• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Kanal atau Parit Gajah sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desain Kanal atau Parit Gajah sebagai "

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh WWF Indonesia Riau dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo Program;

Wishnu Sukmantoro, Syamsuardi, Anggoro Sudibyo & Hayani Suprahman

bagian dari teknik mitigasi konflik

Gajah

Manusia di Tesso Nilo,

Propinsi Riau

X

(2)

Abstrak

Kanal atau parit gajah merupakan salah satu teknik mitigasi konflik gajah – manusia yang telah

diperkenalkan sejak tahun 1980an di Indonesia. Desain dan palikasi teknik ini mulai diperkenalkan di TN Tesso Nilo dalam pembuatan desain teknis parit gajah. Dari hasil studi dan analisa data menggunakan teknik overlay peta, posisi parit gajah berada di wilayah Utara-Barat dan Selatan-Timur di luar taman nasional (tidak mengelilingi keseluruhan taman nasional). Ukuran dari parit gajah adalah lebar 5 meter dengan kedalaman 3 meter. Dari hasil analisa biaya pengerjaan diketahui untuk panjang parit gajah 10 km dan pemeliharaan satu tahun membutuhkan biaya sebesar sekitar Rp. (IDR) 800,000,000. Sifat dari parit gajah adalah pasif-statis.

Kata kunci: gajah, manusia, konflik, mitigasi, Riau 1. Pendahuluan

Sebagai bagian dari teknik mitigasi konflik, kanal atau parit gajah merupakan cara yang dapat mengatasi atau mengurangi masuknya gajah ke pemukiman penduduk atau masyarakat. Kanal atau parit gajah adalah sebuah bentuk teknik sarana berbentuk parit dengan kedalaman 3 meter dan lebarnya 5 meter, yang dibangun memanjang untuk membatasi areal penyebaran atau jelajah gajah dengan pemukiman atau lahan garapan masyarakat. Parit tersebut adalah parit kering atau tidak difungsikan untuk irigasi, tetapi untuk menghindari gajah masuk ke dalam lahan garapan atau pemukiman masyarakat. Parit juga berfungsi meminimalisir adanya korban manusia atau gajah saat dilakukan mitigasi konflik gajah-manusia di lokasi tersebut.

Parit gajah merupakan salah satu teknik mitigasi konflik. Tehnik mitigasi konflik lainnya adalah penggunaan electric fencing dan flying squad. Parit gajah merupakan teknik yang sudah cukup lama dilakukan orang. Di Afrika, India, Srilanka, Malaysia dan Indonesia sendiri, parit gajah telah digunakan di banyak kawasan jelajah gajah termasuk pula hasil swadaya masyarakat untuk mengamankan lahan atau kebun mereka. Di beberapa tempat,

parit gajah dimodifikasi atau ditambah penggunaan electric fencing atau menggunakan

menara pengawas seperti yang dilakukan di lampung (Pulau Sumatera). Di Riau, penggunaan parit gajah elah dilakukan di banyak temat terutama oleh masyarakat yang sedang membuka lahan atau oleh konsesi perusahaan. Beberapa kebn sawit masyarakat dan konsesi perusahaan menggunakan parit gajah untuk mengurangi kerusakan sawit yang dilakukan oleh gajah dan meminimalisir serangan gajah ke manusia.

(3)

2. Tujuan

Pembuatan desain parit gajah merupakan langkah awal implementasi parit gajah secara terpadu di sekitar wilayah taman nasional tersebut.Tujuan dari pembuatan desain parit gajah adalah sebagai berikut;

1. Sebagai langkah pengurangan konflik gajah dengan manusia di sekitar taman nasional tersebut terutama bagi masyarakat sekitar kawasan. Pengurangan konflik berdampak kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalisir dan korban kedua bela pihak juga dapat berkurang secara signifikan.

2. Sebagai bagian teknik mitigasi konflik yang berfungsi untuk pula memudahkan dalam melakukan patroli mitigasi seperti flying squad dan patroli kawasan taman nasional. Patroli mengikuti parit gajah terutama di wilayah perbatasan akan lebih mudah dibandingkan menggunakan rute konvenional.

3. Sebagai perwujudan usulan stakeholder termasuk masyarakat lokal untuk mengimplementasikan parit gajah di sekitar taman nasional.

3. Metode

Metode yang dilakukan dalam pembuatan desain dengan mengumpulkan beberapa referensi terutama peta-peta yang berguna untuk analisa lokasi penempatan parit gajah. Peta-peta yang dikumpulkan adalah peta distribusi gajah di Tesso Nilo terutama hasil penggunaan GPS collar di dua tempat yaitu di wilayah Taman Nasional yang definitif dan wilayah perluasan taman nasional, peta distribusi gajah hasil catatan dari kotoran atau jejak yang datanya dikumpulkan sampai tahun 2005, peta penutupan lahan, peta konsesi perusahaan dan pemukiman, peta konflik atau kejadian konflik gajah dengan manusia, peta lokasi dan wilayah jelajah flying squad dan peta taman nasional.

Kemudian peta-peta tersebut ditampal (overlay) kemudian dipilih lokasi-lokasi untuk

peletakan parit gajah. Peletakan posisi parit gajah berdasarkan kriteria;

1. Tidak mengganggu atau memotong dari jalur jelajah gajah sehingga menimbulkan

dampak negatif bagi clan gajah apabila parit dibangun.

2. Lokasi parit berada di lahan yang keras dan kering. Parit gajah tidak efektif

dilakukan apabila lahannya merupakan laham basah atau mudah tererosi.

3. Di wilayah-wilayah yang tidak berkonflik atau sengketa lahan dengan masyarakat

misalnya memotong pasar atau memotong pemukiman penduduk. Lokasi parit juga dipilih unuk memudahkan koordinasi dengan stakeholder terutama perusahaan.

4. Di lokasi-lokasi di luar jelajah atau wilayah patroli flying squad, mengingat tehnik

flying squad cukup efektif, sehingga flying squad tanpa dibangun kanal sudah cukup efektif meminimalisir konflik kecuali konflik gajah dengan manusia yang tinggi seperti di wilayah PT. Rimba Pranap Indah atau koridor baserah (Selatan Tesso Nilo).

5. Di wilayah-wilayah yang disetujui oleh perusahaan, taman nasional dan

(4)

4. Deskripsi Blok Hutan Tesso Nilo

4.1. Luas dan Letak

Luas kawasan HPT kelompok hutan Tesso Nilo yang diusulkan menjadi perluasan TN Tesso Nilo adalah yang kawasan hutan yang dibebani IUPHHK-HA PT Nanjak Makmur seluas ± 44.978 hektar. Sedangkan luas kawasan yang diarahkan untuk dikaji dalam rangka memberikan masukan terhadap penerapan tata ruang hutan alam yang terintegrasi dengan kepentingan TN Tesso Nilo adalah kawasan yang dibebani IUPHHK-HA PT Hutani Sola Lestari seluas ± 4.174 hektar dan PT Siak Raya Timber seluas ± 18.812 hektar.

Secara administrasi pemerintahan, kawasan HPT kelompok hutan Tesso Nilo terletak di Kecamatan Langgam, Pangkalan Kuras dan Ukui Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Sedangkan secara geografis, kawasan HPT kelompok hutan Tesso Nilo terletak antara

101º33’00” - 101º51’36” BT dan 00º01’48” - 00º17’24” LS.

4.2. Fungsi Hutan

Fungsi kawasan hutan Tesso Nilo yang diusulkan untuk perluasan Taman Nasional dan pertimbangan penerapan tata ruang hutan alam yang terintegrasi dengan kepentingan TN Tesso Nilo, berdasarkan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah Hutan Produksi Terbatas yang ditunjuk berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan nomor 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986.

4.3. Iklim

Data curah hujan yang dapat mewakili lokasi TN. Tesso Nilo dan areal rencana perluaasan pada lokasi PT. Nanjak Makmur diperoleh dari stasiun curah hujan Lipat Kain kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar dan stasiun Muara Lembu Kecamatan Sengingi Kabupaten Kuantan Sengingi.

