• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Dari Persepsi Ancaman Terhadap Perilaku Menghindari Suku Laut Oleh Suku Melayu Di Kepulauan Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peran Dari Persepsi Ancaman Terhadap Perilaku Menghindari Suku Laut Oleh Suku Melayu Di Kepulauan Riau"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERSEPSI ANCAMAN 1. Definisi

Persepsi ancaman adalah sebuah sebuah keadaan dimana individu mempersepsikan sebuah situasi sebagai situasi yang negatif dan merasakan perlunya melindungi diri (redmond, 2012). Terdapat dua tipe ancaman yang bisa muncul pada individu, yaitu ancaman personal (personal threat) dan ancaman antar kelompok (intergroup threat). Ancaman personal adalah ancaman yang terjadi ketika individu berfikir bahwa dirinya merasa terancam. Jenis ancaman ini terkadang disebut self-directed threat.

(2)

2. Tipe-tipe persepsi ancaman

Berdasarkan Stephan, Ybarra dan Morrison (2009), persepsi ancaman memiliki berberapa tipe, yaitu:

a. Ancaman Realistik (Realistic Threat)

Pada awalnya, ancaman realistik adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Levine & Campbell dan dikenal dengan realistic group conflict theories (RGCT). Persepsi terhadap ancaman realistik bisa terjadi dalam dua level, yaitu level individu (personal) dan level kelompok. Pada level personal, ancaman realistik mengacu kepada ancaman yang berhubungan dengan fisik atau material yang nyata dan membahayakan individu seperti rasa sakit, siksaan, atau kematian, juga kerugian dalam bidang ekonomi, dan ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan individu. Pada level kelompok, individu melihat ancaman sebagai sesuatu yang dapat membahayakan keberadaan kelompok. b. Ancaman Simbolik (Symbolic Threat)

Ancaman simbolik adalah ancaman yang berhubungan dengan agama, nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, falsafah, moralitas, juga identitas sosial dan harga diri dari individu atau kelompok. Persepsi terhadap ancaman simbolik adalah bagaimana ‘cara hidup’ dari

(3)

dihalangi oleh kelompok luar (outgroup), individu akan cenderung bersikap negatif terhadap kelompok luar (outgroup).

c. Kecemasan Antar Kelompok (Intergroup Anxiety)

Kecemasan antar kelompok yang melibatkan antisipasi terhadap interaksi antar kelompok yang negatif awalnya awalnya merupakan jenis ancaman yang terpisah. Namun, berdasarkan revisi terakhir menurut Stephan, Ybarra dan Morrison (2009) kecemasan antar kelompok dikelompokkan sebagai sub bagian dari ancaman antar kelompok yang berpusat pada kekhawatiran pada interaksi dengan anggota outgroup. Kekhawatiran ini muncul dari berbagai sumber yang berbeda, termasuk diantaranya kekhawatiran bahwa outgroup akan memanfaatkan ingroup, dan kekhawatiran bahwa outgroup akan mempersepsikan ingroup berprasangka.

(4)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Ancaman

Berdasarkan Stephan, Ybarra & Morrison (2009), terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi persepsi ancaman

a. Hubungan antar kelompok (Intergroup relation)

Bagaimana hubungan antara kelompok yang satu dengan yang lain bisa mempengaruhi ancaman. Kekuatan kelompok, sejarah konflik, juga besar anggota kelompok merupakan faktor-faktor yang berperan dalam hubungan antar kelompok ini.

b. Dimensi budaya (Cultural dimension)

Dimensi budaya mengacu pada nilai-nilai, standar, peraturan, norma-norma, dan kepercayaan pada satu kelompok dengan kelompok yang lain. ketika perbedaan pada hal-hal tersebut semakin mencolok, maka ancaman yang muncul pada masing-masing kelompok akan semakin meningkat.

c. Faktor situasional (Situational factor)

(5)

d. Perbedaan individu (Individual differences)

Individu yang kurang memiliki kontak personal dan cenderung asing dengan kelompok luar juga memiliki self esteem yang rendah akan cenderung lebih merasa terancam ketika berinteraksi dengan kelompok luar.

