• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jawa Menyiasati Globalisasi Studi Paguyuban Arso Tunggal Semarang"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Gerakan Humanisme dan Globalisasi Budaya Jawa di Tengah Arus Global Humanisme Kejawèn

Lampiran 1

Metode Penelitian

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi, berawal dari pemikiran-pemikiran

pada dimensi teoretik, yang kemudian digunakan sebagai

pan-duan untuk penelitian lapangan. Setelah itu, temuan-temuan

empirik digunakan untuk merumuskan pemikiran teoretik

baru. Kerangka penalaran tersebut dapat digambarkan sebagai

berikut:

Dimensi Teoretik

Dimensi Empirik

(2)

Penulis berpendapat, bahwa penelitian ini penting bagi

pembangunan bangsa Indonesia, yang saat ini kalah dalam

per-saingan dengan bangsa-bangsa lain. Secara hepotesis, salah satu

penyebabnya adalah, bangsa Indonesia cenderung ikut arus

glo-balisasi, tanpa memperkuat ketahanan budaya sebagai landasan

pembangunan.

Di bidang ekonomi, dalam konteks Perdagangan Bebas

ASEAN-Cina (ASEAN-China Free Trade Area

ACFTA)

misal-nya, produk-produk dalam negeri mendapat tekanan sangat

kuat oleh produk-produk Cina, bahkan oleh produk-produk

dari negara-negara lain anggota ASEAN. Di bidang politik,

pertahanan, dan keamanan, Indonesia telah kehilangan Pulau

Sipadan dan Ligitan yang diklaim Malaysia.

Menyusul setelah itu, Kuala Lumpur pun kemudian

mengklaim perairan Ambalat yang kemudian berujung pada

sengketa wilayah. Pada 13 Agustus 2010, Malaysia bahkan

berani menangkap dan memborgol tiga petugas Dinas Kelautan

dan Perikanan (DKP) Indonesia yang menangkap

nelayan-nelayan Malaysia yang beroperasi di perairan Indonesia,

Tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau. Sebelumnya, Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kehilangan Timor Timur

karena kekalahan dalam referendum.

Di bidang pendidikan tidak jauh berbeda. Dulu,

guru-guru Singapura dan Malaysia belajar dari Indonesia, tetapi

sekarang banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang justru

menempuh studi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di

dua negara tersebut.

(3)

lebih sering kalah. Prestasi sepakbola nasional merosot, bahkan

sering kalah dalam pertandingan melawan Thailand, Malaysia,

dan Singapura.

Di bidang budaya, bangsa Indonesia yang terkenal dengan

kekayaan budayanya yang sangat beragam, terkesan tidak

merawat dan mengembangkan budayanya sendiri. Semangat

kebangsaan (nasionalisme) luntur oleh penetrasi budaya asing,

banyak kearifan lokal yang pada zaman dulu menjadi kekuatan,

sekarang mulai memudar dan punah.

Manusia menjadi faktor yang sangat menentukan.

Glo-balisasi telah membawa pemahaman terhadap nilai-nilai

kemanusiaan yang berbeda dari nilai-nilai kemanusiaan yang

sudah berabad-abad hidup dalam masyarakat. Penetrasi arus

global memengaruhi cara berpikir bangsa ini, sehingga

melu-pakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

Pertanyaan Penelitian

Dari uraian tersebut, penulis berpendapat perlu ada

langkah-langkah konkret penguatan ketahanan budaya untuk

menyiasati globalisasi. Salah satu budaya yang perlu diperkuat

adalah budaya Jawa. Pertanyaannya: gerakan kelompok

masya-rakat yang melakukan langkah konkret itu? Kalau ada,

bagai-manakah langkah-langkah konkret itu dilakukan? Dapatkah

gerakan tersebut dijadikan model pembangunan nasional dalam

menangkal globalisasi?

Berdasarkan pertanyaan itu, penulis melakukan penelitian

terhadap Paguyuban Arso Tunggal, dengan argumentasi sebagai

berikut:

1.

Arso Tunggal merupakan perkumpulan berbasis

(4)

Arso Tunggal tidak hanya berhenti pada pelestarian

budaya dan nilai-nilai kemanusiaan Jawa, melainkan

memadukan kearifan lokal Jawa dengan

penelitian-penelitian ilmiah modern sehingga menghasilkan

karya nyata dalam bidang pengobatan dan pertanian,

sebagai langkah untuk menyiasati globalisasi;

3.

Penulis berasumsi, bahwa Paguyuban Arso Tunggal

dapat dijadikan model pengembangan budaya lokal

untuk menghadapi tantangan global.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan

langkah-langkah Paguyuban Arso Tunggal menyiasati globalisasi. Dalam

kerangka deskripsi itu, penulis juga menjabarkan hal-hal yang

berkaitan dengan humanisme Barat sebagai gerakan intelektual,

kebudayaan Jawa,

kejawèn

dan humanisme

kejawèn

, sebagai

entry point

untuk mendeskripsikan posisi dan langkah konkret

Arso Tunggal menyiasati globalisasi.

Pengumpulan Data

Sebelum memutuskan Paguyuban Arso Tunggal sebagai

subjek penelitian, penulis melakukan observasi pendahuluan

lebih dulu. Observasi pendahuluan tersebut untuk menentukan

layak tidaknya paguyuban ini diteliti dalam rangka penyusunan

disertasi.

(5)

dilakukan selama observasi partisipatif tersebut, melalui:

wawancara, dokumen-dokumen dan buku-buku yang

diterbit-kan paguyuban. Selain itu, penulis juga melakuditerbit-kan studi

kepu-stakaan yang terkait dengan masalah humanisme, kebudayaan

Jawa dan Kejawen, serta wawancara dengan beberapa tokoh

kebatinan.

Perspektif Subjektif dan Lokal

Seperti penelitian kualitatif pada umumnya, maka

peneli-tian ini bersifat subjektif-lokal. Penulis tidak berpretensi bahwa

hasil penelitian bersifat objektif, seperti yang lazim dikenal

dalam penelitian kuantitatif. Penelitian ini juga bersifat lokal,

sehingga peneliti tidak berpretensi bahwa hasil penelitian ini

bersifat universal dan berlaku pula di tempat lain. Peneliti

berasumsi bahwa hasil penelitian ini hanya berlaku pada objek

yang diteliti, yaitu Paguyuban Arso Tunggal.

Fenomenologi adalah filosofi sekaligus pendekatan

metodologis yang mencakup berbagai metode. Sebagai filosofi,

fenomenologi adalah salah satu tradisi intelektual utama yang

telah memengaruhi riset kualitatif. Sebagai pendekatan

meto-dologi, fenomenologi disambut oleh para peneliti dari berbagai

wilayah ilmu sosial, khususnya sosiologi dan psikologi, yang

menjadikan fenomenologi sebagai salah satu cabang filosofinya.

