• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum islam dan undang-undang no. 41 tahun 2004 terhadap penguasaan tanah wa kaf secara sepihak oleh nadir : studi kasus wakaf tanah di yayasan masjid al-mustajabah pandigiling, Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum islam dan undang-undang no. 41 tahun 2004 terhadap penguasaan tanah wa kaf secara sepihak oleh nadir : studi kasus wakaf tanah di yayasan masjid al-mustajabah pandigiling, Surabaya."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004

TERHADAP PENGUASAAN TANAH WA KAF SECARA SEPIHAK OLEH NADIR

(STUDI KASUS WAKAF TANAH DI YAYASAN MASJID AL-MUSTAJABAH PANDIGILING, SURABAYA)

SKRIPSI

Oleh: Husnama Patih NIM. C92213182

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari ’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (Field Research) tentang “Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf Secara Sepihak oleh Nadir (Studi Kasus Wakaf Tanah

di Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya)”. Penelitian ini

bertujuan untuk menjawab pertanyaaan terkait masalah yang terjadi di Pandigiling di mana sebuah tanah wakaf yang diserahkan kepada Masjid Al-Mustajabah Pandigiling surabaya ini dikuasai oleh seorang nadir yang tidak pernah sekalipun melakukan pelaporan kepada Mauqu>f ‘alaih selaku yang diberi wakaf.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan mengunakan pola pikir induktif dan analisis data menggunakan deskriptif, yakni mengungkapkan realitas terkait Penguasaan tanah wakaf secara sepihak oleh nadir. Lantas menggunkan metode penelitian deskriptif melalui Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 sebagai pisau analisis.

Penelitian ini menghasilkan fakta bahwa yang dilakukan oleh nadir ini dilakukan atas dasar sadar, bahwa tanah yang diwakafkan dan bangunan berupa SD Mustajabah yang kini telah berdiri di atasnya dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Hal ini terbukti sejak awal diserahkannya tanah wakaf, dibangunnga gedung hingg berlasungnya Kegiatan Belajar Mengajar tahung 1977 sampai saat ini tidak pernah melaporkann perkembangan yang terjadi, padahal dari waqif mengamanatkan bahwasannya wakaf yang diberikan adalah diperuntukkan untuk perkembanan Masjid Al-Mustajabah.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL LUAR ... i

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

PENGESAHAN ... V MOTTO ... vI ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka... 8

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II: WAKAF DALAM HUKUM ISLAM DAN TANAH WAKAF BERDASARKAN UU NO. 41 TAHUN 2004 ... 20

A. Wakaf ... 20

B. Nadir ... 39

BAB III: PERBUATAN PENGUASAAN TANAH WAKAF SECARA SEPIHAK OLEH NADIR DI YAYASAN MASJID AL-MUSTAJABAH PANDIGIIG SURABAYA ... 51

(8)

B. Deskripsi Nadir ... 53

C. Pelaksanaan Tugas Nadir ... 54

BAB IV: ANALISA HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF TERHADAP PENGUASAAN TANAH WAKAF SECARA SEPIHAK OLEH NADIR DI YAYASAN MASJID AL-MUSTAJABAH PANDIGILING SURABAYA ... 64

A. Pelaksanaan Tugas Nadir Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling Surabaya ... 64

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Tugas Nadir Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling Surabaya ... 66

C. Analisa Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Terhadap Pelaksanaan Tugas Nadir Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling Surabaya ... ```` 69

BAB V: PENUTUP ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna.

Karena kesempurnaannya manusia diberi kebebasan untuk berfikir dan

bertindak sesuai dengan keinginan nafsunya. Setiap individu mempunyai pola

pemikiran tentang kebenaran yang dipedomaninya, sehingga tidaklah mau

untuk manusia yang lain begitu saja mengikuti pedoman orang yang lain.

Islam adalah agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia

secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupan dari hal yang terkecil,

sampai hal yang terbesar semuanya terdapat dalam ajaran Islam yang

sempurna. Hal tersebut meliputi segala aspek kehidupannya yang mencakup

aspek-aspek akidah, mu’a>malah, akhlak dan kehidupan bermasyarakat menuju

tercapainya kabahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan

individunya, maupun dalam kehidupan masyarakatnya.1

Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam

yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf tersebut termasuk ke dalam

kategori ibadah kemasyarakatan (iba>dah ijtima>’iyyah). Sepanjang sejarah

Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam

memajukan perkembangan agama.

1 Suparman, Hukum Islam : Asas-Asas Dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum

(10)

2

Tidak ada dalam ayat al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan

tentang ajaran wakaf. Lain halnya dengan ajaran zakat yang banyak dijelaskan

dalam al-Qur’an maupun Hadist Nabi.2

Definisi wakaf sendiri secara bahasa kata waqaf (waqf) berarti h{abs

‘menahan’. Hal ini sebagaimana seseorang : waqafa-yaqifu-waqfan, artinya

h{abasa-yah{bisu-h{absan. Sedangkan secara syara’ bahwa waqaf berarti

menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.3

Mengenai pengertiannya, Waqaf berarti “menahan”, menurut syara’

adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam keadaan barangnya

masih tetap dengan cara memutus pentasarufannya, untuk diserahkan buat

keperluan yang mubah dan berarah.4

Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadikan

dasar utama disyariatkannya ajaran ini lebih dipahami berdasarkan konteks

ayat Al-Qur’an, sebagai sebuah amal kebaikan.5 Allah berfirman dalam Surat

Ali Imran ayat 92 :

ݚقل ْاݠُ اقݜقت ذِبۡلٱ ذنِإقف لء ۡ قَ ݚِم ْاݠُقِݍݜُت اقمقو قنݠُبِ ُُ اذݙِ ْاݠُقِݍݜُت ٰ ذَقح ق ذلٱ ِݝِب ۦ ٞݗيِݖقع ٩٢

Artinya Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah

mengetahuinya.6

2 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Waqaf Di Indonesia (Direktorat Pemberdayaan Waqaf, 2006), 59.

3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Nor Hasanuddin), Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 423. 4 Muhammad Wahid Abdullah, Analisis Hukum Islam Terhadap PerubahanFungsi Tanah Waqaf Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasa”(Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 2.

5 Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Waqaf Di Indonesia (Direktorat Pemberdayaan Waqaf, 2006), 59.

(11)

3

Dari Rasulullah bersabda :

ْ نَع

ْ نبا

ْ عَْم

َْرْ

ْاَم ه َعْ هاَْي ضَر

َْلاَق

:

َْباَصَأ

ْ عَْم

َْر

ْ رَأ

ْ ضا

َْ ب

َْرَ ب ي

ىَتَأَف

َِّْلا

ىلَص

ْ

ْ ها

ْ يَلَع

ْ هْ

َْملَسَو

ْ سَي

ْ م أَت

ْ رْ

ْ ي ف

اَه

َْلاَقَ ف

ْ

ْ ي د عْ س ف نَاَْو ْطَقْ ًاَمْ ب ص أْ َََْرَ ب يَ بْا ض رَأْ ت بَصَاْ ِّ إْ, هاَْلو سَرْاَيْ:

َْت قَدَصَتَوْاَهَلصَأَْت بَسَحَْت ئ شْ ن إْ:ْمّلسوْهيلعْهاْىّلصْ هاَْل و سَرْ هَلَْلاَقَ فْ؟ ه بْ ِ ر م أَتْاَمَفْ ه م

ْ

اَ َِْقدَصَتَ فْ.اَهَ ب

ْ

ْ باَقّرلاْ َِوْ ََ ر ق لاْ َِوْ ءاَرَق ف لاْ ِْاَ َِْقدَصَتَوْ؟ ثَر و تْ ًََوْ عاَب تًَْاَه نَأْ:َْرَم ع

َْيَوْ ف و ر عَم لا بْاَه مَْل ك أَيْ نَأْاَه ي لَوْاَمْىَلَعَْحاَ ج ًَْ ف يضلاَوْ ل ي بسلاْ ن باَوْ هاْ ل ي بَسْ َِو

َْمَع ط

َْر يَغ

ْ م

. ٍلّوَمَت

7

“Riwayat Ibnu Umar r.a., dia berkata, ‘Umar telah mendapatkan sebidang tanah dari Khaibar. Lalu dia menghadap Rasulullah SAW. untuk minta pertimbangan tentang tanah itu, maka ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dirinya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan

kepadaku sehubungan dengan hal tersebut?’ Lalu Rasulullah SAW.

