SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN KEROKHANIAN
SAPTA DARMA DAN RESPON UMAT ISLAM DI DESA
BALONGDOWO SIDOARJO
(1985-2015)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh: Tri Yuliani NIM: A3.22.12.107
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SUNAN AMPEL
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma
di Desa Balongdowo Sidoarjo Tahun 1985 – 2015”. Adapun fokus penelitian yang
dibahas dalam skripsi adalah (1) Bagaimana sejarah masuknya aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo? (2) Bagaimana perkembangan aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo? (3) Bagaimana tantangan dan respon masyarakat terhadap aliran kerokhanian sapta darma di desa Balongdowo?
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sosiologi. Metode sejarah digunakan untuk mendiskripsikan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Pendekatan sosiologi digunakan untuk dapat menjelaskan perkembangan aliran kerokhanian sapta darma di Desa Balongdowo. Untuk menganalisa perkembangan
Aliran Kerokhanian Sapta Darma digunakan teori Development (Perkembangan), teori
yang memusatkan perhatian pada dinamika proses pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup kepercayaan orang.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Aliran kerokhanian sapta darma masuk di Desa Balongdowo pada tahun 1985 yang dibawa oleh seorang warga kota Bangil Pasuruan bernama Pak Kusen. (2) Perkembangan aliran kerokhanian sapta darma dapat dilihat dari kerja keras warga aliran sapta darma dengan dibentuknya
sistem kepengurusan dan strategi pengembangan yang baik yaitu, Kegiatan Rutin
ABSTRACT
This thesis entitled "The History of Sapta Darma Kerokhanian stream in the village of Balongdowo Sidoarjo Year 1985 - 2015". The focus of the research discussed in the thesis are: (1) What is the history inflows sapta kerokhanian Balongdowo dharma in the village? (2) How is the development stream in the village kerokhanian sapta darma Balongdowo? (3) How is the challenge and the public response to the flow of kerokhanian sapta Balongdowo dharma in the village?
In this study, the authors use the method of history with sociological approach. The historical method used to describe the events that happened in the past. Sociological approach is used to explain the development stream in the village kerokhanian sapta darma Balongdowo. To analyze the development of Sapta Darma used Kerokhanian flow theory Development (Development), a theory which focuses on the dynamics of the process of formation, change and progress in life people's beliefs.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………...……….. i
PERNYATAAN KEASLIAN ………. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...……….. iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ………..….… iv
PEDOMAN TRANSLITEARSI ………...………….…..…v
MOTTO ………..……... vi
ABSTRAK ………..………....… vii
KATA PENGANTAR ………..………ix
DAFTAR ISI ………...……….… xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….………....…. 1
B. Rumusan Masalah ………..……...11
C. Tujuan Penelitian ……….……12
D. Kegunaan Penelitian .………....………..…..…...12
E. Pendekatan dan Kerangaka Teoritik ………..………...…...13
F. Penelitian terdahulu ….………..……... 14
G. Metode penelitian ………..……….… 15
H. Sistematika Pembahasan ………...………..….... 18
B. Demografis………..…... 21
C. Keadaan Sosial Masyarakat Desa Balongdowo…….…...…..25
1. Kondisi Sosial………...25
2. Kondisi Sosial Agama………..28
3. Kondisi Sosial Ekonomi………...32
BAB III : MASUK DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO
A. Sejarah Masuknya Aliran Kerokhanian Sapta Darma………35
B. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma…………..…....40
C. Faktor Pendorong Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma……….47
BAB IV : TANTANGAN DAN RESPON MASYARAKAT TERHADAP ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA DARMA DI DESA BALONGDOWO
A. Tantangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo………...…....……….52
B. Respon Masyarakat terhadap Aliran Kerokhanian Sapta Darma
1. Respon Masyarakat Nahdlatul Ulama
(NU)………..………55
2. Respon Masyarakat Muhammadiyah………...58
3. Respon Warga Aliran Kerokhanian Sapta
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kaitannya dengan norma-norma, menyadari bahwa
kehidupan mereka berada dalam jalan yang baik dan mulia. Kebutuhan rohani
menyebabkan timbulnya pertannyaan siapa Tuhan dan siapa manusia di
hadapan Tuhan.1
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual
merupakan warisan Bangsa Indonesia. Sebagai kebudayaan rohaniah,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah dihayati oleh nenek
moyang Bangsa Indonesia.
Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan spiritual itu telah
berakar dari kebudayaan nenek moyang sebelum agama-agama yang ada dan
diakui di Indonesia. Untuk itu maka kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sebagai budaya spiritual adalah bagian dari kebudayaan nenek moyang
kita yang telah lama menunjukkan eksistensinya.
Aliran kepercayaan dan kebatinan memang bukan agama dan bukan
pula merupakan agama baru, tetapi aliran kepercayaan dan kebatinan ini telah
mengakar dalam diri masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu tak heran apabila
2
banyak diantara masyarakat jawa yang hingga saat ini mempercayai, bahkan
menganutnya.
Kebatinan adalah hasil pemikiran manusia yang menimbulkan suatu
aliran kepercayaan dalam dada penganutnya dengan membawakan tata cara
tertentu yang bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib, bahkan untuk
mencapai persekutuan dengan apa yang mereka anggap Tuhan secara
perenungan batin, sehingga dengan pemikiran menurut pendapatnya mencapai
budi luhur untuk kesempurnaan hidup di masa sekarang dan masa mendatang
sesuai dengan konsepsi sendiri.2
Dalam aliran kebatinan terdapat variasi-variasi diantara aliran
kebatinan yang ada, baik dalam sifat ajaran, tujuan maupun bentuk upacara
ritualnya. Dari pengamatan terhadap ajaran kebatinan yang bervariasi dapat
dilakukan pengelompokan aliran-aliran kebatinan tersebut menjadi empat
golongan, Pertama, golongan yang akan menggunakan kekuatan gaib untuk
melayani berbagai keperluan manusia. Kedua, golongan yang hendak
menyatukan jiwa manusia dengan Tuhan selagi manusia masih hidup. Ketiga,
golongan yang berniat untuk mengenal hakikat Tuhan dan akan menembus
rahasia ajaran “Sangka Paraning Dumadi” , yaitu rahasia tentang darimana
asal usul manusia dan hendak kemana arah yang hendak dituju manusia. Dan
golongan Keempat, golongan yang menaruh hasrat untuk menempuh “Budhi
3
Luhur” selagi di dunia ini, setra hendak menciptakan masyarakat yang
mengindahkan Tuhan.3
Melihat realita diatas, aliran-aliran kepercayaannya dan kebatinan
dalam segala unsur-unsur materi dan hakekatnya berbeda dari pada agama,
Materi agama bukan merupakan hasil pemikiran dan perenungan manusia.
Sedangkan materi kebatinan sebagai kreasi manusia dengan
mencampur-adukkan beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan
dinamisme zaman klasik pra sejarah, ajaran dewa-dewa dengan dan
kepercayaan-kepercayan kuno, teknik-teknik yoga, mistik, tasawuf, filsafat,
psikologi, bahkan sampai mengambil pula hipotesa-hipotesa ilmu dewasa ini
yang dapat menumbuhkan kultus-kultus individu kepada pemimpin atau
pendiri pertama oleh para penganutnya.4
Paparan mengenai kebatinan diatas memberikan makna bahwa antara
kebatinan dan agama berbeda. Agama pada dasarnya mempunyai tiga ajaran
pokok, yaitu keimanan, ibadah, dan akhlak. “Keimanan” (kepercayana dalam
agama) tidaklah sama dengan “Kepercayaan” (hasil budaya manusia).
Keimanan dalam agama mata dari Tuhan dan yang diimani
semata-mata dari wahyu yang diberikan kepada Nabi-Nya. Pemeluk agama hanyalah
mempercayai apa yang diperintahkan agama untuk dipercayai, karena
mempercayai (mengimani) sesuatu di luar ketentuan agama merupakan suatu
4
keingkaran terhadap agama tersebut.5 Paparan ini memberikan sebuah
perbedaan dimana apabila kebatinan hanya mengkususkan pada sisi
kepercayaan, sedangkan agama selain mengandung kepercayaan juga harus
ada keimanan dan ibadah.