Fenomenologi membantu peneliti memasuki sudut pandang

orang lain dan berupaya memahami mengapa orang lain itu

menjalani hidup dengan cara mereka (Daymon, Holloway,

2008:228).

(6)

dari objek, orang-orang, tindakan, dan lembaga. Dunia

kehi-dupan merupakan pengalaman subjektif setiap orang mengenai

kehidupan sehari-hari mereka. Pengalaman subjektif tersebut

merupakan realitas sosial mereka, yang menentukan

makna-makna yang diberikan terhadap tindakannya sendiri maupun

tindakan orang lain.

Perspektif subjektif merupakan satu-satunya jaminan

yang perlu dipertahankan agar dunia realitas sosial tidak akan

pernah digantikan dengan dunia fiktif yang bersifat semu yang

diciptakan oleh peneliti ilmiah. Subjektivitas adalah

satu-satunya prinsip yang tidak boleh dilupakan ketika para peneliti

sosial memaknai objek-objek sosial. Yang ditekankan adalah

bagaimana orang-orang yang berhubungan dengan objek-objek

pengalaman memahami dan berinteraksi dengan objek tersebut

sebagai ‘benda’ yang terpisah dari peneliti (Denzin dan

Lincoln

(2009:336).

Inti pendekatan fenomenologi adalah gagasan mengenai

dunia kehidupan, pemahaman bahwa realitas tiap-tiap individu

berbeda, dan bahwa tindakan tiap-tiap individu hanya dapat

dipahami melalui pemahaman terhadap dunia kehidupan

individu, sekaligus melalui perspektif mereka. Oleh sebab itu,

tugas peneliti adalah mengakses “pemikiran akal sehat” orang

-orang dengan tujuan menafsirkan, motif-motif, tindakan, dan

dunia sosial mereka dari sudut pandang mereka.

Ciri-ciri penelitian fenomenologi, menurut Daymon dan

Holloway, meliputi pengungkapan dasar filosofis, mengurung

asumsi-asumsi, berfokus pada satu fenomena utama, menggarap

sampel kecil, dan menerapkan analisis data fenomenologi secara

tematik. Ciri-ciri tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

(7)

Kajian fenomenologi dimulai dengan diskusi mengenai

filosofi yang menyatukan riset. Hal ini penting berhubung

terdapat berbagai macam variasi elemen-elemen filosofis dari

fenomenologi, mencakup fenomenologi sosial (yang berfokus

pada tindakan sosial dan pengalaman kelompok), fenomenologi

transendental (yang menekankan pengalaman-pengalaman

individu), dan fenomenologi hermeneutika, yaitu peneliti

menginterpretasikan teks sesuai dengan konteks budaya, situasi,

dan sejarah tempat fenomena terjadi.

Mengurung asumsi-asumsi

Karena bertujuan melihat fenomena secara segar, maka

penting bagi peneliti menyatakan asumsi-asumsinya sendiri

mengenai fenomena yang diteliti. Kemudian berikan

“kurungan” pada asumsi

-asumsi itu, atau lupakan sejenak,

sehingga prasangka apa pun yang mungkin peneliti pegang

tidak menghalangi pemahaman terhadap pengalaman subjek

yang diteliti.

Berfokus pada fenomena utama

Riset fenomenologi berkaitan dengan pengalaman

orang-orang mengenai fenomena tertentu. Setelah mengidentifikasi

fenomena yang diteliti, peneliti mengembangkan

pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna.

Analisis data tematis

Tujuan akhir dari analisis data fenomenologi adalah

menam-pilkan gambaran analitis dan mendalam dari fenomena

yang diteliti; gambaran ini harus merefleksikan pengalaman

subjek penelitian, yang “hidup” dan “kaya.” Pendekatan

fenomeno-logi bersifat fleksibel, tidak kaku, dan hasilnya tidak

(8)

Garis Besar Perkembangan

Humanisme Barat

HUMANISME KLASIK HUMANISME PERIODE PERTENGAHAN HUMANISME MODERN HUMANISME POSTMODERN Kesadaran tentang eksistensi manusia.

“Abad gelap” bagi kemanusiaan.

Penemuan kembali masa ke-emasan Yunani Klasik dan Romawi Klasik. Kritik terhadap Humanisme Modern. Berusaha mencari jawaban tentang asal-usul, jatidiri, dan langkah-langkah meningkatkan martabat manusia. Dominasi agama/gereja terhadap setiap aspek kehidupan. Pikiran manusia sebagai subjek-tivitas, rasio sebagai kemam-puan kritis, sejarah sebagai kemajuan. Proyek emansipasi. Nilai-nilai budaya menjadi perhatian. Kebudayaan manusia lebih berperan. Kesadaran, bahwa manusia menentu-kan kehidupannya sendiri, tidak hanya tergantung pada alam dan kekuatan di luar diri manusia.

Masalah dalam hubungan antara iman dan akal budi.

Awal pelepasan diri dari masalah ketuhanan.

Isu ketuhanan tidak lagi banyak bermakna. Kesadaran subjektif, bahwa interaksi antar-subjek manusia adalah sesuatu yang penting untuk memanusiakan manusia. Gerakan-gerakan menentang domi-nasi agama/ gereja dengan cara me-ngembangkan lagi pemikiran Klasik yang berpusat pada manusia.

Mendewakan dan mensakralkan rasionalitas dan individu.

Tidak ada lagi batas-batas suku, bangsa, tingkatan sosial-ekonomi, budaya, dan batas-batas yang lain. Dunia menjadi tanpa batas. Embrio bagi perkembangan gerakan humanisme berikutnya. Pengertian tentang martabat makhluk hidup, martabat alam, tatanan alam dapat dimengerti oleh akal manusia dengan kemanusia-an sebagai pusatnya.

(9)

Lampiran 3

Garis besar Perbedaan

Humanisme Barat

dan Humanisme Kejawèn

Humanisme Barat Humanisme Kejawèn

Epistemologis Berdasarkan filsafat Barat yang

menerapkan pendekatan intelektual, menggunakan pikiran (ratio), bersifat teoretik-abstraktif, definisi-definisi, menghasilkan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan filsafat Jawa yang

menitikberatkan faktor rasa, bersifat deskriptif dan simbolik, berbicara mengenai bagaimana orang mencapai kebijaksanaan (wisdom). Protes terhadap dominasi institusi-institusi

agama/gereja.

Respons terhadap keadaan manusia dan alam semesta.

Mengutamakan rasionalitas, kepercayaan akan kemampuan manusia, hasrat intelektual, dan penghargaan terhadap disiplin intelektual.

