PEMBELAJARAN PADA MASA BANI ‘
ABBA<SIYAH
(750-1258 M)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh :
FIKA FITROTIN KAROMAH NIM. F03213046
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL --- i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN --- ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING --- iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI --- iv
PEDOMAN TRANSLITERASI --- v
ABSTRAK --- vi
KATA PENGANTAR --- vii
DAFTAR ISI --- --ix
BAB I PENDAHULUAN --- 1
A. Latar Belakang Masalah --- 1
B. Rumusan Masalah --- 8
C. Definisi Operasional --- 9
D. Tujuan Penelitian --- 11
E. Manfaat Penelitian --- 12
F. Metode Penelitian --- 12
G. Sistematika Penulisan--- 22
BAB II KAJIAN PUSTAKA --- 24
1. Pembelajaran Kontekstual --- 24
2. Pembelajaran Langsung (directinstruction) --- 32
3. Pembelajaran Kooperatif (cooperativelearning) --- 35
4. Pembelajaran Berbasis Masalah --- 39
B. Tinjauan Sejarah Pendidikan Pada Masa Bani ‘Abba>siyah --- 42
1. Gerakan Penerjemahan Buku-buku berbahasa Asing --- 42
2. Bai>t al-H{ikmah --- 44
3. Lembaga Pendidikan --- 45
BAB IIIPROFIL BANI ‘ABBA<SIYAH --- 54
A. Sejarah Berdirinya Bani ‘Abba>siyah --- 54
B. Kepemimpinan Bani ‘Abba>siyah --- 61
C. Kebangkitan Intelektual Pada Masa Bani ‘Abba>siyah --- 68
BAB IV PEMBELAJARAN PADA MASA BANI ‘ABBA<SIYAH DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN PADA MASA SEKARANG --- 79
A. Pembelajaran Pada Masa Bani ‘Abba<siyah --- 79
1.Pembelajaran di Kutta>b --- 79
2.Pembelajaran di Masjid --- 83
B. Relevansi Pembelajaran Pada Masa Bani ‘Abba<siyahdengan
Pembelajaran Pada Masa Sekarang --- -- 96
1. Pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz{a>miyah - 97 2. Pembelajaran Pada Masa Sekarang --- 104
3. Persamaan Pembelajaran Pada Masa Bani ‘Abba>siyah Dengan Pembelajaran Pada Masa Sekarang --- 114
4. Perbedaan Pembelajaran Pada Masa Bani ‘Abba>siyah Dengan Pembelajaran Pada Masa Sekarang --- 117
5. Relevansi Pembelajaran Pada Masa Bani ‘Abba>siyah Dengan Pembelajaran Pada Masa Sekarang --- 119
BAB V PENUTUP --- ---122
A. Kesimpulan --- --122
B. Saran --- 124
DAFTAR KEPUSTAKAAN --- - 126
ABSTRAK
Kata kunci: pembelajaran, Bani‘Abba>siyah
Sejarah telah mencatat bahwa masa Daulah‘Abba>siyah adalah masa keemasan Islam terutama dalam bidang pendidikan. Pada masa ini telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Pada umumnya pembelajaran yang digunakan pada masa Bani ‘Abba>siyah cenderung menggunakanparadigma pembelajaran yang terpusat pada guru (konservatif). Hal ini terlihat dari beberapa metode pembelajaran yang digunakan pada masa Bani
‘Abba>siyah,seperti: metode lisan, hafalan, pengulangan, dan tulisan.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah, karena pada masa tersebut dengan metode konservatif mampu melahirkan ilmuan muslim dari berbagai bidang keahlian. Sehingga hal ini menggugah penulis untuk melakukan penelitian tentang pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah dan mencari relevansinya dengan pembelajaran pada masa sekarang.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis. Data dan informasi yang didapatkan dari berbagai referensi akan diolah, dianalisis dalam rangka untuk menemukan pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah. Sedangkan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah contentanalysis. Teknik pengumpulan data dan informasi menggunakan metode dokumentasi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang berbeda dengan
ciptaan Allah SWT lainnya. Manusia satu-satunya ciptaan Allah SWT yang
paling dimuliakan dan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Kelebihan manusia
diantara makhluk lainnya ialah mempunyai akal dan daya kehidupan yang dapat
membentuk peradaban.
Manusia adalah makhluk yang selalu menginginkan kesempurnaan baik
secara lahir maupun batin. Untuk mencapai kesempurnaannya, manusia dituntut
untuk bergaul dengan orang lain dan alam semesta yang senantiasa
berubah-ubah, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
mempertahankan kehidupannya. Usaha-usaha untuk menemukan diri ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan rasa ingin tahunya dengan melakukan kegiatan
belajar.1
Manusia setiap saat membutuhkan pengetahuan dan pengalaman dari
alam semesta sampai ia menemukan cara bertindak yang tepat untuk
mempertahankan kehidupannya. Untuk kebutuhan belajar ini diperlukan
pengaruh dari luar. Pengaruh ini disebut dengan istilah pendidikan. Karenanya,
2
pendidikan adalah suatu yang esensial bagi manusia. Dengan pendidikan
manusia bisa belajar mempelajari alam semesta demi mempertahankan
kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan
pada kedudukan yang sangat penting dan tinggi.
Umat manusia dalam sejarahnya telah memperlihatkan tentang
pentingnya pendidikan. Hal ini dapat ditelusuri sejak dari masa rasul hingga
masa sekarang ini. Kegiatan yang dilakukan Rasullah seperti mengadakan ta’li>m (pembelajaran) kepada para sahabatnya, guna mengetahui ajaran-ajaran Islam.
Sehingga rasul membuat kompleks belajar Dar al-Arqa>m, ini semua merupakan
salah satu bukti besarnya perhatian rasul terhadap pendidikan.
Pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang pada masa
Khulafaur Rashidin, masa Bani Umayyah, dan masa Bani ‘Abba>siyah. Pada masa awal Daulah ‘Abba>siyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat pesat di seluruh negara Islam. Sehingga lahir beberapa lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal, seperti: kuttab, masjid, rumah
ulama, dan madrasah-madrasah yang tidak terhitung banyaknya. Bahkan
madrasah berdiri dari kota hingga ke desa. Anak-anak dan orang dewasa
3
pendidikan dengan meninggalkan kampung halaman mereka demi untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan.2
Masa Daulah ‘Abba>siyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa tersebut umat Islam telah
mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan
kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan,
ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke
bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan
cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin
ilmu pengetahuan.
Pendidikan anak-anak dimulai di rumahnya masing-masing, dan ada
pula yang belajar di Kutta>b. Ketika anak mulai bisa bicara, maka seorang ayah wajib mengajarinya untuk mengucapkan kalimat tauhid. Dan ketika ia berumur
enam tahun ia mesti diajari untuk melaksanakan salat wajib. Pada usia itu pulalah
dimulainya pendidikan formal.3
Di dalam pendidikan terdapat proses pembelajaran. Pembelajaran adalah
suatu proses yang kompleks yang di dalamnya melibatkan berbagai unsur yang
dinamis. Pembelajaran terjadi karena adanya interaksi antara beberapa unsur.
Adapun beberapa unsur tersebut antara lain: guru, peserta didik, metode
2 Ibid., 10.
4
pembelajaran, kurikulum, materi, serta lingkungan pembelajaran. Beberapa unsur
pembelajaran tersebut harus diperhatikan oleh guru dalam memilih atau
menentukan model pembelajaran.
Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari
awal sampai akhir mulai dari strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang
disajikan secara khas oleh guru. Merujuk pada hal ini perkembangan model
pembelajaran terus mengalami perubahan dari model tradisional menuju model
yang lebih modern (mutakhir). Model pembelajaran berfungsi untuk memberikan
situasi pembelajaran yang tersusun rapi untuk memberikan suatu aktivitas kepada
siswa guna mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran diartikan sebagai
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar dalam kegiatan proses pembelajaran.
Pada masa Bani ‘Abba>siyah terdapat beberapa lembaga pendidikan yang
dijadikan sebagai pusat pembelajaran. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut
dikelompokkan menjadi beberapa tempat berdasarkan jenjang pendidikannya,
mulai dari lembaga pendidikan tingkat rendah (Kutta>b), lembaga pendidikan
tingkat menengah (Masjid), dan lembaga pendidikan tingkat tinggi (Madrasah
Niz{a>miyah). Ketiga lembaga pendidikan ini menerapkan metode pembelajaran yang berbeda-beda yang disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran dan
5
Adapun model pembelajaran yang digunakan pada masa Bani
‘Abba>siyah cenderung menggunakan model pembelajaran yang terpusat pada guru (konvensional atau konservatif). Hal ini terlihat dari beberapa metode
pembelajaran yang digunakan pada masa Bani ‘Abba>siyah. Pada masa Bani
‘Abba>siyah metode pembelajaran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu lisan, hafalan, dan tulisan.
Pada metode lisan, antara lain berupa dikte, ceramah, qira’ah, dan
diskusi. Metode dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang
dianggap baik dan aman, karena dengan dikte ini murid mempunyai catatan yang
akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting, karena
pada masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang sulit dimiliki. Metode
ceramah disebut juga metode al-sama>’, sebab dalam metode ceramah guru menjelaskan isi buku dengan hafalan sedangkan murid mendengarkannya.
Metode qira’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca, sedangkan diskusi
merupakan metode yang khas pada masa ini.
Metode menghafal merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini.
Murid-murid harus membaca secara berulang-ulang pelajarannya, sehingga
pelajaran tersebut melekat pada benak mereka. Sebagaimana yang dijelaskan
6
sampai dia menghafalnya.4 Sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali dan mengkontekstualisasikan pelajaran yang dihafalnya.
Sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons, mematahkan
lawan atau memunculkan sesuatu yang baru.
Pada masa Bani ‘Abba>siyah, metode tulisan dianggap metode yang paling penting pada masa ini. Metode tulisan adalah pengkopian karya-karya
ulama. Dalam pengkopian buku-buku terjadi proses intelektualisasi hingga
tingkat penguasaan pengetahuan murid semakin meningkat. Metode ini
disamping berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan juga sangat
penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini belum
ada mesin cetak. Dengan pengkopian buku-buku, kebutuhan terhadap teks buku
sedikit teratasi.5
Diantara ciri khas pendidikan Islam periode klasik adalah teacher
oriented, bukan institution oriented. Kualitas suatu pendidikan tergantung kepada
guru, bukan kepada lembaga. Murid-murid bebas mengikuti suatu pelajaran yang
mereka kehendaki. Mereka memilih suatu pengajian berdasarkan guru atau
ulama yang mengajarnya, bukan lembaganya. Oleh karena itu, mereka tidak
4 George Maksidi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and The West (Edinburg: Edinburg University Press, 1981), 104.
7
harus belajar di masjid-masjid saja, tetapi bisa saja di perpustakaan, toko buku,
rumah ulama, atau tempat terbuka.6
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah adalah model pembelajaran konvensional atau konservatif. Pada proses pembelajaran konservatif dilakukan
sebagaimana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru
mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak
sebagai penerima. Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai
contoh bagi murid-muridnya.
Pada masa Bani ‘Abba>siyah pertemuan antara guru dan siswa dilakukan secara langsung dalam satu kelas yang menciptakan berbagai efek sosial maupun
psikologi bagi peserta didik tersebut. Tatap muka oleh guru dapat dirasakan
sebagai perhatian, teguran, maupun pengawasan. Sementara itu bahan-bahan
pembelajaran diberikan oleh guru setahap demi setahap, satu kalimat demi satu
kalimat dijelaskan oleh guru dengan intonasi tertentu. Sehingga siswa dapat
memahami dari intonasi-intonasi yang disampaikan olehnya.
Jika model pembelajaran konvensional diperhatikan secara lebih
seksama, dapat diketahui bahwa suatu proses pembelajaran tidak hanya
menekankan pada aspek ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki sejumlah
8
manfaat lain yang juga penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Akan
tetapi model pembelajaran konvensional saat ini telah banyak dikritik karena
pengembangan potensi siswa kurang diperhatikan. Fenomena-fenomena proses
pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah ini membuat penulis tergugah untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pembelajaran pada masa bani ‘Abba>siyah. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini penulis mengambil judul “Pembelajaran
pada masa Bani ‘Abba>siyah (750-1258 M)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rincian fenomena yang terdapat pada latar belakang
masalah di atas, maka selanjutnya peneliti akan merumuskan beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah ?
9
C. Definisi Operasional
Agar tidak terjadi salah pengertian dalam judul tesis ini, maka ditegaskan
beberapa istilah di bawah ini:
1. Pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani
‘Abba>siyah
Kutta>b adalah sejenis tempat untuk memberikan pelajaran tingkat rendah. Di Kutta>b hanya mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar menulis dan membaca. Al-Qur’an menjadi titik pusat pelajaran yang
diberikan di Kutta>b kepada peserta didik mulai dari membaca dan menulis teks Arab. Metode pembelajarannya menggunakan metode menghafal, lisan,
dan tulisan.
Masjid selain difungsikan sebagai tempat ibadah, Masjid dijadikan
tempat kegiatan proses belajar mengajar berlangsung. Pendidikan yang
bertempat di Masjid ini merupakan lanjutan dari pendidikan di Kutta>b (pendidikan tingkat menengah). Materi pelajaran yang diberikan oleh guru
kepada murid di masjid adalah pengembangan dari materi yang diberikan di
10
Madrasah Niz{a>miyah merupakan madrasah yang pertama kali muncul
dalam sejarah pendidikan Islam yang berbentuk lembaga pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi yang dikelola oleh pemerintah. Di Madrasah ini
materi pelajaran hanya fokus pada bidang kajian keagamaan khususnya
bidang fiqih bermadhhab Shafi’e dan teologi bermadhab Ash’ariyah. Metode
pembelajarannya cenderung menggunakan pola diskusi dan sejenisnya. Jadi
madrasah ini tidak mengkaji filsafat dan ilmu umum lainnya.
2. Bani ‘Abba>siyah
Kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu
kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam
sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi
keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya
dari Bani Umayyah dan menundukkan semua wilayahnya kecuali
Andalusia.7
Daulah ‘Abba>siyah didirikan oleh keturunan ‘Abba>s paman
Rasulullah, yaitu ‘Abdullah al-Saffa>h ibn Muhammad ibn Ali ibn ‘Abdullah
al-‘Abba>s. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi
pada masa-masa tersebut.