Curah hujan di 2(dua) stasiun tersebut, rata-rata 2.788 mm/tahun dan 2369 mm/tahun, Intensitas curah hujan 17 mm/hari dan 20 mm/hari, bulan basah sepanjang tahun, type iklim menurut Schimd dan Ferguson termasuk type A (sangat basah).

4.4. Geologi dan Tanah

Kawasan-kawasan pada Bagian Barat dan Timur Pekanbaru, oleh Verstappen (1973) masing-masing digolongkan sebagai dataran rendah dan rawa dataran rendah Bagian Timur. Kondisi litologinya dicirikan oleh bahan organik semi-lapuk yang berasal dari gambut tropis zaman Kuarter dan bantuan pasir Kaolinit, batuan liat serta tufa asam yang sudah mengalami proses pelapisan sedimen dari zaman Kuarter (Lamonier, 1997). Pada awal Kuarter, kawasan tersebut tersusun atas sedimen-sedimen dari zaman awal, pertengahan dan akhir Miosen (de Coster, 1974).

(5)

kondisi permukaan tanah dan perbedaan karakterisitik tanah meliputi tekstur, struktur dan kedalaman solum tanah.

4.5. Hidrologi DAS

Kondisi hidrologi dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sosial ekonomi, kelembagaan dan lahan. Tingkat pendapatan penduduk sekitarnya yang masih rendah akan mengakibatkan ketergantungan penduduk terhadap lahan meningkat, sehingga pembukaan hutan untuk usaha pertanian atau perkebunan akan meningkat pula, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan. Pembukaan hutan untuk usaha pertanian/perkebunan yang tidak mengikuti kaidah konservasi akan mempengaruhi

terhadap kondisi hidrologi suatu DAS. Aliran permukaan akan meningkat, erosi terjadi dimana-mana sehingga sedimentasi di sungai semakin besar, akibatnya terjadi

pendangkalan sungai. Kondisi seperti ini akan berakibat mengurangi daya tampung sungai. Berkurangnya daya tampung sungai tentunya akan menambah kerentanan terhadap bencana banjir terutama di bagian hilir dan sekitar sungai.

TN. Tesso Nilo dan areal rencana perluasanya berada dalam DAS Kampar (Sub DAS Nilo,Sub DAS Kampar Kiri) dan sebagian kecil DAS Indragiri. Berdasarkan posisinya areal tersebut berada di hulu, sehingga akan sangat mempengaruhi terhadap kondisi baik buruknya terhadap tata air DAS Kampar, khususnya sungai Nilo.Berdasarkan hasil identifikasi daerah rawan banjir, Sub DAS Nilo termasuk dalam kategori sangat rawan terutama di daerah sepanjang sungai Nilo, yang mana Koefisien Regim Sungai (KRS) Nilo sangat buruk mencapai nilai 50.

4.6. Penutupan Lahan

Kawasan hutan yang dikaji untuk calon areal perluasan taman nasional Tesso Nilo semula merupakan areal kerja IUPHHK-HA PT Nanjak makmur. Areal ini walaupun dulunya merupakan areal kerja IUPHHK-HA tetapi pada kenyataannya tidak seluruhnya berupa hutan. Berbagai penggunaan lahan (landuse) telah terjadi di dalam maupun di sekitar kawasan tersebut. Di beberapa tempat bahkan sudah merupakan permukiman dengan beberapa fasilitas umum seperti pasar, jalan, sekolahan, dsb. Seperti halnya kawasan di sekitarnya, areal ini terdapat perkebunan rakyat berupa sawit dan karet. Kondisi hutannya yang belum dirambah masih relatif bagus dan merupakan hutan dataran rendah.

4.7. Pemanfaatan Kawasan Hutan

(6)

Berdasarkan perhitungan data 2001 Provinsi Riau memiliki kawasan hutan produksi seluas 8.607.777 hektar yang terdiri dari :

a. Hutan Produksi Tetap (HP) : 1.866.132 ha

b. Hutan Produksi Terbatas (HPT) : 1.971.553 ha

c. Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) : 4.770.085 ha

Dari luasan hutan produksi tersebut di atas, yang sudah dibebani izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HTI) seluas 2.109.760 ha. Sektor kehutanan di Kabupaten Pelalawan adalah merupakan tulang punggung pembangunan kabupaten. Sektor kehutanan disini diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan tetap memelihara kelestarian sumber daya alam, fungsi hutan, lingkungan hidup, tata air dan lain-lain.

Sub sektor kehutanan, masih mengandalkan hasil hutan produksi yang dikelola oleh HPH, IPK, IUPHHK dan izin sah lainnya. Secara lengkap, sub-sektor kehutanan dapat dilihat pada tabel 4.6, dimana hutan produksi merupakan sub-sektor paling besar luasannya dibandingkan peruntukkan lainnya yakni 409.352 ha atau 84,89 persen. Selanjutnya, 2,99 persen merupakan hutan perkebunan/tanaman tahunan, 2,13 persen merupakan hutan bakau, suaka margasatwa 8,17 persen dan 1,82 persen untuk penelitian dan pengembangan gambut.

4.8. Tata Ruang Wilayah

Kawasan hutan di Kabupaten Pelalawan sesuai dengan RTRWP Propinsi Riau berdasarkan Perda No. 10 Tahun 1994 seperti Tabel 1. dibawah ini:

Table 1. Luas kawasan hutan di Kabupaten Pelalawan (Perda no. 10 tahun 1994)

No Peruntukan Luas (Ha) Persen (%) Keterangan 1.

2.

Arahan pengembangan Kehutanan Kawasan Lindung

552.999,79 240.104,06

69,73 30,27

Jumlah 793.103,85 100,00

Berdasarkan pembagian wilayah administrasi, pada calon areal perluasan HPT Tesso Nilo areal HPH PT. Nanjak Makmur seluas ± 44.978 ha dan areal sekitar TN Tesso Nilo, terdapat 22 desa yang tersebar di 4 (empat) kabupaten di Provinsi Riau, yaitu:

(7)

4.9. Ancaman Blok Hutan Tesso Nilo

Ancaman terbesar saat ini dari Tesso Nilo adalah perambahan lahan oleh masyarakat terutama pendatang, perburuan satwa liar terutama gajah dan konflik antara gajah atau harimau dengan manusia. Ancaman terbesar lainnya adalah konversi lahan dari perusahaan-perusahaan pengguna sumber daya alam yang overlap dan masuk di wilayah tapal batas kawasan taman nasional terutama konsesi untuk akasia dan sawit. Dilihat dari data citra

satelit tahun 1990 – 2007, terlihat perubahan land use dan land tenure dari ekosistem di

wlayah Tesso Nilo dimana perambahan terbesar dari pengambilan akasia dan jensi-jenis lainnya untuk industri kertas dan kelapa sawit illegal di bagian Tesso Selatan dan land clearing lahan di perluasanTesso Nilo.

Perkembangan populasi penduduk di Tesso Nilo dan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak ramah lingkungan juga dapat menjadi ancaman serius ke depan. Saat ini perkembangan populasi penduduk di sekitar kawasan Tesso Nilo adalah 213.393 jiwa (jumlah penduduk di 22 desa) dan upaya masyarakat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pertanian atau perkebunan. Apabila kegiatan pertanian atau perkebunan di arahkan ke ekstensifikasi dengan peningkatkan hasil sebesar-besarnya tanpa melihat dari sisi

lingkungan, akan memberikan dampak buruk bagi pekembangan Tesso Nilo. Kegiatan HTI besar-besaran yang meng-ekspansi Tesso Nilo dan eksploitasi air tanah untuk industri seperti di Jawa, memberikan dampak buruk juga bagi lingkungan apabila itu terjadi.

Ancaman lagi adalah konflik satwa liar dengan manusia yaitu gajah. Untuk itu banyak stkeholder termasuk masyarakat merekomendasikan dibangunnya parit gajah di blok hutan Tesso Nilo.