Mengutamakan rasa (situasi batin), keyakinan bahwa manusia dapat “menyatu” dengan Tuhan sehingga dapat menentukan kehidupannya.

Yakin bahwa pikiran dapat melakukan segalanya dan lebih penting dari iman.

Yakin bahwa rasa dan kedekatan dengan Tuhan dapat membahagiakan manusia. Ontologis

Kebebasan individu manusia sebagai wujud pelepasan dari kekuatan di luar diri manusia (supranatural).

Kebebasan individu manusia sebagai wujud ”penyatuan” dengan Tuhan yang Maha Esa.

Tidak percaya terhadap keberadaan Tuhan (ateis) atau tidak peduli Tuhan ada atau tidak ada (nonteis).

Percaya bahwa Tuhanlah yang mengatur kehidupan manusia, sehingga manusia harus selalu dekat kepada-Nya.

Manusia adalah subjek kehidupan, termasuk dalam relasinya dengan alam semesta dan kekuatan lain di luar dirinya.

Manusia adalah bagian dari alam semesta dan alam semesta adalah bagian dari manusia. Keseimbangan relasi keduanya sangat penting.

Aksiologis Mengembangkan kemampuan pikiran (ratio) untuk hal-hal yang bersifat keilmuan.

Mengembangkan kemampuan rasa untuk hal-hal yang bersifat kearifan (wisdom). Mencari pengetahuan teoretis. Mencari pengetahuan yang berguna bagi

praktik kehidupan. Mengutamakan tujuan yang bersifat duniawi

dan materialistik. Jadi, tujuannya hanya kehidupan di dunia ini.

Lebih mengutamakan tujuan yang bersifat rohani, keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan manusia setelah meninggal dunia.

Bersifat objektif, sehingga berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bersifat subjektif, sehingga lebih

(10)

Perbandingan Pemaknaan Ide-ide Dasar

Humanisme: Antara Pemahaman Barat

dan Pemahaman Arso Tunggal

Barat Arso Tunggal

Humanisme merupakan bagian dari pandangan orang-orang yang berpikir tentang dirinya sendiri. Tidak ada rasa takut bagi seorang humanis dalam menghadapi tantangan dan eksplorasi.

Djoko Murwono tidak memiliki rasa takut menghadapi tantangan dan eksplorasi. Sejak kecil ia sudah menghadapi tantangan konflik budaya, setelah mendirikan Arso Tunggal dia menghadapi dominasi kekuasaan (global dan pemerintah Indonesia) dalam pengembangan pengobatan alternatif dan pertanian alternatif. Humanisme menitikberatkan pada makna

kemanusiaan untuk memahami realitas. Kaum humanis tidak mengabaikan pengetahuan yang bersifat transenden.

Gerakan Arso Tunggal didasari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang berasal dari Tuhan (sangkan paraning dumadi), berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungan dengan prinsip otoritas

kemanusiaan yang disinari oleh cahaya Tuhan (manunggaling kawula Gusti), dan

menitikberatkan pada aspek tindakan nyata (pakarti).

Humanisme adalah filosofi tentang ratio dan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini kaum humanis menolak pembuktian yang didasarkan pada keyakinan, otoritas, pengungkapan, dan pernyataan di luar kesadaran manusia.

Arso Tunggal mengembangkan pemahaman tentang pentingnya pikiran dan ilmu pengetahuan. Krenteg dan karep dinyatakan dalam karsa dan karya melalui riset ilmiah. Humanisme adalah filosofi imajinasi. Kaum

humanis mengakui bahwa intuisi, prasangka, spekulasi, inspirasi, emosi, pernyataan di luar kesadaran, dan bahkan pengalaman religius, kalau tidak valid secara ilmu pengetahuan, hanya menjadi sumber gagasan. Setelah diuji secara rasional dan terbukti bermanfaat, baru ide-ide itu dapat digunakan sebagai pendekatan penyelesaian masalah.

Paguyuban Arso Tunggal menerapkan landasan rasionalitas dan ilmu pengetahuan dalam pengembangan obat-obat bio fito farmaka dan SPOR.

Humanisme adalah filosofi tentang kedisinian dan kekinian. Kaum humanis memandang nilai-nilai kemanusiaan sebagai masuk akal hanya dalam konteks kehidupan manusia, bukan kehidupan setelah kematian.

Meskipun mengakui kekuasaan Yang Maha Kuasa, namun gerakan Arso Tunggal mengutamakan pemahaman, bahwa kehidupan manusia akan bermakna kalau bermanfaat bagi sesama manusia dan lingkungan alam. Pengutamaan itu diwujudkan dalam gerakan pengobatan alternatif dan pertanian alternatif.

Humanisme adalah filosofi perasaan. Etika humanis berkaitan dengan pertemuan kebutuhan manusia dan penyelesaian masalah kemanusiaan – baik secara individual maupun sosial – dan mengabaikan

(11)

kaitannya dengan entitas teologis. Humanisme Modern dan Postmodern mengabaikan kaitan kemanusiaan dengan entitas teologis, adapun humanisme kejawèn

Arso Tunggal berpandangan, bahwa gerakan kemanusiaan tetap disinari oleh kekuasaan Yang Maha Kuasa.

Humanisme merupakan filosofi realistik. Kaum humanis mengakui adanya dilema antara moral dan kebutuhan dalam pertimbangan-pertimbangan sebagai konsekuensi pengambilan keputusan moral.

Gerakan Arso Tunggal tidak lagi sekadar melestarikan nilai-nilai budaya Jawa sebagai wacana, melainkan sudah melakukannya dalam tindakan nyata yang bermanfaat bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu membuktikan, bahwa Paguyuban Arso Tunggal bersikap realistik menghadapi tantangan zaman.

Humanisme berada dalam irama keilmuan. Karena itu, kaum humanis mengakui bahwa kita hidup di dunia nyata dan tumbuh berkembang di planet ini dalam waktu yang panjang, bahwa tidak ada bukti tentang “jiwa” yang dapat dipisahkan, dan bahwa makhluk hidup memiliki kebutuhan-kebutuhan pasti sebagai dasar sistem nilai berorientasi kemanusiaan.

Gerakan Arso Tunggal, selain sebagai gerakan sosial budaya, juga gerakan keilmuan; melakukan riset-riset ilmiah untuk pengembangan pengobatan dan pertanian alternatif.

Humanisme seirama dengan pencerahan pikir. Kaum humanis sepakat dengan kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia, pemisahan institusi agama dan negara, pengembangan partisipasi demokrasi untuk menangani masalah sosial.

Arso Tunggal melakukan pencerahan pikir lewat sarasehan-sarasehan Reboan dan diskusi-diskusi dengan berbagai pihak. Gerakan pertanian alternatif mencerminkan pengembangan partisipasi demokrasi untuk menangani masalah sosial.