11
Popularitas Daulah ‘Abba>siyah mencapai puncaknya pada masa
khalifah Harun Al-Rashi>d (786 M-809 M) dan puteranya Al-Ma’mu>n (813
M-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rashi>d dan puteranya
Al-Ma’mu>n digunakan untuk kepentingan sosial, seperti lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasan. Al-Ma’mu>n
khalifah yang cinta kepada ilmu dan banyak mendirikan sekolah.8 Daulah ‘Abba>siyah berhasil menjalankan kekhalifahan Islam selama 5 abad yaitu
mulai dari tahun 750-1258 M.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah.
2. Mendeskripsikan relevansi pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah dengan pembelajaran pada masa sekarang.
12
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi tentang pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah.
b. Memberikan kontribusi secara ilmiah mengenai pembelajaran di Kutta>b,
Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah. 2. Manfaat praktis
a. Memberi pengalaman moril dan tambahan khazanah tentang pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz>{amiyah pada masa Bani ‘Abba>siyah.
b. Menambah kecintaan terhadap pengetahuan kesejarahan, sehingga akan
terus tertarik untuk mendalami dan mengambil nilai nilai baru bagi
perkembangan pendidikan Islam selanjutnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini jika dilihat dari
datanya, maka menggunakan penelitian kualitatif analisis deskriptif.
13
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku yang diamati.9 Sedangkan menurut Imron Arifin, penelitian kualitatif pada dasarnya
mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka dan
berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.10 Adapun penelitian deskiptif adalah penelitian yang menggambarkan
sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok
tertentu.11 Jadi, penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu
variabel, gejala atau keadaan.
Penelitian kualitatif analisis deskriptif merupakan jenis penelitian
paling tepat dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan penelitian ini adalah
penelitian kualitatif yang tidak bermaksud untuk menguji suatu hipotesis.
Penelitian ini hanya menggambarkan dan menganalisis secara kritis terhadap
pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah.
Berdasarkan tempat atau latar penelitian, maka penelitian ini termasuk
jenis penelitian kepustakaan atau library research. Menurut Mestika Zed,
penelitian kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah
9 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), 4. 10 Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Sosial dan Keagamaan (Malang: Kalimasada, 1996), 22.
14
bahan penelitian.12
Adapun ciri-ciri utama dari penelitian kepustakaan adalah:
a. Peneliti berhadapan langsung dengan teks (nash) atau data angka dan
bukan dengan pengetahuan langsung dari lapangan dan saksi mata (eye
witness) berupa kejadian, orang, atau benda-benda lainnya.
b. Data pustaka bersifat siap pakai, artinya peneliti tidak pergi kemana-mana,
tapi berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia di
perpustakaan.
c. Data pustaka umumnya bersifat sekunder, artinya peneliti memperoleh
bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama di
lapangan.
d. Kondisi data pustaka tidak dibatasi ruang dan waktu, artinya kapanpun
penelitian dilakukan, data tersebut tidak akan pernah berubah.13
Dengan demikian, penelitian dilakukan dengan melakukan kajian
pustaka terhadap pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz{a>miyah pada masa Bani ‘Abba>siyah.
Berdasarkan sifat masalah kajian dalam penelitian ini, maka
pendekatan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini ialah
menggunakan pendekatan historis. Penelitian historis ini ialah proses
15
penelitiannya meliputi: pengumpulan dan penafsiran fenomena yang terjadi
pada masa lampau untuk menemukan generalisasi yang berguna dalam rangka
memahami, meramalkan, dan mengendalikan fenomena-fenomena tertentu.14 Jadi, penelitian historis adalah penelitian terhadap peristiwa-peristiwa
yang telah berlalu, dan peristiwa tersebut telah direka ulang dengan
menggunakan sumber primer sebagai bentuk bukti dan kesaksian sejarah dari
pelaku sejarah yang berupa peninggalan-peninggalan bersejarah dan catatan
dokumen-dokumen.
Pengkajian dokumen teks merupakan kajian yang menitik beratkan
pada analisis atau interpretasi bahan tertulis berdasarkan konteksnya. Untuk
mendapatkan tingkat kredibilitas data yang tinggi, maka peneliti harus yakin
bahwa dokumen yang berbentuk naskah-naskah tertentu itu otentik. Penelitian
historis ini bersifat komparatif, yaitu menunjukkan hubungan dari beberapa
peristiwa yang sejenis dengan menunjukkan persamaan dan perbedaannya.
Jadi, penelitian historis ini memiliki tujuan untuk membuat rekonstruksi masa
lampau secara sistematis dan objektif.
2. Data dan Sumber Data
Data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.15 Data yang
14Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 21. 15 Buna’i,
16
dicari dalam penelitian ini ialah data tentang pembelajaran dan sejarah Daulah
Bani ‘Abba>siyah yang bersumber dari buku dan literatur lainnya sebagai
pendukung. Data lain yang ingin peneliti dapatkan dalam penelitian ini ialah
data tentang pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah, data tentang relevansi
pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah dengan pembelajaran pada masa
sekarang.
Adapun sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu:
a. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh peneliti dari sumber data dan
masih memerlukan analisis lebih lanjut.16 Data ini merupakan data pokok yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah. Adapun yang
menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah buku Sejarah
Peradaban Islam karya Badri Yatim, The History of Arabs karya Philip K.
Hitti, kitabTa<ri<kh al-Tura<th al-Arabi< karya Fua<d Sarki<n, dan kitab al-
Ta>ri>kh{ al- Islami> al-Daulah al-‘Abba>siyah karya Mahmud Tha>kir . Dalam penelitian ini peneliti memperoleh data dengan cara mengkaji
langsung buku dan kitab tersebut yang di dalamnya terdapat penjelaskan
17
tentang kepemimpinan dan pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz{a>miyah pada masa Bani ‘Abba>siyah.
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan.17 Data yang dimaksud disini adalah data penunjang dari data primer. Jadi, data sekunder adalah data yang sudah ada atau data hasil
penelitian dari pihak lain seperti: buku-buku ilmiah, jurnal, atau
peraturan yang mempunyai hubungan dengan penelitian ini.18 Data skunder ini digunakan untuk mendukung data atau informasi dari data
primer.
Sumber data sekunder ini meliputi buku-buku tentang model-model
pembelajaran, kitab-kitab sejarah Islam maupun sejarah pendidikan Islam, dan buku-buku ilmiah, khususnya buku-buku pendidikan, buku-buku
metode penelitian, majalah, jurnal dan beberapa hasil penelitian terdahulu, serta dokumen yang lain yang ada relevansinya dengan penulisan tesis ini. Diantara judul bukunya adalah: model pembelajaran, sejarah pendidikan
islam, asas-asas pendidikan islam, ilmu pendidikan dalam perspektif
Islam, kelengkapan Ta>ri>kh Nabi Muhammad SAW, History of the Arab,
Higher Learning in Islam, Islam Education.
17 Ibid., 88.
18SuharsimiArikunto,
18
3. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.19 Cara menunjukkan pada segala sesuatu yang
sifatnya abstrak, tidak dapat diwujudkan dalam benda yang terlihat oleh mata, akan tetapi hanya dapat dipertontonkan penggunaannya. Kegiatan pengumpulan data merupakan langkah penting dalam suatu penelitian sebagai suatu bagian untuk dapat menjawab persoalan penelitian.