Lain halnya dengan “kepercayaan” yang berdasarkan pemikiran
manusia, apa yang dipercayai tidak berdasarkan agama, melainkan
berdasarkan apa yang ia rasa dan menurut pemikirannya yang patut untuk
dipercayai. Oleh karena itu tingkat pemikiran manusia berbeda-beda dan apa
yang menurut pemikirannya patut untuk dipercayai itu bermacam-macam.
Maka hasil pemikirannya pun berbeda-beda begitu pula dengan
kepercayaannya.
Gerakan kebatinan di Jawa berkembang dengan pesat, kemajuan itu
ditandai dengan diadakannya konggres pada tanggal 19 dan 20 Agustus 1955
di Semarang. Banyak kelompok kebatinan yang ada di Pulau Jawa hadir pada
waktu itu dengan tujuan mempersatukan semua organisasi yang ada di Jawa.
Kongres berikutnya dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1956 di Surakarta
sebagai lanjutannya dihadiri oleh lebih dari 2000 peserta yang mewakili 100
organisasi. Pertemuan itu berhasil mendirikan Organisasi Kebatinan Indonesia
5
(BKKI) yang kemudian juga menyelenggarakan dua kongres seminar
mengenai masalah kebatinan dalam tahun 1956, 1961 dan 1962.6
Dalam kongres kedua ini dinyatakan bahwa mistisisme kebatinan
bukan agama baru melainkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan
beragama pada umumnya. Kongres kedua ini dihadiri oleh 2000 orang
perwakilan, dengan 2.000.000 orang di seluruh Indonesia.
Sebelum diadakan kongres kebatinan tersebut pada tahun 1952
kementrian agama yang didominasi orang Islam mengajukan definisi sempit
tentang agama. Agar memperoleh suatu agama harus mempunyai nabi dan
kitap suci, selain itu juga harus di akui pada tingkat internasional. Definisi
tersebut jelas menutup peluang mistisisme untuk menjadi agama sah, karena
bagi kalangan penganut kebatinan Tuhan itu ada satu hati bukan lewat
perantara maupun kitab suci.7
Aliran kepercayaan dan kebatinan di Indonesia ini banyak sekali.
Mereka mempunyai beragam hal yang antara satu dan lainnya berbeda.
Perbedaan itu mulai dari perbedaan pemikiran, kepercayaan, materi, hingga
ritual yang dilakukan. Diantara berbagai macam aliran kepercayaan dan
kebatinan tersebut ialah aliran kepercayaan dan kebatinan Sapta Darma.
Sapta Darma merupakan salah satu aliran kerohanian yang cukup
ternama dan banyak dianut oleh masyarakat Indonesia khususnya di
6
kepulauan Jawa, di samping tersebar pula di hampir seluruh pelosok
nusantara. Aliran kerohanian Sapta Darma memiliki corak dan ajaran yang
menjurus pada pengolahan rohani, sehingga sering disebut dengan
“Kerohanian Sapta Darma”. Pendiri Sapta Darma adalah Hardjosapuro, yang
lahir di desa Sanding Pare Kediri. Pendidikannya hanya Sekolah Rakyat 5
tahun dan tamat tahun 1925 di Pare Kediri.
Hardjosapuro sebagai penerima wahyu pertama ajaran Sapta Darma
kemudian menyampaikan ajaran Sapta Darma. Pertama kali ajaran Sapta
Darma disampaikan kepada teman-teman terdekatnya, kemudian disampaikan
kepada masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal Hardjosapuro yaitu di
kota Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur.
Ajaran kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu aliran
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa lahir di tengah-tengah
masyarakat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di
tengah situasi krisis Bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Turunnya
Mewarah Kerokhanian Sapta Darma merupakan kehendak mutlak dari Hyang
Maha Kuasa dan bukan rekayasa atau racikan orang-perorang, melainkan asli
diterima oleh Putra Bangsa Indonesia yaitu Bapak Hardjosopoero yang
selanjutnya dikenal dengan nama atau gelar Penuntun Agung Sri Gutama pada
tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur.8
7
Setiap anggota Sapta Darma mempunyai kewajiban untuk
menjalankan dan mengamalkan tujuh kewajiban dalam hidupnya. Kewajiban
tersebut meliputi kewajiban yang bersifat vertikal dan horizontal. Kewajiban
vertikal adalah kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa. Kewajiban horisontal adalah kewajiban hidup manusia
berhubungan dengan Negara.9
Kerokhanian Sapta Darma mempunyai kewajiban yang utama
disamping kewajiban lain yang biasa disebut amal suci Sapta Darma. Setiap
warga Sapta Darma diwajibkan menjalankan dua darma hidup, yaitu darma
hidup rohani dan darma hidup jasmani. Tujuh kewajiban suci merupakan
tujuh kewajiban yang wajib dilakukan bagi warga Sapta Darma. Tujuh
kewajiban tersebut adalah sebagai berikut: Setia dan tawakkal kepada
Pancasila Allah (Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Kuasa, dan
Maha Kekal), jujur dan suci hati menjalankan undang-undang Negara, turut
menyingsingkan lengan baju menegakkan nusa dan bangsa, menolong siapa
saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih, berani hidup atas
kepercayaan penuh pada kekuatan diri-sendiri, hidup dalam bermasyarakat
dengan susila dan disertai halusnya budi pekerti, yakin bahwa dunia ini tidak
abadi, melainkan berubah-ubah (angkoro manggilingan).10
9
8
Sapta Darma sebagai salah satu kepercayaan, mempunyai tujuan untuk
membentuk kerohanian dan budi luhur dengan berusaha membina
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, juga membimbing manusia,
menuju pada kesempurnaan hidup, baik mental maupun spiritual melalui
ilham-ilham Sapta Darma yang diterima oleh Panutan Agung.11 Karena itu,
Sapta Darma sebagai jalan kerokhanian memberikan arti hidup manusia yang
sebenarnya pada penganutnya. Dirasakan pada saat ini, bahwa manusia telah
banyak melanggar tata tertib kehidupan, dalam krisis moralitas agama.
Semakin lama manusia semakin lupa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari
keprihatinan di atas, Sapta Darma berusaha untuk meningkatkan keyakinan
dan jiwa yang tinggi, dengan berusaha mengembalikan manusia sebagai
warga Negara yang berkemanusiaan dan berketuhanan yang tinggi.
Perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma diawali dengan
Hardjosapuro dan para pengikutnya melakukan perjalanan ke daerah-daerah,
dari kota ke kota untuk menyampaikan ajaran Sapta Darma kepada
masyarakat luas. Dalam perjalanan ini Hardjosapuro dan pengikutnya juga
melakukan “Peruwatan”. “Peruwatan” adalah semacam ritual untuk
membuang sengkala atau hal-hal yang dianggap tidak baik.
Dalam perjalanan menyebar luaskan ajaran Sapta Darma
Hardjosapuro, singgah dari kota ke kota. Salah satu kota yang disinggahinya
adalah Kota Sidoarjo khususnya di Desa Balongdowo rt. 01 rw. 02
9
Kecamatan Candi, Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai berkembang pada
tahun 1985,12 yang dibawa oleh salah seorang warga Kota Bangil Pasuruan
bernama Pak Kusen, Pak Kusen mengenal Aliran Kerokhanian Sapta Darma
dari salah seorang temanya yang berasal dari Buduran Sidoarjo yang bernama
Pak Karim. Semenjak itu Aliran Kerokhanian Sapta Darma langsung banyak
diminati oleh warga sekitar, sehingga didirikan perkumpulan di rumah salah
satu warga yang sekaligus ditunjuk sebagai Tuntunan Sanggar pertama kali
saat itu yang bernama Pak Miskan.13
Kehidupan sosial yang berkembang dalam pergaulan sehari-hari di
Desa Balongdowo antara masyarakat dan pengikut Aliran Kerokhanian Sapta
Darma terjalin sangat akrab dan harmonis. Hal ini dapat dilihat dari hubungan
yang terjalin pada saat salah satu warga ada yang meninggal, punya hajatan
dan pada saat itulah mereka saling membantu.