berkata kepadanya, ‘jika engkau suka, tahankah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya.’ Umarpun menyedekahkan manfaatnya dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan, dan tidak diwariskan. Tanah itu diwakafkan untuk orang-orang fakir, kaum kerabat, memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara ma’ruf dan juga

memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri.8

Seseorang memiliki banyak cara untuk beramal salah satunya yaitu

berinfak di jalan Allah SWT dengan harta kesayangannya secara ikhlas

disertai dengan niat yang baik.9 Dalam Al-qur’an Al-Hajj-77 bunyinya:

اقݟُيقأٓ قي قݚيَِٱذ ْاݠُݜقماقء ْاݠُعقكۡرٱ قو ۤ قو ْاوُدُبۡعٱ قو ۡݗُكذبقر ْاݠُݖقعۡفٱ قۡيقۡٱۡ ۩قنݠُحِݖۡݍُت ۡݗُكذݖقعقل ٧٧

7 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja’fi, Al-Jami’ Al-Musnid Al-Shahih

Mukhtashar Min Umurin Rasulullah Saw Wa Sunanuhu Wa Ayyamuhu/ Shahih Bukhari, Juz 3 (Madinah : Dar Thauqu al-Najah, 1442 H). 198.

(12)

4

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu

mendapat kemenangan.10

Menurut Imam Syafi’i, berdasarkan riwayat bahwa Abu Thalhah,

ketika beliau mendengar Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 92, beliau bergegas

untuk mewakafkan sebagian harta yang ia miliki, sesudah itu menyusul 80

orang sahabat di Madinah terus mengorbankan harta mereka dijadikan wakaf

pula. Selain itu ada pula hadits yang menyebutkan bahwa wakaf merupakan

sedekah yang luar biasa. Hadits tersebut ialah:11

ْ ه بْ ع فَت َ يٍْم ل عْ وَأٍْةَي راَجٍْةَقَدَصْ:َْءاَي شَأْ ةَث َََثْ ن مًْ إْ ه لَمَعَْعَطَق ن اْ ناَس ن ْاَْتاَمْاَذ إ

ْ

ْ ٍح لاَصٍْدَلَو وَأ

. هَل و ع دَي

ْ

“Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan (orangtuanya) kepadanya.”12

Berdasarkan hadist tersebut sangat jelas bahwa wakaf bukan hanya

sedekah yang biasa saja, karena di dalamnya terdapat manfaat yang lebih,

bahkan sangat besar baik untuk diri sendiri (waqif) wa>qif, maupun untuk

masyarakat sekitarnya. Selain ganjaran waqif yang terus menerus mengalir

selama barang wakaf itu masih berguna, juga tentunya bermanfaat bagi

masyarakat sekitar.

10 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Nor Hasanuddin), Jilid 4 (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 421. 11 Muhammad Wahid Abdullah, Analisis Hukum Islam Terhadap Perubahan Fungsi Tanah Waqaf

Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan, (Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 3.

(13)

5

Namun, hal itu akan sulit terealisasikan tanpa adanya sinergi dari

semua pihak terutama dari pihak pengelola (nadir) yang ditunjuk/diamanahi

untuk mengelola barang wakaf tersebut. Adapun permasalahan yang muncul

adalah penguasaan tanah wakaf yang tidak sesuai dengan yang diamanatkan,

serta tanpa kesepakatan dari pihak-pihak yang seharusnya terlibat. Adapun

penguasaan yang dimaksud adalah menganggap tanah wakaf dan bangunan

yang berdiri diatasnya tersebut sebagai milik pribadi, dikuasai serta dikelola

sebagaimana keinginanya tanpa sepengetahuan dan kesepakatan baik dari

waqif atau dari pihak yang diamanahkan.

Kaidah umum dalam masalah “hal-hal yang boleh dilakukan oleh

nadir” adalah : “Seorang pengelola wakaf (nadir), hendaknya berusaha dalam

setiap tindakannya yang berhubungan dengan harta wakaf untuk melakukan

apa saja yang ada manfaatnya bagi harta wakaf dan bagi mereka yang berhak

atasnya, dengan memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh

waqif selama tidak bertentangan dengan ketentuan hukum.”13

Pada dasarnya wakaf adalah abadi dan untuk kesejahteraan.

Padaprinsipnya, Wakaf tidak boleh diwariskan, tidak boleh dijual dan tidak

bolehdihibahkan. Sedangkan yang terjadi di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan

Tegalsari, Kota Surabaya. Terdapat sebidang tanah yang diatasnya berdiri

sebuah bangunan “SD Mustajabah”, namun dalam pengelolaannya terdapat

beberapa permasalahan yang diakibatkan oleh pengelola (nadir). Tanah yang

berada di Jl. Pandegiling itu sebenarnya diberikan atau diwakafkan oleh waqif

(14)

6

kepada Yayasan Masjid Al-Mustajabah, bertujuan untuk mendirikan

madrasah yang intinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana merawat dan

mengembangkan masjid Al-Mustajabah. Akan tetapi dalam berjalannya

sampai sekarang nadir lalai dalam menjalankan tugasnya, tidak lagi sesuai

dengan tujuan wakaf sebagaimana yang diikrarkan oleh waqif.

Ironisnya dari hasil pengelolaan yang dimaksud terkait dengan

keuangan keluar masuk, pelaksanaan administrasi dan laporan

pertanggungjawaban tidak pernah sama sekali ada laporan kepada Pengurus

Masjid Al-Mustajabah ataupun kepada ahli waris waqif. Serta meski nadir

sudah tidak lagi menjabat sebagai Pengurus Masjid Al-Mustajabah, ia tetap

mengaku sebagai nadir dan tidak mau menyerahkan jabatannya kepada

Pengurus Masjid Al-Mustajabah yang baru, dan mengangkat anaknya sebagai

Kepala Sekolah SD Mustajabah yang baru. Hingga atas permasalahan yang

dimaksud akhirnya dari Pemberi Wakaf maupun ahli waris waqif mempunyai

mosi tidak percaya kepada nadir, yang kemudian bersama Pengurus Masjid

Al-Mustajabah permasalahan tersebut dibawa kepada Komisi E DPRD Kota

Surabaya dan menghasilkan “Surat Pernyataan Damai” dan ditindaklanjuti

dengan adanya “Surat Pernyataan Keputusan Bersama”. Meski begitu nadir

ternyata tidak melaksanakan isi dari “Surat Pernyataan Damai” dan “Surat

Pernyataan Keputusan Bersama” sehingga menimbulkan permasalahan

kembali antara Para Ahli Waris Waqif, Pengurus Masjid Al-Mustajabah

(15)

7

Berangkat dari latar belakang tersebut, penulis tertarik dan

berkeinginan untuk menulis dan meneliti bagaimana praktik dan

perkembangan tanah wakaf yang berada di Jl. Pandegiling Gang Tengah No.

15 Surabaya untuk dituangkan menjadi karya ilmiah dalam bentuk skripsi

dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf

Oleh Nadir (Studi Kasus Wakaf Tanah Di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling,

Surabaya)”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Melalui latar belakang yang telah peneliti paparkan tersebut di atas,

terdapat beberapa problem dalam pembahasan ini yang dapat peneliti

identifikasi, yaitu:

1. Tugas dan wewenang Nadir dalam praktik pengelolaan tanah wakaf

Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandegiling, Surabaya sesuai dengan UU

wakaf No. 41 tahun 2004

2. Penguasaan Tanah atas tanah wakaf Yayasan Masjid Al-Mustajabah

Pandegiling, Surabaya

3. Sebab dan akibat penguasaan tanah wakaf yang dilakukan oleh nadir

terhadap tanah wakaf Masjid Al-Mustajabah Pandegiling, Surabaya

4. Tinjauan Hukum Islam terhadap penguasaan tanah wakaf yang dilakukan

oleh nadir terhadap tanah wakaf Masjid Al-Mustajabah Pandegiling,

(16)

8

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah

yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik penguasaan tanah wakaf secara sepihak oleh nadir di

Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004

terhadap penguasaan tanah wakaf secara sepihak oleh Nadir di Yayasan

Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian yang

sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga terlihat

jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau

duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.14

1. Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Wahid Abdullah 2014, Judul

Skripsi: Analisis Hukum Islam Terhadap Perubahan Fungsi Tanah Wakaf

Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. Hasil dari

skripsi adalah bahwa sebagian dari harta wakaf yang terjadi disana tidak

didaftarkan pada Kementrian Agama dan juga tidak ada surat ikrar wakaf.