Banyak cara atau metode yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data.
Namun, yang menjadi persoalan dalam suatu penelitian adalah ketika harus memilih cara yang baik, efektif dan efesien untuk mendapatkan data yang tepat bagi persoalan penelitian. Sehingga dapat memudahkan peneliti dalam menyajikan data yang valid. Selain itu pula, hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan metode pengumpulan data adalah peneliti juga sudah memikirkan bagaimana data akan dianalisis.
Karena penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, maka metode
pengumpulan data yang dipergunakan adalah dokumentasi.20 Dokumentasi yaitu mencari dan menggali data dari bahan-bahan bacaan atau pustaka yang
berkaitan dengan pembelajaran dan sejarah Bani ‘Abba>siyah.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dalam kegiatan penelitian ini selanjutnya
dianalisis supaya bisa diambil kesimpulan atau pengertian. Adapun metode
19Ibid.,134
.
19
analisis yang peneliti gunakan adalah metode analisis kualitatif. Menurut
Lexy J. Moleong definisi metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.21
Dengan kata lain analisis kualitatif adalah menganalisis data dengan
menggambarkan data melalui kata-kata atau kalimat yang berupa pembahasan
sehingga dapat ditafsirkan, dibandingkan dan untuk diambil suatu kesimpulan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan content analysis dalam
melakukan analisis data. content analysis adalah teknik penelitian untuk
membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan valid data dengan
memperhatikan konteksnya.
Content analysis dapat digunakan pada teknik analisis data kuantitatif
maupun kualitatif, tergantung pada sisi mana peneliti ingin memanfaatkannya.
Dalam penelitian kualitatif misalnya analisis isi ini ditekankan pada
bagaimana peneliti melihat keajekan isi data kualitatif, bagaimana peneliti
memahami data, menerjemahkan dan memberikan suatu kesimpulan.
Selanjutnya dalam analisis data secara kualitatif ini penulis
menggunakan pendekatan cara berfikir induktif. Berfikir induktif adalah
proses berfikir untuk menemukan pengetahuan yang bersifat umum atau
20
kesimpulan yang bersendikan atas pengamatan atau pengetahuan yang bersifat
khusus.
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada empat,
yaitu :
a. Deduktif
Metode ini merupakan metode dengan pembahasan yang berangkat
dari realitas yang bersifat umum kepada suatu pemaknaan yang bersifat
khusus. Metode ini digunakan untuk menguraikan data yang bersifat
umum lalu dijabarkan secara khusus.22 Disini penulis akan menyajikan data secara umum tentang pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah
Niz{a>miyah pada masa Bani ‘Abba>siyah. b. Induktif
Metode ini merupakan kebalikan dari metode deduktif yaitu
pembahasan bermula dari data-data yang bersifat khusus kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat umum.23 Metode ini diterapkan guna memperoleh kesimpulan tentang pembelajaran di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz{a>miyah pada masa Bani ‘Abba>siyah secara khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
21
c. Interpretasi
Proses interpretasi data dalam penelitian dapat dilakukan dengan
mengkonfirmasi, menghubungkan, membandingkan, serta menelaah data
yang sudah ada. Perbandingan yang dimaksudkan dalam kegiatan ini
ialah membandingkan teori yang digunakan dalam kajian pustaka
terhadap temuan penelitian. Hasil interpretasi data ini dapat berupa
penguatan terhadap suatu teori yang ada, menambah atau menemukan
konsep baru.
Dalam kegiatan ini, peneliti mengoptimalkan diri bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milah data menjadi satuan yang dapat
dikelola, dan memberi makna terhadap data yang kemudian hasilnya
dapat diceritakan kepada orang lain. Jadi, hasil interpretasi data ini dapat
dimungkinkan menambah teori lain selain teori yang sudah ada dalam
kajian pustaka, sehingga dapat memperkaya perbendaharaan ilmu.
d. Komparasi
Dalam kegiatan ini, peneliti ingin membandingkan beberapa
peristiwa-peristiwa sejenis yang telah tejadi pada masa lampau dengan peristiwa-peristiwa
yang sedang terjadi atau bahkan sedang berkembang pada saat ini,
sekaligus untuk mencari letak hubungannya antara peristiwa yang telah
22
Selain itu pula, peneliti ingin mengetahui kontribusi peristiwa pada
masa lampau terhadap peristiwa masa kini. Hal yang dimaksudkan di sini
ialah untuk membandingkan pembelajaran yang diterapkan di Kutta>b, Masjid, dan Madrasah Niz{a>miyah pada masa Bani ‘Abba>siyah dengan pembelajaran pada masa sekarang, serta untuk mencari relevansinya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan hasil penelitian yang
dilaksanakan, maka akan dikemukakan secara garis besar sistematika penulisan
tesis dan materi-materi yang dibahas antara lain:
Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan kerangka dasar tesis, yang terdiri
dari: latar belakang masalah, rumusan masalah, definisi operasional, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian pustaka yang membahas tentang: tinjauan model-model
pembelajaran, dan tinjauan sejarah pendidikan pada masa Bani ‘Abba>siyah.
Bab III Profil Bani ‘Abba>siyah. Dalam bab ini berisi tentang sejarah
berdirinya Bani ‘Abba>siyah, kepemimpinan Bani ‘Abba>siyah, dan kebangkitan
intelektual pada masa Bani ‘Abba>siyah.
Bab IV Pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah dan relevansinya dengan
23
pembelajaran pada masa Bani ‘Abba>siyah, dan relevansi pembelajaran pada
masa Bani ‘Abba>siyah dengan pembelajaran pada masa sekarang.
Bab V Penutup. Merupakan bagian akhir dari tesis ini yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
Daftar Kepustakaan
Pembahasan selanjutnya akan penulis deskripsikan kajian teoritik yang berkaitan
dengan judul penelitian tesis ini utamanya pembahasan tentang model-model
pembelajaran, sejarah pendidikan, dan lembaga pendidikan yang berkembang pada
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Model-model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menggambarkan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar bagi
para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Model pembelajaran
berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para
pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktifitas belajar mengajar.1
Model-model pembelajaran menurut Trianto dalam bukunya yang
berjudul “Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik”
dan Rusman dalam bukunya yang berjudul “Model-model Pembelajaran”
terdiri dari: model pembelajaran kontekstual,pembelajaran langsung,
pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran berbasis masalah. Adapun
penjelasan tentang model-model pembelajaran tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching & Learning )
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran
yang dapat membantu guru untuk mengaitkan antara materi
pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan
1Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik (Jakarta: Prestasi
25
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga
dan masyarakat.2 Berangkat dari konsep ini, maka pembelajaran ini
diharapkan memberikan hasil belajar yang lebih bermakna. Siswa
didorong untuk memahami makna belajar, manfaat belajar, dan
mengetahui cara mencapainya. Sehingga lambat laun mereka akan
sadar bahwa apa yang mereka pelajari sangat berguna bagi
kehidupan mereka.