5. Hasil studi dan diskusi

5.1. Kriteria Desain kanal atau parit gajah

Ada beberapa kriteria dalam membangun desain kanal atau parit gajah, yaitu;

1. Desain parit gajah mempertimbangkan aspek konsentrasi sebaran atau distribusi

gajah termasuk catatan jejak, kotoran dan penggunaan GPS collar pada gajah.

2. Desain parit gajah mempertimbangkan aspek sebaran konflik gajah dengan manusia

yang ada di wilayah Tesso Nilo dan sekitarnya.

3. Desain parit gajah mempertimbangkan aspek penutupan lahan dan tekstur tanah

misalnya parit gajah lebih baik dibangun di lahan kering dengan tanah yang stabil dibandingkan tanah berpasir, labih atau tanah basah atau rawa.

4. Desain parit gajah mempertimbangkan tata guna lahan yang berlaku di dalam

peraturan pemerintah pusat atau rencana tata ruang wilayah.

5. Desain parit gajah mempertimbangkan aspek kemudahan dalam koordinasi dan

operasional, misalnya posisi parit gajah melintasi 3 kawasan konsesi (3 stakeholder) akan lebih mudah melakukan koordinasi dan membangun kesepakatan

dibandingkan lebih banyak stakeholder apalagi melibatkan lahan sengketa.

6. Desain parit gajah juga mempertimbangkan dari aspek partisipatif, penerimaan

(adanya kebutuhan) dan kesepakatan dari stakeholder termasuk masyarakat.

7. Desain parit gajah mempertimbangkan pula posisi upaya mitigasi konflik lainnya

(8)

Kriteria-kriteria ini adalah dasar dalam pembangunan desain parit gajah di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya dan untuk mengurangi konflik dan kerugian material dari masyarakat akibat konflik dengan gajah di wilayah tersebut.

Di Indonesia, parit gajah merupakan salah satu cara dalam mengurangi adanya konflik satwa liar terutama gajah di wilayah-wilayah yang terdistribusi populasi tersebut di alam. Tujuan dari mengurangi konflik juga difokuskan untuk menekan kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut terutama korban jiwa dari kedua belah pihak. Parit gajah juga

merupakan teknik yang aman bagi berbagai pihak yang berkonflik misalnya gajah aman dan tidak mengalami kemerosotan populasi dengan dibangunnya parit gajah dan

masyarakat terhalangi kontak dengan gajah liar yang tentunya akan membahayakan bagi masyarakat. Di samping itu, parit gajah memudahkan patroli sebuah kawasan yaitu dengan mengikuti jalur parit dalam patroli dapat mengefisienkan dalam melakukan mitigasi konflik gajah liar dan masyarakat di sekitar kawasan itu.

Di Tesso Nilo, sebagian masyarakat menganggap dengan dibangunnya parit gajah, memudahkan masyarakat untuk memperkirakan batas kawasan taman nasional. Hal ini dapat dibenarkan, tetapi yang lebih tepat adalah dengan parit gajah, masyarakat dapat memperkirakan lokasi hidup gajah atau wilayah habitat gajah dan hutan sehingga mereka dapat membangun sebuah strategi dalam penyelamatan dan perlindungan gajah sumatera di alam. Alangkah idealnya bahwa masyarakat pun turut aktif dalam memberikan

perlindungan gajah di alam dan memberikan contoh yang baik dan positif bagi masyarakat lainnya dalam upaya penyelamatan satwa ini.

5.2. Sebaran Gajah Sumatera di Tesso Nilo

Saat ini setelah perluasan kawasan Tesso Nilo ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan no. 663/Menhut/2009, upaya mengembangkan desain parit gajah dapat lebih terintegrasi

dengan melibatkan kawasan yang lebih luas. Total luas Taman nasional Tesso Nilo definitif saat ini adalah lebih dari 82,000 ha dimana total perluasan adalah 44,000 ha mengambil wilayah bekas HPH (HPT) Nanjak Makmur. Wilayah lainnya yang diusulkan misalnya bekas HPH Hutani Sola Lestari dan HPH Siak Raya, masuk dalam kriteria Buffer Zone yang pengelolaannya diarahkan kepada pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Dari hasil studi gajah yang dilakukan sampai saat ini, sekurangnya 2 clan gajah hidup di

sama dengan rata-rata satu clan gajah berjumlah 50 – 100 individu. Jumlah individu dalam

(9)

Studi yang dilakukan WWF Indonesia tahun 2002 – 2004 menunjukkan sebaran jejak dan kotoran gajah dari masing-masing estimasi daerah jelajah masing-masing clan gajah dalam gambar 1. dibawah ini.

Peta Sebaran Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo

0°20' 0°20'

Dari hasil studi kotoran dan sebaran jejak gajah terlihat bahwa konsentrasi kotoran dan jejak gajah berada di wilayah Selatan-Timur (Tenggara) Tesso Nilo dan di wilayah HPH Siak Raya (Utara-Barat atau Barat Laut) Tesso Nilo. Di lihat dari sebarannya dengan

menggunakan GPS collar tahun 2007 dan tahun 2009 terlihat bahwa sebaran satu clan gajah di Dalam eks konsesi Dwi Marta (Inhutani IV) dimana tahun 2004 dialihfungsikan lahan menjadi taman nasional Tesso Nilo (sekitar 38,000 ha), PT Rimba Lazuardi dan Rimba Pranap dan eks HPH Nanjak Makmur yang saat ini telah dialihfungsikan lahan menjadi taman nasional perluasan Tesso Nilo. Satu pemasangan GPS colar tahun 2009 juga menyatakan wilayah sebaran satu clan gajah lagi di wilayah eks Siak Raya (Utara TNTN perluasan) sampai ke wilayah Rantau Kasih, Mantulik, Gunung Sailan dan konsesi RAPP di

sebelah Utara – Barat.

(10)

hasil informasi lapangan bahwa pergerakan clan gajah ini mencapai pula di wilayah Selatan Siak Raya dan eks HPH Hutani Sola Lestari.

(11)

Pergerakan gajah di clan sebelah Utara-Barat Tesso Nilo di Rantau Kasih, Matulik dan wilayah sekitarnya juga masih estimasi mengingat posisi GPS collar yang beroperasi tidak sampai di wilayah tersebut dan informasi masyarakat tentang pertemuan gajah di wilayah

tersebut tidak dalam jumlah yang besar (di atas 30 individu) atau hanya berkisar 10 – 30

individu atau gajah tunggal (bull).

Dari hasil studi dan pengumpulan data mengenai sebaran gajah berdasarkan studi kotoran atau jejak dan penggunaan GPS collar, dianalisa pula dengan menggunakan metode kernel. Metode kernel dipakai untuk melihat dari tingkat kepadatan konsentrasi distribusi gajah di suatu lokasi dan dihasilkan dalam Gambar 3. dibawah ini.

Gambar 3. Peta analisa tingkat kepadatan distribusi gajah di wilayah Tesso Nilo dengan menggunakan metode Kernel

Dari hasil penempatan dengan analisa Kernel dihasilkan konsentrasi yang padat dari sebaran clan gajah di bagian Selatan-Timur Tesso Nilo dan konsentrasi yang terpecah di

bagian Utara – Barat Tesso Nilo. Warna merah menandakan konsentrasi sebaran gajah

tertinggi, sedangkan warna kuning, konsentrasi yang kurang tinggi dan warna hijau muda

adalah range atau cakupan sebaran gajah dengan radius lebih kurang 1 km.

5.3. Sebaran Konflik Gajah dengan manusia

Dari informasi sejak tahun 2001, sebaran konflik gajah – manusia di wilayah Tesso Nilo

(12)

lain di wilayah sekitar TNTN (termasuk perluasan). Konsentrasi konflik adalah di Lubuk Kembang Bunga, Koridor Baserah terutama di Rimba Peranap Indah dan di wilayah Rantau Kasih dan Segati. Beberapa tempat menimbulkan korban di kedua belah pihak. Di Gondai tahun 2007, satu orang meninggal akibat diserang gajah liar di desa tersebut, kemudian kerusakan lahan garapan atau pertanian masyarakat akibat konflik menjadi tinggi.