Selain itu di Desa Ragang sudah terbiasa tanah wakaf dialihfungsikan

untuk kepentingan umum lainnya, karena merupakan hal yang sudah

terbiasa. Dalam hukum islam terdapat beberapa perbedaan pendapat.

(17)

9

menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabalah membolehkan penggantian

atau perubahan pemanfaatan harta wakaf dengan beberapa persyaratan,

seperti apabila harta wakaf tidak dapat dipertahankan sesuai dengan

tujuan semula atau manfaatnya lebih besar dari wakaf semula maka hal

tersebut diperbolehkan karena lebih banyak manfaatnya sehingga dialih

fungsikan.15

2. Skripsi yang ditulis oleh Nidaul Hasanah 2015, Judul Skripsi : Analisis

Yuridis Terhadap Ganti Rugi Tanah Dan Bangunan Langgar Wakaf

Al-Kuroma’ (Studi Kasus Di Desa Besuki Kecamatan Jabon Kabupaten

Sidoarjo). Hasil dari skripsi adalah Terkait ganti rugi tanah dan bangunan

langgar wakaf al-Kuroma’ di Desa Besuki Kecamatan Jabon sudah lama,

yakni sejak adanya semburan lumpur lapindo pada tahun 2006 sampai

2015, namun dalam kenyataannya belum terealisasi dengan baik. Padahal

wakaf langgar Alkuroma’ jika di lihat dari sisi administratif sudah

berkuatan hukum, karena sudah mempunyai sertifikat yang resmi dari

BWI (Badan Wakaf Indonesia). Adapun harta benda wakaf yang sudah

diubah statusnya wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai

tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.16

15 Muhammad Wahid Abdullah, Analisis Hukum Islam Terhadap Perubahan Fungsi Tanah Waqaf Di Desa Ragang Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan”(Skripsi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014), 73.

(18)

10

3. Skripsi yang ditulis oleh Yevi Erawati Enes 2014, Judul Skripsi: Analisis

Yuridis Terhadap Pelaksanaan Tugas Nadir Langgar Wakaf Al Qadir

Desa Jemur Ngawinan Kecamatan Wonocolo Surabaya. Hasil dari skripsi

adalah Dalam penelitian lapangan ( field risearch) yang berada di Langgar

Wakaf Al Qadir, dapat disimpulkan bahwa setelah adanya undang-undang

perwakafan, nadir masih belum melaporkan tentang obyek wakafnya

kepada KUA setempat. Hal ini kemudian berlanjut hingga periode

kepengurusan nadir saat ini. Salah satu faktor yang menyebabkan nadir

tidak melakukan pelaporan tentang obyek wakaf adalah salah satunya

nadir mengalami kesulitan untuk membedakan barang-barang investasi

yang dimiliki oleh harta wakaf. Akibatnya saat terjadi tukar guling yang

dilakukan oleh pemerintah dan melibatkan Langgar Al Qadir, diketahui

bahwa luas tanah dari langgar tersebut telah menyempit sekitar 89 m2

dari luas saat dilakukan proses perwakafan. Berdasarkan hal tersebut,

nadir kurang maksimal dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan

undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang perwakafan.17

Sedangkan perbedaan antara penelitian yang penulis teliti dengan

hasil yang teah diteliti diatas ialah pada nadir yang lalai dalam

melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh waqif

yang juga tidak melaporkan keuangan yang didapat oleh SD Mustajabah

(19)

11

kepada Pengurus Masjid Adl-Mustajabah ataupun kepada ahli waris

waqif,serta menguasai harta wakaf secara turun temurun.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan formulasi permasalahan diatas, maka yang menjadi

tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui praktik Penguasaan Tanah Wakaf oleh Nadir di Masjid

Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya.

2. Mengetahui Tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang No. 41 Tahun

2004 terhadap Penguasaan Tanah Wakaf oleh Nadir di Masjid

Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dengan adanya tujuan diatas diharapkan dari hasil penelitian ini dapat

memberikan kegunaan antara lain:

1. Kegunaan teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah dan

memperluas wawasan ilmu pengetahuan terkait pengelolaan tanah wakaf

oleh nadir dan tentunya diharapkan dapat memberikan kontribusi

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khusunya ilmu Hukum

(20)

12

2. Kegunaan praktis

a. Dapat dijadikan pertimbangan bagi umat lslam khususnya

masyarakat yang melakukan praktik penguasaan tanah Wakaf oleh

Nadir di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya yang tidak

sesuai dengan prinsip hukum Islam.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang hukum

pengelolaan tanah wakaf oleh nadir di Masjid Al-Mustajabah

Pandigiling, Surabaya

c. Diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi

berbagai pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengelolaan tanah

wakaf yang ada di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya

G. Definisi Operasional

Dalam rangka untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dan

lahirnya multi-interpretasi terhadap judul ini, maka penulis merasa penting

untuk menjabarkan tentang maksud dari istilah-istilah yang berkenaan dengan

judul di atas, dengan kata-kata kunci sebagai berikut:

1. Hukum Islam : Aturan-aturan atau ketentuan hukum Islam yang

bersumberdari Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat ulama yang berkaitan

dengan wakaf.

2. Penguasaan Tanah : Penguasaan tanah secara yuridis berarti ada hak

dalam penguasaan itu yang diatur oleh Undang-Undang RI nomor 5

(21)

13

menguasai secara fisik. Penguasan tanah meliputi hubungan antara

individu (perseorangan), badan hukum ataupun masyarakat sebagai suatu

kolektivitas atau masyarakat hukum dengan tanah yang mengakibatkan

hak-hak dan kewajiban terhadap tanah.

3. Nadir wakaf : Kata nadir secara etimologi berasal dari kata kerja nadzira

– yandzaru yang berarti “menjaga” dan “mengurus”.18 Di dalam kamus

Arab Indonesia disebutkan bahwa kata nadir berarti; “yang melihat”,

“pemeriksa”.19 Dengan demikian kata nadir mempunyai arti pihak yang

melakukan pemeriksaan atau pihak yang memeriksa suatu obyek atau

sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek yang ada dalam pemeriksaannya

itu.

4. Secara sepihak, atau Perbuatan hukum sepihak oleh nadir adalah

perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan

hak dan kewajiban pada satu pihak pula, yaitu pada nadir.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan berorientasi pada pengumpulan data empiris

yaitu lapangan, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah penelitian

kualitatif, karena kualitatif memuat tentang prosedur penelitian yang

menghasilkan deskriptif berupa tulisan atau perkataan dari orang-orang atau

18 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum Agraria Nasional (Jakarta: Tatanusa, 2003), 97.

(22)

14

pelaku yang diamati. Dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field

research) yang bisa memfokuskan pada kasus yang terjadi di lapangan. Karena

kasus yang terjadi adalah sejak tahun 30 tahun lalu, maka teknik untuk

mendapatkan data diperoleh dari wawancara / interview dan dokumentasi.

Adapun metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Data yang Dikumpulkan

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini diantaranya adalah

sebagai berikut:

a. Data yang berkaitan dengan pengelolaan wakaf di Yayasan Masjid

Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya

b. Data tentang Hukum Islam terhadap Penguasaan Tanah Wakaf di

Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya

c. Data tentang Undang-undang No. 41 Tahun 2004 terhadap

Penguasaan Tanah Wakaf di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling,

Surabaya

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber data Primer dan

(23)

15

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber pertama di mana sebuah

data dihasilkan, yaitu sumber yang terkait secara langsung.20 Yang

meliputi : Data dari Waqif, data Nadir, data Saksi, Data Masyarakat,

KUA, serta data Ahli Waris.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber dari bahan bacaan yang

bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi serta

memperkuat data. Memberikan penjelasan mengenai sumber data

primer, berupa buku daftar pustaka yang berkaitan dengan objek

penelitian.21

Data Sekunder diperoleh dari Analisi UU No. 41 Tahun 2004

tentang Wakaf serta Hukum Islam, dan dari buku reverensi serta

Sumber yang didapat dari lapangan yang berupa data desa.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian,

penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Metode Interview (Wawancara).