4. Konsekuensi dari ancaman

Intergroup threat bisa menyebabkan munculnya konflik. Hal ini dikarenakan ancaman mempengaruhi perilaku, persepsi, dan emosi. Sebuah ancaman dapat membangkitkan emosi negatif yang kuat termasuk didalamnya rasa takut, marah, benci, frustasi, dan rasa tidak aman. Selain itu, persepsi ancaman bisa mengurangi rasa empati pada anggota dari kelompok luar. Stephan, Ybarra dan Morrison (2009) membagi respon individu terhadap ancaman menjadi tiga, yaitu:

a. Respon Kognitif (Cognitive response)

(6)

b. Respon Emosional (Emotional response)

Respon emosional terhadap ancaman kemungkinan akan menjadi negatif. Individu akan menjadi takut, cemas, marah, dan benci. Individu akan menjadi gelisah dan canggung ketika berhadapan dengan kelompok luar karena adanya ketidakpastian tentang bagaimana seharusnya bersikap dihadapan mereka. semakin individu merasa cemas terhadap kelompok luar, semakin ia akan mengantisipasi reaksi negatif dari kelompok luar. Kecemasan emosional bahkan bisa terjadi ketika individu salah memprediksi respon kelompok luar. c. Respon perilaku (Behavioral response)

(7)

B. PERILAKU MENGHINDAR 1. Definisi perilaku menghindar

Perilaku menghindar secara sederhana bisa diartikan sebagai sebuah perilaku dimana individu mengabaikan sebuah situasi dan kontak terhadap objek perilaku yang bisa memunculkan konflik (Leung, Brew, Zhang & Zhang, 2011). Perilaku menghindar adalah salah satu strategi menghadapi konflik, dimana individu menarik diri, memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik mapun psikologis (Pruitt & Robin, 2004).

Perilaku menghindar memiliki 3 bentuk, diantaranya adalah avoidance (perilaku menghindar yang melibatkan penghindaran secara keseluruhan dari suatu situasi yang mengancam), escape (perilaku menghindar yang meliputi meninggalkan situasi khusus yang mengancam), dan partial avoidance (perilaku menghindar yang digunakan dimana individu membatasi diri ketika melakukan atau menghadapi situasi yang mengancam).

2. Perilaku menghindar sebagai strategi menghadapi konflik

(8)

seseorang mencoba untuk mencegah munculnya tindakan yang bisa menimbulkan sebuah masalah.

Budaya menunjukkan perbedaan cara dalam menghadapi perselisihan, dan penelitian menunjukkan bahwa orang asia akan cenderung menggunakan perilaku menghindar dalam menghadapi masalah. Sejalan dengan hal ini, Tjosvold dan Sun (2002) menemukan bahwa menghindari masalah dipersepsikan mampu melindungi hubungan interpersonal antara dua pihak yang bermasalah dan mengurangi terjadinya konflik diantara mereka.

C. SUKU MELAYU

Suku melayu merupakan etnis yang termasuk ke dalam rumpun ras austronesia. Suku melayu bermukim di sebagian besar Malaysia, pesisir timur Sumatera, sekeliling pesisir Kalimantan, Thailand Selatan, Mindanao, Myanmar Selatan, serta pulau-pulau kecil yang terbentang sepanjang Selat Malaka dan Selat Karimata. Di Indonesia, jumlah suku melayu berkisar sebanyak 3,4% dari seluruh populasi, yang sebagian besar mendiami propinsi Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat (Irdasyamsi, 2012).

(9)

ketaatan terhadap agama Islam menjadi salah satu ciri khas dari Orang Melayu (Irdasyamsi, 2012).

Imperium melayu adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517-683 dibawah kekuasaan melayu, yang meliputi daerah Sumatera Tengan dan Selatan. Sriwijaya Syailendra bermula dari akhir abad ke-7 dan berakhir pada akhir abad ke-12. Kemaharajaan melayu dimulai dari Kerajaan Bintan-Tumasik pada abad 12-13 M dan kemudian memasukii periode Melayu Riau yaitu zaman Melaka pada abad 14-15 M, Zaman Johor-Kampar pada abad 16-17 M, dan Zaman Riau-Lingga pada abad 18-19 M (Wikipedia, 2013).

(10)

D. SUKU LAUT

Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Orang Suku Laut merupakan kelompok etnik berkarakter pengembara yang hidup dan menetap di perairan di beberapa pulau dalam wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Suku bangsa ini merupakan satu varian dari berbagai macam kelompok suku Laut yang bermukim di Asia Tenggara. Keberadaan mereka di Provinsi Riau menurut Chou (2003) tersebar di Pulau Bertam, Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang, Pulau Barok, dan beberapa pulau lain.

Orang Suku Laut memiliki bermacam penamaan. Penamaan ini muncul dari para peneliti ilmu sosial, masyarakat setempat (orang Melayu), maupun dari diri mereka sendiri. Di Indonesia, suku bangsa ini biasa dikenal sebagai ‘Orang Laut’ (sea people) atau ‘Suku Sampan’ (boat tribe/sampan tribe).

Sedangkan dalam berbagai literatur berbahasa Inggris—biasanya dalam karya etnografi maupun ilmu sosial lain yang menaruh perhatian terhadap masyarakat kesukuan yang berdomisili di pesisir maupun kepulauan di kawasan Asia Tenggara, kita dapat temukan beberapa macam sebutan untuk suku bangsa ini, seperti ‘sea nomads’, ‘sea folk’, ‘sea hunters and gatherers’,

‘sea forager’, ‘sea gypsies’, dan ada yang menyebutnya sebagai ‘masyarakat

laut’ (people of the sea) (Chou, 2003).