Pembelajaran kontekstual ini mengasumsikan bahwa secara
natural pikiran mencari makna konteks yang sesuai dengan situasi
nyata lingkungan siswa, dan dapat terjadi melalui pencarian
hubungan yang logis dan bermanfaat.3 Pemaduan antara materi
pelajaran dengan fenomena kehidupan yang biasa dialami oleh siswa
dalam model pembelajaran ini akan menghasilkan dasar-dasar
pengetahuan yang mendalam bagi siswa dan siswa akan kaya
pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya.
Pemanfaatan pembelajaran kontekstual ini akan menciptakan
ruang kelas yang di dalamnya siswa akan menjadi aktif dan
bertanggung jawab terhadap belajarnya. Proses pembelajaran ini
akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa
bekerja dan mengalami bukan hanya sekedar transfer pengetahuan
dari guru kepada siswa saja. Jadi tugas guru dalam pembelajaran ini
26
membantu siswa untuk mencapai tujuan belajar. Guru lebih banyak
berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Guru
memiliki tugas untuk mengelola kelas secara jitu supaya kelas
menjadi kondusif untuk proses pembelajaran.
b. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Komponen pembelajaran kontekstual meliputi: menjalin
hubungan-hubungan yang bermakna (making meaningful
connections), mengerjakan pekerjaan yang berarti (doing significant
work), melakukan proses belajar yang diatur sendiri (self-regulated
learning), mengadakan kolaborasi (collaborating), berpikir kritis dan
kreatif (critical and creative thinking), memberikan layanan secara
individual (nurturing high the individual), mengupayakan
pencapaian standar yang tinggi (reaching high standards), dan
menggunakan asesmen autentik (usingauthenticassessment).4
c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kontekstual
Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik tertentu
yang tentu saja akan berimplikasi pada adanya perbedaan dalam
mendesain yang disesuaikan dengan model yang akan
diterapkannya. Ada tujuh prinsip pembelajaran yang perlu
dikembangkan oleh seorang guru, seperti: konstruktivisme,
penemuan (inkuiri), pertanyaan (questioning), masyarakat belajar
4Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali
27
(learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
penilaian sebenarnya (authenticassessment).
1) Konstruktivisme (Contructivism)
Teori konstruktivistik ini mempercayai bahwa kemampuan
individu dalam membentuk dan menyusun sendiri
pengetahuannya. Hal ini disebabkan pengetahuan merupakan
suatu bentuk hasil konstruksi atau bentukan aktif individu itu
sendiri.5 Jadi, proses penyusunan pengetahuan individu tersebut
dilakukan melalui kemampuan siswa dalam berpikir dan
menghadapi tantangan, menyelesaikan, dan membangun sebuah
konsep pengetahuan yang utuh dari keseluruhan pengalaman
nyata yang pernah dialami.
Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna jika secara
langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan
pengalaman sehari-hari yang dialami oleh siswa itu sendiri. Oleh
karena itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan yang luas
sehingga mampu memberikan ilustrasi yang dapat merangsang
siswa agar aktif dalam mencari, melakukan, dan menemukan
sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pengalaman
hidupnya.
5Muhamad Irham, Novan Ardy Wiyani, Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi dalam Proses
28
2) Penemuan (Inkuiri)
Teori penemuan ini menyatakan bahwa belajar untuk
menemukan sesuatu sesuai dengan pencarian pengetahuan
secara aktif oleh manusia, sehingga dengan sendirinya
memberikan hasil yang positif. Berusaha sendiri untuk mencari
pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya akan
menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.6
Kegiatan ini dapat dimulai dengan perumusan masalah,
pengumpulan data dan menganalisisnya, menyajikan hasil dalam
bentuk tulisan, dan memberikan kesimpulan. Jadi, dalam proses
pembelajaran siswa hendaknya belajar secara partisipasi aktif
dengan beberapa konsep-konsep, prinsip-prinsip agar mereka
dianjurkan untuk memperoleh pengalaman dan melakukan
percobaan untuk menemukan relevansinya antara konsep yang
dipelajari dengan pengalaman hidup mereka.
3) Pertanyaan (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki oleh siswa selalu dimulai dengan
aktivitas bertanya. Bagi siswa bertanya merupakan salah satu
strategi penting dalam model pembelajaran ini. Dengan bertanya
dalam pembelajaran ini dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir
29
siswa. Penerapan kegiatan bertanya dalam model pembelajaran
ini harus difasilitasi oleh guru. Kebiasaan siswa dalam
menggunakan pertanyaan akan mendorong siswa pada
peningkatan mutu dan produktivitas pembelajaran.
Adapun tujuan penerapan bertanya dalam pembelajaran ini
tidak lain hanya dalam rangka menggali informasi, mengecek
pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada siswa,
mengetahui sejauh mana tingkat keingintahuan siswa,
memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki
guru, menyegarkan kembali pengetahuan siswa,
mengkonfirmasikan tentang sesuatu yang telah diketahui, dan
mengarahkan pada aspek yang belum diketahui.7
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Maksud dari konsep masyarakat belajar ini ialah guru
membiasakan siswa untuk melakukan kerja sama dan
memanfaatkan sumber belajar dari teman belajarnya.8 Konsep
ini menyarankan agar hasil belajar diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain melalui berbagai pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki tiap siswa. Sehingga dapat diperoleh
pengetahuan yang utuh dari berbagai keragaman pengetahuan
dan pengalaman yang dimiliki tiap-tiap siswa. Jadi, hasil yang
7Ibid., 110.
30
diperoleh dari konsep belajar ini akan menyetarakan
pengetahuan dan pengalaman semua siswa, memiliki kesadaran
akan pentingnya hidup kebersamaan ditengah-tengah perbedaan,
menghilangkan sikap prejudis, stereotip, dan etnosentris.
5) Pemodelan (Modeling)
Dalam pembelajaran kontekstual guru bukan satu-satunya
model, akan tetapi pemodelan itu dapat dirancang dengan
melibatkan siswa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang mereka miliki. Dengan segala kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki guru cenderung akan mengalami hambatan untuk
memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
siswa yang cukup heterogen.9 Oleh karena itu, pembuatan model
ini dapat dijadikan pilihan untuk mengembangkan pembelajaran
supaya siswa bisa memenuhi harapannya dengan utuh, dan
membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh guru.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau perenungan tentang
apa yang baru dipelajari dan berpikir ke belakang tentang apa
yang sudah kita lakukan di masa lalu.10 Jadi kegiatan refleksi di
sini merupakan respon siswa terhadap kejadian, aktifitas
terhadap pengetahuan yang dimiliki dan baru diterima oleh
9Ibid.
31
mereka. Pengetahuan yang bermakna dapat diperoleh dari
proses. Sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh siswa dapat
diperluas melalui konteks pembelajaran yang dapat diperluas
secara bertahap.
Penerapan refleksi di kelas dapat dilakukan diakhir
pembelajaran dengan menyisakan waktu bagi siswa untuk
merefleksikan materi yang telah disampaikan oleh guru. Pada
saat refleksi siswa diberikan kesempatan untuk mencerna,
menghayati, membandingkan, dan menimbang dengan dirinya
sendiri.
7) Penilaian Sebenarnya (AuthenticAssessment)
Penilaian merupakan proses pengumpulan data dan
informasi yang bisa memberikan gambaran terhadap
pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya data dan
informasi yang lengkap, maka semakin akurat pemahaman guru
terhadap proses dan hasil pengalaman belajar siswa.11 Guru
dengan cermat akan mudah mengetahui kemajuan, kemunduran,
dan kesulitan belajar siswa.
