keberadaan PPNS sebagai penyidik

pembantu bagi penyidik Polri.

Hal itu ditegaskan oleh M. Mastra Liba yang menyatakan sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP menjelaskan bahwa kewenangan penyidik Polri atau

PPNS sama seperti yang tercantum dalam Pasal 7. Hal tersebut sebenarnya tercermin pula di

dalam Kputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PN.07.03 Tahun 1982, tentang Pedoman

Pelaksanaan KUHAP pada bidang penyidikan, yang antara lain disebutkan Polri sebagai

Penyidik Utama wajib mengkoordinasikan PPNS dengan memberikan pengawasan, petunjuk

dan bantuan.

Pengertian koordinasi sendiri menurut Stoner dan Wankel dalam Moekijat adalah:

“Proses penyatu paduan tujuan-tujuan dan kegiatan-kegaiatan dari bagian-bagian atau

bidang-bidang fungsional atau organisasi yang terpisah untuk mencapai suatu sasaran

organisasi secara efisien.”29 Dengan demikian, upaya penyatupaduan yang tidak dapat

28

R. Indra Sanjaya, Relevansi Kejaksaan dengan KPK dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Peradilan Pidana, diakses dari situs: http://www.hukum-ku.blogspot.com/2008/07/sistem-peradilan-pidana.html. Diakses tanggal 12 Maret 2012.

29 Moekijat,

(17)

diwujudkan cenderung dapat menggagalkan sasaran yang ingin dicapai dalam konteks

koordinasi tersebut.

Kecenderungan penyimpangan PPNS dalam penindakan hukum terhadap tindak

pidana pajak juga tidak dapat dipisahkan dari teori koordinasi, dimana problematic penerapan

koordinasi berkisar pada perbedaan-perbedaan, yaitu “Perbedaan dalam orientasi sasaran,

perbedaan dalam orientasi waktu, perbedaan dalam orientasi hubungan antra pribadi dan

perbedaan dalam formalitas struktur”.30

Ini berarti bahwa faktor perbedaan tersebut dalam beberapa hal akan menghambat

koordinasi yang dilakukan oleh penyidik Polri selaku koordinator, pengawas dan Pembina

teknis terhadap penyidik PPNS. Dalam hal ini, perbedaan kepentingan seringan mewarnai

koordinasi yang ditandai dengan gejala egoism sektoral yang cenderung mengutamakan

kepentingan unit/pihaknya masing-masing daripada kepentingan bersama.

Dengan demikian apabila PPNS melakukan penindakan tindak pidana pajak dengan

tanpa dikoordinasikan dengan Polri merupakan bentuk penyimpangan yang mencerminkan

pelanggaran kewenangan hukum, karena bertentangan dengan peran Polri sebagai Korwas

dan Pembina Teknis PPNS serta tidak sesuai dengan peraturan yang ada.

Dari teori koordinasi di atas diperoleh pemahaman bahwa dalam upaya terkait itu

seharusnya diselaraskan dan dipadukan berbagai gerak, langkah serta kegiatan untuk sampai

pada sasaran yang sama melalui koordinasi. Apabila koordinasi tidak berjalan dengan baik,

sedang berbagai pihak terkait tersebut memiliki misi, fungsi dan kepentingan yang berbeda

maka dapat diperhitungkan bahwa pencapaian pada tujuan yang sama tidak akan tercapai.

30

(18)

Demikian halnya dengan peran Polri sebagai koordinator bagi PPNS, apabila Polri

tidak melaksanakan fungsi sebagai koordinator sebagaimana mestinya, maka penindakan

terhadap tindak pidana pajak oleh PPNS cenderung menyimpang dari konsep dan rencana

yang dicanangkan oleh Polri dan mereka akan berupaya mencapai sasarannya sendiri dengan

ukuran dan kriterianya sendiri pula. Fenomena itulah yang kemudian mengindikasikan

munculnya pelanggaran kewenangan hukum dalam penindakan tindak pidana pajak.

Pengertian pengawasan Polri terhadap PPNS yang dimuat dalam Nota Kesepakatan

Bersama tanggal 24 Februari 1999 tidak mengandung aspek penindakan, namun menyangkut

penyusunan pelaporan, pelaporan berkala dalam penyidikan, evaluasi hasil pelaporan serta

evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan.