(11)

Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat ‘pengembara’ lautan (sea nomads), melainkan juga diberikan kepada

masyarakat yang tinggal di sepanjang garis atau pesisir pantai yang ada di Kepulauan Riau yang mana mereka ini memang awalnya merupakan bagian dari Suku Laut. Lenhart mencatat bahwa penamaan terhadap mereka ini juga didasari atas lokasi di mana kelompok kerabat (klan) Orang Laut berdomisili, seperti misalnya Orang Laut yang tinggal di Pulau Bertam lantas bernama Suku Bertam. Begitu juga dengan Orang Laut yang menetap di Pulau Galang, Pulau Mapor, Pulau Mantang disebut Orang Galang, Orang Mapor, Orang Mantang, dan seterusnya (Lenhart, 1997).

Asal-usul kedatangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau diperkirakan sekitar tahun 2500—1500 SM sebagai bangsa proto Melayu (Melayu tua) dan kemudian menyebar ke Sumatra melalui Semenanjung Malaka. Pasca-1500 SM terjadi arus besar migrasi bangsa deutro Melayu yang mengakibatkan terdesaknya bangsa proto Melayu ke wilayah pantai (daratan pesisir). Kelompok yang terdesak inilah yang kini dikenal sebagai Orang Suku Laut (Lenhart, 1997).

(12)

Ketika para klan itu bersatu, mereka disebut sebagai “orang kerahan” yang

mengabdi kepada sultan untuk menjaga wilayah perairan kesultanan, berperang, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi kesultanan. Selain suplai kebutuhan kerabat sultan, komoditas laut ini juga merupakan produk ekspor utama, terutama negeri Cina sebagai importir utamanya (Chou, 2003). Dari hubungan historis yang demikian, Orang Suku Laut saat ini memandang orang Melayu adalah kaum aristokrat dan pedagang.

sejarah Orang Suku Laut di kawasan Kepulauan Riau ini terbagi ke dalam lima periode kekuasaan, yakni masa Batin (kepala klan), Kesultanan Melaka-Johor dan Riau-Lingga, Belanda (1911-1942), Jepang (1942-1945), dan Republik Indonesia (1949 sampai sekarang) (Chou, 2003).

E. PERAN PERSEPSI ANCAMAN TERHADAP PERILAKU

MENGHINDAR PADA SUKU LAUT YANG DILAKUKAN OLEH SUKU MELAYU DI KEPULAUAN RIAU

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Didalamnya hidup berbagai macam suku adat dan budaya yang berbeda. Salah satunya adalah suku laut yang hidup disekitar perairan Kepulauan Riau.

(13)

Kepulauan Riau. Namun, hal ini tidak membuat suku laut dan Melayu lepas dari masalah isu etnisitas antar suku.

Masalah etnisitas di Indonesia tampak pada relasi antar etnis dalam kehidupan sehari-hari maupun antara kelompok minoritas dan mayoritas di wilayah tertentu. Pada relasi antar etnis suku laut dan suku melayu, penyebab utama isu etnisitas antar kelompok ini lebih mengacu pada perbedaan yang sangat mencolok pada kepercayaan dan cara hidup antara suku laut dan suku melayu. Masyarakat melayu yang secara historis maupun secara sosiologis memiliki nilai adat yang sangat lekat dengan warna islami memiliki kepercayaan yang sangat bertolak belakang dengan kepercayaan suku laut yang sebagian besar masih menganut kepercayaan animisme-shamanisme (Chou, 2003). Perbedaan kepercayaan inilah yang kemudian membentuk kesadaran diantara orang melayu dan orang laut untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas yaitu ‘orang kita’ (kita/insider) dan

‘orang lain’ (mereka/outsider), yang kemudian mempengaruhi pola-pola relasi

diantara mereka sendiri (Chou, 2003).

Tajfel dan kolega (Tajfel, 1969; Tajfel dkk., 1971 dalam Withley & Kite, 2010) mengemukakan bahwa ketika individu mengidentifikasikan dirinya sebagai ingroup dan melihat orang lain sebagai bagian dari outgroup, mereka melihat anggota dalam ingroup lebih positif dibandingkan dengan outgroup. Proses kategorisasi ini berakibat pada munculnya perspektif ‘us vs them’ dan

(14)

Ketika perasaan kompetisi muncul, seseorang mengembangkan rasa curiga dan kecemasan terhadap orang yang asing sebagai cara untuk melindungi diri dan kelompoknya dari kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari luar. Kebutuhan akan keselamatan kelompok dan ketakutan pada kehancuran kelompok dirasakan sebagai ketakutan personal. Akibatnya, individu cenderung memperlakukan ingroup dengan lebih baik dan menampilkan rasa permusuhan kepada outgroup. Outgroup diperlakukan secara bermusuhan bukan karena mereka anggota dari kelompok luar, tapi lebih karena kelompok tersebut memiliki ancaman tertentu terhadap ingroup (Tajfel & Turner, 1986 dalam Stephan, Ybara & Morrison, 2009; Withley & Kite, 2010).