Contohnya di desa Lubuk Kembang Bunga, tim flying squad (mitigasi konflik gajah –

manusia) tahun tahun 2005-2006, jumlah kerusakan lahan oleh gajah rata-rata dari masing-masing tahun adalah 32 kasus kerusakan untuk kebun sawit, 10 kasus kerusakan dialami oleh kebun karet dan satu kali masing-masing oleh kebun pisang dan padi ladang. Tahun 2007, total kerusakan dialami oleh kebun sawit adalah 8 kasus, kebun karet adalah 4 kasus, 3 kasus kerusakan dialami pada padi ladang atau ubi kayu dan 2 kali dialami oleh kebun pisang. Pada tahun 2008, kebun sawit tetap tertinggi dengan 5 kasus kerusakan, 2 kejadian di kebun karet dan masing-masing satu kasus di kebun pisang dan areal ubi kayu. Dari data tersebut sejak tahun 2005, kebun sawit merupakan areal terbanyak yang dirusak oleh gajah liar di desa tersebut (Sukmantoro et. al. 2009).

Bulan Mei – Juni 2009 terjadi sebuah kejadian berturut-turut yaitu kematian 5 ekor gajah di

Rimba Pranap Indah Dari hasil diketahui bahwa sejak tanggal 28 Mei 2009 – 4 Juni 2009, 4

ekor gajah mati terbunuh. Dua ekor gajah mati teridentifikasi induk betina usia diperkirakan 20-25 tahun dan anak usia diperkirakan 4-5 tahun. Kemudian pada tanggal 1 Juni 2009,

ditemukan lagi gajah mati di dekat lokasi sekitar antara 0,5 – 1km dari lokasi sebelumnya

dimana dua ekor gajah mati (gambar 4). Jenis kelamin gajah ini adalah jantan usia sekitar 15 tahun. Kemudian, pada tanggal 4 Juni 2009, ditemukan lagi gajah jantan mati dan dibakar yang lokasinya berdekatan dengan gajah jantan yang mati sebelumnya (Gambar 3.). Lokasi tempat terbunuhnya 4 ekor gajah adalah di PT. RPI (Rimba Peranap Indah) merupakan perusahaan Hutan Tanaman Industri akasia dan masuk ke dalam kelompok RAPP ataupun jaringan RAPP. Lokasi kematian gajah merupakan tempat wilayah perambahan manusia untuk perkebunan atau lahan kebun di dalam wilayah perusahaan tersebut. Kemudian di bulan Juni 2009, dua minggu setelah kejadian terakhir, ditemukan gajah muda yang sekarat di kebun akasia Rimba Lazuardi. WWF dan pihak PT tersebut berupaya menyelamatkan kondisi gajah tetapi tidak tertolong atau meninggal keesok harinya. Kemungkinan gajah muda tersebut adalah anak dari induk betina yang mati sebelumnya dan terlantar.

Dari hasil pengamatan di lapangan, lokasi kematian gajah masuk di wilayah satu kantong gajah bagian Selatan-Timur Tesso Nilo. Hal ini dapat dilihat dari hasil data sebaran gajah tahun 2005 dan hasil GPS Collar yang digunakan WWF Indonesia tahun 2007 (Gambar 2a.). Total catatan terbaru oleh Ajay A. Desai dan Samsuardi (WWF Indonesia) dalam survey terbaru di tanggal 10 Mei 2009 (sebelum terjadi kematian gajah), mencatat secara langsung kelompok gajah ini berjumlah lebih kurang 58 ekor gajah dalam satu waktu pengamatan di sore hari.

(13)

Andalan Pulp and Paper) di bagian Selatan, masuk pula di wilayah eks. HPH (Hak Pengusahaan Hutan) Nanjak Makmur, dan wilayah Selatan Tesso Nilo dimana konsesi HTI PT. Rimba Lazuardi, HTI PT. Sinar Deli Pratama, CV. Riau Jambi Sejahtera dan sebagian PT. Rimba Peranap Indah terdapat.

Kematian gajah-gajah tersebut kemungkinan disebabkan konflik atau adanya kerusakan kebun sawit di dalam konsesi akasia di lokasi-lokasi konsesi tersebut. Beberapa alasan adanya konflik atau kerusakan yaitu pemberian olesan racun binatang (organoflor) di pangkal ranting sawit di wilayah Rimba Lazuardi (500 m dari lokasi kematian) secara sistematik dan adanya meriam-meriam karbit tradisional dari masyarakat yang merambah konsesi akasia tersebut. Kasus ini masih ditangan kepolisian dan BBKSDA.

Gambar 4. Lokasi kematian 5 ekor gajah di PT.Rimba Pranap Indah pada bulan Mei – Juni 2009

5.4. Kondisi Penutupan Lahan, Topografi dan wilayah Konsesi

Studi kanal atau parit gajah juga mempertimbangkan faktor kesesuaian lahan, penutupan lahan dan tipe tanah. Dalam penutupan lahan di wilayah Tesso Nilo dan sekitarnya dibagi ke dalam 9 tipe penutupan lahan yaitu;

1. Tutupan hutan sekunder tua

2. Tutupan hutan sekunder muda yang terbuka

(14)

4. Tutupan lahan perkebunan sawit

5. Tutupan lahan dari perkebunan akasia

6. Tutupan lahan garapan dan pemukiman masyarakat

7. Tutupan lahan rawa atau lahan basah

8. Semak belukar atau lahan tak digarap

9. Lahan hutan terbuka bekas kebakaran atau penebangan

Dari hasil ini terlihat bahwa posisi parit-parit tersebut adalah di lokasi dimana tipe penutupan lahan tersebut terdapat kecuali untuk rawa atau lahan basah. Di lokasi-lokasi yang berkatagori lahan basah atau rawa, parit gajah sulit dibangun atau diaplikasikan mengingat pembangunan parit gajah di lokasi tersebut sulit dilakukan dan kemungkinan longsor atau tertutup air juga mrupakan alasan parit tidak dibangun di lokasi tersebut. Pembangunan parit gajah di lokasi pemukiman juga menarik tetapi perlu dilihat posisi parit terutama tidak memotong lahan perumahan masyarakat atau berada di pinggir pemukiman sehingga dapat menjaga atau mengurangi kedatangan gajah masuk kampung atau dusun masyarakat.

Lokasi parit gajah memperhitungkan penutupan vegetasi misalnya parit akan baik yaitu tidsk dibangun di tengah-tengah hutan karena justru hutan dan lokasi semak berhutan adalah habitat ideal gajah, tetapi parit gajah dapat dibangun di pinggir hutan atau perbatasan antara hutan dengan lahan garapan masyarakat tetapi juga harus mempertimbangkan

wilayah jelajah gajah. Parit dapat dibangun di wilayah perkebunan sawit dan akasia. Tetapi dengan posisi parit yang berbeda yaitu untuk lahan sawit adalah perbatasan antara hutan atau semak-hutan dengan perkebunan sawit dimana posisi gajah tidak dapat menyeberang ke arah perkebunan sawit, mengingat pohon sawit sangat disukai gajah dan umumnya gajah merusak lahan kebun tersebut dan mengambil daun dan pelepah sawit untuk dikonsumsi. Untuk akasia, posisi parit dapat dibangun antara akasia dengan perkebunan sawit atau pemukiman masyarakat atau lahan garapan lainnya dimana posisi akasia dapat dilalui gajah liar (tetapi gajah tidak menyukai akasia kecuali sedikit kulit kayu untuk pakan) tetapi dapat membentengi wilayah pemukiman atau kebun sawit.

Lokasi – lokasi yang sebenarnya baik untuk dibangun parit gajah adalah lokasi dengan

kondisi tanah bertekstur stabil atau lahan kering yang stabil misalnya tanah tipe lempung, podzolit merah-kuning, tanah andosol dengan kondisi pasir yang sedikit atau bebatuan padas. Tanah berpasir atau tipe lain seperti aluvial atau tanah gambut, memiliki tingkat kepadatan rendah dan mudah tererosi. Tipe tanah ini sulit dibangun kanal kecuali dengan beberapa pengkondisian misalnya disemen atau diperkeras dan ditutupi batu. Hal ini akan membutuhkan biaya yang relatif besar pula.