Dengan demikian guru akan mudah untuk melakukan
usaha-usaha perbaikan dan penyempurnaan pada proses
bimbingan belajar dalam langkah berikutnya. Penilaian ini
32
merupakan tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual untuk
dijadikan sebagai bagian integral yang sangat menentukan untuk
mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran.
2. Pengajaran Langsung (Direct Instruction)
a.Pengertian Pengajaran Langsung
Model pengajaran langsung ialah salah satu pendekatan
mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar
siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan
pola kegiatan yang bertahap, dan selangkah demi selangkah.12 Model
pembelajaran ini berdasarkan pada teori belajar behavioristik yang
digagas oleh Albert Bandura, Skinner, dkk.
Teori belajar behavioristik ini berpandangan bahwa sebuah
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam bentuk perubahan
kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara guru dengan siswa.13 Belajar yang dialami oleh
siswa lebih menekankan pada gejala atau fenomena jasmaniah yang
terlihat dan dapat diukur. Meskipun terjadi perubahan mental pada
siswa setelah belajar, maka faktor tersebut tidak diperhatikan dan
tidak dianggap sebagai hasil belajar, karena hal tersebut tidak dapat
diukur.
33
Dengan demikian inti dari belajar behavioristik ini belajar akan
terjadi akibat adanya interaksi guru dengan siswa yang dapat diamati
dan diukur. Penerapan teori belajar ini biasanya menggunakan
penguatan diakhir pembelajaran.
Ada beberapa keunggulan terpenting dari pengajaran langsung
ini seperti: adanya fokus akademik, arahan dan kontrol guru, harapan
yang tinggi terhadap perkembangan siswa, sistem manajemen waktu,
dan atmosfer akademik yang relatif stabil.14 Dengan adanya fokus
yang kuat terhadap problematika di bidang akademik dapat
menciptakan keterlibatan siswa yang semakin kuat, menghasilkan, dan
memajukan prestasi belajar siswa.
Pengajaran langsung ini dapat berbentuk metode ceramah,
demonstrasi, latihan, praktek, dan kerja kelompok. Pengajaran
langsung ini digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang
ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Oleh karena itu,
penyusunan waktu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan
pembelajaran harus seefesien mungkin, sehingga guru dapat
merancang seefektif mungkin waktu yang akan digunakannya.
b.Pelaksanaan Pengajaran Langsung
Pembelajaran langsung dapat diterapkan di bidang studi apapun
terutama pada mata pelajaran yang berorientasi pada penampilan,
14Miftahul Huda, Model-model Pengajaran dan Pembelajaran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
34
kinerja, menulis, dan membaca. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam merencanakan pembelajaran langsung seperti:
merumuskan tujuan, memilih isi, melakukan analisis tugas, dan
merencanakan waktu dan ruang.
Adapun pelaksanaanpembelajaran langsung dapat dilakukan
melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menyampaikan tujuan dan menyiapkan siswa.
2) Presentasi dan demonstrasi.
Dalam sebuah presentasi menyebarkan sumber pada
pembelajar yang komunikasinya dikendalikan oleh sumber
dengan respon segera dengan pembelajar. Keuntungan dari
presentasi ini penyajian materi dapat disampaikan satu kali saja
bagi siswa untuk didengarkan, dicatat oleh siswa. Sedangkan
kelemahannya ialah tidak semua siswa merespon penuh materi
yang dipresentasikan.15
3) Memberikan latihan terbimbing.
4) Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik.
5) Memberikan kesempatan latihan mandiri.
15Sharon E. Samaldino, dkk., Instructional Technology and Media for Learning, Terj. Arif
35
3. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a.Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif ialah bentuk pembelajaran dengan cara
siswa belajar dengan bekerja sama dalam kelompok-kelompok
tertentu secara kolaboratif dengan struktur kelompok yang heterogen.
Ada dua tanggung jawab yang dimiliki oleh siswa dalam
pembelajaran ini yaitu: siswa belajar untuk dirinya sendiri dan
membantu sesama anggota kelompok untuk belajar.16 Ada lima unsur
yang perlu diperhatikan dalam pembelajarankooperatif ini ialah:
saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi
personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
Dengan model pembelajaran ini akan tercipta sebuah interaksi
dan komunikasi yang dilakukan oleh guru dengan siswa, siswa dengan
guru, dan siswa dengan siswa lainnya. Melalui pembelajaran
kooperatif ini siswa akan terlibat secara partisipasi aktif dalam suatu
kelompok untuk mengkomunikasikan terkait materi yang sedang
dipelajari dengan siswa lainnya.
Adapun teori belajar yang melandasi pembelajaran kooperatif ini
ialah teori belajar konstruktivisme. Teori belajar ini menyatakan
bahwa pengetahuan merupakan sesuatu bentuk hasil konstruksi aktif
individu itu sendiri yang dalam proses penyusunan pengetahuan
36
individu dilakukan melalui kemampuan siswa dalam berpikir dan
menghadapi tantangan, menyelesaikan, dan membangun sebuah
konsep pengetahuan yang utuh dari keseluruhan pengalaman nyata
yang pernah dialami.17
Dalam pembelajaran ini guru berperan sebagai fasilitator yang
berfungsi sebagai jembatan penghubung ke arah pemahaman siswa
yang lebih tinggi. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada
siswa saja, akan tetapi guru harus membangun pengetahuan dalam
pikiran mereka. Sedangkan siswa memiliki kesempatan untuk
mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka
sendiri.
Adapun yang menjadi karakteristik dari pembelajaran kooperatif
ini ialah: ketika dilihat dari tujuan yang hendak dicapai dalam model
pembelajaran ini tidak hanya melihat kemampuan akademik saja
dalam penguasaan materi pelajaran, akan tetapi adanya unsur kerja
sama untuk menguasai materi tertentu. Pembentukan kelompok
didasarkan pada tingkat kemampuan dan latar belakang sosial siswa,
dan pemberian penghargaan lebih diorientasikan pada kelompok.18
37
b.Model-model Pembelajaran Kooperatif
1) Student Teams Achievement Divisions (STAD)
Student Teams Achievement Divisions merupakan strategi
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari kelompok peserta didik
dengan tingkat kemampuan yang beragam untuk saling bekerja
sama dalam rangka mewujudkan tujuan pembelajaran. Para
peserta didik dalam satu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok
kecil. Fokusnya ialah keberhasilan seorang akan berpengaruh
terhadap keberhasilan kelompok dan juga sebaliknya. Penilaian
didasarkan pada pencapaian hasil belajar individual maupun
kelompok.19
2) Jigsaw Learning
Dalam model ini guru membagi satuan informasi besar
menjadi komponen-komponen yang lebih kecil. Selanjutnya guru
membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil sehingga
setiap kelompok mempunyai tanggung jawab terhadap
penguasaan tugas yang diberikan oleh guru. Adapun materi yang
cocok untuk disajikan dalam model ini adalah materi yang dapat
dipetakan menjadi beberapa bagian.
38
3) Group Investigation
Semua anggota dari tiap-tiap kelompok dituntut untuk
merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan
masalah yang dihadapi oleh mereka.20 Tiap kelompok
menentukan apa saja yang akan dilakukan dan menentukan pula
siapa saja yang akan melaksanakannya. Serta direncanakan pula
bagaimana cara mempresentasikannya di depan kelompok lain.
