• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE YANG IMOBILISASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN. Budiana Yazid (D3 Keperawatan STIKes Flora Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE YANG IMOBILISASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN. Budiana Yazid (D3 Keperawatan STIKes Flora Medan)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE YANG IMOBILISASI DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Budiana Yazid

(D3 Keperawatan STIKes Flora Medan) Abstrak

Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah Gangguan Peredaran darah Otak merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah pada salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kekuatan otot pasien stroke yang immobilisasi berdasarkan jenis stroke dan kelemahan yang dialami.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasien stroke yang immobilisasi di ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan mengalami kelemahan otot (parese). Hal ini diketahui dari nilai rata-rata kekuatan otot yang didapat adalah 3 yang menunjukan bahwa otot mampu melakukan ROM penuh, otot secara aktif hanya mampu melawan gravitasi. Tidak ada perbedaan kekekuatan otot pasien stroke hemoragik dan iskemik. Pasien stroke dengan hemiparesis dextra memiliki kekuatan otot yang lebih baik dari pada pasien stroke dengan hemiparesis sinistra, paraparesis, hemiplegia, hemiplgeia alternans, dan paraplegia.

Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di setiap otot yang diukur hasil yang mendominasi adalah kekuatan dalam keadaan lemah atau parese. Oleh karena itu, perawat diharapkan untuk memberikan latihan ROM pasif kepada pasien stroke yang mengalami kelemahan otot dalam bentuk latihan harian 2 kali sehari selama 15-30 menit dengan pengulangan 5 kali setiap gerakan agar kekuatan otot pasien dapat dipertahankan.

Kata Kunci : Stroke, kekuatan otot, kelemahan otot PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang memerlukan gerak dan berpindah tempat. Aktivitas pergerakan normal sangat diperlukan dalam menunjang kegiatan sehari-hari. Pergerakan yang dilakukan baik secara volunteer maupun involunter dipengaruhi oleh interaksi organisme dengan sekitarnya. Gangguan gerak pada manusia dapat disebabkan oleh beberapa penyakit dimana salah satunya adalah stroke (Irawan,2014).

Stroke adalah serangan otak yang timbul secara mendadak dimana terjadi gangguan fungsi otak sebagian atau menyeluruh sebagai akibat dari gangguan aliran darah oleh karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah tertentu di otak, sehingga menyebabkan sel-sel otak kekurangan darah, oksigen atau zat-zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel tersebut dalam waktu relatif singkat (Dourman, 2013). WHO mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (WHO, 2006; Irawan, Adiputra, Irfan, 2014).

Stroke telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang. Secara global, pada saat tertentu sekitar 80 juta orang menderita akibat stroke. Menurut WHO setiap tahun, diperkirakan 15 juta orang tersebar diseluruh dunia menderita stroke, dimana kurang lebih 5 juta

(2)

orang meninggal dan 5 juta orang mengalami cacat permanen (Suryani, 2008; Sikawin, Mulyadi, Palandeng, 2013).

Menurut American Heart Association (2010), stroke menyumbang sekitar satu dari setiap 18 kematian di Amerika Serikat. Pada tahun 2009 prevalensi stroke adalah 6,4 juta. Sekitar 795.000 orang mengalami stroke, 610.000 orang diantaranya mengalami serangan pertama dan 185.000 orang stroke serangan berulang dan pembiayaan untuk perawatan stroke tahun 2009 diperkirakan menghabiskan 68,9 miliar dolar Amerika untuk pembiayaan kesehatan dan rehabilitasi akibat stroke (AHA, 2010; Heriyanto & Anna, 2015).

Menurut riset kesehatan daerah Departemen kesehatan Republik Indonesia 2011, dalam laporannya mendapatkan bahwa di Indonesia, setiap 1000 orang, 8 orang diantaranya terkena stroke. Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (Depkes RI, 2011; Sikawin, Mulyadi, Palandeng, 2013).

Sedangkan berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti data pasien yang dirawat inap di Bagian Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan dari Desember 2015 sampai Oktober 2016, didapati data jumlah pasien stroke sebanyak 200 orang. Proporsi untuk stroke iskemik sebanyak 50 orang dan stroke hemoragik sebanyak 150 orang. Dengan adanya peningkatan angka kejadian stroke dan kecacatan tersebut, apabila latihan gerak sendi (ROM) tidak dilaksanakan sedini mungkin maka akan terjadi penurunan kekuatan otot, atropi otot, kontraktur dan luka dukubitus. Dalam kenyataanya dirumah sakit kejadian seperti ini sering terjadi meski telah mendapat kontrol dari tenaga kesehatan rumah sakit (Alimul, 2006).

Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama (hemiparase) disamping kecacatan-kecacatan lainnya. Angka kejadian hemiparase semakin meningkat seiring dengan meningkatnya angka kejadian stroke. Jumlah penderita stroke cenderung meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif (Yastroki, 2010).

Macready (2007) mengemukakan bahwa insiden komplikasi pada penderita stroke berkisar antara 40-96% akan menghasilkan dampak buruk bagi penderita. Hasil studi, 90% penderita stroke yang mengalami paralisis didapatkan mengalami gangguan mobilisasi, sehingga perlu dilakukan penanganan yang benar agar kondisi penderita stroke terus membaik dan tidak terjadi gangguan mobilisasi.

Potter & Perry (2010) menyatakan bahwa apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung pada umur klien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat imobilisasi yang dialami. Bahaya fisiologis yang terjadi pada pasien imobilisasi mempengaruhi sistem metabolik, sistem respiratori, sistem kardiovaskuler, sistem muskuloskeletal, sistem integumen dan sistem eliminasi.

(3)

Menurut Guyton & Hall (2008), pada penderita stroke menyebabkan gangguan aktifitas, salah satunya diakibatkan oleh menurunnya kekuatan otot ekstremitas sebagai akibat dari adanya lesi di korteks motorik. Hal ini juga didukung oleh Junaidi (2006) bahwa serangan stroke dapat menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan pada salah satu atau bahkan kedua sisi bagian tubuh pasien. Kelemahan ini bisa menimbulkan kesulitan saat berjalan dan beraktivitas. Hal ini mengharuskan pasien immobilisasi. Padahal dengan immobilisasi tersebut, pasien akan kehilangan kekuatan otot.

Dari hasil penelitian Elmasry, Mohammad, Shehat, Ghanem (2015) di Assiut University Hospital dikatakan bahwa dari 30 pasien stroke yang mengalami immobilisasi seluruhnya mengalami nyeri sendi, keterbatasan ROM dan kekakuan sendi 100%, 21 (80%) mengalami atrofi otot, spasme otot (73,3%), 29 pasien mengalami nyeri bahu hemiplegia (96,7%), 27 pasien mengalami kontraktur fleksi lutut (93,3%), kelemahan otot dan footdrop (40%), toe and finger curling (30% dan 26.7%). Dari data diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Gambaran Kekuatan Otot Pasien Stroke yang Imobilisasi di Rsup. H. Adam Malik Medan.

METODE

Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pernyataan penelitian (Setiadi, 2007). Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif. Survei deskriptif dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu. Pada umumnya survei deskriptif digunakan untuk membuat penilaian terhadap suatu kondisi dan penyelenggaraan suatu program di masa sekarang, kemudian hasilnya digunakan untuk menyusun perencanaan perbaikan program tersebut. Survei deskriptif juga dapat di defenisikan suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat (Notoadmodjo, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini ditemukan usia paling banyak pada penderita stroke adalah usia lanjut (>65 tahun) (36,7%), diikuti dengan lansia akhir (56-65 tahun) (23,3%), lansia awal (46-55 tahun) (20,0%), dewasa akhir (36-45 tahun) (20,0%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lestari (2010) yang mendapatkan bahwa persentasi kelompok umur > 55 tahun (67,5%), lebih banyak menderita stroke dibandingkan dengan kelompok umur 40-55 tahun (32,5%).

Menurut Kristiyawati (2009), peningkatan frekuensi stroke seiring dengan peningkatan umur berhubungan dengan proses penuaan, dimana semua organ tubuh mengalami kemunduran fungsi termasuk pembuluh darah otak. Pembuluh darah menjadi tidak elastis terutama bagian

(4)

endotel yang mengalami penebalan pada bagian intima, sehingga mengakibatkan lumen pembuluh darah semakin sempit dan berdampak pada penurunan aliran darah otak. Menurut Gofir (2009), bertambahnya usia mulai 55 tahun akan diikuti dengan peningkatan tekanan darah yang terus meningkat sampai usia 80 tahun yang kemudian akan cenderung turun. Keadaan ini terjadi akibat perubahan struktural jantung dan pembuluh darah yang menua. Kekakuan dinding pembuluh darah aorta menyebabkan berkurangnya kemampuan pembuluh darah dalam melaksanakan fungsinya. Sehingga pada penderita stroke dengan usia >60 tahun lebih besar risiko untuk terjadinya stroke ulang.

Hadirnya stroke pada usia muda berhubungan dengan gaya hidup kaum muda pada akhir-akhir ini, seperti banyak mengkonsumsi makanan yang enak berlemak serta cenderung malas bergerak. Hal ini dapat menyebabkan lemak dalam tubuh menumpuk. Kadar kolesterol di bawah 200 mg/dl dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah berbahaya dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit jantung dan stroke (Debette et.al, 2011 ; Soebroto, 2010).