Humanisme sejalan dengan perkembangan teknologi. Kaum humanis berniat mengambil bagian dalam pengembangan ilmu dan penemuan-penemuan teknologi, terutama dalam memproteksi lingkungan.

Paguyuban Arso Tunggal menempatkan ilmu dan teknologi sebagai wahana yang penting dalam gerakan, yaitu riset ilmiah untuk pengobatan alternatif, pengembangan teknologi pertanian untuk memproteksi lingkungan.

Humanisme merupakan pandangan tentang cinta dan kehidupan. Kaum humanis bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri.

(12)

Skema Etos Bangsa Indonesia

dalam Bidang Hukum

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang sekarang masih merata pada orang-orang Indonesia

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang sesuai dan mendukung hukum

modern

Hukum modern

Menilai tinggi keselarasan Kesadaran individu yang tinggi

Karya manusia yang dibuat dengan sadar

Menolak konflik Konflik adalah fungsional Ditujukan untuk mencapai sesuatu

Kecenderungan pada ikatan-ikatan primordial

Diubah-ubah sesuai dengan kebutuhan

Paternalitis

Diferensiasi antara sektor-sektor publik dan privat-privat yang belum tinggi

(13)

Lampiran 6

Skema tentang Manusia Jawa

dan Jawa Kontekstual

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang sekarang masih merata pada orang-orang Jawa

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang sesuai dan mendukung Jawa

kontekstual

Jawa kontekstual

Menilai tinggi keselarasan Kesadaran individu yang tinggi

Keselarasan harus tidak bertentangan dengan usaha meningkatkan martabat manusia

Menolak konflik Konflik adalah fungsional Konflik tidak harus ditolak kalau memang tidak bisa ditolak, demi mencapai kemajuan menurut kaidah-kaidah yang benar untuk meningkatkan martabat manusia Kecenderungan pada ikatan-ikatan primordial Ikatan primordial dipertimbangkan sepanjang mendukung kemajuan dalam martabat manusia

Ketat/longgarnya ikatan primordial disesuaikan dengan kebutuhan menjawab tantangan global

Paternalistis Paternalistis hanya berlaku

sebagai penjabaran dari prinsip rukun dan hormat, tapi tidak mengurangi apresiasi terhadap kualitas dan kebenaran

Paternalistis itu perlu, tapi yang lebih penting adalah martabat manusia

Diferensiasi antara sektor-sektor publik dan privat-privat yang belum tinggi

Harus ada pemisahan antara sektor publik dan sektor privat

Sektor publik maupun sektor privat diukur dari sejauh mana sumbangannya terhadap peningkatan martabat manusia

Kerendahan hati yang sering “terpeleset” menjadi rendah diri

Kerendahan hati sebagai kepandaian menempatkan diri dalam pergaulan (dengan manusia lain, dengan bangsa-bangsa lain)

Kerendahan hati justru sebagai faktor pendorong kemajuan

Gumunanlankagètan

(mudah heran dan terkaget-kaget) terhadap budaya dari luar

Budaya sendiri tidak kalah dari budaya dari luar

“Modernisasi” budaya sendiri, menghasilkan karya untuk menangkal pengaruh budaya dari luar

Budaya Jawa hanya menghasilkan kearifan individual

Budaya Jawa harus menghasilkan karya nyata yang tidak hanya bersifat individual, melainkan juga bermanfaat bagi banyak orang

(14)

Beberapa Ungkapan Jawa

yang Perlu Direkonstruksi

UNGKAPAN PEMAHAMAN LAMA PEMAHAMAN BARU

Alon-alon waton kelakon,

aja kebat kliwat, aja grusa-grusu

Lambat dalam mengerjakan tugas

Mengerjakan tugas dengan hati-hati, tidak tergesa-gesa; berorientasi pada kualitas

Mangan ora mangan

kumpul Lebih penting kumpul dengan sanak saudara meskipun secara ekonomi

berkekurangan

Kualitas komunikasi dengan sanak saudara dan relasi itu penting karena dapat mendorong keberhasilan usaha

Ana dina ana upa, ana sethithik didum sethithik, ana akèh didum akèh

Tidak perlu berusaha optimal karena tiap-tiap hari mempunyai rezeki sendiri-sendiri untuk dibagi-bagi sesuai dengan jumlah rezeki itu

Seseorang harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup secara pribadi dan membantu orang lain

Ana rembuk dirembuk, ana nalar dinalar

Segala sesuatu bisa diatur. Dikonotasikan negatif sebagai kolusi, korupsi, nepotisme (KKN)

Seseorang harus memiliki kepandaian dalam negosiasi untuk melancarkan usaha. Konotasinya positif, bukan KKN

Tuna sathak, bathi

sanak Tidak masalah rugi secara harta benda, asal memiliki banyak teman

Semangat membangun jejaring (networking), karena kalau kita memiliki banyak teman akan membuka akses untuk melakukan kegiatan (usaha)

Éwuh pakéwuh Merasa sungkan pada orang lain, sehingga tidak berani mengatakan “tidak” untuk sesuatu yang tidak benar

Sikap tahu diri dalam pergaulan, tidak menyakiti hati orang lain, pandai mengungkapkan suatu kebenaran secara tepat

Wani ngalah luhur

wekasané Selalu mengalah dalam menghadapi masalah

Mengalah bukan berarti kalah, melainkan strategi untuk mencapai sasaran yang lebih besar

Sepi ing pamrih,

ramé ing gawé Bekerja tanpa memperhitungkan imbalan (titik berat pada sepi ing pamrih)

Bekerja keras dengan keyakinan bahwa imbalan merupakan akibat dari kerja keras

(titik berat pada ramé ing gawé)

Bandha iku anané anèng donya, mula yèn mati ora digawa

Tidak perlu mengejar harta benda, karena tidak akan dibawa mati

Bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup di dunia, karena kerja keras untuk mencukupi hidup merupakan tugas mulia manusia

Narima ing pandum Menerima saja apa adanya yang sudah diterima; menyerah pada keadaan

(15)

Pasrah sumarah Tidak berusaha, hanya menyerahkan segala sesuatu kepada Yang Maha Kuasa

Berusaha untuk mencapai cita-cita dilandasi oleh bimbingan Yang Maha Kuasa

Tepa salira Memahami perasaan orang orang lain, cenderung mengikuti saja kehendak orang lain

Empati; memahami perasaan orang lain, namun memiliki pendirian sendiri yang belum tentu sama dengan pendirian orang lain

Swarga nunut,

neraka katut Istri hanya mengikuti suami. Kalau suami senang, istri ikut senang, suami celaka istri ikut celaka

Semangat istri untuk ikut memberi kontribusi terhadap kondisi rumah tangga; bahwa sorga dan neraka rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama

Sugih tanpa bandha Harta benda itu tidak penting, karena yang lebih penting adalah kaya dalam jiwa

Kaya harta benda bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi kekayaan itu harus didasari oleh jiwa yang bersih, sehingga tidak menimbulkan keserakahan

Sabda pandhita ratu

tan kena wola wali Perkataan pemimpin harus dituruti dan tidak boleh berubah-ubah (pemahaman dari sisi orang yang dipimpin)

Seorang pemimpin harus konsisten dalam penentukan kebijakan dan mengambil keputusan

(pemahaman dari sisi pemimpin)

Jawa nggoné rasa Orang Jawa selalu memakai perasaan dalam merespons masalah, sehingga tidak rasional

Orang Jawa selalu menggunakan hati untuk menyinari pikiran (intelektualitas) dalam menghadapi masalah.