Wawancara atau interview dilakukan untuk mendapatkan

informasi secara langsung dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan kepada responden yaitu dari Waqif, Nadir, Saksi, Ahli

20 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial (Surabaya : Airlangga University Press, 2001), 129.

(24)

16

Waris, KUA, dan Masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan akan dibuat

secara terstruktur agar lebih mudah bagi peneliti dalam

menyimpulkan hasil.

Dalam hal ini penulis menggunkan metode wawancara untuk

memperoleh data yang lebih intensif dari beberapa responden yang

bersangkutan, metode yang digunakan oleh penulis dengan

mengajukan beberapa pertanyaan atau wawancara secara langsung

dengan beberapa responden dengan tujuan untuk mempermudah

penulis mengambil kesimpulan.

b. Dokumentasi

Teknik pengumpulan data yang diambil dari sejumlah besar

faktadan data yang tersimpan dalam bahan yang berbentuk

dokumentasi.22 Pengambilan data penelitian ini diperoleh melalui

dokumen-dokumen serta data-data di Kelurahan Tegalsari

Kecamatan Pandigiling, Surabaya.

Penulis menggunakan metode Dokumentasi yang diperoleh

dari data-data dari Desa untuk mempermudah penulis

menggambarkan fakta-fakta yang ada dilapangan untuk dijadikan

bahan penunjang selanjutnya.

4. Teknik Pengelolaan Data

Maka dilakukan analisis data dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut:

(25)

17

a. Organizing adalah suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan,

pencatatan, dan penyajian fakta untuk tujuan penelitian.23

b. Editing adalah kegiatan pengeditan akan kebenaran dan ketepatan

data tersebut.24

c. Coding adalah kegiatan mengklasifikasi dan memeriksa data yang

relevan dengan tema penelitian agar lebih fungsional.25

5. Teknik Analisis Data

Setelah penulis mengumpulkan data yang dihimpun, kemudian

menganalisisnya dengan menggunakan teknik deskriptif.

Deskriptif yaitu menggambarkan / menguraikan suatu hal menurut

apa adanya yang sesuai dengan kenyataannya.26 Data tentang Penguasaan

Tanah Wakaf di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya akan

dipaparkan untuk mengambil kesimpulan.

Pola pikir yang dipakai adalah induktif, yaitu berangkat dari data

yang sudah ada dilapangan yang digunakan untuk mengemukakan

fakta-fakta atau kenyataan dari hasil penelitian di Kelurahan Tegalsari

Kecamatan Pandegiling Kabupaten Surabaya, kemudian ditinjau dari segi

hukum Perwakafan lalu dianalisa dengan Undang-Undang Perwakafan

Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf serta Hukum Islam.

23 Sony Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2004), 89. 24 Ibid., 97.

25 Ibid., 99.

(26)

18

I. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan ini akan ada beberapa bab, yang pada bab pertama

berisi pendahuluan. Dalam bab ini berisi tentang pokok-pokok pikiran atau

landasan permasalahan yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini, sehingga

memunculkan gambaran isi tulisan yang terkumpul dalam konteks penelitian

(1) Identifikasi Masalah, (2) Pembatasan Penelitian, (6) Kegunaan hasil

Penelitian, (7) Definisi Operasional, (8) Metode Penelitian, dan (9)

Sistematika Pembahasan.

Kemudian dalam bab dua menjelaskan tentang wakaf dalam Hukum

Islam dan Tanah Wakaf berdasarkan UU No. 41 Tahun 2004 Tetang Wakaf.

Dalam Bab ini terdiri dari 2 sub bab yaitu berdasarkan Hukum Islam dan

berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang perwakafan, yang

terdiri dari : a) Wakaf, meliputi : (1) Pengertian wakaf, (2) Dasar hukum

wakaf, (3) Syarat dan rukun wakaf, (4) Macam-macam wakaf ; dan b) Nadir,

meliputi : (1) Pengertian Nadir, (2) Syarat Nadir, (3) Tugas Nadir (4)

Kewenangan Nadir, dan (7) Hak yang diterima oleh Nadir.

Sedangkan pada bab tiga menguraikan Perbuatan Penguasaan Tanah

Wakaf oleh Nadir di Masjid Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya. Dalam bab

ini terdiri dari data yang memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh peneliti tentang Praktik Penguasaan Tanah Wakaf oleh Nadir yang dibagi

menjadi 5 sub bab yaitu (1) Profil Yayasan Masjid Al-Mustajabah, (2)

Pengelolaan Tanah Wakaf oleh Nadir di Yayasan Masjid Al-Mustajabah yang

(27)

19

Kecamatan Pandigiling Kabupaten Surabaya, (3) Akibat Hukum penguasaan

tanah wakaf secara sepihak oleh nadir di Yayasan Masjid Al-Mustajabah yang

terletak di di Jl. Pandegiling Gang Tengah No. 15 Kelurahan Tegalsari

Kecamatan Pandigiling Kabupaten Surabaya,

Berlanjut pada bab empat tentang Analisis Tinjauan Hukum Islam dan

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Terhadap Penguasaan Tanah Wakaf

Secara Sepihak oleh Nadir di Yayasan Masjid Al-Mustajabah Pandigiling,

Surabaya. Dalam Bab ini terdiri dari 2 sub bab yaitu (1) kasus dan Duduk

Perkara Penguasaan Tanah Wakaf (2) analisis berdasarkan UU No.41 Tahun

2004 tentang wakaf dan hukum Islam terhadap penelitian lapangan tentang

Penguasaan Tanah Wakaf Secara Sepihak oleh Nadir di Yayasan Masjid

Al-Mustajabah Pandigiling, Surabaya.

Terakhir adalah bab lima adalah penutup. Dalam bab ini terdiri dari 2

sub bab yaitu (1) kesimpulan-kesimpulan, (2) saran-saran, selain dari itu dalam

bab terakhir ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran

(28)

BAB II

WAKAF DALAM HUKUM ISLAM DAN TANAH WAKAF BERDASARKAN UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF

A. Wakaf

Wakaf telah dilakukan umat manusia sudah lama sekali, bahkan

sebelum Islam muncul. Sekilas dalam masyarakat non-Muslim pra-Islam

Sejarah mencatat karena umat manusia sebelum Islam telah menyembah

tuhan yang mereka yakini, maka hal ini mendorong mereka untuk membangun

tempat khusus untuk peribadatan yang dibangun diatas sebidang tanah dan

sekaligus hasil bumi yang dihasilkannya diberikan kepada orang yang

mengurusi tempat ibadah tersebut. Bentuk ini merupakan contoh wakaf atau

yang menyerupainya.1

Dilanjut wakaf dalam masyarakat Barat Modern, Peranan Inggris dan

Perancis dalam wakaf memang diakui yaitu dengan dibuatnya undang-undang

batasan wakaf terutama yang bersangkutan dengan masalah gereja, biara dan

tempat peribadatan lainnya. Setelah Imperium Romawi barat dan

peradabannya runtuh, maka satu-satunya bentuk wakaf yang berada di Eropa

adalah gereja. Dan pada abad ke-13, barulah muncul wakaf-wakaf dalam

bidang sosial (khoiriyah) yang berkembang di Eropa tengah (Jerman).2

1 Al-Waqof wa Dauruhu fi Tanmiyah al-Mujtama’ al-Islami, (Muhammad Dasuqi), jilid I (Kementrian Wakaf Mesir), 33-36.

(29)

21

Sedangkan dalam sejarah Islam, menurut pendapat yang mengatakan

bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Adam, dan kaidah-kaidahnya ditetapkan

oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, serta dilestarikan oleh Nabi Muhammad

Saw, maka dengan demikian Ka’bah merupakan wakaf pertama yang dikenal

oleh manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama. Sedangkan

menurut pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim yang membangun

Ka’bah, maka Ka’bah merupakan wakaf pertama kali dalam Islam, yaitu

agama Nabi Ibrahim yang benar, atau wakaf pertama untuk kepentingan

agama Islam. Hal ini berdasar Q.S. Ali-Imron ayat 96 :

َ نِإ َ َ َنِ َ ٰ َعۡ ِ لَىم ُهَوَ مَٗر َ ُمََ َِبَيِ َََ ِس ِ ََعِضُوَل ۡيَبَ َل وَث ٩٦َ

َ

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia3

Terlepas dari perbedaan di atas, menurut Mundzir Qahaf, wakaf di

zaman Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian

Muhammad di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid Quba’,

yaitu masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama, agar menjadi

wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama. Peristiwa ini terjadi

setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang

berasal dari Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan Masjid

Nabawi yang dibangun di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli

(30)

22

oleh Rasulullah dengan harga delapan ratus dirham. Dengan demikian,

Rasulullah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid.4

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW

karena wakaf disyariatkan setelah Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada

tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli

yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan

syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang

pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yakni wakaf milik

Nabi Muhammad SAW untuk dibangun masjid.5

Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin

Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: dan diriwayatkan dari Umar

bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata: “kami bertanya tentang

mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf

Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah

SAW”.6

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, dimulainya masa kenabian

Muhammad SAW. inilah kata wakaf itu mulai digunakan oleh umat muslim

yang kemudian ditiru oleh semua umat Islam diseluruh dunia.