Pada penelitian ini didapati lebih banyak pasien stroke mengalami stroke iskemik (60,0%) daripada stroke hemoragik (40,0%). Menurut Davenport dan Dennis (2000), secara garis besar stroke dapat dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Di negara barat, dari seluruh penderita stroke yang terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik sementara sisanya merupakan jenis stroke hemoragik. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, di Indonesia kejadian stroke iskemik lebih sering ditemukan dibandingkan stroke hemoragik. Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun 2001, yang tidak sempat dipublikasi, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan pada tahun 2001, dirawat1263 kasus stroke terdiri dari 821 (65%) stroke iskemik dan 442 (35%) stroke hemoragik, di mana meninggal 201 orang (15,91%) terdiri dari 98 (11,93%) stroke iskemik dan 103 (23,30%) stroke hemoragik (Nasution, 2007).

Gejala klinis terbanyak yang ditemukan dalam penelitian ini adalah hemiparese sinistra (33,3%). Hemiparesis sinistra adalah kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang menyebabkan kelemahan tubuh bagian kiri (Harsono, 2006). Hal ini mungkin terjadi dikarenakan lokasi lesi yang berbeda. Menurut penelitian Fauziah (2014), berdasarkan status rawatan keluhan tertinggi pasien stroke adalah lemah lengan dan tungkai kiri (38,5%). Hal ini sejalan dengan penelitian Sinaga (2010), bahwa gejala klinis paling banyak adalah hemiparese sinistra (46,3%). Ini merupakan jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan jenis kelemahan lainnya, menurut Yastroki (2010) yang menyatakan defisit kemampuan jangka panjang yang paling umum terjadi pada stroke adalah hemiparesis, 80% penderita stroke mengalami hemiparesis. 39% penderita mengalami hemiparesis setelah menderita stroke selama kurang lebih 1 tahun. Kelemahan pada satu sisi anggota tubuh disebabkan oleh karena penurunan tonus otot, sehingga tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi) (Garrison, 2003). dan iskemik memiliki nilai kekuatan

(5)

rata-rata 3, ini menunjukkan jika ototnya mengalami kelemahan (parese). Nilai 3 menunjukan otot mampu melakukan ROM penuh, otot secara aktif hanya mampu melawan gravitasi.

Hal ini sesuai dengan konsep yang menyatakan bahwa kematian jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan tersebut, salah satu gejala yang ditimbulkan adalah kelemahan otot pada anggota gerak tubuh (Wiwit, 2010) dan juga enurut Guyton & Hall (2008), pada penderita stroke menyebabkan gangguan aktifitas, salah satunya diakibatkan oleh menurunnya kekuatan otot ekstremitas sebagai akibat dari adanya lesi di korteks motorik. Hal ini juga didukung oleh Junaidi (2006) bahwa serangan stroke dapat menyebabkan kelemahan dan kelumpuhan pada salah satu atau bahkan kedua sisi bagian tubuh pasien. Kelemahan ini bisa menimbulkan kesulitan saat berjalan dan beraktivitas. Hal ini mengharuskan pasien immobilisasi. Padahal dengan imobilisasi tersebut, pasien akan kehilangan kekuatan otot. Sedangkan untuk pasien stroke dengan hemiparesis sinistra memiliki nilai kekuatan rata-rata 3, hemiparesis dextra 4, paraparesis 3, hemiplegia 2, hemiplegia alternans 2, dan paraplegia 3. Dimana 3 menyatakan bahwa ROM penuh, otot secara aktif hanya mampu melawan gravitasi, 4 menyatakan ROM penuh, mampu menahan gravitasi tetapi lemah bila diberi tahanan, dan 2 menyatakan otot mampu melawan gravitasi tapi dengan bantuan (ROM pasif) hal ini sesuai dengan konsep yang menyatakan bahwa unsur patofisiologis yang utama pada stroke adalah terdapatnya defisit motorik berupa hemiparase atau hemiplegia yang dapat mengakibatkan kondisi imobilitas. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kekuatan otot yang dapat mengakibatkan ketidakmampuan pada otot ekstremitas secara umum, penurunan fleksibilitas dan kekakuan sendi yang dapat mengakibatkan kontraktur sehingga pada akhirnya pasien akan mengalami keterbatasan/disability terutama dalam melakukan activities of daily living (ADL) (Lewis 2007 dalam Cahyati 2011).