Sejak awal berdirinya Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo tidak berjalan dengan mudah. Banyak sekali tantangan dan
rintangan yang berusaha untuk menghambat kemajuan Aliran Kerokhanian
Sapta Darma di Desa Balongdowo. Tantangan dan rintangan yang dihadapi
yaitu bahwa masih banyak adanya pandangan beberapa masyarakat yang
masih menganggap bahwa Aliran Kerokhanian Sapta Darma merupakan aliran
sesat. Setelah terjadinya peristiwa pemberontakan G.30.S.PKI Tahun 1965
12
Papan nama PERSADA Kabupaten Sidoarjo.
10
aliran Kerokhanian yang dianggap menjadi sarang penyusupan komunis,
sehingga pada tahun 1966 pemerintah mengadakan pembersihan terhadap
aliran-aliran yang berinfiltrasi PKI. Secara agama Aliran Kerokhanian Sapta
Darma belum diakui oleh UUD dan keberadaannya belum mendapatkan
legalitas dari pemerintah.
Selain menghadapi tantangan dan rintangan, dalam perkembangan
Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo juga harus berhadapan
dengan respon masyarakat. Respon masyarakat Desa Balongdowo terhadap
aliran Kerokhanian Sapta Darma yaitu: Menerima, meski bukan termasuk
pengikut atau penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma berpendapat bahwa
aliran tersebut tidak mengganggu dalam melakukan aktivitas spiritual maupun
keseharian dan tidak sampai menimbulkan gejolak yang membawa kerugian
bagi masyarakat setempat.14 Bersifat netral, menurut warga masyarakat yang
berpendapat kurang setuju yaitu sejak keberadaan aliran Kerokhanian Sapta
Darma ditengah-tengah masyarakat, mereka merasa asing sekali jika melihat
cara mereka menghadap sang pencipta. Tetapi meskipun begitu keberadaan
mereka tidak membawa keresahan masyarakat Desa Balongdowo.15 Menolak,
masyarakat yang tidak setuju atas keberadaan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma yaitu selain mereka asing dengan ajaran Sapta Darma, mereka juga
14
Ahmad Zaini (Masyarakat NU Desa Balongdowo) Wawancara, Sidoarjo, 22 April 2016.
11
menghawatirkan akan membawa keburukan bagi masyarakat dalam pergaulan
sehari-hari yang berpengaruh bagi anak-anak yang masih kecil.16
Fenomena yang terjadi dalam masyarakat seperti dipaparkan di atas
sangat menarik bagi penulis untuk diteliti. Penulis ingin mencermati
fenomena tersebut dengan melakukan penelitian mengenai perkembangan
penganut gerakan kebatinan. Dalam penelitian ini penulis mengambil
Organisasi Kebatinan Sapta Darma di Desa Balong Dowo Sidoarjo sebagai
obyek penelitian. Ini dikarenakan organisasi ini merupakan salah satu dari
lima aliran terbesar di Jawa. Untuk itu penelitian ini penulis bingkai dengan
judul “Sejarah Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma dan Respon
Umat Islam di Desa Balongdowo Sidoarjo tahun 1985-2015”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah masuknya aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo Sidoarjo?
2. Bagaimana perkembangan aliran Kerohanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo Sidoarjo?
3. Bagaimana respon masyarakat muslim terhadap aliran Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo?
12
C. Tujuan Penelitian
Dalam melakukan sebuah penelitian pasti telah dirumuskan tujuan
penulisanya. Hal ini dilakukan agar sebuah penelitian tersebut memiliki arah
yang jelas. Begitu juga dengan penelitian skripsi ini, penulis memiliki tujuan
diantaranya:
1. Untuk mengetahui sejarah masuknya aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo.
2. Untuk mengetahui perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo Sidoarjo.
3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aliran Kerokhanian Sapta
Darma di Desa Balongdowo Sidoarjo.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang dapat diambil dari penelitian skripsi ini ialah:
1. Secara Akademik (Praktis)
a. Hasil daripada penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bagi penelitian di bidang kesejarahan.
b. Memberikan sumbangan wacana bagi perkembangan perbendaharaan
ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sejarah.
2. Secara Ilmiah (Teoritis)
a. Penelitian ini diharapkan dapat dibaca dan diambil manfaatnya oleh
banyak orang dan kelompok keagamaan Islam di Indonesia. Supaya
13
buru, dan emosi. Selain itu semoga hasil penelitian ini dapat
dijadikan rujukan untuk merumuskan kembali kerukunan umat
beragama, khususnya dalam ukhuwah islamiyah.
b. Untuk memperkaya kajian sejarah di Indonesia khususnya yang
terkait dengan sejarah perkembangan aliran Kerokhanian Sapta
Darma.
E. Pendekatan dan Kerangka Teoritik
Penelitian skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Aliran
Kerokhanian Sapta Darma dan Respon Umat Islam di Desa Balongdowo
Sidoarjo 1985-2015” ini merupakan penelitian lapangan yang bersifat
kualitatif. Pendekatan yang akan peneliti gunakan merupakan pendekatan
sosiologi. Dalam hal ini, penulis berusaha mengungkapkan latar belakang
sejarah dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Aliran
Kerokhanian Sapta Darma.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori yang dirumuskan
oleh James W. Fowler yaitu:
1. Teori perkembangan atau Development yaitu usaha psikologi ilmiah
untuk menguraikan dan menganalisis dinamika proses perkembangan
tahap-tahap kepercayaan secara empiris dan teoritis. Dengan penekanan
pada aspek “perkembanagan”, maka penggunaan istilah “proses” pada
setiap bidang menjadi metaphor paling mendasar, yang meresapi semua
14
dalam kepercayaan. Proses tersebut terwujud dalam urutan sejumlah
tahap perkembangan kepercayaan, yaitu proses, dinamika, perkembangan,
pertumbuhan, kemajuan, dan sebagainya.17
Menurut Fowler, semua proses yang akhirnya berfokus pada metaphor
perkembangan itu sangat sesuai pula untuk memahami hidup kepercayaan
kita. Maka kita memusatkan perhatian pada dinamika proses
pembentukan, perubahan dan kemajuan dalam hidup kepercayaan
orang.18 Dari teori tersebut, diharapkan penulis dapat mengetahui dan
perkembangan bahkan kemajuan dari Aliran Kerokhanian Sapta Darma di
Desa Balongdowo Kecamatan Candi Kabupten Sidoarjo sebagai bentuk
dari sebagian kepercayaan masyarakat Desa Balongdowo.
F. Penelitian Terdahulu
Kajian-kajian tentang aliran Sapta Darma dalam kegiatan akademika
sejauh pengetahuan penulis sebenarnya sudah ada beberapa orang yang
pernah meneliti, namun kebanyakan yang meneliti tentang ajarannya saja,
sedangkan pada penelitian ini penulis lebih menekankan pada perkembangan
aliran Kerokhanian Sapta Darma dari sejarah awal masuk dan berkembangnya
aliran Kerokhanian Sapta Darma, dan respon masyarakat muslim terhadap
aliran Kerokhanian Sapta Darma, sedangkan yang meneliti tentang
perkembangan alirannya tersebut bisa dibilang jarang.
17
15
Berikut ini hasil penelitian tentang ajaran Sapta Darma sebelumnya:
1. Skripsi, Muhammad Yusuf, 96522149, Prodi Perbandingan Agama,
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Agama Islam
Dalam Kerohanian Sapta Darma”, 2002, isi: unsur Agama Islam yang
terdapat dalam Sapta Darma, mengapa agama Islam dapat masuk dalam
kerohanian Sapta Darma dan mengapa unsur-unsur tertentu saja yang
diserap.