4) Make a Match(Membuat Pasangan)
Strategi ini merupakan kegiatan kooperatif yang bisa
digunakan untuk mengajarkan konsep, karakteristik, klasifikasi,
fakta, tentang objek tertentu. Gerakan fisik yang dominan dalam
strategi ini dapat membantu mendinamiskan kelas yang jenuh
penuh membosankan.21 Model pembelajaran ini mudah dikenal
dengan sebutan sortir kartu (cardsort).
5) Teams-Games-Tournament (TGT)
Strategi pembelajaran ini dikembangkan oleh Slavin yang
bertujuan untuk membantu peserta didik mereview dan
menguasai materi pelajaran. Dalam strategi pembelajaran ini
sangat memungkinkan peserta didik dapat meningkatkan
kemampuan dan keterampilan dasar pencapaian, interaksi positif
antar peserta didik, harga diri, serta penerimaan terhadap
20Ibid., 402.
21Syaiful Bahri Djamarah, Guru & Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta,
39
keberagaman orang lain.22 Dalam pembelajaran TGT, setiap
anggota kelompok yang terdiri dari peserta didik yang
berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi diminta untuk
mempelajari materi terlebih dahulu bersama dengan kelompok
belajarnya. Setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para
anggota suatu kelompok akan berlomba-lomba dengan anggota
kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.
Penilaiannya didasarkan pada jumlah nilai yang diperoleh
kelompok.
4. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
a.Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu bentuk
pembelajaran inovatif, karena dalam pembelajaran ini kemampuan
berpikir siswa sangat dioptimalkan melalui proses kerja kelompok
yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah,
menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikir secara
berkesinambungan.23 Dalam pembelajaran ini siswa diharapkan
mampu memiliki beberapa kompetensi seperti: meneliti,
mengemukakan pendapat, menerapkan pengetahuan dan pengalaman,
memunculkan ide-ide cemerlang, membuat keputusan,
mengorganisasikan ide-ide, dan membuat hubungan-hubungan.
40
Model pembelajaran ini dapat kita pahami sebagai pembelajaran
yang dapat diperoleh melalui proses menuju pemahaman akan resolusi
suatu masalah. Jadi, model pembelajaran ini merupakan salah satu
bentuk peralihan dari paradigma pengajaran menuju paradigma
pembelajaran dengan fokusnya pada pembelajaran siswa bukan pada
pengajaran guru.
Adapun yang menjadi karakteristik pembelajaran berbasis
masalah ini ialah: permasalahan menjadi awal dalam proses
pembelajaran, permasalahan yang diangkat ialah permasalahan yang
ada di dunia nyata, permasalahan membutuhkan persepsi ganda,
permasalahan yang diangkat mampu menantang kemampuan siswa,
belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, belajar kolaboratif,
komunikatif, dan kooperatif, dan pengembangan keterampilan inquiry
dan pemecahan masalah sama penting dengan penguasaan isi
pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.24
Strategi belajar ini mudah dikenal dengan istilah teknik debat dalam
rangka memperoleh pengetahuan dan informasi secara utuh.
b.Pelaksanaan Pembelajaran Berbasis Masalah
1) Tugas perencanaan. Dalam fase ini guru perlu menetapkan tujuan
seperti: keterampilan menyelidiki, membantu siswa menjadi
pelajar yang mandiri. Selain itu guru perlu merancang situasi
41
masalah dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada
siswa untuk memilih masalah yang akan diselidiki. Selanjutnya
guru juga perlu mengorganisasikan sumber daya dan rencana
logistik yang dapat memungkinkan siswa bekerja dengan beragam
material dan peralatan baik dilaksanakan di kelas, perpustakaan
ataupun laboratorium.25
2) Tugas Interaktif. Dalam hal ini siswa diorientasikan pada masalah
untuk dilakukan suatu penyelidikan terhadap masalah penting dan
untuk menjadikan siswa sebagai pelajar yang mandiri. Selain itu
guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan berkelompok
dan saling membantu untuk menyelidiki masalah bersama. Hal ini
jelas membutuhkan bimbingan dari guru untuk merencanakan
penyelidikan dan tugas pelaporan. Guru juga membantu siswa
dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, siswa
diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu
masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan
suatu masalah. Guru pada tahap akhir membantu siswa
menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan
keterampilan penyelidikan yang mereka lakukan.26
3) Lingkungan belajar dan tugas-tugas manajemen. Dalam
pembelajaran ini guru harus menyampaikan aturan, tata krama,
42
dan sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku
siswa ketika melakukan penyelidikan di manapun.27
4) Asessmen dan evaluasi. Teknik penilaian yang sesuai dengan
model pembelajaran berbasis masalah ini dengan menilai
pekerjaan yang dihasilkan siswa yang diperoleh dari penyelidikan,
perumusan pertanyaan, dan perumusan hipotesa mereka.28
B. Tinjauan Tentang Sejarah Pendidikan Pada Masa Bani ‘Abba>siyah
Selanjutnya akan penulis uraikan mengenai sejarah pendidikan pada masa
Bani ‘Abba>siyahmulai dari pembentukan intelektual sampai pada
lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan berdasarkan jenjang pendidikan
rendah (Kutta>b), lembaga pendidikan menengah (Masjid), dan lembaga pendidikan tinggi (Madrasah Niz{a>miyah). Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
1. Gerakan Penerjemahan
Gerakan penerjemahan manuskrip-manuskrip berbahasa asing
terutama dari buku-buku Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab
berawal dari ketertarikan umat Islam terhadap kebudayaan Yunani.
Meskipun kegiatan penerjemahan sudah dimulai sejak masa Bani
Umayyah, pada masa Bani „Abba>siyah kegiatan penerjemahan dioptimalkan secara besar-besaran, sehingga pada masa tersebut mencapai
43
puncak masa keemasan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
filsafat. Para ilmuwan diutus ke daerah Bizantium untuk mencari
naskah-naskah Yunani dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat dan
kedokteran.
Pelopor gerakan penerjemahan pada awal pemerintahan Bani
„Abba>siyah adalah khalifah al-Mans{ur yang juga membangun ibukota Baghdad. Ia mempekerjakan orang-orang Persia yang baru masuk Islam
seperti Nawbaht, Thrahim al-Fazari dan Ali ibn Isa untuk menerjemahkan
karya-karya berbahasa Persia dalam bidang astrologi (ilmu perbintangan)
yang sangat berguna bagi kafilah dagang baik melalui darat maupun laut.
Selain itu manuskrip berbahasa Yunani, seperti Logika karya
Aristoteles, Almagest karya Ptolemy, Arithmetic karya Nicomachus dan
Gerasa, Geometri karya Euclid juga diterjemahkan.29
Manuskrip-manuskrip lain baik yang berbahasa Yunani klasik, Yunani Bizantium,
bahasa Persia (Pahlavi), bahasa Neo-Persia, serta bahasa Syiria juga
diterjemahkan.
Gerakan penerjemahan ini sangat diperhatikan besar oleh khalifah.
Karena para khalifah sangat menganggap penting usaha tersebut. Maka
khalifah mendirikan lembaga khusus untuk kegiatan penerjemahan para
sarjana dan dokter. Sehingga mereka dapat mengetahui dasar-dasar ilmu
29Siti Maryam, Sejarah Islam dan Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fak.