Dalam penelitian ini responden yang bisa dijadikan sampel adalah pasien stroke yang imobilisasi dan tidak diberikan laihan ROM secara intensif dimana menurut (Soekarno, 1995) jika seseorang yang mengalami hemiparase tidak diberikan latihan ROM pasif maka akan terjadi kontraktur, karena adanya atropi, kelemahan otot, tidak ada keseimbangan otot sehingga otot memendek karena adanya lengketan dari kapsul sendi dan pembengkakan sendi, adanya spastik dari otot dan rasa sakit pada sendi otot. Keadaan ini ternyata disebabkan oleh terjadi transport aktif kalsium dihambat sehingga kalsium dalam retikulum sarkoplasma meningkat. Kalsium dipompa dari retikulum dan berdisfusi kelepuh-kelepuh kemudian kalsium disimpan dalam retikulum. Apabila konsentrasi kalsium diluar retikulum sarkoplasma meningkat maka intraksi antara aktin dan miosin akanberhenti dan otot melemah sehingga terjadi kontraktur dan fungsi otot skeletal menurun (Susan, 1996).

SIMPULAN

Pasien stroke yang immobilisasi di ruang RA4 RSUP H. Adam Malik Medan mengalami kelemahan otot (parese). Hal ini diketahui dari nilai rata-rata kekuatan otot yang

(6)

didapat adalah 3 yang menunjukan bahwa otot mampu melakukan ROM penuh, otot secara aktif hanya mampu melawan gravitasi. Tidak ada perbedaan kekekuatan otot pasien stroke hemoragik dan iskemik. Pasien stroke dengan hemiparesis dextra memiliki kekuatan otot yang lebih baik dari pada pasien stroke dengan hemiparesis sinistra, paraparesis, hemiplegia, hemiplgeia alternans, dan paraplegia.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep dan Proses dan Keperawatan . Jakarta : Salemba Medika.

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Beauchamp, T, L., & Childress, J. F. (2009). Principles of biomedical ethics (6th ed., pp. 38-39). New York: Oxford University Press.

Bickley, L. S. (2015). BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Jakarta: ECG.

Burhanuddin, M, Wahiduddin, Jumriani. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stroke Pada Dewasa Awal (18-40 Tahun) di Kota Makassar Tahun 2010-2012. Bagian Epidemiologi Prodi Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar.

Cholik, H. 2009. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke. Yogyakarta: Ardana Media. Derstine, J. B. Dan Hargrove, S. D. (2001). Comprehensive RehabilitationNursing. USA: W.B.

Saunders Company

Dourman, K. (2013). Waspada Stroke Usia Muda. Jakarta: Cerdas Sehat.

Elmasry, M. A., El-LateefMohammad, Z. A., AhmedShehat G., MohammedGhanem H. (2015). Assessment of Musculoskeletal Complications for Immobilized Stroke Patients at Assiut UniversityHospital. IOSR Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS), 4, 1-5.

Gofir, A. (2009). Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendeika Press.

Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Harsono. (2006). Kapita Skeletal Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Helmi, Z. N. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Heriyanto, H., Anna, A. (2015). Perbedaan Kekuatan Otot Sebelum dan Sesudah Dilakukan Latihan (Mirror Therapy) pada Pasien Stroke Iskemik dengan Hemiparesis Di Rsup Dr.Hasan Sadikin Bandung. Jurnal KeperawatanRespati, 2.

Indhah siswoyowati. (2013). Pengaruh pemberian Range Of Motion ( ROM) Aktif Terhadap Fleksibilitas Sendi Lutut pada Lansia di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang. Skripsi STIKES NgudiWaluyo Ungaran.

(7)

Irawan, D. S., Adiputra, N., Irfan, M. (2014). Metode Konvensional, Kinesiotaping, Dan Motor Relearning Programme Berbeda Efektivitas Dalam Meningkatkan Pola Jalan Pasien Post Stroke di Klinik Ontoseno Malang. Sport and Fitness Journal, 2, 128-129. Irfan, M. ( 2010). Fisioterapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Notoadmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka cipta. Rosjidi, CH dan Nurhidayat, S. 2009. Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala & Stroke.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pengujian Ho1 menggunakan uji t-test dengan hasil Ho1 diterima yang berarti bahwa harga saham sebelum dan sesudah publikasi tidak berbeda atau berarti informasi publikasi

Pembentukan Provinsi  Kepulauan Bangka  Belitung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik

Karakter siswa yang diharapkan Dapat dipercaya ( Trustworthines) Rasa hormat dan perhatian ( respect ) Tekun ( diligence )3. Tanggung jawab ( responsibility ) Kecintaan (

Riset Keperawatan/ Skripsi/ Karya Ilmiah Akhir Ners dapat ditulis di halaman terakhir

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2015

[r]

PERBEDAAN MOTIVASI BELAJAR ANTARA METODE CERAMAH DAN DISKUSI DOKUMENTASI ASUHAN KEBIDANAN HAMIL3. PADA MAHASISWI D

Bahan-bnhan yang aangandung Hltrogon aabagal Aaina atau aalda dapat dltantukan aaeara tapat dangan aanggu- nakan aatoda Kjaldahl, aadang dales bentuk yang lain