4 Mundir Qahaf, Al-Waqf al-Islami Tatawwuruhu, Idaratuhu, Tanmiyatuhu (Dimasyq Syurriah: Daral Fikr, 2006), 12.

(31)

23

1. Pengertian Wakaf

Kata “Wakaf” atau “Waqf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”.

Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di

tempat” atau “tetap berdiri”.7 Sedangkan menurut istilah syarak, ialah

menahan suatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil menfaatnya untuk

kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya,

artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi

hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.8 Untuk menyatakan

terminologi wakaf para ahli fiqh menggunakan dua kata yaitu h{abs dan

waqaf, karena itu sering digunakan kata seperti h{abasa atau ah{basa dan

auqa<fa untuk menyatakan kata kerjanya. Sedangkan wakaf dan h{abs

adalah kata benda dan jamaknya adalah awqa>f, ah{ba>s, dan mah{bu>s. Namun

intinya al-h{absu maupun al-waqf sama-sama mengandung makna al-imsak

(menahan), al-man’u (mencegah) dan at-tamakhust (diam). Disebut

menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan, dan semua

tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.9

Sedangkan untuk makna wakaf secara istilah ulama berbeda

pendapat.

7 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), 1. 8 Muhammad Yazid, Hukum Ekonomi Islam : Fiqh Muamalah (Surabaya : UIN Sunan Ampel Pers, 2014), 264.

(32)

24

a. Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan harta dari otoritas kepemilikan orang yang

mewakafkan dan menyedekahkan kemanfaatannya barang wakaf tersebut

untuk kebaikan. Berdasarkan pengertian tersebut, wakaf tidak

memberikan konsekuensi hilangnya barang yang diwakafkan dari

kepemilikan orang yang mewakafkan. Dia (orang yang mewakafkan)

boleh saja mencabut wakaf tersebut, boleh juga menjualnya. Sebab,

pendapat yang paling shahih menurut Abu Hanifah adalah bahwa wakaf

hukumnya ja>’iz (boleh), bukan lazim (wajib, mengandung hukum yang

mengikat). Wakaf hanya mempunyai hukum lazim karena salah satu dari

tiga perkara.10

1) Jika yang memutuskan adalah hakim al-Muwalla (hakim yang

diberi wewenang untuk menangani urusan umat), bukan hakim

al-Muhakkam (hakim penengah persengketaan). Ilustrasinya, orang

yang mewakafkan harta bersengketa dengan pengawas wakaf.

Persengketaan ini terjadi karena orang yang mewakafkan ingin

mencabut wakaf dengan alasan wakaf tidak bersifat lazim,

kemudian hakim al-Muwalla memutuskan kelaziman wakaf

tersebut, maka hukum wakaf tersebut menjadi lazim. Hukumnya

seperti ini karena ini adalah masalah ijtihad (berdasarkan nash yang

(33)

25

tegas dari Al-Qur’an dan sunnah), sementara hukum, keputusan

hakim bisa menyelesaikan, menghilangkan perselisihan.11

2) Atau jika orang yang mewakafkan mengaitkan wakaf tersebut

dengan kematiannya. Misalnya dia mengatakan, “Jika saya mati

maka saya akan mewakafkan rumah saya—misalnya—untuk ini,”

wakaf dalam kasus ini seperti wasiat sepertiga harta yang harus

dilaksanakan setelah mati, bukan sebelumnya.12

3) Jika yang mewakafkan menjadikan barang tersebut wakaf untuk

masjid, memisahkannya dari kepemilikan (properti)nya,

mengizinkan untuk dijadikan shalat di dalamnya. Jika seseorang

yang telah shalat di dalamnya, kepemilikan baranng tersebut

menjadi hilang dari pemiliknya (orang yang mewakafkan) menurut

Abu Hanifah. Pemisahan dari kepemilikannya di sini disyaratkan

adalah karena orang tersebut hanya bisa ikhlas, memurnikan niat

kepada Allah dengan cara ini. Sedangkan syarat shalat di dalamnya

adalah karena menurut Abu Hanifah dan Muhammad, lepasnya

kepemilikan (termasuk pewakaf) harus dengan penyerahan.

Penyerahan sesuatu adalah bergantung macam barang tersebut.

Dalam kasus wakaf masjid adalah dengan shalat di dalamnya.13

(34)

26

b. Mayoritas Ulama

Mereka adalah dua murid Abu Hanifah—pendapat keduanya

dijadikan fatwa dikalangan madzhab Hanafiyah, Madzhab Syafi’i, dan

madzhab Hanbali menurut pendapat yang paling shahih.14

Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan sementara

barang tersebut masih utuh, dengan menghentikan sama sekali

pengawasan terhadap barang tersebut dari orang yang mewakafkan dan

lainnya, untuk pengeolaan yang diperbolehkan dan riil, atau pengelolaan

revenue (penghasilan) barang tersebut untuk tujuan kebajikan dan

kebaikan demi mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar ini, harta

tersebut lepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan dan menjadi

tertahan dengan dihukumi menjadi milik Allah, orang yang mewakafkan

terhalang untuk mengelolanya, penghasilan dari barang tersebut harus

disedekahkan sesuai dengan tujuan pewakafan tersebut.15

c. Madzhab Maliki

Wakaf adalah si pemilik harta menjadikan hasil dari harta yang dia

memiliki—meskipun kepemilikan itu dengan cara menyewa—atau

menjadikan penghasilan dari harta tersebut, misalnya dirham, kepada

orang yang berhak dengan suatu sighat (akad, pernyataan) untuk suatu

tempo yang dipertimbangkan oleh orang yang mewakafkan. Artinya, si

pemilik harta menahan hartanya itu dari semua bentuk pengelolaan

(35)

27

kepemilikan, menyedekahkan hasil dari harta tersebut untuk tujuan

kebaikan, sementara harta tersebut masih utuh menjadi milik orang

mewakafkan, untuk satu tempo tertentu. Wakaf di sini tidak disyaratkan

untuk selamanya.16

Wakaf menurut Malikiyah tidak memutus (menghilangkan) hak

kepemilikan barang yang diwakafkan, namun hanya memutus hak

pengelolaannya.17

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun

2004 Tentang Wakaf menyebutkan bahwa : “wakaf adalah perbuatan

hukum wa<qif untuk memisahkan dan-atau menyerahkan sebagian harta

benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu

tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau

kesejahteraan umum menurut syariah.