2. Skripsi, Sri Munawaroh, 02510985, Prodi Filsafat Islam, Fakultas
Usuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Manusia Sempurna
Menurut Ajaran Kerohanian Sapta Darma”, 2008, isi: bagaimana pandangan Kerokhanian Sapta Darma tentang manusia sempurna dan
bagaimana jalan penghayatan menuju manusia sempurna menurut
Kerokhanian Sapta Darma.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian, kegunaan sebuah metode penelitan memiliki peran
yang cukup besar dalam keberlansungan sebuah penelitian. Dalam penelitian
ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terbagi atas empat
tahapan yaitu:
1. Heuristic atau pengumpulan sumber yaitu suatu proses yang dilakukan oleh
16
lampau.19 Dalam tahap ini peneliti berusaha mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu Aliran Kerokhanian
Sapta Darma. Dalam usaha untuk mengumpulkan sumber tersebut peneliti
menemukan sumber-sumber yang terdiri dari sumber primer dan sumber
sekunder.
a. Sumber Primer
1) Wawancara dengan ketua (tuntunan) dan beberapa tokoh dan
pengikut Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
Sidoarjo.
2) Karya tulis dari Sri Pawenang yaitu Mewarah Kerokhania Sapta
Darma Jilid I.
3) Surat Keputusan Menkumham
4) Susunan Pengurus Organisasi
5) Dokumentasi berupa foto-foto kegiatan rutinitas Aliran
Kerokhanian Sapta Darma, tempat ibadah (sanggar), dll.
b. Sumber Sekunder, berupa:
1) Web Resmi Aliran Kerokhanian Sapta Darma
2) Buku-buku yang dipakai untuk membantu memperlengkap informasi.
2. Kritik sumber, ialah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang
didapatkan guna mengetahui kejelasan sumber tersebut, apakah jejak-jejak
17
itu sejati (orsinil) baik bentuk maupun isinya.20 Dalam kegiatan ini penulis
melakukan dua kritik sumber yaitu kritik intern dan ekstern. Kritik intern
dilakukn penulis untuk melihat isi sumber tersebut apakah kredibilitas atau
tidak.21 Dari kritik intern yang penulis lakukan terhadap sumber yang
penulis dapatkan. Penulis menyimpulkan ada beberapa sumber yang isinya
penulis ragukan kredibilitasannya. Di antara sumber yang penulis ragukan
kredibilitasnya ialah sumber-sumber yang penulis dapatkan dari surat kabar
dan wawancara. Hal ini dikarenakan wawancara dan surat kabar terkadang
disisipi oleh unsur subyektivitas.
Sedangkan kritik ekstern dilakukan guna melihat apakah sumber
yang didapatkan tersebut autentik atau tidak.22 Upaya penulis untuk
mendapatkan sumber-sumber yang kredibel dan autentik ialah dengan cara
observasi langsung ke ketua aliran Kerokhanian Sapta Darma dan
melakukan wawancara dengan ketua Tuntunan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma Kabupaten, kemudian penulis juga meminjam arsip-arsip dari ketua
aliran Kerokhanian Sapta Darma untuk di foto copy untuk dijadikan bukti
yang valid bagi penelitian skripsi ini.
3. Intepretasi ialah menetapkan makna dan saling hubungan daripada
fakta-fakta yang diperoleh.23 Dalam proses ini penulis mendapati ada beberapa
20 Ibid.,68. 21
Lilik Zulaicha, Metodologi Sejarah 1 ( Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2005), 17. 22
Ibid., 17.
18
sumber yang penulis dapatkan tidak lansung terkait dengan peristiwa, tetapi
dengan analisa sumber tersebut memiliki kesatuan arti yang dapat
menghubungkan peristiwa yang penulis kaji. Jadi dalam hal ini penulis
merasa analisa yang penulis lakukan terhadap sumber yang didapatkan
kesemuanya dapat menghubungkan pada satu kesimpulan dan
kesinambungan untuk menjelaskan perkembangan Aliran Kerokhanian
Sapta Darma di Desa Balongdowo .
4. Historiografi ialah menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk
sebuah kisah.24 Dalam penyajian penulisan ini, penulis menekankan
penulisan pada sisi Aliran Kerokhanian Sapta Darma baik dalam segi
sejarah masuk, aktivitas pergerakan, serta tantangan dan respon mereka di
Desa Balongdowo.
H. Sistematika Pembahasan
Adapun untuk mendapatkan sebuah gambaran yang jelas dan
menyeluruh tentang pembahasan penelitian yang berjudul “Sejarah
Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma dan Respon Umat Islam di
Desa Balongdowo Sidoarjo Tahun 1985-2015” secara singkat dapat dilihat
pada sistematika pembahasan yang akan dipaparkan oleh penulis dalam
beberapa bagian.
Bab pertama yang merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
19
pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian
yang digunakan untuk mendapatkan sumber-sumber yang kredibel,
sistematika pembahasan, daftar pustaka sementara.
Bab kedua berisi mengenai kondisi masyarakat di Desa Balongdowo
meliputi letak geografis, demografis yang berisi (komposisi penduduk, tingkat
pendidikan, dan mata pencaharian) dan kehidupan sosial budaya (kehidupan
sosial masyarakat dan sistem kepercayaan masyarakat) yang heterogen
penduduknya.
Bab ketiga Perkembangan Aliran Sapta Darma di Desa Balongdowo
Sidoarjo Tahun 1985-2015. Dalam bab ini dijelaskan tentang sejarah awal
masuknya kebatinan di Jawa dan gambaran aliran kerokhanian Sapta Darma
yang meliputi (riwayat hidup pendirinya, ajaran Sapta Darma), serta
perkembangan aliran Kerokhanian Sapta Darma.
Bab keempat Kehidupan penganut Sapta Darma di Desa Balongdowo.
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai respon masyarakat terhadap aliran
Kerokhanian Sapta Darma yang berada di Desa Balongdowo Sidoarjo.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan
saran. Dalam bab ini akan disimpulkan hasil penelitian yang merupakan
BAB II
KONDISI MASYARAKAT DESA BALONGDOWO
A. Letak Geografis Desa Balongdowo
Desa Balongdowo merupakan salah satu desa yang termasuk dalam
wilayah Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Desa Balongdowo Kecamatan
Candi merupakan Desa yang cukup maju dengan kondisi kota yang tertata
rapi. Jalan yang menghubungkan Desa Balongdowo dengan daerah sekitarnya
merupakan jalan yang sudah beraspal dengan kondisi yang baik. Desa
Balongdowo yang terbagi menjadi tiga Dusun, yaitu Dusun Balongdowo,
Dusun Tempel, dan Dusun Pecis.27 Secara administratif Desa Balongdowo
memiliki batas-batas sebagai berikut:28
Sebelah Utara : Desa Klurak Kecamatan Candi
Sebelah Timur : Desa Kendal Pecabean Kecamatan Candi
Sebelah Selatan : Desa Ngaban Kecamatan Tanggulangin
Sebelah Barat : Desa Balong Gabus Kecamatan Candi
Luas wilayah Desa Balongdowo Kecamatan Candi +162.30 Ha.
Wilayah Desa Balongdowo meliputi 4 Rukun Warga (RW) dan 29 Rukun
Tetangga (RT). Desa Balongdowo terletak diketinggian 4 M dari permukaan
laut, dan banyaknya curah hujan 500 mm/tahun. Topografi dari kelurahan ini
27
21
termasuk dataran rendah dengan suhu udara minimum 32o C. Sedangkan
orbita Desa Balongdowo adalah:29
Jarak dari Pusat Pemerintahan Desa : + 2 KM
Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : + 5 KM
Jarak dari Ibukota Kabupaten : + 10 KM
Jarak dari Pusat Pemerintah Provinsi : + 30 KM
B. Demografis
1. Komposisi Penduduk
Desa Balongdowo dilihat dari komposisi penduduknya merupakan
wilayah Desa yang heterogen. Dari segi etnis, di wilayah Desa Balongdowo
selain terdapat suku Jawa, keturunan Cina, keturunan Arab, suku Madura,
dan orang-orang dari luar pulau Jawa, semua terdaftar sebagai warga Negara
Indonesia (WNI). Dari data monografi Desa Balong Dowo tidak ada warga
Negara Asing (WNA) yang tercatat menetap di Desa Balongdowo.