Pengertian pengawasan secara umum dikemukakan oleh Sujamto, bahwa

pengawasan adalah: “Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan

yang sebenarnya mengenai pelaksanaan atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya

atau tidak”31

Salah satu peran Polri terhadap PPNS untuk melakukan pengawasan, maka dalam hal

ini Polri berwenang melakukan pengamatan, pemantauan serta penilaian terhadap kegiatan

PPNS, termasuk dalam aktivitas penindakan terhadap tindak pidana pajak.

2. Landasan Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi adalah

pendapat, pangakalan pendapat; Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa

sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan

operational

31

(19)

definition

.

32

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan

pengertian atau penafsiran mendua (

dubius

) dari suatu istilah yang dipakai. Guna

menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam

penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai

berikut:

a. Tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda

yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van Strafrecht

voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit tersebut. Karena itu para ahli hukum berusaha

memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada keseragaman

pendapat.33

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi pengertian

strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Beliau tidak setuju

dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak” lebih pendek daripada

perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan,

tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.34

32

Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, (Medan: PPs USU), hal. 35.

33

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal 67. 34

(20)

b. Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa

berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan

jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.35

c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan

mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup

undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.36

d. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya.38

f. Peranan adalah serangkaian tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi

tertentu.39 Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peranan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) Perpajakan dan penyidik POLRI adalah serangkaian tindakan

oleh PPNS dan penyidik POLRI sesuai dengan fungsi dan wewenangnya untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak

pidana bidang perpajakan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

35

Erly Suandy, Hukum Pajak, (Yogyakarta: PT. Salemba Empat, 2005), hal. 5.

36 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Pasal 1 angka (11) 37

Ibid, Pasal 1 angka (1)

38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka (2). 39 Indria Samego,

(21)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian

yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma normadalam hukum

positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah

menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.40

Deskriptif analitis berarti bahwapenelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam

konteks teori-teorihukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang

peranan PPNS dalam penyidikan tindak pidana perpajakan.

2. Sumber data

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang

berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yangdigunakan dalam

penelitian ini

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya

mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan mengenai Kepolisian RI

dan Perpajakan, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

RI, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan

Perubahannya, dan lain-lain, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang

otoritasnya di bawah undang-undang adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan

40 C.G.F. Sunaryati Hartono,

(22)

Presiden atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Putusan

pengadilan merupakan konkretitasi dari perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks

berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan

klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.41

c. Bahan hukum tertier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap

bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, kamus kesehatan,

majalah dan jurnal ilmiah.42 Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum

primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan

dan studi dokumentasi. Studi tersebut sangat berguna dalam membantu penelitian ilmiah

untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, dengan

memberikan pengertian penyusunan persoalan yang tepat, mempertajam perasaan untuk

menilai, membuat analisis dan membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.43

41

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 141. 42 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi,

Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 14.

43

(23)

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untukmengumpulkan

data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,literatur-literatur,

tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang

berkaitan dengan penelitian ini

4. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa "proses analisis data dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari pengamatan yang sudah dituliskan

dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.44

Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan

penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu

dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan

yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan

deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam

penelitian ini.

44

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan uji normalitas, langkah kedua adalah menguji homogenitas varians antara kelas eksperimen dan kontrol dengan uji F, uji F ini dilakukan untuk mengetahui

Untuk perabot, terdapat pengulangan patra bunga sakura pada kursi makan dan material kayu yang ada pada salah satu dindingnya, karena itu secara keseluruhan ruang ini

Hasil pengujian DSC pada Gambar 4–8 menunjukkan bahwa metode UNIFAC dapat digunakan untuk melakukan perhitungan prediksi kesetimbangan cair-cair sistem PP-MNR.

dan perpanjangan putus, kekerasan dan compression set menggunakan metode ASTM. Morfologi termoplastik vulkanisat diuji menggunakan SEM dan DTA. Hasil pengujian..

Komputer generasi kedua menggantikan bahasa mesin dengan bahasa assembly. Bahasa assembly adalah bahasa yang menggunakan singkatansingkatan untuk menggantikan kode biner. Pada

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kompres hangat terhadap penurunan nyeri derakat dismenorea primer pada mahasiswi di Asrama STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahun

Pada penelitian akan dibuat suatu rancang bangun alat pemantau kondisi suhu dan kelembaban pada ruang inkubator dengan metode mencari dan mengumpulkan data mengenai kisaran suhu

Berdasarkan analisis histogram maka tegangan tabung yang digunakan sebaiknya menggunakan tegangan yang minimum yaitu 40 kV sebab grafik histogram yang dihasilkan pada citra