2. Dasar Hukum Wakaf

Dalil-dalil yang dijadikan sandaran atau dasar hukum wakaf dalam

Agama Islam adalah :18

َلَ َْا ُ َ َت ٱ َ ِبۡل َ َ نِ َفَلء ۡ َََ ِمَْا ُقِف ُتَ َمَوََۚن ُ ِ َُُ ِ َْا ُقِف ُتَٰ ََح ٱ ََ ّ َ ِ ِب ۦَ َٞ يِ َع ٩٢َ َ

Artinya : kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (Q.S. Ali Imron : 92)

16 Ibid., 272. 17 Ibid.

18Mujamma’ Khadim al-Haramainasy-Syarifain al-Malik Fahd li-Thiba’at al-Mushhafasy-Syarif,

(36)

28 َ ُيَأٓ َي َٱ ََ يَِ َ ََ ِ مَ ُكَلَ َ ۡجَ ۡخَثَك ِ َوَۡ ُ ۡب َسَكَ َمَ ِ ٰ َبِ ي َطَ ِمَْا ُقِفنَثَْاك ُ َماَء ٱ َ ِضَۡ ۡۡ َ َْا ُ َيَتَََوَ ٱ ََ يِ َۡۡ َ َ ُ ۡسَ َوََن ُقِف ُتَُ ۡ ِم ا ََوَِۚ يِفَْا ُضِ ۡغُتَنَثَك َِإَِ يِ ِخ ٱ َْاك ُ َ ۡع َ َ نَث ٱ ََ ّ َ َي ِنَغ َ ٌَ يِ ََ ٢٦٧ َ َ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q. S. Al-Baqoroh: 267) .... َ ََ َلَْا ُنَو َعَتَو ٱ َِ ِبۡل َََو ٱ َ ٰىَ ۡق ت َ ََ َلَْا ُنَو َعَتَ َََو ٱ َِ ۡثِۡۡ َََو ٱ َِۚنٰ َوۡ ُعۡل َََو ٱ َْا ُق ت َٱ َ َ ّ َ َ نِإ ٱ ََ ّ َ َُ يِ َش ٱ َِب َقِعۡل َ٢َ َ

Artinya : ... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q. S. Al-Maidah: 2)

Sedangkan dalam Hadist, sabda Nabi Muhammad yang dijadikan

dasar Hukum Wakaf adalah :

َ عَ ن

َ نبا

َ لا قَا مُه عَُهاَ ي ض رَ ر مُع

:

َ با ص أ

اًض ر أَ ر مُع

َ ر ب ي ِ

ى ت أ ف

َ ِّ لا

َُهاَىل ص

َ ه ي ل ع

َُُر م أ ت س يَ مل س و

ا ه ي ف

َ وَُط قَ ًًا مَ ب صُأَ ََ ر ب ي َِاًض ر أَُت ب ص اَ ِّ إَ, هاَ لوُس رَا يَ:َ لا ق ف

َُسُف ن ا

َ ت ئ شَ ن إَ:َمّلسوَهيلعَهاَىّلصَ هاَ ل وُس رَُه لَ لا ق فَ؟ ه بَ ُِرُم أ تَا م فَُه مَ ي د عَ

َ َِا َِ قد ص ت وَ؟ُث ر وُ تَ ً وَُعا بُ ت ًَا ه ن أَ:َ ر مُعَا َِ قد ص ت فَ.ا ه بَ ت ق د ص ت وَا ه لص أَ ت ب س ح

َ ب رُق لاَ ِ وَ ءا ر قُف لا

َا ه ي ل وَا مَى ل عَ حا ُج ًَ ف يضلا وَ ل ي بسلاَ ن با وَ هاَ ل ي ب سَ ِ وَ با قّرلاَ ِ وَ

َ ر ي غَ م ع ط ي وَ ف وُر ع م لا بَا ه مَ لُك أ يَ ن أ

. ٍلّو م تُم

)

اور

ىراخبلا

(

19

“Riwayat Ibnu Umar r.a., dia berkata, ‘Umar telah mendapatkan sebidang tanah dari Khaibar. Lalu dia menghadap Rasulullah SAW. untuk minta pertimbangan tentang tanah itu, maka ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah

19 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja’fi, Al-Jami’ Al-Musnid Al-Shahih

(37)

29

di Khaibar dan aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dirinya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehungungan dengan hal tersebut?’ Lalu Rasulullah SWA. berkata kepadanya, ‘jika engkau suka, tahankah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya.’ Umarpun menyedekahkan manfaatnya dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak diberikan, dan tidak diwariskan. Tanah itu diwakafkan untuk orang-orang fakir, kaum kerabat, memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara ma’ruf dan juga memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri. (H.R. Bukhori)20

3. Syarat dan Rukun Wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan

syarat-syaratnya. Jumhur ulama menyebutkan bahwa rukun wakaf ada 4 (empat)

dengan syarat-syarat sebagai berikut :21

a. Wa<qif, yakni orang yang menyerahkan wakaf

Orang yang mewakafkan (wa<qif) disyaratkan cakap bertindak

dalam membelanjakan hartanya, kecakapan bertindak di sini meliputi 4

(empat) kriteria, yakni :

1) Merdeka, wakaf yang dilakukan oleh seorang budak tidak sah,

karena wakaf adalah penggunaan hak milik dengan cara

memberikan hak milik itu kepada orang lain, sedangkan budak tidak

mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah

kepunyaan tuannya.

(38)

30

2) Berakal sehat, wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah

hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan cakap

melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian pula wakaf orang

yang lemah mentalnya (idiot), berubah akal karena faktor usia,

hukumnya tidak sah, karena akalnya tidak sempurna dan tidak

cakap untuk menggugurkan hak milkinya.

3) Dewasa (baligh), wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum

dewasa hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap

melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak

miliknuya.

4) Tidak berada dibawah pengampuan, baik karena boros atau lalai.

Karena oarang yang dibawah pengampunan dipandang tidak cakap

untuk berbuat kebaikan, maka wakaf yang dilakukan hukumya

tidak sah.22

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004, dijelaskan bahwa

wa<qif yaitu pihak yang mewakafkan harta benda miliknya meliputi

perorangan, organisasi, dan badan hukum. Yang dimaksud wa<qif

perorangan adalah Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing,

wa<qif organisasi adalah organisasi Indonesia atau asing, dan wa<qif badan

hukum adalah badan hukum Indonesia badan hukum asing. Dengan

(39)

31

demikian orang asing, organisasi asing, dan badan hukum asing dapat

mewakafkan harta bendanya di Indonesia.23

b. Mauqu>f ‘alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf

Mauqu>f ‘alaih yaitu orang atau badan hukum atau tempat-tempat

ibadah yang berhak menerima dari harta wakaf.24 Adapun syarat-syarat

mauqu>f ‘alaih ialah :

1) Harus dinyatakan secara tegas dan jelas dikala mengikrarkan wakaf,

kepada siapa dan apa tujuan wakaf itu. Apabila wakaf itu wakaf

ahli, harus disebutkan nama dan sifat Mauqu>f ‘alaih secara tegas.

2) Tujuan dari wakaf tersebut harus untuk ibadah dan mengharapkan

balasan atau pahala Allah SWT.

3) Hendaknya orang yang diserahi (wakaf) ada ketika wakaf terjadi.

Kalau dia belum ada, misalnya mewakafkan sesuatu kepada anak

yang akan dilahirkan, maka tidak sah.

4) Hendaknya orang yang menerima wakaf itu mempunyai kelayakan

untuk memiliki. Dengan demikian tidak sah memberikan wakaf

kepada binatang.

5) Hendaknya jelas orangnya dan bukan tidak diketahui. Jadi kalau

seorang mewakafkan kepada seorang laki-laki atau perempuan

(tanpa disebutkan jelas siapa orangnya) seperti orang bodoh.

23 Mubarok, wakaf Produktif (Bandung : Simbiosa Rikatama Media, 2008), 137.

(40)

32

6) Wakaf harus ditujukan untuk perkara yang baik, bukan yang

dilarang oleh agama. Karena itu haram hukumnya wakaf kepada

perkara yang berbentuk maksiat atau mengandung unsur-unsur

kemaksiatan, seperti : membangun tempat ibadah bagi orang kafir,

bangunan yang menghalangi jalan, alat tajam, karena hal itu

mengarah kepada kemaksiatan.25

Helmi Karim mengemukakan, bahwa berkaitan dengan mauqu>f

‘alaih ini, maka sasaran wakaf, dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Wakaf untuk mencari keridhaan Allah SWT. Wakaf jenis ini

tujuannya adalah untuk memajukan agama Islam atau kerana

motivasi agama. Contohnya adalah berwakaf untuk kepentingan

rumah ibadah kaum Muslimin.