Jumlah penduduk Desa Balongdowo pada tahun 2015 sebanyak 7.003
jiwa, yang terdiri dari warga Negara Indonesia laki-laki 3.549 jiwa dan
warga Negara Indonesia perempuan 3.454 jiwa.30 Untuk melihat laju
pertumbuhan penduduk Desa Balongdowo Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo menurut jenis kelamin dapat dilihat dari table dan grafik di bawah
ini.
29
22
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk
Di Desa Balongdowo Menurut Jenis Kelamin
No. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah
1. 1980 1371 1272 2643
2. 1990 1766 1473 3239
3. 2000 1614 1783 3397
4. 2010 2880 2915 5795
5. 2016 3549 3454 7003
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidoarjo
Di dalam komunitas Sapta Darma di Desa Balongdowo dimana jumlah
warganya hanya sekitar 100 sampai dengan 200 orang. Hampir seratus persen
warganya berasal dari etnik Jawa. Berdasarkan wawancara dengan Bapak
Hadi Suprayitno selaku ketua umum Persatuan Sapta Darma (PERSADA)
Kabupaten, dapat di ketahui warga Sapta Darma di Desa Balongdowo paling
banyak berusia 18-55 tahun dan sebagian lagi berusia 56 keatas. Warga yang
berusia 65 keatas biasanya adalah generasi pertama, atau orang-orang pertama
yang masuk kedalam aliran kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo.31
2. Tingkat Pendidikan Masyarakat
Pendidikan adalah suatu usaha untuk meningkatkan daya pikir atau
mengubah cara berpikir dari yang tidak bisa menjadi bisa. Hal ini sesuai
23
dengan pembukaan UUD 1945 bahwa meningkatkan kecerdasan Bangsa
adalah suatu tujuan Bangsa Indonesia dimana tingkat kemajuan masyarakat
salah satunya dapat diperhatikan dari tingkat pendidikannya.32
Pendidikan di Desa Balongdowo bisa dikatakan tidak tertinggal jauh
dengan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan Desa Balongdowo sendiri bukan
merupakan daerah yang tertinggal, tetapi desa yang terletak di pinggir kota
yang telah mampu dan berkembang. Maka dari itu, tidaklah sulit bagi orang
tua untuk menyekolahkan anaknya, karena sarana dan prasarana yang
mendukung.
Pendidikan pada dasarnya tidak hanya menyelenggarakan pendidikan
formal seperti halnya TK (Taman Kanak-Kanak), Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan
Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan non formal yang dapat mendidik
anak adalah pendidikan pesantren, kursus atau bimbingan keluarga. Hal
tersebut dapat dilihat dalam table di bawah ini:
Tabel 2.2
Sarana Pendidikan Desa Balongdowo
32
UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak mendapat dan mengikuti pendidikan untuk mencerdaskan Bangsa Indonesia.
No. Status Pendidikan Jumlah
24
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo Kecamatan Candi
Berdasarkan pengelompokan pendidikan, dapat dilihat tingakat
pendidikan masyarakat cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari table komposisi
di Desa Balongdowo.
Table 2.3
Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Desa Balongdowo
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1. Tidak Tamat Sekolah Dasar 113
2. Tamat Sekolah Dasar 1816
3. Tamat Sekolah Menengah Pertama 2618
4. Tamat Sekolah Menengah Atas 1394
5. Tamat Akademi (D1 – D3) 192
6. Tamat Perguruan Tinggi 290
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo Kecamatan Candi.
Dalam komunitas aliran kerokhanian Sapta Darma di Desa
Balongdowo, pendidikan formal bagi warganya adalah hal yang sangat
penting. Oleh karena itu warga aliran kerokhanian Sapta Darma yang berusia
2. Taman Kanak-Kanak 3
3. Sekolah Dasar 1
4. Sekolah Menengah Pertama -
25
20-55 tahun banyak yang merupakan lulusan SMA atau sederajat, dan sedang
menjalankan pendidikan di perguruan tinggi maupun telah tamat perguruan
tinggi. Selain itu, tingakat pendidikan yang bisa dibilang tidak cukup tinggi
dapat dilihat dari para warga yang telah berumur lebih dari 60 tahun tapi
kebanyakan dari mereka merupakan lulusan setingkat SMP (Sekolah
Menengah Pertama).33
C. Keadaan Sosial Masyarakat Desa Balongdowo
1. Kondisi Sosial
Pola-pola hubungan yang berkembang dalam pergaulan sehari-hari dan
etika komunitas masyarakat Desa Balongdowo. Kehidupan suatu masyarakat
dalam garis besarnya mengikuti suatu tatanan atau prilaku yang biasa kita
sebut dengan adat istiadat. Tatanan prilaku, adat istiadat, atau etika dalam
praktek merupakan cita-cita, norma-norma, pendirian, kepercayaan, sikap,
aturan, hukum, undang-undang dan sebagainya yang mendorong kelakuan
manusia. Adat istiadat dalam suatu masyarakat timbul dan harus difahami
dengan cara belajar oleh para individu (warga) masyarakat satu demi satu,
lambat laun, terus-menerus, mulai pada saat sesudah mereka dilahirkan
sampai pada masa mereka hampir meninggal.34
Pada setiap komunitas masyarakat mengenal dan memakai etika yang
berlaku sebagai adat istiadat yang dijadikan patokan atau landasan dalam
33
26
berinteraksi antara individu atau individu dengan komunitas individu lain.
Bentuk interaksi ini akan semakin mematangkan pergaulan individu dalam
memahami seluk beluk etika yang ada dalam masyarakat. Proses pemahaman
ini diperlukan waktu yang panjang dalam pembelajarannya.
Adapun pola kehidupan masyarakat Desa Balongdowo yang sangat
sederhana, ini tercermin dari gaya berinteraksi, pakaian yang dikenakan dan
bangunan rumah yang mereka tempati. Dalam berinteraksi masyarakat Desa
Balongdowo sama dengan masyarakat desa-desa lain pada umumnya. Mereka
berinteraksi dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Dalam
penggunaan bahasa, terbagi menjadi tiga tingkatan pemakaian bahasa Jawa
yaitu mulai dari bahasa Jawa Kasar (ngoko), bahasa Jawa Halus (kromo), dan
bahasa Jawa yang sangat halus (kromo inggil). Ketiga bahasa ini digunakan
sesuai dengan status orang yang dihadapi dalam berkomunikasi, misalnya
bahasa Jawa Kasar digunakan ketika berhadapan dengan teman sebaya atau
digunakan orang tua terhadap anaknya. Bahasa Jawa kromo digunakan ketika
berkomunikasi dengan orang yang yang lebih tua, sedangkan pemakaian
bahasa Jawa kromo inggil digunakan anak terhadap orang tua.35
Dari pemakaian bahasa yang digunakan sehari-hari Nampak bahwa
masyarakat Desa Balongdowo memiliki etika bahasa dalam pergaulan yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang ditanamkan dan diajarkan semenjak kecil
oleh lingkungan keluarga yang kemudian tercermin dan dibawa dalam
27
berinteraksi pada lingkungan yang lebih luas. Sedangkan dalam berinteraksi
masyarakat Desa Balongdowo sangat terbuka dan lugas, namun masih
membatasi dengan benteng budaya Jawa yang sangat mengakar. Diantaranya
tradisi perkawinan, tingkepan, tahlilan orang meninggal dan berziarah
kemakam para wali.
Desa Balongdowo merupakan masyarakat asli dari suku Jawa. Oleh
karena itu hubungan pergaulan antar masyarakat terjalin sangat akrab dan
harmonis antar warga masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hubungan yang
terjalin pada saat salah satu warga ada yang meninggal, punya hajatan dan
pada saat itulah mereka saling membantu.
Berbagai bentuk kegiatan kemasyarakatan mewarnai kehidupan sosial
masyarakat Desa Balongdowo, terbukti hingga saat ini masyarakat masih
peduli dalam melestarikan tradisi-tradisi yang ada di Desa Balongdowo.