Ngrogoh sukma Meraih jiwa untuk dikeluarkan dari tubuh

Jiwa harus diragakan, sehingga menjelma menjadi kekuatan pikiran (ngraga sukma)

Ngono ya ngono,

nanging aja ngono Sikap permisif terhadap hal-hal yang tidak baik

Sikap yang tepat untuk mencapai tujuan; menyesuaikan dengan kondisi (dalam kepemimpinan dikenal sebagai situational leadership)

Mikul dhuwur,

mendhem jero Mengungkapkan hal-hal yang baik saja dan menutupi kelemahan-kelemahan orang yang sudah meninggal

Belajar dari pengalaman orang-orang yang sudah meninggal. Hal-hal yang baik ditiru, Hal-hal-Hal-hal yang buruk ditinggalkan

Urip iku mung

sakderma nglakoni Hidup sekadar menjalani, tidak perlu berusaha dengan ngotot karena smua sudah diatur “Yang di Atas”

(16)

Humanist Manifesto I

The Manifesto is a product of many minds. It was designed to represent a developing point of view, not a new creed. The individuals whose signatures appear would, had they been writing individual statements, have stated the propositions in differing terms. The importance of the document is that more than thirty men have come to general agreement on matters of final concern and that these men are undoubtedly representative of a large number who are forging a

new philosophy out of the materials of the modern world. —

The time has come for widespread recognition of the radical changes in religious beliefs throughout the modern world. The time is past for mere revision of traditional attitudes. Science and economic change have disrupted the old beliefs. Religions the world over are under the necessity of coming to terms with new conditions created by a vastly increased knowledge and experience. In every field of human activity, the vital movement is now in the direction of a candid and explicit humanism. In order that religious humanism may be better understood we, the undersigned, desire to make certain affirmations which we believe the facts of our contemporary life demonstrate.

(17)

Today man's larger understanding of the universe, his scientific achievements, and deeper appreciation of brotherhood, have created a situation which requires a new statement of the means and purposes of religion. Such a vital, fearless, and frank religion capable of furnishing adequate social goals and personal satisfactions may appear to many people as a complete break with the past. While this age does owe a vast debt to the traditional religions, it is none the less obvious that any religion that can hope to be a synthesizing and dynamic force for today must be shaped for the needs of this age. To establish such a religion is a major necessity of the present. It is a responsibility which rests upon this generation. We therefore affirm the following:

FIRST: Religious humanists regard the universe as self-existing and not created.

SECOND: Humanism believes that man is a part of nature and that he has emerged as a result of a continuous process.

THIRD: Holding an organic view of life, humanists find that the traditional dualism of mind and body must be rejected.

FOURTH: Humanism recognizes that man's religious culture and civilization, as clearly depicted by anthropology and history, are the product of a gradual development due to his interaction with his natural environment and with his social heritage. The individual born into a particular culture is largely molded by that culture.

FIFTH: Humanism asserts that the nature of the universe depicted by modern science makes unacceptable any supernatural or cosmic guarantees of human values. Obviously humanism does not deny the possibility of realities as yet undiscovered, but it does insist that the way to determine the existence and value of any and all realities is by means of intelligent inquiry and by the assessment of their relations to human needs. Religion must formulate its hopes and plans in the light of the scientific spirit and method.

SIXTH: We are convinced that the time has passed for theism, deism, modernism, and the several varieties of "new thought".

(18)

sacred and the secular can no longer be maintained.

EIGHTH: Religious Humanism considers the complete realization of human personality to be the end of man's life and seeks its development and fulfillment in the here and now. This is the explanation of the humanist's social passion.

NINTH: In the place of the old attitudes involved in worship and prayer the humanist finds his religious emotions expressed in a heightened sense of personal life and in a cooperative effort to promote social well-being.

TENTH: It follows that there will be no uniquely religious emotions and attitudes of the kind hitherto associated with belief in the supernatural.

ELEVENTH: Man will learn to face the crises of life in terms of his knowledge of their naturalness and probability. Reasonable and manly attitudes will be fostered by education and supported by custom. We assume that humanism will take the path of social and mental hygiene and discourage sentimental and unreal hopes and wishful thinking.

TWELFTH: Believing that religion must work increasingly for joy in living, religious humanists aim to foster the creative in man and to encourage achievements that add to the satisfactions of life.

THIRTEENTH: Religious humanism maintains that all associations and institutions exist for the fulfillment of human life. The intelligent evaluation, transformation, control, and direction of such associations and institutions with a view to the enhancement of human life is the purpose and program of humanism. Certainly religious institutions, their ritualistic forms, ecclesiastical methods, and communal activities must be reconstituted as rapidly as experience allows, in order to function effectively in the modern world.

(19)

cooperate for the common good. Humanists demand a shared life in a shared world.

FIFTEENTH AND LAST: We assert that humanism will: (a) affirm life rather than deny it; (b) seek to elicit the possibilities of life, not flee from them; and (c) endeavor to establish the conditions of a satisfactory life for all, not merely for the few. By this positive morale and intention humanism will be guided, and from this perspective and alignment the techniques and efforts of humanism will flow.

So stand the theses of religious humanism. Though we consider the religious forms and ideas of our fathers no longer adequate, the quest for the good life is still the central task for mankind. Man is at last becoming aware that he alone is responsible for the realization of the world of his dreams, that he has within himself the power for its achievement. He must set intelligence and will to the task.

[EDITOR'S NOTE: There were 34 signers of this document, including Anton J. Carlson, John Dewey, John H. Dietrich, R. Lester Mondale, Charles Francis Potter, Curtis W. Reese, and Edwin H. Wilson.]