44
pengetahuan orang Yunani dan percobaan-percobaan yang ditambahkan
padanya dari pemikiran-pemikiran Persia dan India.30
Dengan demikian, kegiatan penerjemahan karya-karya pemikiran
Yunani telah menyebabkan semaraknya dunia pendidikan Islam di masa
klasik, meskipun pendidikan di masa klasik tidak sekompleks pendidikan
modern. Pendidikan Islam di masa klasik telah mencapai masa keemasan
dalam sepanjang sejarah. Jadi, kegiatan penerjemahan karya-karya asing
merupakan salah satu upaya agar pendidikan Islam maju dan berkembang.
Karya-karya hasil terjemahan dapat menggugah rasa ketertarikan umat
Islam untuk mempelajari dan mengambil hal yang sesuai dengan ajaran
Islam.
2. Bai>t al-H{ikmah (Perpustakaan dan Observatorium)
Bai>t al-H{ikmahmerupakan perpustakaan yang juga berfungsi
sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Pada masa Harun
al-Rashi>d, Institusi ini bernama Khizanah al-Himah(khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian.
Sejak tahun 815 M, al-Makmu>nmengembangkan lembaga ini dan diubah namanya menjadi Bai>t al-H{ikmah.31 Pada masa pemerintahan
al-Makmu>n, Bai>t al-H{ikmahdipergunakan lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang diperoleh dari Persia, Bizantium,
45
Etiopia dan India. Bahkan Bai>t al-H{ikmahjuga difungsikan sebagai pusat kegiatan pembelajaran, riset astronomi dan matematika.
Sejak pertengahan abad ke-19, Bai>t al-H{ikmahdikuasai satu madhhab penerjemah di bawah bimbingan Hunayn Ibn Ishaq. Mereka
menerjemahkan karya-karya keilmuan lain. DiBai>t al-H{ikmahjuga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Begitu
banyak karya-karya warisan Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab. Jadi pada masa tersebut penerjemahan dilakukan secara
besar-besaran. Sehingga hal tersebut menjadikan Islam sebagai pewaris pustaka
hellenisme ketiga setelah Greek dan latin Christenton.32
Dengan demikian, pada masa Bani ‘Abba>siyah banyak melahirkan
tokoh intelektual dan penulis orisinil baik dalam bidang filsafat maupun
bidang hukum lainnya. Mereka tidak hanya menerjemahkan saja, akan
tetapi mereka telah mengembangkan dengan melakukan perenungan,
pengamatan ilmiah, dan memadukan dengan ajaran Islam. Sehingga
mereka mampu menghasilkan karya-karya umat Islam murni dan asli.
3. Lembaga Pendidikan
Lembaga pendidikan merupakan tempat untuk memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan. Dengan hadirnya lembaga pendidikan, maka
proses belajar mengajar sudah mendapatkan legalitas tersendiri dari
pihak-pihak pengembang pendidikan. Sehingga proses pelaksanaan
32Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintas Sejarah, Terj. Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
46
pendidikan sudah lebih terstruktur dengan baik. Hal ini dapat
memudahkan guru dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada setiap
individu yang sudah disesuaikan dengan tingkat kemampuannya
masing-masing.
Adapun lembaga pendidikan yang berdiri pada masa Bani
„Abba>siyahterdapat tujuh lembaga, diantaranya adalah:33 a. Lembaga pendidikan dasar (Kutta>b)
b. Lembaga pendidikan masjid (Masjid)
c. Kedai pedagang kitab (al-Bawanit al-Waraqin)
d. Tempat tinggal para sarjana (Mana>zil al-Uama) e. Sanggar seni dan sastra
f. Perpustakaan (Da>r al-Kutub Wa Da>r al-Ilm) g. Lembaga pendidikan sekolah (Madrasah)
Lembaga pendidikan tersebut memiliki karakteristik
masing-masing dan materi kajian juga masing-masing-masing-masing. Kemudian lembaga
pendidikan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, seperti:
a. Tingkat Pendidikan Rendah (Kutta>b)
Kutta>b adalah sejenis tempat untuk memberikan pelajaran tingkat rendah. Di Kutta>b hanya mengajarkan keterampilan-keterampilan dasar menulis, membaca, dan menghafal materi pelajaran. Al-Qur’an
33Hasan Abd al-„Al, al-Tarbiyah al-Isla>miyah Fi> al-Qarn al-Rabi>’ al-Hijri> (Tttp: Da>r Fikr
47
menjadi titik pusat pelajaran yang diberikan di Kutta>b kepada peserta didik mulai dari membaca dan menulis teks Arab.
Selain al-Qur’an, di Kutta>b anak juga mendapatkan pelajaran cerita orang saleh terdahulu, shair, dan ilmu berhitung, pokok-pokok
agama (wudhu’, salat, dan puasa), menulis, kisah orang-orang besar, membaca dan menghafal shair-shair, menghitung, dan pokok-pokok
ilmu nah{w dan s{arraf. Metode pembelajaran yang digunakan di
Kutta>bialah: metode lisan, tulisan, dan hafalan.
Sedangkan waktu belajar di Kutta>b dilaksanakan pada pagi hari hingga waktu salat Ashar mulai hari sabtu sampai hari Kamis.34 Hari
Jum’at merupakan hari libur. Selain hari Jum’at, hari libur juga pada setiap tanggal 1 Shawal dan tiga hari pada hari raya Idul Adha. Jam
pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Qur’an dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai
pada waktu dhuha hingga waktu Dzuhur. Setelah itu anak-anak
diperbolehkan pulang untu makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain
seperti nah{w, bahasa Arab, shair, berhitung dimulai setelah Dzuhur hingga akhir siang (Ashar).35
Materi untuk pendidikan dasar (Kutta>b) pada masa Bani „Abba>siyah terdapat unsur demokrasinya, seperti pemilahan materi pelajaran wajib (Ijba>ri) meliputi: al-Qur’an, salat, doa, pokok-pokok
34Ibid., 133-134.
48
ilmu nah{w, membaca dan menulis,dan materi pelajaran pilihan (Ikhtiya>ri>) meliputi: berhitung, ilmu nah{w dipelajari secara tuntas, shair-shair, dan ta>ri>khArab. Hal ini berbeda dengan masa sekarang yang muatan materi pelajaran pada tingkat dasar dan menengah semua
materinya bersifat wajib, tidak ada materi pilihan. Materi pilihan itu
baru muncul pada jenjang Perguruan Tinggi.
b. Tingkat Sekolah Menengah (Masjid)
Pada masa Bani „Abba>siyahMasjid selain difungsikan sebagai tempat ibadah, Masjid juga dijadikan tempat kegiatan proses belajar
mengajar berlangsung. Pendidikan yang bertempat di Masjid ini
merupakan lanjutan dari pendidikan di Kutta>b(pendidikan tingkat rendah).
Pada tingkat pendidikan menengah disediakan materi pelajaran
yang mencakup materi: al-Qur’an, bahasa Arab, sastra, fiqih, tafsir, hadith, nah{w, s{arraf, balaghah, ilmu eksak, mantiq, falak, ta>ri>kh, ilmu kedokteran, dan musik.36 Sedangkan kurikulu