Beberapa tradisi yang masih dipertahankan diantaranya:
a. Dalam tradisi perkawinan, sistem melamar seperti masyarakat pada
umumnya. Orang yang melamar pertama kali adalah dari pihak laki-laki
lalu dilanjutkan dari pihak perempuan untuk meneruskan tindak lanjut
dan penentuan tanggal pernikahan. Dalam penentuan tanggal pernikahan
masih menggunakan Weton yaitu menggunakan perhitungan kelahiran
calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
b. Slametan Tingkepan, acara ini dilaksanakan pada bulan ke tujuh dari saat
28
Muhammad, Maryam, dengan tujuan agar bacaan tersebut dapat
menjadikan anak akan dilahirkan menjadi anak yang mempunyai akhlak
baik seperti yang terkandung dalam QS. Luqman, kalau yang dilahirkan
jenis kelamin laki-laki akan setampan dan soleh seperti Nabi Yusuf, jika
berjenis kelamin perempuan akan secantik dan solehah seperti Maryam.
c. Masyarakat juga masih melaksanakan slametan untuk orang yang
meninggal, selama 7 hari 7 malam dengan dibacakan QS. Yasin dan tahlil
dirumah orang yang meninggal.
d. Berziarah kemakam para wali atau makam para leluhur. Terbukti di Desa
Balongdowo, terdapat satu makam yang sangat dikenal oleh masyarakat
luas khususnya masyarakat Sidoarjo yaitu makam Syekh Suro Sulaiman
konon beliau adalah orang yang mbabat alas daerah Sidoarjo dan
mengamankan diri di Desa Balongdowo hingga meninggal.36 Dengan
adanya makam Syekh Suro Sulaiman tersebut, banyak warga yang sering
berziarah ke makam itu untuk memohon sesuatu kepada Allah melalui
perantara beliau. Biasanya makam itu ramai dikunjungi pada hari Kamis
Kliwon.
2. Kondisi Sosial Agama
Agama berasal dari kata Gam (bahasa Sansekerta) yang artinya pergi,
kemudian mendapat awalan I, U dan akhiran A sehingga pengertiannya
berubah menjadi jalan. Jadi agama, igama dan ugama dalam bahasa Bali
29
ketiganya mempunyai arti berikut, agama merupakan peraturan tata cara
upacara, hubungan manusia dengan raja. Igama yaitu peraturan tata cara
upacara dewa-dewa agung. Agama ialah peraturan tata cara dalam
berhubungan dengan manusia.37
Menurut kamus ilmiah popular agama adalah keyakinan dan
kepercayaan kepada Tuhan. Sedangkan agama menurut sosiologi yaitu
dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur
pernyataan iman di forum terbuka (masyarakat) yang manisfetasinya dapat
dilihat atau disaksikan dalam bentuk kaidah-kaidah, ritus dan kultus, atau
do’a-do’a.38
Dari pengertian-pengertian agama diatas penulis mengambil
kesimpulan bahwa agama adalah suatu keyakinan atau kepercayaan kepada
Tuhan yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan, tata cara ataupun
upacara yang dijadikan ikatan oleh manusia dengan Tuhannya.
Masyarakat Desa Balongdowo berdasarkan data monografi tahun
2016. Agama yang dianut adalah Agama Islam, Katolik, Protestan, Budha dan
Hindu. adapun jumlah pemeluk masing-masing Agama dapat dilihat pada
table berikut:
37
30
Table 2.4
Penduduk Desa Balongdowo Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah
1. Islam 4587
2. Kristen 1600
3. Hindu 405
4. Budha 204
5. Penganut Aliran Kepercayaan Tuhan
Yang Maha Esa
206
Sumber: Data Monografi Desa Balongdowo.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar atau
mayoritas penduduk Desa Balongdowo adalah beragama Islam. Meskipun
mayoritas penduduknya beragama Islam, pada dasarnya banyak masyarakat
Desa Balongdowo yang merupakan Islam “Abangan” atau mengaku
beragama Islam tetapi tidak menjalankan syari’at agama Islam. Selain agama
Islam, Kristen, Hindu dan Budha di Desa Balongdowo juga berkembang
aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun kelompok ini
bukan penganut agama akan tetapi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa merupakan suatu bentuk kebudayaan religi yang terus dikembangkan
oleh para penganutnya, sehingga mereka memiliki komunitas sendiri. Sering
31
terhadap Tuhan Yang Maha Esa masih dianggap bukan agama, sehingga
dalam data-data yang ada mereka tercatat sebagai pemeluk Agama Islam.39
Untuk memudahkan dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan Yang
Maha Esa maka diperlukan sarana ibadah. Adapun sarana ibadah yang ada di
Desa Balongdowo dapat dilihat sebagai berikut:
Table 2.5
sarana-sarana peribadatan untuk agama-agama yang telah diakui oleh
pemerintah. Tetapi ada satu srana peribadatan di Desa Balongdowo yan tidak
tercatat dalam data monografi, yakni juga terdapat sarana ibadah unruk
penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dinamakan
Sanggar. Selain digunakan sebagai sarana ibadah, sanggar juga digunakan
untuk sarana perkumpulan bagi komunitas aliran Sapta Darma tersebut.
Sanggar yang terdapat di Desa Balongdowo merupakan satu-satunya Sanggar
32
yang ada di Desa Balongdowo bahkan Sanggar ini merupakan sanggar pusat
bagi warga Sapta Darma di wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Dilihat dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kehidupan
keagamaan yang ada di Desa Balongdowo berjalan dengan baik, hubungan
antar pemeluk agama juga berjalan harmonis dan tidak ada pertentangan.
3. Kondisi Sosial Ekonomi
Dari data monografi Desa Balongdowo Maret 2016, menunjukkan
bahwa pekerjaan penduduk sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari tabel
dan grafik di bawah ini:
Tabel 2.6
Jumlah Penduduk di Desa Balongdowo Menurut Mata Pencaharian
No. Mata Pencaharian 1980 1990 2000 2010 2016
1. Petani 172 134 134 142 170
2. Nelayan 373 351 237 211 230
3. Pengusaha 7 15 30 23 7
4. Buruh 94 115 135 497 395
5. Pedagang 132 169 172 596 110
6. TNI - 2 4 16 15
7. Pegawai Negeri Sipil 17 28 33 42 34
33
Dari table dan grafik diatas diketahui bahwa mata pencarian penduduk
Desa Balongdowo sangat bervariasi, dan sebagian besar bermata pencarian
sebagai petani dan nelayan kupang. Petani di Desa Balongdowo dibagi
menjadi beberapa macam yaitu petani pemilik tanah, petani penggarap tanah
dan petani penggarap atau penyekap. Petani bagi masyarakat Desa
Balongdowo tidak hanya dalam pengertian orang yang menggarap sawah
tetapi juga petani tambak.
Dalam komunitas Kerokhanian Sapta Darma mata pencaharian
warganya sangat heterogen atau bermacam-macam. Tetapi paling banyak
warga Sapta Darma di Desa Balongdowo bermata pencaharian sebagai petani
sawah dan pedagang. Sebagian lagi sesuai dengan tingkat pendidikannya
bermata pencaharian sebagai pengusaha swasta, pegawai negeri sipil dan
bermacam pekerjaan yang lain. Warga Kerokhanian Sapta Darma yang
bermata pencarian sebagai petani kebanyakan adalah warga yang berusia 40
tahun keatas yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan setingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP).40
Perkembangan wilayah dapat diukur dari perkembangan non agraris
yang terdapat dalam wilayah tersebut. Begitu juga halnya dengan Desa
Balongdowo. Dengan semakin berkembangnya penduduk dan semakin
variatifnya kebutuhan masyarakat dalam mencukupi kebutuhan primer,
skunder hingga tersiernya maka perkembangan fasilitas perdagangan dan jasa
34
di Desa Balongdowo ini juga semakin pesat. Dengan adanya pasar tradisional
maupun rumah toko dan mini market yang semakin berkembang di sekitar
perumahan Desa Balongdowo. Hal ini dapat membantu dalam perekonomian
BAB III
MASUK DAN BERKEMBANGNYA ALIRAN KEROKHANIAN SAPTA
DARMA DI DESA BALONGDOWO 1985 – 2015
A. Sejarah masuknya Aliran Kerokhanian Sapta Darma
Aliran Kerokhanian Sapta Darma muncul di tengah-tengah masyarakat
Indonesia setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 27
Desember 1952, Hardjosopoero sebagai penerima wahyu, mendapat perintah
untuk menyebarkan Aliran Kerokhanian Sapta Darma kepada umat manusia
sebagai pegangan hidup setelah mengalami revolusi fisik yang cukup besar
menjelang proklamasi kemerdekaan.