(20)

Humanist Manifesto II

Preface

It is forty years since Humanist Manifesto I (1933) appeared. Events since then make that earlier statement seem far too optimistic. Nazism has shown the depths of brutality of which humanity is capable. Other totalitarian regimes have suppressed human rights without ending poverty. Science has sometimes brought evil as well as good. Recent decades have shown that inhuman wars can be made in the name of peace. The beginnings of police states, even in democratic societies, widespread government espionage, and other abuses of power by military, political, and industrial elites, and the continuance of unyielding racism, all present a different and difficult social outlook. In various societies, the demands of women and minority groups for equal rights effectively challenge our generation.

As we approach the twenty-first century, however, an affirmative and hopeful vision is needed. Faith, commensurate with advancing knowledge, is also necessary. In the choice between despair and hope, humanists respond in this Humanist Manifesto II with a positive declaration for times of uncertainty.

As in 1933, humanists still believe that traditional theism, especially faith in the prayer-hearing God, assumed to live and care for persons, to hear and understand their prayers, and to be able to do something about them, is an unproved and outmoded faith. Salvationism, based on mere affirmation, still appears as harmful, diverting people with false hopes of heaven hereafter. Reasonable minds look to other means for survival.

(21)

— Paul Kurtz and Edwin H. Wilson (1973)

The next century can be and should be the humanistic century. Dramatic scientific, technological, and ever-accelerating social and political changes crowd our awareness. We have virtually conquered the planet, explored the moon, overcome the natural limits of travel and communication; we stand at the dawn of a new age, ready to move farther into space and perhaps inhabit other planets. Using technology wisely, we can control our environment, conquer poverty, markedly reduce disease, extend our life-span, significantly modify our behavior, alter the course of human evolution and cultural development, unlock vast new powers, and provide humankind with unparalleled opportunity for achieving an abundant and meaningful life.

The future is, however, filled with dangers. In learning to apply the scientific method to nature and human life, we have opened the door to ecological damage, over-population, dehumanizing institutions, totalitarian repression, and nuclear and bio-chemical disaster. Faced with apocalyptic prophesies and doomsday scenarios, many flee in despair from reason and embrace irrational cults and theologies of withdrawal and retreat.

Traditional moral codes and newer irrational cults both fail to meet the pressing needs of today and tomorrow. False "theologies of hope" and messianic ideologies, substituting new dogmas for old, cannot cope with existing world realities. They separate rather than unite peoples.

Humanity, to survive, requires bold and daring measures. We need to extend the uses of scientific method, not renounce them, to fuse reason with compassion in order to build constructive social and moral values. Confronted by many possible futures, we must decide which to pursue. The ultimate goal should be the fulfillment of the potential for growth in each human personality — not for the favored few, but for all of humankind. Only a shared world and global measures will suffice.

(22)

provide the purpose and inspiration that so many seek; it can give personal meaning and significance to human life.

Many kinds of humanism exist in the contemporary world. The varieties and emphases of naturalistic humanism include "scientific," "ethical," "democratic," "religious," and "Marxist" humanism. Free thought, atheism, agnosticism, skepticism, deism, rationalism, ethical culture, and liberal religion all claim to be heir to the humanist tradition. Humanism traces its roots from ancient China, classical Greece and Rome, through the Renaissance and the Enlightenment, to the scientific revolution of the modern world. But views that merely reject theism are not equivalent to humanism. They lack commitment to the positive belief in the possibilities of human progress and to the values central to it. Many within religious groups, believing in the future of humanism, now claim humanist credentials. Humanism is an ethical process through which we all can move, above and beyond the divisive particulars, heroic personalities, dogmatic creeds, and ritual customs of past religions or their mere negation.

We affirm a set of common principles that can serve as a basis for united action — positive principles relevant to the present human condition. They are a design for a secular society on a planetary scale.

For these reasons, we submit this new Humanist Manifesto for the future of humankind; for us, it is a vision of hope, a direction for satisfying survival.

Religion

FIRST: In the best sense, religion may inspire dedication to the highest ethical ideals. The cultivation of moral devotion and creative imagination is an expression of genuine "spiritual" experience and aspiration.

(23)

upon the critical use of scientific reason have to be restated. We find insufficient evidence for belief in the existence of a supernatural; it is either meaningless or irrelevant to the question of survival and fulfillment of the human race. As nontheists, we begin with humans not God, nature not deity. Nature may indeed be broader and deeper than we now know; any new discoveries, however, will but enlarge our knowledge of the natural.

Some humanists believe we should reinterpret traditional religions and reinvest them with meanings appropriate to the current situation. Such redefinitions, however, often perpetuate old dependencies and escapisms; they easily become obscurantist, impeding the free use of the intellect. We need, instead, radically new human purposes and goals.

We appreciate the need to preserve the best ethical teachings in the religious traditions of humankind, many of which we share in common. But we reject those features of traditional religious morality that deny humans a full appreciation of their own potentialities and responsibilities. Traditional religions often offer solace to humans, but, as often, they inhibit humans from helping themselves or experiencing their full potentialities. Such institutions, creeds, and rituals often impede the will to serve others. Too often traditional faiths encourage dependence rather than independence, obedience rather than affirmation, fear rather than courage. More recently they have generated concerned social action, with many signs of relevance appearing in the wake of the "God Is Dead" theologies. But we can discover no divine purpose or providence for the human species. While there is much that we do not know, humans are responsible for what we are or will become. No deity will save us; we must save ourselves.

(24)

influenced others in our culture.

Traditional religions are surely not the only obstacles to human progress. Other ideologies also impede human advance. Some forms of political doctrine, for instance, function religiously, reflecting the worst features of orthodoxy and authoritarianism, especially when they sacrifice individuals on the altar of Utopian promises. Purely economic and political viewpoints, whether capitalist or communist, often function as religious and ideological dogma. Although humans undoubtedly need economic and political goals, they also need creative values by which to live.

Ethics

THIRD: We affirm that moral values derive their source from human experience. Ethics is autonomous and situational needing no theological or ideological sanction. Ethics stems from human need and interest. To deny this distorts the whole basis of life. Human life has meaning because we create and develop our futures. Happiness and the creative realization of human needs and desires, individually and in shared enjoyment, are continuous themes of humanism. We strive for the good life, here and now. The goal is to pursue life's enrichment despite debasing forces of vulgarization, commercialization, and dehumanization.

(25)

humankind's sense of wonder is continually renewed, and art, poetry, and music find their places, along with religion and ethics.

The Individual

FIFTH: The preciousness and dignity of the individual person is a central humanist value. Individuals should be encouraged to realize their own creative talents and desires. We reject all religious, ideological, or moral codes that denigrate the individual, suppress freedom, dull intellect, dehumanize personality. We believe in maximum individual autonomy consonant with social responsibility. Although science can account for the causes of behavior, the possibilities of individual freedom of choice exist in human life and should be increased.