Stephan dan Stephan (1996) berpendapat bahwa threat (ancaman) merupakan salah satu penyebab konflik yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok. Kelompok luar yang mempunyai kekuatan untuk merugikan atau berbuat jahat kepada anggota kelompok dari individu adalah ancaman bagi kelompok (Stephan, Ybara & Morrison, 2009).

Dalam hubungannya dengan konteks intergroup threat theory, intergroup threat dialami ketika anggota dari kelompok dirugikan oleh kelompok luar.

(15)

yang berhubungan dengan agama, nilai-nilai, kepercayaan, ideologi, falsafah, moralitas, juga identitas sosial dan harga diri dari individu atau kelompok. Selain ancaman realistik dan simbolik, persepsi ancaman bisa berbentuk kecemasan. Kecemasan antar kelompok (intergroup anxiety), adalah ancaman yang berpusat pada perasaan cemas atau gelisah ketika individu berinteraksi dengan outgroup.

Bagi suku melayu, ketakutan terbesar dalam hidup mereka adalah terkena ilmu hitam dan mengikuti kepercayaan dan gaya hidup suku laut. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hierarki kehidupan masyarakat melayu, suku laut merupakan suku dengan hierarki terendah dari struktur sosial-politik masyarakat melayu (Chou, 2003). Menurut Chou (2003) dan Lenhart (1997), bagi suku melayu, orang suku laut diposisikan di hierarki terendah dari rangking atau derajat sosial dalam ‘dunia melayu’. Hal ini disebabkan karena

mereka dianggap bukanlah bagian dari apa yang disebut kaum aristokrat melayu sebagai ‘umat’ karena tidak menjalankan adat melayu, tidak memeluk agama islam, serta berpenampilan seperti lazimnya orang melayu.

Sebuah ancaman (threat) bisa menyebabkan munculnya konflik. Hal ini dikarenakan ancaman mempengaruhi perilaku, persepsi, dan emosi. Konflik adalah persepsi dan/atau ketidaksesuaian yang nyata dalam nilai, harapan, proses, atau hasil dari dua pihak atau lebih pada masalah (Han, 2008). Sebuah konflik melibatkan stimulus yang tidak diinginkan dan/atau tidak pantas.

(16)

lintas budaya. Dalam budaya barat seperti amerika, nilai keterbukaan dalam menghadapi konflik sangat di hargai. Konsep keterbukaan ini termanisfestasi dalam berbagai perilaku seperti diskusi terbuka, dan konfrontasi langsung sebagai cara yang efektif untuk menghadapi konflik. Sebaliknya, menghindar sebagai upaya untuk menghadapi konflik dianggap sebagai strategi yang berguna dalam menghadapi konflik pada banyak negara di asia (Morris, Williams, Leung, dkk 1998, Tjosvold & Sun; Han, 2008). Hal ini dikarenakan pada masyarakat yang bersifat kolektif seperti Indonesia, menghindari masalah dipersepsikan mampu melindungi hubungan interpersonal antara dua pihak yang bermasalah dan mengurangi terjadinya konflik diantara mereka.

F. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesa penelitian yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa ‘terdapat peran pada persepsi ancaman terhadap perilaku menghindar pada suku

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis yang peneliti lakukan sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, ditemukan bentuk-bentuk abreviasi yang ditulisa dalam halaman

 Diskusikan dengan orang yang ahli dalam masalah itu  Cara yang sangat baik, berwudhu ’ dan bawa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Jawa Tengah. Faktor-faktor yang

Salah satu jenis camilan yang memiliki kandungan gizi lengkap, mengandung antioksidan dan serat pangan adalah keripik simulasi dengan bahan tepung bekatul substitusi

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif (mixed methode) dengan metode survei. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang

jawab subjek hukum atau pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan. hukum atau perbuatan pidana sehingga menimbulkan kerugian

Daryanto, (2014), Pendekatan Pembelajaran Saintifik kurikulum 2013, Yogyakarta : Gava Media, hal.. Pertanyaan itu harus bersifat aktual sampai dengan pertanyaan yang bersifat

Melihat dari beberapa aspek yang dilakukan di rumah (Frekuensi membaca buku orangtua, strategi membaca ibu, kesenangan atau antusisas anak belajar membaca,