Hardjo Sapuro lahir pada tahun 1910 di desa Sanding yang terletak di
sebelah barat pasar lama Pare, termasuk desa Pare, Kabupaten Kediri Propinsi
Jawa Timur. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat pada tahun1925 Hardjo Sapuro
mulai bekerja sebagai pemangkas rambut, selain itu Hardjo Sapuro juga
mempunyai pekerjaan sampingan yaitu membuat kasur dan membuat
blangkon. Menginjak usia 26 tahun, Hardjo Sapuro turut aktif dalam gerakan
PESINDO (Pemuda Sosial Indonesia) di Pare, aktif dalam SPR (Staf
36
kedaulatan, lalu Hardjo Sapuro mengundurkan diri dan bekerja kembali
sebagai pemangkas rambut dan hidup sebagaimana biasanya.41
Pada suatu hari tepatnya tanggal 27 Desember 1952 pukul 01.00
malam hari setelah pulang dari rumah temannya, Hardjo Sapuro mengalami
suatu kejadian yang tak pernah dialami sebelumnya. Badannya serasa ada
yang menggerakkan atau menggetarkan secara otomatis tanpa dapat dicegah
dan dikendalikan. Gerakan itu mengarahkan badannya menghadap ke Timur,
ketika Hardjo Sapuro mencoba menggerakkan badannya kearah lain tetapi
secara otomatis dikembalikan menghadap ke Timur lagi sampai berulang kali
dan berhenti pada pukul 05.00 (pagi).42
Keesokan harinya peristiwa yang dialaminya diceritakan kepada salah
satu temannya dan anehnya ketika Hardjo Sapuro sampai di rumah temannya
itu tiba-tiba Hardjo Sapuro dan temannya mengalami hal yang serupa dengan
apa yang dialami pada malam harinya, yaitu badan terasa digerak-gerakkan
oleh sesuatu yang ghaib. Kejadian serupa selalu dialami Hardjo Sapuro ketika
mengunjungi teman-temannya yang lain, sampai tujuh orang jumlahnya.
Gerakan tersebut menurutnya adalah “wahyu (ilham)”, sesuatu berkah
atau komunikasi langsung dari Tuhan, bukan doktrin atau teori intelektual
yang mungkin diperoleh melalui perantaraan seseorang manusia.43 Wahyu
41 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta : CV. Haji Mas Agung, Cet. III, 1990), 79.
42 Ilyas, Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, 152.
37
yang dimaksud oleh Hardjo Sapuro tersebut untuk pertama kali diterimanya,
wahyu ini berisi ajaran persujudan dan tata caranya. Untuk wahyu berikutnya
diterima Hardjo Sapuro berturut-turut dan terjadi selisih setahun dengan
wahyu sebelumnya. Wahyu-wahyu itu terdiri dari ajaran ngracut atau racut44,
simbol45, wewarah tujuh46, sesanti47, terakhir wahyu gelar Sri Gutama48,
Panuntun Agung Sapta Darma49, dan Hardjosapuro mendapat wahyu lagi
yang berisi perintah penggantian nama dari Hardjo Sapuro menjadi “Sri
Gutama”. Sri artinya ratu dan Gutama artinya berbudi luhur, jadi Sri Gutama
artinya adalah raja yang merajai semua orang yang berbudi luhur. Wahyu ini
didapat pada hari selasa Kliwon tanggal 27 Desember 1955 pukul 24.00 dan
melalui wahyu itu pula ia dilantik pemimpin Sapta Darma.
Hardjosapoero pertama kali menyampaikan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma adalah kepada teman-teman terdekatnya, kemudian disampaikan
kepada masyarakat di sekitar lingkungan tempat Hardjosopoero tinggal yaitu
di Kota Pare Kabupaten Kediri Jawa Timur. Semenjak itu, cerita tentang
44 Wahyu racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan atau menghadap Hyang Maha Kuasa.
45 Wahyu simbol adalah asal mula, sifat watak, dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi.
46 Wewarah tujuh adalah kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia.
47 Wahyu sesanti adalah membuktikan suatu etika atau ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus membahagiakan orang lain.
48 Sri Gutama adalah Sri artinya ratu dan Gutama artinya berbudi luhur, jadi Sri Gutama artinya adalah raja yang merajai semua orang yang berbudi luhur.
38
Aliran Sapta Darma mulai menyebar ke daerah-daerah lain sekitar Kota Pare,
seperti Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, dan masih banyak lagi.50
Dalam perjalanan Hardjosopoero dan para pengikutnya ke
daerah-daerah dan kota-kota lain, biasanya Hardjosopoero melakukan “peruwatan”
adalah semacam ritual untuk membuang hal-hal yang dianggap tidak baik.
Peruatan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat,
seperti makam-makam tua, pohon, benda-benda pusaka, roh-roh sesat, roh-roh
penasaran dan lain sebagainya. Tujuan dari peruatan ini adalah untuk
memintakan ampun kepada Yang Maha Kuasa atas dosa-dosa dan
dimohonkan tempat kepada manusia yang hidup maupun yang telah
meninggal.51
Di Kota Sidoarjo khususnya di Desa Balongdowo rt. 01 rw. 02
Kecamatan Candi, Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai berkembang pada
tahun 1985 yang dibawa oleh salah seorang warga Kota Bangil Pasuruan
bernama Pak Kusen, Pak Kusen mengenal Aliran Kerokhanian Sapta Darma
dari salah seorang temanya yang berasal dari Buduran Sidoarjo yang bernama
Pak Karim. Semenjak itu Aliran Kerokhanian Sapta Darma langsung banyak
diminati oleh warga sekitar, sehingga didirikan perkumpulan di rumah salah
satu warga yang sekaligus ditunjuk sebagai Tuntunan Sanggar pertama kali
saat itu, yang bernama Pak Miskan untuk melakukan sujud bersama di
50
39
rumahnya, sanggar yang berada di rumah Pak Miskan biasa disebut dengan
sebutan sanggar “Dompleng” yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah
“ikut”. Jadi sanggar “Dompleng” adalah sanggar yang masih ikut atau
menyatu dengan rumahnya tuntunan sanggar.52
Pengembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma pada waktu itu
adalah dengan cara pangusadan, yaitu istilah untuk penyembuhan di jalan
Tuhan. Artinya melakukan penyembuhan itu dilaksanakan atas kuasa dan
sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Hyang Maha Kuasa. Cara pangusadan
ini menjadi salah satu alternatif bagi warga ketika ada keluarganya yang sakit,
karena memang pada saat itu warga Desa Balongdowo belum banyak
mengenal tentang rumah sakit dan puskesmas. Semenjak itu Aliran
Kerokhanian Sapta Darma ini semakin berkembang, awalnya datang hanya
untuk pengobatan tapi setelah itu banyak pula yang menjadi penganut Aliran
Kerokhanian Sapta Darma.53
Bagi orang yang melakukan pertolongan ini dengan cara pangusadan,
dilarang sama sekali mengharapkan balas jasa atau pamrih, berupa apapun,
melainkan berdasarkan cinta kasih atau belas kasihan, jadi semata-mata
menjalankan sifat dan sikap Kerokhanian Allah Hyang Maha Kuasa. Tetapi
cara pengembangan dengan jalan pengusadan ini tidak berlangsung lama, cara
40
ini mulai banyak ditinggalkan oleh warga karena keingintahuan lebih mereka
untuk mempelajari dan mendalami Aliran Kerokhanian Sapta Darma.54
B. Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
Aliran Kerokhanian Sapta Darma sendiri bukanlah agama, tetapi
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga siapapun
yang ikut ke dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma diperbolehkan karena
Aliran Sapta Darma merupakan wadah untuk seluruh umat manusia yang
mengikuti Sapta Darma.55
Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo
dapat dilihat dari:
a. Perkembangan Warganya
Di dalam Aliran Kerokhanian Sapta Darma pengikut atau penganut
Aliran ini disebut sebagai warga Sapta Darma. Sejak masuk dan dikenalnya
Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo pada tahun 1985,
kebanyakan penganut Aliran Kerokhanian Sapta Darma adalah para sesepuh
tetapi banyak diantara penganut saat ini yang masih anak-anak kecil dan
remaja.56
Untuk para remaja biasanya dilakukan kegiatan 2 minggu sekali, dan
kegiatan mereka biasanya tidak terpaku pada satu sanggar saja, akan tetapi
kegiatan mereka dilakukan di sanggar-sanggar lain dengan cara bergiliran,
54 Ibid. 55
41
dengan tujuan sebagai ajang silaturahmi dan memberikan semangat dalam
meramaikan sanggar dan melakukan sembahyang atau sujud bersama di
sanggar. Dan untuk anak-anak kecil, kegiatan mereka biasanya dilakukan
setiap 6 bulan sekali, yaitu dengan cara mengunjungi tempat wisata, disana
mereka diajak bermain tetapi juga dengan mengajarkan ajaran Sapta Darma,
seperti diajarkan cara duduk bersila atau bersimpuh yang benar, diajarkan cara
ketika tangan bersendekap, diajarkan ketika sujud, dan lain sebagainya.57
Dilain hal, perkembangan warga Aliran Sapta Darma di Desa
Balongdowo pernah mengalami kemunduran disaat adanya pemberontakan
G30-S/PKI, pada tahun ini masyarakat mulai masuk ke dalam agama-agama
yang telah diakui oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak
memeluk salah satu agama disebut sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia).