SIXTH: In the area of sexuality, we believe that intolerant attitudes, often cultivated by orthodox religions and puritanical cultures, unduly repress sexual conduct. The right to birth control, abortion, and divorce should be recognized. While we do not approve of exploitive, denigrating forms of sexual expression, neither do we wish to prohibit, by law or social sanction, sexual behavior between consenting adults. The many varieties of sexual exploration should not in themselves be considered "evil." Without countenancing mindless permissiveness or unbridled promiscuity, a civilized society should be a tolerant one. Short of harming others or compelling them to do likewise, individuals should be permitted to express their sexual proclivities and pursue their lifestyles as they desire. We wish to cultivate the development of a responsible attitude toward sexuality, in which humans are not exploited as sexual objects, and in which intimacy, sensitivity, respect, and honesty in interpersonal relations are encouraged. Moral education for children and adults is an important way of developing awareness and sexual maturity.

Democratic Society

(26)

freedom. It also includes a recognition of an individual's right to die with dignity, euthanasia, and the right to suicide. We oppose the increasing invasion of privacy, by whatever means, in both totalitarian and democratic societies. We would safeguard, extend, and implement the principles of human freedom evolved from the Magna Carta to the Bill of Rights, the Rights of Man, and the Universal Declaration of Human Rights.

EIGHTH: We are committed to an open and democratic society. We must extend participatory democracy in its true sense to the economy, the school, the family, the workplace, and voluntary associations. Decision-making must be decentralized to include widespread involvement of people at all levels — social, political, and economic. All persons should have a voice in developing the values and goals that determine their lives. Institutions should be responsive to expressed desires and needs. The conditions of work, education, devotion, and play should be humanized. Alienating forces should be modified or eradicated and bureaucratic structures should be held to a minimum. People are more important than decalogues, rules, proscriptions, or regulations.

NINTH: The separation of church and state and the separation of ideology and state are imperatives. The state should encourage maximum freedom for different moral, political, religious, and social values in society. It should not favor any particular religious bodies through the use of public monies, nor espouse a single ideology and function thereby as an instrument of propaganda or oppression, particularly against dissenters.

TENTH: Humane societies should evaluate economic systems not by rhetoric or ideology, but by whether or not they increase economic well-being for all individuals and groups, minimize poverty and hardship, increase the sum of human satisfaction, and enhance the quality of life. Hence the door is open to alternative economic systems. We need to democratize the economy and judge it by its responsiveness to human needs, testing results in terms of the common good.

(27)

recognition of talent and merit. Individuals should be encouraged to contribute to their own betterment. If unable, then society should provide means to satisfy their basic economic, health, and cultural needs, including, wherever resources make possible, a minimum guaranteed annual income. We are concerned for the welfare of the aged, the infirm, the disadvantaged, and also for the outcasts — the mentally retarded, abandoned, or abused children, the handicapped, prisoners, and addicts — for all who are neglected or ignored by society. Practicing humanists should make it their vocation to humanize personal relations.

We believe in the right to universal education. Everyone has a right to the cultural opportunity to fulfill his or her unique capacities and talents. The schools should foster satisfying and productive living. They should be open at all levels to any and all; the achievement of excellence should be encouraged. Innovative and experimental forms of education are to be welcomed. The energy and idealism of the young deserve to be appreciated and channeled to constructive purposes.

We deplore racial, religious, ethnic, or class antagonisms. Although we believe in cultural diversity and encourage racial and ethnic pride, we reject separations which promote alienation and set people and groups against each other; we envision an integrated community where people have a maximum opportunity for free and voluntary association.

We are critical of sexism or sexual chauvinism — male or female. We believe in equal rights for both women and men to fulfill their unique careers and potentialities as they see fit, free of invidious discrimination.

World Community

(28)

basis. Human progress, however, can no longer be achieved by focusing on one section of the world, Western or Eastern, developed or underdeveloped. For the first time in human history, no part of humankind can be isolated from any other. Each person's future is in some way linked to all. We thus reaffirm a commitment to the building of world community, at the same time recognizing that this commits us to some hard choices.

THIRTEENTH: This world community must renounce the resort to violence and force as a method of solving international disputes. We believe in the peaceful adjudication of differences by international courts and by the development of the arts of negotiation and compromise. War is obsolete. So is the use of nuclear, biological, and chemical weapons. It is a planetary imperative to reduce the level of military expenditures and turn these savings to peaceful and people-oriented uses.

FOURTEENTH: The world community must engage in cooperative planning concerning the use of rapidly depleting resources. The planet earth must be considered a single ecosystem. Ecological damage, resource depletion, and excessive population growth must be checked by international concord. The cultivation and conservation of nature is a moral value; we should perceive ourselves as integral to the sources of our being in nature. We must free our world from needless pollution and waste, responsibly guarding and creating wealth, both natural and human. Exploitation of natural resources, uncurbed by social conscience, must end.

FIFTEENTH: The problems of economic growth and development can no longer be resolved by one nation alone; they are worldwide in scope. It is the moral obligation of the developed nations to provide — through an international authority that safeguards human rights — massive technical, agricultural, medical, and economic assistance, including birth control techniques, to the developing portions of the globe. World poverty must cease. Hence extreme disproportions in wealth, income, and economic growth should be reduced on a worldwide basis.

(29)

its further extension and use for the good of humankind. We would resist any moves to censor basic scientific research on moral, political, or social grounds. Technology must, however, be carefully judged by the consequences of its use; harmful and destructive changes should be avoided. We are particularly disturbed when technology and bureaucracy control, manipulate, or modify human beings without their consent. Technological feasibility does not imply social or cultural desirability.

SEVENTEENTH: We must expand communication and transportation across frontiers. Travel restrictions must cease. The world must be open to diverse political, ideological, and moral viewpoints and evolve a worldwide system of television and radio for information and education. We thus call for full international cooperation in culture, science, the arts, and technology across ideological borders. We must learn to live openly together or we shall perish together.

Humanity As a Whole

(30)

highest commitment of which we are capable; it transcends the narrow allegiances of church, state, party, class, or race in moving toward a wider vision of human potentiality. What more daring a goal for humankind than for each person to become, in ideal as well as practice, a citizen of a world community. It is a classical vision; we can now give it new vitality. Humanism thus interpreted is a moral force that has time on its side. We believe that humankind has the potential, intelligence, goodwill, and cooperative skill to implement this commitment in the decades ahead.

We, the undersigned, while not necessarily endorsing every detail of the above, pledge our general support to Humanist Manifesto II for the future of humankind. These affirmations are not a final credo or dogma but an expression of a living and growing faith. We invite others in all lands to join us in further developing and working for these goals.

[EDITOR'S NOTE: Thousands of names have ben added to the list of

signatories which followed the original Humanist Manifesto II, published in the September/October 1973 issue of The Humanist magazine by the American Humanist Association. You may become a signer yourself by contacting the AHA at the address below.]

