• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Konvensi Hak Penyandang Disabilita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makna Konvensi Hak Penyandang Disabilita"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Makna Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan

Implementasinya dalam Kebijakan Pembangunan Daerah yang Inklusif

serta Urgensi Perda Perlindungan Disabilitas

Oleh

DR. Zainul Daulay, SH.,MH

1.Pendahuluan

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kedudukan yang sama di muka bumi. Setiap manusia mempunyai harkat dan martabat (dignity) yang melekat pada kemanusiaannya. Dengan keyakinan akan kuasa Tuhan sebagai Pencipta, kondisi disabilitas yang dialami sebagian anak manusia adalah fakta ilahi. Kondisi ini tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat penyandang disabilitas, atau menjadi alasan untuk tidak mensejajarkan mereka dengan warga lain dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Namun dalam kenyataannya, penyandang disabilitas tetap merupakan kelompok yang paling rentan dan termajinalkan dalam setiap masyarakat. Sekalipun secara internasional dan nasional gerakan hak asasi manusia dan pembangunan ekonomi mengalami perbaikan, secara umum kelompok ini masih berada di garis terakhir untuk dapat menikmatinya.1 Sebagian besar mereka masih tergantung pada bantuan dan rasa hiba orang lain. Mereka belum mendapatkan hak untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan agar bisa bertindak, beraktifitas sesuai dengan kondisi mereka.

Paradigma sebagian besar pengambil keputusan di banyak negara dan masyarakat tentang disabiltas selama ini belum berubah. Penyandang disabilitas

lebih dipandang sebagai “objek”, ketimbang sebagai “pemegang hak” atas

kesejahteraan atau kesehatan. Hal ini terefleksi dari banyaknya undang-undang dan peraturan nasional di suatu negara yang mengatur atau berkenaan dengan disabilitas, namun kontribusinya tidak siknifikans merubah keadaan kaum disabilitas. Oleh sebab itulah lahir dan diratifikasinya Konvensi Hak Penyandang

Disampaikan pada Seminar Sehari: “Convention on the Rights of Persons with Disabilty (Konvensi

Hak Penyandang Disabilitas) dan Implementasinya dalam Kebijakan Pembangunan Daerah yang Inklusif di Sumatera Barat”, diselenggarakan di Padang, 4 Februari 2013, oleh Dewan Pengurus Cabang Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Kota Padang bekerjasama dengan Disability Rights Fund.

 Dosen Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas.

1

Diperkirakan ada 650 juta penyandang disabilitas di dunia. 20 % dari penduduk dunia yang termiskin adalah penyandang disabilitas; 98 % dari anak-anak yang menyandang disabilitas di negara berkembang tidak mengenyam pendidikan; 30 % anak-anak jalanan di dunia adalah penyandang disabilitas; dan 3 % penyandang disabilitas yang dewasa adalah buta huruf dan di banyak negara hampir 1 % penyandang disabiliats yang buta huruf adalah wanita. Lihat, Andrew Byrnes, Cs, 2007, “Disabilities, From Exclusion to Equality: Realizing the Rights of Persons With Disabilities”, United Nations,Geneve, hlm. 1

SEMINAR SEHARI: ‘CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH

DISABILITY’ (KONVENSI HAK PENYANDANG DISABILITAS) DAN IMPLEMENTASINYA DALAM BENTUK KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN DAERAH YANG INKLUSIF DI SUMATERA BARAT

(2)

2

Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities- CRPD) merupakan harapan baru untuk memperbaiki keadaan.2 Konvensi ini merupakan perjanjian internasional yang relatif tercepat dalam pembentukannya karena dalam perundingannya melibatkan kelompok yang berkompeten yakni, masyarakat sipil (civil society), pemerintah, lembaga-lembaga nasional hak asasi dan organisasi internasional.

Saya berterimakasih sekali kepada Panitia, telah diberi kesempatan untuk terlibat mendiskusikan perjanjian internasional ini. Sebagai pemancing diskusi, dalam tulisan yang sederhana ini akan dibahas; i) apa dan bagaimana makna CRPD bagi perlindungan hak penyandang disabilitas; ii) bagaimana implementasinya dalam kebijakan pembangunan daerah secara komprehensif.

2. CRPD dan Maknanya dalam Perlindungan Disabilitas

Dilihat dari kaca mata hukum internasional, CRPD adalah suatu perjanjian internasional yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional lainnya. Perjanjian ini dibuat oleh subjek hukum internasional dan menjadi sumber hukum bagi para pihak sehingga mengikat bagi negara yang meratifikasi. Seperti penjanjian lainnya, CRPD telah ditandatangani 155 negara dan diratifikasi oleh 126 negara peserta.3 Dengan demikian penjanjian ini telah resmi berlaku.