Aliran Kerokhanian Sapta Darma di Desa Balongdowo pada waktu itu juga
mendapat pengawasan dari pihak kepolisian, akan tetapi kerena ajarannya
dianggap tidak melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan
kebebasan dalam menjalankan ibadahnya.58
Perkembangan Aliran Kerokhanian Sapta Darma mulai mengalami
kemajuan kembali pada tahun 1992, hal ini ditandai dengan didirikannya
Sanggar yang bersifat umum, tidak lagi ikut atau menyatu dengan rumah Pak
Miskan. Sanggar yang bersifat umum dan berada di daerah-daerah disebut
57 Ibid.
42
dengan sanggar Candi Busana, tujuan pembangunan sanggar adalah agar
kegiatan warga dapat lebih optimal. Tanah yang digunakan saat itu adalah
tanah yang dihibahkan oleh salah satu warga Sapta Darma.59
b. Perkembangan Lembaga
Dengan kemajuan saat ini, adanya para penganut remaja dan dewasa,
maka perlu dibentuk sistem kepengurusan agar lebih terorganisir. Sistem
kelembagaan yang semula hanya ada tuntunan di daerah yang bertugas
membantu mengawasi para warganya agar Aliran Kerokhanian Sapta Darma
tidak disalah gunakan, kemudian diperbaharui untuk meningkatkan kinerja
dalam kepengurusan Aliran Kerokhanian Sapta Darma. Kelembagaan tersebut
meliputi:
1) Tuntunan
Tuntunan adalah warga Aliran Sapta Darma yang mendapat tugas
mengawasi warga Sapta Darma dalam menjalankan ibadah dan ajaran Aliran
Kerokhanian Sapta Darma agar tidak menjadi penyimpangan ajaran. Tuntunan
di dalam Aliran Sapta Darma hanya mengurusi masalah kerokhanian saja. Di
Desa Balongdowo Tuntunan Aliran Sapta Darma adalah Pak Sanadi.
2) PERSADA (Persatuan Sapta Darma)
PERSADA (Persatuan Sapta Darma) adalah bentuk organisasi dari
Sapta Darma, adapun susunan kepengurusan di Desa Balongdowo adalah
sebagai berikut:
43
Bagan 3.7 Struktur Kepengurusan Aliran Kerokhanian Sapta
Darma di Desa Balongdowo Candi Sidoarjo
Ketua Umum: Hadi Suprayitno
Sekertaris: Agung Widodo
Bendahara: Hadi Sunaryo
Bidang Rohani: RA. Suseno
Bidang Hukum dan Advokad: Abd. Rokhim
Bidang Organisasi: Eko Sugitaryo
Bidang Kesejahteraan: Moch. Juri
Bidang Wanita: Mariana
Bidang Remaja: Gayuh Laksono P
44
Tugas-tugas pengurus PERSADA sebagai berikut:
1. Tugas Ketua PERSADA
a. Mengkoordinasikan semua kegiatan peda jenjangnya.
b. Menetapkan arah pembinaan PERSADA agar selaras dengan tujuan
program kerja ERSADA.
c. Mengatur pembagian tugas para wakil, sekertaris dan bendahara.
d. Mewakili PERSADA keluar dan kedalam.
e. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan segala kegiatan
PERSADA yang dipimpinnya dalam sarasehan pada jenjangnya.
2. Tugas Sekretaris
a. Memimpin dan melaksanakan tugas tata usaha atau administrasi
PERSADA pada jenjangnya.
b. Melayani dan mempersiapkan sarasehan sesuai jenjangnya.
c. Melayani seluruh kegiatan PERSADA sesuai jenjangnya.
d. Menyelesaikan penyelesaian lebih lanjut segala keputusan
PERSADA sesuai dengan jenjangnya.
C. Tugas Bendahara
a. Menerima, menyimpan dan mengeluarkan uang sesuai dengan
ketentuan ketua.
b. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan dengan bukti yang sah
45
c. Bertanggungjawab atas resiko yang mungkin terjadi dalam
mengelola uang dan harta kekayaan.
d. Melaporkan tugas kerjanya kepada ketua.
e. Membukukan penerimaan dan pengeluaran uang dengan bukti-bukti
yang bisa dipertanggungjawabkan.
D. Tugas Bidang Kesejahteraan
a. Melaksanakan pembinaan para warga untuk meningkatkan persatuan
dan kesatuan (Tuntunan dengan tuntunana, Tuntunan dengan
pengurus PERSADA, Tuntunan dengan warga, pengurus PERSADA
dengan warga, warga dengan warga).
b. Melaksanakan pembinaan agar warga Aliran Kerokhanian Sapta
Darma meningkatkan hubungan dengan lingkungan sosialnya.
c. Melaksanakan pembinaan agar para warga meningkatkan peran serta
dalam penanganan masalah-masalah sosial.
d. Membudayakan kepada para warga untuk mengurusi layon secara
Kerokhanian Sapta Darma.
e. Melaporkan tugas pekerjaannya kepada ketua.
E. Tugas Bidang Wanita
a. Melaksanakan pembinaan kesadaran tanggung jawab dan peranan
wanita Kerokhanian Sapta Darma sebagai ibu rumah tangga, anggota
46
b. Berpartisipasi dalam pelaksanaanSarasehan Nasional Wanita
Kerokhanian Sapta Darma.
c. Mengadakan kerja sama dalam melaksanakan program kerjanya
dengan pengurus Aliran Kerokhanian Sapta Darma lainnya sesuai
dengan jenjangnya.
d. Melaporkan tugas kerjanya kepada ketua.
F. Tugas Bidang Remaja
a. Melaksanakan pembinaan peranan kesadaran, kreatifitas dan
tanggung jawab remaja Aliran Kerokhanian Sapta Darma sebagai
generasi penerus anggota PERSADA, serta dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b. Mengadakan kerja sama, konsultasi dalam mengadakan pembinaan
dengan para pengurus PERSADA lainnya sesuai dengan jenjangnya.
c. Berbartisipasi dalam pelaksanaan Sarasehan Nasional Remaja Aliran
Kerokhanian Sapta Darma.
d. Melaporkan tugas pekerjaannya kepada ketua.
3) Yayasan Srati Darma (YASRAD)
Yayasan Srati Darma (YASRAD) adalah badan hukum yang ada di
dalam Aliran Sapta Darma. Tugas dari yayasan ini adalah mengurusi dan
melayani kekayaan di dalam Sapta Darma. Yayasan Sarti Darma merupakan