(15)

datar sampai landai (tidak curam) sehingga parit gajah memotong kontur dapat dilakukan dengan beberapa strategi. Topografi lahan dimana didalamnya akan dibangun parit gajah dapat dilihat dari Gambar 4. dibawah ini.

Penggunaan tanaman-tanaman atau tumbuh-tumbuhan untuk menghindari erosi dapat dilakukan terutama jenis tumbuh-tumbuhan yang jenis perakarannya baik dan memperkuat posisi lahan, akar cenderung vertikal ke dalam tanah dan tahan terhadap cuaca ekstrim.

Beberapa contoh rumput (Gramineae) yang ditanam oleh RAPP dalam menunjang

pengurangan erosi lahan diterasering perbukitan dianggap mengurangi erosi. Beberapa

contoh tanaman lainnya misalnya jenis-jenis bambu (Bambusa sp.), atau jenis-jenis

tanaman reboisasi yang ditanam 1 – 2 meter dari posisi parit dapat mengurangi tingkat erosi

permukaan.

Selain di wilayah taman nasional dan wilayah lahan masyarakat, pembangunan parit gajah di Tesso Nilo memperhatikan wilayah konsesi pula karena untuk dapat berkoordinasi dengan perusahaan pemegang konsesi. Hal ini penting karena selain perusahaan dapat

mengembangkan “brand image” ramah lingkungan juga dapat mengurangi tingkat konflik

satwa di dalam kawasan konsesi. Penggunaan wilayah konsesi akan lebih memudahkan dalam koordinasi dibandingkan di wilayah urban apalagi wilayah lahan sengketa. Beberapa wilayah konsesi di berbatasan dan sekitar Taman Nasional Tesso Nilo adalah sebagai berikut;

Tabel 2. Konsesi-konsesi perusahaan yang berada di sekitar TN Tesso Nilo

No. Nama Perusahaan Tipe Konsesi

1 PT. RAPP HTI Akasia

2 PT. Siak Raya Timber HPH

3 PT. Nusa Wana Raya HTI Akasia

4 PT. Arara Abadi HTI Akasia

5 PT. Musim Mas Perkebunan sawit

6 PT. Inti Indo Sawit Perkebunan sawit

7 Perkebunan PTPN V Air Molek Perkebunan sawit

8 PT. Rimba Pranap Indah HTI Akasia

9 PT. Rimba Lazuardi HTI Akasia

10 PT. Wana Nugraha Bina Lestari HTI Akasia

11 PT. Rimba Seraya Utama HTI Akasia

12 PT. Riau Bina Insani HTI Akasia

13 CV. Riau Bina Insani HTI Akasia

14 PT. Nusa Prima Manunggal HTI Akasia

15 Koperasi Bina Jaya Langgam HTI Akasia

16 PT. Peputra Suprajaya HTI Akasia

17 PT. Mitra Unggul Pusaka Perkebunan sawit

(16)

konflik gajah disebabkan oleh masyarakat membuka areal lahan menjadi lahan sawit tetapi setelah dicek dan diposisikan wilayahnya, mereka menggunakan wilayah konsesi

perusahaan secara ilegal. Kasus kematian 5 ekor gajah di PT. Rimba Pranap Indah dimana posisi gajah yang mati tersebut di lahan sawit yang dibuka dan ternyata kawasan tersebut merupakan kawasan HTI akasia yang diambil alih secara ilegal oleh sebuah koperasi Siampu yang menggunakan masyarakat untuk ambil alih lahan.

5.5. Beberapa pertimbangan posisi parit gajah yang telah ada, interbreeding spesies, parit gajah usulan masyarakat dan keberadaan Flying Squad

Desain parit gajah keseluruhan tipe juga telah memperhitungkan posisi tehnik mitigasi konflik gajah-manusia lainnya, dan posisi-posisi yang kurang terjadi konflik gajah atau lokasi yang tidak ada pemukiman dan lokasi ideal yang memungkinkan gajah tersebut

melakukan interbreeding atau perkawinan antar clan di Tesso Nilo dan di luar kawasan.

Lokasi-lokasi “celah” gajah melakukan interbreeding dengan clan atau kelompok lainnya di

luar taman nasional, berada di wilayah Barat Taman nasional menggunakan wilayah Gunung Saelan dan koridor Baserah di bagian Barat. Wilayah-wilayah tersebut tidak

merupakan kawasan pemukiman dan konflik gajah-manusia sangat jarang terjadi di wilayah

tersebut kecuali lokasi-lokasi kebun sawit ilegal. Interbreeding ini penting untuk

melestarikan dan mempertahankan kualitas dan variasi dari karakter genotip clan gajah.

Dari hasil studi mengenai tehnik mitigasi konflik gajah – manusia seperti Elephant Flying

Squad atau EFS (mitigasi menggunakan 4 ekor gajah) dan electric fencing (listrik kejut

daya rendah) merupakan tehnik yang efektif dalam mencegah konflik gajah dengan manusia. Dari hasil analisa tahun 2009 mengenai EFS, bahwa tingkat kerusakan material dan konflik gajah dengan manusia dapat ditekan 78,7 % dari hasil pengumpulan informasi

tahun 2005 – 2008. Hal ini menyatakan bahwa tehnik mitigasi tersebut sudah mengurangi

konflik secara sinifikan apabila optimal digunakan. Jadi, penggunaan parit gajah tidak

dilakukan di areal-areal yang telah terlingkupi oleh EFS dan penggunaan electric

fencing.Sebaran EFS di Tesso Nilo adalah di wilayah Lubuk Kembang Bunga, di Desa

Gondai, di wilayah Inti Indo Sawit dan PT. RAPP di sebelah utara taman nasional. Di kawasan konsesi perkebunan sawit PT. Inti Indo Sawit, selain EFS, kanal (parit gajah) dan

electric fencing telah dibangun di lokasi tersebut sehingga tidak dimasukkan ke dalam

rancangan desain parit gajah dalam paper ini. Kawasan interbreeding, EFS dan penggunaan

(17)

#

Peta Sebaran Gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo

0°20' 0°20'

Dari masyarakat yang diwakili oleh Forum Masyarakat Tesso Nilo, juga memasukkan posisi prit gajah di tata batas taman nasional dengan fungsi untuk membedakan taman nasional dengan lahan masyarakat atau konsesi. Sebagai bagian dari mitigasi konflik gajah dan manusia, parit gajah sebenarnya tidak bertujuan untuk membatasi atara kawasan tamana nasional dan kawasan yang bukan taman nasional, tetapi parit gajah dapat difungsikan sebagai bagian jalur patroli kawasan dan patroli mitigasi konflik. Tetapi, beberapa hal akan dapat dilihat dari kedayagunaan parit untuk sebagai batas kawasan TNTNyang mungkin dapat dibangun di beberapa titik penting.

5.6. Analisa Posisi Parit Gajah

Dari hasil overlay atau teknik tampalan dari berbagai faktor yaitu; hasil analisa kernel densitas sebaran gajah, data konflik gajah di sekitar kawasan TNTN, data penutupan lahan dan batas areal konsesi terutama akasia, sawit dan pemukiman masyarakat, parit usulan masyarakat, lokasi dan wilayah jelajah flying squad, parit gajah dan electric fencing yang telah ada di sekitar TNTN dan wilayah interbreeding satwa, dihasilkan posisi parit gajah adalah sebagai berikut;

EFS

Electric fencing Interbreeding

(18)

Posisi parit gajah apabila disesuaikan dengan densitas distribusi gajah dari hasil studi jejak, kotoran dan GPS Collar (analisa kernel)

Posisi parit gajah apabila disesuaikan dengan 1. densitas distribusi gajah dari hasil studi jejak, kotoran dan GPS Collar (analisa kernel) dan 2. posisi konflik gajah dengan manusia

Posisi parit gajah apabila disesuaikan dengan 1. densitas distribusi gajah dari hasil studi jejak, kotoran dan GPS Collar (analisa kernel), 2. posisi konflik gajah dengan manusia dan 3. penutupan lahan dan wilayah

(19)