Namun jika dilihat dari esensinya, ada beberapa hal yang sangat perlu dicatat dan dipahami karena hal tersebut telah memberikan makna penting bagi perlindungan disabilitas. Selain itu, konvensi ini juga menjadi penanda masuknya era baru bagi penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan relasi antara negara dan warga negara.

a. Perluasan Tujuan, Makna dan Ruang Lingkup Perlindungan Disabilitas

Salah satu pembeda CRPD dengan konvensi internasional yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia lainnya adalah luasnya tujuan, makna dan ruang lingkup perlindungan bagi disabilitas. Dilihat dari tujuannya, konvensi ini tidak hanya untuk memajukan, melindungi dan menjamin penyandang disabilitas untuk menikmati hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang juga dapat dinikmati orang yang bukan disabel, tetapi lebih jauh dari itu mereka harus dapat menikmatinya secara penuh dan tanpa diskriminasi yang didasarkan disabilitas. Selain itu, konvensi ini juga bertujuan untuk meningkatkan penghormatan terhadap harkat dan martabat insani yang melekat pada setiap diri manusia tanpa pandang bulu.4 Dari kedua tujuan tersebut terlihat bahwa konvensi ini ingin menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas mempunyai hak-hak asasi dan martabat yang harus dapat dinimatinya secara penuh dan tanpa diskriminasi yang didasarkan pada disabilitas. Dengan

2

Konvensi ini telah diterima pada tanggal 13 Desember 2006, ditandatangani oleh Pemerintaha Republik Indonesia pada 30 Maret 2007. dan diratifikasi melalui UU RI nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

3

Indonesia telah meratifikasi CRPD pada tanggal 11 November 2011 melalui UU RI nomor 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).

4

(3)

3

demikian, CRPD telah mengintrodusir bentuk diskriminasi baru yakni diskriminasi atas dasar disabilitas.

Selanjutnya, CRPD tidak memberikan definisi tentang “disabilitas” dan

“penyandang disabilitas” secara eksplisit. Sebaliknya, konvensi ini hanya mengemukakan cakupannya secara luas yakni mereka yang memiliki penderitaan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dimana interaksi dengan berbagai hambatan tersebut dapat menyulitkan partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan lainnya.5 Konvensi memberikan keleluasaan pada masyarakat untuk menentukan

konsep “disabilitas” dan hal itu akan berkembang sesuai dengan tingkat sosial

ekonomi masyarakatnya.6

CRPD juga menetapkan hak-hak penyandang secara luas. Setiap penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.7

b. Adanya Kewajiban Negara yang dinyatakan secara eksplisit dan rinci

Konvensi menetapkan kewajiban umum setiap negara peserta disamping kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan secara eksplisit dan rinci. Negara peserta wajib merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olahraga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi.

Dalam pelaksanaan kewajiban tersebut, negara harus mengacu pada prinsip-prinsip umum yakni :8

a. Penghormatan pada martabat yang melekat, otonomi individual, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan, dan kemerdekaan perseorangan;

b. Nondiskriminasi;

c. Partisipasi penuh dan efektif dan keikutsertaan dalam masyarakat;

d. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan;

e. Kesetaraan kesempatan; f. Aksesibilitas;

g. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan;

5

Lihat Pasal 1 (alenia 2) CRPD

6

Lihat Pembukaaan CRPD, (alenia e)

7

Lihat Pasal 5-31 CRPD.

8

(4)

4

h. Penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandang disabilitas anak dan penghormatan hak penyandang disabilitas anak guna mempertahankan identitas mereka.

c. Organ Pengawasan pada Tingkat Nasional dan Internasional

Pada tingkat nasional, setiap negara peserta CRPD harus menunjuk lembaga pemerintah yang menangani masalah penyandang disabilitas yang bertanggungjawab terkait pelaksanaan Konvensi ini, dan membangun mekanisme koordinasi di tingkat pemerintah untuk memfasilitasi tindakan tersebut.9 Selain itu, pada tingkat internasional, konvensi mengharuskan pembetukan Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas dengan hak dan kewajiban yang cukup luas untuk memastikan pelaksanaan hak-hak penyandang disabilitas.10

Setiap negara peserta wajib membuat laporan pelaksanaan konvensi 2 (dua) tahun setelah konvensi berlaku, dan laporan selanjutnya paling lambat setiap 4 (empat) tahun atau kapan pun jika diminta Komite Pemantau Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas melalui Sekretaris Jenderal Penyandang Disabilitas membahas laporan yang disampaikan oleh Negara Pihak dan memberikan pertimbangan mengenai cara dan sarana meningkatkan kapasitas nasional untuk pelaksanaan Konvensi ini. Komite juga melakukan kerja sama internasional dan koordinasi dengan Komite pemantau instrumen Hak Asasi Manusia Internasional dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya.11

3. Perlindungan Disabilitas Dalam Kebijakan Pembangunan Daerah yang

Inklusif

Sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang berprikemanusiaan yang adil dan beradab, kondisi disabilitas harus dipandang sebagai suatu kenyataan yang membuat penyandangnya terhambat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam aktifitas dalam masyarakat secara penuh dan sama dengan orang-orang lainnya. Tiada seorang manusiapun yang menghendaki dirinya sebagai penyandang disabilitas. Kondisi disabilitas dapat terjadi pada siapa saja, baik karena dibawa sejak lahir atau karena suatu kecelakaan kerja, kecelakaan berlalulintas, peristiwa bencana alam dan sebagainya. Oleh sebab itu, secara khusus, persoalan ini harus menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat pada umumnya.