(31)

Lampiran 10

Daftar Obat Arso Tunggal

No. Nama Obat

Pembentukan Antibodi untuk Tumor dan Kanker

01 BACD Bio Antibody Cythostatica Development

02 BIREGMA Bio Regenerated Growth Metabolism Acceleration

03 BCAPC Bio Cythostatica and Antibody Development for Pulmo

Cancer

04 BIPCAD Bio Pulmo Cancer Cythostatica and Antibody

Development (kanker paru)

05 BMCC Bio Mame Cancer Cythostatica (kanker payudara)

06 BOCAD Bio Osteo Cancer Cythostatica and Abtibody

Development (kanker tulang)

07 CVCH Cythostatica Viro Carcinoma Antibody for Hepar

08 BIBCOCPEM Bio Prostat Cancer Curative and Protection Metabolism System

Bio Chemo Treatment untuk Tumor dan Kanker agar Tidak Mengalami Penyebaran, Rehabilitasi Tulang Patah

dan Kerusakan Syaraf terutama pada Otak

09 BICHATEPE Bio Chemo Treatment Process

10 BICTEC Bio Chemo Treatment Equalifing and Curation

(antibiotik)

11 CARAC Carcinoma Active Reterdant and Curation

12 BADVISOC Bio Antibody for Viro Imunity Syndroma Protection and

Curation

13 BAVICEG Bio Restruction Anti Body Monoklone for Viro and

Cancer in Genon System Kanker Darah atau Kelainan Darah yang Lain

14 BMAM Bio Mutual Monoclon Antibody Metabolism Development

Process

15 BOMHET Bio Blood Disfunction Metabolism by Haemophiliae and

Talesmiae

Bio Chemo Treatment Darah atau Kelainan Darah

16 BMPTP Bio Mutual Metabolism Process Treatment Process

17 BDBMF Bio Development Blood Metabolism and Mutual

Magnification Function

18 BERVIF Blood Reduced Vicosity and Fat Treatment Metabolism

Pembentukan Antibodi karena Serangan Virus

19 BCC Bio Concentrated Curation Cancer

20 BIVED Bio Immunity Viro Expected Development

21 BIDJEVIC Bio Immunity Development for Japanese Virus and

Cancer Effect

(32)

Regeneration Hepar

26 BCSH Bio Cythostatica Syndrome Hepar

27 BCRH Bio Cythostatica Cromosome Reconstruction Hepar

Syndrome

Metabolisme Pancreas (Penyakit Gula atau Diabetes Malitus)

28 PIDLEP Pancreas Injue Development Lever and Exiting

Pancreas

29 DESCI Diabetic System Control Ingradient in Instruction

30 DEBTOP Diabet Existing Bio Treatment Organ Pancreas Process

31 BERGUM Bio Refunction Glucose Metabolism

32 BIPDAMTER Bio Pancreas Diabetic Metabolism Treatment and

Regeneration Regeneration

33 CSP Cythostatica Syndrome Metabolism Pancreas

34 CORPEF Cythostatica and Reconstruction Pancreatic Function for

Cronical Diabetic Metabolisme Ginjal

35 KIBDEF Kidney Bio Development Existing Function

36 KICMER Kidney Curative Metabolism

37 BKCS Bio Kidney Cythostatica and Syndroma Metabolism

38 KREMDOT Kidney Regeneration and Metabolism Development

Treatment

Metabolisme Lemak Darah

39 BSFR Bio Slim Fat Ristriction

40 HEBCHER Hemo Bio Chemo Existing Recovery

41 BIBFER Bio Blood Fat Existing Regulation

42 BIFSEF Bio Fitness and Slimming Fat Restriction

Jantung dan Kelainan Jantung

43 BICHMET Bio Cardio Metabolism Treatment

44 BCR Bio Cardio Regulated

Tekanan Darah Tinggi

45 BIBPRES Bio Intensive Blood Pressure Regulated System

Penyakit Tropis, Malaria, Demam Berdarah, Tipus, Disentri, batuk, dan Pilek

46 IBP Influensa, batuk, dan pilek

47 BCPT Bio Curative and Protection Tropical Desease

48 BBST Bio Bronche Sinusoid Desease and Alergic Treatment

49 CYBOSTET Chythostatica Bronce Sinusoid Trache Infection and

Alergie Treatment

Kelainan Hormon dan Enzim dalam Tubuh

50 STEFVI Stabilized Treatment Fatality and Virtuality Hormone

51 STBM Stabilized Treatment Bio Mutual Metabolism

52 BISHOP Bio Skinhealth Protection

Penyakit Tulang, Rematik,Pengeroposan, dan Kejang Otot

53 BEVES Bio Exiting Virtuality and Fatality System

54 BOAP Bio Osteo Arthritis Protection

55 BRAMCUP Bio Rheumatic and Muscle Metabolism Curation

(33)

Bio Neoro

56 BINURFOM Bio Neuro Rehabilitation and Metabolism System

Obat Turun Panas dan Tidur

57 BAA Bio Analgesic Antipiuretic

Penyakit Mata, antara lain: Glukoma dan Katarak

58 BIGTREP Bio Glaukoma Treatment Protection Metabloism

Pembenahan Kembali Genetika dalam Pita Kromosom

59 BCGR Bio Chromossom Genetic Reconstruction

60 BCII Bio Chromossom Treatment Function Process

61 BIVOHRET Bio Virtuality Hormon Regeneration Treatment

Vitamin dan Mineral

62 STANSOL Stamina Solution

BIP Bio Lodium Phosphat

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan oleh Pejabat Pengadaan Barang/Jasa menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dan berdasarkan Surat Keputusan Pejabat

Berdasarkan Berita Acara Fenetapan Pemenang dari Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Lebong Nomor. Nama Ferusahaan

In the preceding case, frame data has been formed manually for a complete understanding of frame animation, but in reality the sprite sheet will be created from an individual

Risiko kredit Kelompok Usaha terutama terhadap piutang dagang. Perusahaan dan Entitas Anak memiliki kebijakan, hanya akan bertransaksi dengan pihak ketiga yang memiliki

Metode ini menyatakan bahwa persediaan dengan nilai perolehan awal (pertama) masuk akan dijual (digunakan) terlebih dahulu, sehingga persediaan akhir dinilai dengan nilai

Hasil kegiatan ini memberikan penyadaran bahwa: (1) guru mata pelajaran produktif di SMK harus mampu membuat soal ujian dengan baik (valid, reliabel, dan efisien); (2) butir soal

Hasil analisa data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat signifikan antara gaya dukungan keluarga terhadap kecenderungan post power syndrome pada pensiunan

Pekerjaan : Pembangunan Drainase Gunungtelu-Cidadap Kec.. Karangpucung Nama Perusahaan