Posisi parit gajah apabila disesuaikan dengan 1. densitas distribusi gajah dari hasil studi jejak, kotoran dan GPS Collar, 2. posisi konflik gajah dengan manusia, 3. penutupan lahan dan wilayah konsesi dan 4. posisi usulan masyarakat, keberadaan flying squad dan parit gajah yang telah ada

Flying squad

(20)

Dari hasil analisa akhir posisi parit gajah, posisi parit gajah terlihat lebih banyak di luar taman nasional. Pada garis berwarna merah, posisi parit yang paling prioritas dibangun, pada garis putus-putus hitam adalah posisi parit yang tidak prioritas dibangun. Dari analisa posisi parit juga diidentifikasi parit alternatif di bagian Utara - Barat yaitu parit gajah yang mengikuti jalar jalan logging di areal akasia dan batas utara PT. Siak Raya (garis kuning-hitam). Grid merah yang berada di posisi batas taman nasional hanya terdapat di bagian

Utara – Timur taman nasional yaitu sepanjang 8 km. Dari total keseluruhan panjang parit

gajah, garis merah (parit gajah prioritas) memiliki panjang keseluruhan adalah 200 km, sedangkan untuk garis putus-putus (parit gajah tidak prioritas) panjangnya adalah 150 km.

Posisi parit gajah hasil overlay dimana garis merah utuh menandakan posisi parit gajah prioritas, garis putus-putus adalah tidak prioritas dibangun dan garis merah adalah opsi kedua parit gajah prioritas di bagian

Utara – Barat Tesso

Nilo yang

disesuaikan dengan jalan logging akasia

Posisi parit gajah hasil overlay menandakan

prioritas utama parit gajah (garis merah), tidak prioritas (garis putus-putus) dan parit gajah alternatif

(opsi 2 di utara –

(21)

Sedangkan parit alternatif (garis kuning dan hitam) memiliki panjang adalah 63 km. Dari total panjang parit gajah prioritas (garis merah), umumnya terdapat di batas wilayah konsesi

akasia, kecuali di Utara – Timur Taman Nasional tersebut dan di wilayah baserah yang

berhimpitan dengan jalan koridor baserah, PT RPI (Rimba Pranap Indah) dan PT Rimba Lazuardi.

Dari hasil penghitungan panjang parit, posisi parit umumnya berada di berbagai perusahaan terutama yang menjadi rekanan PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) dan masing masing perusahaan dilewati parit dengan panjang parit dari masing- masing wilayah konsesi perusahaan adalah sbb;

Tabel 3. Panjang Kanal Prioritas (Garis Merah) per Perusahaan HTI

No Nama Panjang (Km)

1 PT. Arara Abadi - Nilo 0.51

2 PT. Nusa Prima Manunggal 2.98

3 PT. Nusa Wana Raya 61.49

4 PT. RAPP - Baserah 27.07

5 PT. RAPP - Langgam 21.66

6 PT. RAPP - Tesso East & West 24.74

7 PT. RAPP - Ukui 24.13

8 PT. Rimba Lazuardi 4.35

9 PT. Rimba Peranap Indah 6.09

10 PT. Siak Raya Timber 20.34

11 PT. Wananugraha Bina Lestari 18.7

Total Panjang Kanal (Parit Gajah) 212.06

6. Desain Teknis Penampang Parit Gajah

Dari hasil studi desain penampang parit gajah bahwa banyak tipe penampang parit gajah yang diperkenalkan. Di Taman Nasional Way Kambas (Propinsi Lampung-Sumatera), parit gajah yang dibangun masyarakat bersama Balai Taman Nasional sepanjang jalan Plang Ijo

– Desa Margahayu berukuran lebar sekitar 5 m dengan kedalaman 3 m. Tipe ini kemudian

banyak ditiru dibanyak tempat di Sumatera. Di banyak perusahaan di Riau terutama perkebunan sawit dan tambang, parit gajah memiliki ukuran dan tipe hampir sama dengan tipe parit gajah yang dibangun di Plang Ijo, meskipun ada beberapa modifikasi tetapi kecil perubahannya. Sedangkan bagi para perambah hutan untuk sawit, pembangunan parit gajah kebanyakan tidak layak karena ukurannya dan lebar terlalu kecil, tidak memperhatikan kontur dan tipe tanah dan sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup gajah karena memotong jalur lintasan tetap atau berada di dalam wilayah jelajah dan wilayah pakan gajah.

(22)

yaitu gajah mudah tembus menyeberangi parit disebabkan mudahnya parit tererosi atau gajah mencari celah lebih landai saat terperangkap oleh parit gajah. Celah landai dapat diperoleh dari kedua sisi parit gajah yang derajat kemiringannya sama saat dibangun. Hal ini menjadi tolok ukur dalam melihat efektifitas parit gajah yang dibangun. Di jalur parit gajah Plang Ijo setelah beberapa tahun pembuatan parit, di beberapa titik tertentu gajah dapat lolos ke pemukiman masyarakat atau ke ladang masyarakat. Lolosnya gajah

menyeberangi parit karena salah satunya erosi dan kontruksi parit yang kurang memadai. Saat gajah terperangkap, sebisa mungkin gajah membebaskan diri dari kedalaman parit dengan mencari celah jalan lebih landai, atau menggunakan bantuan pohon-pohon di sekitar kedalaman parit.

Dalam gambar 7. terlihat model penampang parit gajah dimana di satu sisi lereng parit lebih landai dibandingkan lereng lainnya. Lereng yang landai membentuk kemiringan 30-45 derajat berposisi di wilayah clan gajah. Lereng yang landai dapat memudahkan gajah kembali lagi ke habitatnya dan gajah tidak terperangkap di kedalaman parit gajah dan peluang gajah mencari celah landai lebih mudah. Lebar parit adalah 5 meter dengan kedalaman 3 meter. Di sisi berlawanan atau seberang lereng landai, dibuat gundukan dari tanah sisa galian setinggi 1 meter untuk meninggikan posisi parit yang lebih curam (posisi parit yang curam di pemukiman atau kebun). Parit yang curam dan ada gundukan tanah 1 meter diatasnya mempersulit gajah menyeberang ke sisi pemukiman atau wilayah kebun masyarakat atau perusahaan.

Di sisi parit yang curam dapat ditanami tumbuh-tumbuhan yang mengurangi tingkat erosi permukaan tanah seperti bambu, atau rumput-rumputan dengan perakaran yang dalam atau pohon pelindung sebagai koridor parit gajah. Tumbuh-tumbuhan yang ditanam dapat rapat atau jenis-jenis yang tidak disukai gajah pula. Saat pembangunan dan implementasi parit gajah perlu juga dimonitor pergerakan air hujan, apabila parit telah digunakan. Air hujan yang tergenang oleh parit dapat mengakibatkan tingkat erosi tanah lebih tinggi dan media tersebut dapat digunakan gajah untuk melakukan penyeberangan. Titik-titik rawan inilah yang harus diidentifikasi setelah parit beroperasi. Kemudian di sisi parit yang curam juga dapat dibangun jalan setapak yang fungsinya untuk patroli kawasan dan penggunaan

electric fencing.

(23)

Gambar 7. Penampang parit gajah yang diusulkan dalam pembuatan parit gajah di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo

Posisi clan gajah di satu sisi lokasi jelajah dimana posisi lereng parit gajah yang landai adalah berada di dalam lokasi clan gajah

Penampang parit gajah dimana posisi pemukiman atau perkebunan diapit oleh dua clan gajah yang saling bersinggungan.