2) Wakaf untuk meringankan atau untuk membantu seseorang atau

orang-orang tertentu atau masyarakat bukan karena motivasi

agama. Contohnya adalah berwakaf untuk fakir miskin atau

berwakaf untuk keluarga. Dalam sasaran wakaf ini, yang perlu

digaris bawahi ialah bahwa wakaf tidak boleh dilakukan untuk

hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan agama Islam.26

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 Pasal 22, dijelaskan

bahwa peruntukan harta benda wakaf adalah untuk sarana dan kegiatan

ibadah; sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada

25 Ibid., 138.

(41)

33

fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan

peningkatan ekonomi umat, dan/atau; kemajuan kesejahteraan umum

lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan

perundang-undangan.27

c. Mauqu>f’bih, yakni benda/harta atau manfaat yang diwakafkan.

Para Fuqaha menyepakati bahwa barang yang diwakafkan

disyaratkan berupa harta yang bisa diperkirakan nilainya, diketahui, dan

dimiliki oleh orang yang wakaf secara sempurna. Artinya, tidak ada unsur

khiya>r di dalamnya.28

Kalangan Hanafiyyah mengatakan bahwa barang wakaf

disyaratkan empat hal, yakni :

1) Hendaklah barang yang diwakafkan berupa harta yang bisa diukur

nilainya dan berupa pekarangan. Wakaf barang yang tidak bergerak

tidak sah, jika itu memang dimaksudkan sejak awal. Sebab,

keabadian adalah syarat bolehnya wakaf. Wakaf barang bergerak

tidak bisa untuk selamanya, karena ia mendekati kepunahan.

Namun, wakaf barang itu boleh jika mengikuti yang lain seperti

wakaf hak-hak bersama. Misalnya minum, perairan, dan jalan yang

mengikuti tanah.

2) Hendaklah barang yang diwakafkan itu diketahui. Adakalanya

dengan menentukan ukurannya, seperti wakaf seribu meter persegi

27 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

(42)

34

tanah atau menentukan persentase dari suatu barang tertentu,

seperti setengan tanah di suatu daerah. Oleh karena itu, wakaf

barang yang tidak diketahui hukumnya tidak sah, sebab

ketidaktahuan menyebabkan perselisihan.

3) Hendaklah barang yang diwakafkan adalah milik penuh orang yang

wakaf ketika ia mewakafkan. Artinya, tidak ada khiya>r di

dalamnya.

4) Hendaklah barang yang diwakafkan sudah dibagi, bukan milik

umum. Ini jika barang itu bisa dibagi. Sebab, penyerahan barang

yang diwakafkan adalah syarat bolehnya wakaf menurut

Muhammad, kepemilikan umum menghalangi penerimaan dan

penyerahan.

Abu Yusuf, kalangan Syafi’i, dan Hambali tidak mensyaratkan hal

ini. Oleh karena itu, mereka membolehkan wakaf barang milik umum.

Sebab, penyerahan sama sekali bukan merupakan syarat, dengan dalil

Umar mewakafkan seratus bagiannya dari hasil Perang Khaibar.29

Sedang dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

pada pasal 15 menjelaskan bahwa : harta benda wakaf hanya dapat

diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wa<qif secara sah. Dalam

Pasal 16 ayat (1) pula dijelaskan, harta benda wakaf terdiri dari : benda

tidak bergerak, dan benda bergerak.

(43)

35

Yang dimaksud dengan barang tidak bergerak ialah meliputi : (a)

hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; (b) bengunan atau

sebagian bangunan yang berdiri di atas tanah; (c) tanaman dan benda lain

yang berkaitan dengan tanah; (d) hak milik atas satuan rumah susun sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (e) benda

tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan maksud dari benda

bergerak yang dimaksud adalah harta benda yang tidak bisa habis karena

konsumsi, meliputi : uang; logam; surat berharga; kendaraan; hak atas

kekayaan intelektual; hak sewa; benda bergerak lain sesuai dengan

ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.30

d. Sighat atau ikrar, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak

wa<qif.

Sighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang

yang berakad untuk menyatakan kehendaknya dan menjelaskan apa yang

diinginkannya. Namun sighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wa<qif

tanpa memerlukan qabul dari Mauqu>f ‘alaih. Begitu juga qabul tidak

menjadi syarat untuk berhaknya Mauqu>f ‘alaih memperoleh manfaat

harta wakaf, kecuali pada waktu yang tidak tertentu. Ini menurut pendapat

sebagian madzhab.31

30 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

(44)

36

Di samping itu, semua ulama bersepakat bahwa syarat sahnya

sighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan terdapat empat macam

yaitu :

1) Sighat harus munjazah (terjadi seketika/selesai), maksudnya ialah

sighat tersebut menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf

seketika setelah sighat wakaf diucapkan atau ditulis tanpa

digantungkan, seperti ucapan : “jika zaid datang maka akan aku

wakafkan ini untuk ini”.

2) Sighat tidak diikuti syarat batil (palsu), maksudnya ialah syarat

yang menodai/mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya

yakni kelaziman dan keabadian.

3) Sighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu dengan kata lain

wakaf tersebut tidak untuk selamanya.

4) Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali

wakaf yang sudah dilakukan.32

4. Macam-macam Wakaf

Secara umum, wakaf dapat diklasifikasikan menjadi bebrapa

macam, sebagai berikut :

a. Dilihat dari tujuannya

Sighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang

yang berakad untuk menyatakan kehendaknya dan menjelaskan apa yang

(45)

37

diinginkannya. Namun sighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wa<qif

tanpa memerlukan qabul dari Mauqu>f ‘alaih. Begitu juga qabul tidak

menjadi syarat untuk berhaknya Mauqu>f ‘alaih memperoleh manfaat

harta wakaf, kecuali pada waktu yang tidak tertentu. Ini menurut pendapat

sebagian madzhab.33

1) Wakaf ahli

Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu,

seseorang atau lebih, keluarga si wa<qif atau bukan. Wakaf seperti

ini juga disebut wakaf Dzurri.34

2) Wakaf khairi

Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama

(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebijakan umum). Seperti

wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,

sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain

sebagainya.35

3) Wakaf mustharak (campuran)

Yaitu wakaf yang tujuan peruntukannya sebagian untuk

kepentingan keluarga dan sebagian yang lain untuk masyarakat

umum. Contohnya, wakaf tanah pertanian dimana sebagian dari

(46)

38

hasilnya ditujukan untuk anak cucu sementara sebagian lagi untuk

tujuan masyarakat umum.36

b. Dari segi bergerak atau tidaknya

1) Benda yang tidak bergerak, seperti tanah, sawah, dan bangunan.

Benda semacam inilah yang sangat dianjurkan agar diwakafkan,

karena mempunyai nilai jariyah yang lebih lama.

2) Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau

benda-benda lainnya. Yang terakhir ini dapat juga diwakafkan.

Namun demikian, nilai jariahnya terbatas sehingga benda tersebut

tidak dapat dipertahankan. Bagaimanapun juga, apabila

benda-benda itu tidak dapat lagi dipertahankan keberadaannya, maka

selesailah wakaf tersebut. Kecuali apabila masih memungkinkan

diupayakan untuk ditukar atau diganti dengan benda baru yang

lain.37

c. Dari segi waktu

1) Wakaf muabbad (selamanya) adalah wakaf yang berlaku

selama-lamanya tanpa dibatasi waktu. Menurut Syafi’iyah dan Hanabillah,

bahwa harta wakaf itu putus dari hak milik si wa<qif dan menjadi

milik Allah atau milik umum, setelah ikrar wakaf diucapkan. Ia

tidak dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan dan

mewariskan. Jadi benda wakaf berlaku selama-lamanya.

36 Muh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II (Surabaya : UIN Sunan Ampel Pers, 2014), 142.

(47)

39

2) Wakaf mu’aqqat (dalam jangka waktu tertentu) adalah wakaf yang

dibatasi waktunya, seperti satu tahun, dua tahun, dan setersunya.

Menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, bahwa wakaf boleh untuk

selamanya, juga boleh dalam waktu tertentu seperti satu tahun, dua

tahun. Bila wakaf sudah habis, maka harta wakaf kembali menjadi

milik si wa<qif kalau ia masih hidup dan menjadi milik ahli waris

bila ia telah meninggal dunia.38

d. Dari segi penggunaan harta yang diwakafkan

1) Wakaf mubashir dhati, yaitu harta wakaf yang menghasilkan

pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung, seperti

madrasah dan rumah sakit.