Dalam menunaikan tanggung jawab negara dan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, pemerintah, khususnya pemerintah daerah sudah semestinya untuk mengambil kebijakan untuk mengupayakan pemenuhan hak-hak mereka. Kebijakan pemerintah harus didasarkan pada paradigma baru yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa, yakni mengakui adanya keterbatasan pada penyandang disabilitas yang dapat diatasi jika diupayakan aksesibilitas fisik

9 Lihat Pasal 33 CRPD.

10

Lihat Pasal 34 CRPD.

11

(5)

5

dan non-fisik; mengakomodir prinsip-prinsip non-diskriminasi, kesetaraan dan kesempatan; dan melibatkan peran serta semua komponen masyarakat dengan memperhatikan pranata lokal, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian akan terwujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas sehingga dapat berperan serta secara penuh dalam kehidupan berbangsa dan pembangunan nasional.

Masyarakat Provinsi Sumatera Barat menaruh harapan besar terhadap kehadiran Peraturan Daerah tentang Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.

Praktik selama ini masih ditemui adanya diskriminasi perlakuan terhadap penyandang disabilitas dalam berbagai aspek lapangan kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan dan dunia usaha serta interaksi sosial. Pada sisi lain, kondisi kehidupan sosial dari penyandang disabilitas berada dalam taraf pra sejahtera. Jika kondisi ini tidak menjadi perhatian bagi semua elemen masyarakat, maka akan semakin memperparah keadaan untuk mewujudkan penyandang disabilitas mampu berkompetisi dalam kehidupan masyarakat dan praktek pembangunan.

Oleh karena itu, keberpihakan hukum melalui peraturan daerah harus menjadi solusi bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang menetapkan bahwa suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.12

Selain itu, masih adanya keengganan dunia usaha untuk memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Demikian halnya terkait dengan penerimaan pegawai bagi instansi pemerintah, BUMN/D serta perusahaan-perusahaan swasta yang besar masih belum memperlihatkan kesungguhan untuk memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas.

Beberapa sarana dan prasarana umum yang ada di Provinsi Sumatera Barat masih sangat minim memberikan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Belum ada prasarana trotoar khusus bagi penyandang disabilitas, belum ada instrument pengaturan lalu lintas bagi penyandang disabilitas. Masih minimnya usaha-usaha rehabilitasi dan pembinaan bagi terhadap penyandang disabilitas serta dukungan biaya terhadap organisasi penyandang disabilitas. Tidak adanya lembaga yang melakukan koordinasi terhadap upaya-upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Selanjutnya, mengingat kondisi wilayah Sumatera Barat yang sering dilanda bencana alam, maka pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah mempunyai

12

(6)

6

kewajiban untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam hal terjadinya bencana. Dengan demikian keberadaan peraturan daerah sangat penting untuk dipertimbangkan untuk segera direalisasikan.

4. Penutup

Diratifikasinya CRPD oleh pemerintah Indonesia tidak hanya memberikan harapan yang besar bagi para penyandang disabilitas untuk memperoleh hak-haknya tanpa diskriminasi, akan tetapi juga memberikan tanggung jawab yang besar bagi Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menikmati hak-haknya secara penuh dalam kesetaraan. Dengan demikian diharapkan terwujud kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas sehingga dapat berperan serta secara penuh dalam kehidupan berbangsa dan pembangunan nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tugas akhir ini menggunakan metode ANFIS yaitu jaringan saraf tiruan yang di integrasikan dengan sistem fuzzy.. .yang akan membahas mengenai identifikasi parmeter

Pengaruh akulturasi Arsitektur Kolonial dan Jawa pada pola permukiman dan hunian rumah tinggal merupakan lokalitas budaya arsitektur yang menjadi kearifan lokal

diuji menurunkan jumlah telur yang diletakkan pada bibit tanaman brokoli yang diberi perlakuan 2-22 kali dibandingkan dengan kontrol.. Persentase hambatan

interpersonal yang disukai serta memiliki standard moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat membantu meningkatkan kinerja berkaitan

Dengan didasari hal tersebut terbentuklah tujuan untuk membuat aplikasi kamus portable bahasa Indonesia – Inggris – Jawa, yang dapat digunakan di perangkat mobile.. Agar user

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah mewajibkan

Penegakan hukum terhadap korupsi – dalam hal putusan (vonis) hakim – tidak dapat dilepaskan dengan adanya faktor-faktor yang menentukan dalam proses penangannya di pengadilan,

Penelitian ini telah menguji adanya enam variabel independen yaitu produk, harga, lokasi, promosi, presentasi dan personil yang dapat mempengaruhi variabel dependen