(24)

7. Tehnik penggunaan parit gajah

Dalam beberapa cara implementasi parit gajah, salah satunya adalah penggunaan parit gajah untuk kegiatan patroli gajah. Di beberapa lokasi, pembangunan parit gajah juga dibangun jalan setapak untuk kegiatan patroli. Dengan parit gajah sebenarnya akan memudahkan lokasi-lokasi yang akan dipatroli atau dalam patroli EFS. Pada parit yang tidak bisa ditembus gajah, posisi gajah liar akan berada di bawah posisi jalan setapak sehingga memudahkan tim patroli melakukan pengusiran gajah atau pemantauan gajah. Di titik-titik yang tidak dibangun parit gajah atau titik rawan parit yang dapat ditembus gajah itulah konsentrasi tim patroli gajah melakukan aktivitasnya. Di Way Kambas _ parit gajah Plang Ijo, masyarakat membuat titik-titik jembatan (karena disisi parit gajah terdapat jalan raya

Plang Ijo – Pusat latihan Gajah (PLG). Lokasi-lokasi jembatan dipakai masyarakat sebagai

sarana penyeberangan akses ke jalan raya. Di tiap titik tersebut dibangun menara – menara

pengawas agar gajah tidak menyeberang dan masuk ke dalam wilayah areal pemukiman atau kebun.

Di beberapa jalur parit gajah di Tesso Nilo yang direkomendasikan juga dibangun di kiri

jalan HTI akasia, titik – titik jembatan sebagai akses transportasi kayu akasia atau akses

jalan juga tidak terelakkan. Pada kondisi ini, menara-menara pengawas dapat dibangun, tetapi juga perlu dilihat banyaknya menara pengawas yang akan dibangun, karena dampaknya juga tidak efektif dan membuat sumber daya manusia yang relatif besar apabila dioperasikan untuk pengawasan. Jadi, akses jembatan atau jalan penghubung melintasi parit gajah dapat dibangun di tempat-tempat tertentu sehingga posisi akses tersebut terbatas dan menara-menara pengawas atau untuk patroli dapat dibangun. Menara pengawas dibangun sangat kokoh karena mampu menahan serangan gajah. Tinggi minimal 4 meter dimana dibagian atas menara dibangun pelataran untuk pemantauan. Pengawas minimal terdiri dari dua orang dimana tugas satu orang menggunakan lampu sorot untuk memonitor pergerakan gajah di sekitar parit dan menuju jembatan akses, satu lagi menggunakan meriam karbit saat gajah datang atau mendekati jembatan akses tersebut.

Parit gajah juga dapat digunakan sebagai sarana penyadaran dan pemahaman publik lokasi yang menjadi konsentrasi populasi gajah sehingga perambah hutan untuk kebun sawit dapat mengetahui posisinya di habitat gajah termasuk paham tentang letak taman nasional.

8. Analisa biaya pembangunan dan pemeliharaan parit gajah

(25)

longsor atau ditumbuhi semak belukar sehingga memudahkan gajah menyeberang dan patroli monitoring gajah dan parit gajah.

Pembiayaan pembuatan desain parit gajah melalui beberapa tahap yaitu tahap penyiapan peta-peta untuk analisa kemudian melakukan overlay peta-peta tersebut meliputi peta sebaran gajah, peta home range gajah, peta sebaran konflik gajah-manusia, peta sarana-prasarana kawasan, peta areal konsesi atau kepemilikan lahan, peta batas kawasan konservasi dengan kawasan lainnya, peta tutupan lahan, peta sistem lahan, peta tipe tanah dan peta posisi teknik mitigasi konflik gajah-manusia lainnya yang sudah ada. Peta-peta tersebut dioverlay untuk menjadi landasan pembuatan peta parit gajah yang terpadu di satu lokasi. Kemudian draft desain parit tersebut didiskusikan kepada para pihak terutama yan nantinya akan lahannya akan digunakan untuk parit gajah. Proses diskusi ini mengarahkan pada kesepakatan posisi parit gajah di lokasi yang terkena jalur parit gajah dalam desain. Kemudian langkah selanjutnya adalah pembukaan lahan untuk parit gajah dengan melalui pengukuran dan pemberian patok batas parit. Lahan-lahan yang kering, datar atau kontur landai dapat diberi patok batas untuk parit, tetapi rawa, lahan basah tidak perlu dibangun parit gajah mengingat parit akan sulit dibangun dan gajah juga sangat jarang melintasi wilayah rawa atau lahan basah yang dalam. Di lokasi yang terjal, parit gajah dibangun dengan mengikuti kontur lahan sehingga mengurangi tingkat erosi meskipun nantinya tetap mengikuti desain parit yang telah dibuat sebelumnya. Apabila jalur parit juga melintasi lahan penduduk, revisi jalur juga dapat mempertimbangkan batas lahan masyarakat dengan hutan atau areal lainnya yang komunal sehingga lahan masyarakat terlindungi dari serangan

gajah, kecuali lahan – lahan garapan ilegal atau merusak kelestarian alam. Setelah itu

dilakukan analisa biaya dan penyewaan eksavator dan perekrutan pekerja pembangunan parit gajah dan bedeng kerja.

Saat proses pembangunan, perlu diperhatikan juga keterlibatan masyarakat sebagai volunter pembangunan terutama saat parit akan dibangun di batas areal kebun atau pemukiman masyarakat. Di beberapa tempat, masyarakat dapat membangun parit secara swadaya dan hal ini dapat dilakukan dengan swadaya atau sharing biaya dengan masyarakat di lokasi-lokasi yang direkomendasikan untuk swadaya atau sharing biaya. Eksavator dapat melintas di jalur parit yang telah ditetapkan. Lebar parit gajah adalah 5 meter sehingga satu eksavator cukup memperbesar bukaan lahan untuk parit selebar 5 meter saat mesin tersebut membuka jalan dan melakukan pengedukan tanah sedalam 3 meter. Tanah-tanah hasil kedukan ditaruh di satu sisi saja yang mengarah pada kawasan pemukiman atau kawasan kebun. Pekerja parit kemudian meratakan dan memperkuat permukaan tanah sesuai desain penampang parit yang diinginkan. Saat pengerjaan juga diperlukan pula alat-alat pemecah batu apabila lintasan parit melalui lahan yang berbatu atau padas. Batu-batu hasil pecahan dapat disusun di lereng yang curam untuk menghindari erosi. Setelah itu, apabila diperlukan, penanaman rumput-rumputan atau tumbuh-tumbuhan pencegah erosi dapat dilakukan.

(26)

proses suksesi tumbuhan atau erosi sekecil apapun akan mempengaruhi kualitas parit yang usianya tua.

Di bawah ini hasil dari analisa biaya parit gajah sesuai tahapan-tahapan pengerjaan dari perencanaan sampai pemeliharaan untuk 10 km panjang parit sebagai berikut;

Tabel 4. Estimasi biaya pembuatan dan pemeliharaan parit gajah ukuran panjang 10 km dan pemeliharaan satu tahun

No. Aktivitas Detail Material Jumlah unit

1 Perencanaan Peta-peta kondisi

lokasi

10 peta yang dioverlay (pengerjaan dimana peta telah tersedia)

Sewa konsultan desain 1 orang untuk 3 bulan

Meeting stakeholder

terkait

4 kali untuk kesepakatan parit

Survey lokasi 1 kali

Pembukaan lahan 4 pekerja selama 3 hari

Pembelian alat navigasi: GPS atau kompas dan alat tebas

Akomodasi pekerja Patok batas tiap 10 meter

2 Persiapan Alat berat Sewa 1 unit eksavator untuk dua -

Perekrutan pekerja 12 orang pekerja untuk dua bulan

1 orang Koordinator proyek dua

Operasional mesin 1000 liter solar untuk 2 mesin

Sewa motor 2 buah motor untuk transportasi dua

bulan

100 liter bensin

Akomodasi pekerja Konsumsi per hari untuk 16 orang

(termasuk driver alat berat) Asuransi

Perlengkapan lainnya Alat penerangan dan kabel listrik

Genset kecil (sewa)

Solar 150 liter untuk genset

(27)

pass, benang nylon, cat untuk tanda, meteran dst.)