2) Wakaf istithmari, yaitu harta benda wakaf yang ditujukan untuk

penanaman modal dalam produksi syara’ dalam bentuk apapun

kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan wa<qif.39

B. Nadir

1. Pengertian Nadir

Nadir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wa<qif

untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.40 Posisi

nadir mempunyai peranan yang sangat penting, sebab tujuan utama wakaf

38 Muh. Sholihuddin, Hukum Ekonomi dan Bisnis Islam II (Surabaya : UIN Sunan Ampel Pers, 2014), 143.

39 Ibid., 143.

(48)

40

dapat tercapai apabila terdapat nadir yang mampu melestarikan harta

pokok wakaf, mengembangkannya dan mendistribusikan hasil

pengelolaan wakaf sesuai dengan peruntukannya.

Untuk masalah ini, mazhab Maliki dan Syafii mempunyai pendapat

yang hampir sama :

a. Menurut Mazhab Maliki kedudukan wa<qif sesungguhnya hanyalah

sebagai pengawas belaka, sedangkan untuk mengelolanya perlu

diangkat badan tersendiri yang gunanya untuk memaksimalkan

manfaat dari harta wakaf tersebut, sehingga harta wakaf tidak

terlantarkan. Badan atau orang yang ditunjuk itulah yang selanjutnya

mengurus, memanfaatkan atau membagi – bagikan manfaat dari harta

wakaf yang biasanya disebut dengan nadir wakaf.41

b. Menurut Mazhab Syafi’i hak untuk mengurus harta wakaf bukan

berada ditangan wa<qif, kecuali ikrak wakaf memang disebutkan

demikian. Jika wa<qif tidak menentukan siapa yang ditunjuk untuk

mengurus harta wakafnya, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan.

Kemungkinan yang pertama pengelolaan tetap berada ditangan wa<qif,

sebab dia adalah orang yang berkepentingan agar tujuan wakaf

terwujud dengan maksimal sehingga pahala yang mengalir kepadanya

semakin besar. Kedua pengelolaan harta wakaf berada ditangan

pemakai manfaat dari harta wakaf tersebut, sebab dia adalah pihak

yang menikmati hasil dan manfaat dari harta wakaf tersebut. Ketiga

(49)

41

pengelolaan harta wakaf brada ditangan pemerintah, sebab pemerintah

adalah pihak yang berkewajiban untuk menjaga hak- hak orang yang

berwakaf dan hak – hak para penerima manfaat dari harta wakaf

tersebut.42

Ketika dalam praktek perwakafan wa<qif tidak menunjuk seseorang

untuk mengurusi harta wakaf tersebut, maka yang bertugas menjadi nadir

adalah wa<qif itu sendiri. Jika orang yang berwakaf itu wafat maka hakim

menunjuk ahli warisnya untuk mengelola harta wakaf tersebut.

Nadir menurut PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal 4 ayat (1) memiliki

arti kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan

dan pengurusan harta benda wakaf.

Sedangkan pengertian nadir dalam KHI pasal 215 ayat (4) adalah

kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pengurusan dan

pemeliharaan harta benda wakaf.

Nadir menurut UU Nomor 41 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat (4)

dijelaskan Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari

Wa<qif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

2. Syarat Nadir

Kehadiran nadir sangat mempengaruhi keberlangsungan harta

wakaf. Oleh karena itu sebagai instrument penting dalam perwakafan,

nadir wakaf harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar

wakaf bisa diberdayakan sebagai mana mestinya.

(50)

42

Syarat nadir adalah hal-hal sebagai berikut :

a. Keadilan (sifat adil) yang tampak. Meskipun, wakaf diberikan kepada

orang-orang tertentu yang sudah dewasa. Sebab, pengawasan adalah

kekuasaan, sebagaimana orang mendapatkan wasiat dan orang yang

bertanggungjawab. Keadilan adalah konsistensi pada hal-hal yang

diperintahkan, menjauhi hal-hal yang dilarang secara syar’i. Ini adalah

syarat mayoritas ulama. Hanabilah mengatakan keadilan tidak

disyaratkan. Pengawasa yang fasiq bisa dibantu oleh pengawas yang

adil, sebagaimana pengawas yang lemah dibantu oleh pengawas yang

kuat.43

b. Kecakapan : ini adalah kekuatan diri, kemampuan untuk mengelola

apa yang menjadi pengawasannya, kriteria kecakapan tidak

memerlukan petunjuk pengelolaan barang wakaf. Kecakapan

menghendaki adanya sifat mukallaf yaitu balligh dan berakal.

Pengawas tidak disyaratkan laki-laki, sebab Umar memberi wasiat

kepada Hafshah.44

c. Islam. Ini jika orang yang mendapatkan wakaf Muslim, atau pihak

yang mendapatkan wakaf seperti masjid dan sebagainya, karena

firman Allah :

43 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 10, Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta : Gema Insani, 2011), 333.

(51)

43 ٱ ََ يَِ َ َ َ ِ مَ ٞحۡ َفَۡ ُكَلَ َن َََنِ َفَۡ ُكِبَ َن ُص بَ َََي ٱ َِ ّ َ َ َ يِ ِفَٰكۡ ِ ََنَََنَِۡ ُكَع مَ ُكَنَۡ َ َأَْاك ُ َق َ َ ِ مَ ُكۡعَ ۡ َنَوَۡ ُكۡيَ َعَۡمِ ۡحَ ۡسَنَۡ َ َأَْاك ُ َقَٞ ي ِصَن ٱ ََۚنِ ِمۡ ُۡ َََف ٱ َُ ّ َ ََمۡ َيَۡ ُكَ ۡيَبَُ ُكۡ ََ ٱ َ َلَوَِۗ َ ٰ َيِقۡل َ َ َعۡ ََ ٱ َُ ّ َ ََ َلََ يِ ِفَٰكِۡ ٱ ََنِ ِمۡ ُۡ َ َ اًيِبَس ١٤١َ

“....Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (An-Nisaa : 141)

Jika wakaf kepada orang kafir tentunya maka syarat pengawasan

boleh kepada orang kafir. Ini lah yang disebutkan oleh Hanabillah.

Hanafiyyah tidak mensyaratkan Islam dalam pengawas.

Sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang perwakafan

juga mengatur masalah syarat nadir yakni dalam pasal 9-14 dan pasal

42-46. Dalam Pasal 9 menyebutkan bahwa Nadir ada tiga, yakni :

perseorangan; organisasi; dan badan hukum.

Perseorangan hanya dapat menjadi Nadir apabila memenuhi

persyaratan : a) warga negara Indonesia; b) beragama Islam; c) dewasa; d)

amanah; e) mampu secara jasmani dan rohani; dan f) tidak terhalang

melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan untuk organisasi hanya dapat menjadi Nadir apabila

memenuhi persyaratan : a) pengurus organisasi yang bersangk

Referensi

Dokumen terkait

Pada masa ini pula ditanamkan proses berbahasa Indonesia yang baik, dan bahkan juga masa yang sesuai untuk belajar bahasa asing melalui pemerolehan bahasa (bukan melalui

Sehubungan dengan bentuk penyajian kesenian Angguk Sripanglaras, penulis mengharap kesenian ini untuk selalu dijaga kelestariannya dan juga dikembangkan, salah satunya

Dapatan kajian menunjukkan bahawa faktor penyumbang kepada wujudnya masalah membaca dalam kalangan murid darjah enam sekolah rendah kerajaan di Brunei Darussalam disebabkan oleh

Hal tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi sehingga dapat mengakibatkan ketidaksempurnaan pertumbuhan tubuh baik fisik maupun mental (Chinue,

(3) Daya Pembeda soal menunjukkan 33 butir soal atau 66% memiliki daya pembeda jelek, 11 butir soal atau 22% memiliki daya pembeda cukup, 3 butir soal atau 6% memiliki daya

Harga saham mencerminkan nilai dari suatu perusahaan. Jika perusahaan mencapai prestasi yang baik, maka saham perusahaan tersebut akan banyak diminati oleh para

Pada penelitian lain terhadap 100 pasien yang telah menjalani operasi inguinal yang diberikan MgSO 4 50 mg/kgBB 30 menit prainduksi didapatkan kebutuhan petidin sebagai

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran PKn dengan menggunakan pendekatan CBSA, sangat membantu siswa dalam pembelajaran