4 Pemeliharaan

parit

Patroli parit gajah 2 orang patroli untuk satu hari

kegiatan 12 kali dalam satu tahun (1 bulan sekali)

Bensin untuk motor untuk 30 liter selama 12 kali patroli

Akomodasi patroli satu hari untuk 12 kali kegiatan

Biaya pemeliharaan Untuk 3 kali kerusakan kecil dalam

setahun

Balai Taman Nasional Tesso Nilo dan WWF Indonesia menghitung dalam estimasi singkat bahwa total pembiayaan parit gajah untuk 10 km meliputi perencanaan sampai pemeliharaan parit gajah satu tahun adalah lebih kurang Rp. 800.000.000 atau Rp. 80.000.000 per km. Biaya ini tidak termasuk apabila dibuat akses penghubung di parit gajah (jembatan untuk akses jalan) dibeberapa titik dan pembangunan menara pengawas apabila jalur parit tersebut di dalam jalur akses masyarakat atau akses perusahaan. Tetapi, pembiayaan ini sudah mencakup jumlah pekerja, salari pekerja, penyewaan alat berat dan asuransi pekerja. Penghitungan pembiayaan patut disesuaikan dengan kondisi terkini dan patut didiskusikan dahulu saat membangun perencanaan parit gajah.

Dalam konteks pemeliharaan parit, program pemeliharaan parit dibuat selama 5 tahun. Dalam program tersebut, upaya kontrol parit kontinu dan perbaikan parit adalah hal yang

paling utama. Kontrol dan perbaikan parit harus benar – benar teratur sehingga dapat

menekan biaya dari ongkos perbaikan parit dan juga sebagai bagian dari upaya monitoring pula terharap tingkat efektivitas parit itu sendiri untuk mitigasi konflik. Dalam upaya monitoring dan pemeliharaan parit dilakukan pula evaluasi parit gajah. Evaluasi tersebut dapat dilaporkan dalam tiga atau 6 bulan sekali sesuai kebutuhan dan manajemen dari masing-masing lembaga yang memiliki kaitan dan kapasitas dalam pengontrolan parit gajah. Evaluasi parit gajah tersebut meliputi sebagai berikut;

1. Kondisi fisik parit

2. Efektivitas parit gajah menahan laju gajah liar yang masuk

3. Tingkat keamanan parit gajah

4. Tingkat erosi dan perubahan parit gajah

5. Tingkat keterlibatan masyarakat memelihara dan ikut dalam monitoring parit gajah.

(28)

9. Kesimpulan

Kanal atau parit gajah adalah salah satu upaya mitigasi konflik antara gajah dengan manusia dimana teknik ini telah lama diperkenalkan orang terutama di wilayah Sumatersa sejak tahun 1980an. Di beberapa tempat, parit gajah memang mengurangi gajah masuk ke dalam pemukiman atau kebun masyarakat, tetapi tidak menjamin 100 % bahwa parit tersebut efektif apalagi ditentukan pula oleh panjang parit, kualitas parit, kondisi lokasi dan intensitas-kualitas pengontrolan parit dan pemeliharaan parit.

Sifat teknik mitigasi ini adalah pasif-statis artinya posisi parit gajah permanen sehingga dibutuhkan analisa yang tajam dan akurat dalam penentuan posisi parit tersebut karena ada kemungkinan karakter kelompok atau clan gajah yang beroperasi atau melakukan aktivitas di dalam wilayah jelajahnya sifatnya dinamis. Dinamisasi dari karakter kelompok ditentukan oleh faktor makanan, hilangnya habitat gajah, gangguan dari mahluk lain seperti

manusia, mating (gajah jantan mencari betina), pertumbuhan dan perkembangan jumlah

kelompok gajah dan perubahan musim. Sifat pasif-statis ini akan dapat mengganggu dari karakter clan atau kelompok yang dinamis atau parit gajah dianggap akan sangat membatasi ruang gerak gajah yang kemungkinan sifatnya dinamis dalam kurun waktu panjang. Hilangnya habitat atau makanan di dalam lokasi parit gajah, akan menimbulkan dampak besar bagi kehidupan kelompok gajah dan gajah akan berupaya untuk mencari makan yang lebih ideal meski harus menerobos parit gajah. Di beberapa tempat seperti parit gajah Plang Ijo (TN Way Kambas), dalam kurun waktu beberapa tahun, gajah menemukan pola sendiri dalam menerobos parit misalnya menggunakan cekungan air di dalam parit gajah atau menemukan titik-titik longsor atau erosi parit. Apabila parit tidak dapat ditembus, parit gajah yang dibangun akan berkontribusi pula pada penurunan kualitas populasi gajah di dalamnya, Jadi, perlindungan habitat gajah atau penyediaan suplai makanan alami di dalam lingkup parit gajah mutlak dilakukan termasuk mempertahankan wilayah jelajah gajah dari gangguan.

Kelemahan lain adalah dari faktor pengontrolan gajah. Kontrol yang lemah dan pemeliharaan parit yang lemah menyebabkan gajah dapat mudah masuk menyeberangi parit gajah dan kemungkinan tidak terdeteksi (akibat kontrol lemah). Gajah yang menyeberang masuk biasanya didapat dari informasi masyarakat atau pemilik lahan yang rusak. Pembenahan atau renovasi parit gajah tidak serta-merta langsung dilakukan, tetapi pastikan lebih dahulu posisi gajah apakah masih di dalam areal kebun masyarakat/perusahaan atau sudah posisi di lingkup parit gajah (wilayah hutan), baru kemudian direnovasi. Memastikan dan mengharapkan gajah masuk ke dalam areal lingkup parit gajah tentu sulit dilakukan, sehingga proses penggiringan dapat dibantu oleh unit EFS terdekat.

(29)

lokal. Keempat, memberikan ruang-ruang lain sebagai bagian ujicoba teknik mitigasi

konflik lainnya misalnya EFS atau penggunaan elektric fencing atau membangun early

warning system di tingkat masyarakat. Kelima, suatu saat parit gajah akan berkurang

fungsinya apabila ditemukan teknik lain yang lebih baik dan lebih ramah terhadap pertumbuhan dan perkembangan populasi gajah liar di masa datang.

10.Ucapan terima kasih

Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr. Ian Kosasih, Prof. Dr. Hadi Alikodra, Bapak Suhandri, Bintang Hutajulu dan Pak Nukman (BTNTN) yang mendukung dan memberikan masukan dalam pembuatan dokumen ini. Terima kasih juga kepada Ajay A. Desai,

Anggoro Sudibyo, Kokok Yulianto, Samsuardi dalam diskusi dan penyiapan peta parit gajah di Taman Nasional Tesso Nilo. Terima kasih disampaikan kepada Radaimon dan Forum Masyarakat Tesso Nilo atas masukan dan dukungannya dalam pengembangan desain parit gajah tersebut. Terima kasih pula kepada Michael Stuewe, Long Barney, Christy William dan Ginny yang telah membantu dalam pengembangan konservasi gajah di Propinsi Riau.

11.Referensi

C.V. Panca mandiri Konsultan. 2007. Perencanaan pembuatan parit gajah di Taman Nasional Tesso Nilo. Direktorat Jenderal PHKA-Balai Taman nasional Tesso Nilo. Pangkalan Kerinci.

Desai, A. A. & Samsuardi. 2009. Status of elephants in Riau Province, Sumatra. WWF Indonesia Riau program. Riau.

Mariati, S. 2007. Usulan konsep mitigasi konflik manusia dan gajah. Materi presentasi WWF Indonesia program Riau. Riau.

Qomar, N. 2003. Integrasi Sub Sistem Sosial Dalam Pengelolaan Hutan Tesso Nilo Untuk Pelestarian Gajah Sumatera dan Ekosistemnya. Thesis. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Samsuardi & A. A. Desai.2009. Death of four elephants outside the Tesso Nilo National

(30)

Desain parit Gajah sebagai bagian Teknik Mitigasi Konflik Gajah – Manusia di Tesso Nilo

Gambar

gambar 1. dibawah ini.
Gambar 2a & 2b. Wilayah sebaran satu clan gajah di wilayah Taman Nasional Tesso Nilo  saat pemasangan GPS Collar tahun 2007 (2a) dan tahun 2009 (2b)
Gambar 3. Peta analisa tingkat kepadatan distribusi gajah di wilayah Tesso Nilo dengan menggunakan metode Kernel
Gambar 4. Lokasi kematian 5 ekor gajah di PT.Rimba Pranap Indah pada bulan Mei – Juni 2009
+6

Referensi

Dokumen terkait